Anda di halaman 1dari 20

KUMPULAN PUISI ARTUR RIMBAUD

Ruh puisi sebelum dituangkan penyairnya, masih mengawang di langit-langit bathin


penciptaan. Betapa menggumuli cahaya rasa itu amat payah. Laksana air direbus di atas
tungku dengan nyala api keabadian.
Mematangkan zat-zat pengalaman hingga tiada bakteri tersisa. Dari sana hadir kejelasan
awal, tersugesti jiwanya sendiri demi memuntahkan gejolak terkandung lama. Sekelahiran
musti, sesudah rindu tak tahan terbebani.
Kepercayaan terbit memusnahkan pekabutan was-was, tenggelamkan keraguan. Sirna bayang
ketakutkan selama ini menghantui percintaan. Dalam peleburan ruang-waktu yang selalu
digembol bersama kesadaran.
Tercapailah kata-kata dari mulut pena, menggambar di lelembaran kertas, memahat kayu
kesaksian. Takdirnya melayarkan sampan nurani demi pelita umat manusia.
Kala raga bathin sukmanya dibuncahkan kepenuhan, menjalarlah dinaya kepenyairannya
melalui jari-jemari cekatan menari dan terus-menerus bergetar.
?Putra Shakespeare? julukan dari Victor Hugo (1802-1885) kepada Arthur Rimbaud. Menatap
bayang dirinya tertimpa cahaya silam. Berbinar-binar matanya diruapi ruh nenek moyang
terdekat. Membimbing jiwa-jiwa tidak jerah, kian kukuh beriktiar dalam pencarian.
Sampai titian akhir dirampungkan karyanya, dipelototi berulangkali di sana-sini. Dipangkas
disesuaikan lebih manusiawi atau indrawi dari keadaan sebelumnya. Disimpan dalam kotak
rapi, sebelum jarak penantian mempelajari yang berkisaran antara dirinya selama ini.
Kesungguhan berlanjut setelah keraguan menghantui balik, kecemasan diangkat
kewaspadaan. Diambilnya catatan lalu, dibacanya keras-keras dalam bathin dan bersuara
lantang. Di sinilah penyesuaian akhir terjadi.
Penggalan tiada ampun pada diri sendiri, pilihan kata melebihi jatuhnya hukum pancung.
Warna diselaraskan melodi diseiramakan. Mematangkan hembusan perubahan yang selalu
dikendarai. Jika ragu disimpan lagi, kalau dirasa purna diyakini berkesaksian akhir seperti
awal kelahiran.
Bernard Dorl?ans dalam bukunya Les Fran?ais et I?Indon?sie du XVIe au Xxe si?cle
menyebutkan Arthur Rimbaud berada di Jawa tahun 1876 sebagai anggota tentara Belanda.
Kini izinkan diriku menafsirkan salah satu puisinya bertitel Chanson De La Plus Haute
Tour dari buku Sajak-Sajak Modern Prancis Dalam Dua Bahasa, disusun Wing Kardjo,
Pustaka Jaya, 1972:

LAGU MENARA TERTINGGI


Arthur Rimbaud
Datanglah, ya datang
Saat bercinta.
Aku sudah begitu sabar
Hingga semua kulupa.
Derita dan gentar
Ke langit musnah.
Dan haus maksiat
Membuat darahku pucat.
Datanglah, ya datang,
Saat bercinta.
Bagai padang
Terbengkalai lupa,
Belukar dan kemenyan
Tumbuh dan berbunga
Dalam dengung liar
Lalar-lalar kotor
Datanglah, ya datang
Saat bercinta.
Rimbaud, membangkitkan masa-masa penuh gairah dari dasar dirinya. Dinayanya diangkat
melambung memenuhi panggilan jauh. Atau pribadinya yang menyerukan sebab musabab.
Lantas wajah-wajah berdatangan, berduyun-duyun mendapati kemungkinan. Kasih sayang
menggebu dilumati rindu terdalam. Bersamanya segala ucapan mencipta atmosfer besar
dalam rahim semesta.
Menebali keyakinan pada semua insan, laksana takdir digariskan. Tidak goyah meski seluruh
penjuru dunia hendak menggagalkan. Itu ruh bathin mematangkan suara-suaranya menuju
relung terdalam, kalbu jaman.
Kesabarannya menanti melululantakkan bangunan sejarah silam di atas timbunan kenangan
pedih. Bebunga karang ingatan disapu hantaman gelombang atas luka-luka menggaramkan
diri.
Hingga rasa gentar jua was-was, hanyut terseret arus hasratnya tak terjamah kembali. Musnah
kecuali kehendak sah dan peleburan nafsunya memucatkan wajah-wajah ayu seampas tebu.

Atau kekelopak kembang layu oleh angin sayu mendadak menuakan waktu. Buah apel
keriput sebelum terjamah jemari halus. Rimbaud memanggil kedatangan bayu bukan
kemanjaan, namun pesona sumringah seasmara maut.
Datang angin purba membentur-benturkan mata anak-anaknya, pada bebatuan tebing
meruncing legam. Di sana lelempengan waktu bersimpan hikayat kerinduan.
Tanah longsor menimbuni suara-suara lama, kini tergerus bayu pantai meniup tulangbelulang ribuan tahun silam. Yang terpendam menjelma batuan kapur, sepucat getir hujan dini
hari.
Melupakannya kesadaran akan berpindah atau telah muksa. Kematian kekasih membayangi
tercinta, terus mengharumkan percumbuan lekati bibir mengatup bergetaran.
Beterbangan seawan hitam melahirkan masa-masa menggoyang rerimbun kekokohan.
Menara tertinggi kehadiran kala percintaan: maut selalu dirindu para pencari jalan keabadian.
Menjalarkan api abadi ke lorong-lorong buram. Hantu-hantu dibangkitkan bukan kangen, tapi
petaka menimpa lama tersia.
Ngeri derita luput ke langit merah. Di padang-padang binasa berlipat amarah, datang sewaktu
bercinta penuh gairah.
Demikian tafsiranku kali ini. Untuk riwayatnya aku petik dari buku Puisi Dunia, jilid I
disusun M. Taslim Ali, Balai Pustaka, 1952:
Jean Nicolas Arthur Rimbaud (20 Oktober 1854 10 November 1891) penyair Perancis lahir
di Charleville, Ardennes. Seorang berpendidikan agama, mula pendiam tapi tiba-tiba
berontak meninggalkan sekolah dan ibunya, muncul di Paris pada usia 15 tahun. Langsung
mendapatkan Paul Verlaine bersama sekumpulan sajak yang menggemparkan penyair-penyair
di Paris. Yang kelihatan sajaknya berpandangan hayali dramatis. Fantasi serta perasaan halus
melamun. Sajak bebasnya lincah, kata-kata yang dipergunakan sewarna bunyi bergeraknya
gambar, asosiasi di sekitar satu metafor sebagai pusat.
Dari kumpulan ini mengalir arus simbolik masuk kesusastraan Prancis. Dalam beberapa hal
Rimbaud dianggap pelopor aliran surealis, menulis sajak antara usia 15 dan 19 tahun.
Himpunannya yang terkenal ?Po?sies?, ?Une Saison En Enfer? , ?Illuminations.? Sajak
tersohornya Le Bateau Ivre penuh lambang peristiwa nasib-nasiban serta lukisan daerahdaerah jauh yang aneh.
Rimbaud tidak normal ini seakan sanggup melihat dengan mata bathinnya. Paul Claudel
(1868 ?1955) menganggapnya penyair terbesar yang pernah hidup. Setelah hampir ditembak
mati oleh Verlaine, tiba-tiba menghilang. Menempuh hidup nasib-nasiban, berbakat di
lapangan yang kurang cocok dengan pembawaan sastrawan. Menjadi pedagang gading,

menjual senjata kepada Negus. Rimbaud meninggal di Merseille karena jatuh dari kudanya.
Kakinya terpaksa dipotong, radang darah menamatkan riwayatnya.
Petikan http://en.wikipedia.org/wiki/Arthur_Rimbaud: tertulis, Mei 1876 mendaftar prajurit
Tentara Kolonial Belanda demi berjalan bebas biaya ke Jawa (Indonesia), melakukan desertir
dan kembali ke Perancis dengan kapal. Di kediaman walikota Salatiga, sebuah kota kecil 46
km selatan Semarang, Jawa Tengah, ada piagam marmer yang menyatakan Rimbaud pernah
tinggal di kota.
Rimbaud dan Verlaine bertemu terakhir, Maret 1875 di Stuttgart, Jerman, setelah bebasnya
Verlaine dari penjara. Saat itu Rimbaud menyerah menulis, memutuskan bekerja atau sudah
muak kehidupan liarnya. Ada yang menyatakan berusaha kaya agar mampu hidup satu hari
sebagai sastrawan independen. Terus bepergian secara ekstensif di Eropa, sebagian besar
jalan kaki.
Di rumah sakit di Marseille, kaki kanannya diamputasi. Diagnosis pasca operasi ialah kanker.
Setelah tinggal sebentar di kediaman keluarganya di Charleville, melakukan perjalanan
kembali ke Afrika. Di jalan kesehatannya memburuk, dibawa ke rumah sakit yang sama.
Pembedahan dilakukan dihadiri saudarinya Isabelle. Rimbaud meninggal di Marseille,
dimakamkan di Charleville.
SEMUSIM DI NERAKA:
Dulu sekali, kalau ingatanku tak keliru, hidupku adalah pesta dansa di
mana setiap hati menyingkapkan diri, di mana setiap anggur mengalir.
Suatu petang kudekap keindahan - dan kurenungkan ia dengan getir dan kuhina dia.
Kutegapkan diri menentang keadilan.
Aku berlari. O tukang sihir, o kesengsaraan, o kebencian, kalian rawat
harta bendaku!
Dalam diriku telah pudar semua harapan kemanusiaan. Dengan lompatan
tangkas hewan buas, aku telah taklukkan dan cabik-cabik semua
kegembiraan.
Aku telah panggil para algojo.Aku ingin musnah denga mengunyah popor
senjata mereka. AKu telah undang wabah penyakit agar aku bisa megapmegap di pasir dan genangan darah. Kesengsaraan telah menjadi
dewaku. Aku telah terjerumus di lumpur dan aku keringkan diri di udara

yang tercemar kejahatan. Aku telah mainkan peran si dungu hingga


hampir gila.
Dan musim semi membawakanku tawa mengerikan seorang dungu.
Kini, ketika kudapati diriku siap membusuk, aku berpikir untuk mencari
kunci kepada pesta dansa yang dulu itu, mungkin bisa kutemukan
keyakinan lagi.
Kuncinya adalah kemurahan hati - ini menunjukkan kalau aku sedang
bermimpi!
"Kau akan tetap menjadi heyna, dan sebagainya ...," seru iblis yang dulu
pernah memahkotaiku dengan bunga popi yang cantik. "Carilah kematian
dengan seluruh gairahmu, dan semua kecintaan pada diri, dan Tujuh
Dosa Tak Terampuni."
Ah! Aku terlalu berlebihan: namun, Setan tersayang, kumohon jangan
risau! Dan sementara menunggu beberapa kepengecutan yang terlambat
tiba, karena kau menghargai kurangnya bakat deskriptif atau didaktik
dalam diri seorang penulis, kuberikan kepadamu beberapa halaman
dungu dari buku harian milik Jiwa Yang Terkutuk.
Lahir di Charleville, Perancis. Mulanya Arthur dikenal sebagai sosok pendiam.
Berasal dari lingkup keluarga yang berpendidikan agama. Banyak penyair besar
lain seperti; Victor Hugo, Paul Claudel, yang kemudian memberinya berbagai
julukan, setelah dia terkenal sebagai penyair yang beraliran surealis.
Pemberontakan dirinya sampai kemudian meninggalkan bangku sekolah, serta
ibunya yang janda, dan kemudian pergi melanglang di usia lima belas tahun,
mencoba menemukan jati dirinya. Meski kemudian menobatkan dirinya sebagai
seorang sastrawan. Bersama Paul Verlaine menerbitkan sekumpulan sajak yang
kemudian menggemparkan penyair-penyair lainnya. Arthur tak mencerminkan
dirinya sebagai seorang sebagaimana seorang seniman. Bergaul dengan Negus,
di mana kemudian menjadi tangan kanan Negus, karena dia juga sebagai
pedagang senjata, menjadikannya seorang yang berjiwa keras.
Hidup mengalir yang mengandalkan nasib, dan nyaris mati ditembak Verlaine,
ingin membuktikan dia memiliki bakat lebih dari sebagai seorang sasterawan.
Himpunan sajaknya yang terkenal, yang ditulis di usianya antara lima belas
hingga sembilan belas tahun, antara lain: 'Illumintions', Bateau ivre', Une Saison
en Enfer', berikut contoh sajaknya:

Pesta Lapar

Laparku, Anne, Anne


Lari di atas keledaimu.
Jika aku lapar, hanyalah
lapar bumi dan lapar batu.
Ding! ding! ding! ding! Santapan kita angin
Batu dan arang, besi.
Hai lapar, balik kau. Lapar, makanlah
rumput padang suara!
Hiruplah racun pesta gila
Dari daun semak;
Makanlah batu leburan tangan si miskin
Pintu gerbang gereja tua,
Puntung hari kiamat,
Roti lembah kelabu!
Laparku, sobekan angin malam,
Udara bergema;
Itulah perutku, guruh itu,
O, Malang.
Tanaman-tanaman di bumi lahir kembali;
Mencari buah magang
Kupetik dari lubang jejak
Sayur dan bunga viola
Laparku, Anne, Anne,
Lari di atas keledaimu.

Antologi Puisi Terjemahan


PUISI-PUISI Federico Garcia Lorca
GACELA CINTA SIA-SIA
malam menolak tiba
kau pun tak datang
sedang aku tak bisa menjelang
tapi aku kan berangkat juga
kendati pelipisku mesti makan matahari kalajengking.

dan belakangan kau menyusul datang


dengan lidah dibakar hujan garam
siang menolak datang
kau luput dari pandang
sedang aku juga terhalang
tapi aku akhirnya datang juga
menyerahkan ke tunanetra anyelirku yang cedera
malam dan siang menolak datang
akhirnya aku mati untukmu
dan kau pun mati untukku
GACELA SOUVENIR ASMARA
jangan bawa kenanganmu
biarkan ia sendiri di hatiku
gemetar pepohonan cri putih
dalam martir bulan januari
sebaris tembok mimpi buruk
memisahkan aku dari maut
setangkai leli langka kupersembahkan
bagai hadiah bagi hati yang beku
di taman saban malam, mataku
ibarat dua ekor anjing perkasa
sepanjang malam mengepung meronda
pojok demi pojok dan segala bisa
angin terkadang bagaikan
kembang tulip kengerian
dialah kembang tulip duka
kerna pagi beku musim dingin
sebaris tembok mimpi buruk
memisahkan aku dari maut
kabut menyelimut keheningan
lembah kelabu tubuhmu
di bawah lengkung perjumpaan dahulu
belukar racun sekarang menghutan

tapi tinggalkan untukku kenanganmu


biarkan sendiri ia di situ di kalbuku
Alihbahasa: JJ. KUSNI
Sumber: Federico Garcia Lorca,Posies III. 1926-1936, Gallimard, Paris,
1954,hlm.155.
KASIDA MAWAR
mawar
tak mengejar fajar:
hampir abadi di dahannya,
hal lain yang disasar
mawar
tak memburu ilmu dan bayang:
dihalang jasad dan angan
hal lain yang dipegang.
mawar
tak mengejar mawar,
tak beranjak dari langit
hal lain yang bangkit
SENANDUNG UNTUK MERCEDES YANG MATI
demikianlah kau pun tidur
di perahu kayumu di pinggir tebing
pangeran puteri putih tak tertanding!
tidur dalam malam yang dalam,
tubuh bumi dan salju!
tidur dalam fajar warna putih! tidurlah!
dan demikianlah kau pun kian menjauh tertidur
di perahu kabut tipis dan mimpi sepanjang tebing!
KASIDA TANGAN TAK TERGAPAI
tak ada lain yang kuingini kecuali satu tangan, tangan ini
sebuah tangan luka inipun jika mungkin terjadi
tak ada lain yang kuingini kecuali satu tangan, tangan ini
kendatipun ribuan malam tiada ranjang kumiliki
tangan itu adalah kembang leli putih warna kapur
tangan itu adalah merpati tertambat di hatiku,
tangan itu adalah pengawal malam kematianku
yang tegas melarang bulan masuk menyerbu
tak ada lain yang kuingini kecuali tangan, tangan ini
yang kujadikan minyak hari-hari

dan sprei putih kematianku.


tak ada lain yang kuingin kecuali tangan, tangan ini
untuk menyangga sebuah sayap kematianku.
selebihnya berlalu
warna merah cacat muka pun sudah tak bernama, bintang kekal.
selebihnya adalah yang lain: angin duka,
sedangkan dedaunan berhamburan melayang
Alihbahasa: JJ.KUSNI
Sumber: Federico Garcia Lorca, Posies III. 1926- 1936, Editions
Gallimard, Paris, 1954.
IV.KASIDAH PEREMPUAN TIDUR
Oleh Federico Garcia LORCA
Telanjang kau berbaring, mengingatkan pada Bumi
Bumi yang licin dan kuda-kuda perawan,
Bumi licin tanpa kemerut, murni ujud,
tertutup ke haridepan: berbatasan perak.
Aku melihatmu telanjang, kupahami lalu kecemasan
hujan mencari benih-benih ranumbelia,
demam laut di wajah terbentang
tanpa menjumpai kilau permainan.
Melalui ranjang-ranjang darah menggelora
dan datang merengkuh besi-besinya mengkilat,
tapi di mana berlindung akupun tak tahu
untuk jiwaku cacat atau lembayung.
Perutmu adalah pertarungan mengakar,
bibir-bibirmu adalah fajar tanpa kontur.
Di bawah mawar-mawar hangat ranjangmu
Ajal menritih menunggu giliran
V. KASIDA MIMPI DI LANGIT TERBUKA
Bunga jasmin dan banteng di sembelih.
Jalan tak berujung. Kartu. Ruangan. Harpa. Dan dinihari.
Gadis kecil membayangkan seekor banteng dari bunga jasmin
Dan banteng itu adalah senja berdarah yang menjerit
Kalau langit adalah anak kecil yang begitu mungil
bunga-bunga jasmin menjadi seorang perempuan yang berduka,
Dan banteng itu sirkus biru tanpa pertarungan
dengan jantung di kaki sebatang tiang
Tetapi langit adalah seekor gajah,
bunga jasmin adalah air kekurangan darah
sedangkan gadis adalah serangkum nokturno
di atas jalan besar yang buram.
Antara bunga jasmin dan banteng
cantolan-cantolan gading ataqu orang-orang terlena.

Dalam bunga jasmin seekor gajah dan gemawan,


dalam banteng kerangka badan gadis kecil
VI. KASIDAH TANGAN YANG SIA-SIA
Aku hanya menginginkan sebuah tangan
Hanya tangan yang lukaa, kalau bisa.
Saya hanya menginginkan sebuah tangan,
walaupun seribu malam aku tak beranjang.
Ranjang itu adalah ranjang putih kapur
ia semestinya seekor merpati yang tertambat di jantungku,
ia semestinya penjaga malam kematianku
yang mutlak melarang bulan menyusup.
aku bagai minyak hari-hari
dan sprei putih ajalku.
Aku hanya menginginkan tangan ini
Penopang sayap-sayap kematianku.
Selebihnya biarkan.
Tanpa nama sudah kemerahakan wajah, bintang abadi.
Selebihnya adalah soal lain: angin nestapa,
Sementara dalam gerombolan dedaunan berlari
VIII. KASIDAH GADIS KENCANA
Gadis kencana
mandinya di air
dan air kencana
Ganggang laut, dedahanan
Cemburu dalam bayangan
dan rosinyol
untuk gadis putih
yang menyanyi
Tibalah cahaya malam
bagai tembaga yang buruk,
gunung-gunung terkelupas
di bawah kelam yang pecah.
Gadis itu basah
Putih dalam air,
Dan air bagai nyala.
Datang fajar tanpa cela
seribu mongong lembu
dalam kain kafan kaku,
terangkai
beku
Gadis kecil itu meratap
mandi dalam api,
dan burung-burung rosinyol
terbakar sayap-sayapnya,

menangis.
Gadis kencana
Adalah burung bangau
putih, di air kencana
Alihbahasa JJ. Kusni
Sumber: Federico Garcia LORCA, POESIES III 1926-1936,
Editions Gallimard, Paris, 1954
Sanjak-sanjak Federico Garcia LORCA
Alihbahasa: JJ: KUSNI
1.KASIDAH ANAK YANG DILUKAI AIR
Aku ingin turun hingga ke sumur,
aku ingin memanjat tembok-tembok Granada
untuk melihat hati yang lobang
oleh bor air yang hitam.
Anak luka merintih
bermahkotakan kebekuan
Tempayan, tangki dan fonten
di tengah angin mengacungkan pedang-pedang mereka.
Ai, alangkah ganasnya cinta, alangkah melukainya tikaman,
wahai berita burung malam, alangkah putihnya ajal!
Betapa lengangnya cahaya melengkung
pasir-pasir pagi!
Anak itu sendiri
Bersama kota yang terlena di lehernya.
Secercah air memercik dari dukanya
yang membelanya dari lapar ganggang laut.
Anak itu dan ajalnya hadap-hadapan,
Bagaikan dua hujan hijau lilit-melilit.
Anak itu terbujur di bumi
dan ajal bersandar kepadanya
Aku ingin turun ke sumur ,
Aku ingin, di garis-garis lempang , membunuh ajalku ,
Aku ingin mengisi buih jantungku,
demi anak yang dilukai air
III. KASIDAH DEDAHANAN
di bawah pepohonan Tamarit
anjing-anjing timah berdatangan tiba
menunggu jatuhnya dedahanan
menununggu remuknya kesendirian
Pohon Tamarit mempunyai sebatang apel
dihasebuah apel sedu-sedan.
Burung rosinyol bernafas lega
Dihalau debu kuau berlalu
Tapi dedahanan punya kegembiraan mereka,
dedahanan bagaikan kita.

Lupa hujan lalu terlena


dengan segera, demikianlah dedahanan.
Di lutut-lutut mereka menggenang air
dua lembah menunggu musim gugur.
Remang-remang di jejak gajah
menggerakkan dahan dan pohon-pohon
Di bawah pepohonan Tamarit
banyak anak bertutup cadar,
menunggu jatuhnya dedahananku,
menunggu remuknya kesendirian.
1.KASIDAH ANAK YANG DILUKAI AIR
Aku ingin turun hingga ke sumur,
aku ingin memanjat tembok-tembok Granada
untuk melihat hati yang lobang
oleh bor air yang hitam.
Anak luka merintih
bermahkotakan kebekuan
Tempayan, tangki dan fonten
di tengah angin mengacungkan pedang-pedang mereka.
Ai, alangkah ganasnya cinta, alangkah melukainya tikaman,
wahai berita burung malam, alangkah putihnya ajal!
Betapa lengangnya cahaya melengkung
pasir-pasir pagi!
Anak itu sendiri
Bersama kota yang terlena di lehernya.
Secercah air memercik dari dukanya
yang membelanya dari lapar ganggang laut.
Anak itu dan ajalnya hadap-hadapan,
Bagaikan dua hujan hijau lilit-melilit.
Anak itu terbujur di bumi
dan ajal bersandar kepadanya
Aku ingin turun ke sumur ,
Aku ingin, di garis-garis lempang , membunuh ajalku ,
Aku ingin mengisi buih jantungku,
demi anak yang dilukai air
III. KASIDAH DEDAHANAN
di bawah pepohonan Tamarit
anjing-anjing timah berdatangan tiba
menunggu jatuhnya dedahanan
menununggu remuknya kesendirian
Pohon Tamarit mempunyai sebatang apel
sebuah apel sedu-sedan.
Burung rosinyol bernafas lega
Dihalau debu kuau berlalu

Tapi dedahanan punya kegembiraan mereka,


dedahanan bagaikan kita.
Lupa hujan lalu terlena
dengan segera, demikianlah dedahanan.
Di lutut-lutut mereka menggenang air
dua lembah menunggu musim gugur.
Remang-remang di jejak gajah
menggerakkan dahan dan pohon-pohon
Di bawah pepohonan Tamarit
banyak anak bertutup cadar,
menunggu jatuhnya dedahananku,
menunggu remuknya kesendirian.
MENYANYIKAN BULAN DI GUNUNG EMEI
Oleh Li Bai
Di gunung Emei (1) bulan bundar terbelah dua
Wajahmu membayang di air sungai Pingqiang
Malam ini aku meninggalkan Qingxi (2)pergi ke Tiga Jurang
Menuju Yuzhou (3) kernanya kukira kita tak lagi bisa bersua
Catatan:
(1). Gunung Emei terletak di Propinsi Sichuan, di baratlautnya mengalir sungai Pingqiang.
(2). Qingxi, nama lama sebuah tempat persinggahan di dekat Gunung Emei.
(3). Yuzhou , sekarang berganti nama ;enjadi Congqing.
GENTA
Oleh: Guillaume APPOLINAIRE
Jipsiku yang tampan buah hatiku sayang
Dengarkanlah gentang yang berdentang
Sedangkan kita berdua saling menyayang
Kepercayaan adalah urusan orang-seorang
Tapi pesembunyian kita tak padan, malangnya
Genta-genta yang meronda
Dari ketinggiannya memandang kita
Dan menuturkan kepada semua
Besok Cyprien dan Henri
Marie Ursula dan Catherine
Tukang roti dan suaminya
Lalu Gertrude saudara kandungku
Menyenyumiku kala kulalu
Menaruh muka aku tak tahu
Dan kaupun jauh yang membuatku tersedu
Boleh jadi mati lebih baik bagiku
(Dari kusanjak Alkohol)
Sumber: Jean-Marc Debenetti, La Poesie Moderniste

France Loisirs, Paris 1992.


Alihbasa: JJ. KUSNI
SANJAK WALT WHITMAN*]
AKU MENDENGAR AMERIKA MENYANYI
Aku mendengar Amerika sedang menyanyi, aku mendengar rupa-rupa litani,
Nyanyian para montir yang menyanyikan lagu begitu gairah dan perkasa, lagu
tentang diri sendiri,
Tukang kayu menyanyi ketika mengukur papan dan memalu,
Tukang batu berlagu ketika siap dan usai bekerja,
Pendayung mendendangkan yang mereka punya di perahu, jurumudi menyanyi di
belakang jentera,
Tukang sepatu menyanyi ketika mereka berjongkok, tukang cukur menyanyi
ketika berdiri,
Nyanyian perimba, anak pembajak menyusur pagi atau petang dan rembang
sedang berganti,
Merdu lembutnya lagu ibu atau istri belia sedang bekerja atau gadis-gadis
sedang menjahit atau mencuci,
Semua menyanyi menyanyikan yang dimiliki hari ini sedang malam semarak
pesta para remaja, penuh tenaga dan rasa saudara,
Mereka menyanyi dan menyanyikan dengan mulut lebar terbuka lagu-lagu merdu
perkasa.
1860-1867.
BERMULA DARI PAUMANOK
9.
Kau cari apa gerangan maka jadi demikian diam dan menekur?
Kau perlu apa gerangan camerado?
Puteraku tersayang, kau kira itukah cinta?
Dengar nak, anakku dengarkan Amerika, putera ataupun puteri,
Memang pahit mencintai seorang lelaki ataua perempuan berkelebihan, tapi
memuaskan, dan hebat memang,
Hanya masih ada yang amat hebat lagi memungkinkan segala terjadi,
Ia sungguh luar biasa mengatasi segala benda, dengan tangan-tangannya ia
menyapu dan menyediakan untuk semua.
Alihbahasa: JJ.KUSNI
Sumber: Walt Whitman Selected Poems, Dover Publications,Inc. New York,
1991.
Catatan:
*]. Disebut oleh kritikus sastra Mark van Doren sebagai penyair Amerika
yang paling orisinal dan memukau, Walt Whitman (1819-1892) berhasil
membangun batang tubuh puisi yang yang khas miliknya tidak konvensional, tidak kurang

akan irama atau meter, menyenandungkan segala macam objek dengan kekuatan,
kepekaan, paparan yang menghidupkan pembaca.
Karyanya yang paling terkenal adalah Leaves of Grass sebuah proyek
raksasa Whitman setara dengan membangun sebuah katedral atau bagaikan
sebatang pohon yang tumbuh pelan membesar dengan pasti. Karya ini merupakan sebuah
serial dan ketika Whitman hidup ia sudah terbit dalam sembilan edisi
antara 1855 dan 1892. Leaves of Grass sekarang dipandang sebagai salah
satu tonggak dalam sejarah sastra Amerika.
TENTANG KOPLA
Di atas senar-senar gitar, empat baris yang keluar langsung dari lubukhati, rakyat Spanyol,
termasuk Andalusia, menyenandungkan duka-lara mereka. Gitar dan puisi. Federico Garcia
Lorca pernah mengatakan bahwa Spanyol akan sepi tanpa gitar. Sebuah jendelapun lalu lebar
terbuka dari mana kita bisa memandang wajah jiwa seorang anak manusia yang sedang
berlagu. Dan itulah copla, yang di sini kuindonesiakan menjadi kopla. Jarang ada penyair
dari negeri manapun yang mempunyai daya ungkap begitu intens dengan kata-kata demikian
ekonomis ketika berbicara tentang bunga, gelora cinta dan kesedihan yang mendekati
keputusasaan. Para penyanyi kopla pun mengungkapkan diri tanpa pretensi untuk disebut dan
menjadi penyair atau menciptakan suatu karya seni karena yang terpenting bagi para
penyanyi kopla adalah membuka pintu dan jendela hati mereka agar burung-burung hitam
duka bisa terbang leluasa keluar mengarung angkasa luas di atas perbukitan atau dataran
terhampar Andalusia. Yang mereka perlukan adalah menyanyi menendangkan kegembiraan,
bersenandung untuk melagukan dukalara mereka. Ketika berbicara tentang cinta, mereka
sering menghubungkannya dengan kematian. Mereka jarang sekali menyambungkan cinta
dengan kegembiraan. Kopla tidak ditulis, ia dinyanyikan. Para penyanyi membiarkan
perasaan mereka terbang menyatu dengan angin dan mengelanai penjuru demi penjuru.
Setiap kopla adalah ungkapan lugas tentang hidup dan perasaan yang merasuk, motif-motif
abadi, kebersamaan ataupun yang khusus bersifat perseorangan, tentang perempuan dan
lelaki, cinta, benci, kemiskinan, kesedihan dan kematian. Daya kopla, oleh orang-orang
Andalusia sering disebut mendekati kekuatan mantra dalam masyarakat berbagai etnik di
Indonesia. Melalui kopla kita menyaksikan gambaran menyeluruh kehidupan sebagai sebuah
drama.Kita mendengar tetapi lebih-lebih lagi kita menyaksikannya. Malangnya, tapi ini
adalah juga kenyataan, yang ditampilkan lebih banyak kesedihan sebagaimana halnya dengan
keadaan kehidupan itu sendiri. Kopla menuturkan segalanya ini dengan kesederhanaan ironis
menusuk, terkadang mendekati suara jeritan.Isi kopla lebih dekat kepada kepercayaan yang
jauh dari Tuhan [paen].
Di Andalusia kopla hidup sangat subur, merupakan pengungkap diri utama yang digunakan
dalam Kantata Flamenco atau Kantata Jondo. Ia banyak ditemukan di lingkungan para gitana
[jipsi. Jadinya, kopla bisa disebut sebagai Andalusia dan gitana itu sendiri.
Andalusia termasuk salah satu daerah yang langka di mana puisi abadi demikian menyatu
dengan nyanyian, menyuarakan segala pahit-manis yang dikecap dalam kehidupan seharihari, memancar dari setiap bintang malamnya, menyenandungkan kepahlawanan dan
kekalahan. Kopla adalah tempat di mana raga dan jiwa bertemu. Dan inilah, Romansero
Spanyol, inilah Cancionero dan Kantata Jondo. Kopla mengingatkan aku akan sansana kayau,
khususnya Sansana Kayau Pulang di Katingan, sungai kelahiranku di Kalimantan Tengah,

yang tentunya juga kau kenal. Selanjutnya akan kusertakan contoh menyusul apa yang sudah
kusampaikan terdahulu.
Paris, Mei 2004.
--------------JJ.KUSNI
KOPLA CINTA ANDALUSIA:[1]
hari kau dilahirkan
matahari tentu akan berduka
oleh munculnya tandingan
dari dirinya lebih bercahaya
kembang mawar kembang anyelir
demikian pun cengkeh yang wangi,
menyertai bibirmu
ketika kau tersenyum
matamu, wahai si kulit sawomatangku
demikian bijak bestari
pembunuhmu pun merunduk
memberikan salut
wajahmu bernama
Sierra Morena
dan matamu, para pencuri
yang melintasinya
- dengan gerangan apa
wajah kau basuh maka warna kencana?
- kubasuh dia dengan air jernih
selebihnya tuhanlah yang lakukan
nafasmu, nafasmu bunga
nafas limau, mungil:
di dadamu ada
sebuah limau semarak bunga
aku tak tahu gimana dan pabila
ia datang ke kalbu
cercah api pelan menyala
tapi tak nampak lidah cahayanya
sebuah derita lembut kecil
di sini kupunyai bernama cinta
dari mana gerangan ia masuk tiba
maka sampai tak terasa?

bukan salahku tentu saja


kalau mawar jadi milikmu
sedangkan wanginya berasal dari diriku
kau menatapku dan kau kupandang
kepalamu merunduk, demikianpun aku:
tak tahu apa yang kau harapkan
akupun tak tahu apa yang kutunggu
para pastur padaku berkata
agar aku jangan mencintaimu
kepadanya kukatakan: ah, pasturku
andaikan kau melihatnya!
andaikan cinta yang kukandung ini
menjelma jadi gandum
di sevilla tak kan ada
lumbung tak menyimpannya
kalau kau berangkat perang
gantungkan fotoku di dada
ketika peluru melanda abang
kita terbunuh bersama-sama
kau memandangku dan kau kupandang
sedang apa yang ingin kau bilang
melalui pandang
kudengar dengan terang
kau adalah cinta pertamaku
kaulah yang mengajarku cinta
tapi jangan ajarkan aku lupa
yang tak ingin kutahu
kalau kau ingin melupakan aku
lebih baik kau membunuhku
yang kuminta adalah kematian
samasekali bukan melupakan
Catatan:
* Kopla, adalah salah satu bentuk sanjak-sanjak pandak Spanyol.
[Dari: "Coplas. Poemes de l'Amour Andalou", Edition Allia, Paris,1998].
Alihbahasa: JJ.KUSNI
[Bersambung...]
KOPLA CINTA ANDALUSIA [2]

bawalah hatiku ke sana ;


kalau mau bunuh saja, jika bisa;
tapi karena kau juga di dalamnya ,
membunuhnya kau ikut binasa.
ambillah belati kecil ini,
buka dadaku maka wajahmu
di situ kau dapati
sempurna tertata rapi.
ambillah jeruk ini, o perempuan
demi cinta kepadamu kuberikan
tapi jangan belah dengan belati
kerna jantungku di dalamnya ada.
kulempar ke langit sebuah limau
ingin tahu apakah ia berobah merah;
naik hijau dan jatuhpun hijau;
seperti harapanku warna hijau
pada laut kucari limau
tapi laut tak punya;
ke dalam air tangan kucelup
harapan memberiku rasa hidup.
kalau boleh mencintaimu
wangikan diriku dengan pandan
penghapus semerbak
cinta-cintamu semula
kau satu dan juga dua
juga tiga dan empatpuluh
kau juga bagai gereja
di mana berbondong orang tiba
pinjamkan matamu kepadaku
hingga mataku jadi empat
karena dengan dua aku tak bisa
menangiskan duka-petaka
gitar yang kupetik ini
punya mulut dan bisa bicara;
hanya yang kurang adalah mata
yang membantuku untuk menangis.
terasa ada perih di dada, ku tak tahu di mana,
lahir dari mana pun aku juga alpa;
ketika sembuh akupun lupa
penyembuhnya pun aku tak tahu siapa.

kuterjuni air
dalam sepinggang
tunanganku dibawa orang
dan dingin tiba-tiba menyusup belulang
ketidakmungkinan membunuhku
aku terbunuh oleh ketidakmungkinan;
ketidakmungkinan pun sampai tepian
ketidakmungkinan yang kurindukan.
Catatan:
* Kopla, adalah salah satu bentuk sanjak-sanjak pandak Spanyol.
[Dari: "Coplas. Poemes de l'Amour Andalou", Edition
Allia, Paris,1998].
Alihbahasa: JJ.KUSNI
[Bersambung...]
KOPLA CINTA ANDALUSIA
tiga kali pena kuangkat
tiga kali pula aku teriak
tiga kali aku tergeletak
dibanting hatiku
aku merasa sangat menderita, alangkah perihnya!
aku merasa sangat sakit dan alangkah pahitnya!
aku merasa ada paku
menancap di tengah jantungku
kepada Tuhan kupinta
untuk mengakhiri dukaku ini
Dia berkata:Ini berarti
tanpa dia kau tak bisa hidup lagi.
kalau begitu rajamlah aku, kawan-kawan;
lepaskan anjing-anjing, biarkan ia menggigitku;
gadis yang berumah di jalan ini kepadaku
ia berkata tidak mencintaiku!
tersandung aku di pintumu
terjerembab aku di jendelamu;
lalu berpegangan di kisi-kisi;
maafkan jika kau anggap aku melecehi.
agak keras memang ibuku,
o kebahagiaanku;
agak keras memang ibuku,
tapi segalanya hanya pada diriku.

perawan sepiku, perawan!


di pelukan buah jiwa
kuasa ia membuatku
meronta-ronta!
Santo Jesus penaka baja
tapi aku telah membuatnya menangis
ia menangis bagaikan baja
o, apakah juga demikian raganya?
janganlah menangis hatiku
janganlah berduka;
karena yang sudah tak lagi nyata
bagaikan tak pernah ada.

Anak Laki-laki Kecil yang Bisu


Anak laki-laki kecil itu mencari suaranya.
(Raja para jangkrik yang menyimpannya.)
Dalam setetes air
anak laki-laki kecil itu mencari suaranya.
Aku tak menginginkannya untuk kupakai bicara;
Aku akan membuat cincin dari itu
Sehingga kesunyianku bisa mengenakannya
di jari kelingkingnya.
Dalam setetes air
Anak laki-laki kecil itu mencari suaranya.
(Sang suara yang terpenjara, jauh disana.
Tersembunyi dalam pakaian-pakaian si jangkrik.)

Anda mungkin juga menyukai