Asarpin
http://asarpin.blogspot.com/
Setiap yang saya lakukan harus ada rasionalisasinya… Sebab saya tak mau terombang-
–AFRIZAL MALNA, dalam esai ”Proses Kreatif”, dimuat dalam bagian akhir buku
Untuk membuat sebuah lukisan, tak perlu harus menggunakan kuas dengan cat aneka warna.
Penyair bisa melukis lewat sajak ke dalam benak pembacanya melalui perkakas bernama
pembaca.
Afrizal Malna, penyair yang muncul pada awal 1980-an ini, termasuk salah satu penyair yang
dengan intens membuat puisi bagaikan melukis dengan kata-kata. Ia berusaha menyuguhkan
Sejak buku himpunan puisi Arsitektur Hujan, sudah tampak kecenderungan penyair ini untuk
melukis melalui struktur kata dengan logika bahasa yang tak biasa. Bahkan pada bagian akhir
buku ini terdapat sebuah indeks yang mengingatkan kita dengan dunia lukisan. Di sana
Afrizal berusaha menorehkan lukisan kata-kata dengan mengambil spirit wastu, juga seni
rupa.
beberapa sajak cenderung menggunakan apa yang oleh Sitok Srengenge pernah disebut
sebagai ”logika sungsang”. Sitok mengambil contoh puisi terbaru Afrizal, Lemari tahun
1957. Dalam puisi ini Afrizal berkali-kali membolak-balik logika berbahasa dengan
memasukkan kata-kata benda sebagai pengganti. Tak heran kalau bahasanya menjadi rancu,
bahkan terkadang salah diterjemahkan sebagai bentuk hiperrealitas, entah disengaja atau
memang tidak tahu. Misalnya, Afrizal menulis: “Aku harus memilikinya untuk menyimpan
pakaianku. Kalau tidak, pakaianku akan berkarat, akan tidak bisa ilalang, akan tidak bisa
Dalam sajak lirik itu, kata Sitok, sang penyair mula-mula menyebut pakaiannya berkarat
sesuai logika bahasa yang menggunakan kata sifat. Namun di kalimat selanjutnya, Afrizal
sudah bereksperimen liar cum rancu, sambil mengganti kata sifat dengan kata benda
Eksperimen bahasa yang sama juga terlihat dalam puisi 1 meter ke kiri, saat Afrizal menulis
Sepatu yang kupakai sudah berbau 1 meter. Alih-alih menggunakan kata sifat seperti busuk
atau buruk, Afrizal memilih menggunakan 1 meter yang notabene adalah kata keterangan
jarak. Ada beberapa penanda bilangan atau angka dalam puisi-puisinya yang sempat saya
identifikasi, di antaranya: “1 menit dari halaman rumahku”, “500 meter dari bahasa yang
telah kau campakkan”, “karikatur 15 menit”, “biografi Yanti setelah 12 menit”, “pulogadung
dari peta 15 menit”, ”cerita dari tata bahasa 16.000 liter minyak tanah yang berjalan di
depanku”, 16.000 liter jadi lehermu, 16.000 liter minyak tanah mulai mencium bau
warganegara”, ”cerita dari 2 hijau”, ”5 sentimeter dari kiri”, dan sebagainya. Semua itu
Afrizal memang reseptor yang cenderung banyak menerima sinyal angka-angka dan bilangan
ketika ia merasa bahwa hidup dalam ruang dan waktu bagaikan hidup dalam logika yang
terukur. Sementara yang tak terukur bisa membuat hidupnya terombang-ambing tak tentu
tuju. Inilah dasar pemikiran tepat dan logis yang disebut Aristoteles principium identitatis—
setiap hal adalah yang identik dengan dirinya: x = x sehingga menjadi satuan yang
memungkinkan pengukuran dan hitungan. Ruang yang tak bisa diukur rupanya tak menarik,
Gejala meteran dalam puisi Indonesia mungkin hanya terdapat dalam sajak-sajak Afrizal
Malna. Dan setiap kali saya bertemu puisi yang di dalamnya mengandung angka-angka, saya
sering bertanya: apa yang dimaui Afrizal? Gejala apa ini? Kegagapan? Kebuntuan? Main-
Ah, semua itu bisa benar tapi juga bisa juga salah! Mengapa pula saya harus berpusing-
pusing. Sebab puisi-puisinya sudah jelas diniatkan sebagai terapi kejut melalui angka atau
huruf dan kata yang tak jarang menerabas logika berbahasa. Sekuat tenaga ia berusaha
Pada kecenderungan semacam ini, saya menaruh ”curiga” dengan wawasan puitik Afrizal:
jangan-jangan penyair ini begitu dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, terutama lewat
fenomenolog Jerman, Edmund Husserl. Kita tahu, salah satu buku Husserl yang terkenal dan
banyak dirujuk, adalah The Origin of Geometry.
Huserl senantiasa membayangkan adanya suatu kebenaran ilmiah yang terdiri atas beragam
objek yang satu sama lain mencerminkan keutuhan dan kepaduan seperti layaknya sebuah
geometri. Kita tahu, geometri adalah salah satu disiplin matematika yang mempelajari ukuran
Hanya saja, sajak-sajak Afrizal lebih mencerminkan ”geometri ruang imajiner” di mana
setiap kata atau angka memiliki logika yang koheren dan integral. Oleh karena itu sajak-
sajaknya seringkali memperlihatkan wawasan geometri ruang yang beroposisi dengan dunia
kehidupan kaum mistik. Bahkan dapat dikatakan: sajak-sajak Afrizal adalah musuh bagi
kaum sufi.
***
Mengaitkan wawasan estetik Afrizal dengan dunia geometri, saya kira bukan hal yang
berlebihan. Sebab berdasarkan pengamatan terhadap gejala-gejala yang muncul dalam sajak-
sajaknya, di sana terdapat relasinya dengan dunia filsafat, mulai dari aliran eksistensialis,
Puisi-puisi barunya memang terlihat lebih banyak ”main-main” dengan dunia gagasan
melalui kehadiran kata dan makna, citra dan kata, atau suara dan arti. Nadanya sering kali
terasa amat lamban, bahkan nyaris tanpa nada. Kata-kata berusaha disampaikan dengan nada
rendah, bahkan amat rendah hingga serupa ”nada bertingkah mati” (untuk meminjam istilah
Iwan Simatupang).
Antara tuntutan pekerjaan solider dan sifatnya yang soliter, sama-sama menghasilkan puisi
dengan pintu yang banyak. Ketika kita berusaha mengejarnya dari pintu depan, ia keluar dari
pintu belakang. Kita lari ke belakang, ia melintas ke pintu samping, dan seterusnya, dan
seterusnya. Kedua sifat itu mengalami bentrokan di kepalanya. Dan itu terasa juga setelah
kita selesai membaca sajak-sajaknya yang menyempal dan tidak lazim itu. Bahkan, beberapa
kali saya berjumpa dengan tokoh-tokoh yang terlampau kenyang digasak modernisme hingga
melahirkan kepribadian sulawan, temperamen yang begitu sensitif, pikiran gambar yang
rusuh dan berkecamuk, sebagaimana banyak orang alami ketika hidup dalam dunia soliter
dan solider.
Konon, salah satu tanda munculnya gejala skizofrenia dalam puisi adalah karena di dalamnya
mengandung pengalaman kenikmatan estetik, atau gairah yang mengalami suatu pikiran aktif.
mempertahankan diri terhadap kecemasan yang timbul akibat konflik antara kebutuhan untuk
menyendiri dan kontak dengan orang lain. Gejala ini bisa jadi merupakan salah satu penanda
tentang kepribadian skizofrenik yang paling menonjol dalam puisi. Hal ini terasa sekali sejak
buku himpunan puisi Mitos-Mitos Kecemasan, di mana kondisi psikologis sang tokoh begitu
Kata-kata tampil dengan larik-larik tak beraturan, kadang berbenturan. Ribut Wiyoto pernah
menyorot tema skizofrenia dalam sajak-sajak Afrizal, terutama ketika bertemu larik-larik
yang menonjolkan pengucapan skizofrenik. Sebut misalnya puisi Dalam Gereja Munster, di
Sajak di atas tidak anti-lirik. Hanya saja kata-katanya tampak mengayun dengan ringan tapi
dengan bobot yang diperhitungkan. Mungkin itulah situasi ketika bahasa bertemu dengan
pengalaman skizofrenik. Situasi delusi muncul seketika, spontan dan tak terbendung.
Metafor-metafor dalam wujud benda-benda urban yang ditakik dari berbagai kota besar di
Indonesia dan Asia, menjadi bahasa tubuh yang kena kendati tak selalu enak dibaca.
Sebagian pembaca puisi Afrizal tak jarang dibuat gamang. Bahkan nyaris mengalami situasi
yang sama mencemaskan dengan suasana yang diekspresikan sang penyair. Puisi bertajuk
Mitos-mitos Kecemasan, Migrasi di Kamar Mandi, dengan mudah dikaitkan dengan puisi
ruang dalam situasi yang gawat dan gamang dalam mempersepsi laju modernitas yang telah
Afrizal telah menempatkan dirinya sebagai sang pelukis kata-kata dengan dunia serba-
migrasi: dari migrasi ke kamar mandi ke migrasi ruang tamu, dari dekorasi eksterior ke ruang
interior, dari indoor ke outdoor, dari bandar ke pedalaman, dan berbagai dunia traveling yang
asyik menyusun dunianya sendiri. Migrasi model ini mungkin akan dianggap kembali ke
Berbagai motif klasik juga mewujud dalam kehendak sang penyair untuk kembali ke mitos
purba sebelum ada manusia. Menakik kata dari benda-benda, mulut kera, embik kambing,
suit bekantan, salak anjing, dan berbagai mitos yang sering tak terjamah. Motif-motif mitos
yang ditransformasi dalam sajak-sajaknya, umumnya, masih tersimpan rapat dalam tabung
bawah sadar. Betapa pun tajamnya penciuman terhadap motif-motif yang dihadirkan sang
penyair, kita hanya sampai pada motif itu sendiri dan tak pernah sampai pada maksud yang
sebenarnya.
Bukan rahasia lagi jika tiap-tiap penyair atau seniman menginginkan agar ciptaannya dapat
dikenal oleh sejumlah manusia yang sebanyak mungkin. Afrizal tak bermaksud untuk tak
dikenal khalayak dan sengaja menggelapkan sajaknya agar tak mendapat apresiasi. Justru
karena beberapa sajaknya bermain di wilayah antara gelap dan gumun, maka ada tantangan
sendiri bagi kritikus untuk menakwilkan kandungan kemaknaan motif-motif sajaknya. Motif
yang sering kali masih terbalut dalam daun rimbun kata, diksi, citra, suara dan imaji.
Dalam puisi Sebutir Telur Di Belakang Punggungku, Afrizal bicara tentang kota yang intim
dalam bentuk kisah dan cerita yang sugestif tentang dua orang sahabat yang berlainan tradisi,
yang tinggal di kota yang mencemaskan penghuninya. Kata-kata hadir dengan gerak-diam
sepatumu, putih melulu, putih melulu” atau ”kita hanya mengenang manusia, dari kota-kota,
Apa hubungan antara kepiting yang sedang menggali lubang di dalam pasir dengan pantai
seperti sepasang kelopak mata? Tak ada jawaban jika melulu yang kita cari adalah makna
secara konotatif. Karena setiap sepatah kata tak saling terkait, baik antara dialektika makna
Dalam hal penggunaan kata, ada kecenderungan penyair ini untuk melakukan dissonansi
warna model seni lukis. Afrizal berhasrat mengubah kata-kata menjadi benda-benda, ruang,
waktu, cahaya dan kebisuan. Antara sebelum dan sesudah lariknya, tidak mesti terpaut.
—relasi antara penanda dan tinanda sering bersifat arbitrer, bahwa penanda tak mesti
menunjuk tinanda atau ini atau itu, tapi barangkali sejenis dan.
Kita bisa menemukan kecenderungan arbitrer di tempat lain untuk melihat puisi-puisi Afrizal
sebagai semesta analogi dan tanda. Sebagian besar puisinya mengandung kata ”seperti”,
walau kata itu tak sepenuhnya berfungsi sebagi analogi dan penyambung. Sebagia contoh:
”Seperti langkah hati-hati memasuki halaman; seperti membuat pemandangan dari generasi
air” (sajak Kardus Pandora). ”Tentara seperti topi besi dalam lukisan hijau keras” yang
disusul “seperti gergaji yang masih menunggu di sana” (puisi Bulan Juni Jam 7 Pagi).
Adakah antara ”tentara seperti topi besi dalam lukisan hijau keras” dengan “seperti gergaji
yang masih menunggu di sana” punya hubungan tak arbitrer? Analogi-analogi di situ
menjelma ruang antara ada dengan yang tak ada hubungan, namun bahasanya terasa nikmat
”pengada”? Tentara tiada? Ah, saya curiga sang penyair tengah membongkar kerisauan
Melihat tahun penulisan sajak Bulan Juni Jam 7 Pagi (1998), jelas ini berhubungan dengan
semangat reformasi penolakan terhadap ABRI yang oleh Afrizal dipahami lebih jauh sebagai
tiada tentara. Dan ia menolak untuk memberikan tempat tentara bagi karyanya, dan bisa jadi
Analogi-analogi yang dipilih Afrizal menjelma satu-kesatuan organis yang hidup dalam
bangunan wastu kata-kata. Si penyair tampak ingin mengenyahkan berbagai relasi penanda
dan tinanda, ada dan tiada itu, tetapi pada saat yang sama ia menguatkan strukturnya. Simile-
simile yang dihadirkan tanpa pertautan itu, seakan menjadi ruh bagi sajaknya, atau semacam
doa dan mantera pamungkas untuk melahirkan diksi dan parafrase yang bermain-main
Proses reinkarnasi yang berlangsung dalam puisi-puisinya begitu menggoda, namun begitu
rimbun dan dahsyat seperti mitos-mitos pedalaman yang belum terjamah intuisi manusia, atau
seperti benda-benda yang berserakan di jalanan sebuah kota yang tak terpikirkan. Akar-akar
pohon yang beribu mahianya merayap di tanah dan di bawah lindungannya tak terasa teduh
apalagi nyaman.
Bentuk pengucapan yang tak biasa, analogi yang menyimpang, kalimat yang berlompatan,
sering tak mudah dicerna, dan bisa jadi akan dianggap misteri. Lebih lagi bila kita lihat kata-
mengunjungi kota-kota,
mengganti dirimu
Motif-motif tentang kota hadir berjejer bagaikan sedang membentuk basis perlawanan
dengan tirani kekuasaan—dalam arti politik maupun kultural. Aku lirik bahkan sering
menampilkan keganjilan, kerincian, kerumitan karakter individu, skenario yang serba-ah dan
serba-wah dan meruwah sekaligus mendesak, perilaku yang selalu tegang, sangat sensitif,
bicara yang kadang tak bisa sistematis dan tak cukup terfokus, ekspresi wajah yang
menerawang kosong, serta suara yang meledak dan kadang tanpa emosi, sikap yang kadang-
ada kecenderungan untuk mengambil jejak ontologi, sehingga puisi-puisinya kadang terang
tapi kadang juga gelap. Ketika sang penyair tengah berada dalam pengalaman esoteris,
tampak bahwa struktur sajaknya seakan meledak, ruang dan waktu manusia nyaris tak
berlaku lagi. Maka ia kembali ke ruang matematis dan waktu geometris dan sangat taat pada
bentuk, struktur, dan ruang. Buku Kalung Dari Teman cukup dominan mempersoalkan waktu
Motif ruang dan waktu merupakan contoh paling tipikal sekaligus unik dalam
orang urban yang terluka akibat arus modernitas yang kelewat banal. ”Negeri kami
menunggu hotel-hotel bergerak membedah waktu, mengucap diri dengan bahasa asing. O,
impian yang sedang membagi diri dengan daerah-daerah tak dikenal, siapakah pengusaha
besar yang memborong tanah ini. Kami ingin tahu di mana anak-anak kami dilebur jadi
bensin. Jalan-jalan bergetar, membuat kota-kota baru sepanjang hari” (sajak Mitos-Mitos
Kecemasan).
Setiap kota begitu menakutkan, dan lebih parah lagi, aku lirik mulai merasakan ”setiap kata
berbau bensin” (sajak Asia Membaca). Lalu sang penyair seperti sedang menjatuhkan sebuah
pilihan hidup menjadi ”yang Lain” dalam tubuh perempuan: ”Aku mencari sebuah negeri
pada perbatasan tubuhmu. Pilihan kata tak banyak lagi. Bahasa seperti sumber air yang
mengering” (sajak Di Bawah Sihir Gergaji). Si aku menginginkan tubuh itu, bukan dari
warna sepia, melainkan dari lampu-lampu kota yang berwarna-warni dan luncuran waktu
Kegundahan hidup di kota besar sering kali melahirkan kebuncahan kata, ketidakberdayaan
muncul susul-menyusul dengan kegagahan dan kepercayaan diri yang berlebihan. Betapa
keras hidup yang diarungi sang penyair hingga terasa luka yang menganga, bahkan tragis. Di
beberapa tempat saya bahkan menangkap adanya semacam mala dari seorang yang hidup di
Ciri puisi Afrizal terletak pada hasrat si penyairnya yang terobsesi untuk melampaui misteri
hidupnya, namun tetap saja pengalaman itu tinggal sebagai teka-teki yang tersembunyi dalam
imaji. Tragedi dari filsafat kematian diekspresikan sebagai pencarian yang berujung pada
labirin yang buntu dan berbentur keras sekali dengan semangatnya yang menggebu. Atau
bagai memasuki lorong-lorong serba-rahasia yang tak kunjung mengemukakan isyarat dan
tanda, bahkan kode-kode pembuka rahasia pun tiada. Barang kali juga mirip sebuah menara
rahasia penuh kabut yang menutupi lorong-lorong bahasa yang dihuni para persekutuan
Upaya pencarian sang seniman menuju puncak-puncak pengalaman kreatif nyaris merosot ke
dalam bahasa benda yang karikaturis. Si penyair terperangkap oleh frasa dan parafrasenya
sendiri yang serba rumit serba salah dengan tumpukan kertas tak bermula. Hasrat-hasrat jiwa
dan pikiran yang membubung dan membingungkan, yang mirip tokoh kita dalam Ziarah Iwan
Simatupang, atau tokoh K dalam Metamofosa Kafka atau sang Siren itu, yang mengungkai
pemberontakan naratif yang sudah dianggap mapan, yang bermula dengan huruf K kapital.
Entahlah. Sepastinya, baik puisi maupun prosa, terdapat orang-orang kota yang terluka dan
sibuk dengan dunianya sendiri, seperti dunia dalam pasar malam. Perhatikan larik-larik puisi
berikut ini:
Satu dua orang datang satu dua orang pergi
Nonton bersama
Orang-orang berlalu
Kata-kata terasa rusuh oleh gemericik bunyi bersahutan. Ketika gejala imaji coba
dikontraskan dengan gejala imaji lain, atau ketika kecenderungan rasa cemas yang akut
bercampur dengan perasaan sebagai narapidana, atau seperti manusia kamar berukuran 2×2
meter yang soliter dengan perasaan yang tak berdaya dan rendah diri bertukar-tukar dengan
kegagahan, atau kecenderungan merayakan yang pasif dan aktif, maka di situ muncul
Ketika gebalau dan kecemasan tak tertangani, maka si tokoh tampak mengabaikan daya nalar
dan perilaku otak yang lama kelamaan bisa jadi menunjukkan apa yang oleh Afrizal sendiri
disebut ”menara epistimologi dalam bahasa”. Atau sebuah “menara epistimologi tanpa
telinga”, tulisnya suatu kali, ketika prosanya hendak didekati dengan pisau epistimologi
Metafora menara yang digunakan mengingatkan saya pada sebuah ”menara keterasingan”
simile-simile serta igauan-igauan yang berlompatan, yang terasa lebih menantang jika
disandingkan dengan frase-frase orang yang sering disebut ”majenun” itu. Dan puisi-puisinya
Penokohan dalam puisi-puisi Afrizal, bila direnungkan dengan cara membaca berkali-kali,
lama kelamaan seperti nyata, dan individunya seakan dibiarkan membusuk di menara
keheningan di kamar sempit sambil menolak psikologi empiris dan merasakan psikologi
terputus-putus, seperti sedang diburu laskar hitam kata-kata. Strukturnya seperti melarikan
diri ke atas menara tinggi, antara ruang di dalam rumah yang pasif dan ruang di jalan raya
yang dinamis bertukar tempat sedemikian rupa hingga nyaris menjadi sasaran empuk burung-
burung pemangsa yang terus mencabik, mematuk, dan mengoyak organ-organ vital.
Tetapi tak seberapa lama, saya pun menangkap gelora khas Malna yang merasa cemas dan
sensitif. Dan itu dilukiskan secara naratif dengan mengandalkan bentuk puisi-prosa naratif.
Afrizal memang bukan yang pertama memulai kecenderungan ini ketika ia mengamati atau
masuk ke dalam delusi-delusi skizofrenia dalam prosa Seperti Sebuah Novel yang Malas
Mengisahkan Manusia dengan menyodorkan sebuah jatidiri yang keras melalui pergulatan
otentisitas tokoh-tokoh yang kokoh, yang dapat menyebabkan orang terperangkap ke suatu
Afrizal tampak tak terlalu berhasil kalau menulis prosa ketimbang puisi. Karakter fiksi
naratifnya sering mencerminkan apa yang sedang terjadi dalam realitas politik, dan karena itu
terlampau keberatan memanggul beban politik dan sosial. Bisa jadi hal ini masih ada kaitan
dengan cerminan situasi politik kota yang otoriter pada masa Orde Baru.
Mungkin di sini kita bisa meletakkan situasi tokoh yang, jika meminjam istilah Albert
Camus, “berkarya dalam bahaya”. Namun, haruskah kita menghadapi bahaya maut terus-
menerus untuk menghasilkan karya seni yang bisa menjadi saksi tidak hanya bagi zamannya,
tapi berdepan-depan dengan zaman? Ah, betapa banyak kita saksikan kejadian yang dahsyat
yang menusuk hingga ke relung jiwa terdalam kemanusiaan yang ditulis di sebuah kamar
sunyi. Tak sedikit karya besar lahir dari pengalaman seniman menghayati dunia soliternya di
kamar persegi empat berukuran 3×2 meter tanpa pernah mengalami benturan yang keras di
lapangan politik dan sosial, tetapi karya sastranya justru dianggap debutan oleh para kritikus.
”kisah kami tinggal 2×2 meter/Jangan lupa, Suami, Cacuk. Besok kami akan membuat
pertunjukan jam 8 malam. Tentang Tini yang hatinya terbuat dari 2×2 meter” (sajak 2 x 2
Meter).
Puisi itu menampilkan situasi aku lirik yang tidak terikat dengan ruang dan waktu, karena
waktu nyaris tak ada. Hal itu disebabkan oleh dunia yang semakin lama menjelma Rosa,
karena hanya 15 menit aku merdeka sampai mati, dan selebihnya hiruk-pikuk yang
mencemaskan dalam puisi ruang kota dengan ruang jalan yang dinamis dan berteriak-teriak.
Bagi orang yang pernah merasakan pergulatan melawan rasa tersiksa yang membelenggu
jiwanya cukup lama, kerja kreatif mungkin saja dianggapnya sebagai cara yang paling pas
untuk mengekspresikan diri. Dalam situasi seperti ini, mungkin benar apa yang dikatakan
oleh seorang psikolog ahli mendeteksi skizofrenia yang disinggung Sylvia Nasar dalam A
Beautiful Mind: kerjanya sendiri mungkin tampak soliter, tetapi ciptaan atau karya yang
dihasilkannya, umumnya dipandang memiliki kualitas nilai bagi masyarakat banyak. Di sini
kreativitas bisa berfungsi sebagai perlindungan, atau bahkan sebagai remedi bagi penyakit
Dalam konteks gambaran tentang benda-benda urban yang tampak seperti tersusun dalam
puisi-puisi dan naskah-naskah teaternya, Afrizal memang tampak terlihat berusaha keras
Benda-benda urban dalam puisinya, bukan lagi yang biasa kita temukan di jalan-jalan atau di
rumah, karena benda-benda itu memiliki hubungan tersembunyi dengan individunya yang
berusaha keras ingin mengintipnya. Dengan cara itu, sang penyair seakan sedang
mengekspresikan sesuatu yang merupakan dirinya sendiri dalam kekiniannya, hingga suasana
kecenderungan umum.
Kalau pun alat bahasa yang digunakan dalam berkarya, itu lebih sebagai bentuk-bentuk
informalis. Betapa jauh sesungguhnya Afrizal meninggalkan Chairil Anwar yang dengan
jujur diakuinya sebagai gurunya itu. Jika Chairil masih cenderung menampilkan lirik
romantik dengan keteraturan kata dan bahasa, dengan larik yang koheren, maka Afrizal justru
berusaha menghadirkan dissonan namun masih dominan dengan gaya konsonan, maka di
tangan Afrizal dissonan itu justru lebih kuat. Harmoni musik duka kata memang masih terasa,
tapi hadirnya dissonan justru menegaskan kekuatan musik yang melirik secara posesif
dihancurkan.
Takdir Alisjahbana pernah menyinggung soal kecenderungan dissonan dalam sajak lirik
melalui penegasan Strawinsky dalam buku Poetique Musicale (1948). Dissonan merupakan
sesuatu yang berdiri sendiri, dan ia tak menyiapkan sesuatu maupun memberitakannya,
melainkan sesuatu itu sendiri. Bagi Strawinsky, dissonan bukanlah pendukung kekacauan,
Dalam konteks pembicaraan dengan sajak lirik, Afrizal memang sering menampilkan apa
yang oleh Takdir dinamakan sebagai lirik alegori sekaligus lirik intelek; di mana lirik alegori
agaknya sengaja dihadirkan dalam puisinya untuk membebaskan bentuk atau struktur
puisinya yang mulai mengikat. Sementara lirik intelek justru berusaha untuk membuat ketat
bentuknya. Dengan kata lain, lirik yang pertama mengisyaratkan meluruhnya intelek yang
berhasrat mejelaskan hal-ikhwal, dan yang kedua malah dengan sendirinya mengukuhkan
benteng intelek tersebut. Jenis lirik kedua ini justru paling dominan dalam sajak-sajak
Afrizal.
Karena sering menjelma lirik-lirik intelek, tak jarang sajak-sajak Afrizal terasa rumit, gelap
dan tak terjamah oleh mata-batin pembaca. Beberapa puisi mengandung banyak lorong dalam
bahasa. Namun karena sudah jadi tabiatnya, maka puisi-puisinya dianggap memiliki gaya dan
bahasa pengucapan khusus yang berbeda dengan lirik romantik model Chairil Anwar dan
Goenawan Mohamad.
Tabiat aku lirik yang sepintas main-main, dan cenderung bergelap-gelap, justru tak membuat
pembaca merasa terbawa arus imaji, tapi mungkin memaksa pembacanya untuk merasa mual,
lantaran fantasi-fantasi infantil tampak meruwah. Namun, bisa juga dibaca sebagai watak dari
puisi bahari yang sugestif dan kemampuannya melakukan resistensi dan sering
membingungkan diri sendiri, namun sang penyair begitu kuat menghadirkan sebuah resistensi
Bila Edward W. Said bisa dipaksakan masuk di sini, mungkin saja bahwa inilah yang disebut
sugesti yang menarik di Timur, namun sering kali diabaikan oleh Barat. Atau, jika saya boleh
memakai uraian Dami N. Toda saat menampik A. Teeuw yang mengimpor teori beristilah
Barat dan menerapkannya dalam kritik sastra, barangkali inilah bentuk kelalaian yang banyak
menimpa sastrawan Barat yang memiliki teori dan metode yang bernama bagus-bagus tapi
gagal ketika berhadapan dengan karya kreatif dari puak Bahari Nusantara. Apa yang mungkin
dilakukan para kritisi itu justru menjadi doktriner dan menghukum secara tidak kreatif apa
dan siapa saja yang tak sesuai dengan selera mereka. ”Dami N. Toda menolak konstruksi
sastra Indonesia dalam perspektif tunggal yang dihasilkan sarjana-sarjana sastra lulusan
Belanda”, kata Afrizal dalam esai obituari Sejarah dalam Kulit Bawang di Tempo akhir
November 2006.
kehampaan-kehampaan, ke dalam banyak puisi. Sementara penyair lain tampak masih asyik
bicara tentang desa dan kedesaan, Afrizal justru masuk ke dalam persoalan-persoalan
manusia kota yang berhadapan dengan proses modernisasi dan kehancuran ekologi.
Afrizal mungkin satu-satunya penyair Indonesia yang paling intens menulis sajak tentang
kota yang runyam. Untuk meminjam ungkapan Afrizal Malna sendiri saat mengomentari
sajak-sajak Juniarso Ridwan, proses kreatifnya selama ini telah menghasilkan sejenis ”produk
ujaran-ujaran ekologis yang meniti jalannya dari alam, kehidupan lokal hingga kota yang
ruwet”.
Melalui imaji tentang kota yang dibayangkan sebagai abad yang berlari dan manusia-manusia
yang mengalamai kecemasan berhadapan dengan kehidupan urban yang telah menjelma
mesin itu, Afrizal menghadirkan tafsiran yang unik perihal kota dan kekotaan. Dalam Mitos-
mitos Kecemasan ia menulis: ”Negeri kami adalah belantara hutan yang sedang menunggu
hotel-hotel bergerak membelah waktu”. Rawa-rawa sebagai resapan air yang ada di kota kini
Dalam konteks ini, Afrizal tampak sedang menampilkan gejala skizofrenia orang-orang kota
Terkadang diselingi oleh suasana yang berubah seketika, hening, murung, diam, dan pada
saat yang sama muncul kegaduhan dan pemberontakan yang keras kepala.
II
Dalam puisi Waktu yang Kembali, yang dimuat dalam buku Mitos-mitos Kecemasan, Afrizal
tampak sedang memanggil masa kecil yang telah jauh ditinggalkan: “Datang lagi masa
kanak, bermain seperti dulu ketika dunia tak di sini”. Atau Telinga Waktu yang merindukan
masa lalu di negeri yang belum menjelma negara justru ketika ”buah mangga terguncang-
guncang dalam kardus” dan ”debu seperti hujan yang bangkit kembali dari tanah” atau
”seperti ayah ibu pertama kali melihatku membawa seorang gadis ke rumah” hingga ”tangan
Gejala puisi semacam itu terus berlanjut hingga puisi-puisi yang terangkum dalam buku
Teman-temanku dari Atap Bahasa (Lafadl Pustaka, 2008). Menurut ulasan di majalah Tempo,
puisi-puisi Afrizal dalam buku ini tak jarang menampilkan frasa aneh yang diadon dengan
percikan-percikan imaji yang sugestif sehingga membentuk cerita yang enigmatik. “Percikan-
percikan itu membesar, berulang, merembes, mencari, dan bertemu dengan imaji lain.
Hasilnya adalah cerita yang belum sudah. Karena itu, barangkali, tak ada huruf kapital dalam
sajak-sajak Afrizal—sebuah tanda bahwa makna bisa tidak bermula dan berakhir, atau sebuah
Dalam himpunan puisi terbarunya itu, Afrizal tak jarang membuat kita gemas lantaran
kita disuguhkan pemandangan sosial yang keras, protes yang tanpa melengkingkan suara, tapi
sejenis parodi, main-main yang mengandung gelak tersembunyi. Bahkan beberapa puisi lucu
sekali dan sengaja membuat pembaca tertawa. Ada juga sajak absurd yang unik, seperti
Aku mengetuk-ngetuk dengkulku, ada tanah yang berjatuhan. Dengar. Tanah itu seperti
sebuah malam minggu yang mati. Seperti sungai yang berjalan di atas jembatan. Dengkul
tidak seperti kota yang kau bangun di mulut knalpot. Bukan sebuah kebahagiaan yang berisik
seperti kantong plastik, tempat orang membuang malam dengan bercakap-cakap, dan mencari
sedikit pelukan dari kesepian yang biasa. Pelukan yang biasa. Keparat. Seperti piring yang
pecah dan meninggalkan lubang hitam di dalamnya. Lalu aku bangkit, dengkulku sudah tak
ada. Dengkulku telah pergi dari tubuhku. Tubuh tanpa dengkul itu pun aku buang. Aku buang
dekat jendela. Aku terkejut. Aku berada di mana kini? Di luar jendela atau di luar jendela.
Siapa yang telah dibuang? Aku yang telah membuang tubuhku ke luar jendela, atau jendela
itu yang telah membuangku? Bagaimana aku menentukan arah tanpa bersama tubuhku? Lalu
kucing berpesta di malam minggu. Membuat negara dari piring-piring pecah. Aku lihat piring
pecah di malam minggu. Aku lihat malam minggu pecah di lubang hitam yang mulai berotot
itu. Aku dengar dengkulku menyembunyikan semuanya. Tentang tanah yang berjatuhan di
Belakangan ada beberapa sajak Afrizal yang tampaknya menyuarakan ajakan untuk menakik
dengan melakukan gugatan dan protes atas proses pembangunan yang menimbulkan
dehumanisasi. Tapi secara keseluruhan, puisi-puisi Afrizal paling banyak mengangkat suara
orang urban dan benda-benda urban, berikut penanda dan tinanda di dalamnya.
Ambil contoh sajak-sajak yang bercerita berikut ini, di mana begitu besar perhatian sang
penyair terhadap kondisi negeri-negeri kepulauan. Saya kutip versi terbitan di Kompas
(01/08/2003):
Masa kanak-kanakmu terbuat dari sebuah pulau, Ram, di Tomia, Buton. Setiap malam, di
antara suara batukku, demam yang tinggi, aku mendengar nafas laut. Laut yang tak punya
listrik. Laut yang menyimpan masa kanak-kanakmu. Sebuah kamar yang dihuni orang-orang
Bajau. Mereka, laut, kamar dan orang-orang Bajau itu, bercerita tentang …
Lidahku jatuh dekat ujung sepatuku. Laut memiliki sebuah kamar di atas bukit Kahiyanga.
Ikan-ikan dan batu karang juga punya sebuah kamar di situ. Aku harus menggunakan lidahku
sendiri untuk membukanya. Dan suara batuk, dan demam. Dan pulau yang bising oleh
pengendara-pengendara ojek. Kamarmu itu, tempat bahasa melompat-lompat seperti ada api
Setiap malam, aku seperti mendengar nafas laut, ikan lumba-lumba yang sedang menidurkan
anaknya … wa ina wandiu diu … malam tak pernah memukuli anak-anaknya di dasar laut.
Malam tak pernah membuat dirimu terus menangis setelah bangun tidur. Lalu pulaumu itu,
Tomia, mengambil batuk dan demamku dengan jari-jarinya yang terbuat dari tulang-tulang
ikan, dengan jari-jarinya yang terbuat dari darah ikan. Laut tempat waktu melukis seluruh
warna di permukaannya. Laut yang membuat kerudung ibumu seperti lempengan emas di
senja hari. Sebuah hempasan waktu yang telah menelan seluruh leherku.
Kamar yang terbuat dari laut itu kemudian bercerita … kau telah menjadi seorang ibu, Ram,
Pagi-pagi sekali hutan telah bangun dan berjalan ke kamar hotelmu. Hutan yang berjalan,
bayangannya seperti jubah matahari. Disel telah mati. TV telah mati. Ada musang mengambil
kepala ayam. Anak-anak babi berebut tetek ibunya. Aku menari, tubuhku terbuat dari oli dan
obat tidur. Pagi-pagi sekali. Pagi-pagi sekali batang-batang pohon berjatuhan dari perutku.
pagi-pagi sekali. Ibu yang dilahirkan dari rahim Dayak Bahau. Namaku Lung Ding Lung
Intan. Aku juga dipanggil Daleq Devung dan Joan Ping. Bapak dan hinangku adalah
sepasang burung elang yang terbuat dari karung plastik. Malam ini aku sedang berhudoq,
menari hingga perahu-perahu melaju di permukaan pagi. Pagi yang membuat pusaran-
Tarian yang mengajariku tentang sebuah goa di Matalibaq, tempat hutan membuat keluarga.
Matahari terbuat dari butiran-butiran jagung, kata mereka. Dan malam baru datang, kalau
yang telah membuat bulan, kata mereka, ketika permukaan sungai masih bisa membaca
tangannya.
Pagi-pagi sekali, ribuan bangkai hutan diseret di atas sungai Mahakam. Kau setubuhi juga
anak-anak gadis kami dengan penismu yang terbuat dari gergaji. Kau curi hati anak-anak
muda kami lewat perahu bermotor. Lalu bayangan hutan jatuh di atas permukaan sungai,
seperti jatuhnya sebuah mahkota. Sejak itu ibuku tak pernah menari lagi.
Pagi-pagi sekali aku ambil kembali sungai Mahakam, seperti mengambil selimut tidur ibuku
dan aku kembalikan ke dalam goa itu. Sejak itu, kau tak akan pernah lagi menemukan hutan
di mana pun, kau tak akan melihat lagi sungai di mana pun. Tetapi burung-burung terus
bernyanyi tentang hutan dan sungai agar ibuku kembali menari. Tarian yang membuat
seluruh isi rumahmu bergerak seperti kaki-kaki hutan. Daun yang tiba-tiba tumbuh di seluruh
dinding rumahmu. Bau air mata yang masih tercium dari bantal tidurmu.
Beberapa sajak tampak gemar bicara tentang penyair lain, seperti bicara tentang Chairil dan
Sutardji. Salah satu sajak dalam Abad yang Berlari, yang mempesona saya, adalah sajak
Matahari Bachri. Dalam sajak ini Afrizal bercerita dengan intim tentang dunia penyair
Sutardji Calzoum Bachri dengan rima dan irama yang sangat terjaga.
Matahari Bachri
mau
mabukmu tak juga menyimpan maut jadi tenang dalam sajak tak
bisa
bercakap matahari tak bisa bercakap tuhan. bau alkohol telah melu-
buku sajak yang perih membuka pintu rumah yang perih. segalanya
bachri. ke-
tuhan untukmu.
Selain Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal juga menulis sajak tentang Chairil Anwar, bahkan
penyair ”binatang jalang” itu tidak lain adalah tempatnya menimba filosofi kepenyairan.
Kedua penyair ini tampak begitu mempesonanya, dan tak heran jika ada anggapan bahwa
Kritiknya terhadap kekuasaan makin eksplisit dan tak jarang surealis: ”Aku tidur di depan
sebuah kulkas. Suaranya berdengung seperti kaus kakiku di siang hari yang terik. Di dalam
kulkas itu ada sebuah negara yang sibuk dengan jas, dasi, dan mengurus makanan anjing.
Sejak ia berdusta, aku tak pernah memikirkannya lagi” (Persahabatan Dengan Seekor
Anjing). Atau sajak Guru dan Murid Dilarang Masuk ke Dalam Sekolah yang Terbakar dan
Chavez untuk Rambut yang Tak Mau Disisir, yang menampilkan kritik dengan bahasa dari
Si penyair dengan intens menjelajah ruang-ruang politik dan sudut-sudut negeri kepulauan.
Beberapa sajaknya mengangkat suara-suara orang Papua berikut tradisinya, yang selama ini
nyaris tak terdengar. Tema-tema seputar kehidupan kota dan politik kampung, seakan
Percakapan tubuh yang sunyi masih diberi ruang bebas hingga kata-katanya nyaris menjadi
sang penari. Bahasa dipersepsi sebagai kenaifan yang ke-kanak-kanak-an, atau sebagai lawan
kemunafikan para penyair yang menempatkan kata sebagai orang dewasa. Kadang kala
muncul fantasi infantil yang lugu, cuek, namun terasa lucu, mual, dan banal.
Dalam hal makna, Afrizal berusaha menghadirkan puisi bukan untuk dimengerti, atau agar
pembaca mudah memahami, melainkan bagaimana pembaca menikmati puisinya sama ketika
pembaca menikmati lukisan surealis. Hal ini tentu tak mudah dan karena itu seringkali si
Secara garis besar, ada kecenderungan penyair ini untuk berpuisi dengan menghidupkan
kembali gagasan puisi ruang dari atap bahasa yang landasan ontologisnya bisa dilacak dalam
gagasan Gaston Bachelard—filsuf Prancis yang mati muda. Dalam teater pun demikian. Pada
naskah pengantar lakon Sang Pencinta, misalnya, Afrizal memakai lema teater ruang dengan
konsep garap yang mengoptimalkan bahasa tubuh untuk menyampaikan makna dalam naskah
ke panggung.
Gagasan semacam itu kelak menemukan pembulatan dalam esai-esainya. Bahkan suatu kali
Afrizal melontarkan gagasan teater yang menampik keunggulan sang aktor. Baginya, bukan
akting yang menciptakan ruang, melainkan gagasan atas ruang yang mempunyai konsekuensi
terhadap akting.
Gagasan teater ruang, lebih jauh, mengandung konsekuensi yang jauh ke dalam caranya
memandang ruang dan kode. Ruang kota yang telah jadi bulan-bulanan kaum kapitalis
tampaknya telah menjelma halaman belakang dalam sebuah rumah. Sementara desa tetap
dalam kesenian modern, penyair kita ini kembali menegaskan pilihan kreatifnya: bukan
formalisme yang bisa merayakan pluralitas dalam kesenian, melainkan informalitas sebagai
inti keragaman.
Dalam esai proses kreatifnya, Afrizal berusaha merujuk pandangan Fatima Mernissi (1992)
tentang pluralisme, namun sang penyair sendiri khawatir jika puisinya justru tidak berada
dalam indahnya sebuah pertemuan kebetulan dengan feminis Maroko itu. Maka ia kembali ke
Dengan gagasan-gagasan yang cemerlang itu, maka tak heran bila sambutan atas sajak-
sajaknya di tahun 1990-an begitu menggelegak. Sejauh ini, tak kurang dari empat puluh buah
ulasan atas puisinya di koran dan majalah. Beberapa kritikus bahkan menyebut sajak-sajak
Afrizal nyaris tanpa lorong, gelap, rumit, main-main. Namun diam-diam muncul pula kritikus
yang menahbiskan dirinya sebagai pembaru. Beberapa kritikus berusaha mengaitkan sajaknya
Radhar Panca Dahana menyebut sajak-sajak Afrizal sebagai kelainan yang menyuguhkan
“teknik pengucapan yang belum dilakukan pendahulunya”. Agus R. Sarjono, Dami N. Toda,
dan Korrie Layun Rampan melihat adanya pertalian wawasan estetik dengan puisi-puisi
Sutardji, yang hemat saya tak terlampau mendasar dan sulit dipertahankan. Afrizal sendiri
Para kritikus sastra sejak 1990-an memang banyak mempersoalkan pentingnya pembaruan di
lapangan puisi. Puisi dianggap kian seragam dari segi gaya dan pengucapan, karena itu
penting untuk menampilkan kebaruan. Naskah-naskah lama dalam teater dianggap sudah tak
mampu lagi menangkap realitas yang tengah berlangsung, karena benak manusia masa kini
telah dikepung benda-benda urban dan aneka properti, bahasa gambar, serta visual. Dan
karya Afrizal berhasil menyuguhkan sesuatu yang segar, walau terkadang masih berbau yang
rasional.
menyempal dan mengejutkan. Secara intens Afrizal berusaha melakukan ”revolusi diksi”,
hingga diksi-diksi yang muncul kemudian terasa unik, cantik, dan lucu.
Dari segi bahasa, beberapa sajak Afrizal masih mengandung masalah. Namun karena
diksinya yang menawan dan cantik, pilihan kata yang begitu diperhitungkan, maka sajak-
III
Berkali-kali saya membaca puisi Afrizal dan yang menyangkut di benak saya cukup lama
mungkin bukan kata-kata yang indah, tapi diksi-diksi permainan catur dengan kejutan-
kejutan yang sering tiba-tiba. Buku puisi Di Rahim Ibuku Tak Ada Anjing, membuat saya
tertegun saat membayangkan bagaimana insting penyair kita ini menembus kabut mitos-mitos
keluhuran manusia bahari Nusantara lewat strukturalisme dan bahasa mitos, yang
mengingatkan saya pada eksit Claude Levi-Strauss dalam karya ilmiahnya. Kedua pengarang
ini memang berjarak ribuan mil dan dipisahkan oleh kurun lebih dari setengah abad, namun
seperti bertemu dalam suatu penghayatan yang dekat tentang keluhuran manusia suku
”pedalaman”—istilah yang celakanya sering disinonimkan dengan suku primitif dalam arti
yang irasional atau ketinggalan zaman.
Bisa jadi, dengan antropologi strukturalis Levi-Strauss itu, Afrizal berniat menggantikan
strukturalisme yang sangat resmi seperti pintu tertutup dalam drama Sartrean yang
sebelumnya sangat memikat hatinya dengan ”jejaring terbuka”. Bukankah kita tahu, setelah
orang jenuh berdiskusi tentang ”pembangunan”, lalu orang mencari istilah lain, dan
ketemulah istilah ”jaringan”. Sekarang kita sedang berpindah dari kiasan pengetahuan
sebagai sebuah bangunan menjadi sebuah jaringan, di mana segala sesuatu memiliki
keterhubungan.
Dalam konsep jaringan, tak ada atas-bawah, tak ada hierarki-hierarki, bahkan tak ada suatu
hal yang lebih fundamental dibanding yang lain. Perubahan metafor ini terjadi juga dalam
politik, ekonomi, sosiologi, antropologi, budaya, sastra, agama dan teologi. Kini terdapat
banyak jaringan lintas-budaya dan interdisipliner, bahkan lebih banyak dari yang terdapat
dalam ilmu fisika. Dapatlah dikatakan bahwa konsep jaringan muncul sebagai kritik atas
gagasan pembangunan yang mengedepankan struktur kekuasaan yang monolitik dan mutlak-
mutlakan dengan menekankan pandangan yang fundamental. Orang tak lagi tertarik
Tapi Afrizal bukan yang pertama menerjemahkan ”struktur” menjadi ”jaringan”. Sebelum
Afrizal, yang melihat ”struktur” sebagai ”jaringan” melalui penafsiran atas gagasan Levi-
Strauss adalah Denys Lombard, dalam buku tiga jilid yang diterjemahkan menjadi Nusa
Afrizal mencoba menghadirkan satu suku kata dari mulut para leluhur, yang ternyata bisa
memberikan satu ruang, satu fungsi dan signifikansi kepada benda-benda yang ada di
totemisme, magi, mite (antara simbol dan tanda), yang dipandang sebagai sebuah
penghayatan, atau pengalaman mite yang otentik. Berbagai warisan leluhur dikonstruksi
sedemikian rupa untuk menghasilkan puisi yang unik dan metrik. Dan Afrizal memang
postmodernisme.
Barangkali lantaran kelewat asyik melakukan avonturir ke berbagai cenayang, maka imaji-
imaji dalam puisi-puisinya yang terkumpul dalam buku analekta puisi Kalung Dari Teman—
seleksi 100 puisi yang pernah ditulis Afrizal—dan Arsitektur Hujan seakan unjuk kebolehan.
Mau tak mau saya harus membawa-bawa buku Mitos, Dukun dan Sihir (1997) Claude Levi-
Straus tentang strukturalisme sebagai ”teori pemikiran liar” dalam membaca gejala ”struktur”
Mengapa Afrizal terpesona oleh antropologi strukturalis? Tentu banyak alasan. Di antaranya,
Afrizal tak memisahkan puisi dengan geometri atau sains dan sastra. Afrizal suka sesuatu
yang konkrit, bergambar, visual, dan hal-hal yang bisa diukur. Strukturalisme adalah jawaban
bagi semua itu. Dengan strukturalisme, ia merasa dirinya tidak terpecah di antara sensibilitas
dan ilmu pengetahuan. Strukturalisme menjadi remedi bagi luka besar kemanusiaan.
Lebih lagi jika kita kaitkan dengan pernyataan-pernyataan Afrizal sendiri dalam setiap
kesempatan temu sastra dan budaya atau festival Sastra Kepulauan I sampai VI, ia begitu
sejarah yang sekaligus menjadi pusat dari kehidupan bekas penghuninya. Dengan kata lain,
pusat eksistensi. Oleh karena itu, ajakan agar seniman pulang ke desa berarti kembali ke
mahia atau cenayang untuk kemudian kembali lagi sebagai yang dialami, sebagai milik
sendiri.
Lantaran tabiatnya yang hendak membebaskan kata dari imaji dan dari segala daftar
keteraturan, agar kata-kata dan imajinya bebas berlompatan dan menari-melukis di benak
pembaca, maka ketika membicarakan hal-ikhwal kota dan fenomena kekotaan penyair ini pun
berusaha kembali ke harmoni musik duka kata dan sekuat tenaga menjungkirbalikkan kota
yang angkuh pada dirinya ke latar belakang bawah sadarnya seraya mengembalikan desa
Dalam menyikapi soal semacam ini, kadang secara diam-diam sang penyair mendesakkan
suatu passing over (melintas-batas) ke kota atau bandar untuk kemudian caming back (pulang
kembali) ke desa, dan sebaliknya. Namun, saya tak tahu apa alasannya ketika Afrizal
dalam laporan tentang pertemuan Sastra Kepulauan VI di Sulawesi dalam esai di Kompas
yang bertajuk: Proyek Eksperimen di Barru (25/5/2008). Di sini ada beberapa soal yang
agaknya Afrizal terlampau nyinyir dalam melihat kecemasan sastrawan (kota) mengenai
Dalam pandangan Afrizal, kerja-kerja yang dilakukan sastrawan selama ini justru cenderung
ke arah memformalkan budaya kampung di desa: sebuah bentuk formalisme yang menjadi
sebaliknya dari kenyataan budaya kampung yang informalisme. Barangkali karena sering
berjalan-jalan ke desa-desa di pedalaman yang penuh rawa-rawa persembunyian itu, maka
beberapa kali saya bertemu dengan gagasan Afrizal yang tak ingin kompromi.
Dalam setiap kesempatan temu sastra dan budaya di berbagai daerah dalam sepuluh tahun
informalis, desa dan kota, dan tak sedikit terlihat ada upaya untuk mengambil sintesa. Bahkan
lebih jauh, ruang formal dan informal tak diberi kesempatan untuk saling berbagi dan
mengisi, melainkan menempatkan ruang informal, ruang yang terpinggirkan, petak kecil,
sebagai pilihan untuk menyiasati hidup di tengah chaos dan class yang bertubi-tubi muncul
dalam imajinya. Beberapa tahun lalu Afrizal juga menulis tentang Seni Outdoor dan Jangan
Takut…Perdamaian Baru di Kompas (3/11/2002) yang juga menjatuhkan pilihan pada outdor
Outdoor telah menjadi sebuah “panggung baru” untuk sebagian besar aksi seni dalam Journal
of Moment Arts ini. Asia Ramli Prapanca misalnya, masih melihat outdoor dan indoor
sebagai unsur-unsur yang bersifat ikonik dalam pertunjukan, dan bukan sebagai dua wilayah
yang membutuhkan perbedaan secara tegas. Perbedaan yang membawa konsekuensi luas
Dengan ekstream Afrizal membalik mitos indoor seraya merayakan outdoor sebagai latar
depan bagi pertunjukan teater atau Performance Arts masa kini. Berbagai resistensi dalam
mitos-mitos leluhur manusia suku di negeri kepulauan ini ditampilkan sebagai strategi
di Makassar: di sana “orang ingin menemu jejak waktu dalam teater, ketika tubuh kita yang
mau hidup tidak rela berada dalam kekangan peran seperti memasuki lemari pakaian orang
lain. Atau ketika berhadapan dengan laut dan langit wajah dan mata mereka jadi penuh oleh
cerita. Nafsu untuk bercerita bangkit seperti kerinduan tak sadar terhadap dunia daratan. Di
laut ombak yang tergerai dari 999 helai rambut putri penjaga Teluk Makassar”.
Berbagai motif mitos dari negeri bahari dikonstruksi sedemikian rupa hingga mirip dengan
para dewa merekonstruksi bangunan istana kerajaan Astina dengan semangat apa yang oleh
heroisme manusia, hiperbola, dan sesuatu yang tak bisa dijelaskan, kadang irasional”.
Afrizal seakan menabuh tambur Minang dengan ajakan untuk melakukan ”perang kode”
terhadap “sastra kota”. Apakah Afrizal tak melihat bahaya yang terlampau memburu
kedesaan dan menghujat penyair yang kekotaan? Tidak cukupkah karya-karya sastra
berbahasa daerah dan komunitas-komunitas sastra yang bertebaran di desa untuk melihat
adanya indikasi ke arah penguatan identitas yang sempit? Tengok kutipan pernyataan Afrizal
dalam esai ”Puitika Urban dan Metafora Dari Pemikat Baru” berikut ini:
Sastra Indonesia tidak pernah lahir di desa dan tidak pernah diciptakan untuk kehidupan di
desa. Sastra Indonesia lahir dari pembunuhan terhadap sastra etno lewat bahasa Indonesia.
Kenyataan politik bahasa seperti ini menyakitkan untuk keseluruhan orang Indonesia.
Seorang siswi SLTP di Negare Bali terus terang tidak pernah membaca sastra Indonesia,
karena dia tidak suka bahasa Indonesia. Tetapi sejarah tidak bisa kembali ke masa lalu,
walaupun pak Sarip sampai sekarang terus mengusung kematian budaya latar belakangnya di
dalam tubuhnya yang kian renta.
Pengusungan kematian budaya latar belakang ini paralel dengan kenyataan sastra Indonesia,
yang walaupun bergerak di kota dan disebut sebagai sastra kota, namun hingga dekade 80-an
masih curiga dan negatif terhadap kehidupan kota. Kenyataan ini memang biografis, karena
hingga dekade 80-an sastra Indonesia masih didominasi oleh para sastrawan yang lahir di
desa, bukan di kota seperti dekade sekarang. Hingga dekade 80-an sebutan sastra kota
sesungguhnya baru memenuhi kenyataan sastra Indonesia yang menggunakan kota sebagai
tempatnya bergerak. Kota belum menjadi ruang dalam sastra Indonesia. Estetika urban belum
menjadi bagian dari puitika urban. Puitika urban belum positif. Ruang kota belum menjadi
Dalam esai yang disiapkan Afrizal untuk pertemuan Sastrawan Jakarta di TIM tahun 2003
tapi gagal disampaikan karena ia tak hadir dalam pertemuan itu, tampak bahwa ia membela
kelangsungan tradisi di desa dengan mengembalikan ”desa sebagai latar depan” sambil
menohok ”sastra kota sebagai latar belakang”. Dengan menegaskan bahwa sastra Indonesia
tak pernah lahir di desa, Afrizal berusaha menampik para sastrawan yang menjejalkan
modernisme di desa. Tetapi di sisi lain ia menohok sastrawan yang masih terus curiga pada
kehidupan kota, dan ini biografis sifatnya karena hingga dekade 80-an sastra Indonesia masih
didominasi oleh para sastrawan yang lahir di desa, bukan di kota seperti dekade sekarang.
Afrizal cenderung kontradiktif ketika mengekspresikan ruang dan bentuk formal dengan
seorang informalis yang radikal. Seorang informalis, kita tahu, nyaris cuek terhadap negara,
merasa tak memerlukan negara, emoh atas segala aturan, ketertiban, keseragaman, dan
seterusnya. Tapi aneh, semangat informalisme dalam sajak-sajak dan naskah teater Afrizal
muncul justru di ambang keruntuhan politik stabilitas Ode Baru dan terus berlanjut setelah
reformasi begulir. Hampir tak ada kecenderungan futuristik atau intuisi yang tembus pandang
Dalam naskah-naskah teater Biografi Yanti Setelah 12 Menit dan Migrasi di Ruang Tamu
tampak ada semangat mengaklamasikan pernyataan sikap keteateran dengan berbagai istilah:
gramatika benda-benda, teater ruang, kembali ke ruang, teater kamar, teater bukan lagi
tergantung pada naskah, bukan akting tapi ruang, bunuh diri geografi atau ganti kelamin
(yang kota menjadi desa dan desa menjadi kota, bunuh diri indoor menjadi outdoor, bunuh
Barangkali itulah sejumlah kecemasan arkais dari kecenderungan menampilkan naluri akal
pikiran yang bermain di wilayah zero-sum. Sebuah kepribadian teater yang tak lengkap,
terbelah berlarah-larah, dan setengah hidup separuh mati melalui kerja-kerja pikiran-benda
dan terus menghadirkan benda-kata menjadi semacam kolase yang meragukan biografinya
sendiri.
Informalisme tanpa formalisme? Terlampau sulit ditepati, sebab negara sudah bagian dari diri
kita sendiri. Desa tanpa kota? Ah, bisa saja asal kita sanggup mewujudkan, tapi saya ragu
karena masih ada ”kota sudah tak punya alamat untuk pulang”; dalam arti masih juga
terpikirkan. Lupakah Afrizal bahwa di desa sendiri tak berwajah tunggal sebagaimana juga di
kota?
IV
Wawasan estetik Afrizal yang hendak menjadikan kata sebaga kuda Troya untuk
mendesakkan imaji, telah bergeser dengan puisi yang tampaknya kembali ke struktur penuh.
Dalam arti lain, kembali ke bentuk kata, arsitektur kata dan lorong gelap dalam bahasa.
Antara imaji dan kata dalam puisinya memang tak bisa dipilah ketat sebagaimana antara
putih dan hitam, tapi dissonansi yang digunakan cukup berbeda secara eksplisit antara puisi-
puisi Afrizal yang muncul tahun 1980-an dengan yang terbit tahun 1990-an akhir. Awal
kepenyairan Afrizal tampak kuat menampilkan imaji secara merdeka dan kerap kali
melahirkan diksi dan parafrase yang menabrak logika, serta pasifisme yang tak menahan diri.
Setahu saya, Afrizal jarang sekali menampilkan puisi sebagai kristalisasi dari kata. Antara
frase puitik dan frase estetik harus dibedakan; yang pertama cenderung tak ber-indah-indah
sentimentalis mirip tragedi estetik Ellen Disyanake dan Pastoral-nya Goenawan Mohamad.
Tetapi bagaimana pun, seperti ditegaskan juga oleh almarhum Dami N. Toda, yang begitu
gemar menggunakan silogisme mata dalam menilai puisi modern Indonesia, puisi-puisi
Afrizal pantas dielukan kehadirannya sebagai pendatang baru yang muncul pada awal 1980-
an hingga akhir 1990-an. Bahkan, sebagai simpul saran dari sebuah petualangan terhadap
puisi-puisi penyair kita ini, melalui biografi membacanya, Dami N.Toda kembali menohok
dengan temuannya: “penemuan wawasan estetik puisi modern Indonesia kini hidup dan
berjalan dengan ‘utuh mata’: mata kanan (Chairil), mata kiri (Sutardji), mata hati (Rendra)
Kerja pemetaan atau memata-matai setiap subjek yang didekati, mirip kerja kalangan intelijen
yang memata-matai teroris ke segala penjuru. Namun cara ini mungkin pantas
dipertimbangkan mengingat sampai hari ini tak ada yang mencoba menyanggah temuan
Dami. Soalnya: mengapa Afrizal diletakkan dalam mata kepala? Mungkin karena puisi-puisi
Afrizal cenderung bermain dengan alegori intelek. Memanggul sebuah penggada besar.
Kritik saya pada Dami adalah: cara membidik puisi lewat mata kamera inteligen semacam itu
terlampau tendensius dan nihilistik, yang sadar atau tidak sadar telah mematikan puisi-puisi
penyair lain yang juga mengandung kekuatan tersendiri. Semangat yang dihadirkan Dami N.
Toda lagi-lagi ingin mewartakan kematian puisi setelah kelahiran empat penyair eksentrik itu.
Kehendak ini paralel dengan kaum post-strukturalis yang dengan keras memukul tambur
kematian filsafat dan menohok ilmu pengetahuan. Dan apa yang dilakukan oleh kritikus
pembela khazanah sastra lisan bahari Nusantara ini, seperti benar-benar memaklumkan
Temuan Dami terhadap wawasan puitik empat penyair itu, di sisi lain, memang cukup
beralasan, mengingat di tahun 1970-an Dami N. Toda muncul sebagai kritikus yang mencoba
kecenderungan beda dengan Goenawan Mohamad dalam mendekati sajak. Teater Rendra
tahun 1970-an ditempatkan Dami sebagai teater puisi, bukan teater mini kata sebagaimana
kata Goenawan. Dami mengembalikan teater puisi Rendra sejajar dengan puisi-puisi Rendra,
oleh karena itu karya-karya Rendra adalah asli, orisinal. Goenawan seakan mempertanyakan
kejutan dan orisinalitas Rendra dengan menghadapkan pada kreativitas, dan terbukti kata
Goenawan dalam Teater dan Indonesia (1973), apa yang dilakukan Rendra cuma kelantangan
yang sempat memukau publik Jakarta era awal 1990-an itu. Puisi-puisi dan teater-teaternya
muncul sebagai kontinuitas puisi dan teater Rendra tahun 1970-an atau bahkan kelanjutan
dari prosa “Dada Asia”-nya Iwan Simatupang dengan penekanan pada dissonan.
Banyak keluhan pembaca dan penonton terhadap Afrizal yang terlampau menghadirkan teks-
teks aneh. Kadang-kadang ada keinginan yang berganti-ganti antara penentraman hati
(kecemasan, kegemparan, kekecewaan, amarah, bersalah, malu, luka, duka) dengan haus
imbalan, kasih dan cinta, haus pertentangan, dan kebosanan, yang mengingatkan kita pada
respon masyarakat sastra atas kehadiran novel Ziarah, Kering, Koong dan Merahnya Merah.
Bahkan “Celakah bila kita membaca terlalu banyak”-nya Iwan juga pernh dilontarkan
Afrizal.
Bedanya dengan Iwan Simatupang, Afrizal masih cenderung menghayati puisi sebagai rasa
senang pada struktur logika dan bukan mistik. Ketika mengungkapkan pengalaman
pribadinya melalui ukuran metris, bisa jadi ini sebuah kehendak menampilan kelainan dari
sebuah kata karena tenaga kata ternyata tak juga dapat mengurangi kegundahan dan
kebalauan dunia batinnya. Sejak Plato mencari sintesis dari pemikiran Heraklitos dan
Permenides dan pemikiran Descartes dan Locke disentesakan Immanuel Kant, pengetahuan
mulai dengan pengamatan logis melalui penginderaan yang bercorak, rupanya masih terus
berkesinambungan sampai dengan Afrizal Malna. Padahal hal yang bercorak dengan bentuk
waktu dan ruang melaui dua belas kategoris logis (jumlah, sebab, sifat, pembatasan,
pedalaman, kedalaman, pembandingan, pembentukan, dan lain-lain) serta tiga ide yang
mengatur pengetahuan menjadi ilmu (Allah, Alam, dan Jiwa) tidak lebih dari kokok ayam
rasionalisme-positivisme yang sudah klise dan aus.
Namun, terlepas dari “rasa senang berlebihan terhadap yang logis” itu, puisi-puisi Afrizal
tetap layak dikaji karena beberapa hal masih bersifat rawak dan beberapa segi masih tunduk
pada aturan-aturan yang belum jelas dan sulit dipahami kecuali dengan menengok wawasan
geometri ruang imajiner. Kehadiran bilangan dalam sajak-sajaknya mengingatkan saya pada
diskusi tentang struktur dan bentuk, yang bisa jadi merupakan antitesa terhadap ruang mistis.
membuat kelantangan yang tak dapat dibuktikan. Dengan ekspresi geometris, dengan pikiran
liar yang imajinal serta renungan intuitifnya yang keras-getas, sering muncul ungkapan yang
gagah dan wah yang khas para jenius yang memikirkan dunia sains.
Dalam kumpulan analekta puisi Arsitektur Hujan (1995), Kalung dari Teman (1999) dan Di
Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2002), Afrizal banyak sekali menyuguhkan pada pembaca
sebuah bentuk puisi sebagai pencitraan geometri dan ruang. Dalam buku kumpulan sajak
Kalung Dari Teman, terdapat 34 sajak yang mengekspresikan bilangan bersamaan dengan
kata.
angka. Dan kata-kata secara mencolok hadir sebagai bersamaan dengan angka-angka dan
kotak-kotak yang terstruktur untuk mengesankan sebuah pencitraan geometri ruang yang
terukur. Afrizal sendiri dalam esai proses kreatifnya, yang dimuat dalm bagian akhir buku
Kalung Dari Teman, masih menempatkan “rasionalisasi atas pengalaman Kata” melalui
bahasa gambar dan ruang yang materialistis yang bisa diukur, dan bukan ruang spiritualis-
mistis. Dengan ruang yang materialistis, puisi-puisi Afrizal hampir tak pernah absen
mengkritik kecenderungan negara yang tak berterus terang dan tidak logis. Agaknya, penyair
ini seperti menganut ideologi anti-negara berikut perangkat militer dan jajaran
pemerintahannya, yang tampak keras kepala. Kritik atas negara kadang menggunakan kritik
Apa saja yang ditampilkan Afrizal seperti berubah menjadi biografis dan eksistensialis
sifatnya. Tanpa sedikit pun merasa riskan menghadirkan apa saja yang sempat ditemukannya
puisi. Berbagai wawasan puitik dengan berbagai logat muncul dari pertemuan dengan benda-
benda urban dan berbagai tradisi lisan di kepulauan Nusantara. Logat Betawi memang masih
sering muncul ketimbang yang lain-lain. Dalam puisi-puisinya juga sering menyeruak
pepaya. Lalu muncul juga benda-benda urban; kaleng, kardus, permen karet, megapon,
Puisi-puisi awalnya tampak berwarna ”Dada” dan agak kental dengan permainan sulawan,
Jean Paul Sartre. Dalam kumpulan puisi Abad yang Berlari misalnya, penyair ini seakan
memutlakkan mitos keluhuran dan kebesaran manusia dengan filsafat manusia lewat bahasa
pengucapan macam ini: “aku ingin jadi manusia, memuja kebesaran manusia, palu, o
kematian, kematian yang sempurna, o waktu… Namun pada saat yang sama, Afrizal juga
menampilkan kematian manusia setelah kemajuan teknologi dan informasi yang gila-gilaan.
Dalam puisi “Dada”, “Masyarakat Rosa”, “Mitos-mitos Kecemasan”, “Asia membaca”, atau
beberapa puisi terbarunya, manusia nyaris mati digilas mesin waktu. Ada usaha untuk
menciptakan genre sajak Dada Asia. Dan sang penyair terus histeris menyebut-nyebut dan
ditambah kehadiran huruf O dan kata kematian dalam puisi-puisi Abad yang Berlari, memang
bisa menambah efek kesunyian, kegelisahan, kesepian, kekosongan, sakit, perih. Terutama
Iwan Nurdaya Djafar pernah memparodikan kecenderungan histeria Afrizal Malna melalui
sebuah sajak bertajuk ”Malna Yang Berlari” (1988): ”tanpa membaca, malna malna/mengejar
abad yang berlari/maka palu demi palu/dari segala penjuru/merecaikan batu iman/tinggal
puisi”.
Puisi-puisi Afrizal yang awal memang belum gandrung mempersoalkan geografi puisi
dengan kuat, sebagaimana ia lakukan belakangan ini. Harap dimaklumi bila ada yang
mengingatkan puisi-puisi dalam Abad yang Berlari pada Adimanusia Nietzsche atau atheisme
Jean Paul Sartre serta pemberontakan Soren Kierkegaard terhadap penantian dan harapan
Namun dalam kumpulan puisi terbarunya, Di Rahim Ibuku tak ada Anjing, agaknya gagasan
eksistensialis yang keras itu dienyahkan dari puisinya setelah sang penyair menemukan
tematik dan bentuk pengucapan yang dekat dengan strukturalisme. Berbagai penanda dan
petanda strkturalis itu ditakiknya dari berbagai negeri kepulauan. Afrizal dengan intim
mengekspresikan sajak-sajaknya dengan kembali pada struktur, pada bentuk, pada
kedalaman, dengan menggunakan bahasa gambar dan visual. Meski sering dicemooh sekadar
berkutat pada ilusi geometris dan perjalanan yang sempit dan meniscayakan keterbatasan,
sebagaimana makna kedalaman dan bentuk itu sendiri, wawasan puisi Afrizal dapat
dipetanggungjawabkan.
Bila dihayati lebih dekat, ada kecenderungan kuat untuk menghadirkan puisi dalam wawasan
geometri, atau berhasrat meng-angka-kan kata-kata. Setiap kata dalam puisinya bagaikan
struktur baja yang menunggang beban kedalaman kemaknaan, tapi pada saat yang sama
makna itu menjadi gelap oleh karena tipe dan strukturnya. Di sini terlihat bahwa kedalaman
di pedalaman tak lain adalah bahasa ruang. Dalam konteks puisi dan teater, inilah yang
dahulu disebut oleh Gaston Bachelard sebagai puisi ruang atau teater ruang.
Membicarakan ruang dalam puisi, prosa, maupun teater garapan Afrizal Malna, tak pernah
bisa dikatakan sebagai ini dan itu. Akan tetapi, berbagai personifikasi tentang ruang selalu
bisa dihubungkan dengan kekuasaan—baik kekuasaan dalam arti politik, ekonomi, sosial,
maupun kultural. Dengan kata lain, ruang bukanlah entitas yang statis, melainkan sesuatu
yang berjalan terus sebagaimana waktu. Ruang bergerak dalam perubahan-perubahan dan
menuntut pemetaan ulang atas konsepsi dan imajinasi geografis setiap kali kita
bentuk dengan ruang. Ruang-ruang kota Jakarta misalnya, kerapkali digambarkan Afrizal
dalam konteks ketegangan antara apa yang disebut ”enclave dan access”: yakni antara logika
yang memaksimalkan penutupan dan memperlancar akses. Ketegangan ini semakin lama
semakin rumit, tumpangsusun dalam berbagai paras dan bentuknya, dan akhirnya semakin
tak terasa dan tak disadari oleh para penentu kebijakan. Para perencana, arsitek, pengelola,
dan pemodal bahkan masih saja berpikir dan berlomba-lomba untuk membuat berbagai
macam enclave dengan tujuan untuk memberi mereka akses dalam memanfaatkan ruang-
Tak mengherankan jika Afrizal menangkap akibat sampingan, di mana ruang-ruang kota
yang bukan enclave, yang berada di pinggir, atau ruang sisa, menjadi tak terpikirkan,
diabaikan, dan lambat laun dihilangkan dan siap dikonstruksi dan diubah-jadikan enclave
model lainnya. Logika ruang semacam inilah yang oleh Ilya F. Maharika dalam salah sebuah
esainya mengenai arsitektur, dinamakan sebagai logika ruang kolonial, yang menghasilkan
ruang yang seragam, tertutup dan kehilangan keunikan dan kreativitasnya. Sejarah lokalnya
Rakyat miskin perkotaan, yang tinggal di ruang-ruang sisa, kata Afrizal: sering kali dibiarkan
dalam kondisi nyaris tidak tahu apa-apa terhadap persoalan, keadaan, perubahan dan bencana
yang akan menimpa mereka akibat hasrat untuk menguasai semua potensi ruang yang ada.
Rakyat, katanya, telah jauh kehilangan medianya melalui berbagai politik perijinan dan
legitimasi hukum yang dijalankan. “Imajinasi sosial kita tentang ruang menjadi impian-
Berbagai fenomena baru yang muncul dalam pengalaman ruang kita di hari ini, sebagaimana
juga pernah disinggung Bambang Sugiharto (2002), telah mengalami perubahan peran dan
fungsi. Karena itu, kini dituntut bukan saja sekadar melakukan koordinasi atas relasi ruang
dan tubuh kita, melainkan juga menciptakan pola persepsi baru atas pemahaman akan nilai
ruang bersama.
“Siapa yang tak butuh ruang-ruang yang nyaman, aman, ramah dan indah sebagai tempat
berteduh”, kata Ilya F. Maharika, karena “ruang yang sempit, kumuh, sumpek, dan bau apak,
bila perlu dibuat seindah mungkin agar kita merasakan kenyamanan”. Bila perlu ruang-ruang
yang sudah disulap bagus-bagus dan menetereng itu kita buat rumah dan ditempel lukisan
Picasso atau Hanafi, sudut-sudutnya diberi pentilasi dan sirkulasi agar udara bisa bebas
keluar-masuk, dan di halamannya didirkan gardu satpam untuk mengawas maling, hingga
semuanya seperti mal Taman Anggrek yang mampu menampung kenyamanan dan selera
konsumen.
Tapi, jangan pernah bermimpi bagi para pengemis, tukang pancong, tukang sol sepatu,
tukang becak, dan gelandangan; jangan pernah berharap kalian bisa masuk ke dalam, bahkan
di teras depannya, walau pun saya tahu kalian hanya sekadar numpang berteduh dari guyuran
hujan! Afrizal punya pengalaman pribadi soal ini ketika masih aktif di UPC Jakarta.
Dengan memanfaatkan cara pandang terhadap ruang ketiga, Afrizal Malna menohok
kekuasaan melalui gagasan puisi ruang dan teater ruang. Cara ini ditampilkan dengan
mencoba melebur, mengaduk, menyandingkan dan membaurkan dimensi ruang dan waktu.
Dan ”waktu adalah air”, tulisnya. Sementara ruang seakan menjelma ”sungai yang terpanjang
dalam waktu”. Dan Afrizal berusaha menempatkan ruang di jalan-jalan kota Jakarta tidak lagi
seolah-olah nyaman dan aman, humanis, tapi sesungguhnya dibalik gagasan-gagasan yang
bagus dan memikat itu tersembunyi mata-mata penjaga, mata-mata kamera yang mengawasi
segala sesuatunya agar tampak kondusif dan terkendali, padahal sesungguhnya hanyalah
semu. Ruang di jalan mengalami perubahan yang berlangsung sangat dinamis. Tak ada relasi
di jalanan. Antara tukang bakso, sopir mobil, sopir bajai, dan becak sering berjalan sendiri-
sendiri tanpa relasi. Begitulah ruang yang terjadi di jalanan. Afrizal pernah menggagas
“rumah gerobak” untuk pemukiman kaum miskin kota Jakarta karena—minjam salah satu
Tak urung, sajak di atas menghadirkan imajinasi tentang orang-orang kota Jakarta yang
kehilangan jejak sejarahnya lantaran rumah-rumah mereka telah digusur. Dan Afrizal
agaknya ingin menjadi ”yang Lain”. Dan ide ini menghancurkan ide dasar ruang dalam
sebuah rumah yang umumnya bersifat statis. Dengan rumah gerobak maka rumah bersifat
mobile, lentur dan dinamis. Namun ide ini rupanya tak mudah dan sudah bisa diduga
sebelumnya: gagal.
Ruang dalam rumah bagaimana pun adalah sebuah “tempat-diam”. Karena itu rumah menjadi
pusat dari kehidupan penghuninya. Sebagai eksistensi bagi manusia yang menempatinya.
Rumah sebagai pusat kembali, atau pulang dari persiran. Dan pulang berarti kembali ke
mahia, kembali dalam hal-ikhwal yang dialami sebagai miliknya sendiri. Apa yang
dinamakan milik, tak lain kecuali tempat-diam itu: tempat di mana sang penyair berakar; di
mana di rumah ia merasakan kenyamanan, adanya perlindungan dan ketentraman. Bagaimana
jika keinginan untuk kembali pulang ke rumah namun rumah itu telah tiada?
Sekali lagi saya ingin menegaskan imajinasi ruang geometris dalam puisi-puisi Afrizal hadir
dengan angka-angka melalui ukuran meter, sentimeter, dan waktu. Ruang dan waktu
dipahami sebagai yang berisi, bukan kosong dan hampa. Inilah dua tema yang juga sangat
Afrizal menganggap kekosongan bukan sebagai ruang, karena kekosongan memang masalah
yang mengandung aura mistis. Dan kita tahu: Afrizal kian jauh dari kecenderungan kaum
mistik. Bahkan lebih condong pada ekspresi bilangan satuan yang rasional model para
Ketika menyinggung puisi Danarto dengan ”ruang sembilan” yang terkenal itu, dalam sebuah
esainya Afrizal mengatakan: ”puisi yang cuma terdiri dari kotak berjumlah sembilan itu
Menarik mengaitkan gagasan Afrizal tentang angka dan bilangan dengan seorang
matematikawan yang menderita skizofrenia yang pernah menulis tentang variietas aljabar
berdimensi 6 yang sama dengan ruang berdimensi tujuh, yang adalah singular dengan sebuah
matematika tingkat tinggi mungkin bisa memberikan jawaban terhadap singularitas dan
enigmatis model puisi-puisi metris. Dan kita tahu bahwa pengertian ruang imajiner dalam
puisi berasal dari matematika yang mengklaim suatu posisi ideologis dominan mengenai apa
yang dimaksud dengan ruang matematis. Henri Lefebre dan Linda Tuwihai Smith bahkan
posibilitas ruang.
Bahasa ruang inilah yang mempengaruhi cara Barat berpikir tentang dunia di luar bumi, cara
mereka memandang masyarakat Timur yang eksotis. Ide-ide para filolog Barat mengenai
ruang dan waktu terkodekan dalam bahasa. Dan Afrizal menabuh tambur dengan ajakan
untuk melakukan ”perang kode” melalui wacana Asia Membaca. Namun pada saat yang
sama Afrizal terpukau juga oleh Barat. Katanya dalam esai proses kreatif:
Saya tidak heran kenapa saya merasa memiliki pijakan yang lebih bermakna, lebih pasti,
untuk menulis puisi di negeri mereka daripada di negeri sendiri. Karena memang Eropa telah
menata dirinya sedemikian rupa hingga kepada tatanan pemaknaan, dari tata kota hingga janji
untuk berkunjung.
Apa yang unik dalam wawasan kepenyairan Afrizal terlihat pada lontarannya yang seakan
waktu kronometris sekaligus waktu geometris yang sering mewujud dalam bentuk bilangan
dan teorema aritmetika yang unik dan menarik. Tabiat puisi semacam ini masih
memungkinkan untuk didekati dengan teori semantik kata atau teori strukturalisme atau teori-
teori yang selama ini diterapkan dalam pembacaan puisi-puisi lirik. Puisi-puisinya
mengandung lirik yang sangat posesif dengan memaklumkan bahwa hasrat menulis itu
sendiri dengan sendirinya juga mengandung hasrat untuk melukis. Dalam hal puisi, Afrizal
Bagaimana kita membayangkan puisi inkonvensional semacam itu? Belum ada penyair
Indonesia yang menghadirkan kata-kata yang terkesan acak dan kata-kata nyaris tak saling
bertaut dan menjauh dari keberartian melebih Afrizal. Sajak itu menekankan bunyi yang tak
membahana oleh fonem dan kata buntung dan tipograpi dibiarkan apa adanya, namun seperti
halnya sebuah stuktur, kata-lah, bukan imaji, yang jadi andalan. Dengan demikian, puisi-puisi
Afrizal menjadi semacam endapan di kepala pembaca. Atau, untuk meminjam istilah Afrizal
sendiri, ”kata yang memukul pikiran pembaca” dan tak ubahnya seperti tambur dalam
kesenian Minang.
Bentuk-bentuk dan motif-motif kedalaman menyangga kita untuk menggunakan bahasa dan
pendekatan yang lebih relevan dengan konteks geometri ruang imajiner dan wawasan visual.
Dalam satu wawancara di Jurnal Nasional Minggu, 28 Oktober 2007, Afrizal memang pernah
ketika ia bernapas, seperti kedua kakinya yang sedang berjalan, seperti tangannya yang
tengah memegang, memeluk atau mencakar, seperti darah dalam pembuluhnya yang mengalir
dan emosi-emosi bawah sadar. Untuk merasakan seperti itu, Afrizal berkali-kali berusaha
memasuki cara berpikir dunia visual. “Kini cara berpikir dunia visual juga tidak mudah lagi.
Selanjutnya, dalam situasi seperti itu, “saya seperti kembali ke cara kerja klasik yang bermain
dengan struktur” dan “rasanya lelah dan tidak terlalu mampu mewakili emosi saya; lebih lagi
saya semakin tidak tahu menulis puisi untuk apa dan untuk siapa”, katanya. Dan semuanya ia
lakukan nyaris untuk dirinya sendiri tanpa kehadiran yang lain. Bahkan ia ingin menjadi
Jika kita amati secara lebih dekat, sajak-sajak Afrizal memang condong memasukkan
susunan, bangunan, dan kerangka di mana sistem dari unsur dan relasi-relasi dapat saling
ditransformasi dan dimengerti sebagai suatu bentuk keseimbangan khas dalam ruang yang
terbatas. Dengan daya akal abstrak dan pemikiran liar, kata-kata disusun berdasarkan
kenyataan yang diamati. Bukan sekedar struktur sebenarnya, melainkan terutama dengan
Keliaran imajinasi dalam menganalogikan seni dan bangunan atau puisi dan ruang, dalam
sejarahnya tak jarang justru mengilhami orang untuk melompat ke medium pengucapan yang
berbeda dari sebelumnya dan menjadi kreatif. Jalan yang diambil memang harus beda. Lain.
merangsang kita untuk mengekspresikan kimia keindahan sebagaimana Omar Khayam dulu
bisa jadi justru ini akan menjadi lampu hijau bagi pemcemahan masalah sains dan puisi di
masa kini. John von Neumann—bintang matematika dan fisika di Princeton era 1950-an yang
dijuluki sebagai pemikir serbabisa,sebagimana dicerita Sylvia Nasr dalam biografi tentang
John Nash yang jenius dan sempat terserang api delusi skizofrenik yang kemudian menyabet
hadiah Nobel itu, pernah mengatakan: ”matematika terapan adalah sesuatu yang harus dikejar
demi keindahan puisi dan musik”. Atau, seperti kata Afrizal, bunyi puisi tidak dibentuk lewat
rekayasa tipograpi, melainkan lewat kata yang memukul pikiran pembaca seperti peralatan
Kenapa matematika penting untuk puisi dan musik? Sudah umum jika puisi analogi dengan
musik, puisi dan mitos, puisi dan tari, kendati “saya iri dengan dunia tari”, kata Afrizal,
namun sambil melanjutkan: “Saya setuju bahwa tari merupakan kesenian yang paling dekat
dengan manusia karena menggunakan tubuhnya sendiri. Saya ingin memasuki kata seperti
memasuki “sejarah tubuh” dari tubuh saya sendiri”. Saya menangkap sesuatu yang mungkin
saya sebut saja sebagai ambiguitas yang paling bersahaja dan murni antara apa yang
dinamakan rekayasa sains dan keheningan puisi. Beberapa pemikir, seperti Karl Popper
misalnya, juga menyebut adanya persenyawaan antara ambiguitas sastra dan sains sebagai
elemen non-rasional, atau sebentuk intuisi kreatif yang hanya bisa muncul dari pikiran
Di sini kita melihat struktur, bentuk, geometri ruang, dalam karya-karya Afrizal, bukan lagi
sebagai tamu tak diundang. Bahkan ia telah melangkah lebih intim dengan masuk ke dalam
elegi permainan motif mitos dan sains dengan puisi sebagai medium bahasa ruang imajiner
dan Waktu dipersepsi sebagai yang berlari. Kecenderungan semacam ini jarang sekali
disentuh penyair lain. Banyak penyair atau kritisi hanya sekedar mendedah kelantangan
belaka tanpa masuk ke dalam permainan puisi dan geometri ruang secara intim.
Para penyair lebih banyak menolak gagasan sains ketimbang mengapresiasinya. Mungkin
karena ilmu pengetahuan memiliki sejarah yang mencemaskan dan terlampau mutlak-
mutlakan, maka sains kian jauh dari seni atau puisi. Demikian pula sebaliknya; jarang
ilmuwan memanfaatkan temuan puisi atau seni rupa untuk menggagas rumus-rumus sains
atau teorema-teorema matematika. Kesimpulan ini mungkin tak selalu tepat karena tak
Saya ingin mengemukakan secara khusus tentang wawasan geometris dalam puisi-puisi
Afrizal. Ada semacam ilham yang saya peroleh dari pertemuan dengan karya Afrizal yang
bermain dalam wilayah spiritual dan rasional, atau antara metafora dan logika. Penyair yang
di kalangan teman-teman di UPC dianggap sebagai ”serba-bisa” ini, sejak awal sekali telah
Membaca puisi-puisinya, muncul kesan bahwa apa yang disebut puisi ternyata bisa
diekspresikan melalui proses metris. Waktu bisa dilihat dalam konteks ukuran metris, waktu
kronometris, waktu psikologis dan waktu eksistensialis. Demikian pula soal ruang; ada ruang
mistis dan ruang rasionalis. Jangan-jangan memang cara menyikapi puisi semacam inilah
Dengan demikian: bukankah puisi tak sekaku yang kita bayangkan. Bukankah perbedaan
antara puisi dan geometri begitu tipis? Barang kali dengan pertanyaan ini, Afrizal hendak
mengajak para penyair untuk melompat dengan tangkas, atau melangkah lebih jauh dari
Richard Rorty yang pernah menyebut sains sebagai genre sastra “ komidi-putar- sastra-
esainya.
di mana sang pengarang dengan tangkas bergerak dari van Neumann dan John Forbes Nash
ke Iwan Simatupang ke Einstein ke Sitor ke Sutardji. Bukan sekedar untuk menyerap aura
estetik saja lagi, atau mencari inspirasi saja lagi, melainkan “sebagai bagian dari massa”.
Dalam beberapa puisinya, penyair kita memang masih tampak menampilkan keinginan
terpendam untuk melakukan dengan sungguh-sungguh pertemuan antara satra dan sains,
berkali-kali tanpa henti. Afrizal telah mulai mengekspresikan bahasa numerologi dan
geometri yang berseni, atau sebuah niat untuk memvisualkan kata sehingga jadi teorema yang
indah. Tapi benarkah teorema yang indah atau sekedar kebuncahan belaka?
Bahasa visual terasa lebih luas karena kode bahasa atau kuncinya memang tersusun pada titik
pusat pengalaman indera serta nalar yang sering tak tersadari. Penalaran visual dalam
puisinya (baik dalam arti fungsi emotif, denotatif, dan seterusnya) seketika berwujud gambar
atau tata simbolik, kode, sering kali meminta pembaca untuk merimanya sebagai perang
kode. Cara berpikir dekodasi atau membaca kode ini, memang menarik. Dalam teori
informasi, dekodasi merupakan sebuah proses dengan cara-cara tertentu di mana si penerima
Octavio Paz pernah menyorot soal ini dalam pertemuannya dengan Levi Strauss dengan
menganalogikan misteri penciptaan puisi dengan misteri matematik: keduanya menurut Paz
tak lebih dan tak kurang, dan kita tak kunjung mengerti berapa orang adalah Einstein
sedangkan yang lainnya adalah Garcia Lorca. ”Semua karya seni dapat dipahami asalkan kita
punya kuncinya”, kata Paz. Dan kuncinya itu menurut Paz adalah kreasi (art). Dalam puisi,
kreasi diberi tempat paling tinggi, tapi tak setiap puisi adalah kreatif.
Dalam buku Gembira Bermain dengan Geometri (1996), Janice VanCleave mencoba
merumuskan geometri berseni sebagai pelajaran tentang gambar dan bentuk yang
menggunakan angka dan lambang sebagai kehendak menyatakan hakikat dan sifat-sifat dari
Namun di sini juga soalnya: sebagaimana isi, bentuk juga tak berwajah tunggal. Ada bentuk
formal dan ada bentuk informal, lonjong, belah ketupat, dan seterusnya. Bisa saja satu jenis
bentuk adalah ilusi, tapi bentuk lain tidak. Ketika dikaitkan dengan kesadaran, sajak-sajak
Afrizal tampak menampilkan manusia pathos. Puncak kegersangan dunia bawah sadar yang
seperti ingin meledak, terutama ketika aku lirik terperangkap ke dalam bentuk geometris
yang membelenggu. Lalu sang penyair bersicepat kembali ke waktu imajinatif, bukan ruang
nyata.
”waktu nyata” ternyata seperti memiliki mesin yang lama kelamaan menjelma bagaikan anak
panah lepas dari busurnya. “Betapa waktu dalam dunia kesenian saya rasakan bergerak lebih
cepat bila dibandingkan dengan waktu yang begerak dalam perusahaan tempat saya bekerja”,
kata Afrizal suatu kali. Maka, hanya dengan bentuk, dengan ”rasa senang kepada Bentuk”,
kata Octavio Paz (lewat terjemahan Goenawan Mohamad), justru dapat membatasi gerak dan
kebebasan pribadi kita untuk ke luar masuk secara merdeka tanpa merasa dibatasi oleh aturan
Sambil merujuk pandangan Octavia Paz dalam Labirin Kesendirian, seingat saya Goenawan
pernah menerjemahkan bentuk dalam salah satu catatan pinggirnya “sebagai yang bisa
melingkungi, dan sebuah terali pada dunia pribadi kita, membatasi ekses-eksesnya,
mengekang ledakan-ledakannya, dan mengisolir serta memiara dunia pribadi”. Bentuk sama
saja dengan geometri yang penuh ilusi. Bentuk dan isi selalu berada dalam helai kertas
bertuliskan kata-kata puisi secara bersamaan, kendati soal ini sering kali menyita waktu
sebagian kritikus untuk terus membicarakannya dalam tiap kesempatan ketika ia muncul
kembali. Puisi-puisi Afrizal terasa lebih sadar bentuk ketimbang isi. Jika dahulu orang
mencibir bentuk dan merayakan isi, kini orang mulai mencibir bentuk sambil mencibir isi.
Di kota besar di mana segalanya mencemaskan, individu sang penyair bisa dipisah-jauhkan
dari lingkungan fisik dan komunitasnya. Berkat kontrol atas ruang dan pemisahan ruang
dengan waktu, individu di kota besar Jakarta, di mana Afrizal dibesarkan, juga bisa bergerak
pada jarak yang jauh dari alam semesta. Tercerabut dari ikatan dengan kosmos dan kehidupan
bersama hingga jarak pun memisahkan individu dalam kekuasaan dari subjek yang mereka
kuasai, dan ini berlangsung secara impersonal, rasional, dan luar biasa efektifnya. Karena itu,
rasionalisme tak bisa ditolak bagi Afrizal, bahkan ”setiap yang saya lakukan harus ada
rasionalisasinya” karena ”saya tak punya bakat menjadi seorang mistikus”, akunya.
Afrizal memperhadapkan rasio dengan mistik, nalar, struktur, bentuk, dan ruang geometris,
nyaris tak disadari oleh Malna sebagai pengalaman rasio-objektif. Padahal apa yang disebut
rasio, struktur, ruang dan bentuk tidak lain adalah sebuah dunia yang membatasi ekses-ekses
kehidupan yang lebih luas. Dengan kata lain, sebuah ilusi geometris juga.
Rasa senang seorang Malna pada bentuk dan bilangan sama saja dengan rasa gandrung pada
rasio dalam filsafat yang hampir mati. “Sungguh menggelikan sekali bila kita masih gemar
bicara tentang manusia dalam filsafat dan sastra sebagai sebuah proporsi geometris”, kata
Pascal sambil melanjutkan: “dalam filsafat moral dan sastra modern dengan corak geometris,
tak lain adalah sesuatu yang absurd dan khayal”. Pascal bisa saja salah. Bukankah yang
absurd dan yang khayal itulah yang justru jadi penopang bangunan puisi sehingga tidak
mudah runtuh oleh pikiran paling kritis dan logis yang membongkar-bongkar di sana-sini
sekali pun?
Dalam buku analekta puisi Arsitektur Hujan misalnya, Afrizal cenderung menyuguhkan pada
pembaca sebuah bentuk puisi sebagai pencitraan ruang arsitektur. Dari judulnya saja telah
mencolok hadir sebagai kotak-kotak yang terstruktur untuk mengesankan sebuah pencitraan
sebuah ruang yang rasional. Bahkan bila mengikuti pembaitan dan penyusunan margin, akan
mengingatkan kita pada tabiat puisi ruang yang digagas Gaston Bachelard di Prancis.
Pencitraan ruang secara eksplisit diungkapkan pada judul kumpulan puisi ini. Dan sebagian
besar puisi dalam analekta ini membentuk struktur dan pola-pola geometris sekaligus
mengingatkan kita pada struktur bangunan. Kesan pertama yang saya tangkap saat menatap
puisi-puisi dalam analekta ini adalah bahwa penyairnya ingin menampilkan pencitraan ruang
arsitektur melalui pembaitan, atau penstrukturan kata-kata sebagaimana para arsitek membuat
struktur bangunan.
Bila ditelusuri dari bentuk diksi yang digunakan Afrizal, maka puisi-puisinya mengingatkan
saya pada kubisme. Bila diibaratkan sebuah rumah, puisi-puisinya memiliki siku-siku dan
sudut-sudut dengan celah yang masih dibiarkan kosong. Namun yang kosong ini bukan
sebagaimana kaum mistik memahaminya, melainkan sebagaimana para filsuf meyakini satu
(1) sebagai yang logis. Dalam bahasa yang agak metaforik, yang kosong itu barangkali
semacam ”ruang lengang dari separuh waktu” yang mesti diisi setiap kali kita menatap atau
membaca puisi.
Afrizal memandang margin dan indeks kata mirip gagasan Roland Barthes tentang margin,
kode, citra, dan foto. Dalam esai-esainya Afrizal sering menyinggung soal kode budaya
dengan gagasan “memerangi kode”. Dalam diskusi beberapa kali dengan Afrizal, perang
kode sering kali dilontarkan, baik dalam konteks kerja kesenian maupun kerja sosial. Afrizal
seingat saya pernah mengusulkan strategi gerakan sosial dengan melakukan perang kode di
ruang kota.
Alia Swastika dalam salah satu edisi jurnal LeBur pernah menyinggung cara pandang yang
berbeda antara Lauren Bain, Yudi Ahmad Tajudin dan Dewi Noviami dalam mempersepsi
apa yang oleh Afrizal dinamakan peristiwa teater dan “perang kode” atau “memerangi kode”
tersebut dengan mengaitkannya dengan tiga konsep budaya yang pernah diajukan filsuf
pasca-Marxis, Piere Bourdieu. Bukan maksud saya untuk mengatakan Afrizal dipengaruhi
oleh Barthes maupun Bourdieu, sebab setahu saya Afrizal tak pernah membaca karya kedua
pemikir ini, baik dalam bahasa Inggris maupun Prancis (kedua bahasa yang tak dikuasainya
getol membedah gagasan Barthes dan Bourdieu soal citra dan iklan dalam konteks budaya
massa dan ekstasi. Dan penulis Indonesia yang pernah menulis dalam bahasa Indonesia soal
pandangan Barthes tentang kode, foto dan fotografi dalam konteks tiga waktu atau waktu
Memang, gagasan kesenian Afrizal muncul dari banyak bayang-bayang dan rasa hayatan
pengalaman yang keras ketika berhadapan dengan realitas kekotaan yang nyaris
suasana ruang kota, Afrizal sering kali harus mengimbanginya dengan mudik ke dalam
kesunyian diri dan kontemplasi ke dunia pedalaman untuk menyerap inspirasi sebanyak-
Mitos tak pernah mati dalam imajinasinya. Hanya saja, motif mitos itu sendiri sering kali
tersembunyi dalam gerak kata-kata, dan hanya bisa dikenal melalui kecenderungan naratif
atau susunan kata maupun karakter diksinya. Motif-motif mitos seakan menata pola-pola
diksi di dalam model bangunan arsitektur mitos-mitos baru dengan memanfaatkan pseudo
Hasil penstrukturan dengan variasi gambar yang bertukar rupa dan bertukar susun dalam
tempo sangat tinggi itu, sungguh mencengangkan. Terkadang berbinar dan berpendar,
menyusun dan membangun mahligainya sendiri melalui sosok-sosok imaji yang timbul
tenggelam antara ada dan tiada, seperti wawasan para filsuf eksistensialis. Tengok misalnya
mitos Pandora dalam penggalan puisi “Kardus Pandora”, bertitel 1997 ini:
Tanpa mengutip keseluruhan puisi ini, mitos yang berasal dari Yunani itu tampil melalui alusi
tentang nabi Luth. Mitos Yunani itu direkonstruksi sedemikian rupa hingga mengalami
proses pemaknaan yang berbeda. Apa yang bisa kita kenal di sana tak lain adalah motifnya,
bukan sebagai seluruh rancang-bangun mitos Kotak Pandora tersebut. Bila dikaitkan dengan
Tuhan, maka di sini Tuhan di persepsi sebagai kisah-kisah, prosa kisah-kisah dari puisi
orang-orang, benda-benda, dan gunung-gunung yang berjalan di atas awan. Dan Tuhan
berkisah-berkisah tentang orang-orang arif dalam gaya prosa kefanaan dan kematian
sembilan lelaki perusuh, sembilan mukjizat lezat dan delapan ekor binatang yang berdekap-
dekapan, tanpa kehadiran sembilan ruang atau sembilan waktu model kaum sufi.
Luth—yang umatnya dikutuk Tuhan dalam kisah Kitab Suci itu—seperti mengajak kita untuk
mendaki ke bukit-bukit pasir lagi, sebelum dusta lama kembali bersua, sebelum kecemasan
bersimaharajalela di sekitar kita. Dalam puisi “Mitos-mitos Kecemasan”, motif mitos di situ
bisa kita kenal dengan melihat bagaimana puisi dan mitos saling berdepan-depanan hingga
puisinya terkesan menampilkan sebuah ironi, kalau bukan sulawan. Dari mitos benda-benda,
Afrizal menggeser bangunan puisinya ke dalam mitos-mitos manusia. Dengan mitos, puisi
tak perlu berusaha keras membangun struktur universalnya sendiri, karena bangunan dalam
puisi menyangga struktur itu sendiri dan karena itu tak harus diunversal-universalkan.
Wawasan puisi Afrizal tampak berayun-ayun antara tragedi dan komidi. Sajak-sajaknya—
tapi sekaligus mengetengahkan suasana murung yang akut orang dewasa. Bukan kebetulan,
sejak Plato dan Aristoteles sampai Nietzsche, persoalan tragedi dan komidi mendapat
perhatian yang serius dalam wawasan seni yang mengubah getaran impian dan menyudu rasa
ria memabukkan.
Gugusan tragedi yang menimpa keluarga Luth hingga keluarga dewa-dewa serta tragedi
orang-orang kota Jakarta dan Calcutta dan Beijing yang kehilangan rumah sejarah dan orang-
orang “pedalaman” yang kehilangan masa lalunya yang intim dalam sajak Kardus Pandora
itu, sering kali menampilkan alusi dan parodi sekaligus ilusi dan alusi yang bergoyang-
Dalam teorinya tentang tragedi, Aristoteles telah menggarisbawahi penciptaan sebuah drama
tentang plot yang tragis; di antara semua unsur yang perlu bagi tragedi—pentas, karakter,
fabel, diksi, melodi dan pemikiran—Aristoteles mengganggapnya yang paling penting justru
sebuah kombinasi kejadian-kejadian dalam ceritera, karena tragedi pada hakikatnya bukan
imitasi pribadi, melainkan kalau boleh disebut adalah: imitasi tindakan dan pancuran
Dami N. Toda bahkan mengaitkan Kardus Pandora lebih jauh, mulai dari sisi motif mitos
dengan menyusuri dari muasal pertamanya dalam mitologi Yunani hingga ke motif-motif
magis-mitos modern. Dami mengaitkan bungkahan tragedi Kardus Pandora melalui karya
dramawan Inggris Frank Wedekind tentang motif mitos dalam Eart Spirit (1895) dan The
Dance of Death (1901) Strindberg sampai dengan tragikomidi abad ke-20 Luigi Pirandillo.
Apa yang dilakukan Afrizal dalam Kardus Pandora tersebut justru motif tragedinya
diusahakan untuk dipantulkan atau disilangkan dengan motif mitos lain dari Kitab Suci,
tokoh Luth (Lot), keponakan nabi Ibrahim (Abraham), moyang suku Moabiter dan
Ammoniter. Mitos Luth dalam Kardus Pandora sangat spektakuler, kata Dami, karena hanya
ia dan kedua anak perempuannya yang diselamatkan oleh Allah dari kutukan badai api
amarahNya dalam membasmi kota Sodom dan Gamora. Sementara istri Luth dikutuk menjadi
membayangi isi sajak dan motif yang terpampang di baliknya. Pembedaan ini mungkin lebih
ditujukan dengan isi dan motif bukan bentuk dan hakikat sajaknya. Afrizal melihat
pembedaan itu nyaris agak mutlak. Dan jika didekati dengan cara pandang Ernst Cassier
dalam An Essay on Man, yang menyorot hubungan antara trgedi dan komidi sebagai
Cassirer mencontohkan karya akhir Symposion Plato yang melukiskan Sokrates tengah
komidi—di mana Sokrates mengajak dua penyair itu mengakui bahwa penyair tragedi ialah
seniman komidi dalam arti sebenarnya, dan begitu pun sebaliknya. Dalam komidi maupun
dalam tragedi, begitu kata Plato dalam dialognya, membuat kita senantiasa mengalami
semacam campuran rasa ceria dan rasa getir. Sang penyair mengikuti hukum-hukum alam
sendiri karena ia memotret seluruh komidi dan tragedi kehidupan. Apa yang diekspresikan
Afrizal dalam puisi Kotak Pandora mengingatkan tragedi Prometheus dan Epimetheus,
tentang chaos dan eros, tentang yang indah dan yang lembut, dalam ”manusia epimenthean”
yang pernah disinggung Ivan Illich dalam bab tentang mitos Kardus Pandora buku
Deschooling Society (1972): ”Pandora yang asli adalah Dia yang memberikan Segala
Sesuatu, yang adalah seorang Dewi Bumi zaman prasejarah Yunani yang Matriarkal”, tulis
Illich.
Namun Afrizal bukan sekedar motret, tapi hasil sebuah representasi dari kawasan teks yang
kaya: kawasan teks yang bergerak antara pengalaman empiris serta lingkungan teks dalam
pergaulan literer seorang penyair. Keduanya, kata Afrizal, diangkat lewat berbagai elemen
dalam puisi: ide, latar puisi, metafor, pesan, bunyi. Pada mulanya elemen-elemen itu
statusnya sama, tapi kemudian mengalami pergeseran.
VI
Walhasil, puisi Kardus Pandora membuka selubung kita tentang tragedi dan komedi lebih
jauh. Afrizal dekat dengan teori tentang tragedi dari Aristoteles, terutama dalam konteks
lakon. Dalam sebuah teater Biografi Yanti Setelah 12 Menit misalnya, aktor-aktor tidaklah
demi tindakan.
Satu pelajaran penting dari kecenderungan puisi-puisi Afrizal adalah: pembaca dituntut
memiliki wawasan luas untuk bisa menangkap gelagat wawasan seni ”tak wajar”. Apabila
pembaca tak mampu menangkap nuansa-nuansa rumit dari corak-corak atau motif-motif
perasaan yang berbeda-beda dan kaya, kata Ernest Cassirer dalam buku esainya yang
terkenal, maka ia tak mampu mengikuti variasi-variasi kontinu dalam irama bunyi atau nada,
serta tak tergerak oleh perubahan-perubahan dinamika yang mendadak. Pembaca bahkan
Kita boleh saja bicara soal bawaan pribadi si seniman, tetapi karya seni tidak memiliki fiil
khusus. Mengatakan musik Mozart riang-gembira atau tenang, musik Bethoven itu suram,
muram dan agung, hanya akan menunjukkan bahwa si pembaca bercita-rasa dangkal. Dalam
Pembedaan antara tragedi dan komedi tidak relevan sama sekali. Komposisi Bethoven yang
mendaraskan pada karya “Himne bagi Kegembiraan” Schiller yang riang, namun ketika
mendengarnya, kita sedetik pun tidak melupakan aksen-aksen tragis “Simponi Kesembilan”
Bethoven. Demikian pula antara Commedia Dante dan Faust Goethe atau Don Quixote
Cervantes dan lakon-lakon Hamlet dan Raja Lear Skeaspeare atau Pickwick Papers Dickens,
berbaur antara rasa riang yang murung dan rasa getir yang riang. Apa yang kita rasakan
setelah membacanya, sama seperti ketika kita mendengar seluruh spektrum emosi manusia
dari nada terendah hingga nada tertinggi dalam musik; yakni gerak dan getaran seluruh
keberadaan kita. Kegetiran para tokoh penulis komedi bukanlah kekecutan hati para penulis
satire.
Seni, kata Santayana, ialah pemenuhan kebutuhan akan hiburan dan kebenaran yang hanya
bisa dirasakan sejauh untuk melayani tujuan. Tetapi, bila seni cuma komedi, maka seni akan
agal meraih tujuan. Karena itu dibutuhkan pasangan tragedi. Skeptis dan optimis dua soal
yang terkait dan berhubungan. Aksi dan saksi bukan masalah yang relevan dipisahkan,
mengingat dalam sajak ada kecenderungan untuk beraksi dan bersaksi secara bersamaan. Ada
tujuan dan fungsi yang mesti diisi oleh seni, dan penglihatan sang seniman tak cuma tatapan
yang bereaksi atas kesan-kesan inderawi, tapi juga sebuah saksi akan makna kehidupan.
Pengalaman estetik adalah wilayah yang tidak semata-mata kasatmata melainkan wilayah
pengalaman imajinasi. Pengalaman estetik ibarat pengalaman orang tenggelam dalam doa
diam dan terik, gelap dan terang, antara ruang dan waktu. Pengalaman kreatif Afrizal mirip
klasikisme para penyair Prancis yang mendefinisikan bidang sebagai istilah yang objektif dan
kesatuan antara ruang dan waktu lewat “logika imajinasi” yang dapat diukur dengan meteran
atau jam. Satu yang diikuti oleh nol-nol menjadi 100 dan 1 yang diikuti bilangan 9 dan
angka-angka seterusnya sehingga menjadi pasti. Dan ini agak berlawanan dengan penyair
Sajak Kardus Pandora berusaha menampik nol karena nol tidak logis dan tidak bisa diukur.
Maka yang muncul adalah “seekor ular besar di bawah rumah saya, ratusan tahun menunggu
mata air tempat saya minum dan mandi setiap hari” atau “500 meter dari bahasa yang telah
kau campakkan” (dalam sajak Kardus Pandora). Angka ”500 meter” jelas mengisyaratkan
Sangat tampak bahwa pengalaman rasional dan ilmiah bukanlah pengalaman sepintas lalu.
Bergson sendiri pernah mengingatkan: dalam seni, pengalaman rasional dan ilmiah tidak
bersifat dangkal dan konvensional. Seni ialah migrasi dari dunia konvensi yang cetek ke
sumber-sumber realitas terdalam. Namun Bergson hanya melihat intuisi estetis sebagai
gambaran pasif, bukan kemampuan aktif, atau perasaan sastrawan tak disebabkan melainkan
disugestikan.
Terpisahnya kemampuan pasif dan aktif, tampaknya masih berbau metafisika transendental
abad ke-18. Keberatan atas metafisika Bergson disampaikan Nietzsche dalam Kelahiran
Tragedi, yang ditulis ketika usianya baru dua puluh delapan tahun dan kemudian diinggriskan
menjadi The Birth of Tragedy from the Spirit of Music. Nietzsche, yang telah menunjukkan
gaya stilis dengan bahasa yang ekonomis, menentang konsepsi metafisis sekaligus
membongkar pemikiran ideal Winckelmann dalam mitos Yunani. Tragedi Yunani adalah
pewaris kultus Dionysios, harkatnya adalah daya orgiastik. Tetapi orgy semata-mata tak bisa
menghasilkan drama Yunani, karena itu kekuatan Dionysion diimbangi oleh daya kekuatan
Apollo.
Polaritas dasariah, kata Nietzshe dalam karya yang sama, adalah hakikat setiap karya seni
yang bermutu. Jika mimpi memberi daya khayal, asosiasi serta puisi, maka mabuk memberi
kekuatan yang cenderung akan kebesaran, keangkuhan, dendang dan tari. Seni bermutu
senantiasa ada pada setiap kurun, lantaran setiap seni saling meresapnya kontras antara
mimpi dan mabuk atau dari naluri orgiastik dan keadaan melamun.
Pandangan Nietzsche itu masih kita temukan juga dalam pengantar buku Senjakala Berhala,
di mana Nietzsche menyocor rasa ria memabukkan dan kemurungan impian. Kata Nietzsche,
tetap gembira ketika terlibat dalam urusan yang muram dan penuh tanggungjawab merupakan
hal yang tidak remeh. Tapi, apa yang lebih penting ketimbang keceriaan? Tidak ada yang
sukses bilamana keceriaan tidak ikut berperan. Hanya kekuatan yang berlebih-lebih itu
merupakan bukti adanya kekuatan. Dan tanda tanya yang demikian hitam itu, telah
membiaskan imago-imago yang demikian besar atas dia yang mengajukannya. Sebuah tugas
yang demikian muram dan memaksa orang untuk setiap kali berlari ke luar, ke dalam curahan
sinar matahari agar bisa menguakkan kesungguhan yang telah menjadi terlalu menekan.
Setiap peluang untuk melakukan hal ini harus didukung, setiap peluang adalah kesempatan
yang menggembirakan.
Dari sana Nietzsche merumuskan tentang teorema teori permainan yang sangat cantik dan
stilis. Permainan adalah fungsi aktif yang tidak terbatas pada kenyataan empiris. Saya kia di
sinilah kita menempatkan apa yang dimaksud oleh Afrizal tentang dua kawasan teks yang
bergerak antara pengalaman empiris serta lingkungan teks dalam pergaulan literer seorang
penyair. Permainan dan seni menunjukkan kemiripan yang amat dekat. Keduanya tidak
Dalam permainan dan kesenian kita meninggalkan kebutuhan praktis untuk memberi “wajah
baru” pada dunia. Namun analogi itu tidaklah mencukupi. Imajinasi artistik berbeda secara
tajam dengan imajinasi yang menandai aktivitas permainan. Apa yang disebut dengan
kemiripan estetis bukan gejala yang sama dengan yang dialami oleh mereka dalam
permainan-permainan ilusi. Dengan kata lain: permainan memberikan citra-citra ilusif, seni
membeberkan jenis kebenaran tentang bentuk-bentuk murni. Ada tiga macam imajinasi yang
mesti dibedakan, yaitu kekuatan untuk menemukan, kekuatan personifikasi, dan kesanggupan
Saya kira di sini pula makna ucapan puisi sebagai permainan predikat dunia anak-anak yang
dimaksudkan Afrizal dalam esai proses kreatif yang ingin saya tempatkan. Dalam permainan
anak-anak, ada kekuatan untuk menemukan dan kekuatan personifikasi. “Pada umumnya
anak-anak bisa melepaskan ikatan wacana permainan dari subjek atau peralatan-peralatan
yang mendukung permainan itu”, tulis Afrizal. “Apa yang diterima oleh anak-anak”, kata
Afrizal, hanyalah substansi dari wacana itu (konvensi). Di tangan anak-anak misalnya,
sebatang lidi bisa berubah menjadi pedang, kuda yang ditunggangi, atau benda biasa yang
menjadi rebutan antarsesamanya. Yang penting bagi mereka adalah konvensi yang mereka
sepakati bersama. Kalau mereka sedang bermain pedang-pedangan, mereka harus sepakat
dulu dengan konvensi atau wacana dari permainan itu. Setelah itu permainan bisa dijalani
dengan peralatan apa pun. Wacana dan imajinasi di sini bekerja sama secara kompak dalam
diri anak-anak.
Afrizal memberi contoh anaknya, Jilan, ketika baru berusia 27 bulan telah menunjukkan
sebuah kekuatan untuk menemukan sesuatu yang baru sekaligus menampilkan permainan
tentang personifikasi atas sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu, seperti hujan
dipersonifikasi dengan mata dan hidung. Waktu dengan telinga. Telinga waktu. Maka
disinilah letak kesamaan antara permainan anak-anak dengan sang seniman atau penyair.
Namun tetap ada perbedaan keduanya. Perbedaan itu terletak pada kenyataan ini: Jika si
Melihat si cilik sedang bermain, kita kagum pada kelincahan dan kecepatan perubahan.
dapat dimainkan sebagai makhluk hidup. Namun begitu, kata Cassirer dalam esai yang telah
saya kutip berkali-kali; transformasi yang terjadi hanya merupakan metamorfosis objek-objek
itu sendiri, bukan merupakan metamorfosis dari objek kepada bentuk. Seorang anak yang
asyik bermain tidak hidup dalam dunia penyair dewasa yang fakta empirisnya ketat. Aktivitas
permainan anak-anak dalam ilustrasi di atas, tidak menandai aktivitas kesenian yang
sungguh-sungguh. Inilah yang membedakan antara seni dan hiburan, dan seni tidak sekedar
Proses reinkarnasi dari semangat menghadirkan mitos ke dalam ruang arsitektur dan geometri
ruang imajiner dalam sajak-sajak Afrizal tampak kian kompleks. Namun, bila menyimak
puisi-puisi mutakhirnya dalam buku analekta puisi Di Rahim Ibuku tak ada Anjing, maka
mitos manusia telah bergeser ke dalam mitos benda-benda dengan bahasa yang metrikal.
Sekali lagi, inilah sebuah bentuk pengucapan dengan kelompok-kelompok kata yang tak
saling berhubungan; sebuah lukisan kata atau melukis dengan kata-kata di benak pembaca.
Cukup beralasan jika suatu waktu Dami N. Toda menyarankan agar membaca puisi-puisi
penyair kita ini dengan konsentrasi penuh dan intim, bila perlu membaca berulang-ulang,
milah antara genre puisi atau prosa, antara mitos lama dengan mitos baru, dan seterusnya,
Dan Afrizal cenderung menampilkan puisinya dari bahasa formula yang metrik, yang
mungkin dimaksudkan untuk memberi ekspresi pada sebuah ide yang sudah klise, di mana
segalanya menjadi sensitif sekaligus menjadi membosankan. Aku lirik terus-menerus merasa
gagal dalam menemukan sekedar esensi yang bisa membuatnya berpuas diri. “Matanya
memberiku sebuah bahasa. Bahasa benda yang penuh dengan air”, tulisnya dalam puisi
“Hujan di Pagi Hari”. Gramatika benda-benda? Ya, benda dan kesadaran. Sesuatu yang
mengingatkan kita pada pandangan muram Jean Paul Sartre bahwa orang lain adalah neraka.
Aku ingin jadi orang lain itu, kata Afrizal dalam sebuah wawancara di Jurnal Nasional.
pemikiran arsitektur yang lintas spasial dalam bangunan sajak-sajak. Dan lintasan ruang
dalam puisi-puisinya mungkin mengambil corak berupa lukisan barok, kubus, tapi bukan
sebuah karya arsitektur. Saya merasakan betapa puisi-puisinya bagaikan sang penyair yang
sedang menatap heran goresan-goresan warna dalam lukisan Picasso sekaligus arsitek yang
Di dalam bangunan diksi puisinya, sekali lagi, tampak muncul warna-warna abstrak dalam
susunan kata-kata dan baris-baris yang bagaikan kehendak yang keras kepala dalam rangka
menampilkan garis-garis dalam lukisan abstrak. Seorang bernama Om Ale pernah
menyampaikan kesannya saat membaca puisi-puisi Afrizal sebagai kerumitan yang tak ingin
berbagi, dan Om Ale pun membayangkan puisi-puisinya bagaikan menatap lukisan Picasso.
Afrizal memang mengagumi pelukis Picasso—seniman eksentrik dan terkesan anarkis ini.
Kami beberapa kali mendiskusikan film biografi Picasso, yang diperankan oleh seorang aktor
yang dikerumuni oleh kaum perempuan. Ada kesan yang kuat pada Afrizal untuk
menghadirkan puisinya sejenis dengan kubis. Dan itu ia lakukan dengan membuat puisi
bagaikan melukis kata-kata di helai kertas. Tapi berbeda dengan tokoh dalam film Picasso,
puisi Afrizal begitu feminin dan cenderung menampilkan teks gender melalui pencitraan dan
majas tentang “ruang lengang dari separuh waktu” dan penggunaan kata dan diksi yang khas
sajak-sajak Dorothea Rosa Herliani dan Sinta Febriani; sebuah diksi yang menurutnya hanya
Dalam antologi puisi Di Rahim Ibuku Tak Ada Anjing, nama-nama perempuan beberapa kali
beberapa puisinya dalam antologi ini lahir dari semacam pengkhianatan aku naratif terhadap
perempuan, atau sebaliknya, pengkhianatan perempuan terhadap aku lirik. Pertemuan dengan
perempuan begitu pribadi dan tak terduga-duga. Kadang berusaha saling memberi dan
mengingatkan arti hidup berpasangan. Posisi perempuan dihayati sebagai dewi cinta dan ibu
Dalam esai biografinya, perempuan bernama inisial RN dilukiskan sebagai sang dewi
penolong yang mengenalkan kepadanya tentang kekuatan agama cinta, sajadah, dan
bagaimana menghayati dan mengenal Tuhan melalui kasih dan sayang. Lewat perempuan
Afrizal kembali ke dalam penghayatan cinta dan meninggalkan pikiran rasional yang
diajarkan para filsuf untuk menguak tabir Tuhan. Ia lebih percaya pada sesuatu yang non-
Pribadi-pribadi berjenis kelamin perempuan tampil di mana saja dan dalam bangunan diksi
puisi apa saja; terkadang tampil di awal sebagai yang dituju puisinya, terkadang di tengah, di
akhir, dengan sebutan yang berbeda-beda; seperti “Siti Nurbaya”, “perempuan dalam novel”,
“RN”, “Pandora”, “Yanti”, “Bulan Ibau”, dan banyak lagi. Afrizal ingin jadi “perempuan”
atau “yang Lain” itu, karena itu ia pun melakukan perang kode mengenai cara memandang
gender yang selama ini telah didefinisikan terkotak-kotak dan dikapling-kapling dengan
diartikulasikan melalui cara orang mengatur rumah dan kota dikembalikan pada cara pandang
VII
Sebuah rumah akan terus dikenang dan memunculkan suasana rasa rindu untuk kembali.
Rumah merupakan cerminan dari sebuah dunia. Sebuah kosmos. Sebuah tempat
berlangsungnya kehidupan. Karena itu, rumah bersifat sejarah dan sakral. Rumah yang
Di Jakarta, rumah adalah bangunan hampa. Tak ada lagi yang gaib dan mistik di dalamnya.
Padahal, berbagai aktivitas dan waktu luang manusia tak terlepas dengan yang sakral. Inilah
yang ditekankan berulang-ulang oleh Mircia Eliade dalam pembahasan tentang simbol dan
homo religius dan homo viator. Mircia Elliade juga menyinggung soal pintu rumah sebagai
“ruang ambang”; yakni batas antara yang sakral dan yang profan.
“Dalam wilayah ambang”, tulis Afrizal, “dunia benda-benda di sekitar saya bisa berubah
benda tersebut membuatnya bisa hadir secara biografis dalam internalisasi” dan
defamiliarisasi teks dari lingkungan wacana yang pernah membentuk dan menempatkan
Bagi Afrizal, berpikir dengan gambar tidak sama dengan memotret, dan “puisi-puisi saya
bukan hasil sebuah pemotretan. Bagi saya puisi merupakan representasi dari kawasan teks
yang kaya. Kawasan teks yang bergerak antara pengalaman empiris serta lingkungan teks
dalam pergaulan literer seorang penyair”. Oleh karena itu, “konsekuensi ruang merupakan hal
yang saya anggap paling genting dalam cara berpikir dengan gambar”.
Tak cuma dalam puisi kecenderungan berpikir dengan gambar dan penalaran visual sebagai
konsekuensi ruang yang paling genting, bahkan dalam teater. Perdebatan tentang sensibilitas
ruang dalam teater selama ini terkait dengan soal ini. Tanggapan Yudi Ahmad Tajudin
terhadap gagasan ruang dalam teater yang dicetuskan Afrizal dalam sebuah diskusi “Forum
Membaca Teater di Indonesia Hari Ini” yang diselenggarakan Teater Garasi, Yogyakarta,
kurang beralasan mengingat Afrizal sendiri jauh-jauh hari telah menulis perihal ruang sebagai
Dalam esainya, Ruang dan Sensibilitas Teater di Bentara/Kompas (2004), Yudi mengaitkan
relasi ruang dan penciptaan teater dan menganggap diskusi tentang ruang tidak terlampau
berhasil mengaitkan ruang sebagai sensibilitas teater. Padahal, kata Yudi, “membaca sejarah
teater adalah juga membaca sejarah gagasan dan penyikapan terhadap ruang. Bahkan, sejak
mula, kata ‘teater’, yang berasal dari bahasa Yunani, theatron, itu sendiri berarti ‘tempat
untuk melihat’. Juga kata scene yang sering kita terjemahkan menjadi ‘adegan’, diturunkan
dari Yunani yang merujuk pada sebuah ruang tempat para aktor drama Yunani tua di kisaran
abad ke-5 SM berganti kostum untuk masuk ke peran dan adegan yang lain”.
Yudi agaknya melangkah lebih jauh dari puisi ruang Gaston Bachelard ke teater ruang atau
ruang sebagai sensibilitas teater. Seraya merujuk Peter Brook dalam bukunya yang terkenal,
Sebermula adalah ruang kosong. Seseorang melintasi ruang kosong itu, sementara seseorang
yang lain menyaksikannya. Dan semua inilah yang dibutuhkan agar sebabak teater dapat
terbentuk. Demikianlah pernyataan itu ditulis Peter Brook dalam bukunya yang telah menjadi
Buku yang ditulis dalam bahasa yang jernih dengan bungkus humanisme yang pekat itu
meski diterbitkan lebih dari 35 tahun lalu namun tatapan sutradara kelahiran Inggris ihwal
(relasi) ruang dan (penciptaan) teater itu saya pikir masih terus relevan untuk didiskusikan.
Karena ihwal ruang dalam penciptaan teater sesungguhnya adalah kisah yang tak terpisah
dalam perbincangan tentang teater. Pokok yang terus membayang di sepanjang tubuh sejarah
teater itu sendiri. Bahkan dalam Poetics, kita tahu, Aristoteles telah menulis perihal kesatuan
Selanjutnya Yudi membedakan ruang dan tempat dan menuding ke sana ke mari tentang
penggunaan kedua kata ini dalam percakapan sehari-hari yang menurutnya, sering dianggap
sama, padahal katanya, ruang dan tempat jelas berbeda. Lebih lengkapnya saya kutipkan:
Dalam percakapan sehari-hari sering kali penggunaan istilah ruang (space) dan tempat (place)
digunakan untuk merujuk pada hal yang sama dan seperti bisa dipertukarkan begitu saja.
Sebelum beranjak lebih jauh, ada baiknya kita menarik distingsi di antara keduanya. “Ruang”
mengacu pada sebuah ide abstrak, sebuah konsepsi dan imajinasi yang kemudian
Maka rumah, misalnya, sebagai sebuah “ruang” adalah konsepsi dan imajinasi saya perihal
kenyamanan dan kemapanan emosional tertentu yang kemudian coba saya terjemahkan ke
dalam sebuah “tempat”, di mana saya bertemu keluarga-yang saya cintai dan mencintai saya-
secara rutin setiap hari. Warna cat, tata ruang, dan bagaimana benda-benda harus diletakkan
di sana adalah manifestasi atas imajinasi ruang kenyamanan dan kemapanan emosional
tersebut. Jika tempat yang saya bangun itu dirasa tidak mewujudkan konsepsi ruang yang
saya bayangkan-atau jika kemudian saya tidak lagi mencintai dan dicintai keluarga saya-
rumah menjadi terasa seperti “neraka”, yang notabene merupakan konsepsi dan sebentuk
Lebih jauh, pembagian ruang di dalam rumah juga berangkat dari imajinasi atas fungsi,
pemaknaan, dan ritus-ritus sosial yang berbeda-beda. Dari titik ini, Anthony Giddens (1984)
Jika pernyataan Yudi ditujukan pada Afrizal, aku kira Yudi tidak jeli. Sebab jauh-jauh hari
Afrizal membedakan ruang dan tempat dan menjadikan ruang sebagai sensibilitas teater.
Ruang kosong dibedakan dengan ruang berisi. Bahkan kekosongan, seperti O misalnya, oleh
Afrizal dibedakan dengan ruang satu, ruang yang bisa diukur dan logis secara angka, meteran
Konsekuensi ruang merupakan hal yang saya anggap paling genting dalam cara berpikir
dengan gambar. Lebih genting lagi karena saya tidak mendapatkan sebuah rumus mengenai
ruang yang cukup aman untuk digunakan, bahwa pengertian ruang tidak persis sama dengan
tempat. Sebab pengertian ruang baru muncul, ketika sebuah objek mulai diletakkan di sebuah
tempat. Objek mendapatkan tempatnya berada, baru setelah itu ruang tercipta. Dalam hal ini
tempat justru lebih independen dibandingkan dengan ruang. Tempat tidak hilang walau objek
dipindahkan dari tempat itu. Tetapi ketika objek dipindahkan, ruang akan ikut berubah.
Bahkan ketika tempat ditiadakan, ruang akan ikut lenyap. Kekosongan dalam hal ini tidak
berarti bisa disebut sebagai ruang. Pandangan ini mungkin sangat materialistis. Tapi inilah
pandangan mengenai ruang yang bisa diukur, sebab memang saya tidak sedang bicara
Dalam ulasan Afrizal terhadap puisi penyair lain, ada kecenderungan untuk mengaitkan puisi
dengan ruang. Afrizal bahkan pernah mengulas puisi-puisi Juniarso Ridwan dalam
mengekspresikan pengalaman batin yang hampir tidak membuat gerak, melainkan membuat
wujud. Waktu dan ruang tercipta dari pemindahan wujud satu ke wujud lainnya, dan
Puisi-puisi Juniarso Ridwan, kata Afrizal, bermain dengan wujud sebagai jejak, bukan
dengan gerak. Ruang-waktu tampak terhitung cermat lewat bangunan tiga atau dua patah
kata. Kadang-kadang jejak-jejak itu hadir dengan sangat tajam melalui lompatan ke wilayah
imaji yang lain, yang dilakukan secara mendadak. Lompatan ini untuk menyampaikan pesan
yang juga berfungsi sebagai katarsis, dan pembaca ikut terbanting dalam lompatan itu,” jelas
Afrizal.
Apa yang dikatakan Afrizal, paling tidak bisa kita lihat dalam puisi Juniarso, Di Sebuah
Basilika, yang ditulis pada tahun 2005 lalu sepulang dari Eropa. Puisi ini berbunyi: berdiri di
tengah pelataran basilika/ terdengar nyanyian angin/ merayu hati penuh manja:/ memandang
hidup serba indah// (kota bayangan surga,/ diatur nilai agama/ penuh sentuhan cinta)// setiap
bernapas tercium kemakmuran/ setiap berkata basah kenikmatan/ setiap melirik terbentang
kegembiraan// ada saatnya menyimpan taman di dasar hati/ sambil melukis pohon di setiap
rumah//.
Sajak di atas mengekspresikan ruang kota melalui politik perizinan. Gambaran ruang kota
mempertontonkan apa yang telah disinggung di muka: ketegangan antara enclave dan akses.
Sajak-sajak Afrizal sendiri menampilkan wawasan visual yang tersusun oleh berbagai variasi
besaran dan paras dari berbagai pemandangan; kampung, jalan, situ, kali, berada dalam
Agaknya kita perlu menelusuri gagasan tentang puisi dan teater ruang Afrizal dalam karyanya
yang lain: video art. Belakangan Afrizal mulai banyak menghasilkan video sejenis
dokumenter yang berseni. Video “Telur Matahari” (2003), “Kota dalam Baskom” (2002) dan
“Video Belajar Anak” (2003) adalah karya yang pernah dibuat Afrizal dan diterbitkan secara
terbatas. Dalam ketiga video ini, lalu lintas ruang kota yang terpinggirkan seperti menegaskan
penalaran visual dalam arti sesungguhnya.
Eksperimentasi dari kata ke gambar atau dari puisi ke video itu, tampaknya belum banyak
dibahas. Kendati apa yang dilakukan Afrizal bukanlah hal yang baru, namun perhatiannya
terhadap film tampaknya masih terkait dengan puisi. Lewat film yang dihasilkannya,
penonton bisa melihat puisinya. Jadi, puisi tak cuma kata, tak cuma bahasa, tapi juga gambar.
Sayang sekali bahwa film-film pendek yang dihasilkan Afrizal hanya dapat ditonton sesekali
saja dalam acara-acara kesenian, dan tidak pernah dipublikasikan secara terbuka. Padahal di
sana terpampang film puisi, atau puisi video. Bahkan permainan close-up dan pergantian
Dalam film garapan Afrizal tampak tergerai ruang-ruang kota yang sisa, hunian-hunian
kumuh, dan lanskap kehidupan sementara. Di sana terdapat juga gambaran tentang ruang
mati, lanskap mati, kali mati, dengan berbagai modal dan aset yang mati, dan selamanya
ekstralegal itu menjadi yang hidup, yang produktif dengan cara melegalitas dan memberikan
sertifikat, agar ruang-ruang yang dihuni si rudin itu bisa dijadikan modal dengan
menjadikannya agunan untuk modal usaha di bank. Maka kelak dalam ramalan de Soto akan
datang suatu masa ketika di mana lima puluh juta orang yang selama ini bergelimang dalam
Kita sering terbuai oleh bujuk rayu dan logika ruang modernisme yang menjadi musuh
postmodernisme itu, yang begitu jauh telah meresap ke dalam imajinasi kalangan sastrawan.
Problem politik keruangan dimanfaatkan oleh mata-kamera handycamp yang selalu ditenteng
Afrizal ke mana dia pergi, yang telah menjelma benda puitika baru untuk memuaskan dahaga
pencariannya lewat permainan yang, mengutip Roland Barthes lewat terjemahan Goenawan:
sebuah “pikiran gambar”. Afrizal mulai dengan membuat angle-angle dan cerita screenplay
yang berkisah tentang “ruang ketiga”. Cerita screenplay dalam proses editingnya telah
Selain bahasa lisan, bahasa tulisan, kita penting juga memikirkan bahasa gambar. Dan Afrizal
dalam esai penutup buku Kalung Dari Teman menegaskan cara berpikir dengan gambar dan
penalaran visual melalui pengamatan atas fenomena hantu sensual yang hadir dengan tiba-
tiba di atas panggung karnaval hanya dengan melalui rekaman video dokumenter (bukan
rekaman langsung). Video maya tampak terasa lebih realistis dan memikat orang banyak
video berkesan lebih mewakili kenyataan ketimbang panggung pertunjukan teater yang
berlangsung secara nyata di depan publik. Maka Afrizal pun mengalamatkan kritiknya pada
akibat yang bisa ditimbulkan. Dengan kecanggihan teknologi dan komunikasi, ruang-ruang
akan ditandai oleh berbagai keterkejutan melalui frekuensi yang hadir bagaikan kilat.
Kritikan Afrizal diralatnya sendiri ketika ia mulai berkenalan dengan intim—bahkan tak
Afrizal melakukan perlawanan dengan mencipta video kesenian sendiri. Ruang-ruang kota
tangan-tangan mesin yang ganas dan modal yang rakus. Ia menangkap fenomena itu melalui
dan tempat. Untuk menjelaskan soal ruang, Afrizal merujuk pendapat Aristoteles berdasarkan
penjelasan Cornelis van de Ven dalam buku Ruang dalam Arsitektur (1995:18-19). Ruang
tidak lain adalah “sebuah tempat melingkungi obyek yang ada padanya. Tempat bukan
bagian dari yang dilingkunginya. Tempat dari suatu obyek tidak lebih besar dan tidak lebih
kecil dari obyek itu sendiri. Tempat dapat ditinggalkan dan dapat dipisahkan dari obyek.
Tempat selalu mengikuti obyek, meskipun obyek terus berpindah sampai berhenti pada
posisinya.” Pada anatomi bangunan, ruang pada umumnya tercipta lewat sirkulasi gerak yang
menghubungkan atau mengkomunikasikan tempat satu ke tempat lainnya, Juga pada detil
interior dan dekorasi yang mendisribusi ruang internal dan eksternal. Karena detil interior dan
Namun, karena ruang kota telah melepaskan sakralitas tanah dan menggantikan ibu dengan
modal, maka medan identitas kota tidak lagi merepresentasi kultur penghuninya, melainkan
menjadi medan representasi untuk kekuatan ekonomi dan teknologi. Kultur penghuni
pendidikan, gaya hidup, pelayanan publik dan ruang publik. Ruang kota mengalami
obyektifikasi sedemikian rupa mana kala tata kota melulu mendefinisikan ruang kota sebagai
baskom dagangan oleh pemerintahan kota. Tingginya obyektifikasi ruang menjadi tempat,
merupakan akar dehumanisasi dan kemacetan dalam arti luas di kota. Ruang kota adalah
sebuah kultur dimana budaya bermukim telah dihancurkan pertama oleh politik penggusuran,
yang merusak makna ruang hidup menjadi tempat tinggal dan investasi. Kedua oleh arsitektur
massa yang mengubah rumah personal dan rumah sebagai bagian dari ruang hidup
pengucapan tradisi dan inti metafora yang berinduk pada ibu dan perempuan digantikan
dengan modal dan kosmetika tubuh perempuan. Substansi ruang kota pada umumnya diukur
lewat kuantias dan kualitas ruang publik yang dibangun di kota. Ruang publik ini pada giliran
merupakan bagian dari keseluruhan pembentukan proses kualitas kehidupan publik. Kualitas
kehidupan publik ini berhubungan paralel dengan kualitas parlemen sebagai perwakilan
lembaga publik. Ketika ruang publik dikalahkan untuk kepentingan kekuasaan dan ekonomi,
maka kualitas kehidupan publik ikut terguncang. Ruang penciptaan tidak mendapatkan
orientasi publik untuk puitika urban. Aktivitas metaforik tidak mendapatkan ruang untuk
Lebih lanjut Afrizal mengatakan: kota telah menghancurkan rejim identitas lama, tetapi
membangun rejim identitas baru lewat kuasa ekonomi. Dalam rejim identitas lama, individu
ditempatkan pada keharusan-keharusan adat. Sementara dalam rejim identitas baru, individu
ditempatkan dalam hubungan-hubungan kerja dan kepentingan. Posisi individu dalam ruang
dengan rejim baru seperti ini membawa pada kecenderungan untuk menjadi penakluk dengan
Di mata Afrizal, Chairil Anwar dan Sutardji adalah representasi dari generasi penakluk yang
merasa kesepian kalau tidak bertemu dengan aku dan dengan puncak super ego. Keduanya
adalah contoh yang tepat bagi generasi yang ingin menjadi bagian dari modernisme,
sementara ruang kota belum bisa memberi jaminan terhadap hak-hak warga kota dan
orientasi publik atas kualitas kehidupan publik. Maka generasi ini menjadi generasi yang
terluka dan berdarah. Hubungan puisi dengan kota besar bisa dikatakan telah berlangsung
terhadap nilai-nilai lama, seperti puisi Rustam Effendi yang menyatakan seloka lama beta
buang beta singkiri, sebab laguku menurut sukma. Puisi ini adalah pernyataan tentang
pembangkangan untuk mulai mau memilih diri sendiri ketimbang jadi instrumen masalalu. Ia
memenuhi prosedur modernisme dengan memberontak pada konvensi, dan mulai memberi
tempat tinggi untuk ruang individu. Pembangkangan jadi pembuktian bahwa aku ada.
Sementara itu, kota membangun dirinya dari modernisme yang merepresentasi dirinya tak
lagi sebagai bagian dari masa lalu dan tidak juga sebagai cerminan alam. Peninggalan-
peninggalan sejarah pun banyak yang tergusur lewat tata ruang kota. Ruang yang didominasi
oleh kolusi antara penguasa dan pengusaha membangkrutkan pengelolalaan kota, rakyat
miskin semakin tersingkir, lingkungan kota yang rusak dan kota yang sebenarnya juga telah
agraris lenyap begitu saja dari wajah alam berganti wajah industri.
Afrizal pernah mencontohkan sajak Rendra berjudul Bulan Kota Jakarta yang menurutnya
menyampaikan dua hal tentang ruang kota: sebagai pernyataan dan berita. Berita yang
disampaikan mengenai pertumbuhan kota yang mulai penuh dengan lampu-lampu dan
bahwa bulan telah pingsan oleh tikaman lampu-lampu beracun dan gedung-gedung tak
berdarah. Teks-teks alam dan teks-teks kebudayaan di sini mengesankan saling berbenturan.
Kota mengesankan telah berkembang sebagai tata (r)uang yang kian tidak lagi mengandaikan
alam. Keberpihakan pada lingkungan dinyatakan. Kesaksian seperti ini tidak hanya bermakna
sebagai peringatan pada pertumbuhan kota yang mengabaikan soal-soal lingkungan. Tetapi
juga bermakna untuk melihat kembali soal-soal modernisme yang berlangsung dalam dunia
puisi.
Memang, jika dilihat lebih dekat, teks-teks puisi, prosa, dan teater Afrizal juga banyak
melainkan menciptakan secara kreatif pikiran sendiri tentang apa yang disebut sebagai ruang
ketiga (the third space) atau ruang antara (in between space) yang bukan lagi lahir dari
kegenitan teori.
Salah satu karya prosanya, Lubang dari Separuh Langit, menampilkan prosa bergenre puisi
ruang. Ruang ketiga dalam imajinasinya dibayangkan sebagai yang berbenturan dengan
ruang-ruang kota yang menenggelamkan orang-orang paria, kota yang dalam dirinya
dibangun dari reruntuhan rumah-rumah dan puing-puing bencana; dan di atasnya, kota (tidak
harus Jakarta) telah menjelma ruang dan tempat yang saling memangsa antara berbagai relasi
kultural dan politis. Metafora tanda-tanda dan wajah kota dimaksudkan Afrizal sebagai ranah
yang mewarnai wajah kota yang menempatkan kode sekadar menjadi ajang petarungan
antarkepentingan.
Seorang kritikus, yang dikenal sebagai anak spiritual Paul Ricoeur, pernah menerapkan
pembacaan atas prosa Afrizal dengan teropong dialektika makna dan peristiwa. Sang kritikus
menuduh prosa Afrizal berhasrat ingin menuliskan puisi dalam bentuk prosa tapi karena
kelemahan tekstual maka hasilnya lebih mirip puisi yang prosais. Dengan kata lain, cacat dan
tak ada keunikan yang layak dirayakan. Beberapa kritikus lain juga menuduh puisi dan
Suatu kali ia mengambil pena dan angkat suara dengan berbalik menuduh para kritikus
sebagai vampir kebudayaan, yang berhasrat mendaki menara epistemologi tapi tanpa telinga.
Serangan lebih gencar pada dirinya pun makin menggelegar: ia dicela sebagai pengarang
yang tak pantas melakukan intervensi, karya dan otonomi pengarangnya dibunuh secara tidak
manusiawi dengan “menghadirkan sikap demistifikasi sastra yang luar biasa” kata seorang
kritikus yang ambil bagian dalam polemik untuk membela sang pengarang. Para kritikus itu
memang “tak pantas dicela jika saja mereka peka dan tidak melulu menjalankan titah Kata
habis-habisan dan petuah Abu Kasim yang memutlakkan mitos resep disiplin naratif kepada
kebebasan cipta sebagai satu-satunya kuasa manusia menyaingi Yang Mahakuasa,” kata
Mengapa hal ini terjadi? Sekali lagi, banyak kritisi terjebak pada penggunaan teori usang
dalam membaca karya yang hampir tak mungkin bisa didekati dengan teori yang mereka
gunakan. Karya seni yang dihasilkan Afrizal menampilkan tematik geometri ruang dan
wawasan visual melalui video pikiran gambar. Ratusan teori di dunia ini tapi para kritisi kita
baru-baru ini disebut “gaya hidup delete dan kritik seni enter”. Lebih lanjut Afrizal
mengatakan:
Kritik seni masih membawa masalah lamanya: Kesulitan melakukan identifikasi karya, lalu
hanya bermain di tingkat konsep dan tema; menggunakan karya yang dikritik hanya sebagai
obyek justru untuk membicarakan teori-teori yang digunakannya. Kritik yang cenderung
menempatkan diri di atas karya seni. Kritik seni menjadi lipstik untuk karya yang dipuji, dan
menjadi comberan untuk karya yang dianggap jelek. Kritik yang masih bermain di tingkat
apakah karya yang dibahas bagus atau jelek, dan bukannya lebih berurusan dengan fenomena
seni yang dibawa sebuah karya. Padahal, bagus dan jelek sebuah karya seni bukanlah urusan
kritik seni, melainkan urusan pasar. Pasar bisa subyektif di tingkat konsumen, tetapi bisa
obyektif di tingkat pembentukan pasar. Kritik seni yang perannya berubah menjadi pendapat
konsumen atau pendapat pasar adalah kritik seni yang sebenarnya lebih menjalankan
VIII
Jika memang puisi tak bisa dilepaskan dengan pencitraan soal ruang dan waktu, maka izinkan
saya mengeksplorasi masalah ini lebih jauh untuk melihat hubungan antara ruang dan waktu
dengan kekuasaan. Kekuasaan yang dipersepsi Afrizal selama ini ditujukan kepada penguasa
kota yang bekerja dengan memanfaatkan ruang sekaligus waktu. Kekuasaan berjalan
Kekuasaan di kota berlangsung dari ruang ke ruang dan dari waktu ke waktu dengan
menanamkan pengaruh lewat berbagai objek: mulai dari memanfaatkan ruang tempat
tanaman menjalar hingga memanfaatkan pelukis dan pemahat untuk membuat ikan-ikan
plastik, angsa-angsa kayu dari Bali, juga seorang Presiden dari boneka Afrika. ”Kemana saja
kau bawa kolonialisme dan kau beri nama Jakarta 1945 yang terancam”, kata Afrizal, maka:
”Beri aku waktu, beri aku waktu untuk berkuasa”, tulisnya dalam puisi Beri Aku Kekuasaan.
Penanda waktu dalam puisi itu adalah penanda waktu psikologis dan kultural yang sangat
singkat selama kesibukan kolonialisme 1945 di Jakarta, yang dihadirkan sekadar majas atau
asosiasi mengenai operasi plastik. Bahkan waktu “1945” itu pun menjadi tak lagi bermakna
tunggal tentang tahun kemerdekaan, melainkan sebuah pencitraan tentang gaya hidup di kota-
kota besar. Operasi plastik adalah sesuatu yang mengingatkan pada Minchael Jackson dan
Dorce.
Apakah dengan mengatakan itu, Afrizal adalah seniman absurd? Sebagaimana ketika Goethe
mengatakan ”ladangku adalah waktu”. Albert Camus menamakan proses kreatifnya sebagai
seni yang absurd? Bisa jadi. Jika waktu adalah waktu, ruang adalah ruang: keduanya absurd
atau bukan absurd bukan jadi perhatian Afrizal. Waktu akan terus berjalan dalam musik
harmoni siang dan malam, atau akan berhenti membiarkan dirinya digerus mesin. Waktu
akan dihidupkan oleh waktu sendiri, sebagaimana kata Camus, karena hidup kita sendiri
dilayani oleh kita sendiri, bukan yang lain-lain. ”Saya dibentuk oleh harmoni siang dan
malam. Perbedaan siang dan malam bukan lagi sekedar perbedaan alam saja lagi, melainkan
kehidupan”. Sesuatu yang ketika pada siang ia tak tahan oleh deru bunyi mesin waktu, ia lari
seperti Charil menemu malam. Namun pada zaman ketika teknologi telah merambah segala
Perubahan Jakarta yang begitu cepat telah membentuk keyatim-piatuan dalam dirinya.
Segalanya terbakar oleh mesin waktu. Dan ruang dan waktu bukan lagi gagasan yang historis,
melainkan tranhistoris; dalam arti melintas spasial demi spasial. Sejarah tentang ruang
memiliki jangkaun yang berputar dalam lingkaran waktu yang tampak seperti memiliki anak
panah, yang menjangkau jauh ke belakang sekaligus melanglang ribuan kilometer ke depan.
Absurditas atau bukan, gagasan ini telah menempatkan pengalaman meruang berada dalam
wilayah yang sama. Ia tidak membebaskan, tetapi mengikat. Pengalaman akan yang satu
sama sahnya dengan pengalaman yang lain. Pengalaman dengan waktu di mana-mana sama
Afrizal melihat waktu sebagai ke-aku-an. Dan ini menarik menggunakan tafsiran Borges
tentang waktu. Dalam Labirin Impian, Borges melihat waktu sebagai subtansi dari apa ia
dibuat. Waktu adalah sungai yang membawaku serta, tetapi akulah sang sungai itu. ”Dan
Dalam beberapa kesempatan Afrizal mengusulkan kesenian untuk kembali pada alam:
mengganti kecenderungan dunia yang khaos menjadi kosmos. Pandangan Afrizal tentang
waktu sebagai ”abad yang berlari”—sebagaimana judul salah satu buku analekta puisinya—
mengingatkan saya pada Stephen Hawking tentang ”panah waktu” (arrow of time) yang
secara kontras membedakan masa lalu dengan masa depan seraya mencoba menghadirkan
Dengan pandangan waktu semacam itu, sejarah bagi Afrizal bukan sekedar kisah tentang
waktu, melainkan kisah tentang ruang, baik ruang sebagai sejarah imajinatif maupun ruang
sebagai sejarah positif. Ruang menjelma sesuatu yang konkrit atau abstrak, yang punya
makna teoritis maupun filosofis. Waktu sebagai sejarah bisa juga bermakna sebaliknya:
sejarah sebagai waktu, sebagai nostalgia yang paradoks. Sebagaimana kata kaum
posmodernis, tiap-tiap nostalgia menjunjung masa lalu yang romantis, tapi pada saat yang
sama masa lalu itu didekonstruksi: nostalgia diterima justru untuk ditampik.
Di sini mulai terkuak gagasan tentang ruang dalam konteks arsitektur dan puisi. Antara
penyair dan arsitek memiliki pandangan yang berbeda tentang ruang, bahkan berlawanan.
Afrizal seorang penyair yang tak hanya menghadirkan waktu, tapi waktu menyusun sebuah
ruang dengan menuntut kesetaraan melalui ekspresi estetik dan artistik. Sementara seorang
arsitek dan insinyur selalu berangkat dari kehendak berkuasa. ”Arsitek”, kata Nietzsche
dalam Anti-Krist: ”senantiasa diilhami oleh kekuasaan. Dan manusia-manusia yang paling
berkuasa selalu mengilhami arsitek dengan berusaha membuat diri mereka terlihat dalam
Nietzsche mungkin terlampau generatif. Namun bila kita mengikuti gagasan Michel Foucault
dan Edward W. Said—dua filsuf yang banyak diilhami oleh gagasan Nietzsche—maka apa
mana sensibilitas ruang telah ditentukan oleh permainan diskursif kekuasaan. Antara ruang,
waktu, dan kekuasaan menjelma sekeping mata uang logam yang tak terpisah, yang
beroperasi dalam setiap diskursus. Ruang menjadi wahana bagi beroperasinya kekuasaan,
Sejarah ruang adalah sejarah yang ditulis oleh jenderal yang sedang berkuasa. Dan ruang
didesaian, dibentuk, dan direkonstruksi oleh tidak hanya jenderal yang menang, tetapi juga
oleh mesin komunikasi dan teknologi global. Afrizal menyikapi politik keruangan semacam
itu melalui metafora arsitektural yang bukan hasil ciptaan manusia, melainkan kreasi benda-
benda. Setidaknya itulah tafsiran yang diberikan Ignas Kleden terhadap sajak Dalam Gereja
Munster.
Rezim kapitalisme di Indonesia telah memposisikan ruang berhadapan dengan waktu. Hal itu
kian memperteguh posisi Afrizal untuk memikirkan dua persoalan itu secara menantang.
Bahkan dalam imajinasi puisi ruang dan teater ruang-nya, apa yang dinamakan ruang telah
dihancurkan oleh waktu. Dan modernisme adalah biang keladi munculnya ruang-ruang
inflasi. Manusia-manusia masa kini hanya mendiami satu ruang realitas yang tak tersentuh;
Tapi begitulah manusia dalam kacamata kepenyairan Afrizal. Manusia yang menghamba
pada modernisme ternyata berada dalam satu ruang yang khayali, ilusif dan alienatif. Karena
paham neoliberalisme mutakhir juga, ruang dan waktu berevolusi menjadi uang, sebuah
entitas yang merupakan kekuatan sosial-politik yang bermuka destruktif dan konsumtif.
Waktu adalah uang. Ruang adalah uang. Di sini kita teringat gagasan Georg Simmel dan Karl
Marx yang sering bicara tentang uang. Kedua sosiolog ini melihat seluruh perjalanan hidup
manusia masa kini dibudak oleh uang. Dan kita tahu apa arti uang di sini: uang meniscayakan
prinsip siapa yang beruang maka dia menang dan hidup, sebaliknya, yang tak beruang akan
tergilas oleh mesin waktu. Ruang dan waktu pada akhirnya tak bisa lagi lepas dari logika
uang: apa yang kita bicarakan soal ruang dan waktu tak lain adalah bicara soal simetri antara
Ruang dan waktu, yang dulu dipercaya sebagai pertanda untuk membedakan antara Ia dengan
ia, kini hanya soal uang. Ruang dan waktu kemudian dikapling-kapling. Dan apa yang
dikatakan Thamrin Amal Tamagola sebagai ”Republik Kapling” nyaris mendekati kenyataan.
Apa yang disebut atlas dan peta cecah jiwa menjadi alat kontrol yang paling ampuh bagi
sangka. Goenawan Mohamad pernah menulis tentang ”ruang L” dan ”ruang R” dengan
menampik tuduhan Lefebvre yang menyatakan waktu telah mati di tangan modernitas. Tidak,
kata Goenawan. Waktu tak pernah mati. Ia digdaya. Bahkan ketika ia diubah jadi unit
matematis sekali pun, ia justru efektif dalam ruang yang dilecut modernitas.
Walau bukan pemaknaan waktu semacam itu yang ia yakini, namun waktu dapat
dipergunakan dengan gampang untuk kelanjutan hidup. Waktu mungkin abstrak, tapi tak
kosong. Kita tak bisa lagi mengatakan, seperti Amir Hazmah, ”lalu waktu, bukan giliranku.”
Waktu akan membuat kita bagian yang tak bebas dari giliran. Ia berisi daya yang ampuh.
Ketika ”waktu adalah uang”, dan uang demikian penting, kecepatan pun kian menentukan
Dengan perangkat teknologi dan komunikasi, waktu melaju dahsyat dan kelak menjadi
bunting dan melahirkan anak kecemasan dan keterkejutan. Dan diksi puisi puisi pun ikut
mengalami keterkejutan. Sebuah efek domino yang kelak berlanjut dengan dicambuknya
waktu oleh modernitas, di mana manusia mulai dirundung kecemasan, keresahan dan
kekerasan, hingga muncul pula apa yang dinamakan Afrizal sebagai ”ruang pasca-misteri”.
Dalam pengantar naskah teater saduran karya Sam Shepard, Afrizal menegaskan bahwa teater
dalam pementasan naskah Keluarga yang Dikuburkan oleh kelompok Teater TESA Surakarta
(16 November 2007) yang menurut seorang kritikus yang mengikuti pertunjukan tersebut,
mengingatkan kecenderungan puisi-puisi Afrizal dengan disonansi warna yang penuh teka-
Gagasan untuk meruangkan puisi sekaligus meruangkan teater, dengan mudah akan dicap
cuma berkutat di liang lahat. Sebab, bila kita telusuri lebih jauh, baik teater ruang maupun
Gaston Bachelard—filsuf Prancis abad ke-20 yang menulis buku La poetique de l’espace atau
The Poetisc of Space (1964)—yang banyak disinggung para sastrawan dan kalangan arsitek
di Prancis, memberikan pandangan yang brilian tentang puisi ruang. Saya tak tahu apakah
Afrizal pernah bertemu karya yang mulai klasik dan sulit didapatkan di toko buku ini. Buku
itu pernah disinggung Edward W. Said dalam Orientalism dan muncul dalam ulasan singkat
Goenawan Mohamad tentang flaneur dan pelacur (2002) atau sekilas dalam catatan
Said bahkan memanfaatkan temuan Bachelard—filsuf Prancis yang dipuji Ali Syari’ati
sebagai ”pemikir besar abad ke-20 yang dapat disejajarkan dengan Descartes dan Plato” itu—
untuk menyerang praktek diskursif geografi imajinatif kaum orientalis. Untuk meyakinkan
argumennya, Said mencontohkan sebuah ruang dari sebuh rumah: ruang dari dalam sebuah
rumah, menurutnya, akan memperoleh suasana keakraban, kerahasian, atau keamanan, yang
nyata maupun yang khayal, disebabkan karena pengalaman-pengalaman yang mengisi ruang
tersebut.
Ziarah meruang dengan sendirinya tak mudah disampaikan atau diucapkan, bukan karena
kata tak sanggup berkata, tapi karena pengalaman tersebut melampaui logos. Ruang obyektif
dari sebuah rumah, sudutnya, gang, kamar maupun loteng-lotengnya, jauh kurang penting
dari apa yang dilekatkan atau diisikan kepadanya secara puitis, yang umumnya menampilkan
suatu kualitas dengan nilai imajinatif atau figuratif yang dapat kita rasakan atau kita beri arti.
Gagasan Bachelard kita baca secara samar-samar juga dalam esai Yudi Ahmad Tajudin,
Ruang dan Sensibilitas Teater. Kendati tak menyinggung sedikit pun nama dan karya
Bachelard ini, gagasan Yudi tentang ruang, waktu, tempat, agaknya sangat dekat (kalau
bukan malah dipengaruhi) dengan gagasan Bachelard. Menurut Yudi, sebuah rumah sebagai
sebuah ruang ialah: ”konsepsi dan imajinasi saya perihal kenyamanan dan kemapanan
emosional tertentu, yang kemudian coba saya terjemahkan ke dalam sebuah ‘tempat’, di
mana saya bertemu keluarga—yang saya cintai dan mencintai saya—secara rutin setiap hari.
Warna cat, tata ruang, dan bagaimana benda-benda harus diletakkan di dalamnya adalah
Sebuah ruang dalam sebuah rumah memang bisa menyeramkan sekaligus bisa terasa teduh,
nyaman, mirip ketika kita sedang duduk di bawah pohon rindang sore hari.
Puisi ruang, karena itu, merupakan personifikasi bagi sang penyair untuk menaklukkan ruang,
tapi bisa juga dibaca sebagai pencarian realitas kelangsungan komunikasi dalam ruang puisi.
Ruang, sebuah petak atau kotak biasa, berubah menjadi suatu realitas ganda.
Dalam film-film hantu—atau ”fenomena hantu sensual” kata Afrizal—ruang dalam sebuah
rumah kerap kali digambarkan sebagai sesuatu yang mistis dan magis, sesuatu yang bukan
dunia Afrizal yang rasional. Afrizal memang agak dekat dengan Habermas yang menganggap
rasionalisme belum selesai dan masih percaya pada rasionalisasi atas kata dan ruang yang
Seperti film Nyai Blorong (1982), Pembalasan Ratu Laut Selatan (1989) atau The Sixth
Sense (1999) di Barat, jelas tak sesuai dengan rasionalisasi yang masih dipercaya Afrizal.
Sebuah rumah biasa, ketika bersentuhan dengan yang sensual, menjadi rumah sensual.
Rumah yang meliputi suasana yang melibatkan emosi melalui semacam proses puitis; di
mana ruang lengang dan ruang kosong yang semula tak berpenghuni bisa diberi arti
bermacam-macam oleh penonton atau pembaca. Demikian pula ketika berurusan dengan
waktu, banyak hal yang diketahui atau sering diasosiasikan mengenai kurun waktu tertentu—
waktu kalendris atau waktu geometris—ternyata sangat berbeda dan bahkan ilusif.
Membicarakan soal ruang dalam teater maupun puisi akan melibatkan rasa hayatan yang
terkadang menjelma berupa pengalaman ziarah meruang atau melampaui ruang itu sendiri.
Ketika membaca naskah teater saduran Konstruksi Keterasingan (1983), Ekstase Kematian
Orang-Orang (1984), dan teater asli Biografi Yanti Setelah 12 Menit (1991), saya kerap kali
membayangkan keberadaan sebuah keluarga dalam sebuah rumah yang gaduh tetapi
Dalam naskah teater Migrasi Dari Ruang Tamu (1993), Afrizal malah membaurkan yang
matematis dengan situasi manusia dan dunia yang tampak chaos melalui kehadiran mikropon,
pencukur jenggot, sisir, pengering rambut, peti kemas, peta dunia, daun kelapa, payung, satu
set kursi, perlatan makanan, robot mainan, dan sebagainya, yang satu sama lain tak saling
berhubungan, acuh, asing. Puisi Mikropon yang Pecah menampilkan situasi manusia yang
mati digilas mesin teknologi. Dan kecenderungan ini terus kita temukan dalam teater Biografi
Yanti Setelah 12 Menit yang menghadikan situasi manusia yang kalap melalui ”gramatika
benda-benda urban” di atas panggung: lemari pakaian, meja tulis, tempat tidur, bak mandi,
Konsep teaternya disebut ”narasi dari tempat tidur” dengan tempat pertunjukan yang bebas:
bisa berlangsung di dalam kamar, dalam lapangan basket, atau dalam kantor yang sibuk. Para
pemain teater Biograf Yanti adalah Yant 1, Yanti 2, dan Narator yang siapa saja, terbatas.
Tengok misalnya salah satu ”dialog” antara Yanti 1 dan Yanti 2 yang dimulai dari pernyataan
sang narator:
Narator :Tuan, Nyonya, aku tidak mengenakan celana dalam malam ini
Yanti 1 :Hik, hik, hik, urban itu mulai menjadi orang kota. Bahasanya seperti ember di kamar
Yanti 2 : Lihat, langit cerah, bintang-bintang, bulan di luar jendela. Dan aku tahu, aku tidak
perlu mengenalmu. Aku tidak pernah menghitungmu sebagai biografi, atau yayasan
mengurus masalah sosial. Setiap aku berjumpa tiang listrik, aku merasa heran: Kenapa orang
”Kita masih mencari bayang-bayang kita sendiri pada orang lain”, kata Yanti 1 di tempat dan
pada adegan lain. Di sini muncul dialog-dialog yang mencerocos dengan bahasa Jerman dan
Indonesia, yang merupakan wawancara antara Boedi S. Otong (sutradara Teater Sae waktu
itu) dengan Anouk Sutajo (penari keturunan Indonesia-Jerman). Penonton dibuat puyeng oleh
tampilan para pemain dan benda-benda urban yang aneh di atas panggung, yang belum lazim
di Indonesia sampai awal 1990-an, walau Rendra telah menggebrak panggung teater sejak
1970-an.
Walhasil, pentas Biografi Yanti Setelah 12 Menit mampu melambungkan nama Afrizal
sebagai penulis naskah yang pantas diperhitungkan. Para kritikus cukup banyak
Setelah karya ini, masih terdapat lagi teater garapan Afrizal yang unik: Pertumbuhan Di Atas
Meja Makan (yang merupakan edtor sekaligus penulis salah satu naskah berjudul Jakarta
1988, yang merupakan adegan pembuka dan Jakarta Jam 11 Malam yang merupakan adegan
terakhir sekaligus penutup). Agaknya, teater Afrizal tak ingin berbagai dengan para penonton,
kendati para penonton sendiri di beri ruang yang longgar untuk menafsirkan teks teaternya
Saya teringat salah satu pendapat para kritikus dalam diskusi di Yogyakarta tentang teater
Afrizal, yang dimuat dalam esai pengantar karya Semangka yang Dikuburkan saduran Afrizal
sendiri atas karya terjemahan Akhudiat, Buried Child (1978) karya Sam Shepard:
Karena masyarakat bukanlah bagian dari teater, ia juga bukan obyek teater. Setelah
seperti biasanya. Bahwa tidak ada sebuah jaminan pun yang beralasan untuk membuat
masyarakat turut menjadi pemain teater. Teater diciptakan bukan secara harafiah ditujukan
untuk masyarakat penontonnya, tetapi kepada nila-nilai yang hidup di sekitarnya. Di sini
Ruang Tamu (1993) yang mengingatkan pada sajak Migrasi Dari Kamar Mandi dan
Personafikasi Dari 70 KM, yang mengimpor benda-benda di atas panggung menjadi benda
artistik-puitik yang tak lain adalah puisi: “Dia sedang mencukur jenggot dengan mikropon.
Terdengar suara orang mandi. Seseorang melintas sambil menyorot rambutnya dengan lampu
senter. Di meja sebuah robot kecil berjalan mengitari meja.” Tak ada kalimat yang saling
bertaut. Masing-masing berdiri sendiri dan para tokohnya asyik dengan dunianya sendiri-
sendiri.
Di sini kita bisa melihat bagaimana gagasan Afrizal tentang teater kamar atau teater ruang
telah bersinggungan dengan gagasan skizofrenia bahasa atau bahasa skizofrenia. Berbagai
dialog dan monolog susul-menyusul, dan benda-benda di atas panggung pun seakan ikut
berdialog dengan lontaran-lontaran kata aneh dari para pemainnya. ”Dia sedang menunggui
mikropon, seperti serdadu. Dia bergerak sambil mengeringkan rambut. Terdengar siaran
radio di Australia. Salju turun. Udara dingin. Seseorang mengantar televisi yang menapak di
atas baki”.
Demikian, kita dibuatnya mengalami skzofrenia pula lantaran bertubi-tubi dijejali kata-kata
dengan kalimat-kalimat buntung, dissonansi, dan masing-masing seperti terpaut tapi terpisah
dan masing-masing saling unjuk kebolehan. Teater Migrasi Dari Ruang Tamu diam-dam
menampilkan apa yang dinamakan sebuah rumah dan pulang dalam teater. Dan ketika
percakapan sedang terjadi dengan intens antara Tuan Rumah dan Tamu yang berganti-ganti,
sang Tamu tiba-tiba nyelonong sambil berseloroh: ”Idiih, cukur kumis saja genit”. Dan Tuan
mengajakku pulang. Tapi pulang kemana? Siapa yang berkata-kata sebenarnya? Hanya
benda-benda dan tubuhku yang sendiri. Tidak ada sidang kabinet di sini, juga presiden. Tapi
aku seperti dipimpin, oleh kursi tamu itu. Ia menyiksaku seperti bahasa dalam kepalaku. Ia
adalah sekumpulan tentara, yang menyerbuku tanpa peperangan. Ada negara yang tidak
Rumah dan pulang ternyata bukan sesuatu yang istimewa bagi si aku. Kendati ada yang
mengajaknya pulang, ia seperti terheran dan bertanya: pulang kemana? Jika kita kaitkan
dengan Afrizal, maka jelas ia bukan anak desa yang merantau ke kota lalu rindu kampung
halaman dan mendesaknya untuk pulang ke desa kembali. Pulang ke rumah mana? Afrizal
tak berumah dan hidup berpindah-pindah. Rumah orang tuanya di Jakarta, yang kini sudah
tiada, dan ia hidup berkelana dari Jakarta, Tangerang, Bekasi, lalu hijrah ke Solo, dan kini
IX
Rasanya kurang lengkap bila saya berpanjang-panjang membicarakan puisi ruang dan teater
ruang dalam konteks ruang kota dan rumah sejarah dalam pertemuan dengan karya seni
Afrizal, tanpa saya menyingung gagasan seorang penyair sekaligus esais yang belakangan ini
banyak bicara soal waktu dalam konteks puisi. Penyair ini menawarkan pembicaraan tentang
Syahdan, ketika iringan becak memadati kota Jakarta tahun 2001, sambil membawa poster
dan melengking nyaring di jalan-jalan raya di ibu kota, tak sampai setahun kemudian muncul
sang penyair yang juga esais terkemuka yang menuliskan kesannya tentang sebuah kota yang
dihuni pelancong, pelacur, tukang becak, dan tukang pancong. Sang esais tak ketinggalan
menyebut nama-nama sastrawan dan seniman Indonesia berikut karyanya, yang telah
mengguratkan pena yang paling pribadi tentang imajinasi sebuah kota bernama Jakarta.
Setelah merasa menemukan sesuatu yang bisa diberi makna sekaligus punya signifikansinya
terhadap karya sastrawan dan seniman yang dirujuknya, sang esais menulis suatu risalah
dengan kesimpulan yang cukup menohok kesadaran: seorang sastrawan, katanya, senantiasa
Sementara seorang kritikus yang berkehendak pada keilmiahan, meneropong kota “dari atas”.
Karena itu ia pun menawarkan sebuah pandangan yang agaknya relevan bagi penyair saat ini.
Baginya, terlampau mengingat masa lalu akan membelenggu ruang gerak sendiri, karena itu
sikap yang jumawa adalah menerima kehilangan masa lalu dengan lapang. Untuk
menguatkan argumennya tentang masa lalu yang mesti segera ditinggalkan dalam poses
penciptaan sajak maupun prosa, dengan tanpa risih dan tanpa rasa bersalah ia mengambil
contoh cerita pendek dalam kumpulan Cerita dari Jakarta karya novelis terkemuka kita. Lalu
ia sampai pada kesimpulan kedua, yang agaknya perlu saya sampaikan di sini:
Desa atau pedalaman, tak merupakan entitas yang lebih suci, apalagi lebih luhur, yang kita
lihat dalam kumpulan cerpen Cerita dari Jakarta; bahkan dalam kumpulan cerita pendek ini,
kesucian dan keluhuran bukanlah persoalan yang utama. Tokoh dalam cerpen “Kecapi” yang
hidup murung di Jakarta, misalnya, tahu bahwa di dusun asalnya di daerah Lembah dan
Gunung, kecapi bisa terdengar tiap saat, tapi di sana tanahnya terlampau sempit dan ia
teramat miskin, dan sebab itu desa tak memberinya dasar.untuk pulang.
Bahkan justru di kota, di mana seseorang bisa mengikuti imajinasinya sendiri dan mau
mengerjakan sesuatu yang baru, meskipun ditertawakan oleh orang banyak di sekitarnya,
tokoh Maman yang miskin tidak tenggelam, bahkan ia mampu berdiri tegak. Tokoh-tokoh
lain adalah penjahat, pelacur, atau pembunuh: di kalangan ini, apa yang suci dan luhur terasa
hanya ada dalam percaturan orang-orang yang jauh dari kaki langit kota Jakarta.
Pandangan yang menohok mereka yang masih merindukan masa lalu dan ”tasik yang tenang
itu”—yang selalu dipinjamnya dari Takdir dan digunakannya dalam setiap kesempatan untuk
mengkritik—kian diperkuat ketika sang esais melakukan piknik ke dalam teks pemikiran
mancanegara dan bersua dengan karya-karya sastrawan dan filsuf dan teoritikus yang piawai
berbicara tentang kota atau bandar. Kesimpulan yang cak rata itu seolah sedang membidik
sasaran tembaknya pada kritikus yang terlampau memaksakan kacamata atas dalam menilai
karya kreatif.
Kesenian dan kesusastraan, kata sang pengisah yang bernama Goenawan Mohamad itu, tak
Kesimpulan ini terlampau menekankan definisi pikiran bukan sebagai bagian dari sensibilitas
tubuh, tapi melulu sebagai organ luar yang terpisah dari roh-jiwa-badan. Sang pengisah tak
yakin bila pikiran termasuk dalam bidang psikologi, walau ia mantan mahasiswa psikologi
yang cerdas, yang ketika sedang berkecamuk justru bisa melahirkan nada-nada, bunyi-bunyi,
dan gemerincing suara di kepala. Bukankah dalam bahasa Indonesia kita mengenal istilah
Nalar tempat berkecambahnya pikiran tak mungkin dipisahkan dari darah daging akalbudi,
sebab ia bagian tak bisa dicecah-kunyah.
Apa yang biasa kita namakan sebagai pikiran—seperti pernah disinggung Max Muller yang
walau pun bukan dalam konteks komunikasi—ibarat satu sisi mata uang logam yang sisi
lainnya adalah bunyi yang bertekanan (atticulate sound), sementara mata uang logam itu
tunggal tak terbelah. Jadi, bukan pikiran sesungguhnya, bukan pula bunyi, tapi kata itu
sendiri.
Pramoedya Ananta Toer banyak bicara soal konflik penokohan dalam konteks pencarian
tempat tinggal atau tanah air, tapi apa yang tersirat dalam analekta cerpen Cerita dari Jakarta
bukanlah satu pandangan yang bulat sekaligus mewakili seluruh karya sastrawan kita ini.
Dalam cerpen Jakarta (bertitel 3 Maret 1947), Pram justru melukiskan tokoh Ridwan yang
kalah dalam perjuangannya, yang cuma sekedar untuk tinggal di Jakarta saja tak betah.
Ridwan akhirnya harus hengkang, mencari kedamaian hati di desa yang sepi. Rencana tinggal
baru di desa. Dan dalam melukiskan konflik perjalanan Ridwan pulang ke kampung halaman
di desanya, Pram dengan gamblang menyatakan bahwa apa yang dimiliki sang tokohnya
hanyalah sebuah arca yang ditatahnya dalam hati gadis pujaannya. ”Selamat tinggal,
Demikian pula dalam cerpen Sunyi Senyap Di Siang Hidup (Juni 1956), Pram menarasikan
niat tokohnya yang mendekati cerita biografis yang sangat kuat, di mana sang tokoh pergi
meninggalkan kota praja yang telah menghidupkan aneka cerita tentang kegagalan. Dalam
cerpen ini Pram melukiskan pergulatan dalam perjalanan tokohnya dalam revolusi. Rumah
menjadi pusat segalanya. Pusat dari kehidupan penghuninya. Sebagai eksistensi manusia.
Sebagai pusat kembali atau pulang dari persiran atau rantau. “Pulang berarti kembali ke
mahia, kembali dalam ikhwal yang dialami sebagai milik kita sendiri”, tulis M.A.W. Brouwer
suatu kali, sambil melanjutkan: “apa yang dinamakan milik ialah tempat-diam: tempat di
mana kita berakar; di mana di rumah kita merasakan kenyamanan, adanya perlindungan dan
keamanan”.
Rumah tak akan mati dalam memori manusia karena ia telah menjadi bagian darah dan
daging. Ia akan selalu dikenang, akan memunculkan suasana rasa rindu untuk kembali.
Karena itu sering bersifat sakral. Rumah adalah sesuatu yang sakral atau disakralkan, yang
sering ditempel hiasan untuk menunjukkan keberkatan. Berbagai aktivitas dan waktu luang
manusia sering berhubungan dengan yang wingit. Inilah yang ditekankan berulang-ulang oleh
Mircia Eliade dalam pembahasan tentang simbol dan homo religius dan homo viator dalam
kaya-karya ilmiahnya.
Gaston Bachelard, yang banyak mengaitkan puisi dengan ruang, melukiskan rumah sebagai
kandungan dan sarang serta kepercayaan terhadap lingkungan dan waktu. Dimensi rumah
tidak hanya horisontal tapi juga vertikal, sebagai cita-cita dalam eksistensi manusia. M.A.W.
Brouwer juga menegaskan pentingnya ruang dalam sebuah rumah dalam buku Psikologi
Fenomenologis (1983). Menurutnya, bicara tentang ruang dalam rumah adalah bicara tentang
ruang angka-angka, yang mengungkai tiga perspektif, yaitu dari kamar di mana saya
membaca buku, dari kamar orang yang bicara, dan dari ruang angka-angka sendiri. Manusia
membuat ruang dengan mata atau perspektif visual dengan gerak dan gestikulasi, juga
perabaan.
Ada selisih pendapat apakah ada ruang akustis. Kalau ruang ialah persepktif, maka persepktif
sendiri ialah corak di muka latar belakang. Bunyi seringkali diamati dari halaman belakang
sebuah rumah. Padahal kita tahu: dimensi dasar manusia bukanlah ruang, melainkan waktu.
Dan waktu adalah ”hal mengada”, sebagaimana dianut Afrizal dan kebanyakan kaum
eksistensialis. Sebuah lukisan dari hal mengada sebagai waktu lalu, sekarang, dan nanti.
Ketiganya menjadi satu. Tanaman menjalar misalnya, seperti sering dilukiskan Afrizal
dengan gaya filosofisnya, menandakan bahwa waktu merambat, dinamis, tumbuh dan
berproses. Tapi waktu manusia mengalami hal berbeda ketika menjelma ”waktu adalah air”
Kesadaran manusia sering kali retak dan merupakan waktu dari bayangan, atau bahkan dari
momen, di mana perubahan membeku dan akhirnya hanya menjadi citra atau imaji.
Pengalaman meruang dan mewaktu merupakan prinsip vital dan vegetatif dan dapat
dihubungkan dengan air yang mengalir dalam sungai. Waktu adalah air, seperti sungai yang
menderita semacam ada-aksi. Dalam pengalaman kita tak membuat jarak. Luruh-larut
Afrizal berkali-kali ingin ”mengembalikan” ruang dan waktu pada alam. Dalam teks acara
Meruwat Bumi tahun 1998 misalnya, ia merefleksikan kesenian untuk kembali kepada alam,
Dengan kembali ke alam, seni yang mengalami ketegangan atau khaos, akan kembali ke
Waktu dari alam bukan waktu arloji atau waktu kalender, melainkan hadirat atau waktu yang
menyekarang. Dalam waktu arloji tidak ada perbedaan jam satu siang dengan jam satu
malam, jarum arloji menunjuk pada angka yang sama. Waktu alam ialah mengalir. Karena
itu, waktu bisa mandek, beku. Sementara ruang bisa tembus pandang dan menjelah bidang
liputan. Corak alam adalah keseluruhan prinsip-prinsip dan pengaturan relasi sesuai dengan
benda-benda dalam hampir semua karya—puisi, prosa, teater, seni isntalasi, dan video—
bukan menampilkan ekspansi difusi sebagaimana sering disinggung para kritis postmodernis,
Semakin berkurang kesadaran, semakin ia kembali kepada tradisionalisme. Dan itu diulangi
secara ritmis. Semua titik peralihan menentukan batas relasi. Sampai batas itu, alam seakan
membuka diri baginya. Sementara di luar dirinya, ia memilih posisi yang lain. Pengalaman
berdasarkan relasi antara kita dan benda-benda, tetapi relasi itu tak bisa ditempel atas benda-
benda itu. Dengan pengalaman saja, pengaruh dari benda-benda sudah selesai sehingga
Namun, sebagaimana sering diilustrasikan Afrizal, ruang dan waktu dari alam itu kini
mesin, atau mesin waktu. Ruang menjadi bermuka-muka dengan waktu. Di zaman
sekularisasi yang menciptakan demistifikasi terhadap manusia dan desakralisasi terhadap hal-
ikhwal yang disucikan ini, segalanya menjelma mesin. Rumah yang semula disakralkan, kini
dihancurkan oleh mesin. Menjelma rumah mesin (corbusier). Jika benar bahwa isi rumah
menunjukkan mentalitas penghuninya, maka manusia yuang menghuni rumah di zaman ini
rumah sebagai kediaman kemanusiaan. Kembali pada alam menciptakan suasana alam
melalui “lubang-lubang dari separuh langit” yang menghubungkan ruang dalam yang sempit
dengan ruang luar yang luas. Itulah yang dilakukan Afrizal dalam rumah yang pernah
ditempatinya, termasuk rumah di Billy Moon H1/7 yang pernah kami tempati secara bersama.
Di rumah Billy Moon Jakarta Timur ini, batas antara ruang kerja satu dengan ruang kerja lain
menjadi lebur. Pagar rumah ditiadakan hingga pemandangan sekitarnya tampak asri. Apakah
ini bagian dari nostalgia masa kecil? Ataukah Jilan, anaknya, yang mengajarkan kepekaan
tubuh dan pikiran dalam menghayati ruang dan pemandangan? Ataukah anjing-anjing yang
kencing berdiri yang berkali-kali tampil dalam puisinya, prosanya, naskah teaternya, ”video
puisi”-nya?
Tatkala saya menyinggung soal ruang dalam konteks karya seni Afrizal di muka, maka tak
bisa dilepaskan dengan soal waktu. Banyak sekali imaji waktu dalam sajak, seperti Abad
yang Berlari, Ekstase Waktu, Jam Malam, Waktu yang Kembali, Waktu yang Mendesak.
Sementara ruang diekspresikan sebagai yang berhubungan dengan waktu, baik yang secara
imajinatif maupun figuratif. Ruang memperoleh suasana keintiman, kedekatan, baik yang
dalam mengisi berbagai relasi dalam ruang. Pengalaman meruang itu diekspresikan dengan
menawan oleh Afrizal dalam bahasa geometri ruang imajinal. Kenyataan ini menunjukkan
kesungguhan yang penuh risiko. Namun bagaimana pun, sebuah ruang meniscayakan
keterbatasan. Ruang tersekat oleh bidang atau materi. Karena itu kita sering mendengar orang
mengatakan bahwa pedalaman atau kembali ke pedalaman adalah kembali ke bahasa ruang.
Afrizal masih terpesona dengan pikiran yang serba-struktur dan serba-ruang. Kotak-kotak
sering hadir dalam bangunan arsitektur sajaknya. Tapi pada saat yang sama Afrizal
melakukan transit dan eksit melalui ziarah meruang: ziarah yang melampaui ruang dan
waktu. Afrizal menunjukkan sebuah paradoks dan ironi kembar siam: ia kembali ke struktur
tapi sesungguhnya menolak struktur. Karya seninya mencoba melintasi spasial-spasial dan
gagasan-gagasan geometris dan bentuk metrum, tapi pada saat yang sama ia dengan mudah
Pada berbagai kesempatan Afrizal sering menjelaskan acuan estetiknya tentang geografi dan
lanskap dalam puisi sebagai teka-teki yang masih tersembunyi. Dengan meminjam telisik
Octavio Paz pada Levi-Strauss, harap dimaklum jika karya seni yang dihasilkan Afrizal
sering tampak ketidakberaturan karena ia memilki arti yang tersembunyi. Dan hal ini
melainkan kemunculan paduan ruang-waktu tertentu di suatu tempat. Sebuah era-era geologi,
kata Paz. Persis seperti bahasa, lanskap dalam sajak bersifat diakronis sekaligus sinkronis.
Apa yang tersembunyi itu, yang gelap itu, adalah sehimpun tanda, sebuah struktur yang
memberi arti pada lapisan-lapisan yang berada di atasnya. Masyarkat adalah sehimpun sistem
”Saya kembali ke struktur”, kata Afrizal dalam sebuah wawancara di Jurnal Nasional. Saya
pun menyimak karya seninya dengan rasa penasaran; apa betul Afrizal kembali ke struktur
atau pasca-struktur? Ada bau pergulatan hidup yang tampak kepenuhan dalam aku lirik, dan
ini cukup eksplisit saya temukan lewat bentuk ekspresi “pedalaman”, seperti mitos yang
menghadirkan struktur bawah sadarnya yang tersembunyi. Tetapi kita hampir tak
menemukan pantai di dalamnya. Ketika menyinggung ”latar depan” dan ”latar belakang
dalam konteks geografi puisi, Afrizal pun menghadirkan ”desa sebagai latar depan” dan
Demikian pula soal waktu. Dalam karya-karyanya saya menemukan pemaknaan seutas waktu
melalui apa yang pernah disebut Octavio Paz sebagai “waktu-luncur yang berdatang
kembali”. Sebuah kewaktuan yang khsusus: masa lampau yang selalu masa depan dan selalu
siaga untuk menyekarang; siaga untuk menghadirkan diri sendiri yang meniadakan
Di sisi lain, gagasan seni visual dalam karya Afrizal, sering mengulang hubungan rangkap,
tetapi bukan waktu, melainkan ruang. Seperti sebuah lukisan, yang adalah ruang yang
merujuk ruang lain atau ruang yang menciptakan ruang lain, yang dipintas oleh waktu
kronometris yang dapat di putar-undur seperti waktunya puisi dan mite. Bahasanya
menampilkan suatu pola metrum, sebuah “seni merakit sajak”, untuk menggunakan istilah
Octavio Paz.
Afrizal sendiri memang bermimpi untuk bisa memasuki kata seperti memasuki “sejarah
tubuh”, yakni sejarah tubuh dari tubuhnya sendiri. ”Saya ingin menggunakan kata seperti
saya bernapas, seperti kaki saya berjalan, seperti tangan saya memegang, memeluk atau
mencakar, seperti darah saya yang mengalir dan emosi-emosi tak sadar saya. Untuk
merasakan seperti itu saya harus memasuki cara berpikir dunia visual. Kini cara berpikir
dunia visual juga tidak mudah lagi. Saya merasa begitu terdominasi oleh billboard-billboard
iklan-iklan besar di jalan-jalan hampir seluruh kota besar di Indonesia. Saya merasa
tercemari”..
Nusantara, Afrizal bertemu dengan waktu-waktu khusus, baik yang bersifat geometris
maupun eksistensialis: ”burung yang membuat sungai terpanjang di dalam waktu, dan waktu
Waktu dipersepsi sebagai sungai yang mengalir menuju ak terhingga. Ketika sang penyair
melakukan ziarah melampaui temporalitas ruang, pada saat itu puisi-puisinya muncul nyaris
tanpa bentuk dan tak lagi berstruktur. Di sinilah letak paradoks puisi-puisi Afrizal. Karena
puisinya sering tak berstruktur walau sebenarnya ia kembali ke struktur, maka si penyair
dengan bebas keluar masuk dalam ruang dan waktu untuk mengembangkan bahasa
pengucapan yang khusus. Namun karena tak juga menemukan apa yang dicari, ia kembali ke
struktur yang klasik melalui dissonansi warna serta melukis dengan kata-kata.
dengan manusia sebagai bagian dari kerja kesenian lebih luas. Pergulatan Afrizal sebagai
seniman tampak menemukan medianya justru dalam puisi dan teater. Tapi belakangan Afrizal
melakukan eksperimen lewat video art. Namun, baik teater, seni instalasi, video, semuanya
bermuara pada puisi. Apa yang diungkapkan Afrizal itu-itu juga: yaitu puisi disonansi warna.
Namun teater Afrizal tampak begitu pelit untuk membuka rahasia-makna kepada penonton.
Apakah yang bisa kita bayangkan jika sebuah panggung teater dirancang dengan cantik, para
aktornya orang-orang hebat, dan sutradaranya Afrizal Malna yang sangat berpengalaman dan
dikenal luas di masyarakat sebagai penulis naskah lakon terbaik, namun pertunjukan
teaternya tidak ditonton orang? Apakah signifikansi teater tanpa kehadiran penonton?
Barang kali mirip seperti kisah tentang sebuah persiapan pesta perkawainan yang yang
meriah-riang-gembira dengan dekorasi interior dan eksterior yang aneka warna dan gaya,
serta kemerlip lampu yang bercahaya warna-warni, namun salah satu calon pengantinnya
berhalangan datang, seperti dilukiskan dengan baik dalam konteks kesadaran eksistensialis
Atau, jika kedua contoh itu tak juga meyakinkan, maka baiklah saya kutipkan pendapat
kritikus teater sekaligus aktor ternama Rusia, Stanislavsky, yang salah satu karyanya
diterjemahkan dengan cantik oleh Asrul Sani: Persiapan Seorang Aktor (1978). Sehebat apa
pun naskah teater dan sutradaranya, seindah apa pun pertunjukan teater dirancang dan
disajikan, apalah artinya jika tanpa kehadiran penonton. Para penonton memang sering
menekan para aktivis teater, dan tak jarang menakutkan bagi para aktor, tapi penonton juga
Maka, agak aneh bagi saya kalau ada seorang pekerja teater sengaja menciptakan
penonton, atau sengaja agar karya panggungnya tak diminati para penonton. Dengan
beralasan bahwa karya besar selalu sepi dari penonton, banyak yang menciptakan naskah dan
menyiapkan aktor-aktor berpengalaman dan perancang panggung agar jika ada yang
X
Cukup beralasan jika Dami N. Toda dalam epilog buku Kalung Dari Teman menempatkan
Afrizal sebagai salah satu anggota tubuh yang dikiaskannya sebagai ”mata kepala” dalam
perpuisian Indonesia modern, walau cara pembacaan semacam ini mengandung bias
nihilistik. Menengok puisi-puisi dan cerita pendek Afrizal yang menyempal dari kebanyakan,
kendati tak sepenuhnya juga berada dalam diskontinuitas, membuat pembaca sering kali
bermuka dua: kagum sekaligus bingung; di tantang sekaligus dibuat bimbang. Apa lagi bila
saya bertemu dengan permajasan anjing, seakan sosok anjing itu begitu nyata. Padahal tak
satu pun puisi atau prosa Afrizal yang menampilkan puisi konkrit menyerupai anjing,
Setelah melanglang dengan kata-kata, lalu bermain dengan benda-benda, kemudian kini
dengan pencitraan binatang-binatang, Afrizal meminta bantuan tenaga anjing. Afrizal seakan
ingin memenuhi janjinya untuk menghadirkan mitos kebesaran anjing; mitos yang
mendekatkan dirinya kembali sebagai bagian dari alam sekitarnya. Bagi aku lirik, ”manusia
tak lagi memiliki jarak ontologis yang tajam dengan anjing”. Ungkapan ini mesti dibaca
secara metaforik. Tetapi, bisakah anjing dan manusia dianalogikan dengan filsafat pengada?
Tengok saja misalnya dalam metafora sebuah cerpennya yang bertajuk Bintang-Bintang
2007), yang terang-terangan menyebut semacam pertemuan antara aku lirik dan anjing. Salak
anjing seakan tak hentinya menggugah kesunyian dirinya dalam puisi dan prosa. Apakah
yang menggoda subjek kerinduan seniman kita ini hingga menganggap anjing sebagai sebuah
penyair sufi seperti Jalaluddin Rumi, misalnya, juga tersentuh oleh anjing. Dalam sebuah
ghazal-nya yang disitir Annemarie Schimmel dalam akulah Angin engkaulah Api, Rumi
mengungkapkan keinginan untuk meminum darah dari cawan anjing, ”untuk duduk bersama
Anjing, seperti dikiaskan banyak orang yang bukan penyair, adalah binatang yang harus
dijauhkan dari pergaulan orang ramai lantaran gigitannya bisa membuat orang gila. Anjing,
makhluk yang harus dienyahkan dari perkakas rumah tangga karena menurut orang Islam,
jilatan lidah anjing pada barang-barang rumah tangga menjadi najis dan haram untuk
digunakan sebelum perkakas itu dicuci tujuh kali dengan debu tanah dan air berikut dengan
Namun, berbeda dari kesan miring itu, kalangan seniman justru bersahabat dengan anjing,
entah sekadar majas, hiperbola, atau pertemanan dalam arti sesungguhnya. “Aku berteman
dengan seekor anjing yang sudah lama membenci negara yang tak pernah keluar dari dalam
kulkas. Cahaya matahari sangat ramah di situ, menerangi bulu-bulu anjing,” tulis Afrizal
dalam puisi Persahabatan dengan Seekor Anjing. Anjing di sini menjadi sahabat dekat untuk
melawan tirani negara, meruntuhkan pondasi kekuasaan negara yang telah menyusup sampai
ke dalam kulkas rumah tangga. Dan sesudah itu akan muncul cahaya matahari yang sangat
Tak ada persahabatan paling intim melebihi persahabatan penyair dengan benda-benda dan
anjing. Tak ada juga sambutan yang begitu menghangatkan melebihi sambutan anjing
terhadap kehadiran sang penyair. Tatkala ia datang menghampirinya, sang anjing akan
depannya, anjing pun melompat kegirangan menjemputnya, menjilat kulitnya. Semua itu bisa
Saya ingin mengaitkan tafsir ini dalam konteks kerinduan kaum sufi. Apabila Tuhan berusaha
mendekat ke keharibaan manusia dengan berlari, kaum sufi akan berusaha terbang mengikuti
cahaya kilat, membiarkan individunya menyatu dengan cahaya untuk sampai pada Tuhannya.
Saya pernah mendengar sebuah kisah dari pesisir Teluk Semangka, tentang seorang lelaki,
Aslami namanya, begitu menyukai anjing. Kecintaannya pada anjing menurut istrinya,
terkadang melebihi kecintaan dengan burung. Suatu kali ia berteman dengan anjing yang
Bibah selalu mengikuti kemana lelaki itu pergi. Suatu kali ia ke kebun, yang berjarak puluhan
kilometer dari rumahnya. Diam-diam ia naik mobil agar tak diketahui anjingnya, namun di
tengah perjalanan, laki-laki itu melihat anjingnya berlari-lari sambil menjulurkan lidahnya
mengikuti di belakang mobil yang ditumpanginya. Aslami dengan cepat meminta sopir mobil
untuk berhenti, lalu turun dari mobil menemui anjingnya. Anjing itu melolong berkali-kali
kepalanya tengkurap di bawah kakinya. Sang lelaki itu meminta kepada sopir mobil agar
anjingnya bisa ikut bersama, tetapi sang sopir tidak mengizinkan dan terus berjalan. Anjing
itu melolong berkali-kali. Hanya si lelaki itu sendiri yang tahu isyarat lolongan anjing itu.
Ketika lelaki dan anjing itu sudah tiba digubuknya, dan ketika lelaki Aslami sedang memberi
makan anjingnya, seorang lelaki separuh baya datang mengabarkan bahwa di jalanan ia
menyaksikan puluhan gajah mengamuk dan meremukkan sebuah mobil.
Kisah di atas menampilkan dunia anjing dengan intim. Dengan intuisinya yang mampu
menembus jauh ke depan, anjing telah menyelamatkan lelaki itu. Demikian pula apa yang
terjadi pada karya seni Afrizal; ketika hampir semua permajasan dan metafora benda-benda
dan manusia tak memuaskan dahaga puitiknya, ia berpaling pada binatang yang di kala
malam lolongannya sangat mengerikan. Dalam film yang mengangkat kejadian yang
berlangsung di kota Jakarta misalnya, seniman kita ini tak luput menghadirkan gambaran
anjing yang muncul dalam kilas balik bersama orang-orang yang tergusur dari tempat yang
Dalam karya video-nya, sosok anjing ditampilkan dalam close-up yang mendekati gambaran
yang absurd dan anakronis. Dalam puisi “Di Rahim Ibuku tak ada Anjing”, Afrizal juga
menyuguhkan gambaran anjing sebagai bagian dari eksistensi aku lirik. Ketika sang anak
menunggu ibunya sedang melahirkan, sang anak tak mengharapkan ibunya melahirkan bayi
mungil berwujud manusia, tapi justru berharap agar ibunya melahirkan anjing yang bisa
Namun ketika yang lahir dari rahim bundanya adalah bayi manusia yang utuh, betapa tak
bahagianya sang anak. Betapa sunyi hatinya. Dengan berat ia berjalan dari kamar persalinan
ibunya dengan hati tak menentu. Ia meninggalkan ruang persalinan sambil membawa luka,
dan luka itu tak hendak dibawanya lari, tapi berjalan lintang-pukang di keremangan malam
Hal-ikhwal persahabatan manusia dengan anjing mengingatkan saya pada kisah persahabatan
nabi Muhammad dengan anjing. Alkisah, anjing kesayangan nabi selalu mengikuti ke mana
ia pergi. Anjing itu begitu setia menemani perjalanan nabi menyebarkan agama baru. Anjing
bukan sekadar teman bagi nabi, tapi bagian tak terpisahkan dari misi profetiknya dalam
Di sini anjing tidak dilihat dari kacamata teologi hitam-putih sebagai binatang najis,
berbahaya, tapi justru sebagai tanggapan jiwa manusia dalam mencari kepenuhan
martabatnya kepada Tuhan. Bahkan dalam salah satu hadits dikisahkan, seperti pernah
dikutip Quraish Shihab dalam Wawasan Alquran, seorang perempuan yang bergelimang dosa
telah diampuni oleh Tuhan karena dalam hidupnya ia pernah sekali memberi minum pada
Muasal hubungan intim antara anjing dan manusia banyak terdapat dalam legenda-legenda
lama. Donald B. Calne dalam buku Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia (2004)
pernah menceritakan dengan bagus bagaimana pertalian manusia dengan anjing dalam cerita
penduduk awal Amerika. Kala itu, bumi tampak bergetar. Dan getarannya menimbulkan
retakan besar yang menganga, yang memisahkan dua anak manusia pertama yang saling
kasih di taman firdaus. Senyampang dengan makin dalam dan lebar retakan bumi, semua
makhluk lari ke hutan, kecuali anjing. Ia meloncat ke jurang yang berbahaya untuk tinggal
Begitulah, kasih sayang anjing terhadap manusia kadang melebihi kasih sayang semua
makhluk lain, dan dengan setia anjing mengorbankan tempatnya di taman firdaus untuk
membuktikan kesetiannya kepada manusia. Dalam kisah leluhur nenek moyang kita, anjing
tidak terpisah dari darah daging, bahkan bagian dari degup hidup.
“Anjing-anjing Menyerbu Kuburan”, kata salah satu judul cerpen Kuntowijoyo, yang seakan
mengkontraskan sifat manusia dengan sifat anjing. Dalam pengimajinasian karakter anjing
dalam cerita, tampak terkesan masih hitam-putih. Namun muasal hubungan anjing dan
manusia di situ ditampilkan sebagai potret jatuh-bangunnya martabat manusia hingga tak
segan-segan mengambil hak milik orang lain, kendati orang lain itu juga tengah kelaparan
dan kehausan.
(Nur) Zen Hae, penyair yang juga cerpenis kreatif, dengan cerdas menghadirkan ”Kota
Anjing” dalam kumpulan Rumah Kawin (2004). Dalam kisah ini sang cerpenis
Hae begitu intim “bermain-main” dengan kehidupana anjing dengan kualitas literer yang
terjaga, dan sambil sesekali mengayunkan penanya untuk menohok realitas sosial yang terjadi
di kota anjing.
Dalam kesusastraan, anjing tak mungkin dipisahkan karena ia telah menjadi sahabat setia
para sastrawan dalam melakukan resistensi terhadap kekuasaan yang mungkin tak berterus-
mana. Hubungan antara anjing dan manusia bukan seperti buruh dan majikan. Kendati
banyak anjing juga memiliki tuan, namun jarang terjadi hubungan yang saling memangsa
Pertemuan manusia dengan anjing, dengan demikian, adalah pertemuan dalam keakraban,
dalam kesetiaan, bahkan dalam kasih yang saling berbagi. Relasi antara anjing dengan sastra
seperti ratujan benang yang menopang sebuah jala dan memberikan kekuatan untuk berkata
Bukan sebuah kebetulan jika sajak Afrizal banyak menyinggung teologi tanpa Tuhan dengan
cinta sebagai hayatan. Mula-mula Tuhan dilihatnya sebagai Yang Maha Kuasa dengan penuh
kemarahan. Lalu dalam proses pencarian, ia mulai menggelorakan cinta kepada Tuhan,
seperti kata-katanya yang saya petik dalam esai biografi di Panji Masyarakat berikut ini:
Ya, Allah. Sepuluh tahun lebih aku hidup tanpa Engkau. Kini aku kembali padaMu bukan
karena aku kalah. Bukan karena aku melarikan diri padaMu. Tak ada pikiran dari orang mana
pun yang mampu mengembalikan aku padaMu setelah selama sepuluh tahun lebih ini.
Cintalah yang telah mengantarkan aku kembali padaMu melalui seorang wanita yang kini
sedang bersimpah berdoa di sampingku. Berilah wanita ini cahaya dari cintaMu. Aku bangga
telah kembali padamu tidak melalui pikiran, tetapi melalui cinta. Kini biarlah aku mengenal
Gelora religiusitas melalui cinta dan persahabatan, entah cinta dan persahabatan dengan
manusia atau anjing, muncul dalam ekspresi yang menyembul dari pena kejujuran yang
paling pribadi. Barangkali inilah impian seorang sufi yang rindu Tuhan, seperti dilukiskan
melaju
melaju kaku
Lewat pelayaran menuju Tuhan, Afrizal hendak mengantarkan kita ke dalam keintiman
pencarian dengan cara mengisi kepenuhan martabat kita sebagai manusia. Dan pada momen
ketika ia menghayati anjing sebagai kasih dan sayang, maka anjing seakan menjelma Kekasih
yang sejati.
Namun, ketika pencarian dan penghayatan tentang Kasih kembali membentur dinding yang
tak mampu ditembusnya, ia kembali kepada keluhuran manusia. Dalam sebuah diskusi di
kantor UPC Jakarta tahun 2003, Afrizal memang berkali-kali melontarkan pertanyaan apa itu
manusia. Alexis Carrel memang pernah mengatakan bahwa manusia itu penuh teka-teki,
nyaris sama misterinya dengan Tuhan. Maka wajar jika para sufi sering mengatakan:
kenalilah dirimu sebelum engkau mengenal Tuhan, atau barangsiapa yang tak mengenal
dirinya maka ia tak akan mengenal Tuhannya.
melukiskan Rahasia Agung yang hidup dalam dirinya. Manusia sublim dalam puisi
antromorfisme yang keras kepala, seakan menggantikan peran Tuhan: “Aku ingin hidup
tanpa Tuhan”, tulisnya dalam esai biografi: ”hidup tanpa Tuhan dalam arti bukan dalam
Mengapa dengan Budha? Sang Budha tahu bahwa kata-kata begitu terbatas, dan karena itu
lebih mengekspresikan pencarian lewat benda-benda. Budha sering ditempatkan sebagai satu
pilihan sadar karena secara ”murni”, sosok agung ini terus mengelak dari puspa pertanyaan
para sastrawan Indonesia yang pernah jadi serdadu mengusir penjajah dalam sebuah esai,
yang agaknya terlampau nyinyir. Dan tengok pula ungkapan Afrizal dalam salah satu
puisinya: ”di restoran, bar, tarian bugil, dan tuhan berdesakan dalam rumah-rumah padat di
Bongkai slum. Dan Budha ikut berjalan bersama turis-turis” (Fanta Merah untuk Dewa-
Dewa).
Dalam ziarah ruang, ia berjumpa dengan ruang kota yang keras kepala, yang menancap kuat
dalam naluri bawah sadarnya. Penyair ini juga bertemu dengan waktu-waktu tertentu yang
bersifat eksistensialis. Di sini segalanya menjadi tak pasti. Tak juga mudah untuk mengatakan
yang sunyi. Waktu dan ruang yang tersedia menjadi terlalu sempit bagi sastra. Momen-
momen keterkejutan dalam sastra yang kita kenal justru menjadi suatu garis yang melampaui
rongga dalam ruang dan garis waktu melalui satu yang menipu.
”Anak-anak kita memahami satu dan nama”, kata Ali Syariati dalam puisi Anak-Anak Kita
Memahami. Hanya saja orang dewasa mengajukan pada anak-anak cuma mata dan telinga
yang mesti bekerja, agar anak-anak tak mengetahui apa-apa di belakang layar. ”Tetapi
engkau anak-anak, bisa melihat seekor kucing hitam penuh tipu daya yang memanjat dinding
Dan Afrizal pernah menirukan pertanyaan Sitor Situmorang: apakah penyair sama dengan
imajinasi infantil. ”Setiap anggota tubuhnya ternyata memiliki nama. Saya terkagum-kagum
dengan pergulatan komunikasi yang dilakukannya”, tulis Afrizal dalam esai proses kreatif.
”Seperti lidi, permainan predikat anak-anak sepintas hanya membuat kekacauan seperti
bagaimana lidi mengalami perubahan fungsi menjadi pedang dan kuda. ”Fungsi memang
Di sini, yang disebut ”satu” tak menipu seperti sapu lidi. ”Anak memahami alam semesta dan
gerakan benda-benda”, kata Ali Syariati lagi, dan itu ”tak lain adalah memahami untuk dunia
mereka sendiri, untuk kemanusiaan, untuk Tuhan, dengan sorot mata sang syahid, sorot mata
Karena sebuah pencarian pada galibnya punya dunia nisbi dan alibinya sendiri, maka satu
yang diikuti nol-nol yang tiada habisnya itulah yang menjadi dunia Afrizal. Kebebasan dan
kepastian satu itu sendiri. Untuk meminjam kiasan Goenawan Mohamad, seperti sapu lidi,
satu itu menipu. Satu itu pada akhirnya akan menjelma ke dalam apa yang oleh Iwan
transendental”, karena tak ada kebebasan mutlak dalam pencarian. Kebebasan itu akan
Tatkala kebebasan mulai membelenggu, maka yang muncul dalam pandangan Afrizal adalah:
“Aku hidup tanpa Tuhan, tapi aku tak pernah mampu menolak-Nya, karena aku sama sekali
tidak menemukan alasan berarti untuk menolaknya”. Adakah ini sikap rendah hati?
Jika para sastrawan lain masih terus menyibukkan diri dengan masalah tentang Ada dan
Tuhan, sembari menutup mata terhadap kebenaran pedih—betapa lacur frasa ini sekarang—
maka setelah buku Abad yang Berlari, Afrizal berpaling ke mitos kebesaran manusia. Orang
bisa saja menyebut pilihan kembali ke asal atau ke pedalaman ini sebagai ”romantik banal”
atau seperti Hitler yang ingin memurnikan bangsa Arya, namun bagi saya Afrizal tidaklah
sekonyong-konyong kembali. Ia punya alasan yang kuat mengapa harus menjadi manusia
Afrizal sangat sadar dengan batas kebebasan yang dimilikinya, oleh karena itu puisi-puisinya
senantiasa direkreasi ulang, ditulis ulang, hingga beberapa mengalami pergeseran dan
pengembangan yang tak selesai. Dengan cara itu ia berusaha untuk mengubah caranya
memandang kebebasan itu sendiri. Apakah ini sebuah heroisme? Euhemerisme? Mungkin
tidak. Walau dalam naskah-naskah teaternya ada semangat kembali ke kebesaran manusia,
toh ia telah ber-reinkarnasi ke benda-benda, lalu binatang. Mungkin tidak! karena ruang dan
waktu yang tersedia bagi Afrizal terlampau sempit untuk merumuskan konsep, ide, atau cita-
Afrizal memang “mempersembahkan” karyanya kepada manusia, bukan lagi kepada Tuhan
sebagaimana dalam buku-buku teologi puisi. Dan sikap ini lebih cocok bila dinamakan
sebagai penghargaan terhadap sikap luhur manusia dan kemanusiaan, bukan pendewaan
terhadap manusia.
Maka, seturut dengan pandangan atas manusia dan kemanusian itu, karya-karya Afrizal telah
bergeser jauh dari pujian yang ditujukan pada Tuhan ke pujian kepada manusia. Namun tidak
setiap manusia disapanya. Para Raja dan Sultan bukanlah manusia yang dimaksudkan dalam
Kalau pun ada kehadiran Raja dan Sultan dalam puisi dan prosanya, maka Raja dan Sultan itu
justru bertubi-tubi digugatnya, seperti gugatan para pelukis dalam novel Namaku Merah
Kirmizi karya Orhan Pamuk—peraih Nobel Sastra 2006—di mana Sultan dilukiskan sebagai
yang tak pernah menyerah untuk menjinakkan para pelukis, baik melalui kekerasan fisik
maupun dengan cara hegemoni kultural. Namun pada saat yang sama, para pelukis berbalik
Afrizal bukan pula seperti para prajurit Jepang di medan laga yang mengirim sajak-sajak
haiku kepada Kaisar sambil mengatakan: “Demi Kaisar, kami tak rela mati di rumah!”
Penyair kita ini tidak hendak memberi empati bagi si rudin dan yang Lain di sekitarnya.
Ketika ”hiduplah orang-orang lain bersama kita” mulai menemukan wujudnya, maka
semangat yang tampil bukan pendewaan manusia, melainkan sejenis kuasa-perjuangan.
XI
Dari pemandangan di muka tampak bahwa Afrizal sangat akrab dengan pengucapan manusia.
mengingatkan kita pada semangat manusia eksistensial dalam lakon Pintu Tertutup (judul
asli: Huis-clos) Sartre. Afrizal dengan intens bicara tentang kemerdekaan tanpa ikatan
hukum; sebuah manusia informal yang eksis di luar hukum. ”Kita lihat Sartre malam itu,
lewat ’Pintu ’Tertutup’: menawarkan manusia mati dalam sejarah orang lain”, tulis Afrizal
Dalam drama Pintu Tertutup Jean-Paul Sartre, setiap tokoh terkurung dalam dirinya sendiri,
tertutup bagi yang lain. Sebetulnya ia ingin membuka diri dan berkomunikasi dengan yang
lain, tetapi tiap kali ia terbentur pada pintu-pintu tertutup. Dan ini menimbulkan perasaan
kesia-siaan, hampa, yang menjadikan hidup ini semacam neraka. Maka Sartre bilang: neraka
Nah, jika eksistensialis Sartre adalah absurd, iseng, di mana kontak dan dialog dengan orang-
orang lain tak mungkin, Afrizal justru masih mendambakan komunikasi dengan orang-orang
lain. Ungkapan ”Hiduplah orang-orang lain bersama kita” yang terkenal itu, menjadi
Kendati Afrizal masih terkesan sebagai seorang rasionalis, sebagaimana Sartre, namun puisi-
puisinya amat gelap dan hampir tak bisa dirasionalisasi. Kendati Afrizal terjun dan
menggeluti dunia seni secara luas, namun saya melihat pada puisilah muara semua kerja
kesenian itu. Bahwa karya seninya telah menciptakan hukum diksinya sendiri yang mirip
suara eksistensialis yang rasionalis, itu tak bisa kita ingkari. Sebab filosofi kepenyairan
Afrizal lebih dekat dengan Sartre ketimbang Marleau Ponty atau Martin Hiedegger.
Gagasan tentang rasionalisasi atas kata cukup dominan hingga sebagian sajaknya
menampilkan bentuk geometri ruang yang bisa terukur. Di sini Afrizal seakan melebur jarak
puisi dan geometri, atau antara yang spiritual dan yang rasional. Kecenderungan
menampilkan gambaran dalam puisi melahirkan pikiran dalam gambar-gambar, atau pikiran
Sementara gagasan ruang dalam puisi dan naskah teaternya menghasilkan tema tentang
manusia kota yang berada dalam situasi skizofrenik yang akut, yang dihadirkan melalui
dialog-dialog yang melompat-lompat dan tak jarang menceracau. Mungkin saja Afrizal
sedang menghidupkan kembali gagasan Gaston Bachelard yang mengatakan: jika seseorang
bisa mengekspresikan seni ke dalam bahasa geometris, maka ia telah menemukan bahasa
pengucapan yang tepat guna menjelaskan wawasan estetik yang bersifat khusus.
mengekspresikan puisi ke dalam bentuk visual dan geometri ruang imajiner—terlepas apakah
bentuknya natural, heterogen atau homogen, apakah kurvanya tepat atau tidak tepat—tetap
layak diperhitungkan. Karena, bahkan secara ilmiah sekali pun, hal ini dapat
dipertanggungjawabkan.
Jika kebanyakan penyair Indonesia masih sebatas memikirkan kemungkinan
mengekspresikan geometri dan kimiawi keindahan ke dalam puisi, hemat saya Afrizal telah
mengawalinya dengan sungguh-sungguh, kendati tak jarang berujung pada kebuntuan. Apa
yang pernah dikatakan Nirwan Dewanto tentang sains yang tak mendapat perhatian di
sendiri dalam mengidentifikasi karya sastra—baik prosa maupun puisi. Provokasi Nirwan di
tahun 1991 dalam pidato yang kemudian diterbitkan berjudul Kebudayaan Indonesia:
Pandangan 1991, bahwa cara kerja sastra-budaya sudah aus karena budayawan dan sastrawan
kita buta dengan sains, bukanlah hal yang mengejutkan. Karena nada yang diucapkan Nirwan
Dalam buku Dialog, Kayam sendiri bahkan bilang: di lingkungan para ahli fisika memang
jarang dikenal nama Shakespeare atau Dickens, sementara di lingkungan sastra banyak
sastrawan yang buta dengan van Neumann, Kepler, atau prinsip tentang astronomi ilmiah,
Bagi Kayam, tak banyak dokter dan insinyur kita yang tahu karya Pram, Chairil, dan Rendra.
Paling-paling beberapa cachphrases yang tak lengkap tentang mereka yang akan teringat pada
kata-kata seperti Pulau Buru, Binatang Jalang, dan Skizofrenia bip-bop. Begitu juga
sebaliknya: tidak banyak sarjana sastra dan seniman kita yang tahu tentang prinsip dasar
Comsat yang sekarang sudah ada stasiunnya di Jatiluhur. Sama tak banyaknya dengan dokter
dan insinyur yang illiterate itu. Karena itu, usul Kayam: sastrawan Indonesia mesti segera
mengadakan seminar dengan sebuah kombinasi antar kelompok disiplin; misalnya antara
kelompok ilmu sosial dan ahli fisika atau matematika dengan kelompok pelaku atau pencinta
sastra.
Kayam menawarkan petuah bukan Aku Kasim, tapi Don Kisot, yakni sebuah permulaan dari
usaha “penjelajahan lintas ilmu” dengan gaya Sutan Sjahrir yang khas ketika mengkritik vak-
vak dalam ilmu pengetahuan. Sampai kini belum saya dengar apakah memang pernah
diadakan seminar lintas disiplin di Indonesia, sebagaimana yang dimaksud Kayam itu. Kalau
pun tidak, tak berarti bahwa sampai tahun 1990-an tidak ada penyair yang mengekspresikan
Dalam buku kumpulan sajak Kalung Dari Teman, tidak kurang dari 34 sajak yang
seperti ingin menegaskan bagaimana segalanya bisa terukur dengan angka. Dan kata-kata
secara mencolok hadir sebagai bersamaan dengan huruf dan bilangan serta kotak-kotak yang
terstruktur untuk mengesankan sebuah rasio yang terukur. Bahkan bila mengikuti pembaitan
dan penyusunan margin, puisi-puisinya mengingatkan kita pada tabiat puisi ruang yang
Afrizal telah memiliki bahasanya sendiri, yaitu bahasa lukisan. Kendati sebagian besar
puisinya sangat liris, namun karena gaya dissonanansinya yang khas, dan sering tak
berhubungan satu kalimat dengan kalimat lain, memiliki sejarah panjang dalam dunia
Afrizal termasuk penyair yang berhasil menyiasati kata sebagai bahasa pengucapan dengan
Khotbah di Puncak Bunga dari Budha, yang menempatkan benda-benda sebagai bahasa
sunyi-kesyuhadaan, ketimbang kata-kata. Dan Afrizal tak membuat kelantangan yang tak
dapat dibuktikan, tapi dengan keliaran imajinasinya, renungan serta intuisinya yang sensitif,
sering memunculkan frase dan parafrase yang cantik dan menggugah, kendati dari segi
bahasa agak bermasalah. ”Dan waktu adalah air”, merupakan frase puitik Afrizal yang paling
menawan, yang mengingatkan saya pada kristalisasi kata dari Goethe: ”Ladangku adalah
waktu”.
Barangkali yang musti jadi catatan terhadap ”ideologi” kepenyairan Afrizal Malna, adalah
Jakarta yang menurutnya ”pada cemas dengan masa depan seni tradisi, tetapi pada saat yang
sama mereka berduyun-duyun membunuh subkultur di desa dengan cara memformalkan atau
Apa boleh buat, mungkin dengan ajakan Afrizal untuk memikirkan kembali kedesaan dengan
tulus, hanya mungkin bisa kita tafsirkan sebagai kata akhir ”yang tak selesai” juga. Betapa
pun Afrizal ingin jadi “yang Lain” yang gagal, dengan hasrat menggebu untuk kembali ke
struktur dan wawasan yang eksotis-matematis-geometris, toh kehadiran dirinya telah ikut
Jika saya hendak menyampaikan sesuatu yang pantas disebut sebagai “pembacaan yang tak
bersih” juga, sebagai penutup telisik yang tak beraturan ini, maka saya akan menutupnya
dengan menerjemahkan kembali secara bebas atas terjemahan larik-larik dalam salah satu
…meski kau kembali, ah, Malna, meski kau terbendung ruang, dan pemandumu punah
terbakar di parasmu yang kehilangan atau rasa ngerimu yang akrab, kau akan tetap sebuah
cerita kelana….
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975.
Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah
kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink
Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di
Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan
membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator
(2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk
mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir
setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati