Anda di halaman 1dari 3

Hujan dan Mata Pelangi

Mata pelangi itu tak lagi tersenyum. Tatapannya menusuk ke ulu hatiku. Bahkan
kali ini, menohok sampai ke jantungku. Aku menunduk. Padahal, aku sempat
melihat rembulan hadir menghiasi kerinduannya padaku. Hangat. Ketika ia
mencium tanganku.
“Kak, apa aku harus selalu mengalah?” Ucapnya pelan namun jelas kurasakan
gejolak dasyat menyusup ke telingaku.
“Kenapa kau bilang begitu?” Suaraku hampir tak terdengar. Khawatir, emosinya
meledak dan menjadi tontonan banyak orang.
“Dulu, aku dikorbankan agar sekolahmu tetap lanjut. Masih tak cukup?” Nada
bicaranya melemah namun tatapannya masih tajam.
Pandanganku melompat. Berlarian di wajahnya mencari cahaya makna setiap kata-
katanya. Akhirnya tertunduk lagi setelah terbentur pada tembok kekesalan itu.
Hatiku basah.
“Maafkan kakak,” Aku bergegas kemudian meletakkan uang sepuluh ribu di meja
itu, meninggalkan semangkok bakso yang belum selesai aku santap.
Tiba-tiba tetesan air berjatuhan. Aku berlari menembus hujan. Tepat ketika aku
sampai di halte, bus pun tiba. Aku mendengar adikku berlarian dan memanggilku
ketika bus telah melaju. Di dalam bus, air mataku tumpah. Kusembunyikan di
antara basahan hujan yang masih menghiasi wajahku.

Aku sesak. Teringat kata-kata Yusuf pagi tadi. Benarkah adikku menjadi korban
agar sekolahku tetap lanjut? Kesedihan yang berlumut menyerangku. Aku tak
pernah menilik kebun rahasia keluargaku. Kini, lumut itu telah menjadi kerak.
Yusuf putus sekolah ketika aku masih duduk di bangku SMA. Saat itu, dia masih
di bangku sekolah dasar. Aku sendiri sekolah di ibukota kabupaten. Kampung
dimana orangtua dan adikku tinggal cukup jauh dari ibukota. Sehingga aku jarang
pulang. Setiap libur semester saja aku punya waktu untuk berkumpul bersama
mereka. Kala itu aku terkejut ketika tahu, adikku Yusuf sudah tak bersekolah lagi.
Padahal, dia sudah duduk di kelas lima.

“Mau jadi apa kalau tak nak sekolah nang?” Kulantunkan suara penyesalanku
sekaligus ungkapan kekesalan.
Yusuf tidak menjawab kala itu. Tapi ada binar penyesalan di mata pelanginya.
Pundakku pun kurasakan basah ketika aku memeluknya.
“Kenapa ayah biarkan Yusuf tak sekolah lagi yah?” Aku terisak.
“Dia kan belum mengerti. Seharusnya kita yang membimbingnya. Dia anak laki-
laki yah.” Aku menatap ayah lekat.
“Zara. Kakak tahu kan seperti apa ayah? Ayah tak suka perangai semangat sekolah
yang hangat-hangat kuku. Pendidikan itu sekarang mahal.” Kata ayah datar.
Aku mendengar yusuf terisak. Ia lari keluar rumah. Suasana seketika hening dan
hatiku membeku. Kukunci diriku di dalam kamar. Kusesali mimpiku untuk melihat
Yusuf suatu hari kelak berseragam polisi. Bulir air mataku tak mampu
mengembalikan segalanya. Hanya menambah sesak. Satu semester lebih sudah ia
putus sekolah. Ya Allah kemana kan dicari biaya untuk masuk lagi? Yusuf pun
pasti akan malu jika kembali ke sekolah.

Sejak saat itu, aku telah berjanji pada diriku sendiri. Aku harus turut bertanggung
jawab atas masa depan adik laki-lakiku. Paling tidak, aku harus bisa memberikan
lapangan pekerjaan yang layak untuk mencukupi kehidupannya kelak.
Mungkinkah semua itu sandiwara keluargaku? Agar aku tetap bisa bersekolah.
Sebab sisa uang hanya ada sedikit dari kebutuhan makan.

Aku yang masih bertahan menapaki bangku pendidikan hingga saat ini, sampai di
bangku sebuah universitas negeri di Sumatara. Meski napas orangtuaku terengah-
engah menghidupi kami di zaman yang teramat kejam sekarang ini. Segalanya
hanya akan dihargai dengan materi. Penyebab orang-orang kecil seperti keluargaku
hanya mendapatkan sisa kehidupan. Tapi, kini aku tengah memperjuangkan
kehidupan yang layak untuk keluargaku.

Sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah, aku selalu menduduki peringkat
tiga besar. Sehingga secara otomatis, aku dibebaskan dari pembayaran uang spp.
Tapi tetap saja orang tuaku harus bekerja keras untuk memenuhi keperluan
sekolahku yang lain. Buku-buku yang super mahal. Apalagi SD dan SMP di
kampung terpencil, belum ada perpustakaan. Orangtuaku hanya mengandalkan
hasil panen sepetak tanah yang harus disewa dari juragan besar di kampung. Untuk
makan pun harus gali lubang dulu.

Kenangan-kenangan masa lalu itu meninggalkan jejak yang menganga di hatiku.


Kini, bekas sayatan itu kian perih. Jika benar adikku berkorban, betapa malu diri
ini. Wajar saja, jika ia bersikap seperti pagi tadi terhadapku.

Aku memang sedang butuh uang. Uang hasil dari mengajar privat baru cukup
untuk melunasi keperluan kuliah dan makanku. Sementara, uang spp semester
depan harus segera aku bayar. Waktu yang tersisa hanya dua hari lagi. Karena
itulah aku menemui adikku yang baru sampai di ibu kota beberapa hari lalu. Dia
mulai bekerja di sebuah bengkel yang cukup besar. Kabarnya, ia akan membeli
motor. Uang untuk DP motor itu ia peroleh dari ayah. Aku berniat meminjamnya.
Aku tahu, ketika itu ia sedang galau. Salah satu tujuan ia mencari kerja di ibu kota
adalah untuk melupakan mantan kekasihnya yang lebih memilih lelaki tajir.

Mataku masih sembab. Banyak beasiswa di kampus, tapi tak satu pun namaku
terdaftar disana. Alasan klasik, aku tak punya orang dalam. Seminggu terakhir aku
sudah berusaha mencari pinjaman. Nihil. Sekarang musim sedang tidak
mendukung.

Haruskah kukorbankan diriku untuk masa depanku? Bagaimana dengan masa


depanku yang lain? Tapi, waktu yang mencekik hanya memberiku satu keputusan.

Sejak sore tadi, langit muram. Mendung yang bertandang mengundang rerintikan
hujan yang masih beraturan. Tapi, aku melihatnya seperti melingkar-lingkar.

Ketika aku turun dari sebuah mobil, adikku juga sampai di depan kontrakanku. Ia
datang dengan motor barunya. Aku terkejut. Ia menatapku lekat. Seperti tak yakin
bahwa akulah yang keluar dari mobil itu. Payung yang disodorkan lelaki paruh
baya dari dalam mobil itu, tak ku hiraukan hingga laki-laki itu keluar. Berkecamuk.
Apa yang harus kukatakan. Pun entah akan kujawab apa. Adikku mendekat.
Memegang sebuah amplop yang ia keluarkan dari sakunya. Amplop itu basah
tertimpa hujan. Aku menggigil melihat wajahnya yang memerah meski kuyup
terguyur hujan.

Yusuf semakin dekat. Kini, ia tepat di hadapanku. Mata pelanginya tak lagi
bercahaya. Hujan kian kuat menjatuhkan tetesannya seperti sedang berteriak. Aku,
bukan diriku lagi. Tiba-tiba Yusuf sangat kuat mencengkeram pundakku. Lalu,
guntur pun bersahutan berbarengan dengan suara pukulan keras dari tangan mata
pelangi itu.

Anda mungkin juga menyukai