Anda di halaman 1dari 22

karya ilmiah puisi telusuri

Pages

16th October 2011


Karya ilmiah tentang puisi
b.indonesia
Penyusun :
DEDEN DIKI SEPTIANA
X-4

Daftar isi

Isi halaman

1. Bab 1: pendahuluan
1.1 latar belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..
1.2 rumusan masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1.3 tujuan penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1.4 hipotesis . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..
1.5 metode penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2. Bab 2: landasan teori
2.1 Puisi . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2.1.1 pengertian puisi . . . . . . . . . . . . . . . . .
2.1.2 struktur puisi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2.1.3 jenis puisi . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . .
2.1.4 teknik pembuatan puisi . . . . . . . . . . .
2.1.5 teknik pmbacaan puisi . . . . . . . . . . .
2.2 gaya bahasa puisi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2.2.1 jenis-jenis gaya bahasa . . . . . . . . .
3. Bab 3: pembahasan
3.1 Penghidupan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3.2 tak sepadan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3.3 sia-sia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4. Bab 4: penutup
4.1 simpulan . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . .. . .
5. BAB 5:

BAB 1
PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang
Puisi adalah karya sastra yang menggunakan kata-kata yang indah dan penuh makna.
Keindahan puisi disebabkan oleh diksi, majas, rima dan irama yang terkandung dalam puisi
tersebut. Seorang penulis menciptakan puisi disebabkan ia mempunyai persoalan atau
masalah yang ingin dikemukakan dan bisa juga disebut puisi adalah ungkapan hati sang
penulis. Jika puisi tersebut berisi tentang kekecewaan , kesedihan maka sudah jelas si
penulis sedang merasa sedih. Tiap-tiap penulis mempunyai cara yang berbeda-beda dalam
mengemukakan persoalan tersebut. Ada yang mengemukakan dengan kata-kata yang indah
atau bermakna sebenarnya, ada juga yang secara terselubung. Oleh sebab itu, saya tertarik
untuk membahas gaya bahasa yang terdapat pada puisi dari berbagai ahli dibidang satra dan
bahasa .
1. 2. Rumusan Masalah
a. Gaya bahasa apa saja yang banyak digunakan dalam puisi para ahli tersebut
b. Bagaimana makna yang ditimbulkan dari gaya bahasa puisi tersebut

1. 3. Tujuan Penelitian
a. Mampu mengemukakan gaya bahasa apa saja yang banyak digunakan dalam puisi para
ahli
b. Mampu mengungkapkan makna yang ditimbulkan dari gaya bahasa puisi tersebut

1. 4.hipotesis
Puisi-puisi karya para ahli yang kami teliti, yaitu puisi yang berjudul Penghidupan, Tak
Sepadan, dan Sia-sia sebagian bersar banyak menggunakan Majas atau Gaya Bahasa
Hiperbola, sebagai gaya bahasa yang digunakan dalam membuat atau menulis isi puisi
tersebut.

1. 5. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode Kualitatif. Teknik pengumpulan datanya
anlisis dokumen atau studi pustaka.
BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 Puisi
2.1.1 Pengertian Puisi
Puisi adalah bentuk karangan yang terkikat oleh rima, ritma, ataupun jumlah baris serta
ditandai oleh bahasa yang padat. Unsur-unsur intrinsik puisi adalah
a. tema adalah tentang apa puisi itu berbicara
b. amanat adalah apa yang dinasihatkan kepada pembaca
c. rima adalah persamaan-persamaan bunyi
d. ritma adalah perhentian-perhentian/tekanan-tekanan yang teratur
e. metrum/irama adalah turun naik lagu secara beraturan yang dibentuk oleh persamaan
jumlah kata/suku tiap baris
f. majas/gaya bahasa adalah permainan bahasa untuk efek estetis maupun maksimalisasi
ekspresi
g. kesan adalah perasaan yang diungkapkan lewat puisi (sedih, haru, mencekam, berapi-api,
dll.)
h. diksi adalah pilihan kata/ungkapan
i. tipogra adalah perwajahan/bentuk puisi
Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:6) mengumpulkan denisi puisi yang pada umumnya
dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris sebagai berikut.
(1) Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam
susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-
baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat
berhubungannya, dan sebagainya.
(2) Carlyle mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair
menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya,
kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu
seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi.
(3) Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang
imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan
bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.
(4) Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara
konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan,
dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan kata-
katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama seperti
musik (pergantian bunyi kata-katanya berturu-turut secara teratur).
(5) Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam
hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan
keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan
kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya merupakan detik-detik
yang paling indah untuk direkam.
Dari denisi-denisi di atas memang seolah terdapat perbedaan pemikiran, namun tetap
terdapat benang merah. Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:7) menyimpulkan bahwa
pengertian puisi di atas terdapat garis-garis besar tentang puisi itu sebenarnya. Unsur-unsur
itu berupa emosi, imajinas, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata,
kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur.

Menurut Blair dan Thandler (HG.Tarigan:1984:4) Puisi adalah ekspresi dari pengalaman yang
bersifat imaginatif yang hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan/persyaratan yang bersifat
kemasyarakatan yang di utarakan dengan bahasa. Sedangkan menurut Ahdiyat
(1986/1987:46) Puisi adalah cipta sastra yang terdiri atas beberapa baris dan baris-baris itu
memperlihatkan pertalian makna serta membentuk sebuah bait atau lebih. H.G. Tarigan
mengutip pendapat Watts bahwa puisi adalah ekspresi yang kongkret dan bersifat artistik
dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama.
Berdasarkan kutipan di atas dapat di simpulkan bahwa puisi adalah salah satu bentuk cipta
sastra atau karya tulis yang bersifat terikat.
Macam Pengertian dan Jenis-jenis Puisi di Indonesia
Jenis-jenis Puisi di Indonesia
Puisi sebagai kreasi manusia selalu berkembang dari masa ke masa. Perkembangan puisi
merupakan reeksi pemikiran penyair dalam menyikapi zaman, sekaligus menyikapi
perpuisian itu sendiri. Akan tetapi, walaupun puisi berubah menjadi seribu macam bentuk,
ada yang tetap melekat dalam puisi sebagai hakekatnya, yaitu menyampaikan sesuatu
secara tidak langsung. Hal itu merupakan pemikiran Riffaterre (lewat Sarjono, 2001:124)
bahwa a poem says one thing and means another.
Di Indonesia, puisi telah mulai ditulis oleh Hamzah Fansuri dalam bentuk syair Melayu dan
ditulis dengan huruf Arab di akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17 (Ismail, 2001:5). Menurut
Teeuw, (1994:58), puisi yang ditulis kala itu sudah menunjukkan individualitas seorang
Fansuri, yaitu :
(1) puisi tidak anonim dan
(2) melibatkan (nama) diri dalam teks.
Selanjutnya, puisi berkembang pesat seiring berkembangnya idealisme tentang
individualisme dan kemerdekaan.
Ahli-ahli sastra banyak yang membedakan dan membagi perpuisian Indonesia menjadi puisi
lama dan puisi baru. Namun, apa yang disebut puisi lama itu pun masih tetap diapresiasi
dan diproduksi sampai saat ini, misalnya pantun, tetap dilestarikan dan diproduksi dalam
tradisi lisan masyarakat Indonesia. Di samping itu, puisi baru juga tidak bisa melepaskan
puisi lama karena ia bisa jadi ilham yang penuh keindahan untuk digarap. Sebagai contoh,
puisi mantra Sutardji.
Berikut adalah jenis-jenis puisi yang dirangkum oleh Waluyo (1995:135).

1.Puisi Naratif, Lirik, dan Deskriptif

Berdasarkan cara penyair mengungkapkan isi atau gagasan yang akan disampaikan, maka
puisi dapat diklasisikasikan menjadi berikut ini.

a.Puisi naratif.
Puisi naratif mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair, baik secara sederhana, sugestif,
atau kompleks. Puisi naratif diklasikasikan lagi menjadi balada, romansa, epik, dan syair.
Balada adalah jenis puisi yang berisi cerita tentang orang-orang perkasa, tokoh pujan, atau
orang-orang yang menjadi pusat perhatian. Salah satu contohnya adalah Balada
Terbunuhnya Atmo Karpo karya W.S. Rendra.
Balada Terbunuhnya Atmo Karpo

Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi


bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya
di pucuk-pucuk para
mengepit kuat-kuat lutut penungang perampok
yang diburu
surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang

Segenap warga desa mengepung hutan tu


dalam satu pusaran pulang balik Atmo Karpo
mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang
berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri.

Satu demi satu yang maju tersadap darahnya


penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka

- Nyawamu baran pasar, hai orang-orang bebal!


Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa

Majulah Joko Pandan! Di mana ia?


Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa
Anak panah empat arah dan musuh tiga silang
Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh liang

- Joko Pandan! Di mana ia?


Hanya padanya seorang kukandung dosa.

Bedah perutnya tapi masih setan ia!


menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala

- Joko Pandan! Di mana ia?


Hanya padanya seorang kukandung dosa.

Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan


segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
ridla dada bagi derunya dendam yang tiba

Pada langkah pertama keduanya sama baja


Pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
Panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka

Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka


pesta bulan, sorak-sorai, anggur darah.

Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang


Ia telah membunuh bapanya.

(Waluyo, 2003:88)

Romansa adalah jenis puisi cerita yang menggunakan bahasa romantik dan berisi ungkapan
cinta kasih maupun kisah percintaan. Menurut Waluyo (1995:136), romansa dapat juga
berarti cinta tanah kelahiran.
b.Puisi lirik.

Dalam puisi lirik, penyair tidak bercerita. Puisi lirik merupakan sarana penyair untuk
mengungkapkan aku lirik atau gagasan pribadinya (Waluyo, 1995:136). Elegi, ode, dan
serenada bisa dikategorikan ke dalam jenis ini. Elegi banyak mengungkapkan perasaan duka
atau kesedihan, serenada merupakan sajak percintaan yang dapat dinyanyikan, sedangkan
ode adalah puisi yang berisi pujaan terhadap seseorang, sesuatu hal, atau sesuatu keadaaan
(Waluyo, 1995:136).
c.Puisi deskriptif. Dalam puisi deskriptif, penyair memberi kesan terhadap suatu peristiwa
atau fenomena yang dipandang menarik perhatian penyair (Waluyo, 1995:137). Jenis puisi
yang dapat dikategorikan ke dalam jenis ini adalah satire, kritik sosial, dan puisi-puisi
impresionistik.

2.Puisi Kamar dan Puisi Auditorium

Istilah puisi kamar dan puisi auditorium dipopulerkan oleh Leon Agusta dalam buku
kumpulan puisinya, Hukla. Puisi kamar ialah puisi yang cocok dibaca sendirian atau dengan
satu atau dua pendengar saja. Puisi kamar lebih berisi perenungan sehingga pemaknaannya
bisa dicapai lewat pemikiran yang tenang. Kebanyakan puisi Sapardi Djoko Damono bisa
dikategorikan dalam jenis puisi kamar. Salah satu contoh untuk disebutkan adalah puisi
berjudul Aku Ingin.
Aku Ingin
Aku ngin mencintaimu dengan sederhana :
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu.

Aku ngin mencintaimu dengan sederhana :


Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

(Waluyo, 2003:117)

Puisi Auditorium adalah puisi yang cocok dibacakan di auditorium, mimbar yang jumlah
pendengarnya bisa dikatakan banyak. Puisi auditorium disebut juga puisi mimbar, puisi yang
keindahannya semakin bergelora ketika dibaca dengan suara lantang. Untuk disebutkan
sebagai contoh, Sajak Lisong karya W.S. Rendra bisa dikategorikan dalam jenis puisi mimbar.

3.Puisi Fisikal, Platonik, dan Metasikal

Puisi sikal berisi pelukisan kenyataan yang sebenarnya, apa yang dilihat, didengar, atau
dirasakan oleh penyair. Puisi-puisi naratif, balada, puisi impresionistik, dan puisi dramatis
biasanya merupakan puisi sikal (Waluyo, 1995:138).
Puisi platonik adalah puisi yang sepenuhnya berisi hal-hal yan bersifat spiritual atau
kejiwaan. Puisi tentang ide, cita-cita, dan cinta luhur dapat dinyatakan sebagai puisi platonik.
Puisi metasikal adalah puisi yang bersifat losos dan mengajak pembaca merenungkan
kehidupan atau ketuhanan. Puisi religius di satu sisi dapat dinyatakan sebagai puisi platonik
(menggambarkan ide atau gagasan penyair), dan di sisi lain dapat juga disebut sebagai puisi
metasik (mengajak pembaca merenungkan kehidupan atau ketuhanan). Sebagai contoh,
puisi-puisi yang ditulis oleh A. Mustofa Bisri selain sebagai puisi platonik, juga merupakan
puisi metasik.
Ittihad

lalu atas izinmu


kita pun bertemu

dan senyummu
menghentikan jarak dan waktu

lalu atas izinku


kita pun menyatu

4.Puisi Subjektif dan Objektif

Puisi subjektif atau bisa disebut puisi personal adalah puisi yang mengungkapkan gagasan,
pemikiran, perasaan, dan suasana dalam diri penyair sendiri. Puisi-puisi ekspresionis
semacam puisi lirik dapat dikategorikan sebagai puisi subjektif.
Puisi objektif atau puisi impersonal merupakan puisi yang mengungkapkan hal-hal di luar diri
penyair itu sendiri. Jenis-jenis puisi yang bisa digolongkan sebagai puisi objektif adalah puisi
naratif dan deskritptif, meskipun ada di antaranya yang subjektif (Waluyo, 1995:138)

5.Puisi Konkret

Puisi konkret (poems for the eye) diartikan sebagai puisi yang bersifat visual, yang dapat
dihayati keindahannya dari sudut penglihatan (Kennedy lewat Waluyo, 1995:138). Jenis puisi
ini mulai dipopulerkan sejak tahun 1970-an oleh Sutardji Calzoum Bachri. Pada tahun 1975,
Jeihan Sukmantoro juga menulis puisi konkret, walau masih dalam geliat puisi mbeling.

ooooooooo
ooooooooo
ooooooooo
ooooooooo
ooooooooooooooooooooooooooo
ooooooooooooooooooooooooooo
ooooooooooooooooooooooooooo
ooooooooooooooooooooooooooo
ooooooooo
ooooooooo
ooooooooo
ooooooooo
S.O.S
O2
!

6.Puisi Diafan, Gelap, dan Prismatis

Puisi diafan atau puisi polos adalah puisi yang kurang sekali menggunakan pengimajian, kata
konkret, dan bahasa guratif, sehingga bahasa dalam puisi mirip dengan bahasa sehari-hari
(Waluyo, 1995:140). Biasanya, para pemula dalam hal menulis puisi cenderung menghasilkan
karya dalam jenis ini. Mereka belum mampu mempermainkan kiasan, majas, dan sebagainya,
sehingga puisi menjadi kering dan lebih mirip catatan pada buku harian.
Puisi gelap menurut Waluyo (1995:140), adalah puisi yang terbentuk dari dominasi majas
atau kiasan sehingga menjadi gelap dan sukar ditafsirkan. Sementara itu, Sutardji Calzoum
Bachri mengidentikasikan puisi-puisi yang ditulis era 80-90an sebagai puisi gelap. Afrizal
Malna adalah salah satu penyair yang menulis puisi gelap kala itu. Menurut Sutardji, (lewat
Sarjono, 2001:102), gelapnya puisi 80-90an memiliki pengertian mendua, yakni (1) persoalan
komunikasi puisi (2) persoalan gagalnya pengucapan puitik. Sementara itu, Abdul Wachid
B.S. (2005:50) dan Korrie Layun Rampan (2000:xxxiii) memandangnya lain. Fenomena puisi
gelap dan gelapnya puisi dipahami sebagai taktik untuk tetap berpuisi dalam situasi dan
kondisi kehidupan bernegara yang represif. Berangkat dari realitas sosial yang dipahami oleh
penyair sebagai peristiwa individu di satu sisi dan sebagai peristiwa sosial di sisi lain, puisi
gelap pada waktu itu tetap menyampaikan ironi dan kritik sosial sebagai tugas sastra.
Puisi prismatis sudah menggambarkan kemampuan penyair majas, diksi, dan sarana puitik
yang lain, sehingga puisi bisa dikatakan sudah menjadi. Puisi prismatis kaya akan makna,
namun tidak gelap (Waluyo, 1995:140). Puisi karya para penyair besar adalah puisi berjenis
ini. Penyair besar adalah orang yang telah melewati proses kreatif yang matang sehingga
mereka telah menemukan dirinya dan menemukan bentuk bagi puisinya.

7.Puisi Parnasian dan Puisi Inspiratif

Puisi parnasian diciptakan dengan pertimbangan ilmu atau pengetahuan dan bukan didasari
oleh inspirsi karena adanya mood dalam jiwa penyair (Waluyo, 1995:140). Puisi-puisi ini
biasanya ditulis oleh ilmuwan yang kebetulan mempunyai kemampuan menulis puisi.
Walaupun demikian, puisi parnasian tetap merupakan puisi, yang akan tetap diapresiasi dan
diproduksi oleh masyarakat sastra Indonesia. Bahkan, Wellek dan Warren (Budianta, 1993:28)
menyamakan puisi sebagai sejenis pengetahuan. Apapun pengetahuan yang akan
disampaikan dan apapun latar belakang keilmuan penyair, sesuatu akan menjadi puisi jika ia
diciptakan dengan segala piranti puitik yang ada.
Puisi inspiratif diciptakan berdasarkan mood atau passion penyair (Waluyo, 1995: 141).
Dalam tataran ini, menurut istilah Subagyo Sastrwardoyo (dalam Eneste, 1982:22), puisi atau
sajak benar-benar merupakan suara-suara dari bawah sadar. Selanjutnya, penyair menulis
sajak dari gelegak sukma yang menjelma ke indah kata, istilah Tatengkeng dan Rustam
Effendi (via Sarjono, 2001:103). Puisi pun lahir dalam keutuhannya yang paling bernas.
8.Stansa

Stansa adalah jenis puisi yang masih mengikat bentuknya dalam kaidah baris, yaitu terdiri
dari delapan baris. Malam Kelabu yang ditulis W.S. Rendra adalah salah satu contoh stansa.

Malam Kelabu

Ada angin menerpa jendela


Ada langit berwarna kelabu
Hujan titik satu-satu
Menatap cakrawala malam jauh
Masih adakah kuncup-kuncup mekar
Atau semua telah layu
Kelu dalam seribu janji
Kelam dalam penantia

9.Puisi Demonstrasi dan Pamet

Dalam mengidentikasikan jenis puisi ini, Waluyo menyaran pada puisi-puisi yang ditulis oleh
Tauq Ismail dan mereka yang oleh H.B. Jassin disebut sebagai Angkatan 66 (1995:141).
Puisi demonstrasi merupakan pelukisan dan hasil reeksi demonstrasi para mahasiswa dan
pelajar sekitar tahun 1966. Menurut Sastrowardoyo, (lewat Waluyo, 1995: 142), puisi-puisi
demonstrasi 1966 bersifat kekitaan, yaitu melukiskan perasaan kelompok. Di samping itu,
puisi juga merupakan endapan dari pengalaman sik, mental, dan emosional penyair selama
terlibat dalam demonstrsi tahun 1966. Gaya yang dipakai penyair adalah ironi dan paradoks.
Puisi pamet tidak berbeda jauh dengan puisi demonstrasi. Keduanya sama-sama bernada
protes dan kritik sosial. Kata-katanya selalu menunjukkan rasa tidak puas kepada keadaan
(Waluyo, 1995:142). Sajak Lisong karya W.S. Rendra adalah salah satu contoh puisi pamet.
Dalam puisi pametnya, selain menggugat keadaan, Rendra juga mengkritik para penguasa
dengan simbolisasi yang berani dan tajam.

10.Alegori

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, alegori adalah cerita yang dipakai sebagai lambang
(ibarat atau kias) perikehidupan manusia yang sebenarnya untuk mendidik (terutama moral)
atau menerangkan sesuatu (gagasan, cita-cita atau nilai kehidupan, seperti kebijakan,
kesetiaan, dan kejujuran). Jadi, dalam hal ini, alegori adalah puisi yang memanfaatkan cerita,
bisa dongeng atau hikayat, sebagai sarana penyair untuk mengungkapkan pemikiran-
pemikirannya. Salah satu puisi yang bisa dijadikan contoh alegori adalah Ken Arok karya Omi
Intan Naomi berikut ini.

Ken Arok

saat tertikam keris anusapati


berkata ia, revolusi takkan mati
akan tumbuh bagai duit di jalan tol
ken arok-ken arok baru yang bahkan
lebih dahsyat mengukir dalam-dalam namanya di peradaban
ia akan bunuh setiap tunggul ametung
dan akan seret setiap ken dedes ke ranjang
meraup negeri dan isinya habis-habis
lalu mulai bermimpi tentang
kerajaan miliknya
ia kagumi diri sendiri betapa kuatnya tangan-tangannya
yang telah mencekik kediri
menjual kelahirannya dan meninggikan singasari
dan anak-anak haram yang akan mendepani pasukan
menyeru perang dan lapar wewenang
akan mengawini kegelapan, dan
dalam kuasanya ia tertikam.

Selain jenis-jenis puisi yang telah dipaparkan, masih ada jenis puisi lain yang juga pernah dan
masih menjadi bahan pembicaraan masyarakat puisi Indonesia. Jenis-jenis puisi itu adalah
sebagai berikut ini
1.Puisi Mbeling

Puisi mbeling pertama kali populer di Indonesia pada tahun 1970-an. Puisi mbeling adalah
nama yang diberikan oleh pengasuh rubrik puisi dalam majalah Aktuil untuk sajak-sajak yang
dimuat dalam majalah itu (Soedjarwo, 2001:1). Hal yang mendorong lahirnya puisi mbeling
antara lain ialah tidak imbangnya antara hasrat dan kreativitas anak-anak muda dalam
menulis puisi dengan majalah kesusastraan yang tersedia. Puisi mbeling kala itu juga sering
disebut dengan puisi pop, puisi lugu, atau puisi awam.
Tema-tema yang digarap oleh puisi mbeling adalah kelakar, ejekan, kritik, dan main-main
(Soedjarwo, 2001:2). Yang dipentingkan, sekaligus menjadi tujuan, penulisan puisi mbeling
adalah kesan sesaat pada waktu membaca sajak tersebut. Jika pembaca tersenyum, tertawa
lepas, manggut-manggut, atau sedikit terkejut membaca pernyatan-pernyataan yang nakal
dan berani, itu sudah cukup (Soedjarwo, 2001:3). Berikut adalah beberapa contoh puisi
mbeling yang ditulis oleh Yudhistira Ardi Noegraha (Kesaksian di Hari Natal), Nhur Effendi
Ardhianto (Pesan Pelacur pada Langganannya), dan Remy Silado (Buat Iin Suwardjo sebelum
Mandi).
KESAKSIAN DI HARI NATAL

Ketika pipi kananku ditampar


plak!
kuturuti sabdamu, ya bapak
kuberikan pipi kiriku
dan
plak!
duh, larane.

PESAN PELACUR PADA LANGGANANNYA

mas
kapan rene maneh

BUAT IIN SUWARDJO SEBELUM MANDI

ceweku wangi baunya


wangi bau ceweku
wangi ceweku
ceweku
cewe
cewecewecewecewecewe
ce
we
ce
we
c
w
c
w
w.c.
w.c bau c.w
c.w bau w.c
ceweku bau w.c.

2.Puisi Imajis

Puisi imajis mengandung makna bahwa puisi itu sarat dengan imaji (visual, auditif, dan taktil)
atau mendayagunakan imaji sebagai kekuatan literernya. Imaji bisa dimanfaatkan sebagai
rasa (kesatuan makna kata), metafora (perbandingan makna kata), maupun sebagai muatan
utama sebuah puisi (Banua, 2004). Selanjutnya ditambahkan oleh Banua, agar imajinasi bisa
maksimal, diperlukan keberanian membangun dimensi makna lewat perumpamaan yang
tidak lazim, memperlawankan, atau mempersandingkan dengan kata atau imaji lain yang
luas dan kreatif. Menurut analisis Banua (2004) dan Abdul Wachid B.S. (2005:23), puisi-puisi
yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono adalah salah satu contoh puisi imajis. Berikut adalah
salah satu contoh puisinya.
Hujan Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah


dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik hujannya
kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak


dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif


dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Pembedaan puisi ke dalam jenis-jenis puisi seperti yang telah dipaparkan, tidaklah
bermaksud untuk memisah-misahkan puisi menjadi terkotak-kotakkan. Karena, pada
hakikatnya, semua puisi adalah sama, yaitu menyampaikan sesuatu secara tidak langsung.
Semua puisi adalah ungkapan perasaan dan pemikiran penyairnya yang ingin
dikomunikasikan kepada publik pembaca. Yang ingin dikomunikasikan itu tidak lain adalah
manusia, hidup, kemanusiaan, dan kehidupan. Lantaran puisi ditulis sebab keterlibatannya
dalam kehidupan, karenanya puisi adalah kehidupan itu sendiri, yang di dalamnya ada tanda-
tanda kehidupan (Wachid, B.S. 2005:23)

B.3. Puisi sebagai Produk Kreatif

Penyair adalah orang yang kreatif. Ia merepresentasikan hidup, kehidupan, manusia, serta
kemanusiaan dalam interpretasinya sebagai makhluk yang berpikir. Mencipta sajak juga
merupakan kerja yang kreatif. Kerja yang melibatkan seluruh indera manusia, bahkan lebih
dari itu. Dari pribadi yang kreatif dan proses yang kreatif itulah, maka puisi lahir sebagai
produk kreativitas. Setelah lahir, puisi mencari kehidupannya sendiri di masyarakat. Puisi
menghidupi masyarakat dan sebaliknya masyarakat juga menghidupi puisi.
Sebagai poduk kreatif, hendaknya puisi menawarkan hal-hal yang baru, seperti keindahan
bahasa, keindahan suasana, muatan, dan makna (Banua, 2004). Kebaruan adalah inti dari
kreativitas. Sesuatu yang baru itu bisa saja merupakan kombinasi dari usaha perbandingan,
penambahan, pengurangan, atau perlawanan berbagai hal yang sudah ada sebelumnya. Hal
ini sangat berbeda dengan tiruan. Tiruan hanya mengulang tanpa melihat adanya
kesempatan untuk menjadi berbeda. Puisi pun demikian. Tak ada satu pun unsur-unsur di
dalamnya yang bisa dibilang baru, karena bahasa, kata-kata, bunyi, setting, tema, perasaan,
nada, dan amanat adalah buatan manusia. Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan Sutardji
Calzoum Bachri yang pernah disebut sebagai sastrawan yang begitu orisinil, yang tidak
setiap seperempat abad lahir pun, pada dasarnya mencipta puisi dari sesuatu yang telah ada
sebelumnya. Namun, yang membedakan, mereka bukanlah epigon, sehingga ada hal-hal baru
yang berani ditawarkan pada perpuisian Indonesia..

2.1.2 Struktur Puisi


a. Struktur Fisik Puisi
(1) Perwajahan puisi (tipogra), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-
kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan
huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan
terhadap puisi.
(2) Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi
adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka
kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya
dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Geoffrey (dalam Waluyo, 19987:68-69)
menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami 9 (sembilan) aspek penyimpangan, yaitu
penyimpangan leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan
sintaksis, penggunaan dialek, penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh
kelompok/profesi tertentu), penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno), dan
penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik)
(3) Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi,
seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji
suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat
mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang
dialami penyair.
(4) Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan
munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata
kongkret salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan kata
kongkret rawa-rawa dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.
(5) Bahasa guratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan
menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa guratif menyebabkan puisi
menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna (Waluyo,
1987:83). Bahasa guratif disebut juga majas. Adapaun macam-amcam majas antara lain
metafora, simile, personikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora,
pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte,
hingga paradoks.
(6) Versikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi
pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1) onomatope (tiruan
terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.), (2) bentuk
intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang,
sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3)
pengulangan kata/ungkapan. Ritma merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras
lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.

b. Struktur Batin Puisi


Adapun struktur batin puisi akan dijelaskan sebagai berikut:
(1) Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan
tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun
makna keseluruhan.
(2) Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam
puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan
psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial,
kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan
pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu
masalah tidak bergantung pada kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa,
dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan,
pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan
psikologisnya.
(3) Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan
tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte,
bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu
saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.
(4) Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong
penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi,
maupun dapat ditemui dalam puisinya.
2.1.3 Jenis Puisi
Menurut zamannya, puisi dibedakan atas puisi lama dan puisi baru.
Puisi Lama
Ciri-ciri puisi lama:
Merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya.
Disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra lisan.
Sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata maupun
rima.
Yang termasuk puisi lama adalah:
. Mantra adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki kekuatan gaib.
Contoh:
Assalammualaikum putri satulung besar
Yang beralun berilir simayang
Mari kecil, kemari
Aku menyanggul rambutmu
Aku membawa sadap gading
Akan membasuh mukamu

. Pantun adalah puisi yang bercirikan bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-
12 suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya sebagai isi. Pembagian
pantun menurut isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama/nasihat, teka-teki, jenaka.
Contoh:

Tanam melati di rama-rama


Ubur-ubur sampingan dua
Biarlah mati kita bersama
Satu kubur kita berdua
(Roro Mendut, 1968)

Karmina adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek.


. Seloka adalah pantun berkait.
Contoh :
Lurus jalan ke Payakumbuh,
Kayu jati bertimbal jalan
Di mana hati tak kan rusuh,
Ibu mati bapak berjalan
Kayu jati bertimbal jalan,
Turun angin patahlah dahan
Ibu mati bapak berjalan,
Ke mana untung diserahkan

. Gurindam adalah puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat.

contoh:

Cahari olehmu akan sahabat


yang dapat dijadikan obat

Cahari olehmu akan guru


yang mampu memberi ilmu

Cahari olehmu akan kawan


yang berbudi serta setiawan

Cahari olehmu akan abdi


yang terampil serta berbudi

Syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris, bersajak a-a-a-a,
berisi nasihat atau cerita.
Contoh:

Bulan purnama cahaya terang


Bintang seperti intan
Pungguk merawan seorang-orang
Berahikan bulan di tanah seberang

Pungguk bercinta pagi dan petang


Melihat bulan di pagar bintang
Terselap merindu dendamnya datang
Dari saujana pungguk menentang
. Talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6, 8, ataupun 10 baris.
Panakik pisau siraut
Ambil galah batang lintabung
Silodang ambil untuk niru
Yang setitik jadikan laut
Yang sekapal jadikan gunung
Alam terkembang jadikan guru
(Panghulu, 1978:2)

Puisi Baru
Puisi baru bentuknya lebih bebas daripada puisi lama, baik dalam segi jumlah baris, suku
kata, maupun rima. Menurut isinya, puisi baru dibedakan atas:
Balada adalah puisi berisi kisah/cerita.
Himne adalah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan.
Ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang berjasa.
Epigram adalah puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup.
Romance adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih.
Elegi adalah puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan.
. Satire adalah puisi yang berisi sindiran/kritik.
2.1.4 Teknik Pembuatan Puisi
Sampai saat ini, barangkali berjuta puisi telah dituliskan, baik yang dipublikasikan di buku, di
koran, di internet, maupun yang masih tetap mengendap di tangan penulis atau bahkan
sudah hilang
, entah ke mana rimbanya.
Berbagai ragam tema bahasan juga pernah diungkapkan lewat puisi, mulai dari kehidupan
sehari-hari, budaya, sains, politik dan tentu saja tentang cinta yang banyak sekali ditemukan,
khususnya puisi yang dituliskan oleh kaum remaja.
Tentu, puisi-puisi ini dilahirkan dari berbagai macam proses kelahiran. Sebenarnya, jika
dicermati, menurut pengalaman, puisi itu merupakan ungkapan kata bermakna yang
dihasilkan dari berbagai macam proses kelahiran masing-masing.
Proses kelahiran ini ada beberapa tahap, antara lain :
1. TAHAP MENGUNGKAPKAN FAKTA DIRI
Puisi pada tahap ini, biasanya lahir berdasarkan observasi pada sekitar diri sendiri, terutama
pada faktor sik. Misalnya pada saat berkaca.
2. TAHAP MENGUNGKAPKAN RASA DIRI
Pada tahap ini akan lahir puisi yang mampu mengungkapkan rasa atau perasaan diri sendiri
atas obyek yang bersinggungan atau berinteraksi. Perasaan yang terungkap bisa berupa
sedih, senang, benci, cinta, patah hati, dan lain-lain, misalnya tatkala melihat meja, akan bisa
lahir sebuah puisi
3. TAHAP MENGUNGKAPKAN FAKTA OBYEK LAIN
Pada tahap ini puisi dilahirkan berdasarkan fakta-fakta di luar diri dan dituliskan begitu saja
apa adanya, tanpa tambahan kata bersayap atau metafora, misalnya tatkala melihat meja,
kemudian muncul gagasan untuk menulis puisi.
4. TAHAP MENGUNGKAPKAN RASA OBYEK LAIN
Pada tahap ini penulis puisi mencoba berusaha mengungkapkan perasaan suatu obyek, baik
perasaan orang lain maupun benda-benda di sekitarnya yang seolah-olah menjelma menjadi
manusia. Misalnya tatkala melihat orang muda bersandar di bawah pohon rindang, dapat
sebuah terlahir puisi.
5. TAHAP MENGUNGKAPKAN KEHADIRAN YANG BELUM HADIR
Pada tahap ini puisi sudah merupakan hasil kristalisasi yang sangat mendalam atas segala
fakta, rasa dan analisa menuju jangkauan yang bersifat lintas ruang dan waktu, menuju
kejadian di masa depan. Mengungkapkan Kehadiran yang belum hadir artinya melalui media
puisi, puisi dipandang mampu untuk menyampaikan gagasan dalam menghadirkan yang
belum hadir, yaitu sesuatu hal yang pengungkapannya hanya bisa melalui puisi, tidak dengan
yang lain. Misalnya cita-cita anak manusia, budaya dan gaya hidup masyarakat di masa
depan, dan lain-lain. Salah satu contoh yang menarik adalah lahirnya puisi paling tegas dari
para pemuda Indonesia, tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta, atas prakarsa Perhimpunan
Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), dalam Sumpah Pemuda.
Saat Sumpah pemuda yang berbentuk puisi ini diikrarkan, bangsa Indonesia masih tersekat-
sekat dalam kebanggaan masing-masing suku, ras dan bahasa serta masih dijajah oleh
kolonial Belanda. Melalui Puisi Sumpah Pemuda, lambat laun terjadi pencerahan pada
seluruh komponen bangsa akan pentingnya persatuan, sehingga jiwa persatuan itu sanggup
dihadirkan di dalam setiap individu bangsa Indonesia, meskipun kemerdekaan dan persatuan
belum terwujud. Dan menunggu sampai dengan di raihnya kemerdekaan Republik Indonesia
17 Agustus 1945.
2.1.5 Teknik Pembacaan Puisi
Bagaimana kita membaca puisi dengan baik dan sampai sasaran/tujuan makna dari puisi
yang kita baca sesuai maksud Sang Penyair? Ada beberapa tahapan yang harus di perhatikan
oleh sang pembaca puisi, antara lain:
Interpretasi (penafsiran/pemahaman makna puisi)
Dalam proses ini diperlukan ketajaman visi dan emosi dalam menafsirkan dan membedah isi
puisi. Memahami isi puisi adalah upaya awal yang harus dilakukan oleh pembaca puisi, untuk
mengungkap makna yang tersimpan dan tersirat dari untaian kata yang tersurat.
Vocal
Artikulasi
Pengucapan kata yang utuh dan jelas, bahkan di setiap hurufnya.
Diksi
Pengucapan kata demi kata dengan tekanan yang bervariasi dan rasa.
Tempo
Cepat lambatnya pengucapan (suara). Kita harus pandai mengatur dan menyesuaikan
dengan kekuatan nafas. Di mana harus ada jeda, di mana kita harus menyambung atau
mencuri nafas.
Dinamika
Lemah kerasnya suara (setidaknya harus sampai pada penonton, terutama pada saat lomba
membaca puisi). Kita ciptakan suatu dinamika yang prima dengan mengatur rima dan irama,
naik turunnya volume dan keras lembutnya diksi, dan yang penting menjaga harmoni di saat
naik turunnya nada suara.
Modulasi
Mengubah (perubahan) suara dalam membaca puisi.
Intonasi
Tekanan dan laju kalimat.
Jeda
Pemenggalan sebuah kalimat dalam puisi.
Pernafasan.
Biasanya, dalam membaca puisi yang digunakan adalah pernafasan perut.
Penampilan
Salah satu factor keberhasilan seseorang membaca puisi adalah kepribadian atau
performance diatas pentas. Usahakan terkesan tenang, tak gelisah, tak gugup, berwibawa
dan meyakinkan (tidak demam panggung).
Gerak
Gerakan seseorang membaca puisi harus dapat mendukung isi dari puisi yang dibaca. Gerak
tubuh atau tangan jangan sampai klise.
Komunikasi
Pada saat kita membaca puisi harus bias memberikan sentuhan, bahkan menggetarkan
perasaan dan jiwa penonton.
Ekspresi
Tampakkan hasil pemahaman, penghayatan dan segala aspek di atas dengan ekspresi yang
pas dan wajar.
Konsentrasi
Pemusatan pikiran terhadap isi puisi yang akan kita baca.

2.2 Gaya Bahasa Puisi


Majas atau gaya bahasa adalah pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu
untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra
dan cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis.

Hermeneutika Bahasa Puisi


HERMENEUTIKA atau hermeneutics atau wilayah-wilayah (ruang-ruang)
penafsiran/pemahaman biasa dipakai di dalam lsafat. Istilah ini kerap disandingkan dengan
semiotika, yaitu ilmu tentang penandaan-penandaan di dalam bahasa. Semiotika secara
umum mencakup empat rumpun utama, yaitu :
(1) semantik (ilmu tentang arti kata);
(2) etimologi (ilmu tentang asal-usul kata);
(3) sintaksis (ilmu tentang kalimat); dan
(4) pragmatika (ilmu tentang pengaruh atau dampak psikososiologis kata/kalimat).
Tema hermeneutika dan semiotika sudah banyak sekali dibahas, baik di Barat maupun Timur,
terutama berdasarkan perspektif bahasa, seni rupa, dan seni sastra. Boleh jadi secara
keilmuan semua pembahasan itu sangat bisa diterima, karena secara struktural memang
memenuhi standar ilmiah. Tetapi, untuk menganggap isi pembahasan itu ijmal (integral),
holistik, proporsional, faktual, berimbang, efektif, dan komprehensif belum sepenuhnya bisa.
Kenapa?
Karena ilmu selalu bertolak dari prosedur metode ilmiah. Hampir semua orang tahu
sistematika metode ilmiah itu secara umum ada lima tahap, yaitu pengamatan, hipotesa,
survei atau riset, eksprimen atau percobaan, dan merumuskan teori. Sistematika itu boleh
diawali dari tahap mana saja, tetapi diutamakan berurutan dan harus berpola timbal-balik.
Atas dasar prosedur-prosedur itulah teori-teori ilmiah sebagai elemen ilmu disusun. Dengan
sendirinya segala sesuatu yang tidak memenuhi salah satu saja dari prosedur itu boleh
dianggap batal secara keilmuan/ilmiah.
Barangkali, atas dasar keluasan hermeneutika itu pula penyair Subagyo Sastrowardoyo
secara losos menggubah puisi, berjudul Manusia Pertama di Ruang Angkasa:

beri aku
satu kata
bernama puisi
daripada seribu rumus ilmu
yang penuh janji
yang membuat aku kian jauh
dari bumi yang kukasih
angkasa ini bisu
angkasa ini sepi
Ya, karena keterbatasan hermeneutika satu kata itulah sebagian orang yang mengaku
ilmuwan dan cendekiawan bersilang pendapat, berdebat, saling menghujat, dan bahkan
membunuh. Karena faktor serupa itu pula sekelompok orang secara lantang menuding kar
kelompok lain yang sesungguhnya seiman. Karena kekeliruan hermeneutika satu kata itu
juga terorisme berkembang dan di sisi lain harus ditumpas karena dianggap ancaman.
Bumi yang kukasih pun menangis ketika satu kata itu memposisikan Socrates, Al-Halaj,
Syech Siti Jenar, dan lain-lain pemikir keilmuan/keagamaan pada hukuman mati. Satu kata
itu telah melahirkan beragam perspektif, seperti hukum, ekonomi, politik, sosial, dan
sebagainya. Jumlah angka kelahiran pro dan kontra per tahun seolah-olah tidak mau kalah
dengan jumlah angka kelahiran bayi. Bumi karena satu kata seolah-olah menjadi kehilangan
dimensi ruang, dimensi dialog, dimensi tafsir, dimensi losos, dan dimensi teologis.
Substansi dam Esensi Kata

Sebagaimana penyair Subagyo, para penyair lain dan secara umum pekerja seni di sepanjang
zaman juga cuma meminta satu kata bernama puisi. Kenapa satu kata yang diminta itu
dinamakan puisi dan bukan rumus ilmu apalagi sekadar uang dan mesin? Karena satu kata
bernama puisi itu secara esensi lebih sebagai verb (kata kerja) daripada noun (kata benda).
Satu kata bernama puisi itu secara substansi bisa singular (tunggal) dan sekaligus bisa pula
plural (jamak). Satu kata bernama puisi itulah baik disadari maupun tidak disadari
melahirkan bahasa puisi dan menjelmakan suasana puitis.
Kata kejujuran dalam bahasa puisi, misalnya berbeda dengan kejujuran dalam bahasa
politik, bahasa hukum, dan juga bahasa kamus. Kata kejujuran menurut ilmu bahasa berasal
dari kata keterangan sifat (jujur) yang berubah (karena mendapat awalan dan akhiran ke
an) menjadi kata benda abstrak. Uniknya, dalam bahasa puisi bentukan kata serupa itu lebih
sebagai kata kerja daripada kata benda abstrak. Penyair memakai kata itu sebagai proses
dan bukan hasil akhir. Maksudnya, kejujuran harus diperjuangkan setiap detik dan tidak boleh
berhenti. Berjuang terus untuk tetap berada dalam kejujuran.
Wilayah-wilayah penafsiran yang oleh para lsuf disebut hermeneutika itu masih kurang
sekali dipahami. Salah satu konsekuensinya dalam bidang sastra, banyak puisi-puisi
bernuansa agamis/sustik ditimbang menurut logika bahasa umum. Kalau itu dilakukan
pasti penafsirannya atau interpretasinya akan meleset, bahkan bisa-bisa sang penyairnya
dicap menyesatkan.
Tesis Rudolph Otto, Peter L Berger, Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, dan lain-lain pemikir di
sekitar topik ini ternyata masih belum sepenuhnya sampai sebagai salah satu diskursus
untuk mencerahkan pemahaman para penentu kebijakan, terutama di republik yang kita
cintai, Indonesia.
Bahasa Puisi

Bahasa puisi berbeda dengan bahasa puitis. Bahasa puisi pasti dan selalu menjelmakan
suasana puitis, sedangkan bahasa puitis belum tentu menjelmakan suasana puitis.
Contohnya, bahasa puitis yang ditulis oleh para ilmuwan tidak menjelmakan suasana puitis,
melainkan suasana teknis/taktis. Bahasa puitis yang diucapkan oleh para politisi juga tidak
menjelmakan suasana puitis, melainkan suasana politis. Begitu pula bahasa puitis yang
disampaikan oleh para teolog juga tidak bertujuan menjelmakan suasana puitis, melainkan
bertujuan menjelmakan suasana teologis/ke-Tuhanan/keimanan.
Kiranya bisa dimaklumi, suasana puitis tidak bisa menjelma kecuali hanya melalui bahasa
puisi yang pasti dan selalu merupakan bahasa puitis. Karena itu, jangan heran bila ada
sebagian orang keliru memahami isi/kandungan puisi, karena mereka memaksakan
hermeneutika dan semiotika dalam bahasa puisi menurut leksikal/kamus atau gramatikal
(tatabahasa) umum. Kekeliruan itu makin fatal bila isi/kandungan puisi ditafsirkan menurut
terminologi bahasa politik, bahasa matematika, bahasa ekonomi, bahasa sika, dan
sebagainya.
Pemahaman terhadap hermeneutika dan semiotika bahasa puisi ini juga yang mengandaikan
puisi bisa berkoherensi dengan genre seni lain, seperti seni musik, seni rupa, seni tari, dan
sebagainya. Koherensi puisi dan musik dapat menghasilkan atau disebut lagu apabila puisi
tunduk pada kemauan titi nada musik. Koherensi serupa ini mirip dengan keberadaan
senyawa dalam terminologi ilmu kimia. Dua unsurnya sudah menyatu rekat dan satu sama
lain hampir tidak bisa lagi dipisahkan.
Di sisi lain koherensi itu juga bisa menghasilkan atau disebut musikalisasi puisi apabila
perpaduan puisi dan musik tidak menghilangkan sifat atau unsur masing-masing.
Maksudnya, puisi yang memiliki unsur irama tidak tunduk pada irama (titi nada) musik, tetapi
dua irama itu berpadu secara harmonis mewujudkan suasana puitis dan bukan suasana
lagu/musik. Perpaduan serupa ini bisa diibaratkan dengan campuran dalam terminologi ilmu
kimia. Contoh karya musikalisasi yang relevan dengan pendapat ini, antara lain garapan
almarhum WS Rendra dan Kelompok Kampungan.
Kalau mau mengarang lagu, ya karang saja lagu dan syairnya silakan saja comot satu puisi
yang relevan. Karya itu lagu dan jangan sebut sebagai musikalisasi puisi. Kalau mau
memaksakan, ya silakan. Saya manggut-manggut tersenyum sambil membuka winamp di PC
saya. Lalu saya pun mendengar musikalisasi puisi dari Led Zeppelin, Queen, Deep Purple,
Uriah Heep, Nazareth, The Rainbow, The Beatles, Rolling Stone, Santana, Suzi Quatro, Peter
Mafay, The Beatles, Freddy Aquilar, Mashabi, Alan, Golden Wing, Ebiet G Ade, Iwan Fals, Toar
Tangkal, Vina Panduwinata, Rejung Pasirah, Slendro, dan tembang Batanghari Sembilan.
Lirik lagu-lagu mereka bisa saja saya anggap puisi tetapi tetangga saya datang dan bilang,
Aku mintak lagu-lagu itu. Lagu itu pacak (bisa) ngilangke (menghilangkan) uban.
Tetanggaku yang berasal dari Dusun Adu Manis, Komering itu memang suka mampir sambil
mengajak berbincang sekaligus berseloroh.

Membaca Puisi

Adapun faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam membaca puisi antara lain:
1. jenis acara: pertunjukkan, pembuka acara resmi, performance-art, dll.,
2. pencarian jenis puisi yang cocok dengan tema: perenungan, perjuangan, pemberontakan,
perdamaian, ketuhanan, percintaan, kasih sayang, dendam, keadilan, kemanusiaan, dll.,
3. pemahaman puisi yang utuh,
4. pemilihan bentuk dan gaya baca puisi, meliputi poetry reading, deklamasi, dan teaterikal
5. tempat acara: indoor atau outdoor,
6. audien,
7. kualitas komunikasi,
8. totalitas performansi: penghayatan, ekspresi( gerak dan mimik)
9. kualitas vokal, meliputi volume suara, irama (tekanan dinamik, tekanan nada, tekanan
tempo)
10. kesesuaian gerak,
11. jika menggunakan bentuk dan gaya teaterikal, maka harus memperhatikan:
a) pemilihan kostum yang tepat,
b) penggunaan properti yang efektif dan esien,
c) setting yang sesuai dan mendukung tema puisi,
d) musik yang sebagai musik pengiring puisi atau sebagai musikalisasi puisi

2.2.1 Jenis-jenis Gaya Bahasa :


Majas perbandingan
1. Alegori: Menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran.
2. Alusio: Pemakaian ungkapan yang tidak diselesaikan karena sudah dikenal.
3. Simile: Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan
dan pengubung, seperti layaknya, bagaikan, dll.
4. Metafora: Pengungkapan berupa perbandingan analogis dengan menghilangkan kata
seperti layaknya, bagaikan, dll.
5. Antropomorsme: Metafora yang menggunakan kata atau bentuk lain yang berhubungan
dengan manusia untuk hal yang bukan manusia.
6. Sinestesia: Majas yang berupa suatu ungkapan rasa dari suatu indra yang dicurahkan
lewat ungkapan rasa indra lainnya.
7. Antonomasia: Penggunaan sifat sebagai nama diri atau nama diri lain sebagai nama jenis.
8. Aptronim: Pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan orang.
9. Metonimia: Pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi
merek, ciri khas, atau atribut.
10. Hipokorisme: Penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan
hubungan karib.
11. Litotes: Ungkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta dengan tujuan merendahkan
diri.
12. Hiperbola: Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut
menjadi tidak masuk akal.
13. Personikasi: Pengungkapan dengan menggunakan perilaku manusia yang diberikan
kepada sesuatu yang bukan manusia.
14. Depersonikasi: Pengungkapan dengan tidak menjadikan benda-benda mati atau tidak
bernyawa.
15. Pars pro toto: Pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek.
16. Totum pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya
sebagian.
17. Eumisme: Pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-
kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus.
18. Disfemisme: Pengungkapan pernyataan tabu atau yang dirasa kurang pantas
sebagaimana adanya.
19. Fabel: Menyatakan perilaku binatang sebagai manusia yang dapat berpikir dan bertutur
kata.
20. Parabel: Ungkapan pelajaran atau nilai tetapi dikiaskan atau disamarkan dalam cerita.
21. Perifrase: Ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang lebih pendek.
22. Eponim: Menjadikan nama orang sebagai tempat atau pranata.
23. Simbolik: Melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambang untuk
menyatakan maksud.
Majas sindiran
1. Ironi: Sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan
dari fakta tersebut.
2. Sarkasme: Sindiran langsung dan kasar.
3. Sinisme: Ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau ide bahwa kebaikan terdapat
pada manusia (lebih kasar dari ironi).
4. Satire: Ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau parodi, untuk mengecam atau
menertawakan gagasan, kebiasaan, dll.
5. Innuendo: Sindiran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya.
Majas penegasan
1. Apofasis: Penegasan dengan cara seolah-olah menyangkal yang ditegaskan.
2. Pleonasme: Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau
menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan.
3. Repetisi: Perulangan kata, frase, dan klausa yang sama dalam suatu kalimat.
4. Pararima: Pengulangan konsonan awal dan akhir dalam kata atau bagian kata yang
berlainan.
5. Aliterasi: Repetisi konsonan pada awal kata secara berurutan.
6. Paralelisme: Pengungkapan dengan menggunakan kata, frase, atau klausa yang sejajar.
7. Tautologi: Pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya.
8. Sigmatisme: Pengulangan bunyi "s" untuk efek tertentu.
9. Antanaklasis: Menggunakan perulangan kata yang sama, tetapi dengan makna yang
berlainan.
10. Klimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang sederhana/kurang
penting meningkat kepada hal yang kompleks/lebih penting.
11. Antiklimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang kompleks/lebih
penting menurun kepada hal yang sederhana/kurang penting.
12. Inversi: Menyebutkan terlebih dahulu predikat dalam suatu kalimat sebelum subjeknya.
13. Retoris: Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah terkandung di dalam pertanyaan
tersebut.
14. Elipsis: Penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat, yang dalam susunan normal
unsur tersebut seharusnya ada.
15. Koreksio: Ungkapan dengan menyebutkan hal-hal yang dianggap keliru atau kurang tepat,
kemudian disebutkan maksud yang sesungguhnya.
16. Polisindenton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana, dihubungkan dengan kata
penghubung.
17. Asindeton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana tanpa kata penghubung.
18. Interupsi: Ungkapan berupa penyisipan keterangan tambahan di antara unsur-unsur
kalimat.
19. Ekskalamasio: Ungkapan dengan menggunakan kata-kata seru.
20. Enumerasio: Ungkapan penegasan berupa penguraian bagian demi bagian suatu
keseluruhan.
21. Preterito: Ungkapan penegasan dengan cara menyembunyikan maksud yang sebenarnya.
22. Alonim: Penggunaan varian dari nama untuk menegaskan.
23. Kolokasi: Asosiasi tetap antara suatu kata dengan kata lain yang berdampingan dalam
kalimat.
24. Silepsis: Penggunaan satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna dan yang
berfungsi dalam lebih dari satu konstruksi sintaksis.
25. Zeugma: Silepsi dengan menggunakan kata yang tidak logis dan tidak gramatis untuk
konstruksi sintaksis yang kedua, sehingga menjadi kalimat yang rancu.

Majas pertentangan
1. Paradoks: Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan,
namun sebenarnya keduanya benar.
2. Oksimoron: Paradoks dalam satu frase.
3. Antitesis: Pengungkapan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan arti satu
dengan yang lainnya.
4. Kontradiksi interminus: Pernyataan yang bersifat menyangkal yang telah disebutkan pada
bagian sebelumnya.
5. Anakronisme: Ungkapan yang mengandung ketidaksesuaian dengan antara peristiwa
dengan waktunya.

BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 PENGHIDUPAN
Lautan maha dalam
mukul dentur dalam
nguji tenaga pematang kita

mukul dentur selama


hingga hancur remuk redam
kurnia Bahgia
kecil setumpuk
sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk
Chairil Anwar (Desember 1942)

Pada bait pertama puisi yang berjudul PENGHIDUPAN yang berbunyi//Lautan maha dalam//
mengandung majas Metonimia, karena majas inimempergunakan sebuah kata untuk
menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Bait dua dan tiga
yang berbunyi//mukul dentur selama// dan //nguji tenaga pematang kita// mengandung
majas Hiperbola, karena majas ini mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan
membesar-besarkan sesuatu hal.
Selanjutnya, bait empat dan lima yang berbunyi //mukul dentur selama//dan //hingga hancur
remuk redam// pun sama mengandung majas Hiperbola.Bait enam, tujuh dan delapan yang
berbunyi //Kurnia bahgia//, //kecil setumpuk//dan //sia-sia dilindungi, sia-sia dipupuk//,
mengandung majas Ironi, karena majas ini ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau
maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya.

3.2 TAK SEPADAN


Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka

Jadi baik juga kita padami


Unggunan api ini
Karena kau tidak kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka
Chairil Anwar ( Februari 1943)

Pada bait satu, dua dan tiga puisi yang berjudul TAK SEPADAN yang berbunyi //Aku kira//,
//Beginilah nanti jadinya// dan //Kau kawin, beranak dan berbahagia// mengandung majas
Ironi, karena majas ini ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari
apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Bait keempat yang berbunyi //sedang
aku mengembara serupa Ahasveros// mengandung majas Simile, karena majas ini
mengandung perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan perbandingan
yang bersifat eksplisit adalah langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain.
Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-
kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, serupa dengan dan sebagainya.
Selanjutnya, bait lima, enam dan tujuh yang berbunyi //Dikutuk-sumpahi Eros//, //Aku
merangkaki dinding buta//, dan //Tak satu juga pintu terbuka//mengandung majas
Hiperbola, karena majas ini mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan
membesar-besarkan sesuatu hal. Bait delapan dan sembilan yang berbunyi //Jadi baik juga
kita padami//, //Unggunan api ini//mengandung majas Metonimia, karena majas ini
mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian
yang sangat dekat. Dan, bait terakhir yaitu bait sepuluh dan sebelas yang berbunyi //Karena
kau tidak kan apa-apa//, //Aku terpanggang tinggal rangka// mengandung majas Hiperbola,
karena majas ini mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-
besarkan sesuatu hal.

3.3 SIA-SIA

Penghabisa kali itu kau datang


Membawa kembang berkarang
Mawar mewah dan melati putih
Darah dan suci
Kau terbarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: untukmu.

Lalu kita sama termangu


Saling bertanya: apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti

Sehari kita bersama. Tak hampir-menghampiri

Ah! Hatiku yang tak mau memberi


Mampus kau dkoyak-koyak sepi
Chairil Anwar (Februari 1943)

Pada bait satu dan dua puisi yang berjudul SIA-SIA yang berbunyi//Penghabisa kali itu kau
datang//, //Membawa kembang berkarang// mengandung majas Simbolik, karena gaya
bahasa kiasan untuk melukiskan sesuatu dengan menggunakan benda benda sebagai
simbol atau perlambang.Bait tiga, empat dan lima yang berbunyi //Mawar mewah dan melati
putih//,//Darah dan suci// dan //Kau terbarkan depanku// mengandung majas Alegori, karena
majas ini gaya bahasa yang mengungkapkan beberapa perbandingan yang bertaut satu
dengan yang lain dan membentuk satu kesatuan yang utuh.Bait keenam yang berbunyi
//Serta pandang yang memastikan: untukmu// mengandung majas Perifrasis, karena majas
ini gaya bahasa penguraian sepatah kata diganti dengan serangkaian kata yang mengandung
arti yang sama.
Selanjutnya, bait tujuh, delapan dan sembilan yang berbunyi //Lalu kita sama termangu//,
//Saling bertanya: apakah ini?// dan //Cinta? Kita berdua tak mengerti// mengandung majas
Retoris, karena berupa pertanyaan yang tidak menuntut suatu jawaban. Bait sepuluh yang
berbunyi //Sehari kita bersama. Tak hampir-menghampiri// mengandung majas Eumisme,
karena majas ini menyatakan sesuatu dengan ungkapan yang lebih halus. Dan, bait yang
terakhir yaitu bait sebelas dan duabelas yang berbunyi //Ah! Hatiku yang tak mau memberi//,
//Mampus kau dkoyak-koyak sepi// mengandung majas Hiperbola, karena majas ini
mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal.

BAB 4
PENUTUP
4.1. Simpulan
Puisi dipahami bukan hanya berdasarkan makna yang tersurat, melainkan juga berdasarkan
makna yang tersirat. Makna yang tersirat dapat ditelusuri berdasarkan konteksnya. Konteks
disini berarti segala hal yang ada disekitar teks, termasuk proses pembuatan puisi itu sendiri.
Puisi yang menggunakan kata-kata konotatif, relatif lebih sulit dipahami. Pembaca dituntut
untuk menafsirkan makna kata-kata serta bentuk-bentuk kalimat-kalimat yang agak lain dari
pemakaian biasa.
- Selain itu, Beberapa puisi tersebut yang saya analisis banyak menggunakan bermacam-
macam gaya bahasa, namun dari beberapa puisi yang kami analisis, puisi karya.
- Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya berati
penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan
poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan bahwa
kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta.
- Membaca puisi bukan sekedar menyampaikan arus pemikiran penyair, tapi kita juga harus
menghadirkan jiwa sang penyair. Kita harus menyelami dan memahami proses kreatif sang
penyair, bagaimana ia dapat melahirkan karya puisi.
- Teknik Pembacaan Puisi.
Interpretasi (penafsiran/pemahaman makna puisi)
Vocal
Diksi
Tempo
Dinamika
Modulasi
Intonasi
Jeda
Pernafasan.
Penampilan
Gerak
Komunikasi
Ekspresi
Konsentrasi
B. Saran
Hendaknya pihak sekolah memberikan bimbingan (kurikulum) kepada siswa yang memiliki
potensial di bidang sika instrument.
Hendaknya pihak sekolah mengadakan lomba karya tulis ilmih, agar para penuis puisi akan
lebih kompetitif.

BAB 5
SUMBER
5.5 daftar pustaka

Diposting 16th October 2011 oleh deden diki septiana

Anda mungkin juga menyukai