Anda di halaman 1dari 5

Bertepuk Sebelah Tangan

Karya : Nh. Dini

Suara sunyi malam mulai datang suara angin mengalun berhembus, lampu seperti semakin
temaram walau sebenarnya tidak meredup. Hanya saja Nina sudah merasa sangat terkantuk, kelopak
matanya ingin mengatup, dan matanya tak kuasa menahan beban kelelahannya. Terkadang kantuk itu
menguat membuatnya hanyut sebentar namun tidak lama ia tersadar dan meneruskan kegiatannya. Sudah
tiga jam dia mengerjakan tugas rumahnya, tugas Fisika. Mata pelajaran paling tajam dari pada
matematika, dengan rumus-rumus rumit berselang-seling. Ditambah dengan guru pengajarnya yang galak
dan tegas pada setiap murid yang tidak mengerjakan tugasnya, ia akan memberikan hukuman seperti
dikeluarkan selama pelajaran atau mengerjakan soal di papan tulis sampai bisa dan dilarang melihat
rumus.

Pelajaran SMA paling menyeramkan pikirnya dalam hati, Nina lalu membalikkan referensi buku
yang ia pinjam dari perpustakaan tadi siang. Sebenarnya ia jarang meminjam buku disana hanya saja ada
sebuah alasan. Seseorang yang ia suka, Hafid terlihat olehnya memasuki perpustakaan saat ia dan Putri
baru saja membeli jajanan di kantin. Terpikir olehnya bahwa ia ingin menyapa walau hanya sebentar
mungkin bisa mengobati hatinya yang rindu melihat wajahnya, ia mengajak putri memasuki perpustakaan
dan menulis daftar hadir pengunjung. Putri berjalan mendahuluinya sedangkan ia mencari dimana Hafid
berada, ia menyusuri jajaran buku, tangannya menyentuh deretan buku tapi matanya berkeliaran mencari
Hafid. Nina bahkan melupakan sahabatnya yang sedang sibuk duduk di bangku memilih-milih buku
untuk dibacanya.

Akhirnya terlihat olehnya seseorang, ia hapal betul postur tubuhnya, tercium olehnya buku-buku
usang yang sudah berwarna kuning dimakan waktu. Dilihat olehnya Hafid sedang berbungkuk mencari
buku-buku dalam sebuah kardus-kardus yang tersusun, sepertinya buku-buku dalam kardus itu sudah
akan dibuang karena sudah uzur. Terdengar olehnya suara kardus yang tersetuh lengan Hafid dan suara
buku yang disimpannya kembali kedalam.
“Sedang apa kak?” Nina yang tepat di belakangnya siap memperlihatkan senyum termanisnya.
“Oh.. Nina, ini lagi nyari buku. Kata Bapak perpus buku yang kakak cari ada disini. Di tumpukan buku
usang.” Hafid berdiri dan memegang buku di tangannya, buku itu terlihat usang dengan robekkan dan
coretan tak berarti di covernya.
“Sedang cari buku?” Hafid bertanya membuat Nina terkejut harus menjawab apa.
“e..e.. ia lagi nyari novel Kak,”
“suka novel ya? Pernah baca karya NH.Dini?”
Nina menggeleng.
“Coba baca deh, novelnya sederhana tapi menurut Kakak berkesan” Nina mengangguk, lalu Hafid pergi
setelah sebelumnya meminta izin pada Nina.
Walau hanya sekejap pertemuan tadi siang dengan Hafid, ia sudah sangat senang. Entah perasaan apa itu?
ia sedang jatuh cinta. Cinta yang entah keberapa kalinya ia sekarang sedang menjomblo, namun kali ini
berbeda Nina menutup diri dan memendamnya. Tidak ada yang tahu bahwa ia mencintai seorang ketua
OSIS, bukan karena ia malu. Namun ia hanya ingin membuat Hafid terkesan dan akhirnya jatuh cinta
padanya. Cintanya kali ini berbeda, sungguh hanya ia yang tahu. Namun cinta ini memiliki kesamaan
dengan cinta sebelumnya, ia tidak bisa tidur kerena memikirkannya, ia selalu melamun memikirkannya
dan bahkan akhir-akhir ini ia menjadi rajin akibat motif cintanya kepada Hafid, itu pengaruh jatuh cinta
yang bagus. Terang saja Nina merasa sangat bergairah saat belajar akhir-akhir ini, ia merasa malu jika ia
mendapatkan nilai jelek. Hatinya selalu mengira-ngira bagaimana kalau Hafid tau bahwa dirinya payah
dalam hal prestasi di kelas, saat itulah timbul semangat dalam dirinya.

Hafid adalah seorang laki-laki yang sopan dan terlihat cerdas apalagi saat ia berbicara, tidak salah
dia terpilih menjadi ketua OSIS. Ia seorang lelaki yang mudah bergaul dan tidak pilih-pilih dalam
berteman. Perawakannya tinggi dan kurus, dengan senyum yang selalu mewarnai wajahnya.
Jam dinding tua di ruangan tengah berbunyi dua belas kali, namun matanya kini sudah bisa beradaptasi
dengan suasana ditambah secangkir moccacino yang ia buat sendiri. Namun ia sadar ia harus tidur. Nina
mampu terjaga setelah dalam hatinya teringat Hafid, ‘mungkin ia juga sedang belajar’ pikirnya. Tugas
Fisika itu sudah hampir selesai, ia sibuk menghapus, menulis, mengotret dengan banyak sisa-sisa kotoran
penghapus yang sudah menyebar di buku catatannya. Ia menulis jawaban terakhirnya, merapihkan
peralatan tulis dan buku catatannya lalu memasukannya ke tas. Nina mengambil cangkir Moccacino-nya
dan meneguk minuman Mocca terakhirnya, ia beranjak menuju kamar mandi dan menggosok giginya.

Lalu pergi ke tempat tidur mengistirahatkan diri sambil mengucap doa.


Pagi terasa lain hari ini, entah apa yang akan terjadi. Sesuatu seperti mengganggu hatinya namun apakah
itu? ia bertanya-tanya dalam hati. Nina berusaha menghilangkan perasaan itu dan cepat menyibukkan
dirinya dengan berangkat ke sekolah. Pagi itu cerah, matahari bahkan menerangi bumi sangat awal,
kehangatannya menemani angin pagi yang masih berhembus. Nina berjalan menyusuri jalan gang, baru
saja ia turun dari angkot hijau. Biasanya ia melewati gang untuk sampai ke sekolah walau ada jalan lain
yaitu jalan raya utama, kau tahu juga alasannya karena Hafid. Ia selalu melewati gang ini. Beberapa kali
Nina beruntung bisa berjalan bersama atau bahkan hanya saling sapa, ada kepuasan tersendiri dalam
hatinya. Namun pagi ini berbeda, Hafid tidak tampak melewati gang.

Sesampainya di kelas ia duduk di depan, sahabat dan sekaligus teman sebangkunya sudah terlihat
dengan beberapa alat tulis dan catatan di mejanya. Suasana kelas sudah tampak gaduh, Nina baru sadar
karena hari ini ada tugas Fisika. Biasanya ia juga sama dengan teman-teman yang lain, mondar-mandir
sebelum jam masuk mencari teman yang sudah menyelesaikan tugas lalu menyontek jawaban teman yang
baik dan malang. Namun kali ini ia tidak melakukannya, ia sudah berusaha keras sampai tengah malam
untuk mengerjakannya.
“Tugas Fisikanya sudah selesai?” Putri bertanya dengan wajah sayu seperti kelelahan.
“Sudah, aku berusaha keras tadi malam” Nina menunjukkan senyum bangganya.
“Aku sudah berusaha mengerjakan, tapi tidak ketemu hasilnya” Putri menghapus catatan yang ditulisnya
mungkin jawabannya belum tepat. Nina termenung tidak biasanya Putri kali ini kesulitan mengerjakan
tugas pikirnya.
“Sini aku bantu” Nina mendekatkan diri ke arah putri duduk, agar bisa menjangkau catatan dan alat-alat
tulis. Sampai bel masuk berbunyi, suasana menjadi sunyi. Murid-murid terlihat rapi dan sikap taat yang
dibuat-buat karena terihat dari jendela Ibu Mira pengajar Fisika berjalan menuju kelas.

Dentam bel berbunyi, menyuarakan sebuah nada bel yang khas tanda waktu istirahat para murid.
Siswa-siswi disibukkan dengan kesibukkan masing-masing, makan, mengobrol, membaca, mengerjakan
tugas dan lain-lain. Nina dan putri berjalan menuju kantin, mereka berencana membeli beberapa gorengan
Bu Entin yang juga istri penjaga sekolah. Itulah kebiasaan mereka selalu bersama-sama kemanapun,
seperti tidak pernah terpisahkan. Sejak kelas satu mereka selalu bersama, bahkan sampai sekarang mereka
kelas dua selalu saja duduk sebangku. Nina sudah menganggap Putri seperti saudaranya sendiri, dimana
ada Nina pasti disana ada Putri, jika tidak mungkin mereka sedang bertengkar itulah yang dikatakan
teman-teman mereka. Putri lebih dari sahabat baginya, selalu menemani disaat suka dan duka, bersedia
mendengarkan cerita-ceritanya tentang keluarga ataupun tentang pacar-pacarnya. Putri adalah perempuan
yang menarik menurut Nina, ia tertutup dalam mesalah cinta ia bahkan tidak percaya dengan pengakuan
Putri bahwa ia belum memiliki pacar sampai sekarang. Wajahnya cukup cantik dengan tubuh mungil,
rambut panjangnya terlihat sering di ikatnya katanya agar tidak menganggu saat sedang belajar. Putri
orangnya susah untuk ditebak, ia pendiam tapi bersikap tegas dalam mengambil keputusan, Putri juga
terlihat sering membela dirinya dan membantunya dalam mengerjakan tugas yang dianggapnya sulit.

Mereka duduk di depan Perpustakaan sambil memakan jajanan gorengan, Nina dan Putri saling
berpandangan dan mengobrol kadang tiba-tiba mereka tertawa bersama mengingat pelajaran fisika tadi,
ada kejadian menarik. Bu Mira tiba-tiba mengatakan akan mengadakan ulangan, tadi. Sontak siswa-siswi
protes dan tidak setuju dengan keputusan Guru Fisika itu. Namun bukan Bu Mira namanya kalau tidak
menuai kontroversinya dalam hal mengajar yang terbilang ekstrem, Ibu bilang ‘Ibu sudah pernah berkata
pada kalian, untuk belajar bukan karena hanya ada perkerjaan rumah saja, tapi setiap hari karena saya
akan selalu mengadakan ulangan secara mendadak’. Dengan terpaksa siswa-siswi yang terlihat pasrah
mengeluarkan kertas selembar yang di perintahkan Bu berparas cantik namun terlihat sangar jika marah,
sementara Bu Mira sudah menulis soal-soalnya di papan tulis. Tiba-tiba terdengar suara ketuk pintu,
ternyata seorang guru piket yang menyampaikan ada rapat di ruangan guru, semua guru harus hadir saat
itu juga. Bu Mira berhenti menulis soal di papan tulis, ia lansung mengambil alih pembicaraan dan
berkata bahwa ulangan diundur disaat siswa-siswi sudah berteriak riuh karena lega untuk sementara
mereka selamat. Bu Mira lalu pergi membawa tas dan peralatannya yang menandakan bahwa rapat akan
menghabiskan semua jam pelajarannya di kelas 8C.

Di tengah obrolan yang masih mengarah pada pelajaran Fisika, Hafid dan seorang temannya
melintas di hadapan Nina. Hafid dan temannya melihat dan menyapa ke arah Nina, Nina langsung
semangat menyapa Ketua OSIS pujaannya. Sementara Putri terlihat malu-malu saat Hafid lewat, ia
menunjukkan sikap tidak seperti biasa. Nina bertanya-tanya melihat sikap sahabatnya itu, ‘apa mungkin
Putri juga menyimpan rasa pada Hafid?’ namun pikiran itu ditangkisnya, sahabatnya itu terlalu pemalu
untuk suka pada seseorang pikirnya. Nina juga yakin Putri mengerti bahwa ia menyukai Hafid walau
Nina tidak pernah menceritakan perasaannya itu. Baginya mungkin perilakunya pada Hafid mungkin
cukup untuk membuat Putri paham kalau ia menyimpan rasa padanya.
Bel tanda masuk berbunyi, Nina dan Putri berjalan menuju kelas mereka. Kelas sudah penuh sesak,
teman-teman mereka riuh bercampur ribut seperti kebiasaan istirahat. Tiba-tiba Ketua kelas Nina berdiri
di depan kelas, ia meninggikan suaranya bersiap mengeluarkan teriakannya untuk menghentikan
kebisingan kelas.
“Mohon perhatiannya..” Kata Johar dengan nada bijaksana yang sepertinya ia buat sebulat mungkin. Seisi
kelas langsung menghentikan kesibukkan mereka, suasana kelas menjadi hening. Mereka sudah siap
menerima informasi yang akan disampaikan Sang ketua kelas.
“Hari ini, kalian di bubarkan. Karena ada kepentingan rapat para guru, tapi kalian harus tertib dan jangan
ribut” Johar lalu melangkah maju menuju tasnya, sepertinya ia akan segera pulang. Teman-teman yang
lain juga begitu, mereka senang karena dipulangkan lebih awal. Sebagian siswa sudah meninggalkan
kelas sementara yang lain masih dalam kesibukkannya, mereka biasa berdiam dulu dalam kelas
merapihkan pakaian seragam mereka atau berdadan terlebih dahulu sebelum pulang. Nina mengambil
cermin dari tasnya, ia memperhatikan wajahnya barang kali ada kotoran menempel pada wajahnya.
Sementara Putri hanya berdiam diri memperhatikan Nina dan menunggunya selesai sebelum akhirnya
mereka pulang menuju gerbang sekolah.
Putri menggeser kursinya lebih dekat dengan posisi Nina yang masih asyik bercermin.
“Nin aku mau cerita, boleh?”
“Boleh” Nina mengangguk, lalu memberikan senyum ke arah putri.
“Tapi ini rahasia” Putri melirik-lirikan matanya ke arah teman-temannya yang masih cukup banyak dalam
kelas namun tampak tidak terlalu memperhatikan mereka berdua. Nina lalu mengangguk meyakinkan
sahabatnya agar mempercayainya menyimpan rahasia apapun padanya. Nina menduga-duga, kira-kira
rahasia apakah yang akan Putri ceritakan padanya, baru kali ini Putri bermain rahasia-rahasiaan biasanya
ia yang selalu seperti itu.
“ini tentang Hafid” jantung Nina terasa berhenti saat mendengar nama itu terucap dari mulut sahabatnya
yang kalem itu. Nina menghentikan kegiatannya bercermin, kini ia tertarik dengan ucapan Putri.
“Dia nembak aku tadi malam” Nina terlihat kaget mendengarnya, terucap di bibirnya kekagetan itu
seakan tidak percaya perkataan sahabatnya. Putri kini terlihat menunduk mungkin malu memperlihatkan
wajahnya yang merah pada Nina. Ekspresi Nina jadi tidak karuan, ia berusaha mengatur napasnya,
hatinya seperti sakit tertekan entah oleh apa. Ada beban di hatinya yang begitu perih terasa. Apa yang
terucap dari mulut Putri sulit untuk ia cerna dalam pikirannya. ‘Hafid nembak Putri’ hatinya terasa amat
perih mendalam, matanya mulai berkaca-kaca tapi ia berusaha agar Putri tidak memperhatikannya. Ia tahu
Putri ingin mengabarkan kabar gembira ini padanya, Nina sudah pernah mendesaknya agar ia mempunyai
pacar. Dan kini ada seseorang yang mengatakan cinta padanya, seharusnya sebagai sahabat ia harus ikut
senang merasakan kebahagian sahabatnya. Walaupun orang yang dicintainya yang menembak
sahabatnya, walau kenyataan ini memang perih ia harus siapa menerimanya. Ia mencoba menabahkan
hatinya terlihat Putri masih menyembunyikan wajahnya menunduk lalu tersenyum-senyum tanda bahagia
di hatinya.
“Lalu bagaimana jawaban kamu?” Nina akhirnya bisa berucap walau ada sesuatu yang berat meganjal
dadanya.
“Aku ingin minta pendapatmu” Putri lalu memegang bahu Nina, Nina terlihat agak gemetar walau ia
dengan susah payah berusaha tabah.
“Me.. menurutku ia baik, Ketua OSIS lagi, terima saja Put,” Nada bicara Nina mulai gemetar ia menahan
air mata yang mulai berembun menyelimuti matanya, napasnya terasa mulai tidak beraturan, mengapa
begitu sakit pikirnya.
“Baiklah, aku akan bilang malam ini jawabannya” Putri tersenyum terlihat sangat bahagia, baru kali ini
Nina melihatnya begitu sangat bahagia, ia sadar bahwa sahabatnya itu sedang jatuh cinta.
“Put, aku duluan ya, soalnya ada perlu disuruh jemput adik” Nina beranjak dan mengambil tas
selendangnya dengan tangan yang masih gemetar, rasa sakit di hatinya tidak dapat terbendung lagi.
Matanya sudah berkaca-kaca dan seperti tidak dapat terbendung lagi oleh kelopak matanya, mana
mungkin di tengah kebahagian sahabatnya ia berkata jujur tentang hatinya. Rasanya juga percuma untuk
mengatakan itu, buktinya Hafid sebenaranya mencintai sahabatnya, Putri. Wajah Putri masi berseri-seri
karena senang, ia mengangguk mengizinkan Nina untuk pulang duluan.
“Aku akan cerita besok ya Nin” Putri berteriak saat Nina akan segera melewati pintu, ia menoleh sebentar
dan memberikan anggukan kepada sahabatnya itu.

Nina bingung harus kemana ia pergi, tidak mungkin baginya menangis sepanjang perjalanan
pulang menggunakan angkot. Ia berjalan menuju toilet menggantung tas selendangnya dan mengambil
sapu tangannya, ia menghapus air matanya walau terasa sia-sia, air mata yang sempat tertahan tadi
mengalir deras, rasa perih itu makin nyata. Ia rasa lututnya lemas, beban di dadanya semakin berat saja,
sebegitu besarnyakah rasa cintanya pada Hafid sehingga seperti ini rasanya. Nina sadar bahwa cintanya
telah bertepuk sebelah tangan. Ia berusaha menghibur dirinya sendiri, bahwa dirinya patut senang karena
kebahagian sahabatanya. Ia juga harus yakin bahwa Putri adalah yang terbaik bagi Hafid, ia cantik, baik
dan pintar sementara dirinya terkenal di kelas sebagai anak yang sering mengganti-ganti pacarnya terlebih
selama ini Nina belum menunjukkan prestasinya di kelas. Sedangkan Putri adalah seorang siswi pandai
yang tidak pernah absen masuk lima besar di kelas. Nina menyadari kesalahan-kesalahannya ia terlalu
banyak berbuat sewenang-wenang pada adik kelas, dan merasa paling senior. Ia merasa beruntung
memiliki sahabat seperti Putri yang bisa membatasi pergaulannya walau terkadang ia sering
mengabaikannya untuk berkumpul dengan anak-anak yang terkenal kerena kecantikannya dan exisnya di
sekolah. ‘Putri adalah seorang yang terbaik untuk Hafid, seharusnya aku bahagia’ pikirnya. Ia menghapus
air matanya yang mengering dengan tisu basah dari tasnya. Hatinya sudah membaik sekarang. Rasa perih
itu mulai berkurang, hatinya mulai bisa menerima. Ia membasahi kedua matanya yang terlihat bengkak
karena menangis, lalu mengusapnya dengan saputangan, ia lalu keluar dari toilet. Sebelumnya ia melihat-
lihat barang kali ada orang yang akan melihatnya bila ia keluar. Tapi ternyata seisi sekolah sudah sepi,
yang terdengar hanya suara kepala sekolah yang sedang memimpin rapat di ruang guru, Nina keluar
dengan mata yang terlihat merah dan bengkak.

Ia berjalan menyusuri kelas di lorong menuju Perpustakaan, ia teringat lagi oleh Hafid lalu ia
buang pikiran itu jauh-jauh. Ia masuk ke Perpustakaan untuk mengembalikan buku referensi Fisika yang
ia pinjam kemarin saat ada Hafid, dan tentunnya sebelum kejadian ini.
Ia mengisi daftar pengunjung, Bapa penjaga Perpus yang rambutnya sudah dipenuhi uban itu
memandangnya aneh karena Nina terlihat berantakan dengan mata seperti kemasukan air, bengkak.

Untung Bapa Perpus tidak bertanya apa-apa, Nina lalu duduk di bangku Perpus. Ia memutuskan
mengistirahatkan dirinya sebentar sebelum pulang. Teringat olehnya bahwa Putri akan bercerita tentang
Hafid saat ia menjawab cintanya besok, ia harus siap dan melupakan Hafid. Ia juga sadar bahwa ia harus
mengubah sifatnya mulai sekarang, ia bertekat untuk fokus belajar untuk membahagiakan kedua orang
tuanya. Ia sadar bahwa selama ini banyak membuat orang tuanya sedih karena ia sering membuat ulah di
sekolah, bertengkar dengan adik kelas ataupun karena nilainya yang kurang dari ketuntasan beberapa
mata pelajaran. Di meja tempat ia duduk terlihat sebuah buku novel yang tergeletak tak jauh dari
jangkauannya, ia lalu mengambilnya, di cover novel tersebut tertulis, ‘Padang ilalang di belakang rumah
karya NH.Dini’.

Anda mungkin juga menyukai