Anda di halaman 1dari 4

MARI INGAT KEMBALI CARA MENYUSUN TEKS CERITA SEJARAH!

Menyusun Novel Sejarah


Langkah-langkah menyusun novel sejarah adalah sebagai berikut.
1) Menentukan peristiwa sejarah yang akan menjadi bahan penceritaan
Langkah pertama dalam menyusun novel sejarah seseorang atau diri sendiri adalah
menentukan peristiwa sejarah (peristiwa yang terjadi pada masa lalu) yang akan
dikembangkan menjadi novel sejarah. 
Dalam novel sejarah, penulis menceritakan peristiwa-peristiwa yang dialami para tokohnya
dengan menggunakan latar peristiwa sejarah. Menulis novel sejarah berarti mengemas fakta
sejarah dengan rekaan penulis. Wujudnya dapat berupa peristiwa yang berkaitan dengan
hidup orang banyak atau hidup seseorang.
2) Menyusun kerangka atau gambaran singkat cerita sejarah yang akan
ditulis
Dasar penyusunan kerangka novel sejarah dapat berupa perjalanan waktu (misalnya. masa
kecil, masa remaja, masa sekolah, masa kuliah, masa dewasa); latar tempat (di desa, di
sekolah, di kota, di luar negeri).
Kerangka karangan dapat berisi tokoh, waktu dan tempat kejadian, , ilustrasi visual setiap
tokoh, apa yang dipermasalahkan, dan sebagainya. 
3) Mengumpulkan bahan-bahan cerita
Pada tahap ini penulis mengumpulkan rangkaian peristiwa dari berbagai rujukan dan sumber
(orang, buku, dan sebagainya).
4) Mengembangkan kerangka atau draf awal menjadi novel atau teks cerita
sejarah.
Pada tahap ini, penulis merangkai cerita berdasarkan daya khayal atau imajinasi. Sudut
pandang yang paling mudah adalah sudut pandang orang pertama “ aku”.
Penceritaan teks novel atau cerita sejarah mengikuti gaya teks rekon imajinatif yang
didalamnya ada orientasi, pengungkapan peristiwa, cerita mulai memuncak, puncak
permasalahan, resolusi, dan koda.

CONTOH TEKS CERITA SEJARAH PRIBADI


(KISAH NYATA) PENGORBANAN Sang Adik Untuk Kakak nya...

Gunawan Pulunggono

24 September 2013  ·

Kisah nyata berikut datang dari negeri Tirai Bambu, China, tentang pengorbanan luar biasa seorang adik
kepada kakak perempuannya. Berikut kisahnya :

Aku adalah seorang gadis yang lahir besar di sebuah dusun terpencil di daerah pegunungan. Aku
mempunyai seorang adik laki-laki yang umurnya tiga tahun dibawahku. Kami berasal dari keluarga yang
bisa digolongkan miskin. Kedua orang tua kami setiap hari bekerja di ladang.

Suatu hari karena aku ingin sekali membeli manisan yang di jual di toko, aku nekad mencuri uang lima
puluh sen yang di simpan di laci ayahku. namun ternyata Ayah menyadarinya, Ayah memanggil aku dan
adik. Disuruhnya kami berlutut membelakangi tembok. Dengan sebuah tongkat bambu di tangan ayah
mulai bicara dengan nada agak keras, "Siapa yang mencuri uang ayah?" Aku dan adik diam terpaku,
tidak ada yang berani menjawab. Ayah makin naik pitam karena tidak ada yang mengaku. "baiklah, kalo
begitu kalian berdua layak untuk dipukul" bentak ayah sambil mengangkat tongkat bambu tinggi-tinggi.
Tapi tiba-tiba adikku mencekram tangan Ayah sambil berkata, "Ayah, aku yang mengambil uang itu"
Bukan main marahnya Ayah mendengar jawaban adikku, dengan sekuat tenaga Ayah menghantamkan
tongkat bambu itu bertubi- tubi ketubuh kecil adikku. Ayah baru berhenti ketika dia capek dan
kehabisan napas. Lalu Ayah duduk di atas ranjang, sambil terengah- engah Ayah memarahi adikku,
"Kamu masih kecil sudah berani mencuri ya! Mau jadi apa kalau sudah besar nanti! Kamu layak di pukul
sampai mati. Dasar tidak tahu malu!"

Malam itu aku dan ibu menangis sambil memeluk tubuh adikku yang penuh luka-luka. Namun adikku
tidak mengeluarkan air mata setetespun. Dan secara tiba-tiba tangisanku meledak karena iba melihat
keadaan adikku. Tapi tangan kecil Adikku menutup mulutku sambil dia berkata, "Sudahlah Kak jangan
menagis lagi. Semuanya sudah terjadi"

Bertahun-tahun sudah lewat, namun peristiwa itu selalu ku ingat, bahkan aku merasa peristiwa itu baru
kemarin saja terjadi. Aku tidak akan pernah bisa lupa raut muka adikku ketika dia melindungiku. Satu hal
yang aku sesalkan dan aku benci sampai sekarang, mengapa pada waktu itu aku tidak punya keberanian
untuk mengakui perbuatanku. Saat itu adikku berumur 8 tahun dan aku 11 tahun.

Ketika lulus SMP, adikku ikut ujian masuk SMA di pusat Kabupaten, dan hasilnya ia lulus. Pada saat yang
sama akupun di terima di Perguruan Tinggi Negeri Propinsi. Malam itu Ayah duduk di halaman rumah,
menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus habis Ayah hisap. Saya tahu Ayah sedang
bingung saat itu. Lalu Ayah berkata kepada Ibu duduk di sebelah, "kedua anak kita memberikan hasil
yang baik....hasil yang baik......" Ibu mengusap air mata di pipi sambil menghela napas, "Ya, tapi apa
gunanya? Kita tidak akan sanggup membiayai sekolah keduanya sekaligus." Adikku yang melihat kedua
orang tuanya sedang bingung, tiba-tiba keluar rumah dan berdiri dihadapan Ayah. "Ayah, aku tidak mau
lagi melanjutkan sekolah, aku sudah cukup banyak membaca buku." demikian perkataan adikku di
hadapan Ayah. Mendengar itu, spontan Ayah menampar wajah adikku. lalu ia berkata, "Mengapa kamu
mempuyai mental yang begitu keparat lemahnya! Kalupun harus menjadi pengemis di jalanan, aku akan
melakukannya untuk menyekolahkan kalian berdua hingga selesai." Aku segera mendekati adikku,
lembut kuusap wajah adikku yang membengkak akibat tamparan Ayah, lalu ku katakan, "Anak laki-laki
itu harus terus sekolah, kalau tidak, kita tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini. Aku
telah memutuskan, tidak akan melanjutkan sekolah ke universitas."

Tapi sungguh di luar dugaan, keesokan harinya, sebelum subuh tiba, adikku pergi meninggalkan rumah
hanya dengan membawa beberapa helai baju lusuh dan sedikit kacang kering sebagai bekalnya.
Rupanya dia sempat masuk kamarkan dan meninggalkan selembar kertas berisi pesan : "Kak, masuk
Universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimi Kakak uang." Aku memegang
erat-erat kertas tersebut di atas tempat tidurku. Aku menangis dengan air mata bercucuran sampai
suaraku hilang. Saat itu adikku berumur 17 tahun dan aku 20 tahun.

Tak terasa aku sudah berada di tahun ketiga kuliahku. Ini semua berkat usaha Ayahku yang meminjam
uang dari seluruh penduduk kampung dan uang kiriman adikku dari hasil pekerjaannya sebagai kuli
pengangkut semen. Sampai pada suatu hari ketika aku sedang belajar di kamar, teman sekamarku
masuk dan memberitahu, "Ada seorang penduduk kampung mencarimu di luar sana." Sambil bingung
aku keluar kamar, siapa dan mengapa penduduk kampung mencariku? Ketika sampai di luar, aku
mendapati Adikku sedang berdiri di sana. Tubuhnya kotor tertutupi debu semen dan pasir. Akupun
heran dan bertanya padanya, "Mengapa tidak bilang pada temanku kalau kamu adalah adikku?" Diapun
menjawab sambil tersenyum, "Lihat penampilanku, mana mungkin aku akan membuat kamu malu
dengan mengaku sebagai adik kepada temanmu. Mereka pasti akan mentertawakanmu!" Aku terenyuh,
mataku telah menganak sungai. Dengan tanganku aku menyeka debu-debu di tubuhnya, dan dengan
suara terbata-bata aku coba bicara, "aku tidak peduli omongan orang, kamu akan tetap jadi adikku,
bagaimanapun penampilanmu." Dari sakunya ia mengeluarkan sebuah saputangan motif bunga-bunga
yang indah, dan memberikannya padaku. Ia berkata, "Saya melihat semua gadis di kota membawa sapu
tangan seperti ini, jadi saya pikir kakak juga harus memilikinya satu." Aku tak kuasa lagi menahan diri,
aku menarik adikku dan memeluknya. Aku menangis dan terus menangis dalam pelukannya. Saat itu
adikku berumur 20 tahun dan aku 23 tahun.

Pada waktu pacarku datang kerumah untuk yang pertama kalinya, jendela rumah yang sudah bertahun-
tahun tidak ada kacanya, tiba- tiba saja sudah terpasang kaca dengan rapi. Suasana rumahpun nampak
bersih disetiap sudutnya. Setelah pacarku pulang, aku menari-nari kegirangan seperti anak keci di depan
Ibuku. Aku berkata, "Bu, sekarang Ibu tidak perlu membuang banyak waktu lagi untuk membersihkan
rumah. Jendela sudah dipasangi kaca, debu tidak lagi banyak masuk kerumah." Tapi sambil tersenyum
Ibu berkata, "Itu Adikmu yang pulang kerja lebih awal untuk membersihkan rumah ini. Kamu belum lihat
luka di tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela itu." Aku masuk kedalam kamar kecil
adikku. Ketika melihat wajah kurusnya, terasa ratusan jarum menusukku. Ku tarik tangannya yang penuh
luka, kuoleskan saleb lalu ku balut dengan perban agar cepat membaik. "Apakah ini sakit?" Aku bertanya
padanya. "Tidak, tidak sakit. Kakak tahu, waktu saya bekerja di lokasi bangunan, batu-batu berjatuhan
menimpa kakiku setiap saat. Tapi itu tidak menghentikakku bekerja, dan ...." Sebelum adikku
meneruskan ceritanya, aku segera membalikan tubuhku memunggunginya, aku menagis sesungukan.
Deras air mata mengalir ke pipiku. Kala itu Adikku berumur 23 tahun dan Aku 26 tahun.

Ketika sudah menikah, aku tinggal di kota. Sudah terlalu sering aku dan suami mengajak kedua orang
tuaku untuk tinggal bersama kami di kota., tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka bilang, di kota tidak
ada pekerjaan yang dapat mereka lakukan. Adikku pun tidak setuju, dia mengatakan, "Jagalah mertua
Kakak saja. Saya akan menjaga Ibu dan Ayah di sini." Suamiku adalah direktur di sebuah pabrik. Aku dan
suamiku telah sepakat untuk mengangkat Adikku menjadi manager di salah satu departemen pabrik
tersebut. Namun Adikku menolak tawaran tersebut. Dia bersikeras ingin memulai pekerjaan dari bawah,
yakni sebagai pekerja reparasi. Suatu hari Adikku sedang memperbaiki kabel listrik dan berdiri di atas
tangga. Namun naas, adikku tersengat listrik, dan harus di rawat di rumah sakit. Aku dan suami segera
ke rumah sakit menjenguk Adikku. Di rumah sakit ku dapati Adikku sudah di baluti gips putih pada
bagian kakinya. Akupun menggerutu padanya, "Lihat dirimu sekarang, luka yang begini serius. Ini karena
kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya. Mengapa kamu menolak menjadi manager? Manager
tidak pernah melakukan pekerjaan berbahaya seperti ini." Dengan tampang serius, Adikku coba
membela diri, "Pikirkan kakak ipar, dia baru saja di angkat jadi direktur. Kalau aku yang hampir tidak
berpendidikan ini diangkat jadi manager, apa yang akan orang-orang bicarakan nanti?" Suamiku
menahan tangis, matanya di penuhi air mata. Dengan terbata-bata aku coba berucap, "Kamu kurang
pendidikan juga karena aku." Adikku menggemgam tanganku dan berkata, "Mengapa kakak
membicarakan masa lau." Saat itu Adikku berumur 26 tahun, dan Aku 29 tahun.

Pada usia 30 tahun Adikku menikahi seorang gadis anak petani dari dusun kami. Dalam acara
pernikahannya si pembawa acara bertanya pada Adikku, "Siapa orang yang paling kamu hormati dan
sayangi?" Tanpa berfikir spontan Adikku menjawab, "Kakakku" Lalu adikku mulai bercerita tentang sutu
peristiwa yang aku sendiri bahkan sudah lupa peristiwa tersebut. "Dulu waktu masih SD, tiap hari aku
dan kakakku berjalan kaki selama dua jam untuk sampai ke sekolah. Sekolah kami letaknya jauh berada
pada dusun yang berbeda dengan dusun kami. Saat itu sedang musim dingin, saat perjalanan pulang dari
sekolah aku kehilangan satu sarung tanganku. Lalu Kakakku memberikan satu sarung tanggannya
kepadaku. Dengan perjalan sejauh itu kakakku hanya mengenakan satu sarung tangan. Sesampainya di
rumah, tangan kakakku gemetaran karena terlalu dingin, bahkan memegang sumpitpun tidak bisa lagi.
Sejak hari itu saya bersumpah pada diri sendiri, selama saya masih hidup, saya akan selalu menjaga dan
berbuat baik tehadapa kakakku."

Tak pelak lagi, semua pandangan mata orang yang ada di ruangan itu di arahkan padaku, dan tepuk
tanganpun membahana dari setiap sudut ruangan. Leherku terasa tercekat, kata-kata terasa begitu sulit
keluar dari bibirku. Dengan gugup aku berkata, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterimakasih
adalah Adikku." Hari itu, di depan banyak orang, dan di moment bahagia Adikku, airmataku bercucuran
deras membasahi pipi. Saat itu

Anda mungkin juga menyukai