Pagi itu mentari membubuhkan secercah cahayanya menyinari bumi yang
beberapa saat lalu masih gelap. Seperti biasanya, setiap pagi, Tika menyempatkan dirinya berusaha menjamah suasana pagi dari dalam kamarnya melalui jendela yang terbuka. Desir angin lembab menyapu kulit lembutnya. Akan tetapi, kesemuanya itu tidak menjadikannya ceria. Ia tetaplah menjadi wanita perenung. Terlebih ketika fokus matanya tercuri oleh rumah di seberang jalan. Seketika itu pulalah ia menangis. Rumah di seberang jalan adalah bagian dari sisa kenangan yang telah tercoret dalam hatinya. Hatinya selalu bergetar ketika memandangi rumah itu, meski dengan tatapan kosong. Rumah itu adalah rumah sesorang yang pernah ia sayangi. *** Dulu sekali ketika ia masih menjadi mahasiswa, ia selalu malas menyegerakan dirinya bangun sepagi mungkin. Jika ada jam kuliah pukul 07.30, ia akan bangun pukul 07.00. Kejadian tersebut terus berulang sebelum akhirnya pada suatu hari ia terbangun sangat pagi sekali. Dan selalu saja setiap bangun pagi, ia menyempatkan dirinya membuka jendela kamarnya untuk merelakan udara pagi mengisi setiap sudut kamarnya. Mulai saat itulah ia mengetahui siapa orang yang menghuni rumah diseberang jalan, meski belum saling berkenalan. Dia adalah seorang lelaki dengan kain batik yang membungkus tubuhnya, ketusnya. Ia mulai terbiasa bangun sepagi mungkin. Seseorang yang tinggal di seberang jalan itulah alasan kenapa ia selalu membiasakan dirinya mengurangi jam tidurnya. Lelaki itu tidak dengan sengaja telah ia kagumi. Ditambah gaya berbusananya yang sopan dengan balutan kain batik yang selalu ia pakai setiap hari dengan motif yang berbeda-beda. Lelaki itu selalu duduk santai di beranda rumahnya pada waktu pagi untuk sekedar menikmati secangkir kopi. Ketika waktu telah menunjukkan pukul 07.00, ia lalu beranjak dari tempat duduknya menuju mobil pribadinya, kemudian menjauh dari rumahnya. Petang hari ia baru beranjak pulang dengan seribu titik keletihan yang menempel pada tubuhnya. Pada suatu pagi yang direncanakan, Tika bermaksud untuk mengenal lebih dekat siapa seseorang yang tinggal diseberang jalan itu. Dengan langkah penuh keyakinan, ia menghampiri lelaki itu. Perbincangan pun tidak terelakkan. Meski dalam tempo yang singkat, keadaan seperti itu berulang terjadi, sampai pertemuan mereka berubah menjadi perjumpaan yang lebih intensif. Mereka kini telah saling respect. Lelaki itu bernama Susilo. Seorang pengusaha baju batik yang ada di pusat kota. Mungkin itulah sebabnya baju batik hampir setiap pagi mengemas tubuhnya sebelum ia beranjak dari kediamannya. Setelah saling kenal lebih dekat, ia mengajak Tika untuk melihat-lihat tempat dimana ia bekerja. Tika merasa sangat senang ketika Susilo mengajaknya ke tempat kerjanya. Kadang-kadang mereka berdua menuju ke sebuah tempat dimana banyak para perempuan menggambar motif batik pada kain polos. sesekali pula Tika mencoba seolah menjadi karyawan disitu. Kejadian yang terjadi berulang-ulang itu menjadikan rasa penasaran Tika terhadap batik semakin menguat. Tika menjadi lebih sering mengunjungi tempat kerja Susilo meski Susilo tidak mengajaknya berkunjung. Tika mulai mencintai batik dengan segala bentuk keindahannya. Rasa cinta Tika ternyata tidak hanya kepada produk batik Susilo, melainkan kepada Susilo juga. Dan ternyata Susilo pun merasakan apa yang Tika rasakan. Hingga akhirnya mereka menyatukan diri dengan ikatan suci melalui pelaminan yang suci pula. *** Beberapa bulan setelah pernikahan mereka. Mereka mulai bekerjasama untuk membangun usaha yang Susilo kelola, butik batik. Susilo yang memang telah memiliki sebuah rencana, meminta istrinya yang lulusan S1 desain grafis itu untuk membantunya membuat beberapa desain grafis. “Tik, boleh nggak besok aku minta tolong kamu untuk membuat contoh desain grafik. Aku berniat menggambungkannya dengan produk-produk batikku,” pinta Susilo kepada istrinya. “Wah, ide bagus tuh. Iya, dengan senang hati aku akan membuatkan contoh desain-desain grafis.” Ide menarik tersebut mendapat respon positif dari para konsumen, terlebih konsumen dari kalangan remaja. Penjualan produk meningkat. Pendapatan Susilo bertambah. Ia kemudian menyimpulkan dari beberapa produk yang terjual—produk pakaian dengan desain grafis yang lebih dominan daripada motif batiknya—bahwa para konsumen lebih tertarik pada motif desain grafisnya, bukan pada motif batiknya. Usaha Susilo pun kini berubah menjadi distro pakaian remaja. Pakaian motif batik dilenyapkan begitu saja, entah kemana. Hal tersebut sontak menjadikan Tika geram. Ia tak menyangka kalau seseorang yang dulu ia kenal sangat menghargai batik kini berubah haluan hanya karena pengaruh materi. Ia tak lagi mengenal Susilo sebagai seseorang yang dulu tinggal di seberang rumahnya. Ia tak lagi mengenal Susilo sebagai pengusaha muda yang tetap menghargai budaya asli bangsanya. Susilo telah berubah. Mata Susilo telah buta karena permainan pasar ekonomi. Tika sangat menyesal telah mengenalkan Susilo dengan desain grafis yang ia buat. “Bukan ini yang aku inginkan, jelas bukan,” ketusnya. Nasi telah menjadi bubur. Bagaimanapun juga, dengan tidak sengaja Tika yang telah memberikan resep membuat bubur kepada Susilo. Nasi yang Susilo kelola kini telah menjadi bubur. Batik telah tersingkirkan. Batik tak pernah mendapat tempat yang layak di zaman ini, begitupun di hati Susilo. Tika yang memang telah merasa miris dengan keadaan tersebut mulai melakukan gencatan terhadap Susilo. Berulang-ulang ia menasihati Susilo untuk tidak menghilangkan unsur batik pada setiap produknya. Tapi, nasihat itu tak pernah diindahkan oleh Susilo. “Mas, kenapa kamu hilangin unsur batik pada setiap produkmu?” “Aku tidak bermaksud menghilangkan unsur batik pada produk-produkku, pasarlah yang meminta!” “Tapi kan kamu tidak harus menuruti apa kemauan pasar. Ingat pesan orang tuamu, Mas. Mereka mengharapkankamu selalu menghargai batik sebagai budaya asli bangsa kita. Berkat mereka pula kau bisa memiliki usaha sendiri.” “Menghapus motif batik pada produk aku bukan berarti aku tidak menghargai batik. Aku cuma memperjuangkan hidupku, hidup kita, aku dan kamu.” “Ah, terserah apa katamu, Mas. Toh, omonganku ini tidak akan berarti apa-apa buatmu. Kamu tetap saja keras kepala.” *** “Aku sekarang bingung terhadap suamiku, Mir. Sekarang dia benar-benar menjadi korban perekonomian pasar. Apa yang ia lakukan terhadap usahanya selalu berorientasi pasar. Dia tidak melihat apa arti sebuah ideologi. Ideologi mencintai budaya asli yang dulu pernah orang tuanya tegaskan sudah tidak dianggapnya lagi. Apa yang mesti aku perbuat lagi untuk menyadarkan suamiku?” Keluh Tika kepada salah satu temannya. “Sudahlah, Tik. Kalau menurtuku sih tidak masalah. Yang penting suamimu mencari rejeki yang halal. Yang penting dia tetap melaksanakan tugasnya menafkahimu.” “Iya, tapi tetap saja sekarang dia berubah. Aku lebih suka dia yang dulu.” “Sudah, sudah. Biarkan saja suamimu. Toh, tujuan dia juga baik, dia melakukan semua itu kan demi kamu juga, demi hidup kalian berdua. Zaman sekarang masalah menghargai kebudayaan dengan masalah bisnis tidak melulu klop.” Tika yang bermaksud mendapat dukungan moril dari temannya justru merasa terpojokkan. Kenapa semua orang selalu berorientasi pasar. Kenapa semua orang bisa dengan mudah merendahkan budaya asli bangsa sendiri hanya demi materi belaka, ketusnya. “Tetap saja ini tidak bisa dibiarkan, Mir. Aku harus bertindak. Aku tidak boleh diam.” “Lalu apa yang akan kamu lakukan?” Keesokan harinya seisi kota digencarkan oleh sebuah berita yang sangat mengejutkan. Surat kabar, televisi, radio-radio, dan sebaginya ramai membicarakan peristiwa kebakaran yang melanda sebuah distro pakaian remaja yang belakangan ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Distro tersebut tidak lain adalah milik Susilo. Akan tetapi, Tika justru terlihat tenang, seperti tidak ada kejadian apa-apa yang menimpa usaha suaminya. “Hanya dengan cara inilah yang mungkin bisa menyadarkan suamiku. Biarlah usaha suamiku hangus terbakar, yang penting jiwa menghargai batik sebagai salah satu budaya bangsa tidak ikut hangus terbakar di dalamnya. Maafkan aku suamiku.”