Anda di halaman 1dari 124

Afrizal Malna: Puisi dan Geometri Ruang Imajiner

Asarpin

http://asarpin.blogspot.com/

Setiap yang saya lakukan harus ada rasionalisasinya… Sebab saya tak mau terombang-

ambing dalam wilayah yang cenderung tak bertuan.

–AFRIZAL MALNA, dalam esai ”Proses Kreatif”, dimuat dalam bagian akhir buku

himpunan puisi Kalung dari Teman.

Dan waktu adalah air

–AFRIZAL MALNA, fragmen puisi ”Fanta Merah untuk Dewa-dewa”

Untuk membuat sebuah lukisan, tak perlu harus menggunakan kuas dengan cat aneka warna.

Penyair bisa melukis lewat sajak ke dalam benak pembacanya melalui perkakas bernama

kata-kata. Ia bisa memvisualkan kata-kata sambil menyuguhkan gambar dalam pikiran

pembaca.

Afrizal Malna, penyair yang muncul pada awal 1980-an ini, termasuk salah satu penyair yang

dengan intens membuat puisi bagaikan melukis dengan kata-kata. Ia berusaha menyuguhkan

puisi kepada pembaca dengan memvisualkan dan menggambarkan kata-kata dengan

merdeka, atau kata-kata sengaja dihadirkan sebagai gambar-gambar.

Sejak buku himpunan puisi Arsitektur Hujan, sudah tampak kecenderungan penyair ini untuk

melukis melalui struktur kata dengan logika bahasa yang tak biasa. Bahkan pada bagian akhir

buku ini terdapat sebuah indeks yang mengingatkan kita dengan dunia lukisan. Di sana
Afrizal berusaha menorehkan lukisan kata-kata dengan mengambil spirit wastu, juga seni

rupa.

Dari segi tema, puisi-puisinya kebanyakan menampilkan kegagapan berbahasa. Bahkan

beberapa sajak cenderung menggunakan apa yang oleh Sitok Srengenge pernah disebut

sebagai ”logika sungsang”. Sitok mengambil contoh puisi terbaru Afrizal, Lemari tahun

1957. Dalam puisi ini Afrizal berkali-kali membolak-balik logika berbahasa dengan

memasukkan kata-kata benda sebagai pengganti. Tak heran kalau bahasanya menjadi rancu,

bahkan terkadang salah diterjemahkan sebagai bentuk hiperrealitas, entah disengaja atau

memang tidak tahu. Misalnya, Afrizal menulis: “Aku harus memilikinya untuk menyimpan

pakaianku. Kalau tidak, pakaianku akan berkarat, akan tidak bisa ilalang, akan tidak bisa

kupu-kupu, akan tak bisa lubang hijau”.

Dalam sajak lirik itu, kata Sitok, sang penyair mula-mula menyebut pakaiannya berkarat

sesuai logika bahasa yang menggunakan kata sifat. Namun di kalimat selanjutnya, Afrizal

sudah bereksperimen liar cum rancu, sambil mengganti kata sifat dengan kata benda

semacam ilalang, kupu-kupu bahkan lubang hijau.

Eksperimen bahasa yang sama juga terlihat dalam puisi 1 meter ke kiri, saat Afrizal menulis

Sepatu yang kupakai sudah berbau 1 meter. Alih-alih menggunakan kata sifat seperti busuk

atau buruk, Afrizal memilih menggunakan 1 meter yang notabene adalah kata keterangan

jarak. Ada beberapa penanda bilangan atau angka dalam puisi-puisinya yang sempat saya

identifikasi, di antaranya: “1 menit dari halaman rumahku”, “500 meter dari bahasa yang

telah kau campakkan”, “karikatur 15 menit”, “biografi Yanti setelah 12 menit”, “pulogadung

dari peta 15 menit”, ”cerita dari tata bahasa 16.000 liter minyak tanah yang berjalan di
depanku”, 16.000 liter jadi lehermu, 16.000 liter minyak tanah mulai mencium bau

warganegara”, ”cerita dari 2 hijau”, ”5 sentimeter dari kiri”, dan sebagainya. Semua itu

menjadi bisa diukur dan logis.

Afrizal memang reseptor yang cenderung banyak menerima sinyal angka-angka dan bilangan

ketika ia merasa bahwa hidup dalam ruang dan waktu bagaikan hidup dalam logika yang

terukur. Sementara yang tak terukur bisa membuat hidupnya terombang-ambing tak tentu

tuju. Inilah dasar pemikiran tepat dan logis yang disebut Aristoteles principium identitatis—

setiap hal adalah yang identik dengan dirinya: x = x sehingga menjadi satuan yang

memungkinkan pengukuran dan hitungan. Ruang yang tak bisa diukur rupanya tak menarik,

mungkin karena membuat individu dan dunia di sekelilingnya tak menentu.

Gejala meteran dalam puisi Indonesia mungkin hanya terdapat dalam sajak-sajak Afrizal

Malna. Dan setiap kali saya bertemu puisi yang di dalamnya mengandung angka-angka, saya

sering bertanya: apa yang dimaui Afrizal? Gejala apa ini? Kegagapan? Kebuntuan? Main-

main? Metematika? Geometri?

Ah, semua itu bisa benar tapi juga bisa juga salah! Mengapa pula saya harus berpusing-

pusing. Sebab puisi-puisinya sudah jelas diniatkan sebagai terapi kejut melalui angka atau

huruf dan kata yang tak jarang menerabas logika berbahasa. Sekuat tenaga ia berusaha

menekankan kata sebagai sesuatu yang mesti ada rasionalisasinya.

Pada kecenderungan semacam ini, saya menaruh ”curiga” dengan wawasan puitik Afrizal:

jangan-jangan penyair ini begitu dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, terutama lewat

fenomenolog Jerman, Edmund Husserl. Kita tahu, salah satu buku Husserl yang terkenal dan
banyak dirujuk, adalah The Origin of Geometry.

Huserl senantiasa membayangkan adanya suatu kebenaran ilmiah yang terdiri atas beragam

objek yang satu sama lain mencerminkan keutuhan dan kepaduan seperti layaknya sebuah

geometri. Kita tahu, geometri adalah salah satu disiplin matematika yang mempelajari ukuran

dan hubungan di antara bidang-bidang ruang yang membentuk koherensi.

Hanya saja, sajak-sajak Afrizal lebih mencerminkan ”geometri ruang imajiner” di mana

setiap kata atau angka memiliki logika yang koheren dan integral. Oleh karena itu sajak-

sajaknya seringkali memperlihatkan wawasan geometri ruang yang beroposisi dengan dunia

kehidupan kaum mistik. Bahkan dapat dikatakan: sajak-sajak Afrizal adalah musuh bagi

kaum sufi.

***

Mengaitkan wawasan estetik Afrizal dengan dunia geometri, saya kira bukan hal yang

berlebihan. Sebab berdasarkan pengamatan terhadap gejala-gejala yang muncul dalam sajak-

sajaknya, di sana terdapat relasinya dengan dunia filsafat, mulai dari aliran eksistensialis,

fenomenologi, hingga struktural.

Puisi-puisi barunya memang terlihat lebih banyak ”main-main” dengan dunia gagasan

melalui kehadiran kata dan makna, citra dan kata, atau suara dan arti. Nadanya sering kali

terasa amat lamban, bahkan nyaris tanpa nada. Kata-kata berusaha disampaikan dengan nada

rendah, bahkan amat rendah hingga serupa ”nada bertingkah mati” (untuk meminjam istilah

Iwan Simatupang).
Antara tuntutan pekerjaan solider dan sifatnya yang soliter, sama-sama menghasilkan puisi

dengan pintu yang banyak. Ketika kita berusaha mengejarnya dari pintu depan, ia keluar dari

pintu belakang. Kita lari ke belakang, ia melintas ke pintu samping, dan seterusnya, dan

seterusnya. Kedua sifat itu mengalami bentrokan di kepalanya. Dan itu terasa juga setelah

kita selesai membaca sajak-sajaknya yang menyempal dan tidak lazim itu. Bahkan, beberapa

kali saya berjumpa dengan tokoh-tokoh yang terlampau kenyang digasak modernisme hingga

melahirkan kepribadian sulawan, temperamen yang begitu sensitif, pikiran gambar yang

rusuh dan berkecamuk, sebagaimana banyak orang alami ketika hidup dalam dunia soliter

dan solider.

Konon, salah satu tanda munculnya gejala skizofrenia dalam puisi adalah karena di dalamnya

mengandung pengalaman kenikmatan estetik, atau gairah yang mengalami suatu pikiran aktif.

Mula-mula saya menemukan isyarat skizofrenia dalam bahasanya lewat kecenderungan

mempertahankan diri terhadap kecemasan yang timbul akibat konflik antara kebutuhan untuk

menyendiri dan kontak dengan orang lain. Gejala ini bisa jadi merupakan salah satu penanda

tentang kepribadian skizofrenik yang paling menonjol dalam puisi. Hal ini terasa sekali sejak

buku himpunan puisi Mitos-Mitos Kecemasan, di mana kondisi psikologis sang tokoh begitu

retak dan bergolak.

Kata-kata tampil dengan larik-larik tak beraturan, kadang berbenturan. Ribut Wiyoto pernah

menyorot tema skizofrenia dalam sajak-sajak Afrizal, terutama ketika bertemu larik-larik

yang menonjolkan pengucapan skizofrenik. Sebut misalnya puisi Dalam Gereja Munster, di

mana bahasa skizofrenia dengan intim dan sugestif terkuak:


Kereta telah disalibkan dalam gereja tua itu,

berderak lagi, membawa remaja-remaja bercumbu,

dan hari esok putih menggumpal.

Aku tersedu. Lonceng-lonceng gereja berdentangan lagi memanggilmu.

Sajak di atas tidak anti-lirik. Hanya saja kata-katanya tampak mengayun dengan ringan tapi

dengan bobot yang diperhitungkan. Mungkin itulah situasi ketika bahasa bertemu dengan

pengalaman skizofrenik. Situasi delusi muncul seketika, spontan dan tak terbendung.

Metafor-metafor dalam wujud benda-benda urban yang ditakik dari berbagai kota besar di

Indonesia dan Asia, menjadi bahasa tubuh yang kena kendati tak selalu enak dibaca.

Sebagian pembaca puisi Afrizal tak jarang dibuat gamang. Bahkan nyaris mengalami situasi

yang sama mencemaskan dengan suasana yang diekspresikan sang penyair. Puisi bertajuk

Mitos-mitos Kecemasan, Migrasi di Kamar Mandi, dengan mudah dikaitkan dengan puisi

ruang dalam situasi yang gawat dan gamang dalam mempersepsi laju modernitas yang telah

melahirkan dehumanisasi lewat dua perang dunia di abad lalu itu.

Afrizal telah menempatkan dirinya sebagai sang pelukis kata-kata dengan dunia serba-

migrasi: dari migrasi ke kamar mandi ke migrasi ruang tamu, dari dekorasi eksterior ke ruang

interior, dari indoor ke outdoor, dari bandar ke pedalaman, dan berbagai dunia traveling yang

asyik menyusun dunianya sendiri. Migrasi model ini mungkin akan dianggap kembali ke

bentuk, ke ruang, ke struktur.

Berbagai motif klasik juga mewujud dalam kehendak sang penyair untuk kembali ke mitos

purba sebelum ada manusia. Menakik kata dari benda-benda, mulut kera, embik kambing,
suit bekantan, salak anjing, dan berbagai mitos yang sering tak terjamah. Motif-motif mitos

yang ditransformasi dalam sajak-sajaknya, umumnya, masih tersimpan rapat dalam tabung

bawah sadar. Betapa pun tajamnya penciuman terhadap motif-motif yang dihadirkan sang

penyair, kita hanya sampai pada motif itu sendiri dan tak pernah sampai pada maksud yang

sebenarnya.

Bukan rahasia lagi jika tiap-tiap penyair atau seniman menginginkan agar ciptaannya dapat

dikenal oleh sejumlah manusia yang sebanyak mungkin. Afrizal tak bermaksud untuk tak

dikenal khalayak dan sengaja menggelapkan sajaknya agar tak mendapat apresiasi. Justru

karena beberapa sajaknya bermain di wilayah antara gelap dan gumun, maka ada tantangan

sendiri bagi kritikus untuk menakwilkan kandungan kemaknaan motif-motif sajaknya. Motif

yang sering kali masih terbalut dalam daun rimbun kata, diksi, citra, suara dan imaji.

Dalam puisi Sebutir Telur Di Belakang Punggungku, Afrizal bicara tentang kota yang intim

dalam bentuk kisah dan cerita yang sugestif tentang dua orang sahabat yang berlainan tradisi,

yang tinggal di kota yang mencemaskan penghuninya. Kata-kata hadir dengan gerak-diam

dan hampir tak berima.

Di kotamu aku seperti bisa melihat mataku sendiri

dengan mataku. Hati-hati berjalan di situ.

Ada sebuah kepiting yang sedang menggali lubang

di dalam pasir. Pantai itu, seperti sepasang kelopak mata

yang tak pernah terpejam. Karena orang terus berdatangan,

karena pesta berakhir…


Dengan gaya strukturalis, Afrizal menulis: ” Langit mencium sisa-sisa waktu, pada detak

sepatumu, putih melulu, putih melulu” atau ”kita hanya mengenang manusia, dari kota-kota,

yang ditata kaleng-kaleng coca-cola” (sajak Antropologi Kaleng-Kaleng Coca-Cola).

Apa hubungan antara kepiting yang sedang menggali lubang di dalam pasir dengan pantai

seperti sepasang kelopak mata? Tak ada jawaban jika melulu yang kita cari adalah makna

secara konotatif. Karena setiap sepatah kata tak saling terkait, baik antara dialektika makna

dan peristiwa, bahkan kadang juga antara sens dan nonsens.

Dalam hal penggunaan kata, ada kecenderungan penyair ini untuk melakukan dissonansi

warna model seni lukis. Afrizal berhasrat mengubah kata-kata menjadi benda-benda, ruang,

waktu, cahaya dan kebisuan. Antara sebelum dan sesudah lariknya, tidak mesti terpaut.

Seperti kata Ferdinand de Saussure—dalam Linguistik Umum terjemahan Rahayu S Hidayat

—relasi antara penanda dan tinanda sering bersifat arbitrer, bahwa penanda tak mesti

menunjuk tinanda atau ini atau itu, tapi barangkali sejenis dan.

Kita bisa menemukan kecenderungan arbitrer di tempat lain untuk melihat puisi-puisi Afrizal

sebagai semesta analogi dan tanda. Sebagian besar puisinya mengandung kata ”seperti”,

walau kata itu tak sepenuhnya berfungsi sebagi analogi dan penyambung. Sebagia contoh:

”Seperti langkah hati-hati memasuki halaman; seperti membuat pemandangan dari generasi

air” (sajak Kardus Pandora). ”Tentara seperti topi besi dalam lukisan hijau keras” yang

disusul “seperti gergaji yang masih menunggu di sana” (puisi Bulan Juni Jam 7 Pagi).

Adakah antara ”tentara seperti topi besi dalam lukisan hijau keras” dengan “seperti gergaji

yang masih menunggu di sana” punya hubungan tak arbitrer? Analogi-analogi di situ
menjelma ruang antara ada dengan yang tak ada hubungan, namun bahasanya terasa nikmat

dan intim. Munginkah Afrizal hendak menghadirkan sebuah ”tiada”? Memusnahkan

”pengada”? Tentara tiada? Ah, saya curiga sang penyair tengah membongkar kerisauan

kelompok sosial bernama tentara.

Melihat tahun penulisan sajak Bulan Juni Jam 7 Pagi (1998), jelas ini berhubungan dengan

semangat reformasi penolakan terhadap ABRI yang oleh Afrizal dipahami lebih jauh sebagai

tiada tentara. Dan ia menolak untuk memberikan tempat tentara bagi karyanya, dan bisa jadi

nanti ia pun menolak memberi tempat bagi Tuhan dalam puisi-puisinya.

Analogi-analogi yang dipilih Afrizal menjelma satu-kesatuan organis yang hidup dalam

bangunan wastu kata-kata. Si penyair tampak ingin mengenyahkan berbagai relasi penanda

dan tinanda, ada dan tiada itu, tetapi pada saat yang sama ia menguatkan strukturnya. Simile-

simile yang dihadirkan tanpa pertautan itu, seakan menjadi ruh bagi sajaknya, atau semacam

doa dan mantera pamungkas untuk melahirkan diksi dan parafrase yang bermain-main

dengan tema negasi dalam filsafat manusia.

Proses reinkarnasi yang berlangsung dalam puisi-puisinya begitu menggoda, namun begitu

sulit untuk menguak strukturnya, bentuknya, maknanya. Puisi-puisinya tumbuh dengan

rimbun dan dahsyat seperti mitos-mitos pedalaman yang belum terjamah intuisi manusia, atau

seperti benda-benda yang berserakan di jalanan sebuah kota yang tak terpikirkan. Akar-akar

pohon yang beribu mahianya merayap di tanah dan di bawah lindungannya tak terasa teduh

apalagi nyaman.

Bentuk pengucapan yang tak biasa, analogi yang menyimpang, kalimat yang berlompatan,
sering tak mudah dicerna, dan bisa jadi akan dianggap misteri. Lebih lagi bila kita lihat kata-

katanya yang sepintas tampil secara matematis:

Mikropon yang pecah telah

mengunjungi kota-kota,

seperti pembicara 1 cm di lehermu

Tak ada lagi kata yang bisa

mengganti dirimu

Mikropon yang pecah kemudian

menyemburkan pembaca di antara

pengeras suara 1 cm yang lalu

memisahkan kata dari kenangan

(Fragmen sajak Mikropon Yang Pecah)

Motif-motif tentang kota hadir berjejer bagaikan sedang membentuk basis perlawanan

dengan tirani kekuasaan—dalam arti politik maupun kultural. Aku lirik bahkan sering

menampilkan keganjilan, kerincian, kerumitan karakter individu, skenario yang serba-ah dan

serba-wah dan meruwah sekaligus mendesak, perilaku yang selalu tegang, sangat sensitif,

bicara yang kadang tak bisa sistematis dan tak cukup terfokus, ekspresi wajah yang

menerawang kosong, serta suara yang meledak dan kadang tanpa emosi, sikap yang kadang-

kadang diselingi dengan diam seribu basa. Sunyi. Kosong.

Berpikir dan berpuisi bagi si penyair sama-sama mengasyikkan, menggembirakan. Terkadang

ada kecenderungan untuk mengambil jejak ontologi, sehingga puisi-puisinya kadang terang

tapi kadang juga gelap. Ketika sang penyair tengah berada dalam pengalaman esoteris,
tampak bahwa struktur sajaknya seakan meledak, ruang dan waktu manusia nyaris tak

berlaku lagi. Maka ia kembali ke ruang matematis dan waktu geometris dan sangat taat pada

bentuk, struktur, dan ruang. Buku Kalung Dari Teman cukup dominan mempersoalkan waktu

dan ruang dalam hubungannya dengan geografi dan geometri.

Motif ruang dan waktu merupakan contoh paling tipikal sekaligus unik dalam

menggambarkan delusi seorang penyair yang mengalami ”mitos-mitos kecemasan” khas

orang urban yang terluka akibat arus modernitas yang kelewat banal. ”Negeri kami

menunggu hotel-hotel bergerak membedah waktu, mengucap diri dengan bahasa asing. O,

impian yang sedang membagi diri dengan daerah-daerah tak dikenal, siapakah pengusaha

besar yang memborong tanah ini. Kami ingin tahu di mana anak-anak kami dilebur jadi

bensin. Jalan-jalan bergetar, membuat kota-kota baru sepanjang hari” (sajak Mitos-Mitos

Kecemasan).

Setiap kota begitu menakutkan, dan lebih parah lagi, aku lirik mulai merasakan ”setiap kata

berbau bensin” (sajak Asia Membaca). Lalu sang penyair seperti sedang menjatuhkan sebuah

pilihan hidup menjadi ”yang Lain” dalam tubuh perempuan: ”Aku mencari sebuah negeri

pada perbatasan tubuhmu. Pilihan kata tak banyak lagi. Bahasa seperti sumber air yang

mengering” (sajak Di Bawah Sihir Gergaji). Si aku menginginkan tubuh itu, bukan dari

warna sepia, melainkan dari lampu-lampu kota yang berwarna-warni dan luncuran waktu

yang tak lagi bisa ia masuki.

Kegundahan hidup di kota besar sering kali melahirkan kebuncahan kata, ketidakberdayaan

muncul susul-menyusul dengan kegagahan dan kepercayaan diri yang berlebihan. Betapa

keras hidup yang diarungi sang penyair hingga terasa luka yang menganga, bahkan tragis. Di
beberapa tempat saya bahkan menangkap adanya semacam mala dari seorang yang hidup di

tengah-tengah megapolitan yang mengalami luka eksistensial yang mengenaskan. Sesekali ia

menyinggung soal hidup dalam suasana pasca-misteri.

Ciri puisi Afrizal terletak pada hasrat si penyairnya yang terobsesi untuk melampaui misteri

hidupnya, namun tetap saja pengalaman itu tinggal sebagai teka-teki yang tersembunyi dalam

imaji. Tragedi dari filsafat kematian diekspresikan sebagai pencarian yang berujung pada

labirin yang buntu dan berbentur keras sekali dengan semangatnya yang menggebu. Atau

bagai memasuki lorong-lorong serba-rahasia yang tak kunjung mengemukakan isyarat dan

tanda, bahkan kode-kode pembuka rahasia pun tiada. Barang kali juga mirip sebuah menara

rahasia penuh kabut yang menutupi lorong-lorong bahasa yang dihuni para persekutuan

mapia dan preman.

Upaya pencarian sang seniman menuju puncak-puncak pengalaman kreatif nyaris merosot ke

dalam bahasa benda yang karikaturis. Si penyair terperangkap oleh frasa dan parafrasenya

sendiri yang serba rumit serba salah dengan tumpukan kertas tak bermula. Hasrat-hasrat jiwa

dan pikiran yang membubung dan membingungkan, yang mirip tokoh kita dalam Ziarah Iwan

Simatupang, atau tokoh K dalam Metamofosa Kafka atau sang Siren itu, yang mengungkai

pemberontakan naratif yang sudah dianggap mapan, yang bermula dengan huruf K kapital.

Apakah Afrizal berusaha menghadirkan puisi dengan P besar?

Entahlah. Sepastinya, baik puisi maupun prosa, terdapat orang-orang kota yang terluka dan

sibuk dengan dunianya sendiri, seperti dunia dalam pasar malam. Perhatikan larik-larik puisi

berikut ini:
Satu dua orang datang satu dua orang pergi

Pohon tumbuh sendiri, sepi berjalan sendiri

Kemarin aku berjanji menjengukmu

Nonton bersama

Satu dua orang datang satu dua orang pergi

Tak ada halaman lain pada tubuhmu

Waktu telah jadi bentangan kain

Potongan-potongan baju, ke Selatan ke Utara

Jam 10 malam, toko-toko telah tutup

Satu dua orang datang satu dua orang pergi

Siapa yang mau menunggu di sini

Orang-orang berlalu

Halaman rumah belum disapu

Semua orang datang semua orang pergi

(sajak Tanaman Tahun).

Kata-kata terasa rusuh oleh gemericik bunyi bersahutan. Ketika gejala imaji coba

dikontraskan dengan gejala imaji lain, atau ketika kecenderungan rasa cemas yang akut

bercampur dengan perasaan sebagai narapidana, atau seperti manusia kamar berukuran 2×2

meter yang soliter dengan perasaan yang tak berdaya dan rendah diri bertukar-tukar dengan

kegagahan, atau kecenderungan merayakan yang pasif dan aktif, maka di situ muncul

kepribadian-kepribadian yang mengalami kontradiksi. Mungkin inilah salah satu gejala

eksentrik. Kiprah-kiprah dari bahasa skizofrenik!

Ketika gebalau dan kecemasan tak tertangani, maka si tokoh tampak mengabaikan daya nalar
dan perilaku otak yang lama kelamaan bisa jadi menunjukkan apa yang oleh Afrizal sendiri

disebut ”menara epistimologi dalam bahasa”. Atau sebuah “menara epistimologi tanpa

telinga”, tulisnya suatu kali, ketika prosanya hendak didekati dengan pisau epistimologi

Ricouerian oleh Ignas Kleden.

Metafora menara yang digunakan mengingatkan saya pada sebuah ”menara keterasingan”

yang berganti-ganti dengan ”menara keheningan” melalui cerocosan-cerocosan dan tampilan

simile-simile serta igauan-igauan yang berlompatan, yang terasa lebih menantang jika

disandingkan dengan frase-frase orang yang sering disebut ”majenun” itu. Dan puisi-puisinya

tak luput menghadirkan suasana kegilaan yang kreatif.

Penokohan dalam puisi-puisi Afrizal, bila direnungkan dengan cara membaca berkali-kali,

lama kelamaan seperti nyata, dan individunya seakan dibiarkan membusuk di menara

keheningan di kamar sempit sambil menolak psikologi empiris dan merasakan psikologi

kesadaran. Tak jarang bahasanya berjalan dengan terlunta-lunta. Kalimat-kalimatnya

terputus-putus, seperti sedang diburu laskar hitam kata-kata. Strukturnya seperti melarikan

diri ke atas menara tinggi, antara ruang di dalam rumah yang pasif dan ruang di jalan raya

yang dinamis bertukar tempat sedemikian rupa hingga nyaris menjadi sasaran empuk burung-

burung pemangsa yang terus mencabik, mematuk, dan mengoyak organ-organ vital.

Tetapi tak seberapa lama, saya pun menangkap gelora khas Malna yang merasa cemas dan

sensitif. Dan itu dilukiskan secara naratif dengan mengandalkan bentuk puisi-prosa naratif.

Afrizal memang bukan yang pertama memulai kecenderungan ini ketika ia mengamati atau

masuk ke dalam delusi-delusi skizofrenia dalam prosa Seperti Sebuah Novel yang Malas

Mengisahkan Manusia dengan menyodorkan sebuah jatidiri yang keras melalui pergulatan
otentisitas tokoh-tokoh yang kokoh, yang dapat menyebabkan orang terperangkap ke suatu

sikap pantang menyerah.

Afrizal tampak tak terlalu berhasil kalau menulis prosa ketimbang puisi. Karakter fiksi

naratifnya sering mencerminkan apa yang sedang terjadi dalam realitas politik, dan karena itu

terlampau keberatan memanggul beban politik dan sosial. Bisa jadi hal ini masih ada kaitan

dengan cerminan situasi politik kota yang otoriter pada masa Orde Baru.

Mungkin di sini kita bisa meletakkan situasi tokoh yang, jika meminjam istilah Albert

Camus, “berkarya dalam bahaya”. Namun, haruskah kita menghadapi bahaya maut terus-

menerus untuk menghasilkan karya seni yang bisa menjadi saksi tidak hanya bagi zamannya,

tapi berdepan-depan dengan zaman? Ah, betapa banyak kita saksikan kejadian yang dahsyat

yang menusuk hingga ke relung jiwa terdalam kemanusiaan yang ditulis di sebuah kamar

sunyi. Tak sedikit karya besar lahir dari pengalaman seniman menghayati dunia soliternya di

kamar persegi empat berukuran 3×2 meter tanpa pernah mengalami benturan yang keras di

lapangan politik dan sosial, tetapi karya sastranya justru dianggap debutan oleh para kritikus.

”kisah kami tinggal 2×2 meter/Jangan lupa, Suami, Cacuk. Besok kami akan membuat

pertunjukan jam 8 malam. Tentang Tini yang hatinya terbuat dari 2×2 meter” (sajak 2 x 2

Meter).

Puisi itu menampilkan situasi aku lirik yang tidak terikat dengan ruang dan waktu, karena

waktu nyaris tak ada. Hal itu disebabkan oleh dunia yang semakin lama menjelma Rosa,

karena hanya 15 menit aku merdeka sampai mati, dan selebihnya hiruk-pikuk yang

mencemaskan dalam puisi ruang kota dengan ruang jalan yang dinamis dan berteriak-teriak.
Bagi orang yang pernah merasakan pergulatan melawan rasa tersiksa yang membelenggu

jiwanya cukup lama, kerja kreatif mungkin saja dianggapnya sebagai cara yang paling pas

untuk mengekspresikan diri. Dalam situasi seperti ini, mungkin benar apa yang dikatakan

oleh seorang psikolog ahli mendeteksi skizofrenia yang disinggung Sylvia Nasar dalam A

Beautiful Mind: kerjanya sendiri mungkin tampak soliter, tetapi ciptaan atau karya yang

dihasilkannya, umumnya dipandang memiliki kualitas nilai bagi masyarakat banyak. Di sini

kreativitas bisa berfungsi sebagai perlindungan, atau bahkan sebagai remedi bagi penyakit

atau sebentuk strategi pertahanan diri.

Dalam konteks gambaran tentang benda-benda urban yang tampak seperti tersusun dalam

puisi-puisi dan naskah-naskah teaternya, Afrizal memang tampak terlihat berusaha keras

melakukan eksperimentasi melalui seni visual. Tujuannya mungkin untuk membentuk

semacam gramatika sendiri; gramatika benda-benda, bukan bahasa atau kata.

Benda-benda urban dalam puisinya, bukan lagi yang biasa kita temukan di jalan-jalan atau di

rumah, karena benda-benda itu memiliki hubungan tersembunyi dengan individunya yang

berusaha keras ingin mengintipnya. Dengan cara itu, sang penyair seakan sedang

mengekspresikan sesuatu yang merupakan dirinya sendiri dalam kekiniannya, hingga suasana

benda-benda tersebut tampak menyimpang atau diperhadap-hadapkan secara dikotomis dari

kecenderungan umum.

Kalau pun alat bahasa yang digunakan dalam berkarya, itu lebih sebagai bentuk-bentuk

warna dan gambar-gambar dengan mengandalkan spontanitas peristiwa model kaum

informalis. Betapa jauh sesungguhnya Afrizal meninggalkan Chairil Anwar yang dengan

jujur diakuinya sebagai gurunya itu. Jika Chairil masih cenderung menampilkan lirik
romantik dengan keteraturan kata dan bahasa, dengan larik yang koheren, maka Afrizal justru

memecahkan ketaraturan dengan menghadirkan pertentangan. Bila sajak-sajak Chairil

berusaha menghadirkan dissonan namun masih dominan dengan gaya konsonan, maka di

tangan Afrizal dissonan itu justru lebih kuat. Harmoni musik duka kata memang masih terasa,

tapi hadirnya dissonan justru menegaskan kekuatan musik yang melirik secara posesif

dihancurkan.

Takdir Alisjahbana pernah menyinggung soal kecenderungan dissonan dalam sajak lirik

melalui penegasan Strawinsky dalam buku Poetique Musicale (1948). Dissonan merupakan

sesuatu yang berdiri sendiri, dan ia tak menyiapkan sesuatu maupun memberitakannya,

melainkan sesuatu itu sendiri. Bagi Strawinsky, dissonan bukanlah pendukung kekacauan,

sebagaimana juga konsonan tidak selalu menjamin kemantapan.

Dalam konteks pembicaraan dengan sajak lirik, Afrizal memang sering menampilkan apa

yang oleh Takdir dinamakan sebagai lirik alegori sekaligus lirik intelek; di mana lirik alegori

agaknya sengaja dihadirkan dalam puisinya untuk membebaskan bentuk atau struktur

puisinya yang mulai mengikat. Sementara lirik intelek justru berusaha untuk membuat ketat

bentuknya. Dengan kata lain, lirik yang pertama mengisyaratkan meluruhnya intelek yang

berhasrat mejelaskan hal-ikhwal, dan yang kedua malah dengan sendirinya mengukuhkan

benteng intelek tersebut. Jenis lirik kedua ini justru paling dominan dalam sajak-sajak

Afrizal.

Karena sering menjelma lirik-lirik intelek, tak jarang sajak-sajak Afrizal terasa rumit, gelap

dan tak terjamah oleh mata-batin pembaca. Beberapa puisi mengandung banyak lorong dalam

bahasa. Namun karena sudah jadi tabiatnya, maka puisi-puisinya dianggap memiliki gaya dan
bahasa pengucapan khusus yang berbeda dengan lirik romantik model Chairil Anwar dan

Goenawan Mohamad.

Tabiat aku lirik yang sepintas main-main, dan cenderung bergelap-gelap, justru tak membuat

pembaca merasa terbawa arus imaji, tapi mungkin memaksa pembacanya untuk merasa mual,

lantaran fantasi-fantasi infantil tampak meruwah. Namun, bisa juga dibaca sebagai watak dari

puisi bahari yang sugestif dan kemampuannya melakukan resistensi dan sering

membingungkan diri sendiri, namun sang penyair begitu kuat menghadirkan sebuah resistensi

terhadap desakan dari luar.

Bila Edward W. Said bisa dipaksakan masuk di sini, mungkin saja bahwa inilah yang disebut

sugesti yang menarik di Timur, namun sering kali diabaikan oleh Barat. Atau, jika saya boleh

memakai uraian Dami N. Toda saat menampik A. Teeuw yang mengimpor teori beristilah

Barat dan menerapkannya dalam kritik sastra, barangkali inilah bentuk kelalaian yang banyak

menimpa sastrawan Barat yang memiliki teori dan metode yang bernama bagus-bagus tapi

gagal ketika berhadapan dengan karya kreatif dari puak Bahari Nusantara. Apa yang mungkin

dilakukan para kritisi itu justru menjadi doktriner dan menghukum secara tidak kreatif apa

dan siapa saja yang tak sesuai dengan selera mereka. ”Dami N. Toda menolak konstruksi

sastra Indonesia dalam perspektif tunggal yang dihasilkan sarjana-sarjana sastra lulusan

Belanda”, kata Afrizal dalam esai obituari Sejarah dalam Kulit Bawang di Tempo akhir

November 2006.

Afrizal dengan intim membangun imajinasi kota, benda-benda urban, gedung-gedung,

kehampaan-kehampaan, ke dalam banyak puisi. Sementara penyair lain tampak masih asyik

bicara tentang desa dan kedesaan, Afrizal justru masuk ke dalam persoalan-persoalan
manusia kota yang berhadapan dengan proses modernisasi dan kehancuran ekologi.

Afrizal mungkin satu-satunya penyair Indonesia yang paling intens menulis sajak tentang

kota yang runyam. Untuk meminjam ungkapan Afrizal Malna sendiri saat mengomentari

sajak-sajak Juniarso Ridwan, proses kreatifnya selama ini telah menghasilkan sejenis ”produk

ujaran-ujaran ekologis yang meniti jalannya dari alam, kehidupan lokal hingga kota yang

ruwet”.

Melalui imaji tentang kota yang dibayangkan sebagai abad yang berlari dan manusia-manusia

yang mengalamai kecemasan berhadapan dengan kehidupan urban yang telah menjelma

mesin itu, Afrizal menghadirkan tafsiran yang unik perihal kota dan kekotaan. Dalam Mitos-

mitos Kecemasan ia menulis: ”Negeri kami adalah belantara hutan yang sedang menunggu

hotel-hotel bergerak membelah waktu”. Rawa-rawa sebagai resapan air yang ada di kota kini

perlahan-lahan berubah menjadi mall-mall yang menjulang.

Dalam konteks ini, Afrizal tampak sedang menampilkan gejala skizofrenia orang-orang kota

dengan kecenderungan menampilkan kata-kata yang mirip cerocosan anak-anak hiperaktif.

Terkadang diselingi oleh suasana yang berubah seketika, hening, murung, diam, dan pada

saat yang sama muncul kegaduhan dan pemberontakan yang keras kepala.

II

Dalam puisi Waktu yang Kembali, yang dimuat dalam buku Mitos-mitos Kecemasan, Afrizal

tampak sedang memanggil masa kecil yang telah jauh ditinggalkan: “Datang lagi masa

kanak, bermain seperti dulu ketika dunia tak di sini”. Atau Telinga Waktu yang merindukan
masa lalu di negeri yang belum menjelma negara justru ketika ”buah mangga terguncang-

guncang dalam kardus” dan ”debu seperti hujan yang bangkit kembali dari tanah” atau

”seperti ayah ibu pertama kali melihatku membawa seorang gadis ke rumah” hingga ”tangan

Tuhan, masih tertinggal di sini”.

Gejala puisi semacam itu terus berlanjut hingga puisi-puisi yang terangkum dalam buku

Teman-temanku dari Atap Bahasa (Lafadl Pustaka, 2008). Menurut ulasan di majalah Tempo,

puisi-puisi Afrizal dalam buku ini tak jarang menampilkan frasa aneh yang diadon dengan

percikan-percikan imaji yang sugestif sehingga membentuk cerita yang enigmatik. “Percikan-

percikan itu membesar, berulang, merembes, mencari, dan bertemu dengan imaji lain.

Hasilnya adalah cerita yang belum sudah. Karena itu, barangkali, tak ada huruf kapital dalam

sajak-sajak Afrizal—sebuah tanda bahwa makna bisa tidak bermula dan berakhir, atau sebuah

teks yang terbuka”.

Dalam himpunan puisi terbarunya itu, Afrizal tak jarang membuat kita gemas lantaran

keanehan-keanehan muncul susul-menyusul di dalamnya. Kadang kala tak disangka-sangka

kita disuguhkan pemandangan sosial yang keras, protes yang tanpa melengkingkan suara, tapi

sejenis parodi, main-main yang mengandung gelak tersembunyi. Bahkan beberapa puisi lucu

sekali dan sengaja membuat pembaca tertawa. Ada juga sajak absurd yang unik, seperti

dalam sajak dengan judul unik berikut ini:

Ketukan-ketukan Kecil di Atas Dengkulku

Aku mengetuk-ngetuk dengkulku, ada tanah yang berjatuhan. Dengar. Tanah itu seperti

sebuah malam minggu yang mati. Seperti sungai yang berjalan di atas jembatan. Dengkul

tidak seperti kota yang kau bangun di mulut knalpot. Bukan sebuah kebahagiaan yang berisik

seperti kantong plastik, tempat orang membuang malam dengan bercakap-cakap, dan mencari

sedikit pelukan dari kesepian yang biasa. Pelukan yang biasa. Keparat. Seperti piring yang
pecah dan meninggalkan lubang hitam di dalamnya. Lalu aku bangkit, dengkulku sudah tak

ada. Dengkulku telah pergi dari tubuhku. Tubuh tanpa dengkul itu pun aku buang. Aku buang

dekat jendela. Aku terkejut. Aku berada di mana kini? Di luar jendela atau di luar jendela.

Siapa yang telah dibuang? Aku yang telah membuang tubuhku ke luar jendela, atau jendela

itu yang telah membuangku? Bagaimana aku menentukan arah tanpa bersama tubuhku? Lalu

kucing berpesta di malam minggu. Membuat negara dari piring-piring pecah. Aku lihat piring

pecah di malam minggu. Aku lihat malam minggu pecah di lubang hitam yang mulai berotot

itu. Aku dengar dengkulku menyembunyikan semuanya. Tentang tanah yang berjatuhan di

atas bantal tidurmu. Tentang korek api dalam tubuhmu.

Belakangan ada beberapa sajak Afrizal yang tampaknya menyuarakan ajakan untuk menakik

persoalan-persoalan di desa, di hutan dan di pedalaman Papua, Sulawesi, dan Kalimantan,

dengan melakukan gugatan dan protes atas proses pembangunan yang menimbulkan

dehumanisasi. Tapi secara keseluruhan, puisi-puisi Afrizal paling banyak mengangkat suara

orang urban dan benda-benda urban, berikut penanda dan tinanda di dalamnya.

Ambil contoh sajak-sajak yang bercerita berikut ini, di mana begitu besar perhatian sang

penyair terhadap kondisi negeri-negeri kepulauan. Saya kutip versi terbitan di Kompas

(01/08/2003):

Kamar yang Terbuat dari Laut

Masa kanak-kanakmu terbuat dari sebuah pulau, Ram, di Tomia, Buton. Setiap malam, di

antara suara batukku, demam yang tinggi, aku mendengar nafas laut. Laut yang tak punya

listrik. Laut yang menyimpan masa kanak-kanakmu. Sebuah kamar yang dihuni orang-orang
Bajau. Mereka, laut, kamar dan orang-orang Bajau itu, bercerita tentang …

Lidahku jatuh dekat ujung sepatuku. Laut memiliki sebuah kamar di atas bukit Kahiyanga.

Ikan-ikan dan batu karang juga punya sebuah kamar di situ. Aku harus menggunakan lidahku

sendiri untuk membukanya. Dan suara batuk, dan demam. Dan pulau yang bising oleh

pengendara-pengendara ojek. Kamarmu itu, tempat bahasa melompat-lompat seperti ada api

yang terus membakarnya.

Setiap malam, aku seperti mendengar nafas laut, ikan lumba-lumba yang sedang menidurkan

anaknya … wa ina wandiu diu … malam tak pernah memukuli anak-anaknya di dasar laut.

Malam tak pernah membuat dirimu terus menangis setelah bangun tidur. Lalu pulaumu itu,

Tomia, mengambil batuk dan demamku dengan jari-jarinya yang terbuat dari tulang-tulang

ikan, dengan jari-jarinya yang terbuat dari darah ikan. Laut tempat waktu melukis seluruh

warna di permukaannya. Laut yang membuat kerudung ibumu seperti lempengan emas di

senja hari. Sebuah hempasan waktu yang telah menelan seluruh leherku.

Kamar yang terbuat dari laut itu kemudian bercerita … kau telah menjadi seorang ibu, Ram,

untuk masa kanak- kanakmu sendiri.

Bau Air Mata di Bantal Tidurmu

Pagi-pagi sekali hutan telah bangun dan berjalan ke kamar hotelmu. Hutan yang berjalan,

bayangannya seperti jubah matahari. Disel telah mati. TV telah mati. Ada musang mengambil

kepala ayam. Anak-anak babi berebut tetek ibunya. Aku menari, tubuhku terbuat dari oli dan

obat tidur. Pagi-pagi sekali. Pagi-pagi sekali batang-batang pohon berjatuhan dari perutku.

Gelondongan-gelondongan kayu, pagi-pagi sekali, gelondongan-gelondongan kayu


mengapung di sungai Mahakam, diseret oleh ribuan kapal yang seperti menyeret tubuh ibumu

pagi-pagi sekali. Ibu yang dilahirkan dari rahim Dayak Bahau. Namaku Lung Ding Lung

Intan. Aku juga dipanggil Daleq Devung dan Joan Ping. Bapak dan hinangku adalah

sepasang burung elang yang terbuat dari karung plastik. Malam ini aku sedang berhudoq,

menari hingga perahu-perahu melaju di permukaan pagi. Pagi yang membuat pusaran-

pusaran air di Tering Seberang.

Tarian yang mengajariku tentang sebuah goa di Matalibaq, tempat hutan membuat keluarga.

Matahari terbuat dari butiran-butiran jagung, kata mereka. Dan malam baru datang, kalau

batang-batang kayu besi telah mengucapkan mantra-mantranya. Burung-burung bangaulah

yang telah membuat bulan, kata mereka, ketika permukaan sungai masih bisa membaca

kesedihan-kesedihanmu. Lalu ibuku menari kenyah. Burung-burung berhinggapan di jari-jari

tangannya.

Pagi-pagi sekali, ribuan bangkai hutan diseret di atas sungai Mahakam. Kau setubuhi juga

anak-anak gadis kami dengan penismu yang terbuat dari gergaji. Kau curi hati anak-anak

muda kami lewat perahu bermotor. Lalu bayangan hutan jatuh di atas permukaan sungai,

seperti jatuhnya sebuah mahkota. Sejak itu ibuku tak pernah menari lagi.

Pagi-pagi sekali aku ambil kembali sungai Mahakam, seperti mengambil selimut tidur ibuku

dan aku kembalikan ke dalam goa itu. Sejak itu, kau tak akan pernah lagi menemukan hutan

di mana pun, kau tak akan melihat lagi sungai di mana pun. Tetapi burung-burung terus

bernyanyi tentang hutan dan sungai agar ibuku kembali menari. Tarian yang membuat

seluruh isi rumahmu bergerak seperti kaki-kaki hutan. Daun yang tiba-tiba tumbuh di seluruh

dinding rumahmu. Bau air mata yang masih tercium dari bantal tidurmu.
Beberapa sajak tampak gemar bicara tentang penyair lain, seperti bicara tentang Chairil dan

Sutardji. Salah satu sajak dalam Abad yang Berlari, yang mempesona saya, adalah sajak

Matahari Bachri. Dalam sajak ini Afrizal bercerita dengan intim tentang dunia penyair

Sutardji Calzoum Bachri dengan rima dan irama yang sangat terjaga.

Matahari Bachri

Hari semakin tua, bachri. kambing telah mewarnai pakaian kita.

mau

kau jadikan laut mati berdebur di antara kegigilan rumput-rumput.

mabukmu tak juga menyimpan maut jadi tenang dalam sajak tak

bisa

bercakap matahari tak bisa bercakap tuhan. bau alkohol telah melu-

kai langit, bachri. sampai ke kubur menulis-nulis manusia. membuka

buku sajak yang perih membuka pintu rumah yang perih. segalanya

dalam derit tawa, bachri. dunia hanyalah pengejaran untuk mati di

antara rumput yang terus berkibar.

Mabukmu membawa penyair kepada keperihan kamus-kamus,

bachri. ke-

pada siapa mengajari tuhan kepada siapa mengajari bintang-bintang,

langit menurunkan mataharimu setangga-setangga, dan tanah terus

berkibar menyimpan hidup dalam rahasia-rahasia.


Di kubur mabuk, lonceng oleng, kita hanya barisan kata-kata, bachri.

siapkan rumput padang-padang telanjang. aku pinjamkan sebait

tuhan untukmu.

Selain Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal juga menulis sajak tentang Chairil Anwar, bahkan

penyair ”binatang jalang” itu tidak lain adalah tempatnya menimba filosofi kepenyairan.

Kedua penyair ini tampak begitu mempesonanya, dan tak heran jika ada anggapan bahwa

Afrizal dipengaruhi oleh Chairil dan juga Sutardji.

Kritiknya terhadap kekuasaan makin eksplisit dan tak jarang surealis: ”Aku tidur di depan

sebuah kulkas. Suaranya berdengung seperti kaus kakiku di siang hari yang terik. Di dalam

kulkas itu ada sebuah negara yang sibuk dengan jas, dasi, dan mengurus makanan anjing.

Sejak ia berdusta, aku tak pernah memikirkannya lagi” (Persahabatan Dengan Seekor

Anjing). Atau sajak Guru dan Murid Dilarang Masuk ke Dalam Sekolah yang Terbakar dan

Chavez untuk Rambut yang Tak Mau Disisir, yang menampilkan kritik dengan bahasa dari

metafora porak-poranda dan seenaknya mengaitkan kebijakan militerisme di Aceh dan

perseteruan politik George W. Bush dan Hugo Chavez dengan sisir.

Si penyair dengan intens menjelajah ruang-ruang politik dan sudut-sudut negeri kepulauan.

Beberapa sajaknya mengangkat suara-suara orang Papua berikut tradisinya, yang selama ini

nyaris tak terdengar. Tema-tema seputar kehidupan kota dan politik kampung, seakan

meronta dalam gaung sajak-sajak barunya.

Percakapan tubuh yang sunyi masih diberi ruang bebas hingga kata-katanya nyaris menjadi

sang penari. Bahasa dipersepsi sebagai kenaifan yang ke-kanak-kanak-an, atau sebagai lawan
kemunafikan para penyair yang menempatkan kata sebagai orang dewasa. Kadang kala

muncul fantasi infantil yang lugu, cuek, namun terasa lucu, mual, dan banal.

Dalam hal makna, Afrizal berusaha menghadirkan puisi bukan untuk dimengerti, atau agar

pembaca mudah memahami, melainkan bagaimana pembaca menikmati puisinya sama ketika

pembaca menikmati lukisan surealis. Hal ini tentu tak mudah dan karena itu seringkali si

penyair musti juga memikirkan selera pembaca.

Secara garis besar, ada kecenderungan penyair ini untuk berpuisi dengan menghidupkan

kembali gagasan puisi ruang dari atap bahasa yang landasan ontologisnya bisa dilacak dalam

gagasan Gaston Bachelard—filsuf Prancis yang mati muda. Dalam teater pun demikian. Pada

naskah pengantar lakon Sang Pencinta, misalnya, Afrizal memakai lema teater ruang dengan

konsep garap yang mengoptimalkan bahasa tubuh untuk menyampaikan makna dalam naskah

ke panggung.

Gagasan semacam itu kelak menemukan pembulatan dalam esai-esainya. Bahkan suatu kali

Afrizal melontarkan gagasan teater yang menampik keunggulan sang aktor. Baginya, bukan

akting yang menciptakan ruang, melainkan gagasan atas ruang yang mempunyai konsekuensi

terhadap akting.

Gagasan teater ruang, lebih jauh, mengandung konsekuensi yang jauh ke dalam caranya

memandang ruang dan kode. Ruang kota yang telah jadi bulan-bulanan kaum kapitalis

tampaknya telah menjelma halaman belakang dalam sebuah rumah. Sementara desa tetap

berada di latar depan kehidupan.


Sebagai antitesa—kalau pantas dibilang demikian—terhadap kecenderungan formalisme

dalam kesenian modern, penyair kita ini kembali menegaskan pilihan kreatifnya: bukan

formalisme yang bisa merayakan pluralitas dalam kesenian, melainkan informalitas sebagai

inti keragaman.

Dalam esai proses kreatifnya, Afrizal berusaha merujuk pandangan Fatima Mernissi (1992)

tentang pluralisme, namun sang penyair sendiri khawatir jika puisinya justru tidak berada

dalam indahnya sebuah pertemuan kebetulan dengan feminis Maroko itu. Maka ia kembali ke

dalam menghayati diri sendiri tentang tarian kehidupan.

Dengan gagasan-gagasan yang cemerlang itu, maka tak heran bila sambutan atas sajak-

sajaknya di tahun 1990-an begitu menggelegak. Sejauh ini, tak kurang dari empat puluh buah

ulasan atas puisinya di koran dan majalah. Beberapa kritikus bahkan menyebut sajak-sajak

Afrizal nyaris tanpa lorong, gelap, rumit, main-main. Namun diam-diam muncul pula kritikus

yang menahbiskan dirinya sebagai pembaru. Beberapa kritikus berusaha mengaitkan sajaknya

dengan pemberontakan penyair pendahulunya.

Radhar Panca Dahana menyebut sajak-sajak Afrizal sebagai kelainan yang menyuguhkan

“teknik pengucapan yang belum dilakukan pendahulunya”. Agus R. Sarjono, Dami N. Toda,

dan Korrie Layun Rampan melihat adanya pertalian wawasan estetik dengan puisi-puisi

Sutardji, yang hemat saya tak terlampau mendasar dan sulit dipertahankan. Afrizal sendiri

menolak istilah pembaru dalam puisi.

Para kritikus sastra sejak 1990-an memang banyak mempersoalkan pentingnya pembaruan di

lapangan puisi. Puisi dianggap kian seragam dari segi gaya dan pengucapan, karena itu
penting untuk menampilkan kebaruan. Naskah-naskah lama dalam teater dianggap sudah tak

mampu lagi menangkap realitas yang tengah berlangsung, karena benak manusia masa kini

telah dikepung benda-benda urban dan aneka properti, bahasa gambar, serta visual. Dan

karya Afrizal berhasil menyuguhkan sesuatu yang segar, walau terkadang masih berbau yang

rasional.

Diksi-diksi yang dihadirkan dalam puisi-puisinya memiliki keunikan, terkadang tampak

menyempal dan mengejutkan. Secara intens Afrizal berusaha melakukan ”revolusi diksi”,

hingga diksi-diksi yang muncul kemudian terasa unik, cantik, dan lucu.

Dari segi bahasa, beberapa sajak Afrizal masih mengandung masalah. Namun karena

diksinya yang menawan dan cantik, pilihan kata yang begitu diperhitungkan, maka sajak-

sajak dengan bahasa yang aneh itu tetap menggugah.

III

Berkali-kali saya membaca puisi Afrizal dan yang menyangkut di benak saya cukup lama

mungkin bukan kata-kata yang indah, tapi diksi-diksi permainan catur dengan kejutan-

kejutan yang sering tiba-tiba. Buku puisi Di Rahim Ibuku Tak Ada Anjing, membuat saya

tertegun saat membayangkan bagaimana insting penyair kita ini menembus kabut mitos-mitos

keluhuran manusia bahari Nusantara lewat strukturalisme dan bahasa mitos, yang

mengingatkan saya pada eksit Claude Levi-Strauss dalam karya ilmiahnya. Kedua pengarang

ini memang berjarak ribuan mil dan dipisahkan oleh kurun lebih dari setengah abad, namun

seperti bertemu dalam suatu penghayatan yang dekat tentang keluhuran manusia suku

”pedalaman”—istilah yang celakanya sering disinonimkan dengan suku primitif dalam arti
yang irasional atau ketinggalan zaman.

Bisa jadi, dengan antropologi strukturalis Levi-Strauss itu, Afrizal berniat menggantikan

strukturalisme yang sangat resmi seperti pintu tertutup dalam drama Sartrean yang

sebelumnya sangat memikat hatinya dengan ”jejaring terbuka”. Bukankah kita tahu, setelah

orang jenuh berdiskusi tentang ”pembangunan”, lalu orang mencari istilah lain, dan

ketemulah istilah ”jaringan”. Sekarang kita sedang berpindah dari kiasan pengetahuan

sebagai sebuah bangunan menjadi sebuah jaringan, di mana segala sesuatu memiliki

keterhubungan.

Dalam konsep jaringan, tak ada atas-bawah, tak ada hierarki-hierarki, bahkan tak ada suatu

hal yang lebih fundamental dibanding yang lain. Perubahan metafor ini terjadi juga dalam

politik, ekonomi, sosiologi, antropologi, budaya, sastra, agama dan teologi. Kini terdapat

banyak jaringan lintas-budaya dan interdisipliner, bahkan lebih banyak dari yang terdapat

dalam ilmu fisika. Dapatlah dikatakan bahwa konsep jaringan muncul sebagai kritik atas

gagasan pembangunan yang mengedepankan struktur kekuasaan yang monolitik dan mutlak-

mutlakan dengan menekankan pandangan yang fundamental. Orang tak lagi tertarik

membicarakan pembangunan dan struktur.

Tapi Afrizal bukan yang pertama menerjemahkan ”struktur” menjadi ”jaringan”. Sebelum

Afrizal, yang melihat ”struktur” sebagai ”jaringan” melalui penafsiran atas gagasan Levi-

Strauss adalah Denys Lombard, dalam buku tiga jilid yang diterjemahkan menjadi Nusa

Jawa, Silang Budaya.

Afrizal mencoba menghadirkan satu suku kata dari mulut para leluhur, yang ternyata bisa
memberikan satu ruang, satu fungsi dan signifikansi kepada benda-benda yang ada di

sekelilingnya. Penghayatan tersebut muncul dari berbagai penanda-petanda: larangan incest,

totemisme, magi, mite (antara simbol dan tanda), yang dipandang sebagai sebuah

penghayatan, atau pengalaman mite yang otentik. Berbagai warisan leluhur dikonstruksi

sedemikian rupa untuk menghasilkan puisi yang unik dan metrik. Dan Afrizal memang

seorang urban pembela gigih khazanah kesusastraan tradisi Nusantara—termasuk bahasa

daerah—dan diam-diam ingin mendesakkan semangat post-tradisionalisme ketimbang

postmodernisme.

Barangkali lantaran kelewat asyik melakukan avonturir ke berbagai cenayang, maka imaji-

imaji dalam puisi-puisinya yang terkumpul dalam buku analekta puisi Kalung Dari Teman—

seleksi 100 puisi yang pernah ditulis Afrizal—dan Arsitektur Hujan seakan unjuk kebolehan.

Mau tak mau saya harus membawa-bawa buku Mitos, Dukun dan Sihir (1997) Claude Levi-

Straus tentang strukturalisme sebagai ”teori pemikiran liar” dalam membaca gejala ”struktur”

dalam puisi Afrizal.

Mengapa Afrizal terpesona oleh antropologi strukturalis? Tentu banyak alasan. Di antaranya,

Afrizal tak memisahkan puisi dengan geometri atau sains dan sastra. Afrizal suka sesuatu

yang konkrit, bergambar, visual, dan hal-hal yang bisa diukur. Strukturalisme adalah jawaban

bagi semua itu. Dengan strukturalisme, ia merasa dirinya tidak terpecah di antara sensibilitas

dan ilmu pengetahuan. Strukturalisme menjadi remedi bagi luka besar kemanusiaan.

Lebih lagi jika kita kaitkan dengan pernyataan-pernyataan Afrizal sendiri dalam setiap

kesempatan temu sastra dan budaya atau festival Sastra Kepulauan I sampai VI, ia begitu

gemar mengungkit-angkat kembali strukturalisme mulai dari masalah sensibilitas, formalisme


dan informalisme, pedalaman dan bandar. Pedalaman selalu dibayangkannya sebagai rumah

sejarah yang sekaligus menjadi pusat dari kehidupan bekas penghuninya. Dengan kata lain,

pusat eksistensi. Oleh karena itu, ajakan agar seniman pulang ke desa berarti kembali ke

mahia atau cenayang untuk kemudian kembali lagi sebagai yang dialami, sebagai milik

sendiri.

Lantaran tabiatnya yang hendak membebaskan kata dari imaji dan dari segala daftar

keteraturan, agar kata-kata dan imajinya bebas berlompatan dan menari-melukis di benak

pembaca, maka ketika membicarakan hal-ikhwal kota dan fenomena kekotaan penyair ini pun

berusaha kembali ke harmoni musik duka kata dan sekuat tenaga menjungkirbalikkan kota

yang angkuh pada dirinya ke latar belakang bawah sadarnya seraya mengembalikan desa

sebagai latar depan.

Dalam menyikapi soal semacam ini, kadang secara diam-diam sang penyair mendesakkan

suatu passing over (melintas-batas) ke kota atau bandar untuk kemudian caming back (pulang

kembali) ke desa, dan sebaliknya. Namun, saya tak tahu apa alasannya ketika Afrizal

melupakan proses transit atau pulang-pergi antara desa-kota, formalisme-informalisme,

dalam laporan tentang pertemuan Sastra Kepulauan VI di Sulawesi dalam esai di Kompas

yang bertajuk: Proyek Eksperimen di Barru (25/5/2008). Di sini ada beberapa soal yang

agaknya Afrizal terlampau nyinyir dalam melihat kecemasan sastrawan (kota) mengenai

hilangnya tradisi di desa.

Dalam pandangan Afrizal, kerja-kerja yang dilakukan sastrawan selama ini justru cenderung

ke arah memformalkan budaya kampung di desa: sebuah bentuk formalisme yang menjadi

sebaliknya dari kenyataan budaya kampung yang informalisme. Barangkali karena sering
berjalan-jalan ke desa-desa di pedalaman yang penuh rawa-rawa persembunyian itu, maka

beberapa kali saya bertemu dengan gagasan Afrizal yang tak ingin kompromi.

Dalam setiap kesempatan temu sastra dan budaya di berbagai daerah dalam sepuluh tahun

terakhir, Afrizal gemar mengungkit-angkat kembali ketegangan ruang formalis dan

informalis, desa dan kota, dan tak sedikit terlihat ada upaya untuk mengambil sintesa. Bahkan

lebih jauh, ruang formal dan informal tak diberi kesempatan untuk saling berbagi dan

mengisi, melainkan menempatkan ruang informal, ruang yang terpinggirkan, petak kecil,

sebagai pilihan untuk menyiasati hidup di tengah chaos dan class yang bertubi-tubi muncul

dalam imajinya. Beberapa tahun lalu Afrizal juga menulis tentang Seni Outdoor dan Jangan

Takut…Perdamaian Baru di Kompas (3/11/2002) yang juga menjatuhkan pilihan pada outdor

sebagai inti keragaman. Tengok kata-kata Afrizal yang khas ini:

Outdoor telah menjadi sebuah “panggung baru” untuk sebagian besar aksi seni dalam Journal

of Moment Arts ini. Asia Ramli Prapanca misalnya, masih melihat outdoor dan indoor

sebagai unsur-unsur yang bersifat ikonik dalam pertunjukan, dan bukan sebagai dua wilayah

yang membutuhkan perbedaan secara tegas. Perbedaan yang membawa konsekuensi luas

dalam memandang kesenian di tengah ruang publik.

Dengan ekstream Afrizal membalik mitos indoor seraya merayakan outdoor sebagai latar

depan bagi pertunjukan teater atau Performance Arts masa kini. Berbagai resistensi dalam

mitos-mitos leluhur manusia suku di negeri kepulauan ini ditampilkan sebagai strategi

melawan “kuasa/pengetahuan” kekotaan dan kemodernan. Mitos-mitos yang di-rekreasi

kembali dalam puisinya seakan menjelma semangat anti-mitos, bahkan pasca-mitos.


Bahkan Afrizal pernah mengatakan apa yang disaksikannya dengan teater yang berlangsung

di Makassar: di sana “orang ingin menemu jejak waktu dalam teater, ketika tubuh kita yang

mau hidup tidak rela berada dalam kekangan peran seperti memasuki lemari pakaian orang

lain. Atau ketika berhadapan dengan laut dan langit wajah dan mata mereka jadi penuh oleh

cerita. Nafsu untuk bercerita bangkit seperti kerinduan tak sadar terhadap dunia daratan. Di

laut ombak yang tergerai dari 999 helai rambut putri penjaga Teluk Makassar”.

Berbagai motif mitos dari negeri bahari dikonstruksi sedemikian rupa hingga mirip dengan

para dewa merekonstruksi bangunan istana kerajaan Astina dengan semangat apa yang oleh

seorang kritikus bernama Laksmi Pamuntjak dilukiskan sebagai ”sebuah pendewaan

heroisme manusia, hiperbola, dan sesuatu yang tak bisa dijelaskan, kadang irasional”.

Afrizal seakan menabuh tambur Minang dengan ajakan untuk melakukan ”perang kode”

terhadap “sastra kota”. Apakah Afrizal tak melihat bahaya yang terlampau memburu

kedesaan dan menghujat penyair yang kekotaan? Tidak cukupkah karya-karya sastra

berbahasa daerah dan komunitas-komunitas sastra yang bertebaran di desa untuk melihat

adanya indikasi ke arah penguatan identitas yang sempit? Tengok kutipan pernyataan Afrizal

dalam esai ”Puitika Urban dan Metafora Dari Pemikat Baru” berikut ini:

Sastra Indonesia tidak pernah lahir di desa dan tidak pernah diciptakan untuk kehidupan di

desa. Sastra Indonesia lahir dari pembunuhan terhadap sastra etno lewat bahasa Indonesia.

Kenyataan politik bahasa seperti ini menyakitkan untuk keseluruhan orang Indonesia.

Seorang siswi SLTP di Negare Bali terus terang tidak pernah membaca sastra Indonesia,

karena dia tidak suka bahasa Indonesia. Tetapi sejarah tidak bisa kembali ke masa lalu,

walaupun pak Sarip sampai sekarang terus mengusung kematian budaya latar belakangnya di
dalam tubuhnya yang kian renta.

Pengusungan kematian budaya latar belakang ini paralel dengan kenyataan sastra Indonesia,

yang walaupun bergerak di kota dan disebut sebagai sastra kota, namun hingga dekade 80-an

masih curiga dan negatif terhadap kehidupan kota. Kenyataan ini memang biografis, karena

hingga dekade 80-an sastra Indonesia masih didominasi oleh para sastrawan yang lahir di

desa, bukan di kota seperti dekade sekarang. Hingga dekade 80-an sebutan sastra kota

sesungguhnya baru memenuhi kenyataan sastra Indonesia yang menggunakan kota sebagai

tempatnya bergerak. Kota belum menjadi ruang dalam sastra Indonesia. Estetika urban belum

menjadi bagian dari puitika urban. Puitika urban belum positif. Ruang kota belum menjadi

medan metafora dalam pencitaan sastra.

Dalam esai yang disiapkan Afrizal untuk pertemuan Sastrawan Jakarta di TIM tahun 2003

tapi gagal disampaikan karena ia tak hadir dalam pertemuan itu, tampak bahwa ia membela

kelangsungan tradisi di desa dengan mengembalikan ”desa sebagai latar depan” sambil

menohok ”sastra kota sebagai latar belakang”. Dengan menegaskan bahwa sastra Indonesia

tak pernah lahir di desa, Afrizal berusaha menampik para sastrawan yang menjejalkan

modernisme di desa. Tetapi di sisi lain ia menohok sastrawan yang masih terus curiga pada

kehidupan kota, dan ini biografis sifatnya karena hingga dekade 80-an sastra Indonesia masih

didominasi oleh para sastrawan yang lahir di desa, bukan di kota seperti dekade sekarang.

Afrizal cenderung kontradiktif ketika mengekspresikan ruang dan bentuk formal dengan

seorang informalis yang radikal. Seorang informalis, kita tahu, nyaris cuek terhadap negara,

merasa tak memerlukan negara, emoh atas segala aturan, ketertiban, keseragaman, dan

seterusnya. Tapi aneh, semangat informalisme dalam sajak-sajak dan naskah teater Afrizal
muncul justru di ambang keruntuhan politik stabilitas Ode Baru dan terus berlanjut setelah

reformasi begulir. Hampir tak ada kecenderungan futuristik atau intuisi yang tembus pandang

jauh sebelum Orde Baru sunguh-sungguh runtuh.

Dalam naskah-naskah teater Biografi Yanti Setelah 12 Menit dan Migrasi di Ruang Tamu

tampak ada semangat mengaklamasikan pernyataan sikap keteateran dengan berbagai istilah:

gramatika benda-benda, teater ruang, kembali ke ruang, teater kamar, teater bukan lagi

tergantung pada naskah, bukan akting tapi ruang, bunuh diri geografi atau ganti kelamin

(yang kota menjadi desa dan desa menjadi kota, bunuh diri indoor menjadi outdoor, bunuh

diri gender menjadi genderis) dan sebagainya.

Barangkali itulah sejumlah kecemasan arkais dari kecenderungan menampilkan naluri akal

pikiran yang bermain di wilayah zero-sum. Sebuah kepribadian teater yang tak lengkap,

terbelah berlarah-larah, dan setengah hidup separuh mati melalui kerja-kerja pikiran-benda

dan terus menghadirkan benda-kata menjadi semacam kolase yang meragukan biografinya

sendiri.

Informalisme tanpa formalisme? Terlampau sulit ditepati, sebab negara sudah bagian dari diri

kita sendiri. Desa tanpa kota? Ah, bisa saja asal kita sanggup mewujudkan, tapi saya ragu

karena masih ada ”kota sudah tak punya alamat untuk pulang”; dalam arti masih juga

terpikirkan. Lupakah Afrizal bahwa di desa sendiri tak berwajah tunggal sebagaimana juga di

kota?

IV
Wawasan estetik Afrizal yang hendak menjadikan kata sebaga kuda Troya untuk

mendesakkan imaji, telah bergeser dengan puisi yang tampaknya kembali ke struktur penuh.

Dalam arti lain, kembali ke bentuk kata, arsitektur kata dan lorong gelap dalam bahasa.

Antara imaji dan kata dalam puisinya memang tak bisa dipilah ketat sebagaimana antara

putih dan hitam, tapi dissonansi yang digunakan cukup berbeda secara eksplisit antara puisi-

puisi Afrizal yang muncul tahun 1980-an dengan yang terbit tahun 1990-an akhir. Awal

kepenyairan Afrizal tampak kuat menampilkan imaji secara merdeka dan kerap kali

melahirkan diksi dan parafrase yang menabrak logika, serta pasifisme yang tak menahan diri.

Setahu saya, Afrizal jarang sekali menampilkan puisi sebagai kristalisasi dari kata. Antara

frase puitik dan frase estetik harus dibedakan; yang pertama cenderung tak ber-indah-indah

melainkan kegirangan yang bersahut-sahutan, sementara yang kedua terlampau melankolis-

sentimentalis mirip tragedi estetik Ellen Disyanake dan Pastoral-nya Goenawan Mohamad.

Tetapi bagaimana pun, seperti ditegaskan juga oleh almarhum Dami N. Toda, yang begitu

gemar menggunakan silogisme mata dalam menilai puisi modern Indonesia, puisi-puisi

Afrizal pantas dielukan kehadirannya sebagai pendatang baru yang muncul pada awal 1980-

an hingga akhir 1990-an. Bahkan, sebagai simpul saran dari sebuah petualangan terhadap

puisi-puisi penyair kita ini, melalui biografi membacanya, Dami N.Toda kembali menohok

dengan temuannya: “penemuan wawasan estetik puisi modern Indonesia kini hidup dan

berjalan dengan ‘utuh mata’: mata kanan (Chairil), mata kiri (Sutardji), mata hati (Rendra)

dan mata kepala (Afrizal).

Kerja pemetaan atau memata-matai setiap subjek yang didekati, mirip kerja kalangan intelijen
yang memata-matai teroris ke segala penjuru. Namun cara ini mungkin pantas

dipertimbangkan mengingat sampai hari ini tak ada yang mencoba menyanggah temuan

Dami. Soalnya: mengapa Afrizal diletakkan dalam mata kepala? Mungkin karena puisi-puisi

Afrizal cenderung bermain dengan alegori intelek. Memanggul sebuah penggada besar.

”Setiap kerja kesenian mesti ada rasionalisasinya”.

Kritik saya pada Dami adalah: cara membidik puisi lewat mata kamera inteligen semacam itu

terlampau tendensius dan nihilistik, yang sadar atau tidak sadar telah mematikan puisi-puisi

penyair lain yang juga mengandung kekuatan tersendiri. Semangat yang dihadirkan Dami N.

Toda lagi-lagi ingin mewartakan kematian puisi setelah kelahiran empat penyair eksentrik itu.

Kehendak ini paralel dengan kaum post-strukturalis yang dengan keras memukul tambur

kematian filsafat dan menohok ilmu pengetahuan. Dan apa yang dilakukan oleh kritikus

pembela khazanah sastra lisan bahari Nusantara ini, seperti benar-benar memaklumkan

kematian puisi di negeri seribu satu puisi dan penyair ini.

Temuan Dami terhadap wawasan puitik empat penyair itu, di sisi lain, memang cukup

beralasan, mengingat di tahun 1970-an Dami N. Toda muncul sebagai kritikus yang mencoba

menyelam secara serius wawasan puitik-estetik penyair Indonesia yang memiliki

kecenderungan beda dengan Goenawan Mohamad dalam mendekati sajak. Teater Rendra

tahun 1970-an ditempatkan Dami sebagai teater puisi, bukan teater mini kata sebagaimana

kata Goenawan. Dami mengembalikan teater puisi Rendra sejajar dengan puisi-puisi Rendra,

oleh karena itu karya-karya Rendra adalah asli, orisinal. Goenawan seakan mempertanyakan

kejutan dan orisinalitas Rendra dengan menghadapkan pada kreativitas, dan terbukti kata

Goenawan dalam Teater dan Indonesia (1973), apa yang dilakukan Rendra cuma kelantangan

sesaat. Diskontinuitas akhirnya kembali ke kontinuitas.


Sampai saat ini, saya belum membaca esai Goenawan tentang puisi-puisi dan teater Afrizal

yang sempat memukau publik Jakarta era awal 1990-an itu. Puisi-puisi dan teater-teaternya

muncul sebagai kontinuitas puisi dan teater Rendra tahun 1970-an atau bahkan kelanjutan

dari prosa “Dada Asia”-nya Iwan Simatupang dengan penekanan pada dissonan.

Banyak keluhan pembaca dan penonton terhadap Afrizal yang terlampau menghadirkan teks-

teks aneh. Kadang-kadang ada keinginan yang berganti-ganti antara penentraman hati

(kecemasan, kegemparan, kekecewaan, amarah, bersalah, malu, luka, duka) dengan haus

imbalan, kasih dan cinta, haus pertentangan, dan kebosanan, yang mengingatkan kita pada

respon masyarakat sastra atas kehadiran novel Ziarah, Kering, Koong dan Merahnya Merah.

Bahkan “Celakah bila kita membaca terlalu banyak”-nya Iwan juga pernh dilontarkan

Afrizal.

Bedanya dengan Iwan Simatupang, Afrizal masih cenderung menghayati puisi sebagai rasa

senang pada struktur logika dan bukan mistik. Ketika mengungkapkan pengalaman

pribadinya melalui ukuran metris, bisa jadi ini sebuah kehendak menampilan kelainan dari

sebuah kata karena tenaga kata ternyata tak juga dapat mengurangi kegundahan dan

kebalauan dunia batinnya. Sejak Plato mencari sintesis dari pemikiran Heraklitos dan

Permenides dan pemikiran Descartes dan Locke disentesakan Immanuel Kant, pengetahuan

mulai dengan pengamatan logis melalui penginderaan yang bercorak, rupanya masih terus

berkesinambungan sampai dengan Afrizal Malna. Padahal hal yang bercorak dengan bentuk

waktu dan ruang melaui dua belas kategoris logis (jumlah, sebab, sifat, pembatasan,

pedalaman, kedalaman, pembandingan, pembentukan, dan lain-lain) serta tiga ide yang

mengatur pengetahuan menjadi ilmu (Allah, Alam, dan Jiwa) tidak lebih dari kokok ayam
rasionalisme-positivisme yang sudah klise dan aus.

Namun, terlepas dari “rasa senang berlebihan terhadap yang logis” itu, puisi-puisi Afrizal

tetap layak dikaji karena beberapa hal masih bersifat rawak dan beberapa segi masih tunduk

pada aturan-aturan yang belum jelas dan sulit dipahami kecuali dengan menengok wawasan

geometri ruang imajiner. Kehadiran bilangan dalam sajak-sajaknya mengingatkan saya pada

diskusi tentang struktur dan bentuk, yang bisa jadi merupakan antitesa terhadap ruang mistis.

Jika kebanyakan penyair Indonesia masih sebatas memikirkan kemungkinan

mengekspresikan geometri ke dalam puisi, Afrizal telah mengawalinya dengan tidak

membuat kelantangan yang tak dapat dibuktikan. Dengan ekspresi geometris, dengan pikiran

liar yang imajinal serta renungan intuitifnya yang keras-getas, sering muncul ungkapan yang

gagah dan wah yang khas para jenius yang memikirkan dunia sains.

Dalam kumpulan analekta puisi Arsitektur Hujan (1995), Kalung dari Teman (1999) dan Di

Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2002), Afrizal banyak sekali menyuguhkan pada pembaca

sebuah bentuk puisi sebagai pencitraan geometri dan ruang. Dalam buku kumpulan sajak

Kalung Dari Teman, terdapat 34 sajak yang mengekspresikan bilangan bersamaan dengan

kata.

Afrizal mengungkapkan kecenderungan untuk bagaimana segalanya bisa terukur dengan

angka. Dan kata-kata secara mencolok hadir sebagai bersamaan dengan angka-angka dan

kotak-kotak yang terstruktur untuk mengesankan sebuah pencitraan geometri ruang yang

terukur. Afrizal sendiri dalam esai proses kreatifnya, yang dimuat dalm bagian akhir buku

Kalung Dari Teman, masih menempatkan “rasionalisasi atas pengalaman Kata” melalui
bahasa gambar dan ruang yang materialistis yang bisa diukur, dan bukan ruang spiritualis-

mistis. Dengan ruang yang materialistis, puisi-puisi Afrizal hampir tak pernah absen

mengkritik kecenderungan negara yang tak berterus terang dan tidak logis. Agaknya, penyair

ini seperti menganut ideologi anti-negara berikut perangkat militer dan jajaran

pemerintahannya, yang tampak keras kepala. Kritik atas negara kadang menggunakan kritik

lewat manusia, kadang lewat benda-benda, dan juga lewat anjing.

Apa saja yang ditampilkan Afrizal seperti berubah menjadi biografis dan eksistensialis

sifatnya. Tanpa sedikit pun merasa riskan menghadirkan apa saja yang sempat ditemukannya

di pedalaman untuk kemudian menyungsangkannya ke dalam sajak dan menjadi biografi

puisi. Berbagai wawasan puitik dengan berbagai logat muncul dari pertemuan dengan benda-

benda urban dan berbagai tradisi lisan di kepulauan Nusantara. Logat Betawi memang masih

sering muncul ketimbang yang lain-lain. Dalam puisi-puisinya juga sering menyeruak

permajasan-permajasan yang sebelumnya dikenal di desa; buah tomat, semangka, cabe,

pepaya. Lalu muncul juga benda-benda urban; kaleng, kardus, permen karet, megapon,

mikropon, sikat gigi, dan lain-lain.

Puisi-puisi awalnya tampak berwarna ”Dada” dan agak kental dengan permainan sulawan,

maksim-maksim model eksistensialis, bahkan terasa ingin menantang eksistensialisme dari

Jean Paul Sartre. Dalam kumpulan puisi Abad yang Berlari misalnya, penyair ini seakan

memutlakkan mitos keluhuran dan kebesaran manusia dengan filsafat manusia lewat bahasa

pengucapan macam ini: “aku ingin jadi manusia, memuja kebesaran manusia, palu, o

kematian, kematian yang sempurna, o waktu… Namun pada saat yang sama, Afrizal juga

menampilkan kematian manusia setelah kemajuan teknologi dan informasi yang gila-gilaan.
Dalam puisi “Dada”, “Masyarakat Rosa”, “Mitos-mitos Kecemasan”, “Asia membaca”, atau

beberapa puisi terbarunya, manusia nyaris mati digilas mesin waktu. Ada usaha untuk

menciptakan genre sajak Dada Asia. Dan sang penyair terus histeris menyebut-nyebut dan

memanggil-manggil manusia, dada, kematian, dan sebagainya. Kata-kata buntung, kosong,

ditambah kehadiran huruf O dan kata kematian dalam puisi-puisi Abad yang Berlari, memang

bisa menambah efek kesunyian, kegelisahan, kesepian, kekosongan, sakit, perih. Terutama

yang dirasakan aku lrik melalui getaran eksistensialis yang keras.

Iwan Nurdaya Djafar pernah memparodikan kecenderungan histeria Afrizal Malna melalui

sebuah sajak bertajuk ”Malna Yang Berlari” (1988): ”tanpa membaca, malna malna/mengejar

abad yang berlari/maka palu demi palu/dari segala penjuru/merecaikan batu iman/tinggal

puing kemudian/atas nama kecemasan/kutanam mitos tentang tuhan/dalam dada

sendiri/kumaknai sendiri/tapi hidup alangkah sepi/setelah kutinggalkan Puisi/demi nemukan

puisi”.

Puisi-puisi Afrizal yang awal memang belum gandrung mempersoalkan geografi puisi

dengan kuat, sebagaimana ia lakukan belakangan ini. Harap dimaklumi bila ada yang

mengingatkan puisi-puisi dalam Abad yang Berlari pada Adimanusia Nietzsche atau atheisme

Jean Paul Sartre serta pemberontakan Soren Kierkegaard terhadap penantian dan harapan

yang mencemaskan karena tak pernah pasti.

Namun dalam kumpulan puisi terbarunya, Di Rahim Ibuku tak ada Anjing, agaknya gagasan

eksistensialis yang keras itu dienyahkan dari puisinya setelah sang penyair menemukan

tematik dan bentuk pengucapan yang dekat dengan strukturalisme. Berbagai penanda dan

petanda strkturalis itu ditakiknya dari berbagai negeri kepulauan. Afrizal dengan intim
mengekspresikan sajak-sajaknya dengan kembali pada struktur, pada bentuk, pada

kedalaman, dengan menggunakan bahasa gambar dan visual. Meski sering dicemooh sekadar

berkutat pada ilusi geometris dan perjalanan yang sempit dan meniscayakan keterbatasan,

sebagaimana makna kedalaman dan bentuk itu sendiri, wawasan puisi Afrizal dapat

dipetanggungjawabkan.

Bila dihayati lebih dekat, ada kecenderungan kuat untuk menghadirkan puisi dalam wawasan

geometri, atau berhasrat meng-angka-kan kata-kata. Setiap kata dalam puisinya bagaikan

struktur baja yang menunggang beban kedalaman kemaknaan, tapi pada saat yang sama

makna itu menjadi gelap oleh karena tipe dan strukturnya. Di sini terlihat bahwa kedalaman

di pedalaman tak lain adalah bahasa ruang. Dalam konteks puisi dan teater, inilah yang

dahulu disebut oleh Gaston Bachelard sebagai puisi ruang atau teater ruang.

Membicarakan ruang dalam puisi, prosa, maupun teater garapan Afrizal Malna, tak pernah

bisa dikatakan sebagai ini dan itu. Akan tetapi, berbagai personifikasi tentang ruang selalu

bisa dihubungkan dengan kekuasaan—baik kekuasaan dalam arti politik, ekonomi, sosial,

maupun kultural. Dengan kata lain, ruang bukanlah entitas yang statis, melainkan sesuatu

yang berjalan terus sebagaimana waktu. Ruang bergerak dalam perubahan-perubahan dan

menuntut pemetaan ulang atas konsepsi dan imajinasi geografis setiap kali kita

menyinggungnya. Ruang diciptakan, dihadirikan, diproduksi, dan direkonstruksi terus-

menerus untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan.

Sensibilitas—cara merasa, mengindra dan memaknai sesuatu—berada dalam relasi saling

bentuk dengan ruang. Ruang-ruang kota Jakarta misalnya, kerapkali digambarkan Afrizal

dalam konteks ketegangan antara apa yang disebut ”enclave dan access”: yakni antara logika
yang memaksimalkan penutupan dan memperlancar akses. Ketegangan ini semakin lama

semakin rumit, tumpangsusun dalam berbagai paras dan bentuknya, dan akhirnya semakin

tak terasa dan tak disadari oleh para penentu kebijakan. Para perencana, arsitek, pengelola,

dan pemodal bahkan masih saja berpikir dan berlomba-lomba untuk membuat berbagai

macam enclave dengan tujuan untuk memberi mereka akses dalam memanfaatkan ruang-

ruang yang ada.

Tak mengherankan jika Afrizal menangkap akibat sampingan, di mana ruang-ruang kota

yang bukan enclave, yang berada di pinggir, atau ruang sisa, menjadi tak terpikirkan,

diabaikan, dan lambat laun dihilangkan dan siap dikonstruksi dan diubah-jadikan enclave

model lainnya. Logika ruang semacam inilah yang oleh Ilya F. Maharika dalam salah sebuah

esainya mengenai arsitektur, dinamakan sebagai logika ruang kolonial, yang menghasilkan

ruang yang seragam, tertutup dan kehilangan keunikan dan kreativitasnya. Sejarah lokalnya

mengalami pengrusakan. Penghuninya mengalami alienasi, tak bisa menentukan keberadaan

ruang huniannya sendiri.

Rakyat miskin perkotaan, yang tinggal di ruang-ruang sisa, kata Afrizal: sering kali dibiarkan

dalam kondisi nyaris tidak tahu apa-apa terhadap persoalan, keadaan, perubahan dan bencana

yang akan menimpa mereka akibat hasrat untuk menguasai semua potensi ruang yang ada.

Rakyat, katanya, telah jauh kehilangan medianya melalui berbagai politik perijinan dan

legitimasi hukum yang dijalankan. “Imajinasi sosial kita tentang ruang menjadi impian-

impian buruk di masa depan”, tulis Afrizal.

Berbagai fenomena baru yang muncul dalam pengalaman ruang kita di hari ini, sebagaimana

juga pernah disinggung Bambang Sugiharto (2002), telah mengalami perubahan peran dan
fungsi. Karena itu, kini dituntut bukan saja sekadar melakukan koordinasi atas relasi ruang

dan tubuh kita, melainkan juga menciptakan pola persepsi baru atas pemahaman akan nilai

ruang bersama.

“Siapa yang tak butuh ruang-ruang yang nyaman, aman, ramah dan indah sebagai tempat

berteduh”, kata Ilya F. Maharika, karena “ruang yang sempit, kumuh, sumpek, dan bau apak,

bila perlu dibuat seindah mungkin agar kita merasakan kenyamanan”. Bila perlu ruang-ruang

yang sudah disulap bagus-bagus dan menetereng itu kita buat rumah dan ditempel lukisan

Picasso atau Hanafi, sudut-sudutnya diberi pentilasi dan sirkulasi agar udara bisa bebas

keluar-masuk, dan di halamannya didirkan gardu satpam untuk mengawas maling, hingga

semuanya seperti mal Taman Anggrek yang mampu menampung kenyamanan dan selera

konsumen.

Tapi, jangan pernah bermimpi bagi para pengemis, tukang pancong, tukang sol sepatu,

tukang becak, dan gelandangan; jangan pernah berharap kalian bisa masuk ke dalam, bahkan

di teras depannya, walau pun saya tahu kalian hanya sekadar numpang berteduh dari guyuran

hujan! Afrizal punya pengalaman pribadi soal ini ketika masih aktif di UPC Jakarta.

Dengan memanfaatkan cara pandang terhadap ruang ketiga, Afrizal Malna menohok

kekuasaan melalui gagasan puisi ruang dan teater ruang. Cara ini ditampilkan dengan

mencoba melebur, mengaduk, menyandingkan dan membaurkan dimensi ruang dan waktu.

Dan ”waktu adalah air”, tulisnya. Sementara ruang seakan menjelma ”sungai yang terpanjang

dalam waktu”. Dan Afrizal berusaha menempatkan ruang di jalan-jalan kota Jakarta tidak lagi

seolah-olah nyaman dan aman, humanis, tapi sesungguhnya dibalik gagasan-gagasan yang

bagus dan memikat itu tersembunyi mata-mata penjaga, mata-mata kamera yang mengawasi
segala sesuatunya agar tampak kondusif dan terkendali, padahal sesungguhnya hanyalah

semu. Ruang di jalan mengalami perubahan yang berlangsung sangat dinamis. Tak ada relasi

di jalanan. Antara tukang bakso, sopir mobil, sopir bajai, dan becak sering berjalan sendiri-

sendiri tanpa relasi. Begitulah ruang yang terjadi di jalanan. Afrizal pernah menggagas

“rumah gerobak” untuk pemukiman kaum miskin kota Jakarta karena—minjam salah satu

bait puisi Hujan di Pagi Hari:

Kita pernah membuat rumah, sebuah dunia. Tetapi

dengan merasa heran kita bertanya: ke mana mau

pulang? Segala yang bergerak diam-diam sedang

mengubah dirinya sendiri, hanya untuk mengenali

kembali, jalan-jalan yang pernah dilalui.

Tak urung, sajak di atas menghadirkan imajinasi tentang orang-orang kota Jakarta yang

kehilangan jejak sejarahnya lantaran rumah-rumah mereka telah digusur. Dan Afrizal

agaknya ingin menjadi ”yang Lain”. Dan ide ini menghancurkan ide dasar ruang dalam

sebuah rumah yang umumnya bersifat statis. Dengan rumah gerobak maka rumah bersifat

mobile, lentur dan dinamis. Namun ide ini rupanya tak mudah dan sudah bisa diduga

sebelumnya: gagal.

Ruang dalam rumah bagaimana pun adalah sebuah “tempat-diam”. Karena itu rumah menjadi

pusat dari kehidupan penghuninya. Sebagai eksistensi bagi manusia yang menempatinya.

Rumah sebagai pusat kembali, atau pulang dari persiran. Dan pulang berarti kembali ke

mahia, kembali dalam hal-ikhwal yang dialami sebagai miliknya sendiri. Apa yang

dinamakan milik, tak lain kecuali tempat-diam itu: tempat di mana sang penyair berakar; di
mana di rumah ia merasakan kenyamanan, adanya perlindungan dan ketentraman. Bagaimana

jika keinginan untuk kembali pulang ke rumah namun rumah itu telah tiada?

Sekali lagi saya ingin menegaskan imajinasi ruang geometris dalam puisi-puisi Afrizal hadir

dengan angka-angka melalui ukuran meter, sentimeter, dan waktu. Ruang dan waktu

dipahami sebagai yang berisi, bukan kosong dan hampa. Inilah dua tema yang juga sangat

dominan dalam sajak-sajak Afrizal.

Afrizal menganggap kekosongan bukan sebagai ruang, karena kekosongan memang masalah

yang mengandung aura mistis. Dan kita tahu: Afrizal kian jauh dari kecenderungan kaum

mistik. Bahkan lebih condong pada ekspresi bilangan satuan yang rasional model para

ilmuwan. Dengan kata lain; sejenis bahasa isomorfisme.

Ketika menyinggung puisi Danarto dengan ”ruang sembilan” yang terkenal itu, dalam sebuah

esainya Afrizal mengatakan: ”puisi yang cuma terdiri dari kotak berjumlah sembilan itu

terlampau berlebihan jika dikaitkan dengan masalah pengucapan mistik”.

Menarik mengaitkan gagasan Afrizal tentang angka dan bilangan dengan seorang

matematikawan yang menderita skizofrenia yang pernah menulis tentang variietas aljabar

berdimensi 6 yang sama dengan ruang berdimensi tujuh, yang adalah singular dengan sebuah

titik singularitas di pusat koordinat: 0 0 0 0 0 0 0. Seberapa singularkah varietas berdimensi

6? Bagaimana derajat komparasi singularitasnya, di banding singularitas lain yang sejenis

agar mendapatkan pembandingan yang baku?


Kita tak akan menemukan jawaban, dan harus mencari jawaban di tempat lain, dan

matematika tingkat tinggi mungkin bisa memberikan jawaban terhadap singularitas dan

enigmatis model puisi-puisi metris. Dan kita tahu bahwa pengertian ruang imajiner dalam

puisi berasal dari matematika yang mengklaim suatu posisi ideologis dominan mengenai apa

yang dimaksud dengan ruang matematis. Henri Lefebre dan Linda Tuwihai Smith bahkan

pernah mengatakan: dalam ruang, matematika mengkonstruksikan sebuah bahasa yang

mencoba mendifiniskan dengan menggunakan parameter logis, dimensi, kualitas dan

posibilitas ruang.

Bahasa ruang inilah yang mempengaruhi cara Barat berpikir tentang dunia di luar bumi, cara

mereka memandang masyarakat Timur yang eksotis. Ide-ide para filolog Barat mengenai

ruang dan waktu terkodekan dalam bahasa. Dan Afrizal menabuh tambur dengan ajakan

untuk melakukan ”perang kode” melalui wacana Asia Membaca. Namun pada saat yang

sama Afrizal terpukau juga oleh Barat. Katanya dalam esai proses kreatif:

Saya tidak heran kenapa saya merasa memiliki pijakan yang lebih bermakna, lebih pasti,

untuk menulis puisi di negeri mereka daripada di negeri sendiri. Karena memang Eropa telah

menata dirinya sedemikian rupa hingga kepada tatanan pemaknaan, dari tata kota hingga janji

untuk berkunjung.

Apa yang unik dalam wawasan kepenyairan Afrizal terlihat pada lontarannya yang seakan

berlawanan dengan sajak-sajaknya. Keintimannya bermain-main dengan geometrii ruang dan

waktu kronometris sekaligus waktu geometris yang sering mewujud dalam bentuk bilangan

dan teorema aritmetika yang unik dan menarik. Tabiat puisi semacam ini masih
memungkinkan untuk didekati dengan teori semantik kata atau teori strukturalisme atau teori-

teori yang selama ini diterapkan dalam pembacaan puisi-puisi lirik. Puisi-puisinya

mengandung lirik yang sangat posesif dengan memaklumkan bahwa hasrat menulis itu

sendiri dengan sendirinya juga mengandung hasrat untuk melukis. Dalam hal puisi, Afrizal

melukis dengan kata-kata, seperti sajak Warisan Kita:

Bicara lagi suara nenek-moyangku,

linggisku, kambingku, kitab-kitabku,

piring makanku, pompa airku,

paluku, paculku, gudangku, sangkar burungku,

sepedaku, bunga-bungaku, talang airku, ranjang tidurku..

Bicara lagi kerbauku, lampu senterku, para kerabat

tetangguku, guntingku, pahatku, lemariku, gerobakku,

sandal jepitku, penyerut kayuku, ani-aniku.

Bicara lagi kursi tamuku, penggorenganku,

tembakauku, penumbuk padiku, selimutku, baju dinginku,

panci masakku, topiku. Bicara lagi kucing-kucingku….pisauku.

Bagaimana kita membayangkan puisi inkonvensional semacam itu? Belum ada penyair

Indonesia yang menghadirkan kata-kata yang terkesan acak dan kata-kata nyaris tak saling

bertaut dan menjauh dari keberartian melebih Afrizal. Sajak itu menekankan bunyi yang tak

membahana oleh fonem dan kata buntung dan tipograpi dibiarkan apa adanya, namun seperti

halnya sebuah stuktur, kata-lah, bukan imaji, yang jadi andalan. Dengan demikian, puisi-puisi

Afrizal menjadi semacam endapan di kepala pembaca. Atau, untuk meminjam istilah Afrizal

sendiri, ”kata yang memukul pikiran pembaca” dan tak ubahnya seperti tambur dalam
kesenian Minang.

Bentuk-bentuk dan motif-motif kedalaman menyangga kita untuk menggunakan bahasa dan

pendekatan yang lebih relevan dengan konteks geometri ruang imajiner dan wawasan visual.

Dalam satu wawancara di Jurnal Nasional Minggu, 28 Oktober 2007, Afrizal memang pernah

menegaskan kecenderungan wawasan visual. Afrizal berusaha menggunakan kata seperti

ketika ia bernapas, seperti kedua kakinya yang sedang berjalan, seperti tangannya yang

tengah memegang, memeluk atau mencakar, seperti darah dalam pembuluhnya yang mengalir

dan emosi-emosi bawah sadar. Untuk merasakan seperti itu, Afrizal berkali-kali berusaha

memasuki cara berpikir dunia visual. “Kini cara berpikir dunia visual juga tidak mudah lagi.

Saya merasa begitu terdominasi oleh billboard-billboard iklan-iklan besar di jalan-jalan

hampir seluruh kota besar di Indonesia. Saya merasa tercemari”, tulisnya.

Selanjutnya, dalam situasi seperti itu, “saya seperti kembali ke cara kerja klasik yang bermain

dengan struktur” dan “rasanya lelah dan tidak terlalu mampu mewakili emosi saya; lebih lagi

saya semakin tidak tahu menulis puisi untuk apa dan untuk siapa”, katanya. Dan semuanya ia

lakukan nyaris untuk dirinya sendiri tanpa kehadiran yang lain. Bahkan ia ingin menjadi

‘yang Lain’ itu. Untuk sesuatu yang mungkin nothing.

Jika kita amati secara lebih dekat, sajak-sajak Afrizal memang condong memasukkan

susunan, bangunan, dan kerangka di mana sistem dari unsur dan relasi-relasi dapat saling

ditransformasi dan dimengerti sebagai suatu bentuk keseimbangan khas dalam ruang yang

terbatas. Dengan daya akal abstrak dan pemikiran liar, kata-kata disusun berdasarkan

kenyataan yang diamati. Bukan sekedar struktur sebenarnya, melainkan terutama dengan

struktur-struktur tersembunyi yang mendasari dan menghasilkan gejala-gejala yang, seperti


kata Chomsky suatu kali, dapat diamati dan terukur.

Keliaran imajinasi dalam menganalogikan seni dan bangunan atau puisi dan ruang, dalam

sejarahnya tak jarang justru mengilhami orang untuk melompat ke medium pengucapan yang

berbeda dari sebelumnya dan menjadi kreatif. Jalan yang diambil memang harus beda. Lain.

Filsuf E. Newton telah mengawalinya dengan persenyawaan kimiawi keindahan dan

merangsang kita untuk mengekspresikan kimia keindahan sebagaimana Omar Khayam dulu

menerjemahkan aljabar Al-Kwarizmi dalam rubaiyyat-nya.

Dalam menerapkan pendekatan-pendekatan yang sama ke masalah-masalah yang berbeda,

bisa jadi justru ini akan menjadi lampu hijau bagi pemcemahan masalah sains dan puisi di

masa kini. John von Neumann—bintang matematika dan fisika di Princeton era 1950-an yang

dijuluki sebagai pemikir serbabisa,sebagimana dicerita Sylvia Nasr dalam biografi tentang

John Nash yang jenius dan sempat terserang api delusi skizofrenik yang kemudian menyabet

hadiah Nobel itu, pernah mengatakan: ”matematika terapan adalah sesuatu yang harus dikejar

demi keindahan puisi dan musik”. Atau, seperti kata Afrizal, bunyi puisi tidak dibentuk lewat

rekayasa tipograpi, melainkan lewat kata yang memukul pikiran pembaca seperti peralatan

musik yang ditabuh.

Kenapa matematika penting untuk puisi dan musik? Sudah umum jika puisi analogi dengan

musik, puisi dan mitos, puisi dan tari, kendati “saya iri dengan dunia tari”, kata Afrizal,

namun sambil melanjutkan: “Saya setuju bahwa tari merupakan kesenian yang paling dekat

dengan manusia karena menggunakan tubuhnya sendiri. Saya ingin memasuki kata seperti

memasuki “sejarah tubuh” dari tubuh saya sendiri”. Saya menangkap sesuatu yang mungkin
saya sebut saja sebagai ambiguitas yang paling bersahaja dan murni antara apa yang

dinamakan rekayasa sains dan keheningan puisi. Beberapa pemikir, seperti Karl Popper

misalnya, juga menyebut adanya persenyawaan antara ambiguitas sastra dan sains sebagai

elemen non-rasional, atau sebentuk intuisi kreatif yang hanya bisa muncul dari pikiran

seorang penulis berbakat.

Di sini kita melihat struktur, bentuk, geometri ruang, dalam karya-karya Afrizal, bukan lagi

sebagai tamu tak diundang. Bahkan ia telah melangkah lebih intim dengan masuk ke dalam

elegi permainan motif mitos dan sains dengan puisi sebagai medium bahasa ruang imajiner

dan Waktu dipersepsi sebagai yang berlari. Kecenderungan semacam ini jarang sekali

disentuh penyair lain. Banyak penyair atau kritisi hanya sekedar mendedah kelantangan

belaka tanpa masuk ke dalam permainan puisi dan geometri ruang secara intim.

Para penyair lebih banyak menolak gagasan sains ketimbang mengapresiasinya. Mungkin

karena ilmu pengetahuan memiliki sejarah yang mencemaskan dan terlampau mutlak-

mutlakan, maka sains kian jauh dari seni atau puisi. Demikian pula sebaliknya; jarang

ilmuwan memanfaatkan temuan puisi atau seni rupa untuk menggagas rumus-rumus sains

atau teorema-teorema matematika. Kesimpulan ini mungkin tak selalu tepat karena tak

didukung oleh fakta lapangan.

Saya ingin mengemukakan secara khusus tentang wawasan geometris dalam puisi-puisi

Afrizal. Ada semacam ilham yang saya peroleh dari pertemuan dengan karya Afrizal yang

bermain dalam wilayah spiritual dan rasional, atau antara metafora dan logika. Penyair yang

di kalangan teman-teman di UPC dianggap sebagai ”serba-bisa” ini, sejak awal sekali telah

menunjukkan kepada pembaca kecenderungan yang sepintas anakronistis, namun hasil


kerjanya tampak mengagumkan.

Membaca puisi-puisinya, muncul kesan bahwa apa yang disebut puisi ternyata bisa

diekspresikan melalui proses metris. Waktu bisa dilihat dalam konteks ukuran metris, waktu

kronometris, waktu psikologis dan waktu eksistensialis. Demikian pula soal ruang; ada ruang

mistis dan ruang rasionalis. Jangan-jangan memang cara menyikapi puisi semacam inilah

yang seharusnya di kedepankan.

Dengan demikian: bukankah puisi tak sekaku yang kita bayangkan. Bukankah perbedaan

antara puisi dan geometri begitu tipis? Barang kali dengan pertanyaan ini, Afrizal hendak

mengajak para penyair untuk melompat dengan tangkas, atau melangkah lebih jauh dari

Richard Rorty yang pernah menyebut sains sebagai genre sastra “ komidi-putar- sastra-

sejarah-antropologi-politik” sebagaimana disebutkan Arif Bagus Prasetyo dalam sebuah

esainya.

Dan di sini bisa juga sejenis “komidí-putar giling-puisi-geometri-angtropologi-fisika-kimia”,

di mana sang pengarang dengan tangkas bergerak dari van Neumann dan John Forbes Nash

ke Iwan Simatupang ke Einstein ke Sitor ke Sutardji. Bukan sekedar untuk menyerap aura

estetik saja lagi, atau mencari inspirasi saja lagi, melainkan “sebagai bagian dari massa”.

Dalam beberapa puisinya, penyair kita memang masih tampak menampilkan keinginan

terpendam untuk melakukan dengan sungguh-sungguh pertemuan antara satra dan sains,

berkali-kali tanpa henti. Afrizal telah mulai mengekspresikan bahasa numerologi dan

geometri yang berseni, atau sebuah niat untuk memvisualkan kata sehingga jadi teorema yang

indah. Tapi benarkah teorema yang indah atau sekedar kebuncahan belaka?
Bahasa visual terasa lebih luas karena kode bahasa atau kuncinya memang tersusun pada titik

pusat pengalaman indera serta nalar yang sering tak tersadari. Penalaran visual dalam

puisinya (baik dalam arti fungsi emotif, denotatif, dan seterusnya) seketika berwujud gambar

atau tata simbolik, kode, sering kali meminta pembaca untuk merimanya sebagai perang

kode. Cara berpikir dekodasi atau membaca kode ini, memang menarik. Dalam teori

informasi, dekodasi merupakan sebuah proses dengan cara-cara tertentu di mana si penerima

informasi dapat menerjemahkan sinyal ke dalam pesan atau perintah tertentu.

Octavio Paz pernah menyorot soal ini dalam pertemuannya dengan Levi Strauss dengan

menganalogikan misteri penciptaan puisi dengan misteri matematik: keduanya menurut Paz

tak lebih dan tak kurang, dan kita tak kunjung mengerti berapa orang adalah Einstein

sedangkan yang lainnya adalah Garcia Lorca. ”Semua karya seni dapat dipahami asalkan kita

punya kuncinya”, kata Paz. Dan kuncinya itu menurut Paz adalah kreasi (art). Dalam puisi,

kreasi diberi tempat paling tinggi, tapi tak setiap puisi adalah kreatif.

Dalam buku Gembira Bermain dengan Geometri (1996), Janice VanCleave mencoba

merumuskan geometri berseni sebagai pelajaran tentang gambar dan bentuk yang

menggunakan angka dan lambang sebagai kehendak menyatakan hakikat dan sifat-sifat dari

bentuk berseni, atau hal ikhwal yang berhubungan dengan keindahan.

Namun di sini juga soalnya: sebagaimana isi, bentuk juga tak berwajah tunggal. Ada bentuk

formal dan ada bentuk informal, lonjong, belah ketupat, dan seterusnya. Bisa saja satu jenis

bentuk adalah ilusi, tapi bentuk lain tidak. Ketika dikaitkan dengan kesadaran, sajak-sajak

Afrizal tampak menampilkan manusia pathos. Puncak kegersangan dunia bawah sadar yang
seperti ingin meledak, terutama ketika aku lirik terperangkap ke dalam bentuk geometris

yang membelenggu. Lalu sang penyair bersicepat kembali ke waktu imajinatif, bukan ruang

nyata.

Namun ”waktu imajinatif”—untuk memakai istilah Stephen Hawking—sebagai lawan

”waktu nyata” ternyata seperti memiliki mesin yang lama kelamaan menjelma bagaikan anak

panah lepas dari busurnya. “Betapa waktu dalam dunia kesenian saya rasakan bergerak lebih

cepat bila dibandingkan dengan waktu yang begerak dalam perusahaan tempat saya bekerja”,

kata Afrizal suatu kali. Maka, hanya dengan bentuk, dengan ”rasa senang kepada Bentuk”,

kata Octavio Paz (lewat terjemahan Goenawan Mohamad), justru dapat membatasi gerak dan

kebebasan pribadi kita untuk ke luar masuk secara merdeka tanpa merasa dibatasi oleh aturan

formal ini dan itu.

Sambil merujuk pandangan Octavia Paz dalam Labirin Kesendirian, seingat saya Goenawan

pernah menerjemahkan bentuk dalam salah satu catatan pinggirnya “sebagai yang bisa

melingkungi, dan sebuah terali pada dunia pribadi kita, membatasi ekses-eksesnya,

mengekang ledakan-ledakannya, dan mengisolir serta memiara dunia pribadi”. Bentuk sama

saja dengan geometri yang penuh ilusi. Bentuk dan isi selalu berada dalam helai kertas

bertuliskan kata-kata puisi secara bersamaan, kendati soal ini sering kali menyita waktu

sebagian kritikus untuk terus membicarakannya dalam tiap kesempatan ketika ia muncul

kembali. Puisi-puisi Afrizal terasa lebih sadar bentuk ketimbang isi. Jika dahulu orang

mencibir bentuk dan merayakan isi, kini orang mulai mencibir bentuk sambil mencibir isi.

Di kota besar di mana segalanya mencemaskan, individu sang penyair bisa dipisah-jauhkan

dari lingkungan fisik dan komunitasnya. Berkat kontrol atas ruang dan pemisahan ruang
dengan waktu, individu di kota besar Jakarta, di mana Afrizal dibesarkan, juga bisa bergerak

pada jarak yang jauh dari alam semesta. Tercerabut dari ikatan dengan kosmos dan kehidupan

bersama hingga jarak pun memisahkan individu dalam kekuasaan dari subjek yang mereka

kuasai, dan ini berlangsung secara impersonal, rasional, dan luar biasa efektifnya. Karena itu,

rasionalisme tak bisa ditolak bagi Afrizal, bahkan ”setiap yang saya lakukan harus ada

rasionalisasinya” karena ”saya tak punya bakat menjadi seorang mistikus”, akunya.

Afrizal memperhadapkan rasio dengan mistik, nalar, struktur, bentuk, dan ruang geometris,

nyaris tak disadari oleh Malna sebagai pengalaman rasio-objektif. Padahal apa yang disebut

rasio, struktur, ruang dan bentuk tidak lain adalah sebuah dunia yang membatasi ekses-ekses

kehidupan yang lebih luas. Dengan kata lain, sebuah ilusi geometris juga.

Rasa senang seorang Malna pada bentuk dan bilangan sama saja dengan rasa gandrung pada

rasio dalam filsafat yang hampir mati. “Sungguh menggelikan sekali bila kita masih gemar

bicara tentang manusia dalam filsafat dan sastra sebagai sebuah proporsi geometris”, kata

Pascal sambil melanjutkan: “dalam filsafat moral dan sastra modern dengan corak geometris,

tak lain adalah sesuatu yang absurd dan khayal”. Pascal bisa saja salah. Bukankah yang

absurd dan yang khayal itulah yang justru jadi penopang bangunan puisi sehingga tidak

mudah runtuh oleh pikiran paling kritis dan logis yang membongkar-bongkar di sana-sini

sekali pun?

Dalam buku analekta puisi Arsitektur Hujan misalnya, Afrizal cenderung menyuguhkan pada

pembaca sebuah bentuk puisi sebagai pencitraan ruang arsitektur. Dari judulnya saja telah

terungkap kecenderungan untuk bagaimana meruangkan kata. Dan kata-katanya secara

mencolok hadir sebagai kotak-kotak yang terstruktur untuk mengesankan sebuah pencitraan
sebuah ruang yang rasional. Bahkan bila mengikuti pembaitan dan penyusunan margin, akan

mengingatkan kita pada tabiat puisi ruang yang digagas Gaston Bachelard di Prancis.

Pencitraan ruang secara eksplisit diungkapkan pada judul kumpulan puisi ini. Dan sebagian

besar puisi dalam analekta ini membentuk struktur dan pola-pola geometris sekaligus

mengingatkan kita pada struktur bangunan. Kesan pertama yang saya tangkap saat menatap

puisi-puisi dalam analekta ini adalah bahwa penyairnya ingin menampilkan pencitraan ruang

arsitektur melalui pembaitan, atau penstrukturan kata-kata sebagaimana para arsitek membuat

struktur bangunan.

Bila ditelusuri dari bentuk diksi yang digunakan Afrizal, maka puisi-puisinya mengingatkan

saya pada kubisme. Bila diibaratkan sebuah rumah, puisi-puisinya memiliki siku-siku dan

sudut-sudut dengan celah yang masih dibiarkan kosong. Namun yang kosong ini bukan

sebagaimana kaum mistik memahaminya, melainkan sebagaimana para filsuf meyakini satu

(1) sebagai yang logis. Dalam bahasa yang agak metaforik, yang kosong itu barangkali

semacam ”ruang lengang dari separuh waktu” yang mesti diisi setiap kali kita menatap atau

membaca puisi.

Afrizal memandang margin dan indeks kata mirip gagasan Roland Barthes tentang margin,

kode, citra, dan foto. Dalam esai-esainya Afrizal sering menyinggung soal kode budaya

dengan gagasan “memerangi kode”. Dalam diskusi beberapa kali dengan Afrizal, perang

kode sering kali dilontarkan, baik dalam konteks kerja kesenian maupun kerja sosial. Afrizal

seingat saya pernah mengusulkan strategi gerakan sosial dengan melakukan perang kode di

ruang kota.
Alia Swastika dalam salah satu edisi jurnal LeBur pernah menyinggung cara pandang yang

berbeda antara Lauren Bain, Yudi Ahmad Tajudin dan Dewi Noviami dalam mempersepsi

apa yang oleh Afrizal dinamakan peristiwa teater dan “perang kode” atau “memerangi kode”

tersebut dengan mengaitkannya dengan tiga konsep budaya yang pernah diajukan filsuf

pasca-Marxis, Piere Bourdieu. Bukan maksud saya untuk mengatakan Afrizal dipengaruhi

oleh Barthes maupun Bourdieu, sebab setahu saya Afrizal tak pernah membaca karya kedua

pemikir ini, baik dalam bahasa Inggris maupun Prancis (kedua bahasa yang tak dikuasainya

secara baik). Tapi mungkin ia pernah membaca ulasan orang lain.

Sejak post-sturkturalisme merambah kaum cendekiawan Indonesia, memang banyak orang

getol membedah gagasan Barthes dan Bourdieu soal citra dan iklan dalam konteks budaya

massa dan ekstasi. Dan penulis Indonesia yang pernah menulis dalam bahasa Indonesia soal

pandangan Barthes tentang kode, foto dan fotografi dalam konteks tiga waktu atau waktu

ketiga, adalah St. Sunardi.

Memang, gagasan kesenian Afrizal muncul dari banyak bayang-bayang dan rasa hayatan

pengalaman yang keras ketika berhadapan dengan realitas kekotaan yang nyaris

menenggelamkan individunya. Puisi-puisi yang berciri ruang memang sering mengandalkan

kontradiksi sebagai kekuatan laten menghadirkan diksi-diksi cantik. Dalam menghayati

suasana ruang kota, Afrizal sering kali harus mengimbanginya dengan mudik ke dalam

kesunyian diri dan kontemplasi ke dunia pedalaman untuk menyerap inspirasi sebanyak-

banyaknya tentang mitos leluhur.

Mitos tak pernah mati dalam imajinasinya. Hanya saja, motif mitos itu sendiri sering kali

tersembunyi dalam gerak kata-kata, dan hanya bisa dikenal melalui kecenderungan naratif
atau susunan kata maupun karakter diksinya. Motif-motif mitos seakan menata pola-pola

diksi di dalam model bangunan arsitektur mitos-mitos baru dengan memanfaatkan pseudo

mitos, atau bahkan mitos sesungguhnya.

Hasil penstrukturan dengan variasi gambar yang bertukar rupa dan bertukar susun dalam

tempo sangat tinggi itu, sungguh mencengangkan. Terkadang berbinar dan berpendar,

menyusun dan membangun mahligainya sendiri melalui sosok-sosok imaji yang timbul

tenggelam antara ada dan tiada, seperti wawasan para filsuf eksistensialis. Tengok misalnya

mitos Pandora dalam penggalan puisi “Kardus Pandora”, bertitel 1997 ini:

Kenapa saya lihat tubuhmu kembali melayang,

Semalam, telanjang. Seperti langkah hati-hati

Memasuki halaman. Seperti membuat pemandangan

dari genanganair. Tempat kota-kota membuat jaringan

air di bawahnya. Lalu kardus d atas lemari itu terbuka,

seperti ular di bawah rumah saya. Dewa-dewa berlarian,

seperti kemarahan seorang perempuan diperkosa.

Gelombang api keluar dari kakinya.

Luth, kenapa kau tinggalkan kardus itu dalam tubuh saya,

semalam. Segala hantu berhamburan,

500 meter dari bahasa yang telah kau campakkan.

Tanpa mengutip keseluruhan puisi ini, mitos yang berasal dari Yunani itu tampil melalui alusi

tentang nabi Luth. Mitos Yunani itu direkonstruksi sedemikian rupa hingga mengalami

proses pemaknaan yang berbeda. Apa yang bisa kita kenal di sana tak lain adalah motifnya,
bukan sebagai seluruh rancang-bangun mitos Kotak Pandora tersebut. Bila dikaitkan dengan

Tuhan, maka di sini Tuhan di persepsi sebagai kisah-kisah, prosa kisah-kisah dari puisi

orang-orang, benda-benda, dan gunung-gunung yang berjalan di atas awan. Dan Tuhan

berkisah-berkisah tentang orang-orang arif dalam gaya prosa kefanaan dan kematian

sembilan lelaki perusuh, sembilan mukjizat lezat dan delapan ekor binatang yang berdekap-

dekapan, tanpa kehadiran sembilan ruang atau sembilan waktu model kaum sufi.

Luth—yang umatnya dikutuk Tuhan dalam kisah Kitab Suci itu—seperti mengajak kita untuk

mendaki ke bukit-bukit pasir lagi, sebelum dusta lama kembali bersua, sebelum kecemasan

bersimaharajalela di sekitar kita. Dalam puisi “Mitos-mitos Kecemasan”, motif mitos di situ

bisa kita kenal dengan melihat bagaimana puisi dan mitos saling berdepan-depanan hingga

puisinya terkesan menampilkan sebuah ironi, kalau bukan sulawan. Dari mitos benda-benda,

Afrizal menggeser bangunan puisinya ke dalam mitos-mitos manusia. Dengan mitos, puisi

tak perlu berusaha keras membangun struktur universalnya sendiri, karena bangunan dalam

puisi menyangga struktur itu sendiri dan karena itu tak harus diunversal-universalkan.

Wawasan puisi Afrizal tampak berayun-ayun antara tragedi dan komidi. Sajak-sajaknya—

bahkan esai-esainya—mengandung parodi tersembunyi yang riang gembira seperti anak-anak

tapi sekaligus mengetengahkan suasana murung yang akut orang dewasa. Bukan kebetulan,

sejak Plato dan Aristoteles sampai Nietzsche, persoalan tragedi dan komidi mendapat

perhatian yang serius dalam wawasan seni yang mengubah getaran impian dan menyudu rasa

ria memabukkan.

Gugusan tragedi yang menimpa keluarga Luth hingga keluarga dewa-dewa serta tragedi

orang-orang kota Jakarta dan Calcutta dan Beijing yang kehilangan rumah sejarah dan orang-
orang “pedalaman” yang kehilangan masa lalunya yang intim dalam sajak Kardus Pandora

itu, sering kali menampilkan alusi dan parodi sekaligus ilusi dan alusi yang bergoyang-

goyang dan telanjang hingga melayang bagaikan penyair yang menari.

Dalam teorinya tentang tragedi, Aristoteles telah menggarisbawahi penciptaan sebuah drama

tentang plot yang tragis; di antara semua unsur yang perlu bagi tragedi—pentas, karakter,

fabel, diksi, melodi dan pemikiran—Aristoteles mengganggapnya yang paling penting justru

sebuah kombinasi kejadian-kejadian dalam ceritera, karena tragedi pada hakikatnya bukan

imitasi pribadi, melainkan kalau boleh disebut adalah: imitasi tindakan dan pancuran

kehidupan yang menggerojok.

Dami N. Toda bahkan mengaitkan Kardus Pandora lebih jauh, mulai dari sisi motif mitos

dengan menyusuri dari muasal pertamanya dalam mitologi Yunani hingga ke motif-motif

magis-mitos modern. Dami mengaitkan bungkahan tragedi Kardus Pandora melalui karya

dramawan Inggris Frank Wedekind tentang motif mitos dalam Eart Spirit (1895) dan The

Dance of Death (1901) Strindberg sampai dengan tragikomidi abad ke-20 Luigi Pirandillo.

Apa yang dilakukan Afrizal dalam Kardus Pandora tersebut justru motif tragedinya

diusahakan untuk dipantulkan atau disilangkan dengan motif mitos lain dari Kitab Suci,

tokoh Luth (Lot), keponakan nabi Ibrahim (Abraham), moyang suku Moabiter dan

Ammoniter. Mitos Luth dalam Kardus Pandora sangat spektakuler, kata Dami, karena hanya

ia dan kedua anak perempuannya yang diselamatkan oleh Allah dari kutukan badai api

amarahNya dalam membasmi kota Sodom dan Gamora. Sementara istri Luth dikutuk menjadi

tiang batu garam.


Pembedaan motif-mitos yang tragis dan motif-mitos yang kosmis rupa-rupanya begitu kuat

membayangi isi sajak dan motif yang terpampang di baliknya. Pembedaan ini mungkin lebih

ditujukan dengan isi dan motif bukan bentuk dan hakikat sajaknya. Afrizal melihat

pembedaan itu nyaris agak mutlak. Dan jika didekati dengan cara pandang Ernst Cassier

dalam An Essay on Man, yang menyorot hubungan antara trgedi dan komidi sebagai

perbedaan konvensional, maka bukannya pembedaan secara mutlak yang terjadi.

Cassirer mencontohkan karya akhir Symposion Plato yang melukiskan Sokrates tengah

terlibat dalam percakapan dengan Agathon—penyair tragedi—dan Aristophanes—penyair

komidi—di mana Sokrates mengajak dua penyair itu mengakui bahwa penyair tragedi ialah

seniman komidi dalam arti sebenarnya, dan begitu pun sebaliknya. Dalam komidi maupun

dalam tragedi, begitu kata Plato dalam dialognya, membuat kita senantiasa mengalami

semacam campuran rasa ceria dan rasa getir. Sang penyair mengikuti hukum-hukum alam

sendiri karena ia memotret seluruh komidi dan tragedi kehidupan. Apa yang diekspresikan

Afrizal dalam puisi Kotak Pandora mengingatkan tragedi Prometheus dan Epimetheus,

tentang chaos dan eros, tentang yang indah dan yang lembut, dalam ”manusia epimenthean”

yang pernah disinggung Ivan Illich dalam bab tentang mitos Kardus Pandora buku

Deschooling Society (1972): ”Pandora yang asli adalah Dia yang memberikan Segala

Sesuatu, yang adalah seorang Dewi Bumi zaman prasejarah Yunani yang Matriarkal”, tulis

Illich.

Namun Afrizal bukan sekedar motret, tapi hasil sebuah representasi dari kawasan teks yang

kaya: kawasan teks yang bergerak antara pengalaman empiris serta lingkungan teks dalam

pergaulan literer seorang penyair. Keduanya, kata Afrizal, diangkat lewat berbagai elemen

dalam puisi: ide, latar puisi, metafor, pesan, bunyi. Pada mulanya elemen-elemen itu
statusnya sama, tapi kemudian mengalami pergeseran.

VI

Walhasil, puisi Kardus Pandora membuka selubung kita tentang tragedi dan komedi lebih

jauh. Afrizal dekat dengan teori tentang tragedi dari Aristoteles, terutama dalam konteks

lakon. Dalam sebuah teater Biografi Yanti Setelah 12 Menit misalnya, aktor-aktor tidaklah

bertindak demi memotret karakter-karakter, melainkan karakter-karakterlah yang ditampilkan

demi tindakan.

Satu pelajaran penting dari kecenderungan puisi-puisi Afrizal adalah: pembaca dituntut

memiliki wawasan luas untuk bisa menangkap gelagat wawasan seni ”tak wajar”. Apabila

pembaca tak mampu menangkap nuansa-nuansa rumit dari corak-corak atau motif-motif

perasaan yang berbeda-beda dan kaya, kata Ernest Cassirer dalam buku esainya yang

terkenal, maka ia tak mampu mengikuti variasi-variasi kontinu dalam irama bunyi atau nada,

serta tak tergerak oleh perubahan-perubahan dinamika yang mendadak. Pembaca bahkan

tidak dapat memahami dan menikmati puisi dan teater.

Kita boleh saja bicara soal bawaan pribadi si seniman, tetapi karya seni tidak memiliki fiil

khusus. Mengatakan musik Mozart riang-gembira atau tenang, musik Bethoven itu suram,

muram dan agung, hanya akan menunjukkan bahwa si pembaca bercita-rasa dangkal. Dalam

pengalaman estetis, komedi dan tragedi sama sekali tak terpisah.

Pembedaan antara tragedi dan komedi tidak relevan sama sekali. Komposisi Bethoven yang

mendaraskan pada karya “Himne bagi Kegembiraan” Schiller yang riang, namun ketika
mendengarnya, kita sedetik pun tidak melupakan aksen-aksen tragis “Simponi Kesembilan”

Bethoven. Demikian pula antara Commedia Dante dan Faust Goethe atau Don Quixote

Cervantes dan lakon-lakon Hamlet dan Raja Lear Skeaspeare atau Pickwick Papers Dickens,

berbaur antara rasa riang yang murung dan rasa getir yang riang. Apa yang kita rasakan

setelah membacanya, sama seperti ketika kita mendengar seluruh spektrum emosi manusia

dari nada terendah hingga nada tertinggi dalam musik; yakni gerak dan getaran seluruh

keberadaan kita. Kegetiran para tokoh penulis komedi bukanlah kekecutan hati para penulis

satire.

Seni, kata Santayana, ialah pemenuhan kebutuhan akan hiburan dan kebenaran yang hanya

bisa dirasakan sejauh untuk melayani tujuan. Tetapi, bila seni cuma komedi, maka seni akan

agal meraih tujuan. Karena itu dibutuhkan pasangan tragedi. Skeptis dan optimis dua soal

yang terkait dan berhubungan. Aksi dan saksi bukan masalah yang relevan dipisahkan,

mengingat dalam sajak ada kecenderungan untuk beraksi dan bersaksi secara bersamaan. Ada

tujuan dan fungsi yang mesti diisi oleh seni, dan penglihatan sang seniman tak cuma tatapan

yang bereaksi atas kesan-kesan inderawi, tapi juga sebuah saksi akan makna kehidupan.

Pengalaman estetik adalah wilayah yang tidak semata-mata kasatmata melainkan wilayah

pengalaman imajinasi. Pengalaman estetik ibarat pengalaman orang tenggelam dalam doa

diam dan terik, gelap dan terang, antara ruang dan waktu. Pengalaman kreatif Afrizal mirip

klasikisme para penyair Prancis yang mendefinisikan bidang sebagai istilah yang objektif dan

kesatuan antara ruang dan waktu lewat “logika imajinasi” yang dapat diukur dengan meteran

atau jam. Satu yang diikuti oleh nol-nol menjadi 100 dan 1 yang diikuti bilangan 9 dan

diiukuti 4 dan 5 menjadi peristiwa 1945.


Afrizal berusaha memanggil kembali mitos-mitos masa lampau yang bukan sebagai alegori

kosong melainkan alegori berisi daya-daya bilangan, 1, 2, 3, 4, 9, 6, 7, 8, 9 yang diiukuti

angka-angka seterusnya sehingga menjadi pasti. Dan ini agak berlawanan dengan penyair

ironi. Analogi memang seringkali berada di sisi seberang yang ironi.

Sajak Kardus Pandora berusaha menampik nol karena nol tidak logis dan tidak bisa diukur.

Maka yang muncul adalah “seekor ular besar di bawah rumah saya, ratusan tahun menunggu

mata air tempat saya minum dan mandi setiap hari” atau “500 meter dari bahasa yang telah

kau campakkan” (dalam sajak Kardus Pandora). Angka ”500 meter” jelas mengisyaratkan

sesuatu yang terukur.

Sangat tampak bahwa pengalaman rasional dan ilmiah bukanlah pengalaman sepintas lalu.

Bergson sendiri pernah mengingatkan: dalam seni, pengalaman rasional dan ilmiah tidak

bersifat dangkal dan konvensional. Seni ialah migrasi dari dunia konvensi yang cetek ke

sumber-sumber realitas terdalam. Namun Bergson hanya melihat intuisi estetis sebagai

gambaran pasif, bukan kemampuan aktif, atau perasaan sastrawan tak disebabkan melainkan

disugestikan.

Terpisahnya kemampuan pasif dan aktif, tampaknya masih berbau metafisika transendental

abad ke-18. Keberatan atas metafisika Bergson disampaikan Nietzsche dalam Kelahiran

Tragedi, yang ditulis ketika usianya baru dua puluh delapan tahun dan kemudian diinggriskan

menjadi The Birth of Tragedy from the Spirit of Music. Nietzsche, yang telah menunjukkan

gaya stilis dengan bahasa yang ekonomis, menentang konsepsi metafisis sekaligus

membongkar pemikiran ideal Winckelmann dalam mitos Yunani. Tragedi Yunani adalah

pewaris kultus Dionysios, harkatnya adalah daya orgiastik. Tetapi orgy semata-mata tak bisa
menghasilkan drama Yunani, karena itu kekuatan Dionysion diimbangi oleh daya kekuatan

Apollo.

Polaritas dasariah, kata Nietzshe dalam karya yang sama, adalah hakikat setiap karya seni

yang bermutu. Jika mimpi memberi daya khayal, asosiasi serta puisi, maka mabuk memberi

kekuatan yang cenderung akan kebesaran, keangkuhan, dendang dan tari. Seni bermutu

senantiasa ada pada setiap kurun, lantaran setiap seni saling meresapnya kontras antara

mimpi dan mabuk atau dari naluri orgiastik dan keadaan melamun.

Pandangan Nietzsche itu masih kita temukan juga dalam pengantar buku Senjakala Berhala,

di mana Nietzsche menyocor rasa ria memabukkan dan kemurungan impian. Kata Nietzsche,

tetap gembira ketika terlibat dalam urusan yang muram dan penuh tanggungjawab merupakan

hal yang tidak remeh. Tapi, apa yang lebih penting ketimbang keceriaan? Tidak ada yang

sukses bilamana keceriaan tidak ikut berperan. Hanya kekuatan yang berlebih-lebih itu

merupakan bukti adanya kekuatan. Dan tanda tanya yang demikian hitam itu, telah

membiaskan imago-imago yang demikian besar atas dia yang mengajukannya. Sebuah tugas

yang demikian muram dan memaksa orang untuk setiap kali berlari ke luar, ke dalam curahan

sinar matahari agar bisa menguakkan kesungguhan yang telah menjadi terlalu menekan.

Setiap peluang untuk melakukan hal ini harus didukung, setiap peluang adalah kesempatan

yang menggembirakan.

Dari sana Nietzsche merumuskan tentang teorema teori permainan yang sangat cantik dan

stilis. Permainan adalah fungsi aktif yang tidak terbatas pada kenyataan empiris. Saya kia di

sinilah kita menempatkan apa yang dimaksud oleh Afrizal tentang dua kawasan teks yang

bergerak antara pengalaman empiris serta lingkungan teks dalam pergaulan literer seorang
penyair. Permainan dan seni menunjukkan kemiripan yang amat dekat. Keduanya tidak

utilitaristis, tidak berkaitan dengan tujuan praktis apa pun.

Dalam permainan dan kesenian kita meninggalkan kebutuhan praktis untuk memberi “wajah

baru” pada dunia. Namun analogi itu tidaklah mencukupi. Imajinasi artistik berbeda secara

tajam dengan imajinasi yang menandai aktivitas permainan. Apa yang disebut dengan

kemiripan estetis bukan gejala yang sama dengan yang dialami oleh mereka dalam

permainan-permainan ilusi. Dengan kata lain: permainan memberikan citra-citra ilusif, seni

membeberkan jenis kebenaran tentang bentuk-bentuk murni. Ada tiga macam imajinasi yang

mesti dibedakan, yaitu kekuatan untuk menemukan, kekuatan personifikasi, dan kesanggupan

memproduksi bentuk-bentuk indrawi yang murni.

Saya kira di sini pula makna ucapan puisi sebagai permainan predikat dunia anak-anak yang

dimaksudkan Afrizal dalam esai proses kreatif yang ingin saya tempatkan. Dalam permainan

anak-anak, ada kekuatan untuk menemukan dan kekuatan personifikasi. “Pada umumnya

anak-anak bisa melepaskan ikatan wacana permainan dari subjek atau peralatan-peralatan

yang mendukung permainan itu”, tulis Afrizal. “Apa yang diterima oleh anak-anak”, kata

Afrizal, hanyalah substansi dari wacana itu (konvensi). Di tangan anak-anak misalnya,

sebatang lidi bisa berubah menjadi pedang, kuda yang ditunggangi, atau benda biasa yang

menjadi rebutan antarsesamanya. Yang penting bagi mereka adalah konvensi yang mereka

sepakati bersama. Kalau mereka sedang bermain pedang-pedangan, mereka harus sepakat

dulu dengan konvensi atau wacana dari permainan itu. Setelah itu permainan bisa dijalani

dengan peralatan apa pun. Wacana dan imajinasi di sini bekerja sama secara kompak dalam

diri anak-anak.
Afrizal memberi contoh anaknya, Jilan, ketika baru berusia 27 bulan telah menunjukkan

sebuah kekuatan untuk menemukan sesuatu yang baru sekaligus menampilkan permainan

tentang personifikasi atas sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu, seperti hujan

dipersonifikasi dengan mata dan hidung. Waktu dengan telinga. Telinga waktu. Maka

disinilah letak kesamaan antara permainan anak-anak dengan sang seniman atau penyair.

Namun tetap ada perbedaan keduanya. Perbedaan itu terletak pada kenyataan ini: Jika si

anak-anak bermain dengan benda-benda, maka si seniman bermain dengan bentuk-bentuk,

dengan garis dan bagan, irama dan melodi.

Melihat si cilik sedang bermain, kita kagum pada kelincahan dan kecepatan perubahan.

Tujuan-tujuan besar dilakukan dengan sarana-sarana sederhana. Sepotong pedang mainan

dapat dimainkan sebagai makhluk hidup. Namun begitu, kata Cassirer dalam esai yang telah

saya kutip berkali-kali; transformasi yang terjadi hanya merupakan metamorfosis objek-objek

itu sendiri, bukan merupakan metamorfosis dari objek kepada bentuk. Seorang anak yang

asyik bermain tidak hidup dalam dunia penyair dewasa yang fakta empirisnya ketat. Aktivitas

permainan anak-anak dalam ilustrasi di atas, tidak menandai aktivitas kesenian yang

sungguh-sungguh. Inilah yang membedakan antara seni dan hiburan, dan seni tidak sekedar

bermain-main untuk pemenuhan bagi kebutuhan akan hiburan.

Proses reinkarnasi dari semangat menghadirkan mitos ke dalam ruang arsitektur dan geometri

ruang imajiner dalam sajak-sajak Afrizal tampak kian kompleks. Namun, bila menyimak

puisi-puisi mutakhirnya dalam buku analekta puisi Di Rahim Ibuku tak ada Anjing, maka

mitos manusia telah bergeser ke dalam mitos benda-benda dengan bahasa yang metrikal.

Sekali lagi, inilah sebuah bentuk pengucapan dengan kelompok-kelompok kata yang tak

saling berhubungan; sebuah lukisan kata atau melukis dengan kata-kata di benak pembaca.
Cukup beralasan jika suatu waktu Dami N. Toda menyarankan agar membaca puisi-puisi

penyair kita ini dengan konsentrasi penuh dan intim, bila perlu membaca berulang-ulang,

untuk menemukan kenikmatan tersendiri tanpa harus berpusing-pusing dengan memilah-

milah antara genre puisi atau prosa, antara mitos lama dengan mitos baru, dan seterusnya,

karena kecenderungan kata-katanya memang mengalir terputus-putus.

Dan Afrizal cenderung menampilkan puisinya dari bahasa formula yang metrik, yang

mungkin dimaksudkan untuk memberi ekspresi pada sebuah ide yang sudah klise, di mana

segalanya menjadi sensitif sekaligus menjadi membosankan. Aku lirik terus-menerus merasa

gagal dalam menemukan sekedar esensi yang bisa membuatnya berpuas diri. “Matanya

memberiku sebuah bahasa. Bahasa benda yang penuh dengan air”, tulisnya dalam puisi

“Hujan di Pagi Hari”. Gramatika benda-benda? Ya, benda dan kesadaran. Sesuatu yang

mengingatkan kita pada pandangan muram Jean Paul Sartre bahwa orang lain adalah neraka.

Aku ingin jadi orang lain itu, kata Afrizal dalam sebuah wawancara di Jurnal Nasional.

Gramatika benda-benda tampak menjelma sebuah bahasa yang menghadirkan gugusan

pemikiran arsitektur yang lintas spasial dalam bangunan sajak-sajak. Dan lintasan ruang

dalam puisi-puisinya mungkin mengambil corak berupa lukisan barok, kubus, tapi bukan

sebuah karya arsitektur. Saya merasakan betapa puisi-puisinya bagaikan sang penyair yang

sedang menatap heran goresan-goresan warna dalam lukisan Picasso sekaligus arsitek yang

tengah merekonsruksi struktur baru.

Di dalam bangunan diksi puisinya, sekali lagi, tampak muncul warna-warna abstrak dalam

susunan kata-kata dan baris-baris yang bagaikan kehendak yang keras kepala dalam rangka
menampilkan garis-garis dalam lukisan abstrak. Seorang bernama Om Ale pernah

menyampaikan kesannya saat membaca puisi-puisi Afrizal sebagai kerumitan yang tak ingin

berbagi, dan Om Ale pun membayangkan puisi-puisinya bagaikan menatap lukisan Picasso.

Afrizal memang mengagumi pelukis Picasso—seniman eksentrik dan terkesan anarkis ini.

Kami beberapa kali mendiskusikan film biografi Picasso, yang diperankan oleh seorang aktor

yang dikerumuni oleh kaum perempuan. Ada kesan yang kuat pada Afrizal untuk

menghadirkan puisinya sejenis dengan kubis. Dan itu ia lakukan dengan membuat puisi

bagaikan melukis kata-kata di helai kertas. Tapi berbeda dengan tokoh dalam film Picasso,

puisi Afrizal begitu feminin dan cenderung menampilkan teks gender melalui pencitraan dan

majas tentang “ruang lengang dari separuh waktu” dan penggunaan kata dan diksi yang khas

perempuan. Afrizal memang pernah mengidentifikasi diksi-diksi perempuan saat mengulas

sajak-sajak Dorothea Rosa Herliani dan Sinta Febriani; sebuah diksi yang menurutnya hanya

bisa keluar dari pena perempuan.

Dalam antologi puisi Di Rahim Ibuku Tak Ada Anjing, nama-nama perempuan beberapa kali

muncul sambil menggoda saya untuk menghubungkannya dengan seseorang. Bahkan

beberapa puisinya dalam antologi ini lahir dari semacam pengkhianatan aku naratif terhadap

perempuan, atau sebaliknya, pengkhianatan perempuan terhadap aku lirik. Pertemuan dengan

perempuan begitu pribadi dan tak terduga-duga. Kadang berusaha saling memberi dan

mengingatkan arti hidup berpasangan. Posisi perempuan dihayati sebagai dewi cinta dan ibu

bumi yang kadang terlampau dilebih-lebihkan.

Dalam esai biografinya, perempuan bernama inisial RN dilukiskan sebagai sang dewi

penolong yang mengenalkan kepadanya tentang kekuatan agama cinta, sajadah, dan
bagaimana menghayati dan mengenal Tuhan melalui kasih dan sayang. Lewat perempuan

Afrizal kembali ke dalam penghayatan cinta dan meninggalkan pikiran rasional yang

diajarkan para filsuf untuk menguak tabir Tuhan. Ia lebih percaya pada sesuatu yang non-

rasional ketimbang argumen rasional.

Pribadi-pribadi berjenis kelamin perempuan tampil di mana saja dan dalam bangunan diksi

puisi apa saja; terkadang tampil di awal sebagai yang dituju puisinya, terkadang di tengah, di

akhir, dengan sebutan yang berbeda-beda; seperti “Siti Nurbaya”, “perempuan dalam novel”,

“RN”, “Pandora”, “Yanti”, “Bulan Ibau”, dan banyak lagi. Afrizal ingin jadi “perempuan”

atau “yang Lain” itu, karena itu ia pun melakukan perang kode mengenai cara memandang

gender yang selama ini telah didefinisikan terkotak-kotak dan dikapling-kapling dengan

sebutan publik/domestik, rumah/kerja. Konsepsi tentang ruang yang selama ini

diartikulasikan melalui cara orang mengatur rumah dan kota dikembalikan pada cara pandang

masyarakat bahari Nusantara.

VII

Sebuah rumah akan terus dikenang dan memunculkan suasana rasa rindu untuk kembali.

Rumah merupakan cerminan dari sebuah dunia. Sebuah kosmos. Sebuah tempat

berlangsungnya kehidupan. Karena itu, rumah bersifat sejarah dan sakral. Rumah yang

disakralkan dan ditempel hiasan untuk menunjukkan keberkatan penghuninya.

Di Jakarta, rumah adalah bangunan hampa. Tak ada lagi yang gaib dan mistik di dalamnya.

Padahal, berbagai aktivitas dan waktu luang manusia tak terlepas dengan yang sakral. Inilah

yang ditekankan berulang-ulang oleh Mircia Eliade dalam pembahasan tentang simbol dan
homo religius dan homo viator. Mircia Elliade juga menyinggung soal pintu rumah sebagai

“ruang ambang”; yakni batas antara yang sakral dan yang profan.

“Dalam wilayah ambang”, tulis Afrizal, “dunia benda-benda di sekitar saya bisa berubah

menjadi biografis sifatnya. Pengalaman-pengalaman yang bersifat pribadi dengan benda-

benda tersebut membuatnya bisa hadir secara biografis dalam internalisasi” dan

defamiliarisasi teks dari lingkungan wacana yang pernah membentuk dan menempatkan

benda-benda itu dalam rumah tangga semantik tertentu”.

Bagi Afrizal, berpikir dengan gambar tidak sama dengan memotret, dan “puisi-puisi saya

bukan hasil sebuah pemotretan. Bagi saya puisi merupakan representasi dari kawasan teks

yang kaya. Kawasan teks yang bergerak antara pengalaman empiris serta lingkungan teks

dalam pergaulan literer seorang penyair”. Oleh karena itu, “konsekuensi ruang merupakan hal

yang saya anggap paling genting dalam cara berpikir dengan gambar”.

Tak cuma dalam puisi kecenderungan berpikir dengan gambar dan penalaran visual sebagai

konsekuensi ruang yang paling genting, bahkan dalam teater. Perdebatan tentang sensibilitas

ruang dalam teater selama ini terkait dengan soal ini. Tanggapan Yudi Ahmad Tajudin

terhadap gagasan ruang dalam teater yang dicetuskan Afrizal dalam sebuah diskusi “Forum

Membaca Teater di Indonesia Hari Ini” yang diselenggarakan Teater Garasi, Yogyakarta,

kurang beralasan mengingat Afrizal sendiri jauh-jauh hari telah menulis perihal ruang sebagai

sebuah pokok signifikan dalam teater.

Dalam esainya, Ruang dan Sensibilitas Teater di Bentara/Kompas (2004), Yudi mengaitkan

relasi ruang dan penciptaan teater dan menganggap diskusi tentang ruang tidak terlampau
berhasil mengaitkan ruang sebagai sensibilitas teater. Padahal, kata Yudi, “membaca sejarah

teater adalah juga membaca sejarah gagasan dan penyikapan terhadap ruang. Bahkan, sejak

mula, kata ‘teater’, yang berasal dari bahasa Yunani, theatron, itu sendiri berarti ‘tempat

untuk melihat’. Juga kata scene yang sering kita terjemahkan menjadi ‘adegan’, diturunkan

dari Yunani yang merujuk pada sebuah ruang tempat para aktor drama Yunani tua di kisaran

abad ke-5 SM berganti kostum untuk masuk ke peran dan adegan yang lain”.

Yudi agaknya melangkah lebih jauh dari puisi ruang Gaston Bachelard ke teater ruang atau

ruang sebagai sensibilitas teater. Seraya merujuk Peter Brook dalam bukunya yang terkenal,

Empty Space (1968), Yudi membuka esainya dengan kalimat begini:

Sebermula adalah ruang kosong. Seseorang melintasi ruang kosong itu, sementara seseorang

yang lain menyaksikannya. Dan semua inilah yang dibutuhkan agar sebabak teater dapat

terbentuk. Demikianlah pernyataan itu ditulis Peter Brook dalam bukunya yang telah menjadi

klasik, Empty Space (1968).

Buku yang ditulis dalam bahasa yang jernih dengan bungkus humanisme yang pekat itu

meski diterbitkan lebih dari 35 tahun lalu namun tatapan sutradara kelahiran Inggris ihwal

(relasi) ruang dan (penciptaan) teater itu saya pikir masih terus relevan untuk didiskusikan.

Karena ihwal ruang dalam penciptaan teater sesungguhnya adalah kisah yang tak terpisah

dalam perbincangan tentang teater. Pokok yang terus membayang di sepanjang tubuh sejarah

teater itu sendiri. Bahkan dalam Poetics, kita tahu, Aristoteles telah menulis perihal kesatuan

ruang dan waktu dalam drama-drama tragedi Yunani.

Selanjutnya Yudi membedakan ruang dan tempat dan menuding ke sana ke mari tentang
penggunaan kedua kata ini dalam percakapan sehari-hari yang menurutnya, sering dianggap

sama, padahal katanya, ruang dan tempat jelas berbeda. Lebih lengkapnya saya kutipkan:

Dalam percakapan sehari-hari sering kali penggunaan istilah ruang (space) dan tempat (place)

digunakan untuk merujuk pada hal yang sama dan seperti bisa dipertukarkan begitu saja.

Sebelum beranjak lebih jauh, ada baiknya kita menarik distingsi di antara keduanya. “Ruang”

mengacu pada sebuah ide abstrak, sebuah konsepsi dan imajinasi yang kemudian

diterjemahkan menjadi “tempat”, yang konkret, spesifik, dan manusiawi.

Maka rumah, misalnya, sebagai sebuah “ruang” adalah konsepsi dan imajinasi saya perihal

kenyamanan dan kemapanan emosional tertentu yang kemudian coba saya terjemahkan ke

dalam sebuah “tempat”, di mana saya bertemu keluarga-yang saya cintai dan mencintai saya-

secara rutin setiap hari. Warna cat, tata ruang, dan bagaimana benda-benda harus diletakkan

di sana adalah manifestasi atas imajinasi ruang kenyamanan dan kemapanan emosional

tersebut. Jika tempat yang saya bangun itu dirasa tidak mewujudkan konsepsi ruang yang

saya bayangkan-atau jika kemudian saya tidak lagi mencintai dan dicintai keluarga saya-

rumah menjadi terasa seperti “neraka”, yang notabene merupakan konsepsi dan sebentuk

imajinasi yang lain.

Lebih jauh, pembagian ruang di dalam rumah juga berangkat dari imajinasi atas fungsi,

pemaknaan, dan ritus-ritus sosial yang berbeda-beda. Dari titik ini, Anthony Giddens (1984)

bahkan menyatakan, memahami bagaimana aktivitas manusia terdistribusi dalam ruang

merupakan sesuatu yang mendasar dalam analisis tentang kehidupan sosial.

Jika pernyataan Yudi ditujukan pada Afrizal, aku kira Yudi tidak jeli. Sebab jauh-jauh hari
Afrizal membedakan ruang dan tempat dan menjadikan ruang sebagai sensibilitas teater.

Ruang kosong dibedakan dengan ruang berisi. Bahkan kekosongan, seperti O misalnya, oleh

Afrizal dibedakan dengan ruang satu, ruang yang bisa diukur dan logis secara angka, meteran

atau secara waktu. Dalam esai proses kreatifnya, Afrizal bilang:

Konsekuensi ruang merupakan hal yang saya anggap paling genting dalam cara berpikir

dengan gambar. Lebih genting lagi karena saya tidak mendapatkan sebuah rumus mengenai

ruang yang cukup aman untuk digunakan, bahwa pengertian ruang tidak persis sama dengan

tempat. Sebab pengertian ruang baru muncul, ketika sebuah objek mulai diletakkan di sebuah

tempat. Objek mendapatkan tempatnya berada, baru setelah itu ruang tercipta. Dalam hal ini

tempat justru lebih independen dibandingkan dengan ruang. Tempat tidak hilang walau objek

dipindahkan dari tempat itu. Tetapi ketika objek dipindahkan, ruang akan ikut berubah.

Bahkan ketika tempat ditiadakan, ruang akan ikut lenyap. Kekosongan dalam hal ini tidak

berarti bisa disebut sebagai ruang. Pandangan ini mungkin sangat materialistis. Tapi inilah

pandangan mengenai ruang yang bisa diukur, sebab memang saya tidak sedang bicara

mengenai ruang secara mistis.

Dalam ulasan Afrizal terhadap puisi penyair lain, ada kecenderungan untuk mengaitkan puisi

dengan ruang. Afrizal bahkan pernah mengulas puisi-puisi Juniarso Ridwan dalam

mengekspresikan pengalaman batin yang hampir tidak membuat gerak, melainkan membuat

wujud. Waktu dan ruang tercipta dari pemindahan wujud satu ke wujud lainnya, dan

bukannya melalui gerak.

Puisi-puisi Juniarso Ridwan, kata Afrizal, bermain dengan wujud sebagai jejak, bukan

dengan gerak. Ruang-waktu tampak terhitung cermat lewat bangunan tiga atau dua patah
kata. Kadang-kadang jejak-jejak itu hadir dengan sangat tajam melalui lompatan ke wilayah

imaji yang lain, yang dilakukan secara mendadak. Lompatan ini untuk menyampaikan pesan

yang juga berfungsi sebagai katarsis, dan pembaca ikut terbanting dalam lompatan itu,” jelas

Afrizal.

Apa yang dikatakan Afrizal, paling tidak bisa kita lihat dalam puisi Juniarso, Di Sebuah

Basilika, yang ditulis pada tahun 2005 lalu sepulang dari Eropa. Puisi ini berbunyi: berdiri di

tengah pelataran basilika/ terdengar nyanyian angin/ merayu hati penuh manja:/ memandang

hidup serba indah// (kota bayangan surga,/ diatur nilai agama/ penuh sentuhan cinta)// setiap

bernapas tercium kemakmuran/ setiap berkata basah kenikmatan/ setiap melirik terbentang

kegembiraan// ada saatnya menyimpan taman di dasar hati/ sambil melukis pohon di setiap

rumah//.

Sajak di atas mengekspresikan ruang kota melalui politik perizinan. Gambaran ruang kota

merupakan bahasa gambar yang paling konkrit. Dalam gambar-gambar itu, ia

mempertontonkan apa yang telah disinggung di muka: ketegangan antara enclave dan akses.

Sajak-sajak Afrizal sendiri menampilkan wawasan visual yang tersusun oleh berbagai variasi

besaran dan paras dari berbagai pemandangan; kampung, jalan, situ, kali, berada dalam

tumpangsusun yang tak lagi jelas wujudnya.

Agaknya kita perlu menelusuri gagasan tentang puisi dan teater ruang Afrizal dalam karyanya

yang lain: video art. Belakangan Afrizal mulai banyak menghasilkan video sejenis

dokumenter yang berseni. Video “Telur Matahari” (2003), “Kota dalam Baskom” (2002) dan

“Video Belajar Anak” (2003) adalah karya yang pernah dibuat Afrizal dan diterbitkan secara

terbatas. Dalam ketiga video ini, lalu lintas ruang kota yang terpinggirkan seperti menegaskan
penalaran visual dalam arti sesungguhnya.

Eksperimentasi dari kata ke gambar atau dari puisi ke video itu, tampaknya belum banyak

dibahas. Kendati apa yang dilakukan Afrizal bukanlah hal yang baru, namun perhatiannya

terhadap film tampaknya masih terkait dengan puisi. Lewat film yang dihasilkannya,

penonton bisa melihat puisinya. Jadi, puisi tak cuma kata, tak cuma bahasa, tapi juga gambar.

Sayang sekali bahwa film-film pendek yang dihasilkan Afrizal hanya dapat ditonton sesekali

saja dalam acara-acara kesenian, dan tidak pernah dipublikasikan secara terbuka. Padahal di

sana terpampang film puisi, atau puisi video. Bahkan permainan close-up dan pergantian

gambar yang begitu cepat dalam filmnya mirip dengan puisinya.

Dalam film garapan Afrizal tampak tergerai ruang-ruang kota yang sisa, hunian-hunian

kumuh, dan lanskap kehidupan sementara. Di sana terdapat juga gambaran tentang ruang

mati, lanskap mati, kali mati, dengan berbagai modal dan aset yang mati, dan selamanya

menjadi ilegal sambil menunggu Hernando de Soto membebaskan yang ekstralegal-

ekstralegal itu menjadi yang hidup, yang produktif dengan cara melegalitas dan memberikan

sertifikat, agar ruang-ruang yang dihuni si rudin itu bisa dijadikan modal dengan

menjadikannya agunan untuk modal usaha di bank. Maka kelak dalam ramalan de Soto akan

datang suatu masa ketika di mana lima puluh juta orang yang selama ini bergelimang dalam

lumpur kemiskinan di kota-kota besar akan bebas dari kemiskinan. Wow!

Kita sering terbuai oleh bujuk rayu dan logika ruang modernisme yang menjadi musuh

postmodernisme itu, yang begitu jauh telah meresap ke dalam imajinasi kalangan sastrawan.

Problem politik keruangan dimanfaatkan oleh mata-kamera handycamp yang selalu ditenteng
Afrizal ke mana dia pergi, yang telah menjelma benda puitika baru untuk memuaskan dahaga

pencariannya lewat permainan yang, mengutip Roland Barthes lewat terjemahan Goenawan:

sebuah “pikiran gambar”. Afrizal mulai dengan membuat angle-angle dan cerita screenplay

yang berkisah tentang “ruang ketiga”. Cerita screenplay dalam proses editingnya telah

menjelma gambar-gambar sekaligus mengandung pikiran gambar.

Selain bahasa lisan, bahasa tulisan, kita penting juga memikirkan bahasa gambar. Dan Afrizal

dalam esai penutup buku Kalung Dari Teman menegaskan cara berpikir dengan gambar dan

penalaran visual melalui pengamatan atas fenomena hantu sensual yang hadir dengan tiba-

tiba di atas panggung karnaval hanya dengan melalui rekaman video dokumenter (bukan

rekaman langsung). Video maya tampak terasa lebih realistis dan memikat orang banyak

dibandingkan dengan adegan-adegan langsung/nyata, yang memperlihatkan betapa media

video berkesan lebih mewakili kenyataan ketimbang panggung pertunjukan teater yang

berlangsung secara nyata di depan publik. Maka Afrizal pun mengalamatkan kritiknya pada

akibat yang bisa ditimbulkan. Dengan kecanggihan teknologi dan komunikasi, ruang-ruang

akan ditandai oleh berbagai keterkejutan melalui frekuensi yang hadir bagaikan kilat.

Kritikan Afrizal diralatnya sendiri ketika ia mulai berkenalan dengan intim—bahkan tak

sekadar berkenalan—dengan alat multimedia, termasuk perkakas untuk memproduksi video.

Afrizal melakukan perlawanan dengan mencipta video kesenian sendiri. Ruang-ruang kota

dalam videonya dihadirkan sebagai ruang-ruang yang dikelilingi monster-monster raksasa,

tangan-tangan mesin yang ganas dan modal yang rakus. Ia menangkap fenomena itu melalui

kameranya dengan “mempermainkankan” realitas gambar-gambar untuk memunculkan

pikiran gambar sebagai resistensi.


Dalam esai Puitika Urban dan Metafora dari Pemikat Baru, Afrizal juga membedakan ruang

dan tempat. Untuk menjelaskan soal ruang, Afrizal merujuk pendapat Aristoteles berdasarkan

penjelasan Cornelis van de Ven dalam buku Ruang dalam Arsitektur (1995:18-19). Ruang

tidak lain adalah “sebuah tempat melingkungi obyek yang ada padanya. Tempat bukan

bagian dari yang dilingkunginya. Tempat dari suatu obyek tidak lebih besar dan tidak lebih

kecil dari obyek itu sendiri. Tempat dapat ditinggalkan dan dapat dipisahkan dari obyek.

Tempat selalu mengikuti obyek, meskipun obyek terus berpindah sampai berhenti pada

posisinya.” Pada anatomi bangunan, ruang pada umumnya tercipta lewat sirkulasi gerak yang

menghubungkan atau mengkomunikasikan tempat satu ke tempat lainnya, Juga pada detil

interior dan dekorasi yang mendisribusi ruang internal dan eksternal. Karena detil interior dan

dekorasi membangun medan untuk muatan identitas.

Namun, karena ruang kota telah melepaskan sakralitas tanah dan menggantikan ibu dengan

modal, maka medan identitas kota tidak lagi merepresentasi kultur penghuninya, melainkan

menjadi medan representasi untuk kekuatan ekonomi dan teknologi. Kultur penghuni

diandaikan dapat direpresentasi lewat museum-museum, galeri, pusat-pusat kesenian dan

pendidikan, gaya hidup, pelayanan publik dan ruang publik. Ruang kota mengalami

obyektifikasi sedemikian rupa mana kala tata kota melulu mendefinisikan ruang kota sebagai

baskom dagangan oleh pemerintahan kota. Tingginya obyektifikasi ruang menjadi tempat,

merupakan akar dehumanisasi dan kemacetan dalam arti luas di kota. Ruang kota adalah

sebuah kultur dimana budaya bermukim telah dihancurkan pertama oleh politik penggusuran,

yang merusak makna ruang hidup menjadi tempat tinggal dan investasi. Kedua oleh arsitektur

massa yang mengubah rumah personal dan rumah sebagai bagian dari ruang hidup

pemukiman, menjadi rumah massal dan individual sekaligus.


Ruang hidup digantikan dengan pagar dan keamanan. Sakralitas tanah dalam berbagai

pengucapan tradisi dan inti metafora yang berinduk pada ibu dan perempuan digantikan

dengan modal dan kosmetika tubuh perempuan. Substansi ruang kota pada umumnya diukur

lewat kuantias dan kualitas ruang publik yang dibangun di kota. Ruang publik ini pada giliran

merupakan bagian dari keseluruhan pembentukan proses kualitas kehidupan publik. Kualitas

kehidupan publik ini berhubungan paralel dengan kualitas parlemen sebagai perwakilan

lembaga publik. Ketika ruang publik dikalahkan untuk kepentingan kekuasaan dan ekonomi,

maka kualitas kehidupan publik ikut terguncang. Ruang penciptaan tidak mendapatkan

orientasi publik untuk puitika urban. Aktivitas metaforik tidak mendapatkan ruang untuk

membuat rajutan semiotik dalam kehidupan budaya kota.

Lebih lanjut Afrizal mengatakan: kota telah menghancurkan rejim identitas lama, tetapi

membangun rejim identitas baru lewat kuasa ekonomi. Dalam rejim identitas lama, individu

ditempatkan pada keharusan-keharusan adat. Sementara dalam rejim identitas baru, individu

ditempatkan dalam hubungan-hubungan kerja dan kepentingan. Posisi individu dalam ruang

dengan rejim baru seperti ini membawa pada kecenderungan untuk menjadi penakluk dengan

berbagai cara, atau menempuh prosedur formal yang berliku-liku.

Di mata Afrizal, Chairil Anwar dan Sutardji adalah representasi dari generasi penakluk yang

merasa kesepian kalau tidak bertemu dengan aku dan dengan puncak super ego. Keduanya

adalah contoh yang tepat bagi generasi yang ingin menjadi bagian dari modernisme,

sementara ruang kota belum bisa memberi jaminan terhadap hak-hak warga kota dan

orientasi publik atas kualitas kehidupan publik. Maka generasi ini menjadi generasi yang

terluka dan berdarah. Hubungan puisi dengan kota besar bisa dikatakan telah berlangsung

sebagai hubungan satu konteks dalam kerangka modernisasi di Indonesia.


Dalam kerangka itu, puisi telah memainkan politik pemaknaan melalui pemberontakannya

terhadap nilai-nilai lama, seperti puisi Rustam Effendi yang menyatakan seloka lama beta

buang beta singkiri, sebab laguku menurut sukma. Puisi ini adalah pernyataan tentang

pembangkangan untuk mulai mau memilih diri sendiri ketimbang jadi instrumen masalalu. Ia

memenuhi prosedur modernisme dengan memberontak pada konvensi, dan mulai memberi

tempat tinggi untuk ruang individu. Pembangkangan jadi pembuktian bahwa aku ada.

Sementara itu, kota membangun dirinya dari modernisme yang merepresentasi dirinya tak

lagi sebagai bagian dari masa lalu dan tidak juga sebagai cerminan alam. Peninggalan-

peninggalan sejarah pun banyak yang tergusur lewat tata ruang kota. Ruang yang didominasi

oleh kolusi antara penguasa dan pengusaha membangkrutkan pengelolalaan kota, rakyat

miskin semakin tersingkir, lingkungan kota yang rusak dan kota yang sebenarnya juga telah

tergadai oleh timbunan hutang terhadap lembaga-lembaga keuangan internasional. Dunia

agraris lenyap begitu saja dari wajah alam berganti wajah industri.

Afrizal pernah mencontohkan sajak Rendra berjudul Bulan Kota Jakarta yang menurutnya

menyampaikan dua hal tentang ruang kota: sebagai pernyataan dan berita. Berita yang

disampaikan mengenai pertumbuhan kota yang mulai penuh dengan lampu-lampu dan

gedung-gedung tinggi. Sementara pernyataan yang disampaikan merupakan peringatan

bahwa bulan telah pingsan oleh tikaman lampu-lampu beracun dan gedung-gedung tak

berdarah. Teks-teks alam dan teks-teks kebudayaan di sini mengesankan saling berbenturan.

Kota mengesankan telah berkembang sebagai tata (r)uang yang kian tidak lagi mengandaikan

alam. Keberpihakan pada lingkungan dinyatakan. Kesaksian seperti ini tidak hanya bermakna

sebagai peringatan pada pertumbuhan kota yang mengabaikan soal-soal lingkungan. Tetapi
juga bermakna untuk melihat kembali soal-soal modernisme yang berlangsung dalam dunia

puisi.

Memang, jika dilihat lebih dekat, teks-teks puisi, prosa, dan teater Afrizal juga banyak

mendedah politik keruangan. Gagasannya tak sekadar melap-lap paham postradisionalisme,

melainkan menciptakan secara kreatif pikiran sendiri tentang apa yang disebut sebagai ruang

ketiga (the third space) atau ruang antara (in between space) yang bukan lagi lahir dari

kegenitan teori.

Salah satu karya prosanya, Lubang dari Separuh Langit, menampilkan prosa bergenre puisi

ruang. Ruang ketiga dalam imajinasinya dibayangkan sebagai yang berbenturan dengan

ruang-ruang kota yang menenggelamkan orang-orang paria, kota yang dalam dirinya

dibangun dari reruntuhan rumah-rumah dan puing-puing bencana; dan di atasnya, kota (tidak

harus Jakarta) telah menjelma ruang dan tempat yang saling memangsa antara berbagai relasi

kultural dan politis. Metafora tanda-tanda dan wajah kota dimaksudkan Afrizal sebagai ranah

yang mewarnai wajah kota yang menempatkan kode sekadar menjadi ajang petarungan

antarkepentingan.

Seorang kritikus, yang dikenal sebagai anak spiritual Paul Ricoeur, pernah menerapkan

pembacaan atas prosa Afrizal dengan teropong dialektika makna dan peristiwa. Sang kritikus

menuduh prosa Afrizal berhasrat ingin menuliskan puisi dalam bentuk prosa tapi karena

kelemahan tekstual maka hasilnya lebih mirip puisi yang prosais. Dengan kata lain, cacat dan

tak ada keunikan yang layak dirayakan. Beberapa kritikus lain juga menuduh puisi dan

prosanya memualkan, main-main, gelap, pastiche. Semula Afrizal tak bergeming,

membiarkan pembaca melakukan autopsi habis-habisan terhadap karyanya dengan


‘mematikan” dirinya sebagai pengarang dan pencipta teks. Karena inilah zaman ”pengarang

mati”, kata Roland Barthes.

Suatu kali ia mengambil pena dan angkat suara dengan berbalik menuduh para kritikus

sebagai vampir kebudayaan, yang berhasrat mendaki menara epistemologi tapi tanpa telinga.

Serangan lebih gencar pada dirinya pun makin menggelegar: ia dicela sebagai pengarang

yang tak pantas melakukan intervensi, karya dan otonomi pengarangnya dibunuh secara tidak

manusiawi dengan “menghadirkan sikap demistifikasi sastra yang luar biasa” kata seorang

kritikus yang ambil bagian dalam polemik untuk membela sang pengarang. Para kritikus itu

memang “tak pantas dicela jika saja mereka peka dan tidak melulu menjalankan titah Kata

habis-habisan dan petuah Abu Kasim yang memutlakkan mitos resep disiplin naratif kepada

kebebasan cipta sebagai satu-satunya kuasa manusia menyaingi Yang Mahakuasa,” kata

kritikus itu kemudian.

Mengapa hal ini terjadi? Sekali lagi, banyak kritisi terjebak pada penggunaan teori usang

dalam membaca karya yang hampir tak mungkin bisa didekati dengan teori yang mereka

gunakan. Karya seni yang dihasilkan Afrizal menampilkan tematik geometri ruang dan

wawasan visual melalui video pikiran gambar. Ratusan teori di dunia ini tapi para kritisi kita

masih asyik dengan teori dwiwarga strukturalisme-pascastrukturalisme yang oleh Afrizal

baru-baru ini disebut “gaya hidup delete dan kritik seni enter”. Lebih lanjut Afrizal

mengatakan:

Kritik seni masih membawa masalah lamanya: Kesulitan melakukan identifikasi karya, lalu

hanya bermain di tingkat konsep dan tema; menggunakan karya yang dikritik hanya sebagai

obyek justru untuk membicarakan teori-teori yang digunakannya. Kritik yang cenderung
menempatkan diri di atas karya seni. Kritik seni menjadi lipstik untuk karya yang dipuji, dan

menjadi comberan untuk karya yang dianggap jelek. Kritik yang masih bermain di tingkat

apakah karya yang dibahas bagus atau jelek, dan bukannya lebih berurusan dengan fenomena

seni yang dibawa sebuah karya. Padahal, bagus dan jelek sebuah karya seni bukanlah urusan

kritik seni, melainkan urusan pasar. Pasar bisa subyektif di tingkat konsumen, tetapi bisa

obyektif di tingkat pembentukan pasar. Kritik seni yang perannya berubah menjadi pendapat

konsumen atau pendapat pasar adalah kritik seni yang sebenarnya lebih menjalankan

perannya sebagai ‘promotor seni’”.

VIII

Jika memang puisi tak bisa dilepaskan dengan pencitraan soal ruang dan waktu, maka izinkan

saya mengeksplorasi masalah ini lebih jauh untuk melihat hubungan antara ruang dan waktu

dengan kekuasaan. Kekuasaan yang dipersepsi Afrizal selama ini ditujukan kepada penguasa

kota yang bekerja dengan memanfaatkan ruang sekaligus waktu. Kekuasaan berjalan

melintasi spasial demi spasial untuk menanamkan pengaruh, hegemoni, sekaligus

memanfaatkan waktu demi bekerjanya mesin kekuasaan.

Kekuasaan di kota berlangsung dari ruang ke ruang dan dari waktu ke waktu dengan

menanamkan pengaruh lewat berbagai objek: mulai dari memanfaatkan ruang tempat

tanaman menjalar hingga memanfaatkan pelukis dan pemahat untuk membuat ikan-ikan

plastik, angsa-angsa kayu dari Bali, juga seorang Presiden dari boneka Afrika. ”Kemana saja

kau bawa kolonialisme dan kau beri nama Jakarta 1945 yang terancam”, kata Afrizal, maka:

”Beri aku waktu, beri aku waktu untuk berkuasa”, tulisnya dalam puisi Beri Aku Kekuasaan.
Penanda waktu dalam puisi itu adalah penanda waktu psikologis dan kultural yang sangat

singkat selama kesibukan kolonialisme 1945 di Jakarta, yang dihadirkan sekadar majas atau

asosiasi mengenai operasi plastik. Bahkan waktu “1945” itu pun menjadi tak lagi bermakna

tunggal tentang tahun kemerdekaan, melainkan sebuah pencitraan tentang gaya hidup di kota-

kota besar. Operasi plastik adalah sesuatu yang mengingatkan pada Minchael Jackson dan

Dorce.

Apakah dengan mengatakan itu, Afrizal adalah seniman absurd? Sebagaimana ketika Goethe

mengatakan ”ladangku adalah waktu”. Albert Camus menamakan proses kreatifnya sebagai

seni yang absurd? Bisa jadi. Jika waktu adalah waktu, ruang adalah ruang: keduanya absurd

atau bukan absurd bukan jadi perhatian Afrizal. Waktu akan terus berjalan dalam musik

harmoni siang dan malam, atau akan berhenti membiarkan dirinya digerus mesin. Waktu

akan dihidupkan oleh waktu sendiri, sebagaimana kata Camus, karena hidup kita sendiri

dilayani oleh kita sendiri, bukan yang lain-lain. ”Saya dibentuk oleh harmoni siang dan

malam. Perbedaan siang dan malam bukan lagi sekedar perbedaan alam saja lagi, melainkan

kehidupan”. Sesuatu yang ketika pada siang ia tak tahan oleh deru bunyi mesin waktu, ia lari

seperti Charil menemu malam. Namun pada zaman ketika teknologi telah merambah segala

kehidupan, malam juga menyimpan kecemasannya sendiri. Sesuatu yang mengancam,

waswas, dan mengerikan.

Perubahan Jakarta yang begitu cepat telah membentuk keyatim-piatuan dalam dirinya.

Segalanya terbakar oleh mesin waktu. Dan ruang dan waktu bukan lagi gagasan yang historis,

melainkan tranhistoris; dalam arti melintas spasial demi spasial. Sejarah tentang ruang

memiliki jangkaun yang berputar dalam lingkaran waktu yang tampak seperti memiliki anak

panah, yang menjangkau jauh ke belakang sekaligus melanglang ribuan kilometer ke depan.
Absurditas atau bukan, gagasan ini telah menempatkan pengalaman meruang berada dalam

wilayah yang sama. Ia tidak membebaskan, tetapi mengikat. Pengalaman akan yang satu

sama sahnya dengan pengalaman yang lain. Pengalaman dengan waktu di mana-mana sama

tapi sekaligus berbeda.

Afrizal melihat waktu sebagai ke-aku-an. Dan ini menarik menggunakan tafsiran Borges

tentang waktu. Dalam Labirin Impian, Borges melihat waktu sebagai subtansi dari apa ia

dibuat. Waktu adalah sungai yang membawaku serta, tetapi akulah sang sungai itu. ”Dan

waktu adalah air”, ”seperti sungai mengalir”, kata Afrizal.

Dalam beberapa kesempatan Afrizal mengusulkan kesenian untuk kembali pada alam:

mengganti kecenderungan dunia yang khaos menjadi kosmos. Pandangan Afrizal tentang

waktu sebagai ”abad yang berlari”—sebagaimana judul salah satu buku analekta puisinya—

mengingatkan saya pada Stephen Hawking tentang ”panah waktu” (arrow of time) yang

secara kontras membedakan masa lalu dengan masa depan seraya mencoba menghadirkan

kembali waktu lampau sebagai kekinian.

Dengan pandangan waktu semacam itu, sejarah bagi Afrizal bukan sekedar kisah tentang

waktu, melainkan kisah tentang ruang, baik ruang sebagai sejarah imajinatif maupun ruang

sebagai sejarah positif. Ruang menjelma sesuatu yang konkrit atau abstrak, yang punya

makna teoritis maupun filosofis. Waktu sebagai sejarah bisa juga bermakna sebaliknya:

sejarah sebagai waktu, sebagai nostalgia yang paradoks. Sebagaimana kata kaum

posmodernis, tiap-tiap nostalgia menjunjung masa lalu yang romantis, tapi pada saat yang

sama masa lalu itu didekonstruksi: nostalgia diterima justru untuk ditampik.
Di sini mulai terkuak gagasan tentang ruang dalam konteks arsitektur dan puisi. Antara

penyair dan arsitek memiliki pandangan yang berbeda tentang ruang, bahkan berlawanan.

Afrizal seorang penyair yang tak hanya menghadirkan waktu, tapi waktu menyusun sebuah

ruang dengan menuntut kesetaraan melalui ekspresi estetik dan artistik. Sementara seorang

arsitek dan insinyur selalu berangkat dari kehendak berkuasa. ”Arsitek”, kata Nietzsche

dalam Anti-Krist: ”senantiasa diilhami oleh kekuasaan. Dan manusia-manusia yang paling

berkuasa selalu mengilhami arsitek dengan berusaha membuat diri mereka terlihat dalam

suatu bangunan, atau suatu arsitektur”.

Nietzsche mungkin terlampau generatif. Namun bila kita mengikuti gagasan Michel Foucault

dan Edward W. Said—dua filsuf yang banyak diilhami oleh gagasan Nietzsche—maka apa

yang dinamakan “kehendak berkuasa” lebih jauh ditafsirkan sebagai “kuasa/pengetahuan”; di

mana sensibilitas ruang telah ditentukan oleh permainan diskursif kekuasaan. Antara ruang,

waktu, dan kekuasaan menjelma sekeping mata uang logam yang tak terpisah, yang

beroperasi dalam setiap diskursus. Ruang menjadi wahana bagi beroperasinya kekuasaan,

yang ikut menentukan sensibilitas seluruh manusia.

Sejarah ruang adalah sejarah yang ditulis oleh jenderal yang sedang berkuasa. Dan ruang

didesaian, dibentuk, dan direkonstruksi oleh tidak hanya jenderal yang menang, tetapi juga

oleh mesin komunikasi dan teknologi global. Afrizal menyikapi politik keruangan semacam

itu melalui metafora arsitektural yang bukan hasil ciptaan manusia, melainkan kreasi benda-

benda. Setidaknya itulah tafsiran yang diberikan Ignas Kleden terhadap sajak Dalam Gereja

Munster.

Rezim kapitalisme di Indonesia telah memposisikan ruang berhadapan dengan waktu. Hal itu
kian memperteguh posisi Afrizal untuk memikirkan dua persoalan itu secara menantang.

Bahkan dalam imajinasi puisi ruang dan teater ruang-nya, apa yang dinamakan ruang telah

dihancurkan oleh waktu. Dan modernisme adalah biang keladi munculnya ruang-ruang

inflasi. Manusia-manusia masa kini hanya mendiami satu ruang realitas yang tak tersentuh;

sebuah realitas alienatif atau realitas semu.

Tapi begitulah manusia dalam kacamata kepenyairan Afrizal. Manusia yang menghamba

pada modernisme ternyata berada dalam satu ruang yang khayali, ilusif dan alienatif. Karena

paham neoliberalisme mutakhir juga, ruang dan waktu berevolusi menjadi uang, sebuah

entitas yang merupakan kekuatan sosial-politik yang bermuka destruktif dan konsumtif.

Waktu adalah uang. Ruang adalah uang. Di sini kita teringat gagasan Georg Simmel dan Karl

Marx yang sering bicara tentang uang. Kedua sosiolog ini melihat seluruh perjalanan hidup

manusia masa kini dibudak oleh uang. Dan kita tahu apa arti uang di sini: uang meniscayakan

prinsip siapa yang beruang maka dia menang dan hidup, sebaliknya, yang tak beruang akan

tergilas oleh mesin waktu. Ruang dan waktu pada akhirnya tak bisa lagi lepas dari logika

uang: apa yang kita bicarakan soal ruang dan waktu tak lain adalah bicara soal simetri antara

yang punya uang dan tidak punya uang.

Ruang dan waktu, yang dulu dipercaya sebagai pertanda untuk membedakan antara Ia dengan

ia, kini hanya soal uang. Ruang dan waktu kemudian dikapling-kapling. Dan apa yang

dikatakan Thamrin Amal Tamagola sebagai ”Republik Kapling” nyaris mendekati kenyataan.

Apa yang disebut atlas dan peta cecah jiwa menjadi alat kontrol yang paling ampuh bagi

modal untuk mengkaplingkan dan membagi-bagi bumi ke dalam proyek-proyek yang

berurusan dengan uang.


Mereka yang mengatakan bahwa waktu hilang karena dilecut modernitas, ternyata salah

sangka. Goenawan Mohamad pernah menulis tentang ”ruang L” dan ”ruang R” dengan

menampik tuduhan Lefebvre yang menyatakan waktu telah mati di tangan modernitas. Tidak,

kata Goenawan. Waktu tak pernah mati. Ia digdaya. Bahkan ketika ia diubah jadi unit

matematis sekali pun, ia justru efektif dalam ruang yang dilecut modernitas.

Walau bukan pemaknaan waktu semacam itu yang ia yakini, namun waktu dapat

dipergunakan dengan gampang untuk kelanjutan hidup. Waktu mungkin abstrak, tapi tak

kosong. Kita tak bisa lagi mengatakan, seperti Amir Hazmah, ”lalu waktu, bukan giliranku.”

Waktu akan membuat kita bagian yang tak bebas dari giliran. Ia berisi daya yang ampuh.

Ketika ”waktu adalah uang”, dan uang demikian penting, kecepatan pun kian menentukan

dan tanda ruang, misalnya tapal batas, pun terabaikan.

Dengan perangkat teknologi dan komunikasi, waktu melaju dahsyat dan kelak menjadi

bunting dan melahirkan anak kecemasan dan keterkejutan. Dan diksi puisi puisi pun ikut

mengalami keterkejutan. Sebuah efek domino yang kelak berlanjut dengan dicambuknya

waktu oleh modernitas, di mana manusia mulai dirundung kecemasan, keresahan dan

kekerasan, hingga muncul pula apa yang dinamakan Afrizal sebagai ”ruang pasca-misteri”.

Dalam pengantar naskah teater saduran karya Sam Shepard, Afrizal menegaskan bahwa teater

masa kini merepresentasikan diri ke dalam mekanisme akting untuk mengekspoloitasi

keharuan dan kekacauan, kepencangan-kepincangan sosial yang dengan mudah dapat

dieksploitasi untuk kepentingan kekuasaan.


Gagasan yang menempatkan ruang sebagai sensibilitas teater kembali ditunjukkan Afrizal

dalam pementasan naskah Keluarga yang Dikuburkan oleh kelompok Teater TESA Surakarta

(16 November 2007) yang menurut seorang kritikus yang mengikuti pertunjukan tersebut,

mengingatkan kecenderungan puisi-puisi Afrizal dengan disonansi warna yang penuh teka-

teki namun menohok-nohok ketimpangan sosial yang tengah berlangsung.

Gagasan untuk meruangkan puisi sekaligus meruangkan teater, dengan mudah akan dicap

cuma berkutat di liang lahat. Sebab, bila kita telusuri lebih jauh, baik teater ruang maupun

puisi ruang, lebih dekat dengan ilusi ketimbang kenyataan.

Gaston Bachelard—filsuf Prancis abad ke-20 yang menulis buku La poetique de l’espace atau

The Poetisc of Space (1964)—yang banyak disinggung para sastrawan dan kalangan arsitek

di Prancis, memberikan pandangan yang brilian tentang puisi ruang. Saya tak tahu apakah

Afrizal pernah bertemu karya yang mulai klasik dan sulit didapatkan di toko buku ini. Buku

itu pernah disinggung Edward W. Said dalam Orientalism dan muncul dalam ulasan singkat

Goenawan Mohamad tentang flaneur dan pelacur (2002) atau sekilas dalam catatan

pinggirnya yang bertajuk Rumah (12 Oktober 2003).

Said bahkan memanfaatkan temuan Bachelard—filsuf Prancis yang dipuji Ali Syari’ati

sebagai ”pemikir besar abad ke-20 yang dapat disejajarkan dengan Descartes dan Plato” itu—

untuk menyerang praktek diskursif geografi imajinatif kaum orientalis. Untuk meyakinkan

argumennya, Said mencontohkan sebuah ruang dari sebuh rumah: ruang dari dalam sebuah

rumah, menurutnya, akan memperoleh suasana keakraban, kerahasian, atau keamanan, yang

nyata maupun yang khayal, disebabkan karena pengalaman-pengalaman yang mengisi ruang

tersebut.
Ziarah meruang dengan sendirinya tak mudah disampaikan atau diucapkan, bukan karena

kata tak sanggup berkata, tapi karena pengalaman tersebut melampaui logos. Ruang obyektif

dari sebuah rumah, sudutnya, gang, kamar maupun loteng-lotengnya, jauh kurang penting

dari apa yang dilekatkan atau diisikan kepadanya secara puitis, yang umumnya menampilkan

suatu kualitas dengan nilai imajinatif atau figuratif yang dapat kita rasakan atau kita beri arti.

Gagasan Bachelard kita baca secara samar-samar juga dalam esai Yudi Ahmad Tajudin,

Ruang dan Sensibilitas Teater. Kendati tak menyinggung sedikit pun nama dan karya

Bachelard ini, gagasan Yudi tentang ruang, waktu, tempat, agaknya sangat dekat (kalau

bukan malah dipengaruhi) dengan gagasan Bachelard. Menurut Yudi, sebuah rumah sebagai

sebuah ruang ialah: ”konsepsi dan imajinasi saya perihal kenyamanan dan kemapanan

emosional tertentu, yang kemudian coba saya terjemahkan ke dalam sebuah ‘tempat’, di

mana saya bertemu keluarga—yang saya cintai dan mencintai saya—secara rutin setiap hari.

Warna cat, tata ruang, dan bagaimana benda-benda harus diletakkan di dalamnya adalah

manifestasi atas imajinasi ruang kenyamanan dan kemapanan emosional saya”.

Sebuah ruang dalam sebuah rumah memang bisa menyeramkan sekaligus bisa terasa teduh,

nyaman, mirip ketika kita sedang duduk di bawah pohon rindang sore hari.

Puisi ruang, karena itu, merupakan personifikasi bagi sang penyair untuk menaklukkan ruang,

tapi bisa juga dibaca sebagai pencarian realitas kelangsungan komunikasi dalam ruang puisi.

Ruang, sebuah petak atau kotak biasa, berubah menjadi suatu realitas ganda.

Dalam film-film hantu—atau ”fenomena hantu sensual” kata Afrizal—ruang dalam sebuah
rumah kerap kali digambarkan sebagai sesuatu yang mistis dan magis, sesuatu yang bukan

dunia Afrizal yang rasional. Afrizal memang agak dekat dengan Habermas yang menganggap

rasionalisme belum selesai dan masih percaya pada rasionalisasi atas kata dan ruang yang

bisa bisa diukur alias ruang yang logis.

Seperti film Nyai Blorong (1982), Pembalasan Ratu Laut Selatan (1989) atau The Sixth

Sense (1999) di Barat, jelas tak sesuai dengan rasionalisasi yang masih dipercaya Afrizal.

Sebuah rumah biasa, ketika bersentuhan dengan yang sensual, menjadi rumah sensual.

Rumah yang meliputi suasana yang melibatkan emosi melalui semacam proses puitis; di

mana ruang lengang dan ruang kosong yang semula tak berpenghuni bisa diberi arti

bermacam-macam oleh penonton atau pembaca. Demikian pula ketika berurusan dengan

waktu, banyak hal yang diketahui atau sering diasosiasikan mengenai kurun waktu tertentu—

waktu kalendris atau waktu geometris—ternyata sangat berbeda dan bahkan ilusif.

Membicarakan soal ruang dalam teater maupun puisi akan melibatkan rasa hayatan yang

terkadang menjelma berupa pengalaman ziarah meruang atau melampaui ruang itu sendiri.

Ketika membaca naskah teater saduran Konstruksi Keterasingan (1983), Ekstase Kematian

Orang-Orang (1984), dan teater asli Biografi Yanti Setelah 12 Menit (1991), saya kerap kali

membayangkan keberadaan sebuah keluarga dalam sebuah rumah yang gaduh tetapi

menyeramkan dan membikin suasana mencekam.

Dalam naskah teater Migrasi Dari Ruang Tamu (1993), Afrizal malah membaurkan yang

matematis dengan situasi manusia dan dunia yang tampak chaos melalui kehadiran mikropon,

pencukur jenggot, sisir, pengering rambut, peti kemas, peta dunia, daun kelapa, payung, satu

set kursi, perlatan makanan, robot mainan, dan sebagainya, yang satu sama lain tak saling
berhubungan, acuh, asing. Puisi Mikropon yang Pecah menampilkan situasi manusia yang

mati digilas mesin teknologi. Dan kecenderungan ini terus kita temukan dalam teater Biografi

Yanti Setelah 12 Menit yang menghadikan situasi manusia yang kalap melalui ”gramatika

benda-benda urban” di atas panggung: lemari pakaian, meja tulis, tempat tidur, bak mandi,

kompor penggorengan, wastafel, cermin, piring, dan banyak lagi.

Konsep teaternya disebut ”narasi dari tempat tidur” dengan tempat pertunjukan yang bebas:

bisa berlangsung di dalam kamar, dalam lapangan basket, atau dalam kantor yang sibuk. Para

pemain teater Biograf Yanti adalah Yant 1, Yanti 2, dan Narator yang siapa saja, terbatas.

Tengok misalnya salah satu ”dialog” antara Yanti 1 dan Yanti 2 yang dimulai dari pernyataan

sang narator:

Narator :Tuan, Nyonya, aku tidak mengenakan celana dalam malam ini

Yanti 1 :Hik, hik, hik, urban itu mulai menjadi orang kota. Bahasanya seperti ember di kamar

mandi. Tanganmu besar, Papi.

Yanti 2 : Lihat, langit cerah, bintang-bintang, bulan di luar jendela. Dan aku tahu, aku tidak

perlu mengenalmu. Aku tidak pernah menghitungmu sebagai biografi, atau yayasan

mengurus masalah sosial. Setiap aku berjumpa tiang listrik, aku merasa heran: Kenapa orang

merindukan orang lain.

”Kita masih mencari bayang-bayang kita sendiri pada orang lain”, kata Yanti 1 di tempat dan

pada adegan lain. Di sini muncul dialog-dialog yang mencerocos dengan bahasa Jerman dan

Indonesia, yang merupakan wawancara antara Boedi S. Otong (sutradara Teater Sae waktu

itu) dengan Anouk Sutajo (penari keturunan Indonesia-Jerman). Penonton dibuat puyeng oleh

tampilan para pemain dan benda-benda urban yang aneh di atas panggung, yang belum lazim
di Indonesia sampai awal 1990-an, walau Rendra telah menggebrak panggung teater sejak

1970-an.

Walhasil, pentas Biografi Yanti Setelah 12 Menit mampu melambungkan nama Afrizal

sebagai penulis naskah yang pantas diperhitungkan. Para kritikus cukup banyak

membincangkan karya ini sampai beberapa tahun kemudian.

Setelah karya ini, masih terdapat lagi teater garapan Afrizal yang unik: Pertumbuhan Di Atas

Meja Makan (yang merupakan edtor sekaligus penulis salah satu naskah berjudul Jakarta

1988, yang merupakan adegan pembuka dan Jakarta Jam 11 Malam yang merupakan adegan

terakhir sekaligus penutup). Agaknya, teater Afrizal tak ingin berbagai dengan para penonton,

kendati para penonton sendiri di beri ruang yang longgar untuk menafsirkan teks teaternya

yang cenderung gelap.

Saya teringat salah satu pendapat para kritikus dalam diskusi di Yogyakarta tentang teater

Afrizal, yang dimuat dalam esai pengantar karya Semangka yang Dikuburkan saduran Afrizal

sendiri atas karya terjemahan Akhudiat, Buried Child (1978) karya Sam Shepard:

Karena masyarakat bukanlah bagian dari teater, ia juga bukan obyek teater. Setelah

masyarakat(-penonton) keluar meninggalkan ruang teater, ia kembali kepada kehidupan

seperti biasanya. Bahwa tidak ada sebuah jaminan pun yang beralasan untuk membuat

masyarakat turut menjadi pemain teater. Teater diciptakan bukan secara harafiah ditujukan

untuk masyarakat penontonnya, tetapi kepada nila-nilai yang hidup di sekitarnya. Di sini

teater tidak mengabdi pada masyarakat.


Kecenderungan ”ideologi” teater yang demikian dengan berganti-ganti dan sering berubah-

ubah. Tengok bagaimana Afrizal mempersonifikasikan kata-katanya dalam Migrasi Dari

Ruang Tamu (1993) yang mengingatkan pada sajak Migrasi Dari Kamar Mandi dan

Personafikasi Dari 70 KM, yang mengimpor benda-benda di atas panggung menjadi benda

artistik-puitik yang tak lain adalah puisi: “Dia sedang mencukur jenggot dengan mikropon.

Terdengar suara orang mandi. Seseorang melintas sambil menyorot rambutnya dengan lampu

senter. Di meja sebuah robot kecil berjalan mengitari meja.” Tak ada kalimat yang saling

bertaut. Masing-masing berdiri sendiri dan para tokohnya asyik dengan dunianya sendiri-

sendiri.

Di sini kita bisa melihat bagaimana gagasan Afrizal tentang teater kamar atau teater ruang

telah bersinggungan dengan gagasan skizofrenia bahasa atau bahasa skizofrenia. Berbagai

dialog dan monolog susul-menyusul, dan benda-benda di atas panggung pun seakan ikut

berdialog dengan lontaran-lontaran kata aneh dari para pemainnya. ”Dia sedang menunggui

mikropon, seperti serdadu. Dia bergerak sambil mengeringkan rambut. Terdengar siaran

radio di Australia. Salju turun. Udara dingin. Seseorang mengantar televisi yang menapak di

atas baki”.

Demikian, kita dibuatnya mengalami skzofrenia pula lantaran bertubi-tubi dijejali kata-kata

dengan kalimat-kalimat buntung, dissonansi, dan masing-masing seperti terpaut tapi terpisah

dan masing-masing saling unjuk kebolehan. Teater Migrasi Dari Ruang Tamu diam-dam

menampilkan apa yang dinamakan sebuah rumah dan pulang dalam teater. Dan ketika

percakapan sedang terjadi dengan intens antara Tuan Rumah dan Tamu yang berganti-ganti,

sang Tamu tiba-tiba nyelonong sambil berseloroh: ”Idiih, cukur kumis saja genit”. Dan Tuan

Rumah ”menimpal” atau bergantian meracau tentang rumah:


Rumah ini membuatku tambah tidak mengerti. Semua benda seperti menyusunku,

mengajakku pulang. Tapi pulang kemana? Siapa yang berkata-kata sebenarnya? Hanya

benda-benda dan tubuhku yang sendiri. Tidak ada sidang kabinet di sini, juga presiden. Tapi

aku seperti dipimpin, oleh kursi tamu itu. Ia menyiksaku seperti bahasa dalam kepalaku. Ia

adalah sekumpulan tentara, yang menyerbuku tanpa peperangan. Ada negara yang tidak

memahami ruang di sini…

Rumah dan pulang ternyata bukan sesuatu yang istimewa bagi si aku. Kendati ada yang

mengajaknya pulang, ia seperti terheran dan bertanya: pulang kemana? Jika kita kaitkan

dengan Afrizal, maka jelas ia bukan anak desa yang merantau ke kota lalu rindu kampung

halaman dan mendesaknya untuk pulang ke desa kembali. Pulang ke rumah mana? Afrizal

tak berumah dan hidup berpindah-pindah. Rumah orang tuanya di Jakarta, yang kini sudah

tiada, dan ia hidup berkelana dari Jakarta, Tangerang, Bekasi, lalu hijrah ke Solo, dan kini

tinggal di Yogyakarta, dan besok entah ke mana.

IX

Rasanya kurang lengkap bila saya berpanjang-panjang membicarakan puisi ruang dan teater

ruang dalam konteks ruang kota dan rumah sejarah dalam pertemuan dengan karya seni

Afrizal, tanpa saya menyingung gagasan seorang penyair sekaligus esais yang belakangan ini

banyak bicara soal waktu dalam konteks puisi. Penyair ini menawarkan pembicaraan tentang

kajian sebuah kota melalui sebuah “teropong dari bawah”.

Syahdan, ketika iringan becak memadati kota Jakarta tahun 2001, sambil membawa poster
dan melengking nyaring di jalan-jalan raya di ibu kota, tak sampai setahun kemudian muncul

sang penyair yang juga esais terkemuka yang menuliskan kesannya tentang sebuah kota yang

dihuni pelancong, pelacur, tukang becak, dan tukang pancong. Sang esais tak ketinggalan

menyebut nama-nama sastrawan dan seniman Indonesia berikut karyanya, yang telah

mengguratkan pena yang paling pribadi tentang imajinasi sebuah kota bernama Jakarta.

Setelah merasa menemukan sesuatu yang bisa diberi makna sekaligus punya signifikansinya

terhadap karya sastrawan dan seniman yang dirujuknya, sang esais menulis suatu risalah

dengan kesimpulan yang cukup menohok kesadaran: seorang sastrawan, katanya, senantiasa

meneropong kota—berikut segala dinamika di dalamnya—melalui teropong “dari bawah”.

Sementara seorang kritikus yang berkehendak pada keilmiahan, meneropong kota “dari atas”.

Karena itu ia pun menawarkan sebuah pandangan yang agaknya relevan bagi penyair saat ini.

Baginya, terlampau mengingat masa lalu akan membelenggu ruang gerak sendiri, karena itu

sikap yang jumawa adalah menerima kehilangan masa lalu dengan lapang. Untuk

menguatkan argumennya tentang masa lalu yang mesti segera ditinggalkan dalam poses

penciptaan sajak maupun prosa, dengan tanpa risih dan tanpa rasa bersalah ia mengambil

contoh cerita pendek dalam kumpulan Cerita dari Jakarta karya novelis terkemuka kita. Lalu

ia sampai pada kesimpulan kedua, yang agaknya perlu saya sampaikan di sini:

Desa atau pedalaman, tak merupakan entitas yang lebih suci, apalagi lebih luhur, yang kita

lihat dalam kumpulan cerpen Cerita dari Jakarta; bahkan dalam kumpulan cerita pendek ini,

kesucian dan keluhuran bukanlah persoalan yang utama. Tokoh dalam cerpen “Kecapi” yang

hidup murung di Jakarta, misalnya, tahu bahwa di dusun asalnya di daerah Lembah dan

Gunung, kecapi bisa terdengar tiap saat, tapi di sana tanahnya terlampau sempit dan ia
teramat miskin, dan sebab itu desa tak memberinya dasar.untuk pulang.

Bahkan justru di kota, di mana seseorang bisa mengikuti imajinasinya sendiri dan mau

mengerjakan sesuatu yang baru, meskipun ditertawakan oleh orang banyak di sekitarnya,

tokoh Maman yang miskin tidak tenggelam, bahkan ia mampu berdiri tegak. Tokoh-tokoh

lain adalah penjahat, pelacur, atau pembunuh: di kalangan ini, apa yang suci dan luhur terasa

hanya ada dalam percaturan orang-orang yang jauh dari kaki langit kota Jakarta.

Pandangan yang menohok mereka yang masih merindukan masa lalu dan ”tasik yang tenang

itu”—yang selalu dipinjamnya dari Takdir dan digunakannya dalam setiap kesempatan untuk

mengkritik—kian diperkuat ketika sang esais melakukan piknik ke dalam teks pemikiran

mancanegara dan bersua dengan karya-karya sastrawan dan filsuf dan teoritikus yang piawai

berbicara tentang kota atau bandar. Kesimpulan yang cak rata itu seolah sedang membidik

sasaran tembaknya pada kritikus yang terlampau memaksakan kacamata atas dalam menilai

karya kreatif.

Kesenian dan kesusastraan, kata sang pengisah yang bernama Goenawan Mohamad itu, tak

mengorganisasikan pikiran, melainkan sebuah ritme, bunyi, dan suasana nada-nada.

Kesimpulan ini terlampau menekankan definisi pikiran bukan sebagai bagian dari sensibilitas

tubuh, tapi melulu sebagai organ luar yang terpisah dari roh-jiwa-badan. Sang pengisah tak

yakin bila pikiran termasuk dalam bidang psikologi, walau ia mantan mahasiswa psikologi

yang cerdas, yang ketika sedang berkecamuk justru bisa melahirkan nada-nada, bunyi-bunyi,

dan gemerincing suara di kepala. Bukankah dalam bahasa Indonesia kita mengenal istilah

“akalbudi” atau “akalbudi-tubuh”; yang merupakan paduan akrab antara pikiran-perasaan.

Nalar tempat berkecambahnya pikiran tak mungkin dipisahkan dari darah daging akalbudi,
sebab ia bagian tak bisa dicecah-kunyah.

Apa yang biasa kita namakan sebagai pikiran—seperti pernah disinggung Max Muller yang

walau pun bukan dalam konteks komunikasi—ibarat satu sisi mata uang logam yang sisi

lainnya adalah bunyi yang bertekanan (atticulate sound), sementara mata uang logam itu

tunggal tak terbelah. Jadi, bukan pikiran sesungguhnya, bukan pula bunyi, tapi kata itu

sendiri.

Pramoedya Ananta Toer banyak bicara soal konflik penokohan dalam konteks pencarian

tempat tinggal atau tanah air, tapi apa yang tersirat dalam analekta cerpen Cerita dari Jakarta

bukanlah satu pandangan yang bulat sekaligus mewakili seluruh karya sastrawan kita ini.

Dalam cerpen Jakarta (bertitel 3 Maret 1947), Pram justru melukiskan tokoh Ridwan yang

kalah dalam perjuangannya, yang cuma sekedar untuk tinggal di Jakarta saja tak betah.

Ridwan akhirnya harus hengkang, mencari kedamaian hati di desa yang sepi. Rencana tinggal

di Jakarta selama-lamanya dibuyarkannya dan ia kemudian pulang mencari kedalaman yang

baru di desa. Dan dalam melukiskan konflik perjalanan Ridwan pulang ke kampung halaman

di desanya, Pram dengan gamblang menyatakan bahwa apa yang dimiliki sang tokohnya

hanyalah sebuah arca yang ditatahnya dalam hati gadis pujaannya. ”Selamat tinggal,

Jakarta!” Demikian ucapan Ridwan di bagian akhir cerpen ini.

Demikian pula dalam cerpen Sunyi Senyap Di Siang Hidup (Juni 1956), Pram menarasikan

niat tokohnya yang mendekati cerita biografis yang sangat kuat, di mana sang tokoh pergi

meninggalkan kota praja yang telah menghidupkan aneka cerita tentang kegagalan. Dalam

cerpen ini Pram melukiskan pergulatan dalam perjalanan tokohnya dalam revolusi. Rumah

menjadi pusat segalanya. Pusat dari kehidupan penghuninya. Sebagai eksistensi manusia.
Sebagai pusat kembali atau pulang dari persiran atau rantau. “Pulang berarti kembali ke

mahia, kembali dalam ikhwal yang dialami sebagai milik kita sendiri”, tulis M.A.W. Brouwer

suatu kali, sambil melanjutkan: “apa yang dinamakan milik ialah tempat-diam: tempat di

mana kita berakar; di mana di rumah kita merasakan kenyamanan, adanya perlindungan dan

keamanan”.

Rumah tak akan mati dalam memori manusia karena ia telah menjadi bagian darah dan

daging. Ia akan selalu dikenang, akan memunculkan suasana rasa rindu untuk kembali.

Rumah merupakan cerminan dari sebuah kosmos. Tempat berlangsungnya kehidupan.

Karena itu sering bersifat sakral. Rumah adalah sesuatu yang sakral atau disakralkan, yang

sering ditempel hiasan untuk menunjukkan keberkatan. Berbagai aktivitas dan waktu luang

manusia sering berhubungan dengan yang wingit. Inilah yang ditekankan berulang-ulang oleh

Mircia Eliade dalam pembahasan tentang simbol dan homo religius dan homo viator dalam

kaya-karya ilmiahnya.

Gaston Bachelard, yang banyak mengaitkan puisi dengan ruang, melukiskan rumah sebagai

kandungan dan sarang serta kepercayaan terhadap lingkungan dan waktu. Dimensi rumah

tidak hanya horisontal tapi juga vertikal, sebagai cita-cita dalam eksistensi manusia. M.A.W.

Brouwer juga menegaskan pentingnya ruang dalam sebuah rumah dalam buku Psikologi

Fenomenologis (1983). Menurutnya, bicara tentang ruang dalam rumah adalah bicara tentang

ruang angka-angka, yang mengungkai tiga perspektif, yaitu dari kamar di mana saya

membaca buku, dari kamar orang yang bicara, dan dari ruang angka-angka sendiri. Manusia

membuat ruang dengan mata atau perspektif visual dengan gerak dan gestikulasi, juga

perabaan.
Ada selisih pendapat apakah ada ruang akustis. Kalau ruang ialah persepktif, maka persepktif

sendiri ialah corak di muka latar belakang. Bunyi seringkali diamati dari halaman belakang

sebuah rumah. Padahal kita tahu: dimensi dasar manusia bukanlah ruang, melainkan waktu.

Dan waktu adalah ”hal mengada”, sebagaimana dianut Afrizal dan kebanyakan kaum

eksistensialis. Sebuah lukisan dari hal mengada sebagai waktu lalu, sekarang, dan nanti.

Ketiganya menjadi satu. Tanaman menjalar misalnya, seperti sering dilukiskan Afrizal

dengan gaya filosofisnya, menandakan bahwa waktu merambat, dinamis, tumbuh dan

berproses. Tapi waktu manusia mengalami hal berbeda ketika menjelma ”waktu adalah air”

sebagai waktu yang terhenti.

Kesadaran manusia sering kali retak dan merupakan waktu dari bayangan, atau bahkan dari

momen, di mana perubahan membeku dan akhirnya hanya menjadi citra atau imaji.

Pengalaman meruang dan mewaktu merupakan prinsip vital dan vegetatif dan dapat

dihubungkan dengan air yang mengalir dalam sungai. Waktu adalah air, seperti sungai yang

mengalir. Maka mengalami ialah menerima pengaruh, mengasimilasikan ke dalam hidup,

menderita semacam ada-aksi. Dalam pengalaman kita tak membuat jarak. Luruh-larut

menyatu jadi satu. Satu yang tak menipu.

Afrizal berkali-kali ingin ”mengembalikan” ruang dan waktu pada alam. Dalam teks acara

Meruwat Bumi tahun 1998 misalnya, ia merefleksikan kesenian untuk kembali kepada alam,

bukan terus-terusan mempersepsi seni sebagai pemberontak senimannya terhadap konvensi.

Dengan kembali ke alam, seni yang mengalami ketegangan atau khaos, akan kembali ke

kosmos yang mengatur benda-benda berdasarkan lokalisasi, temporalisasi, dan spesifisitas.

Waktu dari alam bukan waktu arloji atau waktu kalender, melainkan hadirat atau waktu yang
menyekarang. Dalam waktu arloji tidak ada perbedaan jam satu siang dengan jam satu

malam, jarum arloji menunjuk pada angka yang sama. Waktu alam ialah mengalir. Karena

itu, waktu bisa mandek, beku. Sementara ruang bisa tembus pandang dan menjelah bidang

liputan. Corak alam adalah keseluruhan prinsip-prinsip dan pengaturan relasi sesuai dengan

dorongan vital dari manusia yang mengkonstitusikan alam. Tendensi mengasimilasikan

benda-benda dalam hampir semua karya—puisi, prosa, teater, seni isntalasi, dan video—

bukan menampilkan ekspansi difusi sebagaimana sering disinggung para kritis postmodernis,

melainkan aliran vital yang berjalan teratur.

Tendensi seni yang kembali ke alam tradisional, menunjukkan persoalan ketidaksadaran.

Semakin berkurang kesadaran, semakin ia kembali kepada tradisionalisme. Dan itu diulangi

secara ritmis. Semua titik peralihan menentukan batas relasi. Sampai batas itu, alam seakan

membuka diri baginya. Sementara di luar dirinya, ia memilih posisi yang lain. Pengalaman

berdasarkan relasi antara kita dan benda-benda, tetapi relasi itu tak bisa ditempel atas benda-

benda itu. Dengan pengalaman saja, pengaruh dari benda-benda sudah selesai sehingga

pengaruh dialami secara absolut.

Namun, sebagaimana sering diilustrasikan Afrizal, ruang dan waktu dari alam itu kini

mengalami perubahan seiring ditemukannya pengolahan yang serba-mesin. Waktu menjadi

mesin, atau mesin waktu. Ruang menjadi bermuka-muka dengan waktu. Di zaman

sekularisasi yang menciptakan demistifikasi terhadap manusia dan desakralisasi terhadap hal-

ikhwal yang disucikan ini, segalanya menjelma mesin. Rumah yang semula disakralkan, kini

dihancurkan oleh mesin. Menjelma rumah mesin (corbusier). Jika benar bahwa isi rumah

menunjukkan mentalitas penghuninya, maka manusia yuang menghuni rumah di zaman ini

mengalami keretakan dan kecemasan, seperti dalam sajak “Mitos-mitos Kecemasan”.


Kembali pada alam adalah menciptakan rumah tidak sebagai penjara bagi manusia. Tapi

rumah sebagai kediaman kemanusiaan. Kembali pada alam menciptakan suasana alam

melalui “lubang-lubang dari separuh langit” yang menghubungkan ruang dalam yang sempit

dengan ruang luar yang luas. Itulah yang dilakukan Afrizal dalam rumah yang pernah

ditempatinya, termasuk rumah di Billy Moon H1/7 yang pernah kami tempati secara bersama.

Jendelanya diperbanyak, pintu-pintu mulai bertambah, lalu di dalamnya ditempel dekorasi

benda-benda dan lukisan abang becak.

Di rumah Billy Moon Jakarta Timur ini, batas antara ruang kerja satu dengan ruang kerja lain

menjadi lebur. Pagar rumah ditiadakan hingga pemandangan sekitarnya tampak asri. Apakah

ini bagian dari nostalgia masa kecil? Ataukah Jilan, anaknya, yang mengajarkan kepekaan

tubuh dan pikiran dalam menghayati ruang dan pemandangan? Ataukah anjing-anjing yang

kencing berdiri yang berkali-kali tampil dalam puisinya, prosanya, naskah teaternya, ”video

puisi”-nya?

Tatkala saya menyinggung soal ruang dalam konteks karya seni Afrizal di muka, maka tak

bisa dilepaskan dengan soal waktu. Banyak sekali imaji waktu dalam sajak, seperti Abad

yang Berlari, Ekstase Waktu, Jam Malam, Waktu yang Kembali, Waktu yang Mendesak.

Sementara ruang diekspresikan sebagai yang berhubungan dengan waktu, baik yang secara

imajinatif maupun figuratif. Ruang memperoleh suasana keintiman, kedekatan, baik yang

nyata maupun khayal, mungkin disebabkan oleh pengalaman-pengalaman sang seniman

dalam mengisi berbagai relasi dalam ruang. Pengalaman meruang itu diekspresikan dengan

menawan oleh Afrizal dalam bahasa geometri ruang imajinal. Kenyataan ini menunjukkan

kesungguhan yang penuh risiko. Namun bagaimana pun, sebuah ruang meniscayakan
keterbatasan. Ruang tersekat oleh bidang atau materi. Karena itu kita sering mendengar orang

mengatakan bahwa pedalaman atau kembali ke pedalaman adalah kembali ke bahasa ruang.

Afrizal masih terpesona dengan pikiran yang serba-struktur dan serba-ruang. Kotak-kotak

sering hadir dalam bangunan arsitektur sajaknya. Tapi pada saat yang sama Afrizal

melakukan transit dan eksit melalui ziarah meruang: ziarah yang melampaui ruang dan

waktu. Afrizal menunjukkan sebuah paradoks dan ironi kembar siam: ia kembali ke struktur

tapi sesungguhnya menolak struktur. Karya seninya mencoba melintasi spasial-spasial dan

gagasan-gagasan geometris dan bentuk metrum, tapi pada saat yang sama ia dengan mudah

kembali ke geometri ruang.

Pada berbagai kesempatan Afrizal sering menjelaskan acuan estetiknya tentang geografi dan

lanskap dalam puisi sebagai teka-teki yang masih tersembunyi. Dengan meminjam telisik

Octavio Paz pada Levi-Strauss, harap dimaklum jika karya seni yang dihasilkan Afrizal

sering tampak ketidakberaturan karena ia memilki arti yang tersembunyi. Dan hal ini

bukanlah kehadiran bersama berbagai bentuk dan benda-benda yang hingar-bingar,

melainkan kemunculan paduan ruang-waktu tertentu di suatu tempat. Sebuah era-era geologi,

kata Paz. Persis seperti bahasa, lanskap dalam sajak bersifat diakronis sekaligus sinkronis.

Apa yang tersembunyi itu, yang gelap itu, adalah sehimpun tanda, sebuah struktur yang

memberi arti pada lapisan-lapisan yang berada di atasnya. Masyarkat adalah sehimpun sistem

tanda, yang memiliki oposisi antara petanda dan penanda.

”Saya kembali ke struktur”, kata Afrizal dalam sebuah wawancara di Jurnal Nasional. Saya

pun menyimak karya seninya dengan rasa penasaran; apa betul Afrizal kembali ke struktur

atau pasca-struktur? Ada bau pergulatan hidup yang tampak kepenuhan dalam aku lirik, dan
ini cukup eksplisit saya temukan lewat bentuk ekspresi “pedalaman”, seperti mitos yang

menghadirkan struktur bawah sadarnya yang tersembunyi. Tetapi kita hampir tak

menemukan pantai di dalamnya. Ketika menyinggung ”latar depan” dan ”latar belakang

dalam konteks geografi puisi, Afrizal pun menghadirkan ”desa sebagai latar depan” dan

meninggalkan kota karena dianggap sebagai ”latar belakang”.

Demikian pula soal waktu. Dalam karya-karyanya saya menemukan pemaknaan seutas waktu

melalui apa yang pernah disebut Octavio Paz sebagai “waktu-luncur yang berdatang

kembali”. Sebuah kewaktuan yang khsusus: masa lampau yang selalu masa depan dan selalu

siaga untuk menyekarang; siaga untuk menghadirkan diri sendiri yang meniadakan

temporalitas (luncurnya waktu) dalam rangka merealisasikan diri.

Di sisi lain, gagasan seni visual dalam karya Afrizal, sering mengulang hubungan rangkap,

tetapi bukan waktu, melainkan ruang. Seperti sebuah lukisan, yang adalah ruang yang

merujuk ruang lain atau ruang yang menciptakan ruang lain, yang dipintas oleh waktu

kronometris yang dapat di putar-undur seperti waktunya puisi dan mite. Bahasanya

menampilkan suatu pola metrum, sebuah “seni merakit sajak”, untuk menggunakan istilah

Octavio Paz.

Afrizal sendiri memang bermimpi untuk bisa memasuki kata seperti memasuki “sejarah

tubuh”, yakni sejarah tubuh dari tubuhnya sendiri. ”Saya ingin menggunakan kata seperti

saya bernapas, seperti kaki saya berjalan, seperti tangan saya memegang, memeluk atau

mencakar, seperti darah saya yang mengalir dan emosi-emosi tak sadar saya. Untuk

merasakan seperti itu saya harus memasuki cara berpikir dunia visual. Kini cara berpikir

dunia visual juga tidak mudah lagi. Saya merasa begitu terdominasi oleh billboard-billboard
iklan-iklan besar di jalan-jalan hampir seluruh kota besar di Indonesia. Saya merasa

tercemari”..

Dalam travelingnya ke lumbung-lumbung mitos dan legenda lama masyarakat bahari

Nusantara, Afrizal bertemu dengan waktu-waktu khusus, baik yang bersifat geometris

maupun eksistensialis: ”burung yang membuat sungai terpanjang di dalam waktu, dan waktu

adalah air”, tulisnya dalam puisi “Sebutir Telur Di Belakang Punggungku”.

Waktu dipersepsi sebagai sungai yang mengalir menuju ak terhingga. Ketika sang penyair

melakukan ziarah melampaui temporalitas ruang, pada saat itu puisi-puisinya muncul nyaris

tanpa bentuk dan tak lagi berstruktur. Di sinilah letak paradoks puisi-puisi Afrizal. Karena

puisinya sering tak berstruktur walau sebenarnya ia kembali ke struktur, maka si penyair

dengan bebas keluar masuk dalam ruang dan waktu untuk mengembangkan bahasa

pengucapan yang khusus. Namun karena tak juga menemukan apa yang dicari, ia kembali ke

struktur yang klasik melalui dissonansi warna serta melukis dengan kata-kata.

Dalam konteks teater misalnya, Afrizal cukup berhasil ”mempertemukan ” benda-benda

dengan manusia sebagai bagian dari kerja kesenian lebih luas. Pergulatan Afrizal sebagai

seniman tampak menemukan medianya justru dalam puisi dan teater. Tapi belakangan Afrizal

melakukan eksperimen lewat video art. Namun, baik teater, seni instalasi, video, semuanya

bermuara pada puisi. Apa yang diungkapkan Afrizal itu-itu juga: yaitu puisi disonansi warna.

Namun teater Afrizal tampak begitu pelit untuk membuka rahasia-makna kepada penonton.

Apakah yang bisa kita bayangkan jika sebuah panggung teater dirancang dengan cantik, para

aktornya orang-orang hebat, dan sutradaranya Afrizal Malna yang sangat berpengalaman dan
dikenal luas di masyarakat sebagai penulis naskah lakon terbaik, namun pertunjukan

teaternya tidak ditonton orang? Apakah signifikansi teater tanpa kehadiran penonton?

Barang kali mirip seperti kisah tentang sebuah persiapan pesta perkawainan yang yang

meriah-riang-gembira dengan dekorasi interior dan eksterior yang aneka warna dan gaya,

serta kemerlip lampu yang bercahaya warna-warni, namun salah satu calon pengantinnya

berhalangan datang, seperti dilukiskan dengan baik dalam konteks kesadaran eksistensialis

oleh almarhum N. Driyarkara dalam Percikan Filsafat (1964).

Atau, jika kedua contoh itu tak juga meyakinkan, maka baiklah saya kutipkan pendapat

kritikus teater sekaligus aktor ternama Rusia, Stanislavsky, yang salah satu karyanya

diterjemahkan dengan cantik oleh Asrul Sani: Persiapan Seorang Aktor (1978). Sehebat apa

pun naskah teater dan sutradaranya, seindah apa pun pertunjukan teater dirancang dan

disajikan, apalah artinya jika tanpa kehadiran penonton. Para penonton memang sering

menekan para aktivis teater, dan tak jarang menakutkan bagi para aktor, tapi penonton juga

yang menumbuhkan energi kreatif yang sesungguhnya dalam dunia teater.

Maka, agak aneh bagi saya kalau ada seorang pekerja teater sengaja menciptakan

pertunjukan-pertunjukan teater ruang dan indoor tapi tak mempertimbangkan selera

penonton, atau sengaja agar karya panggungnya tak diminati para penonton. Dengan

beralasan bahwa karya besar selalu sepi dari penonton, banyak yang menciptakan naskah dan

menyiapkan aktor-aktor berpengalaman dan perancang panggung agar jika ada yang

menonton karyanya merasa muak, mual, pusing, dan mengalami skizofrenik.

X
Cukup beralasan jika Dami N. Toda dalam epilog buku Kalung Dari Teman menempatkan

Afrizal sebagai salah satu anggota tubuh yang dikiaskannya sebagai ”mata kepala” dalam

perpuisian Indonesia modern, walau cara pembacaan semacam ini mengandung bias

nihilistik. Menengok puisi-puisi dan cerita pendek Afrizal yang menyempal dari kebanyakan,

kendati tak sepenuhnya juga berada dalam diskontinuitas, membuat pembaca sering kali

bermuka dua: kagum sekaligus bingung; di tantang sekaligus dibuat bimbang. Apa lagi bila

saya bertemu dengan permajasan anjing, seakan sosok anjing itu begitu nyata. Padahal tak

satu pun puisi atau prosa Afrizal yang menampilkan puisi konkrit menyerupai anjing,

melainan sekedar metafor-metafor atau kalau boleh dipakai, metomin-metomin yang

dihadirkan sebagai salah satu media komunikasi dalam sajak.

Setelah melanglang dengan kata-kata, lalu bermain dengan benda-benda, kemudian kini

dengan pencitraan binatang-binatang, Afrizal meminta bantuan tenaga anjing. Afrizal seakan

ingin memenuhi janjinya untuk menghadirkan mitos kebesaran anjing; mitos yang

mendekatkan dirinya kembali sebagai bagian dari alam sekitarnya. Bagi aku lirik, ”manusia

tak lagi memiliki jarak ontologis yang tajam dengan anjing”. Ungkapan ini mesti dibaca

secara metaforik. Tetapi, bisakah anjing dan manusia dianalogikan dengan filsafat pengada?

Tengok saja misalnya dalam metafora sebuah cerpennya yang bertajuk Bintang-Bintang

Membuat Kerang Di Punggungku dan dalam wawancaranya di Jurnal Nasional (November

2007), yang terang-terangan menyebut semacam pertemuan antara aku lirik dan anjing. Salak

anjing seakan tak hentinya menggugah kesunyian dirinya dalam puisi dan prosa. Apakah

yang menggoda subjek kerinduan seniman kita ini hingga menganggap anjing sebagai sebuah

pertemuan dengan manusia dan kemanusian?


Dalam kesusastraan puisi, anjing adalah binatang yang paling banyak kita temukan. Seorang

penyair sufi seperti Jalaluddin Rumi, misalnya, juga tersentuh oleh anjing. Dalam sebuah

ghazal-nya yang disitir Annemarie Schimmel dalam akulah Angin engkaulah Api, Rumi

mengungkapkan keinginan untuk meminum darah dari cawan anjing, ”untuk duduk bersama

anjing-anjing di ambang pintu kesetiaan”.

Anjing, seperti dikiaskan banyak orang yang bukan penyair, adalah binatang yang harus

dijauhkan dari pergaulan orang ramai lantaran gigitannya bisa membuat orang gila. Anjing,

makhluk yang harus dienyahkan dari perkakas rumah tangga karena menurut orang Islam,

jilatan lidah anjing pada barang-barang rumah tangga menjadi najis dan haram untuk

digunakan sebelum perkakas itu dicuci tujuh kali dengan debu tanah dan air berikut dengan

bacaan doa-doa khusus.

Namun, berbeda dari kesan miring itu, kalangan seniman justru bersahabat dengan anjing,

entah sekadar majas, hiperbola, atau pertemanan dalam arti sesungguhnya. “Aku berteman

dengan seekor anjing yang sudah lama membenci negara yang tak pernah keluar dari dalam

kulkas. Cahaya matahari sangat ramah di situ, menerangi bulu-bulu anjing,” tulis Afrizal

dalam puisi Persahabatan dengan Seekor Anjing. Anjing di sini menjadi sahabat dekat untuk

melawan tirani negara, meruntuhkan pondasi kekuasaan negara yang telah menyusup sampai

ke dalam kulkas rumah tangga. Dan sesudah itu akan muncul cahaya matahari yang sangat

ramah, yang menerangi bulu-bulu anjing.

Tak ada persahabatan paling intim melebihi persahabatan penyair dengan benda-benda dan

anjing. Tak ada juga sambutan yang begitu menghangatkan melebihi sambutan anjing
terhadap kehadiran sang penyair. Tatkala ia datang menghampirinya, sang anjing akan

menggoyang-goyangkan ekornya menyambut kehadiran dirinya. Ketika ia sudah dekat di

depannya, anjing pun melompat kegirangan menjemputnya, menjilat kulitnya. Semua itu bisa

ditafsirkan sebagai ungkapan kerinduan eksistensial yang tak terpermanai.

Saya ingin mengaitkan tafsir ini dalam konteks kerinduan kaum sufi. Apabila Tuhan berusaha

mendekat ke keharibaan manusia dengan berlari, kaum sufi akan berusaha terbang mengikuti

cahaya kilat, membiarkan individunya menyatu dengan cahaya untuk sampai pada Tuhannya.

Saya pernah mendengar sebuah kisah dari pesisir Teluk Semangka, tentang seorang lelaki,

Aslami namanya, begitu menyukai anjing. Kecintaannya pada anjing menurut istrinya,

terkadang melebihi kecintaan dengan burung. Suatu kali ia berteman dengan anjing yang

diberinya nama Bibah. Warnanya abu-abu, dengan ekor yang panjang.

Bibah selalu mengikuti kemana lelaki itu pergi. Suatu kali ia ke kebun, yang berjarak puluhan

kilometer dari rumahnya. Diam-diam ia naik mobil agar tak diketahui anjingnya, namun di

tengah perjalanan, laki-laki itu melihat anjingnya berlari-lari sambil menjulurkan lidahnya

mengikuti di belakang mobil yang ditumpanginya. Aslami dengan cepat meminta sopir mobil

untuk berhenti, lalu turun dari mobil menemui anjingnya. Anjing itu melolong berkali-kali

sambil menggoyang-goyangkan ekornya, lalu dielusnyalah kepala anjing itu hingga

kepalanya tengkurap di bawah kakinya. Sang lelaki itu meminta kepada sopir mobil agar

anjingnya bisa ikut bersama, tetapi sang sopir tidak mengizinkan dan terus berjalan. Anjing

itu melolong berkali-kali. Hanya si lelaki itu sendiri yang tahu isyarat lolongan anjing itu.

Ketika lelaki dan anjing itu sudah tiba digubuknya, dan ketika lelaki Aslami sedang memberi

makan anjingnya, seorang lelaki separuh baya datang mengabarkan bahwa di jalanan ia
menyaksikan puluhan gajah mengamuk dan meremukkan sebuah mobil.

Kisah di atas menampilkan dunia anjing dengan intim. Dengan intuisinya yang mampu

menembus jauh ke depan, anjing telah menyelamatkan lelaki itu. Demikian pula apa yang

terjadi pada karya seni Afrizal; ketika hampir semua permajasan dan metafora benda-benda

dan manusia tak memuaskan dahaga puitiknya, ia berpaling pada binatang yang di kala

malam lolongannya sangat mengerikan. Dalam film yang mengangkat kejadian yang

berlangsung di kota Jakarta misalnya, seniman kita ini tak luput menghadirkan gambaran

anjing yang muncul dalam kilas balik bersama orang-orang yang tergusur dari tempat yang

seharusnya mereka berada.

Dalam karya video-nya, sosok anjing ditampilkan dalam close-up yang mendekati gambaran

yang absurd dan anakronis. Dalam puisi “Di Rahim Ibuku tak ada Anjing”, Afrizal juga

menyuguhkan gambaran anjing sebagai bagian dari eksistensi aku lirik. Ketika sang anak

menunggu ibunya sedang melahirkan, sang anak tak mengharapkan ibunya melahirkan bayi

mungil berwujud manusia, tapi justru berharap agar ibunya melahirkan anjing yang bisa

menjadi sahabatnya kelak.

Namun ketika yang lahir dari rahim bundanya adalah bayi manusia yang utuh, betapa tak

bahagianya sang anak. Betapa sunyi hatinya. Dengan berat ia berjalan dari kamar persalinan

ibunya dengan hati tak menentu. Ia meninggalkan ruang persalinan sambil membawa luka,

dan luka itu tak hendak dibawanya lari, tapi berjalan lintang-pukang di keremangan malam

mencari lolongan anjing sebagai tempatnya mengadukan rasa sunyi.

Hal-ikhwal persahabatan manusia dengan anjing mengingatkan saya pada kisah persahabatan
nabi Muhammad dengan anjing. Alkisah, anjing kesayangan nabi selalu mengikuti ke mana

ia pergi. Anjing itu begitu setia menemani perjalanan nabi menyebarkan agama baru. Anjing

bukan sekadar teman bagi nabi, tapi bagian tak terpisahkan dari misi profetiknya dalam

menyebarkan kabar al-Islam.

Di sini anjing tidak dilihat dari kacamata teologi hitam-putih sebagai binatang najis,

berbahaya, tapi justru sebagai tanggapan jiwa manusia dalam mencari kepenuhan

martabatnya kepada Tuhan. Bahkan dalam salah satu hadits dikisahkan, seperti pernah

dikutip Quraish Shihab dalam Wawasan Alquran, seorang perempuan yang bergelimang dosa

telah diampuni oleh Tuhan karena dalam hidupnya ia pernah sekali memberi minum pada

anjing yang kehausan.

Muasal hubungan intim antara anjing dan manusia banyak terdapat dalam legenda-legenda

lama. Donald B. Calne dalam buku Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia (2004)

pernah menceritakan dengan bagus bagaimana pertalian manusia dengan anjing dalam cerita

penduduk awal Amerika. Kala itu, bumi tampak bergetar. Dan getarannya menimbulkan

retakan besar yang menganga, yang memisahkan dua anak manusia pertama yang saling

kasih di taman firdaus. Senyampang dengan makin dalam dan lebar retakan bumi, semua

makhluk lari ke hutan, kecuali anjing. Ia meloncat ke jurang yang berbahaya untuk tinggal

bersama manusia di belahan yang sama.

Begitulah, kasih sayang anjing terhadap manusia kadang melebihi kasih sayang semua

makhluk lain, dan dengan setia anjing mengorbankan tempatnya di taman firdaus untuk

membuktikan kesetiannya kepada manusia. Dalam kisah leluhur nenek moyang kita, anjing

tidak terpisah dari darah daging, bahkan bagian dari degup hidup.
“Anjing-anjing Menyerbu Kuburan”, kata salah satu judul cerpen Kuntowijoyo, yang seakan

mengkontraskan sifat manusia dengan sifat anjing. Dalam pengimajinasian karakter anjing

dalam cerita, tampak terkesan masih hitam-putih. Namun muasal hubungan anjing dan

manusia di situ ditampilkan sebagai potret jatuh-bangunnya martabat manusia hingga tak

segan-segan mengambil hak milik orang lain, kendati orang lain itu juga tengah kelaparan

dan kehausan.

(Nur) Zen Hae, penyair yang juga cerpenis kreatif, dengan cerdas menghadirkan ”Kota

Anjing” dalam kumpulan Rumah Kawin (2004). Dalam kisah ini sang cerpenis

mempertautkan anjing dengan dunia psikiater-neurologi melalui karakter tokoh yang

mengalami animalization, proses penganjingan. Hampir menghabiskan satu halaman, Zen

Hae begitu intim “bermain-main” dengan kehidupana anjing dengan kualitas literer yang

terjaga, dan sambil sesekali mengayunkan penanya untuk menohok realitas sosial yang terjadi

di kota anjing.

Dalam kesusastraan, anjing tak mungkin dipisahkan karena ia telah menjadi sahabat setia

para sastrawan dalam melakukan resistensi terhadap kekuasaan yang mungkin tak berterus-

terang, tak melengkingkan suara, tapi gemanya seakan menyebar-melimpah-ruah ke mana-

mana. Hubungan antara anjing dan manusia bukan seperti buruh dan majikan. Kendati

banyak anjing juga memiliki tuan, namun jarang terjadi hubungan yang saling memangsa

seperti antara tuan dengan budaknya, kecuali hanya sedikit kelainan.

Pertemuan manusia dengan anjing, dengan demikian, adalah pertemuan dalam keakraban,

dalam kesetiaan, bahkan dalam kasih yang saling berbagi. Relasi antara anjing dengan sastra
seperti ratujan benang yang menopang sebuah jala dan memberikan kekuatan untuk berkata

tidak pada kekuasaan negara dan lembaga keagamaan yang sewenang-wenang.

Bukan sebuah kebetulan jika sajak Afrizal banyak menyinggung teologi tanpa Tuhan dengan

cinta sebagai hayatan. Mula-mula Tuhan dilihatnya sebagai Yang Maha Kuasa dengan penuh

kemarahan. Lalu dalam proses pencarian, ia mulai menggelorakan cinta kepada Tuhan,

seperti kata-katanya yang saya petik dalam esai biografi di Panji Masyarakat berikut ini:

Ya, Allah. Sepuluh tahun lebih aku hidup tanpa Engkau. Kini aku kembali padaMu bukan

karena aku kalah. Bukan karena aku melarikan diri padaMu. Tak ada pikiran dari orang mana

pun yang mampu mengembalikan aku padaMu setelah selama sepuluh tahun lebih ini.

Cintalah yang telah mengantarkan aku kembali padaMu melalui seorang wanita yang kini

sedang bersimpah berdoa di sampingku. Berilah wanita ini cahaya dari cintaMu. Aku bangga

telah kembali padamu tidak melalui pikiran, tetapi melalui cinta. Kini biarlah aku mengenal

Engkau hanya melalui cinta saja”.

Gelora religiusitas melalui cinta dan persahabatan, entah cinta dan persahabatan dengan

manusia atau anjing, muncul dalam ekspresi yang menyembul dari pena kejujuran yang

paling pribadi. Barangkali inilah impian seorang sufi yang rindu Tuhan, seperti dilukiskan

Afrizal dalam sajak ”Pelayaran Tuhan” (1982):

Dalam orang tak bertuhan dalam orang tak bertuhan

aku berlayar dalam tubuh tubuh sepi

terdaging di puncak puncak kediaman hening

mengeras dalam hujan hujan panjang


O, tuhan berlaut dalam keheningan nisu

pada kapal kapal kaku

bisik bisik menjauh

kata yang mengeras dalam makna

aku mengental dalam tarian sinarmu

mabok lautanmu-samudra diri

melaju

melaju kaku

ke kota kota sepi

semua tak bicara dalam sujud abadi:

diri yang terusir darimu

jadi laut tak bertepi.

Lewat pelayaran menuju Tuhan, Afrizal hendak mengantarkan kita ke dalam keintiman

pencarian dengan cara mengisi kepenuhan martabat kita sebagai manusia. Dan pada momen

ketika ia menghayati anjing sebagai kasih dan sayang, maka anjing seakan menjelma Kekasih

yang sejati.

Namun, ketika pencarian dan penghayatan tentang Kasih kembali membentur dinding yang

tak mampu ditembusnya, ia kembali kepada keluhuran manusia. Dalam sebuah diskusi di

kantor UPC Jakarta tahun 2003, Afrizal memang berkali-kali melontarkan pertanyaan apa itu

manusia. Alexis Carrel memang pernah mengatakan bahwa manusia itu penuh teka-teki,

nyaris sama misterinya dengan Tuhan. Maka wajar jika para sufi sering mengatakan:

kenalilah dirimu sebelum engkau mengenal Tuhan, atau barangsiapa yang tak mengenal
dirinya maka ia tak akan mengenal Tuhannya.

Afrizal melakukan petualangan melalui binatang, benda-benda, dan manusia, untuk

melukiskan Rahasia Agung yang hidup dalam dirinya. Manusia sublim dalam puisi

antromorfisme yang keras kepala, seakan menggantikan peran Tuhan: “Aku ingin hidup

tanpa Tuhan”, tulisnya dalam esai biografi: ”hidup tanpa Tuhan dalam arti bukan dalam

penghayatan hidup bersamaNya, melainkan hidup bersama Budha”.

Mengapa dengan Budha? Sang Budha tahu bahwa kata-kata begitu terbatas, dan karena itu

lebih mengekspresikan pencarian lewat benda-benda. Budha sering ditempatkan sebagai satu

pilihan sadar karena secara ”murni”, sosok agung ini terus mengelak dari puspa pertanyaan

dan rumusan manusia tentang Tuhan seraya mengajarkan agama cinta.

Afrizal memang paling benci pada militerisme, sampai-sampai ia pernah mengidentifikasi

para sastrawan Indonesia yang pernah jadi serdadu mengusir penjajah dalam sebuah esai,

yang agaknya terlampau nyinyir. Dan tengok pula ungkapan Afrizal dalam salah satu

puisinya: ”di restoran, bar, tarian bugil, dan tuhan berdesakan dalam rumah-rumah padat di

Bongkai slum. Dan Budha ikut berjalan bersama turis-turis” (Fanta Merah untuk Dewa-

Dewa).

Dalam ziarah ruang, ia berjumpa dengan ruang kota yang keras kepala, yang menancap kuat

dalam naluri bawah sadarnya. Penyair ini juga bertemu dengan waktu-waktu tertentu yang

bersifat eksistensialis. Di sini segalanya menjadi tak pasti. Tak juga mudah untuk mengatakan

ini atau itu, karena semua akan dikembalikan pada kemungkinan.


Maka, di sini pula kebanyakan orang terperangkap dalam ruang dan waktu manusiawinya

yang sunyi. Waktu dan ruang yang tersedia menjadi terlalu sempit bagi sastra. Momen-

momen keterkejutan dalam sastra yang kita kenal justru menjadi suatu garis yang melampaui

rongga dalam ruang dan garis waktu melalui satu yang menipu.

”Anak-anak kita memahami satu dan nama”, kata Ali Syariati dalam puisi Anak-Anak Kita

Memahami. Hanya saja orang dewasa mengajukan pada anak-anak cuma mata dan telinga

yang mesti bekerja, agar anak-anak tak mengetahui apa-apa di belakang layar. ”Tetapi

engkau anak-anak, bisa melihat seekor kucing hitam penuh tipu daya yang memanjat dinding

keharusan dan menyusup masuk lewat jendelamu”.

Dan Afrizal pernah menirukan pertanyaan Sitor Situmorang: apakah penyair sama dengan

anak-anak? Afrizal pun menghayati bahasa yang dipakai Jilan—anaknya—sebagai bentuk

imajinasi infantil. ”Setiap anggota tubuhnya ternyata memiliki nama. Saya terkagum-kagum

dengan pergulatan komunikasi yang dilakukannya”, tulis Afrizal dalam esai proses kreatif.

”Seperti lidi, permainan predikat anak-anak sepintas hanya membuat kekacauan seperti

bagaimana lidi mengalami perubahan fungsi menjadi pedang dan kuda. ”Fungsi memang

telah dilepaskan dari esensi lidi”.

Di sini, yang disebut ”satu” tak menipu seperti sapu lidi. ”Anak memahami alam semesta dan

gerakan benda-benda”, kata Ali Syariati lagi, dan itu ”tak lain adalah memahami untuk dunia

mereka sendiri, untuk kemanusiaan, untuk Tuhan, dengan sorot mata sang syahid, sorot mata

kesatuan yang diikuti oleh nol-nol yang tiada habis-habisnya”.

Karena sebuah pencarian pada galibnya punya dunia nisbi dan alibinya sendiri, maka satu
yang diikuti nol-nol yang tiada habisnya itulah yang menjadi dunia Afrizal. Kebebasan dan

kemerdekaan dalam pencariannya terus berlangsung sebelum akhirnya berbenturan pada

kepastian satu itu sendiri. Untuk meminjam kiasan Goenawan Mohamad, seperti sapu lidi,

satu itu menipu. Satu itu pada akhirnya akan menjelma ke dalam apa yang oleh Iwan

Simatupang diistilahkan sebagai suatu ”spiritualitas dalam bentuk swaminonsens yang

transendental”, karena tak ada kebebasan mutlak dalam pencarian. Kebebasan itu akan

mencapai batasnya ketika ia mulai merambah kebebasan orang lain.

Tatkala kebebasan mulai membelenggu, maka yang muncul dalam pandangan Afrizal adalah:

“Aku hidup tanpa Tuhan, tapi aku tak pernah mampu menolak-Nya, karena aku sama sekali

tidak menemukan alasan berarti untuk menolaknya”. Adakah ini sikap rendah hati?

Jika para sastrawan lain masih terus menyibukkan diri dengan masalah tentang Ada dan

Tuhan, sembari menutup mata terhadap kebenaran pedih—betapa lacur frasa ini sekarang—

maka setelah buku Abad yang Berlari, Afrizal berpaling ke mitos kebesaran manusia. Orang

bisa saja menyebut pilihan kembali ke asal atau ke pedalaman ini sebagai ”romantik banal”

atau seperti Hitler yang ingin memurnikan bangsa Arya, namun bagi saya Afrizal tidaklah

sekonyong-konyong kembali. Ia punya alasan yang kuat mengapa harus menjadi manusia

pengelana, dan sebagian jawabnya sudah saya singgung di muka.

Afrizal sangat sadar dengan batas kebebasan yang dimilikinya, oleh karena itu puisi-puisinya

senantiasa direkreasi ulang, ditulis ulang, hingga beberapa mengalami pergeseran dan

pengembangan yang tak selesai. Dengan cara itu ia berusaha untuk mengubah caranya

memandang kebebasan itu sendiri. Apakah ini sebuah heroisme? Euhemerisme? Mungkin

tidak. Walau dalam naskah-naskah teaternya ada semangat kembali ke kebesaran manusia,
toh ia telah ber-reinkarnasi ke benda-benda, lalu binatang. Mungkin tidak! karena ruang dan

waktu yang tersedia bagi Afrizal terlampau sempit untuk merumuskan konsep, ide, atau cita-

cita heroisme dan euhermerisme yang keras kepala itu.

Afrizal memang “mempersembahkan” karyanya kepada manusia, bukan lagi kepada Tuhan

sebagaimana dalam buku-buku teologi puisi. Dan sikap ini lebih cocok bila dinamakan

sebagai penghargaan terhadap sikap luhur manusia dan kemanusiaan, bukan pendewaan

terhadap manusia.

Maka, seturut dengan pandangan atas manusia dan kemanusian itu, karya-karya Afrizal telah

bergeser jauh dari pujian yang ditujukan pada Tuhan ke pujian kepada manusia. Namun tidak

setiap manusia disapanya. Para Raja dan Sultan bukanlah manusia yang dimaksudkan dalam

frase “hiduplah orang-orang lain bersama kita”.

Kalau pun ada kehadiran Raja dan Sultan dalam puisi dan prosanya, maka Raja dan Sultan itu

justru bertubi-tubi digugatnya, seperti gugatan para pelukis dalam novel Namaku Merah

Kirmizi karya Orhan Pamuk—peraih Nobel Sastra 2006—di mana Sultan dilukiskan sebagai

yang tak pernah menyerah untuk menjinakkan para pelukis, baik melalui kekerasan fisik

maupun dengan cara hegemoni kultural. Namun pada saat yang sama, para pelukis berbalik

menggugat sang Sultan.

Afrizal bukan pula seperti para prajurit Jepang di medan laga yang mengirim sajak-sajak

haiku kepada Kaisar sambil mengatakan: “Demi Kaisar, kami tak rela mati di rumah!”

Penyair kita ini tidak hendak memberi empati bagi si rudin dan yang Lain di sekitarnya.

Ketika ”hiduplah orang-orang lain bersama kita” mulai menemukan wujudnya, maka
semangat yang tampil bukan pendewaan manusia, melainkan sejenis kuasa-perjuangan.

XI

Dari pemandangan di muka tampak bahwa Afrizal sangat akrab dengan pengucapan manusia.

Hasrat menggebu menampilkan manusia dalam sebagian besar karyanya memang

mengingatkan kita pada semangat manusia eksistensial dalam lakon Pintu Tertutup (judul

asli: Huis-clos) Sartre. Afrizal dengan intens bicara tentang kemerdekaan tanpa ikatan

hukum; sebuah manusia informal yang eksis di luar hukum. ”Kita lihat Sartre malam itu,

lewat ’Pintu ’Tertutup’: menawarkan manusia mati dalam sejarah orang lain”, tulis Afrizal

dalam puisi Migrasi Dari Kamar Mandi (1993).

Dalam drama Pintu Tertutup Jean-Paul Sartre, setiap tokoh terkurung dalam dirinya sendiri,

tertutup bagi yang lain. Sebetulnya ia ingin membuka diri dan berkomunikasi dengan yang

lain, tetapi tiap kali ia terbentur pada pintu-pintu tertutup. Dan ini menimbulkan perasaan

kesia-siaan, hampa, yang menjadikan hidup ini semacam neraka. Maka Sartre bilang: neraka

adalah orang-orang lain.

Nah, jika eksistensialis Sartre adalah absurd, iseng, di mana kontak dan dialog dengan orang-

orang lain tak mungkin, Afrizal justru masih mendambakan komunikasi dengan orang-orang

lain. Ungkapan ”Hiduplah orang-orang lain bersama kita” yang terkenal itu, menjadi

semacam kebalikan dari ungkapan Sartre.

Kendati Afrizal masih terkesan sebagai seorang rasionalis, sebagaimana Sartre, namun puisi-

puisinya amat gelap dan hampir tak bisa dirasionalisasi. Kendati Afrizal terjun dan
menggeluti dunia seni secara luas, namun saya melihat pada puisilah muara semua kerja

kesenian itu. Bahwa karya seninya telah menciptakan hukum diksinya sendiri yang mirip

suara eksistensialis yang rasionalis, itu tak bisa kita ingkari. Sebab filosofi kepenyairan

Afrizal lebih dekat dengan Sartre ketimbang Marleau Ponty atau Martin Hiedegger.

Gagasan tentang rasionalisasi atas kata cukup dominan hingga sebagian sajaknya

menampilkan bentuk geometri ruang yang bisa terukur. Di sini Afrizal seakan melebur jarak

puisi dan geometri, atau antara yang spiritual dan yang rasional. Kecenderungan

menampilkan gambaran dalam puisi melahirkan pikiran dalam gambar-gambar, atau pikiran

gambar, yang menghidupkan kembali semangat Roland Barthes.

Sementara gagasan ruang dalam puisi dan naskah teaternya menghasilkan tema tentang

manusia kota yang berada dalam situasi skizofrenik yang akut, yang dihadirkan melalui

dialog-dialog yang melompat-lompat dan tak jarang menceracau. Mungkin saja Afrizal

sedang menghidupkan kembali gagasan Gaston Bachelard yang mengatakan: jika seseorang

bisa mengekspresikan seni ke dalam bahasa geometris, maka ia telah menemukan bahasa

pengucapan yang tepat guna menjelaskan wawasan estetik yang bersifat khusus.

Berbeda dengan paham filsafat yang mengharuskan penjelasan-penjelasan rumit melalui

argumentasi dan perbandingan-perbandingan untuk membuktikan kelogisan,

mengekspresikan puisi ke dalam bentuk visual dan geometri ruang imajiner—terlepas apakah

bentuknya natural, heterogen atau homogen, apakah kurvanya tepat atau tidak tepat—tetap

layak diperhitungkan. Karena, bahkan secara ilmiah sekali pun, hal ini dapat

dipertanggungjawabkan.
Jika kebanyakan penyair Indonesia masih sebatas memikirkan kemungkinan

mengekspresikan geometri dan kimiawi keindahan ke dalam puisi, hemat saya Afrizal telah

mengawalinya dengan sungguh-sungguh, kendati tak jarang berujung pada kebuntuan. Apa

yang pernah dikatakan Nirwan Dewanto tentang sains yang tak mendapat perhatian di

kalangan budayawan dan sastrawan kita, sebetulnya menunjukkan ketidakjelian Nirwan

sendiri dalam mengidentifikasi karya sastra—baik prosa maupun puisi. Provokasi Nirwan di

tahun 1991 dalam pidato yang kemudian diterbitkan berjudul Kebudayaan Indonesia:

Pandangan 1991, bahwa cara kerja sastra-budaya sudah aus karena budayawan dan sastrawan

kita buta dengan sains, bukanlah hal yang mengejutkan. Karena nada yang diucapkan Nirwan

sebelumnya pernah juga dilontarkan Umar Kayam tahun 1970.

Dalam buku Dialog, Kayam sendiri bahkan bilang: di lingkungan para ahli fisika memang

jarang dikenal nama Shakespeare atau Dickens, sementara di lingkungan sastra banyak

sastrawan yang buta dengan van Neumann, Kepler, atau prinsip tentang astronomi ilmiah,

ilmu alam yang paling mendasar sekali pun.

Bagi Kayam, tak banyak dokter dan insinyur kita yang tahu karya Pram, Chairil, dan Rendra.

Paling-paling beberapa cachphrases yang tak lengkap tentang mereka yang akan teringat pada

kata-kata seperti Pulau Buru, Binatang Jalang, dan Skizofrenia bip-bop. Begitu juga

sebaliknya: tidak banyak sarjana sastra dan seniman kita yang tahu tentang prinsip dasar

Comsat yang sekarang sudah ada stasiunnya di Jatiluhur. Sama tak banyaknya dengan dokter

dan insinyur yang illiterate itu. Karena itu, usul Kayam: sastrawan Indonesia mesti segera

mengadakan seminar dengan sebuah kombinasi antar kelompok disiplin; misalnya antara

kelompok ilmu sosial dan ahli fisika atau matematika dengan kelompok pelaku atau pencinta

sastra.
Kayam menawarkan petuah bukan Aku Kasim, tapi Don Kisot, yakni sebuah permulaan dari

usaha “penjelajahan lintas ilmu” dengan gaya Sutan Sjahrir yang khas ketika mengkritik vak-

vak dalam ilmu pengetahuan. Sampai kini belum saya dengar apakah memang pernah

diadakan seminar lintas disiplin di Indonesia, sebagaimana yang dimaksud Kayam itu. Kalau

pun tidak, tak berarti bahwa sampai tahun 1990-an tidak ada penyair yang mengekspresikan

perihal sains dalam puisi.

Dalam buku kumpulan sajak Kalung Dari Teman, tidak kurang dari 34 sajak yang

mengekspresikan angka, sebagai konsep dasar terpenting dalam matematika. Sajak-sajaknya

seperti ingin menegaskan bagaimana segalanya bisa terukur dengan angka. Dan kata-kata

secara mencolok hadir sebagai bersamaan dengan huruf dan bilangan serta kotak-kotak yang

terstruktur untuk mengesankan sebuah rasio yang terukur. Bahkan bila mengikuti pembaitan

dan penyusunan margin, puisi-puisinya mengingatkan kita pada tabiat puisi ruang yang

menggunakan ukuran meter dan waktu geometris.

Afrizal telah memiliki bahasanya sendiri, yaitu bahasa lukisan. Kendati sebagian besar

puisinya sangat liris, namun karena gaya dissonanansinya yang khas, dan sering tak

berhubungan satu kalimat dengan kalimat lain, memiliki sejarah panjang dalam dunia

kesusastraan Eropa dan Barat jauh sebelum Hitler mengguncang dunia.

Afrizal termasuk penyair yang berhasil menyiasati kata sebagai bahasa pengucapan dengan

mencoba memunculkan semacam ”gramatika benda-benda” yang mengingatkan pada

Khotbah di Puncak Bunga dari Budha, yang menempatkan benda-benda sebagai bahasa

sunyi-kesyuhadaan, ketimbang kata-kata. Dan Afrizal tak membuat kelantangan yang tak
dapat dibuktikan, tapi dengan keliaran imajinasinya, renungan serta intuisinya yang sensitif,

sering memunculkan frase dan parafrase yang cantik dan menggugah, kendati dari segi

bahasa agak bermasalah. ”Dan waktu adalah air”, merupakan frase puitik Afrizal yang paling

menawan, yang mengingatkan saya pada kristalisasi kata dari Goethe: ”Ladangku adalah

waktu”.

Barangkali yang musti jadi catatan terhadap ”ideologi” kepenyairan Afrizal Malna, adalah

kecenderungannya yang agak ”fundamentalis”. Dalam beberapa kesempatan Afrizal

menampilkan sikap yang keras dalam melakukan resistensi terhadap sastrawan-sastrawan di

Jakarta yang menurutnya ”pada cemas dengan masa depan seni tradisi, tetapi pada saat yang

sama mereka berduyun-duyun membunuh subkultur di desa dengan cara memformalkan atau

menjejalkan budaya kota pada orang desa”.

Apa boleh buat, mungkin dengan ajakan Afrizal untuk memikirkan kembali kedesaan dengan

tulus, hanya mungkin bisa kita tafsirkan sebagai kata akhir ”yang tak selesai” juga. Betapa

pun Afrizal ingin jadi “yang Lain” yang gagal, dengan hasrat menggebu untuk kembali ke

struktur dan wawasan yang eksotis-matematis-geometris, toh kehadiran dirinya telah ikut

memperkaya khazanah perpuisian kita.

Jika saya hendak menyampaikan sesuatu yang pantas disebut sebagai “pembacaan yang tak

bersih” juga, sebagai penutup telisik yang tak beraturan ini, maka saya akan menutupnya

dengan menerjemahkan kembali secara bebas atas terjemahan larik-larik dalam salah satu

sajak Adonis, berikut ini:

…meski kau kembali, ah, Malna, meski kau terbendung ruang, dan pemandumu punah
terbakar di parasmu yang kehilangan atau rasa ngerimu yang akrab, kau akan tetap sebuah

cerita kelana….

Jakarta 2003, Bandarlampung 2005—2010

__________

*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975.

Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah

kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink

Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di

Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan

membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator

(2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk

mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir

setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati

dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/

Anda mungkin juga menyukai