Anda di halaman 1dari 5

Aku, Hujan, dan Air Mata

Sore ini hujan, bahkan hingga saat ini. Aku pergi. Tanpa payung. Aku tidak takut kehujanan dan aku
tidak takut sakit. Biarkan saja aku kehujanan bahkan hingga aku sakit. Aku ingin menemui hujan. Ya, dia
yang nanti akan menyembunyikan rahasiaku.

Kini, aku masih berjalan di tengah hujan menyembunyikan sesuatu dari sekelilingku. Tak ada yang bisa
melihatnya. Mungkin, hanya aku dan Tuhan yang tahu. Aku berjalan menyusuri jalan setapak ini
sendirian. Entah kenapa, rasanya sore ini sangat sunyi. Padahal, banyak orang disekelilingku, begitupun
kendaraan yang mudik hilir. Indah sekali sore ini. Tapi aku tidak bisa merasakan keindahannya, hanya
dapat melihat rupanya.

Ku teruskan perjalananku di jalan ini. Harus tau! Aku berhasil menyembunyikannya dari orang-orang
yang ada. Tidak ada orang yang tahu. Apakah itu? Hal-hal yang aku coba untuk sembunyikan, itu apa?
Sebenarnya hanya hal kecil, hanya sedikit yang ku sembunyikan di bawah hujan ini. Hanya tetesan-
tetesan air mata yang kusembunyikan. Di bawah hujan ini aku bebas untuk menangis, menangisi semua
yang terjadi. Berapa ratus tetes air mata yang keluar akan menyatu dengan air hujan yang tahu, tidak
akan terlihat. Sebenarnya bukan hanya karena aku menangis dibawah hujan sore ini saja semua bisa
tertutupi tapi juga karena mulutku yang terbungkam. Ya, mulutku memang terbungkam tapi jujur saja
hati ini tidak bisa terus menerus terbungkam. Ku keluarkan isi di hati yang lama tersimpan dalam
bentuk tangisan. Tapi sayangnya, ini bukan tangisan bahagia malah sebaliknya. Pasti kalian akan
mengerti tanpa perlu aku jelaskan lebih jauh.

Picture

Oh Tuhan, sampai kapan mulut ini akan terus terbungkam? Sampai kapan aku harus menyimpannya?
Sampai kapan aku akan terus menuliskannya dalam cerita-cerita ku? Kapan aku menyampaikan hal ini
pada orang lain, salah satunya dia.

Kurasa aku masih belum berani mengatakannya! Tanpa diungkap saja sudah banyak masalah yang aku
hadapi, bagaimana jikaaku ungkap semua? aku sepertinya belu siap menghadapi segala yang akan
terjadi.

Ah sudahlah, hujan nanti pasti kan turun lagi. Pasti, aku yakin. Sepanjang tahun, sepanjang masa
setidaknya hujan pasti akan turun. Berarti aki masih bisa menangis di bawah hujan, masih bisa mengadu
di bawah hujan ini.

Tuhan, jangan kau hilangkan hujan dalam kehidupanku. Biarkan aku melihat hujan. Biarkan aku berdiri
di bawah hujan. Biarkan aku menangis. Biarkan semua itu terjadi hingga waktunya.

Tak terasa puluhan kata bahkan ratusan kata telah aku tuliskan. Tubuhku terbasahi air hujan. Mulai
terasa dingin, dan aku pun menggigil. Namun aku cinta hujan ini. Cukup! Sudah cukup kata-kata yang
kuutarakan! Namun, bukan berarti hanya ini yang ku pikirkan. Tidak, masih banyak hal yang tetap ku
simpan dalam hati ini. Aku ingin tetap menyimpannya hingga aku letih untuk menyimpannya.

Hati ini sudah merasa lebih tenang. Aku pun meneduh, mencari tempat untuk berlindung dari air hujan.
Menanti hujan ini berhenti. DI wajahku, ada banyak tetesan air. Namun aku tak tahu, air hujan kah atau
air mata ku? Tak peduli apapun itu. Yang pasti aku sudah merasa tenang. Ya, cukup untuk hari ini.

"Terimakasih hujan untuk sore ini karena kau telah mengijinkanku menangis di bawahmu."
AKU, KAMU, DAN WAKTU
Hidup memang harus belajar menerima. Begitupun aku. Ya, aku Lisa Aryani memiliki
penyakit yang tergolong mematikan. Dan aku divonis bahwa hidupku tidak akan lama lagi.
Paling lama ataupun bisa bertahan yaitu kurang dari dua bulan. Aku menderita kanker otak
stadium 4, kata orang itu sih tinggal menunggu waktu.
Tapi aku sadar. Hasil vonis dokter itu belum tentu tepat. Kalaupun aku sudah ditakdirkan
meninggal sekarang pasti aku sekarang sudah tidak ada di dunia ini. Aku juga sadar, dokter itu
bukanlah malaikat pencabut nyawa bukan juga peramal. Kini aku siap, pergi kapanpun. Karena
itulah tujuan hidup yang terakhir.
Pada saat awal di vonis aku memang sudah drop. Tapi, berkat sahabatku yang kini di duduk
di sebelahku. Aku sadar apa yang di katakan Arya benar.
Ya, aku bersahabat dengan Arya. Laki-laki yang bertemu tidak sengaja karena kita memiliki
sedikit kesamaan nama. “Arya, cepetan dong! Aku mau pulang nih. Siapa suruh tadi ketiduran.”
Dia sedang menyalin catatan, karena materi ulangan besok sudah dibahas tadi dan Arya
ketiduran. Biasalah, alasannya bergadang nonton bola.
Sambil menunggu Arya berkutat dengan buku catatannya, aku mencari kegiatan lain. Baca
novel. Untung aku sempat membawa novel dari rumah. Karena biasanya pelajaran di hari Senin
suka terganggu, guru-guru jarang datang. “Bentar, bagian terakhir nih.” Jawabnya. Aku hanya
mencibir.
Dengan gerakan cepat dan mengagetkanku, dia berseru senang. “Sudah!” katanya sambil
menggebrak meja. Alhasil aku hampir melemparkan novel yang aku baca.
“Ngagetin aja sih. Yaudah beresin sekalian sama tas aku. Kamu kan pinjem catatan aku.”
Dia hanya bergaya hormat, kemudian membereskan tas milikku.
Koridor sekolah sudah mulai sepi. Tentu saja. Bel sudah berkumandang setengah jam yang
lalu. Pasti semua murid enggan bertemu dengan para penghuni sekolah lainnya. Sedangkan
aku dan Arya malah berjalan dengan santainya melewati setiap lorong kelas.
Aku dan Arya telah sampai di halte depan sekolah. Menunggu bus yang menuju ke
rumahku dan Arya. Kebetulan rumah kami satu arah, hanya saja jalan untuk menuju rumah
Arya kita harus berjalan sejauh sepuluh meter dari rumahku. Saat bus datang, Arya segera
menarikku supaya kami bisa duduk di kursi tanpa harus berdiri sambil berdesak-desakkan.
Tidak butuh waktu lama, kurang dari lima belas menit aku sudah sampai di depan komplek
rumah kita. Aku dan Arya segera turun. Di perjalanan, aku dan Arya mengisi waktu dengan
canda tawa dan bergurau. Tak terasa, kami sudah sampai di depan rumahku. “Arya, aku duluan
ya? Mau mampir dulu nggak?”
Arya hanya menggeleng sambil tersenyum, “Nggak usah. Makasih, aku langsung pulang aja.
Kamu minum obat yang rajin. Awas kalo males minum obat! Kalo kamu kenapa-napa aku pasti
susah minjem catatan Biologi.” Katanya diakhiri cengiran.
“Sialan!” umpatku namun masih tersenyum. Arya memang suka bercanda. Arya langsung
tertawa. “Kalo gitu aku masuk dulu ya. Sampe ketemu besok. Awas di jalan. Anjing barunya
Viona galak lho.” Ucapku sambil membuka pintu pagar.
Aku lihat gelagatnya sedang membenarkan tali sepatu dan memegang erat tali ranselnya.
“Do’ain aja biar aku selamat sampai tujuan.” Serunya. Aku hanya mengacungkan jempol
kemudian segera masuk setelah bayangan Arya hilang di tikungan.
Aku ingat saat Arya menghiburku dulu. Dia tampak dewasa. Tapi setelah kamu berteman
dekat, dia orangnya lucu juga. Jadi tak jarang banyak orang yang senang berteman dengannya.
Aku berdiam diri di taman komplek yang nampak sepi. Mengingat hidupku tidak akan lama
lagi. Padahal masihbanyak hal yang belum aku kerjakan, masih banyak impian yang belum aku
raih. Semua itu gara-gara sel-sel kanker yang tumbuh seenaknya di jaringan otakku. Hingga
tepukan tangan di pundakku menyadarkanku dan memaksaku untuk menoleh ke belakang.
Dan kudapati Arya tersenyum dan duduk di sebelahku. “Cengeng banget sih. Baru di ramal
kayak gitu aja udah drop.” Katanya.
“Emangnya kamu ngerasain gimana rasanya jadi aku? Nggak kan? Kamu bilang kayak gitu
karena kamu nggak tau!” jawabku dengan suara tinggi. Namun kulihat dia tetap tenang.
“Tapi kayaknya aku bakal berpikir dulu deh. Kalo aku di vonis hidup nggak lama lagi berarti
aku udah sampai ke tujuan hidup yang terakhir.” Aku mendengar dia menarik napas sejenak.
“Kamu harusnya bersyukur. Diluar sana banyak orang yang bunuh diri padahal belum
waktunya. Nah, kamu udah dusiapin waktu kapan kamu akan pergi. Jadi jangan sia-siain waktu
kamu yang singkat itu sebelum kamu bener-bener pergi.”
Aku langsung menonjok bahunya pelan. Tentu saja. Aku kan perempuan. Dan dia nampak
meringis, “Jadi kamu seneng kalo aku mati?” tanyaku kemudian cemberut.
Kudengar dia menahan tawa. “Sensitif banget sih? Emang apa yang jadi penyebab kamu
takut mati? Itukan emang tujuan hidup?” aku berfikir sejenak. Benar juga.
“Aku punya mimpi. Dan mimpi itu belum aku raih.” Jawabku.
Dia berujar lagi. “Manusia memang boleh punya mimpi. Tapi Allah juga yang menentukan.
Nih ya, kalo kamu udah di vonis hidup dua bulan lagi. Tapi ternyata kamu udah ditakdirkan
mati saat ini juga. Apa kamu bakal datengin dokter yang memvonis kamu karena dia salah
prediksi?” ternyata dia punya pikiran yang luas. Kenapa aku baru sadar sekarang kalau hidup
memang sudah ada yang mengatur?
Aku hanya menunduk. Dia berpindah posisi, kini duduk di kursi yang ada di seberangku dan
memegang kedua bahuku. “Kalo kamu emang bakal pergi secepat itu. Aku janji bakalan terus
ada di dekat kamu. Sebagai sahabat kamu. Buat ngingetin kamu biar mau minum obat. Dan
kalo memang dua bulan adalah sisa hidup kamu. Aku bakalan ada di samping kamu selama dua
bulan itu. Dan setelah dua bulan itu kamu terserah, mau terus jadi sahabat aku atau tidak.”
Ujarnya tak pernah lepas senyum yang cerah itu.
Aku hanya mengangguk. “Kamu janji, bakalan ada di samping aku selama dua bulan itu?”
tanyaku sambil mengacungkan kelingkingku.
Dia malah tersenyum sambil menautkan jari kelingkingnya dan berkata “Janji.” Jawabnya
penuh keyakinan.
Lamunanku terbuyarkan karena seruan ibuku. Kulihat ternyata waktu sudah menujukkan
pukul setengah empat sore. Aku segera mengambil air wudhu dan menunaikan Shalat Ashar.
Setelah selesai shalat, ibuku menyuruhku makan dan segera minum obat.
Hari seperti biasa. Tek terasa aku dan Arya sudah dekat selama enam minggu. Itu berarti
kami sudah dekat selama satu bulan lebih dua minggu sejak aku di vonis. Dan perasaanku tidak
tenang. Aku merasa akan ada yang hilang.
Kini giliran pelajaran Olahraga. Walaupun dalam keadaan sakit aku juga ingin dapat nilai
yang memuaskan. Untuk apa diam diri di kelas sambil menonton mereka yang tertawa lepas
itu? Kayak sapi ompong.
Namun aku rasa kondisiku sekarang sedikit lemah. Aku merasa sedikit pusing. Namun aku
menepisnya karena pusing itu sedikit berkurang. “Lis, kamu nggak apa-apa? Kalo sakit mending
nggak usah olahraga deh.” Saran Arya yang kini berjalan beriringan denganku.
Aku hanya menggeleng. “Nggak kok. Harus berapa kali aku bilang sih? Kamu jangan over
protective gitu sama aku.”
Dia hanya tersenyum sambil mengacungkan jari tengah dan telunjuknya. “Iya deh. Ampun.
Kamu kalo ngancem serem banget.”
Aku hanya menjulurkan lidah kemudian berjalan mendahuluinya.
Pelajaran kali ini bebas. Karena guru olahraga kami sedang ada keperluan. Anak laki-laki
sedang bermain basket, sedangkan anak perempuan duduk berjajar di pinggir lapangan. Tiba-
tiba bola orange itu melayang kearahku. Aku tidak bisa menghindar, karena kepalaku sakit lagi.
Dan aku tidak merasakan kepalaku beradu dengan bola. Saat kulihat, Arya berdiri
dihadapanku sambil memegang bola itu. “Kamu nggak apa-apa kan Lis?” tanya Arya, aku hanya
menggeleng sambil menahan rasa sakit di kepalaku. Aku dengar Arya berseru pada anak-anak
yang sedang bermain basket itu. “Woy, hati-hati dong! Ring-nya ada di sana bukan di sini.”
Katanya sambil melempar bola itu kepada Andri yang langsung menangkapnya dengan sigap.
“Sori. Tadi Angga nggak bisa ngeshoot jadi melenceng deh.” Jawab Andri.
Aku belum sempat melihat wajah Arya yang khawatir padaku. Kepalaku semakin sakit.
Pandanganku mulai memudar dan aku tidak ingat apa-apa lagi.
Saat aku membuka mataku yang terlihat hanya ruangan putih pucat dengan bau khas obat-
obatan. Sudah aku duga, aku berada di rumah sakit. Dan orang pertama yang aku lihat adalah
Arya yang baru saja memasuki ruangan. Dia tersenyum kearahku dan langsung duduk di kursi
samping ranjangku. “Kamu udah bangun? Bandel kan? Aku bilang juga apa, kalo sakit mending
ke UKS.” Seperti biasa. Dia langsung memberondongku dengan ucapan-ucapannya yang
melebihi kedua orang tuaku.
Aku hanya tersenyum tanpa dosa. “Sori deh. Aku kan nggak tau kalo bakal kayak gini
jadinya. Kamu nggak balik ke sekolah?” tanyaku heran karena Arya memakai kaos biasa.
“Kamu tuh. Tidur kelamaan. Sekarang udah kari Minggu.” Aku mengernyit heran. Berarti
aku pingsan selama dua hari? Lama sekali? “Udah. Lupain aja. Orang tua kamu baru saja
pulang. Jadi aku yang gantiin jaga kamu. Mereka kecapean banget kayaknya.” Aku hanya
ngangguk-ngangguk. “Kamu bosen nggak disini? Kita jalan-jalan yuk di taman Rumah Sakit?”
Aku hanya mengangguk. “Tapi, kita belum minta izin? Kalo nggak boleh gimana?” tanyaku.
“Aku baru saja dari ruangan dokter. Katanya kalo kamu udah sadar kamu boleh di ajak
jalan-jalan sekitar sini. Biar seger gitu lah.” Ujarnya. Kemudian mendorong sebuah kursi roda.
“Ayo.”
Aku hanya mendelik. “Aku nggak lumpuh kali.” Sindirku.
Dia berjalan sambil mendorong kursi roda itu. “Siapa bilang kamu lumpuh? Ini biar kamu
nggak kecapean. Percuma dong aku ajak jalan-jalan kalo ujung-ujungnya kamu kecapean lagi?”
ujarnya. “Ayo.”
Mau tak mau aku turun dari ranjang dan duduk di kursi roda itu. Arya muai mendorongnya.
Dan kita berjalan di sekitar taman Rumah Sakit ini. Sepanjang jalan aku berjumpa dengan
beberapa pasien yang nasibnya sama denganku. Bahkan ada yang kepalanya sudah bota
plontos. Tidak seperti aku, yang tidak mau ikut kemoterapi. Siapa sih yang mau? Sakit banget.
liat orang yang sedang kemo saja aku langsung merinding.
Arya mengajakku pergi ke taman. Seperti janjinya tadi, kami sedang asyik bercengkrama
dengan canda tawa dan lelucon yang meluncur dari mulut Arya.
“Arya.” Arya menoleh ke arahku karena namanya dipanggil. Dengan tatapan bertanya.
“Ada apa?” aku juga bingung harus bilang apa.
“Udah enam minggu lebih.” Arya seakan mengerti maksudku. Dia langsung mengangguk
kemudian jongkok di samping kursi roda-ku.
Dia menepuk bahuku pelan. “Kan aku udah bilang. Umur kita udah di atur. Kamu nggak
usah takut. Kamu harus siap kapanpun kamu mau pergi. Tapi kamu juga harus semangat untuk
sembuh.” Aku hanya mengangguk. Arya memang benar. Walaupun aku menangis selama dua
minggu ke depan. Sisa hidupku tidak akan berubah. Dan semua sudah ditakdirkan oleh Allah.
Tiba-tiba Arya berkata lagi. “Aku udah hampir tepatin janji aku. Buat jagain kamu selama
dua bulan.” Ujarnya. Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Iya. Tapi kamu nggak bakal lupain aku kan kalo setelah dua bulan ini aku pergi?” tanya ku.
Dia menggeleng.
“Aku nggak bakal lupa sama kamu. Tapi aku yang takut kalo kamu yang bakalan lupa sama
aku.” Jawabnya. “Aku juga nggak bisa janji kalo setelah dua bulan itu kamu bisa bertahan aku
bakal jagain kamu terus.” Lanjutnya sambil berdiri dan mulai mendorong kursi rodaku.
“Aku nggak bakal lupain kamu kok. Kamu sahabat terbaik aku. Aku nggak bakalan maksa
kamu terus jagain aku. Soalnya aku nggak mau ngerepotin kamu. Aku juga bakal mandiri dan
nggak bergantung sama orang terus.” Dia mengangguk. Kamu mulai meninggalkan taman
Rumah Sakit yang mulai ramai karena hari sudah siang.
Aku sudah keluar dari Rumah Sakit beberapa hari yang lalu. Dan sekarang sudah dua bulan
aku bertahan bersama Arya. Aku baru saja pulang dari sekolah. Aku hanya pulang sendiri
karena Arya ada kegiatan di Sekolah. Hari ini langit nampak gelap. Tak berapa lama gerimis
mulai membasahi bumi. Tiba-tiba suara petir menggetarkan kaca di setiap ruangan. Membuat
perasaanku sedikit gelisah. Aku langsung mondar-mandir tak jelas.
Sudah hampir 30 menit aku duduk di kursi dekat jendela. Aku langsung menelpon Arya.
Namun nihil. Nomornya tidak aktif. Jelas saja tidak aktif. Petir diluar sana masih bersahut-
sahutan. Harus terima resiko kalau mau menerima telepon disaat seperti ini. Mungkin hanya
aku yang terlalu nekat.
Tiba-tiba telepon rumah berdering. Aku segera mengangkatnya karena di rumah sedang
sepi. Penghuninya mungkin sedang berteduh karean hujan diluar sana membuat mereka
enggan untuk pulang.
Aku berdiri di gundukan tanah merah yang masih basah itu. Hujan belum juga reda dari
kemarin.
Mataku terus terpaku pada nisan yang bertuliskan nama sahabatku. Arya. Dia kini
tertimbun tanah merah itu. Ya, dia pergi. Dia pergi lebih dulu dariku. Takdir memang sulit
ditebak.
Kemarin aku dapat kabar dari kedua orang tuanya bahwa Arya tertabrak mobil setelah
selesai kegiatan dan dia tertabrak saat sedang menyebrang jalan menuju warung yang ada di
seberang sekolah. Hingga tadi malam. Tepat pada pukul duabelas dia menghembuskan nafas
terakhirnya. Aku masih ingat apa yang ia katakan.
“Arya. Kamu nggak apa-apa kan?” dia hanya menggeleng lemah dengan alat-alat
kedokteran yang terpasang di bagian tubuhnya.
“Harusnya aku yang nanya. Kamu nggak apa-apa kan?” aku hanya menggeleng. Suara
mengerikan itu terus saja berbunyi. Suara yang mendandakan bahwa jantung Arya masih
berdetak. Tapi aku bersyukur karena suara itu masih berbunyi secara teratur. “Maaf Lis.
Kayaknya aku nggak bisa tepatin janji aku buat terus jagain kamu. Kamu baik-baik ya. Jangan
nangis. Masih banyak orang yang peduli sama kamu. Kamu juga harus berani hadapin
semuanya. Aku udah tepatin janji aku buat jagain kamu dua bulan ini. Semoga setelah ini kamu
bisa lebih kuat hadapin semua cobaan. Aku sayang kamu, karena kamu sahabt terbaik aku.”
Suara mengerikan itu berteriak nyaring. Kulihat layar monitor menunjukkan garis lurus.
Senyuman Arya pun perlahan memudar seiring dengan matanya yang mulai tertutup rapat.
Aku harus kuat. Ini takdir. Semoga kebaikan Arya terbalaskan.
Perlahan aku meninggalkan gundukan tanah basah itu. Cengkramanku pada payung ini
semakin erat. Aku takkan melupakanmu Arya. Aku akan selalu mendo’akanmu disini. Terima
kasih atas semuanya. Atas ribuan semangat yang kamu berikan kepadaku. Atas sandaran yang
selalu kamu berikan kepadaku. Semoga semuanya terbalas. Aku yakin, Allah adalah hakim yang
adil.
Teringat di saat kita tertawa bersama
Ceritakan semua tentang kita

ada cerita tentang aku dan dia


dan kita bersama saat dulu kala
ada cerita tentang masa yang indah
saat kita berduka, saat kita tertawa

>TAMAT<

Anda mungkin juga menyukai