Anda di halaman 1dari 15

Karya ilmiah tentang puisi

Daftar isi
Isi halaman

1. Bab 1: pendahuluan
1.1 latar belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..
1.2 rumusan masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1.3 tujuan penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1.4 hipotesis . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..
1.5 metode penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2. Bab 2: landasan teori
2.1 Puisi . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2.1.1 pengertian puisi . . . . . . . . . . . . . . . . .
2.1.2 struktur puisi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2.1.3 jenis puisi . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . .
2.1.4 teknik pembuatan puisi . . . . . . . . . . ..
3. Bab 3: pembahasan
3.1 Penghidupan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3.2 tak sepadan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3.3 sia-sia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4. Bab 4: penutup
4.1 simpulan . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . .. . .

BAB 1
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Puisi adalah karya sastra yang menggunakan kata-kata yang indah dan penuh makna.
Keindahan puisi disebabkan oleh diksi, majas, rima dan irama yang terkandung dalam puisi
tersebut. Seorang penulis menciptakan puisi disebabkan ia mempunyai persoalan atau
masalah yang ingin dikemukakan dan bisa juga disebut puisi adalah ungkapan hati sang
penulis. Jika puisi tersebut berisi tentang kekecewaan , kesedihan maka sudah jelas si
penulis sedang merasa sedih. Tiap-tiap penulis mempunyai cara yang berbeda-beda dalam
mengemukakan persoalan tersebut. Ada yang mengemukakan dengan kata-kata yang indah
atau bermakna sebenarnya, ada juga yang secara terselubung. Oleh sebab itu, saya tertarik
untuk membahas gaya bahasa yang terdapat pada puisi dari berbagai ahli dibidang satra
dan bahasa .

1. 2. Rumusan Masalah
a. Gaya bahasa apa saja yang banyak digunakan dalam puisi para ahli tersebut
b. Bagaimana makna yang ditimbulkan dari gaya bahasa puisi tersebut

1. 3. Tujuan Penelitian
a. Mampu mengemukakan gaya bahasa apa saja yang banyak digunakan dalam puisi para
ahli
b. Mampu mengungkapkan makna yang ditimbulkan dari gaya bahasa puisi tersebut

1. 4.hipotesis
Puisi-puisi karya para ahli yang kami teliti, yaitu puisi yang berjudul “Penghidupan, Tak
Sepadan, dan Sia-sia” sebagian bersar banyak menggunakan Majas atau Gaya Bahasa
Hiperbola, sebagai gaya bahasa yang digunakan dalam membuat atau menulis isi puisi
tersebut.

1. 5. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode Kualitatif. Teknik pengumpulan datanya
anlisis dokumen atau studi pustaka.

BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 Puisi
2.1Pengertian Puisi
Puisi adalah bentuk karangan yang terkikat oleh rima, ritma, ataupun jumlah baris serta
ditandai oleh bahasa yang padat. Unsur-unsur intrinsik puisi adalah
a. tema adalah tentang apa puisi itu berbicara
b. amanat adalah apa yang dinasihatkan kepada pembaca
c. rima adalah persamaan-persamaan bunyi
d. ritma adalah perhentian-perhentian/tekanan-tekanan yang teratur
e. metrum/irama adalah turun naik lagu secara beraturan yang dibentuk oleh persamaan
jumlah kata/suku tiap baris
f. majas/gaya bahasa adalah permainan bahasa untuk efek estetis maupun maksimalisasi
ekspresi
g. kesan adalah perasaan yang diungkapkan lewat puisi (sedih, haru, mencekam, berapi-
api, dll.)
h. diksi adalah pilihan kata/ungkapan
i. tipografi adalah perwajahan/bentuk puisi
Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:6) mengumpulkan definisi puisi yang pada
umumnya dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris sebagai berikut.
Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam
susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-
baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat
berhubungannya,dansebagainya.
Di Indonesia, puisi telah mulai ditulis oleh Hamzah Fansuri dalam bentuk syair Melayu dan
ditulis dengan huruf Arab di akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17 (Ismail, 2001:5).
Menurut Teeuw, (1994:58), puisi yang ditulis kala itu sudah menunjukkan individualitas
seorang Fansuri, yaitu :
(1) puisi tidak anonim dan
(2) melibatkan (nama) diri dalam teks.
Selanjutnya Ahli-ahli sastra banyak yang membedakan dan membagi perpuisian Indonesia
menjadi puisi lama dan puisi baru. Namun, apa yang disebut ‘puisi lama’ itu pun masih tetap
diapresiasi dan diproduksi sampai saat ini, misalnya pantun, tetap dilestarikan dan
diproduksi dalam tradisi lisan masyarakat Indonesia. Di samping itu, puisi baru juga tidak
bisa melepaskan puisi lama karena ia bisa jadi ilham yang penuh keindahan untuk digarap.
Sebagai contoh, puisi mantra Sutardji.
Berikut adalah jenis-jenis puisi yang dirangkum oleh Waluyo (1995:135).

a.Puisi naratif.
Puisi naratif mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair, baik secara sederhana, sugestif,
atau kompleks. Puisi naratif diklasifikasikan lagi menjadi balada, romansa, epik, dan syair.
Balada adalah jenis puisi yang berisi cerita tentang orang-orang perkasa, tokoh pujan, atau
orang-orang yang menjadi pusat perhatian. Salah satu contohnya adalah Balada Terbunuhnya
Atmo Karpo karya W.S. Rendra.

Romansa adalah jenis puisi cerita yang menggunakan bahasa romantik dan berisi ungkapan
cinta kasih maupun kisah percintaan. Menurut Waluyo (1995:136), romansa dapat juga berarti
cinta tanah kelahiran.

b.Puisi lirik.
Dalam puisi lirik, penyair tidak bercerita. Puisi lirik merupakan sarana penyair untuk
mengungkapkan aku lirik atau gagasan pribadinya (Waluyo, 1995:136). Elegi, ode, dan
serenada bisa dikategorikan ke dalam jenis ini. Elegi banyak mengungkapkan perasaan duka
atau kesedihan, serenada merupakan sajak percintaan yang dapat dinyanyikan, sedangkan ode
adalah puisi yang berisi pujaan terhadap seseorang, sesuatu hal, atau sesuatu keadaaan
(Waluyo, 1995:136).
Dalam puisi deskriptif, penyair memberi kesan terhadap suatu peristiwa atau fenomena yang
dipandang menarik perhatian penyair (Waluyo, 1995:137). Jenis puisi yang dapat dikategorikan
ke dalam jenis ini adalah satire, kritik sosial, dan puisi-puisi impresionistik.

2.Puisi Kamar dan Puisi Auditorium

Istilah puisi kamar dan puisi auditorium dipopulerkan oleh Leon Agusta dalam buku kumpulan
puisinya, Hukla. Puisi kamar ialah puisi yang cocok dibaca sendirian atau dengan satu atau dua
pendengar saja. Puisi kamar lebih berisi perenungan sehingga pemaknaannya bisa dicapai
lewat pemikiran yang tenang. Kebanyakan puisi Sapardi Djoko Damono bisa dikategorikan
dalam jenis puisi kamar. Puisi Auditorium adalah puisi yang cocok dibacakan di auditorium,
mimbar yang jumlah pendengarnya bisa dikatakan banyak..

3.Puisi Fisikal,Platonik,dan Metafisikal

Puisi fisikal berisi pelukisan kenyataan yang sebenarnya, apa yang dilihat, didengar, atau
dirasakan oleh penyair. Puisi-puisi naratif, balada, puisi impresionistik, dan puisi dramatis
biasanya merupakan puisi fisikal (Waluyo, 1995:138).
Puisi platonik adalah puisi yang sepenuhnya berisi hal-hal yan bersifat spiritual atau kejiwaan.
Puisi tentang ide, cita-cita, dan cinta luhur dapat dinyatakan sebagai puisi platonik.
Puisi metafisikal adalah puisi yang bersifat filosofis dan mengajak pembaca merenungkan
kehidupan atau ketuhanan. Puisi religius di satu sisi dapat dinyatakan sebagai puisi platonik
(menggambarkan ide atau gagasan penyair), dan di sisi lain dapat juga disebut sebagai puisi
metafisik (mengajak pembaca merenungkan kehidupan)
4.Puisi Subjektif dan Objektif

Puisi subjektif atau bisa disebut puisi personal adalah puisi yang mengungkapkan gagasan,
pemikiran, perasaan, dan suasana dalam diri penyair sendiri. Puisi-puisi ekspresionis semacam
puisi lirik dapat dikategorikan sebagai puisi subjektif.
Puisi objektif atau puisi impersonal merupakan puisi yang mengungkapkan hal-hal di luar diri
penyair itu sendiri. Jenis-jenis puisi yang bisa digolongkan sebagai puisi objektif adalah puisi
naratif dan deskritptif, meskipun ada di antaranya yang subjektif (Waluyo, 1995:138)

5.Puisi Konkret

Puisi konkret (poems for the eye) diartikan sebagai puisi yang bersifat visual, yang dapat dihayati
keindahannya dari sudut penglihatan (Kennedy lewat Waluyo, 1995:138). Jenis puisi ini mulai
dipopulerkan sejak tahun 1970-an oleh Sutardji Calzoum Bachri. Pada tahun 1975, Jeihan
Sukmantoro juga menulis puisi konkret, walau masih dalam geliat puisi mbeling.

6.Puisi Diafan, Gelap, dan Prismatis

Puisi diafan atau puisi polos adalah puisi yang kurang sekali menggunakan pengimajian, kata
konkret, dan bahasa figuratif, sehingga bahasa dalam puisi mirip dengan bahasa sehari-hari
(Waluyo, 1995:140). Biasanya, para pemula dalam hal menulis puisi cenderung menghasilkan
karya dalam jenis ini. Mereka belum mampu mempermainkan kiasan, majas,dan sebagainya,
sehingga puisi menjadi kering dan lebih mirip catatan pada buku harian.
Puisi gelap menurut Waluyo (1995:140), adalah puisi yang terbentuk dari dominasi majas atau
kiasan sehingga menjadi gelap dan sukar ditafsirkan. Fenomena puisi gelap dan gelapnya puisi
dipahami sebagai ‘taktik’ untuk tetap berpuisi dalam situasi dan kondisi kehidupan bernegara
yang represif. Berangkat dari realitas sosial yang dipahami oleh penyair sebagai peristiwa
individu di satu sisi dan sebagai peristiwa sosial di sisi lain, puisi gelap pada waktu itu tetap
menyampaikan ironi dan kritik sosial sebagai tugas sastra.
Puisi prismatis sudah menggambarkan kemampuan penyair majas, diksi, dan sarana puitik yang
lain, sehingga puisi bisa dikatakan sudah ‘menjadi’. Puisi prismatis kaya akan makna, namun
tidak gelap (Waluyo, 1995:140). Puisi karya para penyair besar adalah puisi berjenis ini. Penyair
besar adalah orang yang telah melewati proses kreatif yang matang sehingga mereka telah
menemukan dirinya dan menemukan bentuk bagi puisinya.

7.Puisi Parnasian dan Puisi Inspiratif

Puisi parnasian diciptakan dengan pertimbangan ilmu atau pengetahuan dan bukan didasari
oleh inspirsi karena adanya mood dalam jiwa penyair (Waluyo, 1995:140). Puisi-puisi ini
biasanya ditulis oleh ilmuwan yang kebetulan mempunyai kemampuan menulis puisi. Walaupun
demikian, puisi parnasian tetap merupakan puisi, yang akan tetap diapresiasi dan diproduksi
oleh masyarakat sastra Indonesia. Bahkan, Wellek dan Warren (Budianta, 1993:28)
menyamakan puisi sebagai sejenis pengetahuan. Apapun pengetahuan yang akan disampaikan
dan apapun latar belakang keilmuan penyair, sesuatu akan menjadi puisi jika ia diciptakan
dengan segala piranti puitik yang ada.
Puisi inspiratif diciptakan berdasarkan mood atau passion penyair (Waluyo, 1995: 141). Dalam
tataran ini, menurut istilah Subagyo Sastrwardoyo (dalam Eneste, 1982:22), puisi atau sajak
benar-benar merupakan suara-suara dari bawah sadar. Selanjutnya, penyair menulis sajak dari
“gelegak sukma yang menjelma ke indah kata”, istilah Tatengkeng dan Rustam Effendi (via
Sarjono, 2001:103). Puisi pun lahir dalam keutuhannya yang paling bernas.

8.Stansa

Stansa adalah jenis puisi yang masih mengikat bentuknya dalam kaidah baris, yaitu terdiri dari
delapan baris. Malam Kelabu yang ditulis W.S. Rendra adalah salah satu contoh stansa.

9.Puisi Demonstrasi dan Pamflet

Dalam mengidentifikasikan jenis puisi ini, Waluyo menyaran pada puisi-puisi yang ditulis oleh
Taufiq Ismail dan mereka yang oleh H.B. Jassin disebut sebagai Angkatan ’66 (1995:141). Puisi
demonstrasi merupakan pelukisan dan hasil refleksi demonstrasi para mahasiswa dan pelajar
sekitar tahun 1966. Menurut Sastrowardoyo, (lewat Waluyo, 1995: 142), puisi-puisi demonstrasi
1966 bersifat kekitaan, yaitu melukiskan perasaan kelompok.Gaya yang dipakai penyair adalah
ironi dan paradoks.
Puisi pamflet tidak berbeda jauh dengan puisi demonstrasi. Keduanya sama-sama bernada
protes dan kritik sosial. Kata-katanya selalu menunjukkan rasa tidak puas kepada keadaan
(Waluyo, 1995:142). Sajak Lisong karya W.S. Rendra adalah salah satu contoh puisi pamflet.
Dalam puisi pamfletnya, selain menggugat keadaan, Rendra juga mengkritik para penguasa
dengan simbolisasi yang berani dan tajam.

10.Alegori
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, alegori adalah cerita yang dipakai sebagai lambang
(ibarat atau kias) perikehidupan manusia yang sebenarnya untuk mendidik (terutama moral) atau
menerangkan sesuatu (gagasan, cita-cita atau nilai kehidupan, seperti kebijakan, kesetiaan, dan
kejujuran). Jadi, dalam hal ini, alegori adalah puisi yang memanfaatkan cerita, bisa dongeng
atau hikayat, sebagai sarana penyair untuk mengungkapkan pemikiran-pemikirannya.

Selain jenis-jenis puisi yang telah dipaparkan, masih ada jenis puisi lain yang juga pernah dan
masih menjadi bahan pembicaraan masyarakat puisi Indonesia. Jenis-jenis puisi itu adalah
sebagai berikut ini
1.Puisi Mbeling

Puisi mbeling pertama kali populer di Indonesia pada tahun 1970-an. “Puisi mbeling” adalah
nama yang diberikan oleh pengasuh rubrik puisi dalam majalah Aktuil untuk sajak-sajak yang
dimuat dalam majalah itu (Soedjarwo, 2001:1). Hal yang mendorong lahirnya puisi mbeling
antara lain ialah tidak imbangnya antara hasrat dan kreativitas anak-anak muda dalam menulis
puisi dengan majalah kesusastraan yang tersedia. Puisi mbeling kala itu juga sering disebut
dengan puisi pop, puisi lugu, atau puisi awam.
Tema-tema yang digarap oleh puisi mbeling adalah kelakar, ejekan, kritik, dan main-main
(Soedjarwo, 2001:2). Yang dipentingkan, sekaligus menjadi tujuan, penulisan puisi mbeling
adalah kesan sesaat pada waktu membaca sajak tersebut. Jika pembaca tersenyum, tertawa
lepas, manggut-manggut, atau sedikit terkejut membaca pernyatan-pernyataan yang nakal dan
berani, itu sudah cukup (Soedjarwo, 2001:3)

2.Puisi Imajis

Puisi imajis mengandung makna bahwa puisi itu sarat dengan imaji (visual, auditif, dan taktil)
atau mendayagunakan imaji sebagai kekuatan literernya. Imaji bisa dimanfaatkan sebagai rasa
(kesatuan makna kata), metafora (perbandingan makna kata), maupun sebagai muatan utama
sebuah puisi (Banua, 2004). Selanjutnya ditambahkan oleh Banua, agar imajinasi bisa maksimal,
diperlukan keberanian membangun dimensi makna lewat perumpamaan yang tidak lazim,
memperlawankan, atau mempersandingkan dengan kata atau imaji lain yang luas dan kreatif.
Menurut analisis Banua (2004) dan Abdul Wachid B.S. (2005:23), puisi-puisi yang ditulis oleh
Sapardi Djoko Damono adalah salah satu contoh puisi imajis.

Puisi sebagai Produk Kreatif

Penyair adalah orang yang kreatif. Ia merepresentasikan hidup, kehidupan, manusia, serta
kemanusiaan dalam interpretasinya sebagai makhluk yang berpikir. Mencipta sajak juga
merupakan kerja yang kreatif. Kerja yang melibatkan seluruh indera manusia, bahkan lebih dari
itu. Dari pribadi yang kreatif dan proses yang kreatif itulah, maka puisi lahir sebagai produk
kreativitas. Setelah lahir, puisi mencari kehidupannya sendiri di masyarakat. Puisi menghidupi
masyarakat dan sebaliknya masyarakat juga menghidupi puisi. penambahan, pengurangan, atau
perlawanan berbagai hal yang sudah ada sebelumnya. Hal ini sangat berbeda dengan tiruan.
Tiruan hanya mengulang tanpa melihat adanya kesempatan untuk menjadi berbeda. Puisi pun
demikian. Tak ada satu pun unsur-unsur di dalamnya yang bisa dibilang baru, karena bahasa,
kata-kata, bunyi, setting, tema, perasaan, nada, dan amanat adalah buatan manusia. Amir
Hamzah, Chairil Anwar, dan lain-lain
2.1.2 Struktur Puisi
a. Struktur Fisik Puisi
(1) Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata,
tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf
kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap
puisi.
(2) Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi
adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka
kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya
dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata.
(3) Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi,
seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji
suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat
mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang
dialami penyair.
(4) Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan
munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata kongkret
“salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan kata kongkret “rawa-
rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.
(5) Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan
menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif menyebabkan puisi
menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna (Waluyo,
1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun macam-amcam majas antara lain
metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme,
antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
(6) Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada
puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1) onomatope (tiruan terhadap
bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola
bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh,
sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3) pengulangan
kata/ungkapan. Ritma merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma
sangat menonjol dalam pembacaan puisi.

b. Struktur Batin Puisi


Adapun struktur batin puisi akan dijelaskan sebagai berikut:
(1) Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda
dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna
keseluruhan.
(2) Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam
puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan
psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial,
kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan.
Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak
bergantung pada kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi
saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan
kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.
(3) Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan
tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja
sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada
pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.
(4) Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair
menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun
dapat ditemui dalam puisinya.
2.1.3 Jenis Puisi
Menurut zamannya, puisi dibedakan atas puisi lama dan puisi baru.
Puisi Lama
Ciri-ciri puisi lama:
• Merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya.
• Disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra lisan.
• Sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata maupun rima.
Yang termasuk puisi lama ialah Mantra adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki kekuatan
gaib

Pantun adalah puisi yang bercirikan bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-12
suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya sebagai isi. Pembagian pantun
menurut isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama/nasihat, teka-teki, jenaka.

Karmina adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek.

Gurindam adalah puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat.

Syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris, bersajak a-a-a-a,
berisi nasihat atau cerita.

Puisi baru bentuknya lebih bebas daripada puisi lama, baik dalam segi jumlah baris, suku kata,
maupun rima. Menurut isinya, puisi baru dibedakan atas:
• Balada adalah puisi berisi kisah/cerita.
• Himne adalah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan.
• Ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang berjasa.
• Epigram adalah puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup.
• Romance adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih.
• Elegi adalah puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan.
. Satire adalah puisi yang berisi sindiran/kritik.

2.1.4 Teknik Pembuatan Puisi

Berbagai ragam tema bahasan juga pernah diungkapkan lewat puisi, mulai dari kehidupan
sehari-hari, budaya, sains, politik dan tentu saja tentang cinta yang banyak sekali ditemukan,
khususnya puisi yang dituliskan oleh kaum remaja. Tentu, puisi-puisi ini dilahirkan dari berbagai
macam proses kelahiran. Sebenarnya, jika dicermati, menurut pengalaman, puisi itu merupakan
ungkapan kata bermakna yang dihasilkan dari berbagai macam proses kelahiran masing-
masing.Proses kelahiran ini ada beberapa tahap, antara lain :
1. TAHAP MENGUNGKAPKAN FAKTA DIRI
Puisi pada tahap ini, biasanya lahir berdasarkan observasi pada sekitar diri sendiri, terutama
pada faktor fisik. Misalnya pada saat berkaca.
2. TAHAP MENGUNGKAPKAN RASA DIRI
Pada tahap ini akan lahir puisi yang mampu mengungkapkan rasa atau perasaan diri sendiri
atas obyek yang bersinggungan atau berinteraksi. Perasaan yang terungkap bisa berupa sedih,
senang, benci, cinta, patah hati, dan lain-lain, misalnya tatkala melihat meja, akan bisa lahir
sebuah puisi
3. TAHAP MENGUNGKAPKAN FAKTA OBYEK LAIN
Pada tahap ini puisi dilahirkan berdasarkan fakta-fakta di luar diri dan dituliskan begitu saja apa
adanya, tanpa tambahan kata bersayap atau metafora, misalnya tatkala melihat meja, kemudian
muncul gagasan untuk menulis puisi.
4. TAHAP MENGUNGKAPKAN RASA OBYEK LAIN
Pada tahap ini penulis puisi mencoba berusaha mengungkapkan perasaan suatu obyek, baik
perasaan orang lain maupun benda-benda di sekitarnya yang seolah-olah menjelma menjadi
manusia. Misalnya tatkala melihat orang muda bersandar di bawah pohon rindang, dapat
sebuah terlahir puisi.
5. TAHAP MENGUNGKAPKAN KEHADIRAN YANG BELUM HADIR
Pada tahap ini puisi sudah merupakan hasil kristalisasi yang sangat mendalam atas segala
fakta, rasa dan analisa menuju jangkauan yang bersifat lintas ruang dan waktu, menuju kejadian
di masa depan. Mengungkapkan Kehadiran yang belum hadir artinya melalui media puisi, puisi
dipandang mampu untuk menyampaikan gagasan dalam menghadirkan yang belum hadir, yaitu
sesuatu hal yang pengungkapannya hanya bisa melalui puisi, tidak dengan yang lain. Misalnya
cita-cita anak manusia, budaya dan gaya hidup masyarakat di masa depan, dan lain-lain.

BAB 3 PEMBAHASAN

Teknik Pembacaan Puisi


Bagaimana kita membaca puisi dengan baik dan sampai sasaran/tujuan makna dari puisi yang
kita baca sesuai maksud Sang Penyair? Ada beberapa tahapan yang harus di perhatikan oleh
sang pembaca puisi, antara lain:
Interpretasi (penafsiran/pemahaman makna puisi)
Dalam proses ini diperlukan ketajaman visi dan emosi dalam menafsirkan dan membedah isi
puisi. Memahami isi puisi adalah upaya awal yang harus dilakukan oleh pembaca puisi, untuk
mengungkap makna yang tersimpan dan tersirat dari untaian kata yang tersurat.
Vocal
Artikulasi
Pengucapan kata yang utuh dan jelas, bahkan di setiap hurufnya.
Diksi
Pengucapan kata demi kata dengan tekanan yang bervariasi dan rasa.
Tempo
Cepat lambatnya pengucapan (suara). Kita harus pandai mengatur dan menyesuaikan dengan
kekuatan nafas. Di mana harus ada jeda, di mana kita harus menyambung atau mencuri nafas.
Dinamika
Lemah kerasnya suara. Kita ciptakan suatu dinamika yang prima dengan mengatur rima dan
irama, naik turunnya volume dan keras lembutnya diksi, dan yang penting menjaga harmoni di
saat naik turunnya nada suara.
Modulasi
Mengubah (perubahan) suara dalam membaca puisi.
Intonasi
Tekanan dan laju kalimat.
Jeda
Pemenggalan sebuah kalimat dalam puisi.
Pernafasan.
Biasanya, dalam membaca puisi yang digunakan adalah pernafasan perut.
Penampilan
Salah satu factor keberhasilan seseorang membaca puisi adalah kepribadian atau performance
diatas pentas. Usahakan terkesan tenang, tak gelisah, tak gugup, berwibawa dan meyakinkan
(tidak demam panggung).
Gerak
Gerakan seseorang membaca puisi harus dapat mendukung isi dari puisi yang dibaca. Gerak
tubuh atau tangan jangan sampai klise.
Komunikasi
Pada saat kita membaca puisi harus bias memberikan sentuhan, bahkan menggetarkan
perasaan dan jiwa penonton.
Ekspresi
Tampakkan hasil pemahaman, penghayatan dan segala aspek di atas dengan ekspresi yang
pas dan wajar.
Konsentrasi
Pemusatan pikiran terhadap isi puisi yang akan kita baca.

2.2 Gaya Bahasa Puisi


Majas atau gaya bahasa adalah pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu
untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra dan
cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis.

Hermeneutika Bahasa Puisi


HERMENEUTIKA atau hermeneutics atau wilayah-wilayah (ruang-ruang)
penafsiran/pemahaman biasa dipakai di dalam filsafat. Istilah ini kerap disandingkan dengan
semiotika, yaitu ilmu tentang penandaan-penandaan di dalam bahasa. Semiotika secara umum
mencakup empat rumpun utama, yaitu :
(1) semantik (ilmu tentang arti kata);
(2) etimologi (ilmu tentang asal-usul kata);
(3) sintaksis (ilmu tentang kalimat); dan
(4) pragmatika (ilmu tentang pengaruh atau dampak psikososiologis kata/kalimat).
Tema hermeneutika dan semiotika sudah banyak sekali dibahas, baik di Barat maupun Timur,
terutama berdasarkan perspektif bahasa, seni rupa, dan seni sastra. Boleh jadi secara keilmuan
semua pembahasan itu ‘sangat bisa’ diterima, karena secara struktural memang memenuhi
standar ilmiah. Tetapi, untuk menganggap isi pembahasan itu ijmal (integral), holistik,
proporsional, faktual, berimbang, efektif, dan komprehensif belum sepenuhnya bisa. Kenapa?
Karena ilmu selalu bertolak dari prosedur metode ilmiah. Hampir semua orang tahu sistematika
metode ilmiah itu secara umum ada lima tahap, yaitu pengamatan, hipotesa, survei atau riset,
eksprimen atau percobaan, dan merumuskan teori. Sistematika itu boleh diawali dari tahap mana
saja, tetapi diutamakan berurutan dan harus berpola timbal-balik. Atas dasar prosedur-prosedur
itulah teori-teori ilmiah sebagai elemen ilmu disusun. Dengan sendirinya segala sesuatu yang
tidak memenuhi salah satu saja dari prosedur itu boleh dianggap ‘batal’ secara keilmuan/ilmiah.
Barangkali, atas dasar keluasan hermeneutika itu pula penyair Subagyo Sastrowardoyo secara
filosofis menggubah puisi, berjudul ‘Manusia Pertama di Ruang Angkasa‘:

Bahasa Puisi

Bahasa puisi berbeda dengan bahasa puitis. Bahasa puisi pasti dan selalu menjelmakan
‘suasana puitis’, sedangkan ‘bahasa puitis’ belum tentu menjelmakan ‘suasana puitis’.
Contohnya, bahasa puitis yang ditulis oleh para ilmuwan tidak menjelmakan ‘suasana puitis’,
melainkan ‘suasana teknis/taktis’. Bahasa puitis yang diucapkan oleh para politisi juga tidak
menjelmakan ‘suasana puitis’, melainkan ‘suasana politis’. Begitu pula bahasa puitis yang
disampaikan oleh para teolog juga tidak bertujuan menjelmakan ‘suasana puitis’, melainkan
bertujuan menjelmakan ‘suasana teologis/ke-Tuhanan/keimanan’.
Kiranya bisa dimaklumi, ‘suasana puitis’ tidak bisa menjelma kecuali hanya melalui bahasa puisi
yang pasti dan selalu merupakan ‘bahasa puitis’. Karena itu, jangan heran bila ada sebagian
orang keliru memahami isi/kandungan puisi, karena mereka ‘memaksakan’ hermeneutika dan
semiotika dalam bahasa puisi menurut leksikal/kamus atau gramatikal (tatabahasa) umum.
Kekeliruan itu makin fatal bila isi/kandungan puisi ditafsirkan menurut terminologi bahasa politik,
bahasa matematika, bahasa ekonomi, bahasa fisika, dan sebagainya.
Pemahaman terhadap hermeneutika dan semiotika bahasa puisi ini juga yang mengandaikan
puisi bisa berkoherensi dengan genre seni lain, seperti seni musik, seni rupa, seni tari, dan
sebagainya. Koherensi puisi dan musik dapat menghasilkan atau disebut lagu apabila puisi
tunduk pada ‘kemauan’ titi nada musik. Koherensi serupa ini mirip dengan keberadaan senyawa
dalam terminologi ilmu kimia. Dua unsurnya sudah menyatu rekat dan satu sama lain hampir
tidak bisa lagi dipisahkan.
Di sisi lain koherensi itu juga bisa menghasilkan atau disebut musikalisasi puisi apabila
perpaduan puisi dan musik tidak menghilangkan sifat atau unsur masing-masing. Maksudnya,
puisi yang memiliki unsur irama tidak tunduk pada irama (titi nada) musik, tetapi dua irama itu
berpadu secara harmonis mewujudkan suasana puitis dan bukan suasana lagu/musik.
Perpaduan serupa ini bisa diibaratkan dengan campuran dalam terminologi ilmu kimia. Contoh
karya musikalisasi yang relevan dengan pendapat ini, antara lain garapan almarhum WS Rendra
dan Kelompok Kampungan.
Kalau mau mengarang lagu, ya karang saja lagu dan syairnya silakan saja comot satu puisi yang
relevan. Karya itu lagu dan jangan sebut sebagai musikalisasi puisi. Kalau mau memaksakan, ya
silakan. Saya manggut-manggut tersenyum sambil membuka winamp di PC saya. Lalu saya pun
mendengar musikalisasi puisi dari Led Zeppelin, Queen, Deep Purple, Uriah Heep, Nazareth,
The Rainbow, The Beatles, Rolling Stone, Santana, Suzi Quatro, Peter Mafay, The Beatles,
Freddy Aquilar, Mashabi, Alfian, Golden Wing, Ebiet G Ade, Iwan Fals, Toar Tangkal, Vina
Panduwinata, Rejung Pasirah, Slendro, dan tembang Batanghari Sembilan.
Lirik lagu-lagu mereka bisa saja saya anggap puisi tetapi tetangga saya datang dan bilang, “Aku
mintak lagu-lagu itu. Lagu itu pacak (bisa) ngilangke (menghilangkan) uban.” Tetanggaku yang
berasal dari Dusun Adu Manis, Komering itu memang suka mampir sambil mengajak berbincang
sekaligus berseloroh.

Membaca Puisi

Adapun faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam membaca puisi antara lain:
1. jenis acara: pertunjukkan, pembuka acara resmi, performance-art, dll.,
2. pencarian jenis puisi yang cocok dengan tema: perenungan, perjuangan, pemberontakan,
perdamaian, ketuhanan, percintaan, kasih sayang, dendam, keadilan, kemanusiaan, dll.,
3. pemahaman puisi yang utuh,
4. pemilihan bentuk dan gaya baca puisi, meliputi poetry reading, deklamasi, dan teaterikal
5. tempat acara: indoor atau outdoor,
6. audien,
7. kualitas komunikasi,
8. totalitas performansi: penghayatan, ekspresi( gerak dan mimik)
9. kualitas vokal, meliputi volume suara, irama (tekanan dinamik, tekanan nada, tekanan tempo)
10. kesesuaian gerak,
11. jika menggunakan bentuk dan gaya teaterikal, maka harus memperhatikan:
a) pemilihan kostum yang tepat,
b) penggunaan properti yang efektif dan efisien,
c) setting yang sesuai dan mendukung tema puisi,
d) musik yang sebagai musik pengiring puisi atau sebagai musikalisasi puisi

Jenis-jenis Gaya Bahasa :


• Majas perbandingan
1. Alegori: Menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran.
2. Alusio: Pemakaian ungkapan yang tidak diselesaikan karena sudah dikenal.
3. Simile: Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan
dan pengubung, seperti layaknya, bagaikan, dll.
4. Metafora: Pengungkapan berupa perbandingan analogis dengan menghilangkan kata seperti
layaknya, bagaikan, dll.
5. Antropomorfisme: Metafora yang menggunakan kata atau bentuk lain yang berhubungan
dengan manusia untuk hal yang bukan manusia.
6. Sinestesia: Majas yang berupa suatu ungkapan rasa dari suatu indra yang dicurahkan lewat
ungkapan rasa indra lainnya.
7. Antonomasia: Penggunaan sifat sebagai nama diri atau nama diri lain sebagai nama jenis.
8. Aptronim: Pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan orang.
9. Metonimia: Pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi merek,
ciri khas, atau atribut.
10. Hipokorisme: Penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan
hubungan karib.
11. Litotes: Ungkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta dengan tujuan merendahkan diri.
12. Hiperbola: Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut
menjadi tidak masuk akal.
13. Personifikasi: Pengungkapan dengan menggunakan perilaku manusia yang diberikan
kepada sesuatu yang bukan manusia.
14. Depersonifikasi: Pengungkapan dengan tidak menjadikan benda-benda mati atau tidak
bernyawa.
15. Pars pro toto: Pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek.
16. Totum pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.
17. Eufimisme: Pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-
kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus.
18. Disfemisme: Pengungkapan pernyataan tabu atau yang dirasa kurang pantas sebagaimana
adanya.
19. Fabel: Menyatakan perilaku binatang sebagai manusia yang dapat berpikir dan bertutur kata.
20. Parabel: Ungkapan pelajaran atau nilai tetapi dikiaskan atau disamarkan dalam cerita.
21. Perifrase: Ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang lebih pendek.
22. Eponim: Menjadikan nama orang sebagai tempat atau pranata.
23. Simbolik: Melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambang untuk menyatakan
maksud.
Majas sindiran
1. Ironi: Sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan
dari fakta tersebut.
2. Sarkasme: Sindiran langsung dan kasar.
3. Sinisme: Ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau ide bahwa kebaikan terdapat pada
manusia (lebih kasar dari ironi).
4. Satire: Ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau parodi, untuk mengecam atau
menertawakan gagasan, kebiasaan, dll.
5. Innuendo: Sindiran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya.
• Majas penegasan
1. Apofasis: Penegasan dengan cara seolah-olah menyangkal yang ditegaskan.
2. Pleonasme: Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau
menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan.
3. Repetisi: Perulangan kata, frase, dan klausa yang sama dalam suatu kalimat.
4. Pararima: Pengulangan konsonan awal dan akhir dalam kata atau bagian kata yang berlainan.
5. Aliterasi: Repetisi konsonan pada awal kata secara berurutan.
6. Paralelisme: Pengungkapan dengan menggunakan kata, frase, atau klausa yang sejajar.
7. Tautologi: Pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya.
8. Sigmatisme: Pengulangan bunyi "s" untuk efek tertentu.
9. Antanaklasis: Menggunakan perulangan kata yang sama, tetapi dengan makna yang
berlainan.
10. Klimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang sederhana/kurang
penting meningkat kepada hal yang kompleks/lebih penting.
11. Antiklimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang kompleks/lebih
penting menurun kepada hal yang sederhana/kurang penting.
12. Inversi: Menyebutkan terlebih dahulu predikat dalam suatu kalimat sebelum subjeknya.
13. Retoris: Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah terkandung di dalam pertanyaan
tersebut.
14. Elipsis: Penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat, yang dalam susunan normal unsur
tersebut seharusnya ada.
15. Koreksio: Ungkapan dengan menyebutkan hal-hal yang dianggap keliru atau kurang tepat,
kemudian disebutkan maksud yang sesungguhnya.
16. Polisindenton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana, dihubungkan dengan kata
penghubung.
17. Asindeton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana tanpa kata penghubung.
18. Interupsi: Ungkapan berupa penyisipan keterangan tambahan di antara unsur-unsur kalimat.
19. Ekskalamasio: Ungkapan dengan menggunakan kata-kata seru.
20. Enumerasio: Ungkapan penegasan berupa penguraian bagian demi bagian suatu
keseluruhan.
21. Preterito: Ungkapan penegasan dengan cara menyembunyikan maksud yang sebenarnya.
22. Alonim: Penggunaan varian dari nama untuk menegaskan.
23. Kolokasi: Asosiasi tetap antara suatu kata dengan kata lain yang berdampingan dalam
kalimat.
24. Silepsis: Penggunaan satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna dan yang berfungsi
dalam lebih dari satu konstruksi sintaksis.
25. Zeugma: Silepsi dengan menggunakan kata yang tidak logis dan tidak gramatis untuk
konstruksi sintaksis yang kedua, sehingga menjadi kalimat yang rancu.

• Majas pertentangan
1. Paradoks: Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan,
namun sebenarnya keduanya benar.
2. Oksimoron: Paradoks dalam satu frase.
3. Antitesis: Pengungkapan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan arti satu dengan
yang lainnya.
4. Kontradiksi interminus: Pernyataan yang bersifat menyangkal yang telah disebutkan pada
bagian sebelumnya.
5. Anakronisme: Ungkapan yang mengandung ketidaksesuaian dengan antara peristiwa dengan
waktunya

BAB 4 PENUTUP
4.1 Simpulan
Puisi dipahami bukan hanya berdasarkan makna yang tersurat, melainkan juga berdasarkan
makna yang tersirat. Makna yang tersirat dapat ditelusuri berdasarkan konteksnya. Konteks
disini berarti segala hal yang ada disekitar teks, termasuk proses pembuatan puisi itu sendiri.
Puisi yang menggunakan kata-kata konotatif, relatif lebih sulit dipahami. Pembaca dituntut untuk
menafsirkan makna kata-kata serta bentuk-bentuk kalimat-kalimat yang agak lain dari
pemakaian biasa.
- Selain itu, Beberapa puisi tersebut yang saya analisis banyak menggunakan bermacam-
macam gaya bahasa, namun dari beberapa puisi yang kami analisis, puisi karya.
- Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya berati
penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan –poet
dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan bahwa kata poet
berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta.
- Membaca puisi bukan sekedar menyampaikan arus pemikiran penyair, tapi kita juga harus
menghadirkan jiwa sang penyair. Kita harus menyelami dan memahami proses kreatif sang
penyair, bagaimana ia dapat melahirkan karya puisi.
- Teknik Pembacaan Puisi.
• Interpretasi (penafsiran/pemahaman makna puisi)
• Vocal
• Diksi
• Tempo
• Dinamika
• Modulasi
• Intonasi
• Jeda
• Pernafasan.
• Penampilan
• Gerak
• Komunikasi
• Ekspresi
• Konsentrasi
B. Saran
• Hendaknya pihak sekolah memberikan bimbingan (kurikulum) kepada siswa yang memiliki
potensial di bidang fisika instrument.
• Hendaknya pihak sekolah mengadakan lomba karya tulis ilmih, agar para penuis puisi akan
lebih kompetitif.

SUMBER

http://karyailmiahpuisi.blogspot.com/p/karya-ilmiah-tentang-puisi-b.html

Anda mungkin juga menyukai