Anda di halaman 1dari 5

Terimakasih atas waktu Ibu guru & teman-teman.

Kami dari kelompok 2 akan menampilkan drama dari


sebuah novel karya Tulis St. Sati yang berjudul:

SENGSARA MEMBAWA NIKMAT

Midun adalah seorang pemuda yang amat alim & berbudi luhur. Ia pandai bersilat & selalu menaati agama. Suatu
ketika Midun sedang duduk di tepi surau sembari minum.

Maun :”Tidakkah engkau tahu, bahwa petang ini diadakan permainan sepak raga?”

Midun :”Saya tahu. Si Kacak, kemenakan Tuanku Laras, sudah datang kah?”

Maun :”Belum. Saya rasa tentu dia datang juga.”

Midun :”Ah, tidak usah saya pergi, boleh jadi mendatangkan yang kurang baik.”

Maun :”Sungguh, ajaib.”

Midun :”Pada kenduri di masjid tempo hari, kita duduk pada deretan tengah. Orang kampung meletakkan
hidangan bertimbun-timbun di hadapan kita. Sedangkan kepada Kacak tidak seberapa.”

Maun :”Hal itu sudah sepatutnya. Sudahlah, mari pergi!”

(Kedua orang itu berjalan menuju arah pasar di kampung itu.Pemain sudah bersiap.Tidak lama, datang Kacak.)

Semua penonton sudah duduk di tempatnya masing-masing. Jenang masuk ke tengah medan, semua pemain
berdiri berkeliling membuat sebuah bundaran di tengah medan

Jenang :”Engku Muda Kacak! Permainan akan kita mulai. Bagian Engku Muda Kacak!”

Kacak :”Bagianmu, Midun!”

Midun :”Sambutlah kembali, Engku Muda!”

Kacak :”Aagh!” (jatuh terpeleset)

(Kacak jatuh terpleset. Semua orang tersenyum menahan tawa karena takut kepada kemenakan Tuanku Laras.)

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Maun :”Makan di pacuan kudasaja nanti. Mari kita naik bendi.”

Midun :”Benar, mari.”

Maun :”Tapi kabarnya sekarang 3 kali lipat dari sewa yang biasa.”

Midun :”Kita tawar dahulu.”

(Maun melihat seseorang bergerak di depan Midun hendak menusuknya.)

Maun :”Awas, Midun!”

Seseorang (Lenggang) :”Pencuri! Pencuri!”

(Seorang opas dating dan membawa Midun kepenjara.)

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Midun masuk ke penjara. (Ia pingsan seketika. Seseorang (Turigi) memangkunya ke kamar. Setelah beberapa
menit, ia terbangun.)

Turigi : “Sudah baikkah?”

Midun : “Sudah. Siapakah Bapak & mengapa di sini?”

Turigi : “Orang hukuman dari Bugis sudah 10 tahun. Nama Anak siapa? Orang mana? Apa kesalahan Anak?”

Midun : “Midun dari Bukittinggi. Ke mari sekali-kali tidaklah kesalahan saya. Apakah kesalahan Bapak?”

Turigi : “Membunuh Kepala Negeri 12 tahun lalu. Sudahlah, itu menyedihkan. Jagalah diri, di sini kejam.”

Midun : “Terima kasih atas pertolongannya.”


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sekali peristiwa Midun menyapu di bawah pohon kenari daerah Muara, kelihatan sebuah kalung berlian terletak
di atas urat kayu yang tersembul. Segera diambilnya. Tadinya ia melihat seorang gadis layaknya orang Belanda duduk di
tempat itu.

Setelah ke Kampung Jawa, ia ke rumah gadis itu. Pemilik rumah ketakutan melihat orang hukuman.

Ibu Halimah : “Masuklah” (dengan gagap)

Midun : “Tak usah khawatir. Unikah yang datang ke Muara tadi?”

Gadis : “Benar.”

Midun : “Adakah ketinggalan apa-apa di bawah pohon kenari?”

Gadis : “Ibu, kalung berlian hamba pakai ke Muara, waktu balik entah kemana. Adakah ibu melihatnya?”

Ibu Halimah : “Ketika kau pulang tadi tak pakai kalung. Jika bapak tirimu tahu, tak baik jadinya.”

Midun : “Janganlah kalian cemas, inikah?”

Gadis : “Betul. Terima kasih, Udo.” (melompat girang)

IbuHalimah : “Sebagai tanda terima kasih saya, uang yang sedikit ini terimalah dengan suka hati.”

Midun : “Saya harap Orang Kaya jangan gusar. Saya wajib mengembalikan barang pada yang punya.”

Midun pun kembali ke tempat kerjanya. Ia pergi dengan bahagia karena tindakan baiknya.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Hukuman Midun tinggal 15 hari. Kemauan Mandor Saman diturutnya belaka, biar apa saja yang disuruhkannya.
Midun amat sabar, dan harapan jangan hendaknya terjadi apa-apa sampai ia bebas. Tengah hari, datang seorang
perempuan tua.

Nenek : “Ibu Halimah menyuruh mengantarkan nasi untuk orang muda.”

Midun : “Siapa Halimah itu, Nek? Barangkali Nenek salah.”

Halimah : “Ibu saya menyuruh mengantarkan nasi untuk Udo.” (sambil keluar dari balik pohon kenari)

Midun : “Terima kasih banyak, sudilah kiranya Uni membawa nasi ini pulang.”

Halimah : “Saya harap janganlah Udo bertangguh seperti kemarin pula.”

Midun : “Tidak, Uni.”

Halimah : “Perkataan Udo mengenai hati saya. Jika Udo tak hendak makan nasi ini, buangkan sajalah ke laut! Ikan
laut barangkali suka. Sebentar lagi kita ambil rantang ini ke mari.”

---

Mandor Saman : “Siapa? Ini apa? Jalan apa padamu orang itu?”

Midun : “Maafkan saya, Mamak! Bukankah selera Mamak juga yang akan puas.”

Mandor Saman : “Baiklah, asal tiap hari begini. Tapi saya menyesal kalung itu kau kembalikan. Bodoh benar, jika dijual
betapa baiknya .…”

(Malamnya setelah isi rantang habis, Halimah & nenek kembali.)

Midun : “Segala isi rantang sudah saya habiskan. Terima kasih atas kemurahan beliau kepada anak dagang ini “

Halimah : “Terima kasih kembali. Udo nyata pada saya orang sini, tapi saya orang seberang.”

Midun : “Uni siapa & orang mana?”

Halimah : “Kami orang Jawa. Jika tidak beralangan pada Udo, sudilah menerangkan sebab Udo dihukum ini?”

Midun : “Baik.”

Midun menceritakan panjang lebar tentang sampainya ia ke penjara itu. Malam semakin larut, Halimah dan
nenek pulang.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tiap hari Halimah mengirimkan nasi ke Muara. Halimah mengirim hanya 3 hari, seterusnya dikirim oleh nenek
karena ibunya sakit keras. Tapi setelah sepekan, Halimah atau nenek tak datang. Midun khawatir hingga suatu ketika ia
datang ke rumah Halimah.

Midun : “Ke manakah orang di gedung ini, Uni?”

Babu : “Nyai Asmanah baru 3 hari ini meninggal, anaknya kemarin ada tapi pagi ini ketika saya hendak
menumpang mandi tidak ada lagi. Permisi, saya harus masuk.”

(Midun kasihan pada gadis itu. Midun berlalu pergi ke tempat kerjanya sambil terus memikirkan Halimah.)

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Suatu hari, Midun duduk di bawah pohon kenari. Bahunya diraba orang dari belakang. Ternyata nenek suruhan
Halimah. Jari telunjuknya di bibir & memberi sepucuk surat lalu berjalan tergopoh-gopoh ketakutan.

(Tulisannya huruf Belanda, Midun tak bisa membacanya. Ia simpan dulu surat itu hingga suatu ketika ia
menemui seorang anak sedang membaca.)

Midun : “Buyung, bolehkah tolong bacakan surat ini untuk saya? Saya tidak pandai membaca tulisan macam
ini.”

Anak : “Udo Midun! Tolong, saya dalam bahaya. Saya harap dengan sungguh, Udo datang mengambil saya ke
rumah No. 12 di Pondok. Jika Udo datang, antara pukul 11 & 12 malam. Nenek akan menanti di rumah
itu. Kasihanilah saya, kalau Udo tidak datang saya binasa. Wassalam saya, H.”

Midun : “Terima kasih, Buyung.”

Midun kembali ke penjara setelah mengerti isi surat dari Halimah itu. Ia semakin bimbang atas hal itu.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sipir : “Midun, engkau sudah bebas dari hukuman. Besok pagi engkau dapat surat dari saya.”

Midun : “Bolehkah saya menetap di sini?”

Sipir : “Sebetulnya tidak boleh, tapi biarlah saya kabulkan. Di mana kau akan tinggal?”

Midun : “Di rumah Pak Karto, tempat Engku menyuruh mengantar cucian pada saya tiap pekan.”

Lalu Midun pergi. Ia sampai di rumah Pak Karto yang sedang makan malam. Pak Karto mengajak Midun
makan pula. Mereka bercakap, sampai Midun menceritakan tentang Halimah.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pukul 11 Midun berjalan menuju Pondok. Ia berpakaian hitam-hitam & berjalan perlahan sesuai nasihat Pak
Karto.Tiba-tiba ia bertemu nenek. Mereka menempuh jalan bersemak & tertumbuk pada sebuah dinding rumah.

Halimah : “Nek? Ada Udo Midun?”

Nenek : “Ada, Midun tolonglah sambut Halimah.”

Halimah : “Ingat, Udo! Jangan hendaknya kita dicari orang.”

Midun : “Lain dari ke Ganting. Maukah Uni ke sana?”

Halimah : “Asal saya terhindar dari rumah ini.”

(Mereka jalan perlahan, nenek & Halimah ditutup dengan kain & Midun menurunkan kopiah sampai telinga.
Lalu ada bendi lewat & ia menahannya.)

Midun : “Ke Alanglawas.”

Midun : “Berhenti di sini, Mamak!”

(Mereka turun dari bendi dan berjalan perlahan sambil berbincang.)

Halimah : “Mengapa turun di sini?”

Midun : “Kita berjalan kaki saja supaya tidak diketahui kusir bendi tadi.”
Halimah : “Tolong antar saya ke bapak saya di Betawi, Bogor.”

Midun : “Jangan khawatir, permintaan Uni insya Allah saya kabulkan.”

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Paginya, Midun & Halimah bermaafan dengan Pak Karto. Lalu mereka berangkat ke Teluk Bayur. Penumpang
menyangka Midun & Halimah 2 laki istri. Sehingga tak ada yang menghiraukannya.

Di atas kapal Midun berdiri di geladak memandang buih air di buritan.

Halimah : “Udo panggil ‘adik’ saja. Uang yang kemarin bawa saja. Ini ada lagi, simpanlah kalau saya yang
menyimpan boleh jadi hilang apalagi dalam kapal.”

Midun : “Baiklah, sekarang kakak harus mengetahui hal adiknya. Coba adik cerita dari mula sampai saat ini.”

Halimah : “Negeri saya di Bogor. Bapak orang Bogor, Raden Soemintadireja. Sejak bercerai dengan ibu, belum
pernah berkirim surat. Maaf, saya bermimpi gila mabuk kenang-kenangan.”

Midun : “Kenang-kenangan yang akan sampai, mimpi yang boleh terjadi.”

Halimah : “Biar bagaimana pipit tinggal pipit. Mudah-mudahan yang dicita datang, yang dimaksud sampai.”

Midun : “Hal itu sudah lalu, tak usah dipikir lagi. Mudah-mudahan hidup benar bagai roda.”

Dengan tidak kurang suatu apa, kedua mereka pun sampailah ke Tanjung Priok, pelabuhan kota Betawi. Mereka
lalu terus ke stasiun. Halimah langsung membeli karcis ke negerinya, Bogor.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sudah sebulan mereka di Bogor. Midun memutuskan hendak meninggalkan negeri itu. (Di tepi jalan muka
rumah, Halimah berdiri menyambut Midun. Kedua mereka naik ke rumah. Hidangan sudah tersedia, lalu mereka makan
bersama. Setelah makan ayah Halimah, Midun & Halimah duduk di beranda.)

Midun : “Bapak, biarlah saya mencari untung nasib sayadi tanah Jawa ini. Saya harap izinkanlah saya.”

Bapak Halimah : “Anak Bapak pandang sudah sama dengan Halimah. Tetaplah di sini, Nak.”

Midun : “Syukur Bapak masih mencari. Tapi saya harap Bapak izinkan saya memanfaatkan waktu hidup saya.”

Bapak Halimah : “Baiklah, karena itu ada baiknya juga.”

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pak Midun dalam sakit payah.Setelah sebulan, famili Pak Midun datang & membawanya ke rumah saudara.
Namun, Pak Midun meninggal di perjalanan. Pada hari itu juga Pak Midun dikuburkan.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

(Midun berjalan di Pasar Senen. Tiba-tiba ada orang berteriak.)

Seseorang : “Awas, serdadu mengamuk! Lekas lari!”

Sinyo : “Tolong saya, dia hendak menikam saya.”

(Midun melompat menangkap pisau&dilemparnya. Mereka berkelahi di tengah jalan)

Midun : “Coba ambil ikat pinggang saya!”

Sinyo : “Ini ada punya saya.”(memberikan ikat pinggang)

Midun mengikat serdadu & dibawanya serdadu ke sebuah gedung. Sinyo masuk, keluar bersama tuan
Hoofdcommissaris. Yaitu bapak sinyo yang ditolong Midun.

Hoofdcomm. : “Terima kasih telah menolong anak saya. Siapa namamu? Dari mana? Apa kerjamu?”

Midun : “Midun dari Padang. Saya tak bekerja.”

Hoofdcomm. : “Kamu pandai menulis?”

Midun : “Pandai.”

Hoofdcomm. : “Besok kamu datang ke kantor saya pukul 8 betul, ya!”

Midun : “Baik, Tuan.”


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Midun diangkat menjadi polisi Tanjung Priok & ia menikahi Halimah. Lalu ia ditugasi ke Medan. Sebulan ia
menyelidiki dengan rajinnya. 2 hari lagi akan berangkat ke Betawi. Ia pergi berkeliling Medan. Temannya mengajak
minum di hotel.

Midun melihat sekitar & terperanjat melihat jongos hotel yang mirip adiknya, Manjau. Lalu ia putuskan untuk
menanyakan siapa jongos itu.

Midun : “Kamu orang mana? Di mana negerimu? Namamu siapa?”

Jongos : “Orang Minangkabau dari Bukittinggi. Nama saya Manjau.”

Midun : “Adakah engkau bersaudara? Jika ada, siapa namanya?”

Manjau : “Ada, Midun.”

Midun : “Manjau, adikku kiranya ini.” (sambil melompat memeluk Manjau)

Manjau : “Ayah sudah meninggal.Ibu canggung engkau tinggalkan. Suami mati, anak 2 orang sudah hilang.”

Menteri polisi Midun berangkat pula kembali ke Betawi. Manjau dibawanya bersama. Manjau tak izinkan
Midun bekerja. Sekali-kali Midun membawa pekerjaan pulang. Kemudian Manjau dimasukkan ke kantor
Hoofdcommissaris.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

10 hari kemudian, dating pos ke rumah Midun. Halimah segera keluar dan ternyata itu sebuah telegram.

Midun diangkat jadi asisten demang di Padang. Amat girang hatinya. Halimah pun merasakan hal yang sama.
Dengan suka, Midun ke kantor & memberikan surat itu pada Hoofdcommissaris.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sepekan kemudian, famili Midun berangkat ke Padang. Lalu Midun & Halimah mengunjungi kubur ibu
Halimah. Sudah itu ia pergi ke rumah Pak Karto. Paginya, Midun ke Bukittinggi. Ia hendak menemui keluarganya.

Midun : “Ini menantu Ibu, Halimah. Dan ini cucu Ibu, Basri.”

Mereka berpelukan dan menangis haru. Kehangatan masa lampau tercipta kembali, namun terasa pula
ketidakhadiran Pak Midun di antara mereka. Pada akhirnya segala sesuatu dapat terjadi. Hal yang sirna akan kembali,
segala insane hanya perlu percaya pada kehendak Tuhannya.

Anda mungkin juga menyukai