Anda di halaman 1dari 14

Jenis-jenis Puisi di Indonesia Puisi sebagai kreasi manusia selalu berkembang dari masa ke masa.

Perkembangan puisi merupakan refleksi pemikiran penyair dalam menyikapi zaman, sekaligus menyikapi perpuisian itu sendiri. Akan tetapi, walaupun puisi berubah menjadi seribu macam bentuk, ada yang tetap melekat dalam puisi sebagai hakekatnya, yaitu menyampaikan sesuatu secara tidak langsung. Hal itu merupakan pemikiran Riffaterre (lewat Sarjono, 2001:124) bahwa a poem says one thing and means another. Di Indonesia, puisi telah mulai ditulis oleh Hamzah Fansuri dalam bentuk syair Melayu dan ditulis dengan huruf Arab di akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17 (Ismail, 2001:5). Menurut Teeuw, (1994:58), puisi yang ditulis kala itu sudah menunjukkan individualitas seorang Fansuri, yaitu (1) puisi tidak anonim dan (2) melibatkan (nama) diri dalam teks. Selanjutnya, puisi berkembang pesat seiring berkembangnya idealisme tentang individualisme dan kemerdekaan. Ahli-ahli sastra banyak yang membedakan dan membagi perpuisian Indonesia menjadi puisi lama dan puisi baru. Namun, apa yang disebut puisi lama itu pun masih tetap diapresiasi dan diproduksi sampai saat ini, misalnya pantun, tetap dilestarikan dan diproduksi dalam tradisi lisan masyarakat Indonesia. Di samping itu, puisi baru juga tidak bisa melepaskan puisi lama karena ia bisa jadi ilham yang penuh keindahan untuk digarap. Sebagai contoh, puisi mantra Sutardji. Berikut adalah jenis-jenis puisi yang dirangkum oleh Waluyo (1995:135). 1.Puisi Naratif, Lirik, dan Deskriptif Berdasarkan cara penyair mengungkapkan isi atau gagasan yang akan disampaikan, maka puisi dapat diklasifisikasikan menjadi berikut ini. a.Puisi naratif. Puisi naratif mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair, baik secara sederhana, sugestif, atau kompleks. Puisi naratif diklasifikasikan lagi menjadi balada, romansa, epik, dan syair. Balada adalah jenis puisi yang berisi cerita tentang orang-orang perkasa, tokoh pujan, atau orang-orang yang menjadi pusat perhatian. Salah satu contohnya adalah Balada Terbunuhnya Atmo Karpo karya W.S. Rendra. Balada Terbunuhnya Atmo Karpo

Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di pucuk-pucuk para mengepit kuat-kuat lutut penungang perampok yang diburu

surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang

Segenap warga desa mengepung hutan tu dalam satu pusaran pulang balik Atmo Karpo mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri.

Satu demi satu yang maju tersadap darahnya penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka

- Nyawamu baran pasar, hai orang-orang bebal! Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa

Majulah Joko Pandan! Di mana ia? Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa

Anak panah empat arah dan musuh tiga silang Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh liang

- Joko Pandan! Di mana ia? Hanya padanya seorang kukandung dosa.

Bedah perutnya tapi masih setan ia! menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala

- Joko Pandan! Di mana ia? Hanya padanya seorang kukandung dosa.

Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan segala menyibak bagi derapnya kuda hitam ridla dada bagi derunya dendam yang tiba

Pada langkah pertama keduanya sama baja Pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo Panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka

Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka pesta bulan, sorak-sorai, anggur darah.

Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang Ia telah membunuh bapanya.

(Waluyo, 2003:88)

Romansa adalah jenis puisi cerita yang menggunakan bahasa romantik dan berisi ungkapan cinta kasih maupun kisah percintaan. Menurut Waluyo (1995:136), romansa dapat juga berarti cinta tanah kelahiran. b.Puisi lirik. Dalam puisi lirik, penyair tidak bercerita. Puisi lirik merupakan sarana penyair untuk mengungkapkan aku lirik atau gagasan pribadinya (Waluyo, 1995:136). Elegi, ode, dan serenada bisa dikategorikan ke dalam jenis ini. Elegi banyak mengungkapkan perasaan duka atau kesedihan, serenada merupakan sajak percintaan yang dapat dinyanyikan, sedangkan ode adalah puisi yang berisi pujaan terhadap seseorang, sesuatu hal, atau sesuatu keadaaan (Waluyo, 1995:136).

c.Puisi deskriptif. Dalam puisi deskriptif, penyair memberi kesan terhadap suatu peristiwa atau fenomena yang dipandang menarik perhatian penyair (Waluyo, 1995:137). Jenis puisi yang dapat dikategorikan ke dalam jenis ini adalah satire, kritik sosial, dan puisi-puisi impresionistik.

2.Puisi Kamar dan Puisi Auditorium Istilah puisi kamar dan puisi auditorium dipopulerkan oleh Leon Agusta dalam buku kumpulan puisinya, Hukla. Puisi kamar ialah puisi yang cocok dibaca sendirian atau dengan satu atau dua pendengar saja. Puisi kamar lebih berisi perenungan sehingga pemaknaannya bisa dicapai lewat pemikiran yang tenang. Kebanyakan puisi Sapardi Djoko Damono bisa dikategorikan dalam jenis puisi kamar. Salah satu contoh untuk disebutkan adalah puisi berjudul Aku Ingin. Aku Ingin Aku ngin mencintaimu dengan sederhana : Dengan kata yang tak sempat diucapkan Kayu kepada api yang menjadikannya abu.

Aku ngin mencintaimu dengan sederhana : Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

(Waluyo, 2003:117)

Puisi Auditorium adalah puisi yang cocok dibacakan di auditorium, mimbar yang jumlah pendengarnya bisa dikatakan banyak. Puisi auditorium disebut juga puisi mimbar, puisi yang keindahannya semakin bergelora ketika dibaca dengan suara lantang. Untuk disebutkan sebagai contoh, Sajak Lisong karya W.S. Rendra bisa dikategorikan dalam jenis puisi mimbar.

3.Puisi Fisikal, Platonik, dan Metafisikal Puisi fisikal berisi pelukisan kenyataan yang sebenarnya, apa yang dilihat, didengar, atau dirasakan oleh penyair. Puisi-puisi naratif, balada, puisi impresionistik, dan puisi dramatis biasanya merupakan puisi fisikal (Waluyo, 1995:138).

Puisi platonik adalah puisi yang sepenuhnya berisi hal-hal yan bersifat spiritual atau kejiwaan. Puisi tentang ide, cita-cita, dan cinta luhur dapat dinyatakan sebagai puisi platonik. Puisi metafisikal adalah puisi yang bersifat filosofis dan mengajak pembaca merenungkan kehidupan atau ketuhanan. Puisi religius di satu sisi dapat dinyatakan sebagai puisi platonik (menggambarkan ide atau gagasan penyair), dan di sisi lain dapat juga disebut sebagai puisi metafisik (mengajak pembaca merenungkan kehidupan atau ketuhanan). Sebagai contoh, puisi-puisi yang ditulis oleh A. Mustofa Bisri selain sebagai puisi platonik, juga merupakan puisi metafisik. Ittihad

lalu atas izinmu kita pun bertemu

dan senyummu menghentikan jarak dan waktu

lalu atas izinku kita pun menyatu

(Negeri Daging, hal.33)

4.Puisi Subjektif dan Objektif Puisi subjektif atau bisa disebut puisi personal adalah puisi yang mengungkapkan gagasan, pemikiran, perasaan, dan suasana dalam diri penyair sendiri. Puisi-puisi ekspresionis semacam puisi lirik dapat dikategorikan sebagai puisi subjektif. Puisi objektif atau puisi impersonal merupakan puisi yang mengungkapkan hal-hal di luar diri penyair itu sendiri. Jenis-jenis puisi yang bisa digolongkan sebagai puisi objektif adalah puisi naratif dan deskritptif, meskipun ada di antaranya yang subjektif (Waluyo, 1995:138)

5.Puisi Konkret

Puisi konkret (poems for the eye) diartikan sebagai puisi yang bersifat visual, yang dapat dihayati keindahannya dari sudut penglihatan (Kennedy lewat Waluyo, 1995:138). Jenis puisi ini mulai dipopulerkan sejak tahun 1970-an oleh Sutardji Calzoum Bachri. Pada tahun 1975, Jeihan Sukmantoro juga menulis puisi konkret, walau masih dalam geliat puisi mbeling. HAL, 2

ooooooooo ooooooooo ooooooooo ooooooooo ooooooooooooooooooooooooooo ooooooooooooooooooooooooooo ooooooooooooooooooooooooooo ooooooooooooooooooooooooooo ooooooooo ooooooooo ooooooooo ooooooooo S.O.S O2 !

(Mata Mbeling Jeihan, hal. 49) 6.Puisi Diafan, Gelap, dan Prismatis Puisi diafan atau puisi polos adalah puisi yang kurang sekali menggunakan pengimajian, kata konkret, dan bahasa figuratif, sehingga bahasa dalam puisi mirip dengan bahasa sehari-hari (Waluyo, 1995:140). Biasanya, para pemula dalam hal menulis puisi cenderung menghasilkan karya dalam jenis ini. Mereka

belum mampu mempermainkan kiasan, majas, dan sebagainya, sehingga puisi menjadi kering dan lebih mirip catatan pada buku harian. Puisi gelap menurut Waluyo (1995:140), adalah puisi yang terbentuk dari dominasi majas atau kiasan sehingga menjadi gelap dan sukar ditafsirkan. Sementara itu, Sutardji Calzoum Bachri mengidentifikasikan puisi-puisi yang ditulis era 80-90an sebagai puisi gelap. Afrizal Malna adalah salah satu penyair yang menulis puisi gelap kala itu. Menurut Sutardji, (lewat Sarjono, 2001:102), gelapnya puisi 80-90an memiliki pengertian mendua, yakni (1) persoalan komunikasi puisi (2) persoalan gagalnya pengucapan puitik. Sementara itu, Abdul Wachid B.S. (2005:50) dan Korrie Layun Rampan (2000:xxxiii) memandangnya lain. Fenomena puisi gelap dan gelapnya puisi dipahami sebagai taktik untuk tetap berpuisi dalam situasi dan kondisi kehidupan bernegara yang represif. Berangkat dari realitas sosial yang dipahami oleh penyair sebagai peristiwa individu di satu sisi dan sebagai peristiwa sosial di sisi lain, puisi gelap pada waktu itu tetap menyampaikan ironi dan kritik sosial sebagai tugas sastra. Puisi prismatis sudah menggambarkan kemampuan penyair majas, diksi, dan sarana puitik yang lain, sehingga puisi bisa dikatakan sudah menjadi. Puisi prismatis kaya akan makna, namun tidak gelap (Waluyo, 1995:140). Puisi karya para penyair besar adalah puisi berjenis ini. Penyair besar adalah orang yang telah melewati proses kreatif yang matang sehingga mereka telah menemukan dirinya dan menemukan bentuk bagi puisinya.

7.Puisi Parnasian dan Puisi Inspiratif Puisi parnasian diciptakan dengan pertimbangan ilmu atau pengetahuan dan bukan didasari oleh inspirsi karena adanya mood dalam jiwa penyair (Waluyo, 1995:140). Puisi-puisi ini biasanya ditulis oleh ilmuwan yang kebetulan mempunyai kemampuan menulis puisi. Walaupun demikian, puisi parnasian tetap merupakan puisi, yang akan tetap diapresiasi dan diproduksi oleh masyarakat sastra Indonesia. Bahkan, Wellek dan Warren (Budianta, 1993:28) menyamakan puisi sebagai sejenis pengetahuan. Apapun pengetahuan yang akan disampaikan dan apapun latar belakang keilmuan penyair, sesuatu akan menjadi puisi jika ia diciptakan dengan segala piranti puitik yang ada. Puisi inspiratif diciptakan berdasarkan mood atau passion penyair (Waluyo, 1995: 141). Dalam tataran ini, menurut istilah Subagyo Sastrwardoyo (dalam Eneste, 1982:22), puisi atau sajak benar-benar merupakan suara-suara dari bawah sadar. Selanjutnya, penyair menulis sajak dari gelegak sukma yang menjelma ke indah kata, istilah Tatengkeng dan Rustam Effendi (via Sarjono, 2001:103). Puisi pun lahir dalam keutuhannya yang paling bernas.

8.Stansa Stansa adalah jenis puisi yang masih mengikat bentuknya dalam kaidah baris, yaitu terdiri dari delapan baris. Malam Kelabu yang ditulis W.S. Rendra adalah salah satu contoh stansa.

Malam Kelabu

Ada angin menerpa jendela Ada langit berwarna kelabu Hujan titik satu-satu Menatap cakrawala malam jauh Masih adakah kuncup-kuncup mekar Atau semua telah layu Kelu dalam seribu janji Kelam dalam penantian

(Teori dan Apresiasi Puisi, hal. 141)

9.Puisi Demonstrasi dan Pamflet Dalam mengidentifikasikan jenis puisi ini, Waluyo menyaran pada puisi-puisi yang ditulis oleh Taufiq Ismail dan mereka yang oleh H.B. Jassin disebut sebagai Angkatan 66 (1995:141). Puisi demonstrasi merupakan pelukisan dan hasil refleksi demonstrasi para mahasiswa dan pelajar sekitar tahun 1966. Menurut Sastrowardoyo, (lewat Waluyo, 1995: 142), puisi-puisi demonstrasi 1966 bersifat kekitaan, yaitu melukiskan perasaan kelompok. Di samping itu, puisi juga merupakan endapan dari pengalaman fisik, mental, dan emosional penyair selama terlibat dalam demonstrsi tahun 1966. Gaya yang dipakai penyair adalah ironi dan paradoks. Puisi pamflet tidak berbeda jauh dengan puisi demonstrasi. Keduanya sama-sama bernada protes dan kritik sosial. Kata-katanya selalu menunjukkan rasa tidak puas kepada keadaan (Waluyo, 1995:142). Sajak Lisong karya W.S. Rendra adalah salah satu contoh puisi pamflet. Dalam puisi pamfletnya, selain menggugat keadaan, Rendra juga mengkritik para penguasa dengan simbolisasi yang berani dan tajam.

10.Alegori

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, alegori adalah cerita yang dipakai sebagai lambang (ibarat atau kias) perikehidupan manusia yang sebenarnya untuk mendidik (terutama moral) atau menerangkan sesuatu (gagasan, cita-cita atau nilai kehidupan, seperti kebijakan, kesetiaan, dan kejujuran). Jadi, dalam hal ini, alegori adalah puisi yang memanfaatkan cerita, bisa dongeng atau hikayat, sebagai sarana penyair untuk mengungkapkan pemikiran-pemikirannya. Salah satu puisi yang bisa dijadikan contoh alegori adalah Ken Arok karya Omi Intan Naomi berikut ini.

Ken Arok

saat tertikam keris anusapati berkata ia, revolusi takkan mati akan tumbuh bagai duit di jalan tol ken arok-ken arok baru yang bahkan lebih dahsyat mengukir dalam-dalam namanya di peradaban ia akan bunuh setiap tunggul ametung dan akan seret setiap ken dedes ke ranjang meraup negeri dan isinya habis-habis lalu mulai bermimpi tentang kerajaan miliknya ia kagumi diri sendiri betapa kuatnya tangan-tangannya yang telah mencekik kediri menjual kelahirannya dan meninggikan singasari dan anak-anak haram yang akan mendepani pasukan

menyeru perang dan lapar wewenang akan mengawini kegelapan, dan dalam kuasanya ia tertikam.

(Apresiasi Puisi, hal. 178)

Selain jenis-jenis puisi yang telah dipaparkan, masih ada jenis puisi lain yang juga pernah dan masih menjadi bahan pembicaraan masyarakat puisi Indonesia. Jenis-jenis puisi itu adalah sebagai berikut ini 1.Puisi Mbeling Puisi mbeling pertama kali populer di Indonesia pada tahun 1970-an. Puisi mbeling adalah nama yang diberikan oleh pengasuh rubrik puisi dalam majalah Aktuil untuk sajak-sajak yang dimuat dalam majalah itu (Soedjarwo, 2001:1). Hal yang mendorong lahirnya puisi mbeling antara lain ialah tidak imbangnya antara hasrat dan kreativitas anak-anak muda dalam menulis puisi dengan majalah kesusastraan yang tersedia. Puisi mbeling kala itu juga sering disebut dengan puisi pop, puisi lugu, atau puisi awam. Tema-tema yang digarap oleh puisi mbeling adalah kelakar, ejekan, kritik, dan main-main (Soedjarwo, 2001:2). Yang dipentingkan, sekaligus menjadi tujuan, penulisan puisi mbeling adalah kesan sesaat pada waktu membaca sajak tersebut. Jika pembaca tersenyum, tertawa lepas, manggut-manggut, atau sedikit terkejut membaca pernyatan-pernyataan yang nakal dan berani, itu sudah cukup (Soedjarwo, 2001:3). Berikut adalah beberapa contoh puisi mbeling yang ditulis oleh Yudhistira Ardi Noegraha (Kesaksian di Hari Natal), Nhur Effendi Ardhianto (Pesan Pelacur pada Langganannya), dan Remy Silado (Buat Iin Suwardjo sebelum Mandi). KESAKSIAN DI HARI NATAL

Ketika pipi kananku ditampar plak! kuturuti sabdamu, ya bapak kuberikan pipi kiriku dan plak! duh, larane.

(Puisi Mbeling: Kitsch dan Sastra Sepintas, hal. 33)

PESAN PELACUR PADA LANGGANANNYA

mas kapan rene maneh

(Puisi Mbeling: Kitsch dan Sastra Sepintas, hal. 35)

BUAT IIN SUWARDJO SEBELUM MANDI

ceweku wangi baunya wangi bau ceweku wangi ceweku ceweku cewe cewecewecewecewecewe ce we ce we c

w c w w.c. w.c bau c.w c.w bau w.c ceweku bau w.c.

(Puisi Mbeling: Kitsch dan Sastra Sepintas, hal. 37)

2.Puisi Imajis Puisi imajis mengandung makna bahwa puisi itu sarat dengan imaji (visual, auditif, dan taktil) atau mendayagunakan imaji sebagai kekuatan literernya. Imaji bisa dimanfaatkan sebagai rasa (kesatuan makna kata), metafora (perbandingan makna kata), maupun sebagai muatan utama sebuah puisi (Banua, 2004). Selanjutnya ditambahkan oleh Banua, agar imajinasi bisa maksimal, diperlukan keberanian membangun dimensi makna lewat perumpamaan yang tidak lazim, memperlawankan, atau mempersandingkan dengan kata atau imaji lain yang luas dan kreatif. Menurut analisis Banua (2004) dan Abdul Wachid B.S. (2005:23), puisi-puisi yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono adalah salah satu contoh puisi imajis. Berikut adalah salah satu contoh puisinya. Hujan Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni dirahasiakannya rintik hujannya kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni

dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu

(Apresiasi Puisi, hal.117)

Pembedaan puisi ke dalam jenis-jenis puisi seperti yang telah dipaparkan, tidaklah bermaksud untuk memisah-misahkan puisi menjadi terkotak-kotakkan. Karena, pada hakikatnya, semua puisi adalah sama, yaitu menyampaikan sesuatu secara tidak langsung. Semua puisi adalah ungkapan perasaan dan pemikiran penyairnya yang ingin dikomunikasikan kepada publik pembaca. Yang ingin dikomunikasikan itu tidak lain adalah manusia, hidup, kemanusiaan, dan kehidupan. Lantaran puisi ditulis sebab keterlibatannya dalam kehidupan, karenanya puisi adalah kehidupan itu sendiri, yang di dalamnya ada tanda-tanda kehidupan (Wachid, B.S. 2005:23)

B.3. Puisi sebagai Produk Kreatif Penyair adalah orang yang kreatif. Ia merepresentasikan hidup, kehidupan, manusia, serta kemanusiaan dalam interpretasinya sebagai makhluk yang berpikir. Mencipta sajak juga merupakan kerja yang kreatif. Kerja yang melibatkan seluruh indera manusia, bahkan lebih dari itu. Dari pribadi yang kreatif dan proses yang kreatif itulah, maka puisi lahir sebagai produk kreativitas. Setelah lahir, puisi mencari kehidupannya sendiri di masyarakat. Puisi menghidupi masyarakat dan sebaliknya masyarakat juga menghidupi puisi. Sebagai poduk kreatif, hendaknya puisi menawarkan hal-hal yang baru, seperti keindahan bahasa, keindahan suasana, muatan, dan makna (Banua, 2004). Kebaruan adalah inti dari kreativitas. Sesuatu yang baru itu bisa saja merupakan kombinasi dari usaha perbandingan, penambahan, pengurangan, atau perlawanan berbagai hal yang sudah ada sebelumnya. Hal ini sangat berbeda dengan tiruan. Tiruan hanya mengulang tanpa melihat adanya kesempatan untuk menjadi berbeda. Puisi pun demikian. Tak ada satu pun unsur-unsur di dalamnya yang bisa dibilang baru, karena bahasa, kata-kata, bunyi, setting, tema, perasaan, nada, dan amanat adalah buatan manusia. Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan Sutardji Calzoum Bachri yang pernah disebut sebagai sastrawan yang begitu orisinil, yang tidak setiap seperempat abad lahir pun, pada dasarnya mencipta puisi dari sesuatu yang telah ada sebelumnya.

Namun, yang membedakan, mereka bukanlah epigon, sehingga ada hal-hal baru yang berani ditawarkan pada perpuisian Indonesia. sumber: http://bungahijau.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai