Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Budaya Menyontek di Kalangan Pelajar


BAB 1
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Kata menyontek mungkin sudah tidak asing lagi bagi pelajar dan mahasiswa. Setiap
orang pasti ingin mendapat nilai yang baik dalam ujian, dan sudah tentu berbagai macam
cara dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Masalah menyontek selalu terkait dengan tes
atau ujian. Banyak orang beranggapan menyontek sebagai masalah yang biasa saja,
namun ada juga yang memandang serius masalah ini.

Fenomena ini sering terjadi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah atau
madrasah, tetapi jarang kita dengar masalah menyontek dibahas dalam tingkatan atas,
cukup diselesaikan oleh guru atau paling tinggi pada tingkat pimpinan sekolah atau
madrasah itu sendiri.

Sudah dimaklumi bahwa orientasi belajar siswa-siswi di sekolah hanya untuk


mendapatkan nilai tinggi dan lulus ujian, lebih banyak kemampuan kognitif dari afektif
dan psikomotor, inilah yang membuat mereka mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam
ujian atau melakukan praktek mencontek.

Proses belajar yang orientasinya hanya untuk mendapatkan nilai menurut Megawangi
(2005), biasanya hanya melibatkan aspek kognitif (hafalan dan drilling), dan tidak
melibatkan aspek afektif, emosi, sosial, dan spiritual. Memang sulit untuk mengukur
aspek-aspek tersebut, sehingga bentuk soal-soal pasti hafalan atau pilihan berganda
(kognitif). Pelajaran agama, KWN, dan musik yang seharusnya melibatkan aspek afektif,
ternyata juga di "kognitifkan" (hafalan) sehingga tidak ada proses refleksi dan apresiasi.

Karena, menghafal buku teks (yang memang diwajibkan untuk bisa menjawab soal
ujian), adalah skill yang paling tidak penting bagi manusia . Jadi, mereka didik hanya
menjadi robot; tidak ada inisiatif, dan pasif. Manusia ini biasanya tidak dapat berpikir
kritis, dan tidak dapat menganalisis permasalahan, apalagi mencari solusinya, sehingga
mudah dipengaruhi dan diprovokasi untuk melakukan hal-hal yang negatif. (Megawangi,
2005).

Pengalaman penulis ketika di Sekolah Dasar budaya menyontek sudah mulai ada,
ketika latihan menjawab soal-soal matematika,beberapa teman-teman sudah berani
melihat jawaban temanya dan menyalinnya. Di Sekolah Menengah Pertama, penulis
menjadi korban teman yang nakal dan malas yang secara tiba-tiba mengambil jawaban
penulis dan menyalinnya di lembar jawabannya, perbuatan ini tidak bisa dicegah karena
ada rasa takut dan kasihan dengannya. Bahkan terkadang mereka tanpa takut dan malu
melihat buku catatan dan meminta jawaban kepada teman yang dianggap pintar ketika
ujian. Perbuatan ini mungkin saja diketahui oleh pengawas atau guru mata pelajaran yang
diujikan, atau mungkin pula mereka pura-pura tidak tahu, entahlah yang jelas nilai ujian
mereka ternyata hasilnya cukup baik.

Anehnya perbuatan menyontek tersebut dibiarkan saja oleh pengawas ujian (pada
waktu itu ulangan umum), tidak dilaporkan kepada guru, Meskipun ada guru yang
mengetahuinya, mereka tidak menanggapinya dengan serius, tidak memberi teguran serta
sanksi sama sekali, mungkin hal tersebut adalah hal biasa saja dan bagian dari usaha para
siswa.
Jika tidak ada sanksi, maka orang akan cenderung mengulangi lagi. Jelas ini
merugikan siswa-siswi yang rajin belajar, karena objektifitas penilaian tidak ada sama
sekali yang dilihat hasil ujian bukan keseluruhan proses dalam pembelajaran. Dan pernah
terjadi siswa yang jujur dalam menjawab pertanyaan nilainya lebih rendah daripada siswa
yang jelas-jelas menyontek siswa yang jujur tersebut. Akibatnya ia menjadi prustasi,
dendam dan marah kepada diri sendiri yang mudah sekali dicontek teman, marah kepada
teman yang menyonteknya, marah kepada guru yang memberi nilai yang tidak obyektif.
Penulis pernah merasa kecewa sekali ketika ujian salah satu mata pelajaran yang penulis
sendiri yakin akan kebenaran jawaban itu tiba-tiba ada pengawas yang menuliskan
jawaban itu di papan tulis. Tentu mengembirakan siswa-siswi yang tidak bisa menjawab
tetapi mengecewakan siswa-siswi yang benar menjawabnya.

Tetapi ada juga guru yang mempunyai pengalaman yang luas dan mengetahui
karakteristik siswanya, sang guru akan curiga jika siswa yang sehari-harinya biasa-biasa
saja, ketika ulangan atau ujian nilainya bagus semua, dan semakin curiga lagi jika
jawaban siswa tersebut sama persis dengan buku catatan dan sama dengan jawaban anak
yang pintar dan duduk didekat atau disebelahnya.

Ketika penulis berada di Sekolah Menengah Atas, masalah ini semakin banyak saja,
dan suatu peristiswa yang penulis saksikan seorang juara kelas dibuat malu oleh gurunya
karena dicurigai bekerjasama dalam ulangan harian sehingga harus ulangan harian lagi
bersama-sama siswa-siswi yang dicurigai menyontek atau bekerja sama. Padahal menurut
penulis pada waktu itu tidak mungkin seorang juara kelas menyontek, pasti jawabannya
yang dicontek teman yang lain sehingga jawaban mereka sama semua.

Dan masih di sekolah tersebut teman penulis yang nilainya pas-pasan pada semester
pertama, dan mendapat rangking di atas 40 dari 50 siswa, tiba-tiba masuk sepuluh besar
di kelas itu disebabkan ketika ulangan umum semester kedua ia duduk sebangku dengan
juara kelas. Apakah ini adil dan obyektif.

Dimana pengamatan guru selama ini terhadap siswa-siswinya.


Masih masalah menyontek ternyata di kalangan sekolah semakin canggih lagi, karena ada
istilah dikalangan siswa-siswi “ngakal tetapi berakal, menyontek pakai otak”. maksudnya
menyontek itu tidak sama dengan menyalin pelajaran, ambil intinya saja, atau
menggunakan kata-kata lain yang maksudnya sama dengan yang ada di buku dan
jawaban teman.

Anehnya perbuatan contek menyontek dikalangan pelajar sampai saat ini masih
saja ada, tidak pernah terdengar ada sanksi, skorsing, pengurangan nilai atau pembatalan
kenaikan kelas bagi siswa-siswi yang ketahuan menyontek dalam ulangan. Tidak pernah
ada dalam rapat orang tua, guru, kepala sekolah, pengawas, dan pembina pendidikan
membicarakan masalah menyontek, sekolah seakan menutup diri, seolah-olah semua
siswa-siswinya bersih dalam praktek menyontek.

Satu hal lagi yang merugikan para siswa adalah sistem penilaian guru sangat
subyektif, kebanyakan menilai jawaban siswa saja, tanpa melihat proses bagaimana ia
mendapatkan nilai tersebut, sehingga menimbulkan kerugiaan tidak hanya pada siswa
yang pintar tetapi juga pada siswa yang malas.

Jika ini terus dibiarkan saja oleh kita sebagai guru, orang tua murid, pemerhati
pendidikan, pejabat pemerintah dan semua komponen masyarakat lainnya, maka dunia
pendidikan tidak akan maju, malahan menciptakan manusia tidak jujur, malas, yang
cenderung mencari jalan pintas dalam segala sesuatu dan akhirnya menjadi manusia yang
menghalalkan segala cara untukmencapai tujuan yang diinginkannya

i. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan mencontek.
2. Mengetahui dampak dari mencontek.
3. Mengetahui pandangan mencontek dari segi psikologi.
ii. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan mencontek itu?
2. Apa dampak dari mencontek itu sendiri?
3. Apakah pandangan mencontek dari segi psikologi?

BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian menyontek
Menyontek atau menjiplak atau ngepek menurut Kamus Bahasa Indonesia karangan
W.J.S. Purwadarminta adalah mencontoh, meniru, atau mengutip tulisan, pekerjaan orang
lain sebagaimana aslinya.

Dalam artikel yang ditulis oleh Alhadza (2004) kata menyontek sama dengan cheating.
Beliau mengutip pendapat Bower (1964) yang mengatakan cheating adalah perbuatan
yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah/terhormat yaitu
mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis. Sedang
menurut Deighton (1971), cheating adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk
mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara yang tidak fair (tidak jujur).

Menurut Suparno (2000). Segala sistem dan taktik penyontekan sudah dikenal siswa.
Sistem suap agar mendapat nilai baik, juga membayar guru agar membocorkan soal
ulangan, sudah menjadi praktik biasa dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Berdasarkan contoh-contoh pengalaman diatas dalam tulisan ini adalah menyontek


adalah suatu perbuatan atau cara-cara yang tidak jujur, curang, dan menghalalkan segala
cara untuk mencapai nilai yang terbaik dalam ulangan atau ujian pada setiap mata
pelajaran

2. Katagori Menyontek
Menyontek dapat dikatagorikan dalam dua bagian ; pertama menyontek dengan usaha
sendiri; kedua dengan kerjasama. Usaha sendiri disini adalah dengan membuat catatan
sendiri, buka buku, dengan alat bantu lain seperti membuat coretan-coretan dikertas kecil,
rumus ditangan, di kerah baju, bisa juga dengan mencuri jawaban teman Kerjasama
dengan teman dengan cara membuat kesepakatan terlebih dahulu dan membuat kode-
kode tertentu atau meminta jawaban kepada teman.

Dalam makalah yang ditulis Alhadza (2004) yang termasuk dalam kategori
menyontek antara lain adalah meniru pekerjaan teman, bertanya langsung pada teman
ketika sedang mengerjakan tes/ujian, membawa catatan pada kertas, pada anggota badan
atau pada pakaian masuk ke ruang ujian, menerima dropping jawaban dari pihak luar,
mencari bocoran soal, arisan (saling tukar) mengerjakan tugas dengan teman, menyuruh
atau meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan tugas ujian.

3. Tinjauan Psikologi Tentang Menyontek atau Cheating


Menurut, Dien F. Iqbal, dosen Fakultas Psikologi Unpad, seperti yang dikutip
Rakasiwi (2007) orang menyontek disebabkan faktor dari dalam dan di luar dirinya.
Dalam ilmu psikologi, ada yang disebut konsep diri dan harga diri. Konsep diri
merupakan gambaran apa yang orang-orang bayangkan, nilai dan rasakan tentang dirinya
sendiri. Misalnya, anggapan bahwa, "Saya adalah orang pintar". Anggapan itu lalu akan
memunculkan kompenen afektif yang disebut harga diri. Namun, anggapan seperti itu
bisa runtuh, terutama saat berhadapan dengan lingkungan di luar pribadinya. Di mana
sebagai kelompok, maka harus sepenanggungan dan senasib. Senang bersama, duka
mesti dibagi.

Menurut Bandura (dalam Vegawati, Oki dan Noviani, 2004), fungsi psikologis
merupakan hubungan timbal balik yang interdependen dan berlangsung terus menerus
antara faktor individu, tingkah laku, dan lingkungan. Dalam hal ini, faktor penentu
tingkah laku internal (a.l., keyakinan dan harapan), serta faktor penentu eksternal (a.l.,
"hadiah" dan "hukuman") merupakan bagian dari sistem pengaruh yang saling
berinteraksi. Proses interaksi yang terjadi dalam individu terdiri dari empat proses, yaitu
atensi, retensi, reproduksi motorik, dan motivasi.

Menurut Vegawati, Oki dan Noviani, (2004), Pada saat dorongan tingkah laku
mencontek muncul, terjadilah proses atensi, yaitu muncul ketertarikan terhadap dorongan
karena adanya harapan mengenai hasil yang akan dicapai jika ia mencontek. Pada proses
retensi, faktor-faktor yang memberikan atensi terhadap stimulus perilaku mencontek itu
menjadi sebuah informasi baru atau digunakan untuk mengingat kembali pengetahuan
maupun pengalaman mengenai perilaku mencontek, baik secara maya (imaginary)
maupun nyata (visual).

Proses selanjutnya adalah reproduksi motorik, yaitu memanfaatkan pengetahuan dan


pengalamannya mengenai perilaku mencontek untuk memprediksi sejauh mana
kemampuan maupun kecakapannya dalam melakukan tingkah laku mencontek tersebut.
Dalam hal ini, ia juga mempertimbangkan konsekuensi apa yang akan ia dapatkan jika
perilaku tersebut muncul. Dalam proses ini, terjadi mediasi dan regulasi kognitif, di mana
kognisi berperan dalam mengukur kemungkinan-kemungkinan konsekuensi apa yang
akan diterimanya bila ia mencontek.

Dari teori-teori tentang motivasi, diketahui bahwa cheating bisa terjadi apabila
seseorang berada dalam kondisi underpressure, atau apabila dorongan atau harapan untuk
berprestasi jauh lebih besar dari pada potensi yang dimiliki. Semakin besar harapan atau
semakin tinggi prestasi yang diinginkan dan semakin kecil potensi yang dimiliki maka
semakin besar hasrat dan kemungkinan untuk melakukan cheating. Dalam hal seperti itu
maka, perilaku cheating tinggal menunggu kesempatan atau peluang saja, seperti kita
dengar iklan di televisi mengatakan tentang teori kriminal bahwa kejahatan akan terjadi
apabila bertemu antara niat dan kesempatan.
Pertimbangan-pertimbangan yang sering digunakan adalah nilai-nilai agama yang
akan memunculkan perasaan bersalah dan perasaan berdosa, kepuasan diri terhadap
"prestasi" akademik yang dimilikinya, dan juga karena sistem pengawasan ujian,
kondusif atau tidak untuk mencontek. Masalah kepuasan "prestasi" akademik juga akan
menjadi sebuah konsekuensi yang mungkin menjadi pertimbangan bagi seseorang untuk
mencontek. Bila ia mencontek, maka ia menjadi tidak puas dengan hasil yang
diperolehnya.

Yesmil Anwar (dalam Rakasiwi, 2007) mengatakan, sebenarnya nilai hanya menjadi
alat untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Karena
pendidikan sejatinya adalah sebuah proses manusia mencari pencerahan dari
ketidaktahuan. Yesmil Anwar, mengungkapkan, bahwa menyontek telanjur dianggap
sepele oleh masyarakat. Padahal, bahayanya sangat luar biasa. Bahaya buat si anak didik
sekaligus untuk masa depan pendidikan Indonesia. Ibarat jarum kecil di bagian karburator
motor. Sekali saja jarum itu rusak, mesin motor pun mati.

C. Analisis Masalah

Dalam tulisan ini penulis ingin memaparkan kenapa perbuatan mencontek sering
terjadi dikalangan pelajar, apa dampaknya dan bagaimana mengatasinya.

Menurut Alhadza (2004) dalam makalahnya mengenai masalah menyontek yang ia


istilahkan dengan cheating menyebarkan kuesioner dengan pertanyaan terbuka kepada
sekitar 60 orang teman mahasiswa di PPS UNJ. Dari hasil kuisioner tersebut didapatkan
jawaban tentang alasan seseorang melakukan cheating dengan pengelompokan sebagai
berikut.

1. Karena terpengaruh setelah melihat orang lain melakukan cheating meskipun pada
awalnya tidak ada niat melakukannya.
2. Terpaksa membuka buku karena pertanyaan ujian terlalu membuku (buku sentris)
sehingga memaksa peserta ujian harus menghapal kata demi kata dari buku teks.
3. Merasa dosen/guru kurang adil dan diskriminatif dalam pemberian nilai.
4. Adanya peluang karena pengawasan yang tidak ketat.
5. Takut gagal. Yang bersangkutan tidak siap menghadapi ujian tetapi tidak mau
menundanya dan tidak mau gagal.
6. Ingin mendapatkan nilai tinggi tetapi tidak bersedia mengimbangi dengan belajar keras
atau serius.
7. Tidak percaya diri. Sebenarya yang bersangkutan sudah belajar teratur tetapi ada
kekhawatiran akan lupa lalu akan menimbulkan kefatalan, sehingga perlu diantisipasi
dengan membawa catatan kecil.
8. Terlalu cemas menghadapi ujian sehingga hilang ingatan sama sekali lalu terpaksa
buka buku atau bertanya kepada teman yang duduk berdekatan.
9. Merasa sudah sulit menghafal atau mengingat karena faktor usia, sementara soal yang
dibuat penguji sangat menekankan kepada kemampuan mengingat.
10. Mencari jalan pintas dengan pertimbangan daripada mempelajari sesuatu yang belum
tentu keluar lebih baik mencari bocoran soal.
11. Menganggap sistem penilaian tidak objektif, sehingga pendekatan pribadi kepada
dosen/guru lebih efektif daripada belajar serius.
12. Penugasan guru/dosen yang tidak rasional yang mengakibatkan siswa/mahasiswa
terdesak sehingga terpaksa menempuh segala macam cara.
13. Yakin bahwa dosen/guru tidak akan memeriksa tugas yang diberikan berdasarkan
pengalaman sebelumnya sehingga bermaksud membalas dengan mengelabui dosen/guru
yang bersangkutan.

Dampak yang timbul dari praktek menyontek yang secara terus menerus
dilakukan akan mengakibatkan ketidakjujuran Jika tidak, niscaya akan muncul
malapetaka: peserta didik akan menanam kebiasaan berbuat tidak jujur, yang pada
saatnya nanti akan menjadi kandidat koruptor. (Poedjinoegroho, 2006)

Pengajaran yang orientasinya siswa mampu menjawab soal dan bukan pada
pengertian serta pengembangan inovasi dan kreatifitas siswa akan menumbuhkan
kebosanan, kejenuhan, suasana monoton yang dapat berakibat stress. Sudah waktunya
sistem pendidikan kita bersifat two way communication antara guru/dosen dan
siswa/mahasiswa. Kelompok kerja makalah, presentasi, pembuatan alat peraga, studi
lapangan (misalnya ke pabrik salah satu orang tua siswa) kiranya lebih digiatkan daripada
menimbuni siswa/mahasiswa dengan soal-soal yang banyak tapi dikerjakan dengan
menyontek. (Widiawan,1995)

Jika masalah mencontek ini masih saja dianggap sepele oleh semua orang, tidak
akan respon dan tanggapan dari guru, kepala sekolah, pengawas, dinas pendidkan para
pakar pendidikan dan pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan, penulis pesimis
dunia pendidikan akan maju, kreatifitas siswa akan hilang yang tumbuh mungkin orang-
orang yang tidak jujur yang bekerja disemua sektor kehidupan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Mencontek dikalangan para pelajar merupakan sudah wajar kita
mengetahuinya,karena mentontek merupakan suatu kebiasaan yang buruk dan
tidak boleh ditiru.Sebagai seorang pelajar kita haru mengetahui akibat maupun
manfaat dari mencontek.Bila seorang terdesak harus mencontek maka janganlah
hanya mencontek/menyalin tanpa mengerti isinya,dengan kata lain ita juga harus
mengerti maksud dan arti dari yang dicontek tersebut.

B. Saran
Sebagai seorang pelajar kita seharusnya dilarang mencontek,karena semua
pelajar merupakan siswa-siswi yang cerdas.Oleh karena itu,kita harus berusaha
sendiri dan bila masih tidak mengerti tanyakanlah kepada teman cara,maksud,
ataupun arti dari hal yang dicontek,bukan hanya menyalin pekerjaan orang lain.
Daftar Pustaka

Alhadza, Abdullah, 2004, Masalah menyontek (Cheating) di Dunia Pendidikan,


http;//www.depdiknas.go.id/Jurnal
Megawangi, Ratna, 2005, Indonesia Merdeka, Manusia Indonesia Merdeka?.
http://www.suarapembaruan.com.
Poedjinoegroho, Baskoro. E, 2006, Biasa Mencontek Melahirkan Koruptor,
http://ilman05.blogspot.com
Purwanto, Ngalim, Drs.,M., MP., 2004, Psikologi Pendidikan, Rosdakarya, Bandung
Rakasiwi, Agus, 2007, Nyontek, Masuk Katagori “Kriminogen”, http://www.pikiran-
rakyat.com
Suparno, Paul, DR, SJ, 2000, Sekolah Memasung Kebebasan Berfikir Siswa,
https://www.kompas.com/kompas
Vegawati, Dian., Oki, Dwita.,P.S., Noviani, Dewi Rina, 2004, Perilaku Mencontek di
Kalangan Mahasiswa, http://www.pikiran-rakyat.com.
Widiawan, Kriswanto, Ir, 1995, Menyontek Jadi Budaya Baru,
http://www1.bpkpenabur.or.id/kwiyata

Anda mungkin juga menyukai