Anda di halaman 1dari 5

ANALISIS CERPEN KOMEDI SI BUGIL DAN SPANDUK LUSUH

KARYA AHMAD TOHARI

Muhammad Najib

0831-2715-1351

najibsrg@hmail.com

Muhammad.najib16@mhs.uinjkt.ac.id

Analisis dari cerpen berjudul Komedi Si Bugil dan Spanduk Lusuh karya Ahmad
Tohari akan saya telaah dari segi intrinsik cerpen terlebih dahulu, cerpen ini berisi tentang
sebuah kritik terhadap fenomena politik yang terjadi di Indonesia, politik digambarkan oleh
sebuah spanduk dan diwakili oleh satu organisasi politik pada cerpen tersebut. Spanduk
berpajangkan simbol sebuah organisasi yang dipilh seorang wanita tidak waras sebagai
penutup tubuh yang akirnya menuai perhatian. Terdapat tiga tokoh penting dalam cerpen
tersebut. Sontokliwon, sosok anak muda yang digambarkan dalam cerpen sebagai satu
pandangan atau sebuah paham dalam masyarakat ketika dihadapkan oleh kejanggalan politik
yang ada. Sontokliwon yang senang pada musik dan biduan dangdut di desanya menunjukkan
ia adalah sebagai sebuah simbol kultur dari satu daerah atau masyarakat pada umumnya.

Sisi psikologis Sonto diajdikan acuan bahwa satu pandangan terhadap fenomena
politik sangat ditonjolkan. Secara umum tokoh Sonto lebh dominan ditunjukkan oleh sisi
psikologis meskipun di awal ada deskripsi fisiologis dari sosok Sonto. Pandangan Sonto
terhadap sebuah nilai yang memandang kesucian ideologis seseorang tergambar dari sosok
penyanyi-penyanyi dangdut yang ia temui, berlenggak-lenggok dengan tanpa adanya
kerumitan politik, dan akhirnya ternoda oleh kejadian seorang bugil yang menempelkan
spanduk partai atau organisasi di tubuhnya. Keindahan perempuaan seakan menjadi dogma
yang ia pahami dan ia anut sebagai keindahan tubuh yang dimiliki perempuan berubah
menjadi sebuah komedi pada dirinya, lelucon yang ia jadikan kritik terhadap fenomena
politik yang ia alami.

Citra yang muncul dari seorang Sonto menunjukkan hubungan manusia terhadap
masyarakat, hubungan manusia dengan manusia lain, bahkan dengan alam. Kaitannya
terhadap hubungan dengan dirinya sendiri apakah benar bahwa Sontokliwon adalah sosok
apatis yang dirundung kebimbangan dalam memandang fenomena politik yang bahkan
menganggap itu adalah sebuah pertunjukan dan sebuah komedi baginya. Rumit memang
ketika kita ingin mengetahui keberpihakan ide seorang tokoh yang disajikan pada sebuah
narasi. Namun meskipun begitu, pada akhirnya sosok Sonto membanting kemudi terhadap
sebuah pandangan atau anggapan bahwa politik adalah hiburan semata dan komedi menjadi
sesuatu yang seharusnya dianggap rumit oleh masyarakat.

Sosok Sontokliwon menjadi penting karena ia adalah sosok pengamat, pengamat


cerita atau tokoh lain dapat dijadikan landasan dari sebuah penafsiran cerita yang disajikan,
meskipun tidak adil karena yang diambil hanya dari satu tokoh dan bukan pencerita,
melainkan yang diceritakan namun ia mengamati peristiwa atau fenomena yang ada di
depannya. Setiap tuturnya dapat mengubah cara pandang pembaca terhadap masalah yang
ada pada cerpen tersebut. Kelihaian Ahmad Tohari dalam merumuskan sudut pandang author
dan narator pada karyanya. Kita agak terkecoh pada sosok Sonto, apakah ia sosok apatis yang
memandang bahwa politik hanya sebuah komedi atau lelucon, atau mungkin ialah sebagai
sosok Ahmad Tohari yang secara implisit mengkritik fenomena politik yang terjadi. Pada
siapa dan di mana ia mencantumkan kritiknya, pertanyaan retoris seperti itu akan membantu
pembaca sebagai acuan dalam memahami jalannya cerita atau masalah pada cerpen tersebut.

Judul Komedi Si Bugil dan Spanduk Lusuh saya rasa sangat pas mewakili kritik
terhadap fenomena politik. Entah apa yang menjadi lelucon, politikah atau golongan
masyarakat yang taqlid terhadap dunia politik yang ada di Indonesia. Ketaqlidan
dimunculkan oleh sosok perempuan bugil, perempuan yang dengan bangga mengaitkan
spanduk partai atau organisasi ditubuhnya, taqlid dan merasa bangga terhadap apa yang ia
kenakan, apa yang ia tempati pada cerita. Meskipun memang sosok perempuan digambarkan
sebagai seorang yang tak waras. Namun, ide tersebut yang membuat cerpen ini menarik dan
berpeluang memunculkan berbagai penafsiran pada cerita.

Penafsiran terhadap sebuah jalannya cerita lagi-lagi menjadi sesuatu yang vital. Entah
bagaimana menafisrkan masalah pada cerpen ini, namun kita dapat mencobanya dari sikap
masing-masing tokoh. Sosok Cakil memang sudah jelas berpihak kepada simbol apa dan
pandangan apa, ia adalah simbol otoriter dari jalannya politik, golongan aktif politik,
mempunyai visi dalam cerita dan berpegang pada ideologinya selama ini. Mencintai
organisasi melebihi kemanusiawiannya. Sosok Cakil dianggap sebagai tokoh rival dari Sonto,
perbedaan pandangan digambarkan dari beberapa dialog, Cakil yang menuntut kehormatan
organisasinya menunjukkan keberpihakan yang kuat dari dalam dirinya. Cakil juga dianggap
sebagai masalah politik yang hadir dalam cerpen tersebut.

Masalah politik sangat menonjol, karena acuannya tergambar oleh Cakil, sosok
bercelana loreng kebanggaan partai yang merenggut kebahagiaan sosok perempuan bugil
yang menari bak pengantin baru. Sosok perempuan bugil yang menari-nari juga saya rasa
menyiratkan pada kepolosan masyarakat yang bangga akan apa yang ia percayai, meskipun
apa yang ia percayai merenggut kesejahteraannya pada akhirnya.

Membahas tokoh satu persatu memang menarik, namun mari saya ajak untuk
membahas kebahasaan dari cerpen ini. Cara menceritakan masalah menggunakan bahasa atau
kajian sempit dalam alurnya, satu kejadian yang diceritakan dalam waktu yang lumayan dan
menjadi rumit. Secara narasi ia bercerita dalam sinkronik, menceritakan satu kejaadian
dengan mendalam, satu peristiwa, satu waktu, san satu masalah. Mungkin juga karena
bentuknya cerpen yang membuat Ahmad Tohari menyajikannya seperti ini. Latar dan setting
tidak terlalu menonjol pada cerpen tersebut, yang kuat dalam cerpen tersebut adalah latar
spiritual yang dihadirkan dari masing-masing tokoh untuk menyimpulkan masalah dalam
narasi tersebut.

Sikap-sikap tokoh lebih dominan ditunjukkan oleh beberapa dialog yang jelas
membuat pembaca menafsirkan rivalitas antartokoh. Pertanyaan-pertanyaan retoris yang
tercantum juga membuat pembaca memiliki banyak penafsiran pada masalah yang ada dalam
cerita tersebut, seperti pada kutipan:

“Di kampung kami para perempuan dan gadis menyukai iklan dengan model
artis cantik yang tubuhnya hanya bertutup lilitan handuk. Kakinya hampir terbuka
penuh. Di atas, dadanya juga setengah terbuka. Syahdan, apakah Si Bugil yang
terlantar itu juga ingin secantik model iklan? Apakah dia pernah mengalami suatu
masa menjadi perempuan normal yang tentu ingin secantik artis? Seorang gadis
kampung kami muncul...”

Pandangan dan penafsiran yang majemuk dari masalah yang ada dalam cerpen tersebut
menjadi daya tarik tersendiri, kita juga diajak untuk masuk ke dalam sudut pandang dan
kepercayaan dari masing-masing tokoh. Karena apa yang dipercayai tokoh juga menjadi
kemudi dalam memahami cerita.

Setelah membahas unsur-unsur pembangun cerita, saya akan baralih ke isi cerita.
Sekali lagi saya sampaikan bahwa cerpen ini berpotensi memunculkan pemahaman yang
majemuk, kerumitan dalam memahami isi ceritanya berada pada tingkat yang tinggi.
Pengemasan yang rapi sehingga tak menyiratkan apa yang coba diungkapkan Ahmad Tohari
amat sukar ditemukan.

Cerpen ini berisikan kritik politk, kritik politik yang mengedepankan fanatisme dari
setiap anggotanya. Para pegiat politik digambarkan sebagai sosok keras yang mengabaikan
kemanusiaan. Merenggut kebahagiaan pengikutnya secara perlahan, tidak ingin direndahkan
di mata masyarakat, tetapi merendahkan masyarakat. Sosok Cakil mewakili keseluruhan
buruknya otoriter politik di negeri ini. Ketaqlidan yang ada juga menambah polemik
masyrakat yang hanya tau siapa pemimpinnya, bukan bagaimana pemimpinnya.

Dobrakan terjadi pada Sonto, sosok yang mengamati fenomena tersebut, fenomena
politik yang mungkin ia anggap sebagai lelucon, juga sebuah peralihan pandangan yang
mengubah semuanya. Mengubah mindset ia sebagai pengamat, kepolosan terhadap sesuatu
yang indah berubah menjadi tak indah karena bercampur dengan aroma politik yang ia lihat.
Masalah kemurnian yang ia anggap hal yang menarik, jika sudah bercampur dengan politik
akan menjadi hal yang rumit dan menyusahkan, karena alasan tersebut banyak masyarakat
yang menjadi apatis terhadap keadaan politk.

Kritik yang ada saya rasa bermacam-macam dan ditampilkan dari masing-masing
tokoh. Sosok Sontokliwon mengkritik sikap apatis yang salah, bahwa sebab kebutaan terhadap
politik disebabkan sikap apatis tersebut. Sosok perempuan bugil juga menonjolkan sikap taqlid
masyarakat terhadap politik, kepolosan yang ada justru hanya akan merenggut kebahagiaan
mereka yang taqlid. Sosok Cakil mewakili sebagian besar kritik, sosok yang mengabaikan
kemanusiaan, menganggungkan apa yang ia geluti, fanatisme berlaku pada sosok Cakil.

Ahmad Tohari mencoba menghadirkan multiproblem dan multicritism, namun


subjektivitas saya lebih memposisikan Ahmad Tohari ke dalam tokoh Sonto, ia menganggap
kerumitan politiklah yang membuatnya menjadi sebuah lelucon, karena jika mengurusi politik
tidak akan ada habisnya, cukup duduk manis mengamati, bukan tanpa alasan menjadikannya
sebuah lelucon. Hal tersebut dikarenakan peristwa politik yang mengubah kepercayaannya
dari indahnya sesuatu yang dirusak politik.
Daftar Pustaka

A. Teeuw. 1984. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tasai, S. Amran, dkk. 1997. Citra Manusia dalam Novel Indonesia Modern 1920-
1960. Jakarta.: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan Kebudayaan Jakarta.

Welleck, Rene dan Austin Warren. 1889. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai