Anda di halaman 1dari 3

Analisis Puisi

Hanyut Aku Karya Amir Hamzah

Muhammad Najib

Amir Hamzah merupakan jembatan sastra Melayu dan sastra modern, ia bahkan disebut sebagai
“Raja Pujangga Baru”, bentuk puisinya yang memadukan sastra Melayu dan sastra modern
merupakan langkah awal ia bersuara. Puisi Hanyut Aku merupakan refleksi bentuk puisi baru, puisi
dengan tidak mempertimbangkan bait, puisi tersebut keluar dengan tipografi dinamis. Bentuk puisi
dengan bait acak seperti ini sebenarnya pernah ia terapkan pada puisinya dalam Nyanyi Sunyi.1 Pilihan
kata perkata yang Hamzah gunakan mempunyai konotasi mendalam, pilihan judul Hanyut Aku pun
sukar dipahami, namun ciri khasnya memilih frasa kepedihan dapat membimbing pembaca dan
penafsir ke arah garis lurus dengan apa yang coba puisi sampaikan.

Induk sastra Melayu yang melekat pada dirinya tentu membuat pola pikir tutur yang sejalan
dengan bahasa kebudayaan Melayu, perihal kosa kata Melayu yang selalu ia sisipkan dalam sajak-
sajaknya adalah darah yang harus ia bawa dari sastra Melayu. Mengacu pada sastra modern namun
tidak keluar dari sastra Melayu, dan memadukan keduanya. Meskipun begitu, pada puisi Hanyut Aku
tidak nampak makna yang berasal dari kata Melayu lama, melainkan bahasa Indonesia yang dikenal
masyarakat umum.2 Rima yang digunakan pun tidak terikat pada puisi lama, ia menyelaraskan rima
hanya pada baris satu dan dua. Rima yang ia gunakan adalah perpaduan puisi lama dan puisi baru,
ditunjukan dengan pengalihan bunyi rima di bari ketiga.

Gaya idealis yang pekat dalam Amir Hamzah terbawa pada kalimat Bumi di bawah menolak ke
atas, dilanjut baris berikutnya yang berbunyi Mati aku, kekasihku, mati aku! Kalimat tersebut
menunjukkan pengukuhan apa yang ia percayai mengenai penolakan dan kesedihan. Selain dikenal
sebagai penyair romantis dengan karya-karyanya, ia merupakan salah satu tokoh sastrawan sufi, hal
tersebut memengaruhi pemilihan kata dan makna dalam puisinya, termasuk puisi Hanyut Aku.

Berbeda dengan karyanya yang identik dengan Malayu, puisi ini menyisipkan kata yang berasal
dari bahasa Jawa, kata “Ngelak” yang berarti dahaga atau haus. Memang tidak dipungkiri jika Amir
Hamzah mampu memasukkan kata tersebut, hal itu disebabkan oleh dialek Jawa yang ia kuasai
semasa besar di Jawa. Intrinsik lain yang kontras dari puisi “Hanyut Aku” yakni pencitraan pada
penglihatan, pendengaran, dan perabaan pembaca dan penafsir, ditunjukkan pada “Sunyinya
sekelililngku! Tiada suara kasihan” yang merupakan citra pendengaran, lalu ditambah citra
penglihatan “Bumi di bawah menolak ke atas”, dan citra perabaan yang ditunjukkan oleh “Langit
menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam”.

Ekstase mistis, mungkin yang dapat saya bayangkan ketika Amir Hamzah mencoba memberikan
pengalaman spiritual kepada penafsir melalui sajaknya. Ekstase mistis adalah jangkauan atau obsesi
terhadap keadaan mutlak pada Tuhan dan menganggap kedekatan diluar manusia biasa. 3 Landasan ini
yang cocok dengan penyair Amir Hamzah yang dikenal sebagai penyair sufisme. Amir Hamzah
dikenal sebagai penganut tarekat, meskipun dikenal dengan gaya romantis atas kepedihan, kerinduan,
dan kesepian, bukan lain hanya untuk menunjukkan kekagumannya pada Tuhan yang ia percayai.

1Amir Hamzah, Nyanyi Sunyi. (PT. Dian Rakyat: Jakarta). 1978 . hal. 5
2 Abdul Hadi. Gema Sastra Sufi Melayu dalam Sastra Indonesia Modern. ( Horizon: Jakarta), 2008. Hal.15
3 P. Louis L. Dunia, Manusia, Tuhan. (Kansius: Yogyakarta), 2008. Hal. 246
Perihal “Hanyut Aku”, sepintas memang tema cinta, cinta yang tak sampai. Tidak salah memang,
mengingat isu penyebab mengapa ia menulis saja berjudul “Hanyut Aku”, ia menulis ini dengan dasar
kecintaannya pada kekasihnya yang bernama Iik Sundari. Kasus perjodohan yang melatari kesedihan
dan hanyutnya ia dalam dogma yang ia rasakan kala itu. 4 Petualangan asmara yang cukup untuk
mempercayai penafsiran tersebut. Berpaling dari asmusi tersebut, saya menafsir dari sisi berbeda,
yakni melihat Amir Hamzah sebagai seorang penyair sufi.

Ungkapan Abdul Hadi mengenai Amir Hamzah, bahwa ia adalah penyumbang aliran sufisme
pada sastra Indonesia memang diperlihatkan melalui karya Amir Hamzah yang lain. 5 Estetika religius
selalu ia jadikan rujukan pokok puisi yang ia ciptakan, seperti “Padamu Jua”, karya interpretasi pada
cinta ilahi, bukan cinta biasa. Cinta yang begitu dekat, bukan lagi sebagai hamba tatapi kekasih
Tuhan. Pendekatan pragmatik karya lain Amir Hamzah cukup memenuhi alasan saya menentukan
tema religius atau spiritual Amir Hamzah pada puisi “Hanyut Aku”.

Pada akhirnya pendekatan semiotiklah yang membantu saya menemukan makna yang menjadi
praduga saya pada puisi ini. Kecurigaan yang sama terhadap puisi-puisi sebelumnya yang menyatakan
bahwa puisi ini adalah puisi rohani. Pengaharapan cinta yang tak sesuai membuat ia berpaling pada
hakikat cinta, yakni cinta pada Tuhan. Judul sajak sudah mampu memberikan terapi serius pada
pembaca, dalam dan membunuh, membunuh konotasi liar penafsir pada puisi ini. Keterlenaan tokoh
lirik pada puisi tersebut yang hanya mengahsilkan dahaga pada cinta dunia sehingga lupa pada
hakikat cinta.

Tak sampai terpuruk saja, ia juga mengharap uluran tangan dari Maha kuasa atas apa yang
menimpanya, semiotika yang berasal dari kutipan:

Ulurkan tanganmu, tolong aku

Sunyinya sekelililngku!

Potongan sajak ini menunjukkan permohonan bantuan kepada Tuhan dengan memulai menenangkan
batinnya, kalimat “Sunyinya sekelilingku” adalah bentuk kesepian mendalam yang ia rasakan. Begitu
sunyi tak ada yang mendengar rintihan meminta tolong darinya. Tanda lainnya adalah kutipan:

Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati,

tiada air menolak ngelak

kesepian yang ia rasakan, sehingga angin enggan berembus memberikan suara desirnya, bahkan tak
ada yang mampu menghilangkan rasa hausnya. Rasa haus yang ia alami karena terjebak dalam
kondisi sekarat. Hanyut dalam kesedihan dan berharap ada sesosok penolong yang mampu
mengeluarkannya dari tempat gelap, kegelapan yang menenggelamkannya. Seperti kutipan
berikutnya:

Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam

Tenggelam dalam malam

4 PDS H.B. Jassin, Tokoh dan Peristiwa Amir Hamzah, Jakarta, 1989. hal. 4
5 Abdul Hadi, Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas: Esai-Esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. (Matahari:
Jakarta), 2004. Hal. 49
Malam begitu gelap, bahkan ia tenggelam dalam gelapnya malam, keterpurukan dalam
keterpurukan. Lebih terpuruk dan sepertinya akan menjadi paling terpuruk. Saya meyakini setiap kata
yang digoreskan dalam puisi ini memiliki kekuatannya masing-masing, konflik yang meningkat dari
baris pertama begitu saya rasakan, dan berakhir dengan klimaks kepedihan tidak ada tempa yang bisa
menerima keterpurukannya dan akhirnya membantunya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hadi, Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas: Esai-Esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa.
(Matahari: Jakarta), 2004.
Hadi, Abdul. Gema Sastra Sufi Melayu dalam Sastra Indonesia.( Modern. Horizon: Jakarta). 2008.

Hamzah, Amir, Nyanyi Sunyi. (PT. Dian Rakyat: Jakarta). 1978 .


P. Louis L. Dunia, Manusia, Tuhan. (Kansius: Yogyakarta), 2008.
PDS H.B. Jassin, Tokoh dan Peristiwa Amir Hamzah, Jakarta, 1989.

Anda mungkin juga menyukai