Anda di halaman 1dari 3

Putri Wahyu illahi Dwi Rahariyoso S.s,.M.

Hum

(I1B118009) Kritik Sastra

Sastra Indonesia

Representasi fenomena sosial dalam cerpen ‘Semangkuk Perpisahan di


meja makan’

Membaca cerpen “Semangkuk Perpisahan di meja makan” karya Miranda Seftiana


yang dimuat dalam Kompas pada hari Minggu, 17 Maret 2019 awalnya membuat saya
tertarik dan berekspetasi tinggi terhadap cerita ini, dimulai dari waktu membaca judulnya saja
yang sudah membuat saya membayangkan sebuah momen haru di meja makan tetapi realita
yang pembaca dapat tidak demikian, meski ada momen dimana tokoh ‘Saya’ dan ‘Ibu’ makan
bersama namun pengarang tidak mendeskripsikan poin dari judul yang dia berikan seperti
kehangatan terakhir dari kebersamaan para tokoh di meja makan, dan perasaan masing-
masing tokoh di momen itu. Sehingga hanya berpikir untuk pemberian judul dari pengarang
kurang efektif.

Saya merasa tidak setuju, terlebih ketika hidup sudah nyaris-nyaris mirip di surga
urusan lapar dan makan.
Dalam paragraf awal pengarang terlihat menyisipkan kata ‘nyaris’ dengan
pengulangan yang sepertinya tidak efektif dan juga mubazir. Kalimat ini juga alangkah
baiknya menggunakan konjungsi diantara kata ‘di surga’ dan ‘urusan’ sehingga tidak
membuat pembaca menjadi gagal paham. Konjungsi Final seperti ‘untuk’ mungkin dapat
digunakan di kalimat ini. Dikarenakan konjungsi ini memiliki fungsi untuk menghubungan
dua unsur yang mengandung hubungan tujuan.

Paragraf pertama dimulai dengan pendeskripsian tokoh-tokoh yang termasuk dalam


cerpen seperti tokoh Ibu dan Saya tapi saya bingung karena di tengah cerita pengarang
menyisipkan kata ‘Aku’ dan juga tokoh Ibu yang sempat menyebutkan nama ‘Hen’ namun
tidak dijelaskan lebih lanjut nama tokoh Saya yang lengkap oleh pengarang hingga akhir
cerita.
Secara implisit pengarang juga menggambarkan watak dari tokoh Saya sebagai
seseorang yang berpikir instan. Sebuah gambaran realitas sosial dimasyarakat sekarang,
akibat kemajuan teknologi yang menyebabkan paradigma berpikir instan dan praktis
dikalangan masyarakat, terutama anak-anak dan ibu-ibu muda yang selalu menganggap
segala sesuatunya gampang dan juga menimbulkan rasa malas akibat dimanja teknologi. Hal
ini tertera dalam paragraf kedua.

Bukankah sekarang zaman juga sudah begini? Haus dan lapar tinggal buka ponsel.
Hanya perlu satu jari untuk membuatnya ada di depan mata. Lalu, mangapa harus susah
payah memasak segala?
Kemudian tokoh ibu digambarkan sebagai sosok yang sangat menyayangi anaknya
dan ingin anaknya telah bisa memasak dengan lihai sebelum dia meninggal nanti. Tokoh ibu
memaksa anaknya pulang untuk mengajarkan cara memasak sebagai bentuk penyesalan
karena tidak mengajarkan anaknya memasak sedari awal.

Penggunaan tanda baca dalam cerita tidak efektif ‘Betul. Semasa kecil, saya sering
didongengi ibu’, sehingga mempengaruhi estetika penulisan dan pengucapan pembaca. Lebih
baik jika penggunaan tanda koma di kata semata kecil di tiadakan, agar pembaca tidak
banyak melakukan pemberhentian saat membaca. Tanda baca merupakan unsur yang penting
karena sangat membantu pembaca dalam memahami cerita yang sedang dibaca, tentu sangat
sulit bagi pembaca untuk membaca cerita yang tanda bacanya kurang tepat.

Untuk pendeskripsian latar dalam cerpen baik secara implisit dan eksplisit juga tidak
banyak membantu pembaca untuk paham. Latar tempat yang tidak dijelaskan dari mana asal
tokoh tersebut, dimana tempat tokoh Saya pulang kampung menemui ibunya padahal
pengarang memakai istilah dari suatu daerah. Penggunaan istilah-istilah dalam penamaan
bumbu-bumbu di dapur yang tidak diketahui masyarakat umum, terlebih istilah yang
digunakan dari suatu daerah yakni di Banjarmasin, pengarang tidak memberikan keterangan
untuk arti dari kata yang dia pakai di bagian cerita. Istilah-istilah yang dimaksud contohnya
gangan (sebuah istilah sayur berkuah dari Banjar).

Pengarang juga tidak menyisipkan ekspresi tokoh Saya dengan baik, sehingga
pembaca merasa tidak adanya kesedihan yang dialami tokoh Saya ketika Ibu dari tokoh itu
meninggal dunia. Sisi emosional dalam cerita terasa datar dan tidak sampai ke pembaca.
Jika dibaca secara menyeluruh, cerpen ini banyak menyiratkan makna dan amanat
yang dalam. Banyak dialog yang ditulis pengarang memiliki nasehat yang di kemas secara
unik dengan memakai perumpamaan dari sayur-sayuran, umbi-umbian dan bumbu dapur.

“Nak, manusia itu seperti sayur dalam semangkuk gangan umbut. Usia yang paling
tua serupa ubi kayu, keras, hambar. Usia sepertimu mirip dengan potongan waluh. Tidak
terlalu keras dengan sedikit rasa manis. Paling muda ya tidak ubahnya umbut. Lembut dan
manis. Semua sama akan lunak juga setelah dimasak. tidak peduli ia yang paling keras atau
lembut. Kita pun sama, akan wafat juga. Tidak peduli sudah baya atau masih muda’’.
Dialog tersebut dapat saya pahami maknanya bahwa tokoh Ibu ingin menyampaikan
pada anaknya bahwa semua manusia itu pasti akan mati, baik itu yang sudah tua maupun
masih muda. Di sini pengarang telah memberi tanda bahwa tokoh Ibu sudah tau bahwa
umurnya tidak lama lagi dan berusaha memberi pengertian akan takdir manusia yang
semuanya pasti akan mati kepada anaknya.

Pembaca juga dapat menemukan sisipan informasi kesehatan sesuai dengan latar
belakang tokoh Saya yang pengarang gambarkan sebagai dokter. ‘Konon bawang merah dan
bawang putih bisa digunakan sebagai antibiotik, antiperadangan, bahkan melawan kanker’.

Pembaca juga dapat menemui dialog-dialog yang bernada cukup sarkastik seperti
dialog tokoh Ibu yang sempat mengatakan bahwa meskipun hanya memecah sebutir kemiri,
kita harus terus melakukan pekerjaan dengan baik, teliti, dan hati-hati. Jangan bertindak
sembarangan walaupun pekerjaan yang kau lakukan itu hal mudah. “Kalau sudah tahu akan
mati dan hancur, apa sembarangan juga perlakuanmu saat mengeluarkan bayi dari perut
ibunya?”.

Keindahan dalam penulisan cerpen ini banyak memasukkan pilihan diksi yang
cenderung baku dan jarang didengar. Karena hal inilah cerpen ini hanya cocok untuk
kalangan tertentu saja, salah satunya seperti pelajar dan mahasiswa yang bisa menerima dan
paham isi cerpen. Untuk kalangan anak-anak saat membaca suatu karya sastra baik itu puisi,
cerpen maupun novel, mereka cenderung lebih suka penggunaan kata yang umum dan mudah
mereka pahami saja.

Cerpen ini terbilang sukses memasukkan realitas sosial dengan tema kekeluargaan
yang memang sudah mulai luntur sedikit demi sedikit akibat perkembangan teknologi.
Dibungkus dengan perumpamaan-perumpamaan unik berisi nasehat dengan memasukkan
unsur sayur-sayur, beras usang dan bumbu dapur yang sangat dekat dengan masyarakat
umum terutama kalangan wanita yang sudah berkeluarga.

Anda mungkin juga menyukai