Anda di halaman 1dari 3

KESETARAAN PENGHASILAN

“KESTIMPANGAN PENGHASILAN DAN AKSES PEKERJAAN JALAN”

Kesenjangan ekonomi di Indonesia masih menjadi persoalan. Berdasarkan Laporan Survei


Ketimpangan 2017 yang dirilis International NGO Forum on Indonesian Development (Infid)
pada Kamis (8/2/2018) lalu di Jakarta, indeks ketimpangan sosial pada tahun lalu adalah 5,6.
Adapun angka tersebut mengalami peningkatan dari indeks ketimpangan sosial di 2016 yang
sebesar 4,4.Dari sebanyak 2.100 responden yang dilibatkan dalam survei, Infid menemukan
ketimpangan paling terasa pada ranah penghasilan dan kesempatan untuk mendapatkan
pekerjaan.“Ketimpangan penghasilan berdampak pada ketimpangan terhadap kepemilikan rumah
dan harta benda, pendidikan, dan kesehatan. Pengaruh ketimpangan penghasilan dan kesempatan
kerja terhadap ketimpangan sosial keseluruhan paling besar,” tulis Infid dalam laporan
tersebut.Setidaknya ada 54,2 persen masyarakat yang merasa penghasilan mereka berada di
bawah harapan mereka, bahkan kurang dan tidak layak. Sementara itu, 40,1 persen masyarakat
menilai penghasilan mereka sudah layak atau lebih dari layak.
Apabila dibagi berdasarkan kesesuaian penghasilan, Infid mengkategorikan masyarakat
Indonesia ke dalam tiga kelompok, yakni warga yang berpenghasilan kurang layak, warga yang
berpenghasilan layak, dan warga yang berpenghasilan lebih dari layak.Kelompok dengan
proporsi terbesar ialah kelompok warga yang berpenghasilan layak, dan kemudian diikuti dengan
kelompok warga yang berpenghasilan kurang layak. Sementara proporsi terkecil adalah warga
yang berpenghasilan lebih dari layak.Infid pun menyatakan keadaan ini tersebar hampir merata
di seluruh wilayah Indonesia.Direktur Eksekutif Infid Sugeng Bahagijo berpendapat
ketimpangan pada penghasilan karena pemerintah daerah yang belum menggelontorkan alokasi
dana dari pemerintah pusat secara maksimal. Padahal sekitar 60 persen angkatan kerja di
Indonesia lulusan SD dan SMP.“Warga di daerah padahal tergantung belanja-belanja modal dan
barang yang tergantung pemerintah. Ternyata percepatan pembangunan di pusat yang berupa
infrastruktur tidak diimbangi dengan yang di daerah,” kata Sugeng saat dikonfirmasi Tirto
melalui telepon pada Jumat (9/2/2018) sore.
Selain belanja daerah yang belum optimal, Sugeng juga menilai alokasi prioritas dari
pemerintah belum mengarah pada dukungan terhadap angkatan kerja bagi anak muda. Salah satu
indikatornya ialah masih minimnya Balai Latihan Kerja (BLK) yang ada di setiap daerah.Dengan
memperbanyak investasi ke arah pelatihan kerja, Sugeng mengatakan peningkatan kualitas
sumber daya manusia (SDM) dapat tercapai.“Untuk LPDP (Lembaga Pengelola Dana
Pendidikan) misalnya, harusnya menyediakan kesempatan untuk yang mengambil pendidikan
vokasi, agar mereka juga bisa terlatih di negara lain. Tidak hanya (untuk yang) profesor,” ungkap
Sugeng.Selain pada penghasilan dan pekerjaan, ketimpangan yang terjadi antara perempuan dan
laki-laki juga tergolong tinggi. Sebanyak 45 persen responden yang ditemui Infid menilai
ketimpangan itu nyata, meskipun di sisi lain masyarakat ternyata semakin sadar terhadap wacana
kesetaraan gender dan berbagai bentuk diskriminasi berbasis gender.Persepsi warga terhadap
ketimpangan gender sendiri mengalami peningkatan. Pada 2016, hanya ada sebanyak 31 persen
warga yang menyadari terjadinya ketimpangan di tengah masyarakat. Adapun persepsi
ketimpangan gender di Indonesia bagian timur lebih tinggi ketimbang di wilayah barat.

KESIMPULANNYA:
“Menurut saya, itu dikarenakan budaya dan kegiatan di sana yang tidak mendukung perempuan.
Sehingga memang diperlukan adanya affirmative action.”.

Pemerintah pun diharapkan bisa lebih hadir dalam memajukan perempuan di Indonesia bagian
timur, di antaranya dengan menyediakan beasiswa maupun fasilitas agar mereka lebih
memahami hukum. Selain itu, pendekatan seperti kampanye juga dirasa perlu dilakukan guna
menurunkan ketimpangan berbasis gender.

Sementara itu, aspek yang dinilai paling timpang antara laki-laki dan perempuan ialah
kesempatan dalam mendapatkan pekerjaan dan penghasilan.
Masih dalam kesempatan yang sama, Sugeng menekankan bahwa pemerintah perlu
memperhatikan betul alokasi anggaran dan ukuran lapangan kerja bagi masyarakat. Apabila dua
hal itu dapat dipenuhi, Sugeng meyakini persoalan ketimpangan sosial dapat diatasi.

Dana pendidikan yang saat ini dialokasikan pemerintah sebesar 20 persen pun dirasa Sugeng
belum bisa memberikan dampak yang signifikan. “Alokasi anggaran di 2019 harus lebih tajam
dan fokus pada pengembangan SDM, serta mendukung anak muda untuk vokasi,” ujar Sugeng.

Lapangan kerja bagi masyarakat pun harus dibuat berkesinambungan dengan percepatan
pembangunan infrastruktur yang tengah digenjot pemerintah pusat. Menurut Sugeng, proyek
pembangunan di berbagai daerah harus bisa memberikan dampak kepada masyarakat di
sekitarnya.

“Selain itu, sebesar 10 persen APBD (Angkatan Pendapatan dan Belanja Negara) juga harus
difokuskan kepada angkatan kerja,” kata Sugeng

Anda mungkin juga menyukai