Anda di halaman 1dari 7

Sahabat Kelasku

Cerpen Karangan: Abdul Rahman


Kategori: Cerpen Perjuangan, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 17 November 2019

Siang itu mentari begitu terik bersinar, terasa berada di atas bara api. Tapi semangatku untuk berada
di kelas yang indah ini tak pernah surut untuk mengikuti pelajaran hari ini. Tepat 09.45 bel sekolah
berbunyi “Jam istirahat telah tiba, isilah dengan kegiatan yang positif”. Aku pun beranjak menuju
kantin di belakang kelasku untuk mengisi perutku yang sejak tadi pagi sudah bersuara untuk minta
diisi.

“Nia, kita ke kantin sekarang yuk, laper nih” ucapku pada Nia sahabatku
“Ayo, Na! sudah laper juga nih” sahut Nia.

Kami berdua bergegas menuju kantin di belakang kelasku. Kantin sekolahku hanyalah kantin yang
sederhana, terdiri dari bangunan kecil yang berdinding kayu dan beratap seng tanpa ada warna cat
yang menghias dindingnya. Makanan yang disajikan juga relatif sederhana hanya beruba sop ayam,
goreng tempe, goring singkong, teh manis dan cemilan lainnya. Lumayan untuk mengisi perut kami
yang lagi kosongTepat pukul 10.00 bel sekolah kembali berbunyi “Waktu Istirahat telah berakhir, anda
dipersilahkan memasuki ruang kelas masing-masing, selamat mengikuti pelajaran selanjutnya”. Mata
pelajaran Matematika yang aku sukai akan dimulai. Aku duduk berdua dengan Nia sahabatku mulai
menyiapkan diri untuk mengikuti pelajaran matematika yang diajar oleh Ibu Anugrah, S.Pd. Beliau
guru yang cantik, penampilan beliau begitu elegan setiap masuk kelas kami, dengan wajah yang
selalu ceria di depan kami, hingga kami tidak pernah merasa bahwa pelajaran matematika adalah
momok yang menakutkan.

Ibu guru Anugrah adalah sosok yang sangat menginspirasi kami dalam belajar, beliau selalu
memberikan motivasi buat kami untuk terus semangat mengejar mimpi-mimpi kami.

Tak terasa 3 jam sudah ibu Anugrah mengajar matematika di kelasku, tak ada kata bosan atau
mengantuk ketika beliau mengajar. Beliau mengajar kami dengan berbagai model pembelajaran yang
membuat kami selalu tertarik dengan semua kegiatan beliau di kelas.

Kelasku XI MIPA 2 berisi siswa-siswi yang luar biasa, kami bangga menjadi bagian kelas ini. Kami
tidak merasa kami sendiri dalam kelas, semua kami lakukan bersama. Menjaga kelas kami agar tetap
bersih, tetap nyaman buat kami belajar. Ruang kelas kami indah untuk kami tempati setiap saat,
karena buat kami kelas kami adalah kamar kedua kami.
Ketua kelas kami, Muhammad Aditya merupakan sosok yang luar biasa menjaga komitmen kami
untuk menjadi kelas yang hebat, kelas yang luar biasa. Dia selalu memberikan dorongan bagi kami
untuk terus menjaga kebersihan kelas, merawat taman agar tetap asri dan indah.

Momentum terindah kami pada saat kegaitan di sekolah kami, yaitu lomba menghias kelas pada
perayaan 17 Agustus 2017. Tanpa mengenal lelah kami mempersiapkan kelas kami untuk menjadi
kelas yang terbaik. Semua potensi kelas kami kerahkan untuk menyiapkan kelas, semua siswa secara
sukarela bekerja untuk menyiapkan semuanya, seperti mengecat dinding kelas dengan motif batu
bata, mengambar peta Indonesia pada diding bagian belakang, membuat mading kelas tentang Kutai
kartanegara. Hampir setiap sore setelah pulang sekolah kami kembali ke sekolah untuk menyiapkan
taman dan kelas kami.

Hingga pada saat pengumuman lomba dilaksanakan setelah upacara bendera tiba waktu yang kami
nanti. Karena lomba menghias kelas adalah lomba yang paling bergengsi pada kegiatan tersebut.
Dengan perasaan was-was kami menanti pengumuman. Setelah pengumuman berbagai lomba yang
diadakan seperti olah raga tradisional tidak begitu kami dengarkan karena kelas kami tidak masuk
pada setiap kategori lomba kecuali juara 4 lomba tarik tambang.
Kemudian suara guru mengumumkan hasil lomba menghias kelas dengan berbagai predikat.
“Kelas sebagai predikat paling bersih jatuh pada kelas X Mipa 1” kata bu Miela
Kami tesentak kaget mendengar pengumuman itu, kenapa bukan kelas kami? kami kecewa
“kok, bukan kelas kita ya yang paling bersih” kata Tika dan Yuni bersamaan
“Kelas sebagai predikat taman paling indah jatuh pada kelas X Mipa 3” kata bu Miela
Kami semakin kaget dan sangat kecewa mendengar hasil ini. Kami semua tertunduk kecewa karena
dari usaha yang kami lakukan sepertinya sia-sia, uang jajan yang kami sisihkan untuk membeli semua
kelengkapan kelas, waktu kami terbuang percuma karena hamper setiap hari harus ke sekolah.

Tak terasa aku meneteskan air mata…


Ingin rasanya teriak dan protes keras dengan hasil yang diumumkan,
“apa kelebihan kelas mereka? bersih darimana? sampah masih bertebaran, taman hanya sebegitu
saja, haruskah mereka yang menang” gumamku dalam hati
Nia sahabatku yang melihat perubahan pada mataku datang memelukku seraya mengusap kepalaku
sambil berujar “Sabar Na, mungkin bukan rejeki kita untuk juara saat ini, ini pelajaran berharga buat
kita terus berbenah agar lebih baik lagi”.
“Tapi aku kecewa, Nia” sentakku.
“Kita banting tulang demi kelas yang kita idamkan untuk menjadi juara, ketika orang lain pulang dan
bermain di rumah, kita di sekolah hingga senja setiap hari… tapi apa hasilnya? Nia!! Apa? Lihat tawa
mereka, lihat senyum gembira mereka”.
Tanpa henti Nia menghiburku agar aku sabar dengan yang kami hadapi ini, aku tidak berani menatap
wajah-wajah kecewa teman sekelasku.
“apa yang ada dalam pikiran mereka saat ini, tentu mereka sangat kecewa” ujarku dalam hati.

Namun sesaat aku terpana, terdiam tanpa kata ketika di ujung suara pada pengeras suara aku
mendengar sayup nama kelasku disebut… “XI Mipa 2”.
Teman sekelasku semua berteriak “Alhamdulilllah kelas kita juara 1, kita juara 1”.
Nia memelukku dengan erat sambil teriak “Nana… kelas kita juara 1, kelas kita juara 1”.
Aku tersadarkan dalam rasa kecewaku, ternyata impian kami tercapai, kami juara 1…

Langsung bersujud di hadapan Ilahi Rabbi mengucap syukur pada-Nya.


“Tuhan.. terima kasih atas nikmatmu, Kau wujudkan mimpi kami, Kau tunaikan usaha kami, segala
puji bagi-Mu ya Allah” ucap dalam sujud syukurku.

Ternyata yang diumumkan sebelumnya hanya predikat terbatas bagi setiap kelas, dan kelas kami
yang yang terbaik. Tidak ada yang sia-sia dari semua usaha kami, tidak ada yang terbuang dari
semua pengorbanan kami.

“Teman sekelasku memang siswa-siswi yang luar biasa” begitu kata wali kelas kami setiap masuk
untuk memberi kami motivasi.
Wali kelas kami selalu mendorong kami untuk selalu lebih kreatif, lebih tekun dalam belaja, lebih
bertanggung jawab dan selalu disiplin.

Aku bangga dengan kelasku, bangga dengan seluruh teman dan sahabat di kelasku. Kami punya
slogan dalam “Berjuang bersama, maju bersama, juara bersama”. Slogan itu terpatri dalam jiwa kami
anggota kelas XI Mipa 2, kami bangga dengan kebersamaan kami, kami bangga ada di kelas ini.

“Terima kasih Sahabatku semua, bersama kita meraih mimpi”

Tamat

Diam Diam Suka


Aku… Siswa biasa yang bersekolah di SMA favorite. Entah apa yang aku harapkan saat itu. Kenapa
aku bisa masuk SMA, yang notabennya adalah siswa-siswa famous dan berprestasi. SMA Tuna
Bakti. SMA yang paling banyak memenangkan kejuaraan. Baik dalam bidang pelajaran, olahraga,
seni dan bidang umum lainnya. Aku termasuk siswa di bidang olahraga. Khususnya tenis lapangan.
Aku sering menjuarai kejuaraan. Sebenarnya, aku nggak tertarik sedikit pun dengan tenis.
Awalnya… aku cuma keseringan nemenin mama kursus tenis. Lama kelamaan, kayaknya tenis
menyenangkan. Aku mulai mencoba. Dan akhirnya berani ikut pertandingan. Sudah banyak
pertandingan yang aku ikuti. Nggak disangka, karena kerja kerasku aku bisa juara satu Indonesia.

SMA Tuna Bakti bukan sekolah pilihanku. Aku masuk ke sana gara-gara papa ngebet banget aku
sekolah di sana. Ya… mau nggak mau aku harus nurut. Namaku Vaisha Hashkara. Biasa dipanggil
Vaisha.
Kelas 11 IPS 2. Di SMA ini ada satu cowok yang bikin aku heran.
Yaitu Ajun. Ajun Aldevaro. Kelas 11 IPS 1. Kapten basket yang famouuusss banget. Hampir semua
cewek-cewek di sekolah ngefans sama dia. Rebutan, siapa duluan yang jadi pacarnya. Aku nggak
mau ikutan acara kayak begituan. Ngrebutin cowok yang nggak jelas.
Ajun emang ganteng, pinter, jago basket, ramah, pokoknya multi talent. Tapi kalo mandang cowok
dari kelebihannya aja, itu sih bukan tulus namanya.

Hari ini pertandingan basket rutin SMA Tuna Bakti dengan SMA Merah Putih. Semua siswa, apalagi
yang cewek-ceweknya berteriak memanggil nama Ajun. Itu sudah menjadi hal biasa. Jadi nggak
heran lagi itu terjadi setiap Ajun tanding. Aku sama sekali nggak berminat untuk nonton. Tapi kali ini
aku nggak bisa menghindar. Secara aku ketua PMI terbaik sedaerah tahun ini. Jadi terpaksa, aku
harus nonton sampai selesai. Kalo aku nggak nonton, nanti ada yang cidera… trus akunya nggak
ada, bisa abis dimarahi aku.

Pertandingan sudah setengah jalan. SMA Tuna Bakti tetap memimpin. Sorak-sorak penonton
terdengar semakin keras. Dan itu yang membuat aku semakin bosan untuk nonton.
Saat Ajun ingin melakukan slum dunk, tiba-tiba ia didorong lawan sampek kakinya terkilir. Ia terlihat
kesakitan, tapi ia tetap tegar dan bertahan. Aku hanya melihatnya dengan lamunan

. “Vaisha, itu ada yang cedera. Cepetan bantuin!” ucap Chika, salah satu anggota PMR.
“Vais, apa yang kamu lakuin” kata Sheina, sahabatku sekaligus satu-satunya anggota PMI
sepertiku.
Aku tetap tak menggubris.
“Vaisha!” teriak Sheina sambil menepukku.
Aku tersadar dan langsung berdiri menuju Ajun.
“Biarin aja dia yang nolongin. Dia kan nggak suka basket. Mungkin kalo nolongin kapten basket, dia
bisa suka basket!” ucap Sheina.
“Suka basket, atau suka yang main basket?” canda Chika.
Mereka berdua saling tatap dengan senyum.

“Ka… kamu nggak… papa? Kamu bisa tahan kan?” tanyaku sedikit terbata dan gugup.
“Aku bisa tahan kok” jawabnya singkat.

Tanpa basa-basi aku langsung meraih tangannya dan menaruhnya di pundakku. Lalu membawanya
ke UKS. Entah aku sadar atau tidak telah melakukan hal itu. Tapi jujur aku benar-benar tidak sadar.
Hal pertama yang aku lakukan, adalah melepas sepatunya.

“Eh… tunggu-tunggu, biar aku sendiri aja yang nglepasin sepatuku.”


“Kok gitu?”
“Udah biar aku sendiri” pintanya.
“Aku aja”
“Udahlah aku aja”
Tanpa panjang lebar aku membentaknya.
“Kamu itu gimana sih, udah bagus-bagus aku bantuin, malah sok pinter bisa sendiri. Mendingan tadi
nggak usah aku tolongin. Toh kamu bisa sendiri” emosiku kuluapkan dalam kata demi kata.
Sejenak aku terdiam. Ajun masih memandangiku. Anehnya ia sedikit tersenyum.
Aku tersadar.
“Ma… maaf! Aku kebablasan!” ucapku
“Nggak papa! Nggak ada masalah kok.” jawabnya, lagi-lagi dengan tersenyum.
“Kamu kok senyum sih, nggak malah marah?”
“Buat apa marah, kalo orang di depan aku ini nggak ngebuat aku marah”
“Tapi aku kan udah bentak-bentak kamu”
“Itu bukan bentak, tapi berjuang untuk membantu. Aku berpikir kalau kamu berjuang buat bantuin
aku”
“Nggak juga!”
“Itu kan pendapat aku”
Aku melepas sepatunya dan mulai mengobatinya.
“Aduh, sakit tau!” helanya.
“Maaf!”
Lalu ia senyam-senyum lagi melihatku.
Aku balik menatapnya.
“Kamu, kenapa senyam-senyum gitu. Ihh… ngeri deh!”
“Kamu… cantik!” ucapnya.
“Heleh, aku nggak akan terbujuk rayuan kamu. Meskipun semua temen bahkan semua cewek di
sekolah ini suka dan ngefans banget sama kamu, aku nggak bakal kayak mereka. Camkan itu!”
“Aku nggak ngeharusin kamu suka sama aku. Tapi kayaknya… ”
“Apa?” tanyaku penasaran
“Aku… suk…”

Tiba-tiba…
Semua cewek-cewek yang tadi nonton pertandingan masuk dan ngerumunin Ajun. Saking
banyaknya aku sampek terdorong ke belakang.

“Vaisha, kamu nggak papa kan?” tanya Sheina.


“Nggak papa kok. Tenang aja, Vaisha tahan banting”
“Iya, percaya. Eh… gimana Ajun?”
“Udah aku obatin. Oh yaa, tadi Ajun tuh senyam-senyum sama aku. Aku jadi ngeri deh”
“Apa, senyam-senyum? Itu tandanya… Ajun, suka sama kamu”
“Ya nggak mungkin lah. Kamu tuh ada-ada aja”
“He, em!!!”

Hari ini bete banget rasanya. Sheina nggak masuk sekolah, padahal dia yang nemenin aku setiap
saat. Pelajaran semuanya jamkos, karena hari ini ada event pertandingan gitu di sekolah. Jadi lariku
ya… ke taman sekolah.

“Kalo kebanyakan ngelamun, nanti bisa kesambet lo”


“Siapa juga yang ngelamun”
“Ih.. ih.. ih… udah ketauan tapi nggak mau ngaku”
“Kamu kenapa sih gangguin aku?”
“Emang nggak boleh, akukan juga butuh temen”
“Temen kamu kan banyak, nggak aku aja. Lagi pula aku bukan temen kamu, kenal aja enggak.”
“Kalo aku maunya kamu yang jadi temen aku, gimana? Meski kamu belum kenal aku, aku kan bisa
kenal kamu.”
“Terserah deh mau kamu!”
Hening di antara kami.

“Oh ya, gimana kaki kamu?”


“Udah mendingan kok. Kan yang ngobatin, ngobatinnya pake… cinta”
“Kamu apaan sih? Nggak jelas”
“Boleh ngomong sesuatu nggak?”
Aku mengangguk.
“Aku sebenernya, udah tau kamu sejak kelas 10. Saat itu kamu lagi sendirian, sambil baca buku di
taman ini. Padahal semua cewek bahkan semua murid lagi nonton pertandingan basketku. Sejak itu
aku penasaran sama kamu. Kamu tuh terlihat beda sama cewek-cewek yang lain. Tapi aku nggak
berani deketin kamu, aku kira kamu nggak bakal suka sama aku. Oh ya, soal kemarin aku sengaja
ngebuat diri aku cedera. Aku dapat informasi kalo yang jadi PMInya itu kamu. Aku minta bantuan
ama kapten basket Merah Putih untuk sengaja dorong aku saat aku slam dunk. Agar aku bisa
ketemu, dan bisa bicara sama kamu. Jadi aku minta maaf, udah ngerepotin kamu. Dan thanks juga!”

REPORT THIS AD

Aku hanya terdiam tak percaya. Bukan masalah Ajun udah kenal aku, tapi kemarin Ajun udah
sengaja nyelakain dirinya sendiri dan bohong, cuma buat bisa ngomong sama aku.

“Jadi kamu bohong sama aku”


“Bukan gitu maksud aku Va, dengerin aku dulu!”
“Tapi kamu bohong kan sama aku. Aku nggak percaya kamu bisa lakuin itu. Kamu mau ngomong
sama aku, ya ngomong aja, nggak perlu bohong segala”
“Emang jadi masalah kalo aku bohong sama kamu?”
“Ya Iyalah, akukan paling nggak suka sama orang yang bohong. Meskipun Bohongnya sekecil
apapun. Apalagi bohongnya sampek nyelakain dirinya sendiri, kayak kamu!”
“Kamu tuh lebay ya! Kayak anak kecil!”
“Kamu bilang apa, aku lebay, kayak anak kecil? Kamu tuh yang kayak anak kecil. Apa-apaan coba,
pake bohong segala!”
“Eh, kamu kok ngomong gitu. Aku kan cuma becanda. Kamu malah ngata-ngatain aku!”
“Yang mulai duluan siapa, kamu!”
“Eh, cewek nggak jelas… kamu tuh emang agak sinting ya! Nyesel aku ngomong sama kamu!”
“Ya udah, trus kenapa masih di sini? Males tau ngeliat kamu!”
“Oke! Aku pergi. Jangan harap aku bicara lagi sama kamu!” Ajun berlalu. Sepertinya ia sungguh-
sungguh marah.

Matahari bersinar dengan hangatnya. Burung-burung terbang melintasi angkasa. Semua orang
berusaha bangun dari mimpi mereka. Segera melakukan apa yang telah menjadi tradisi mereka.
Entah kenapa aku bangun kesiangan hari ini. Mungkin aku lelah. Atau terlalu memikirkan masalah
kemarin.

“Aduh… ma, aku udah telat nih. Aku nggak usah sarapan ya!”
“Makanya kalo tidur jangan larut malam, kesiangankan jadinya!”
“Siapa yang tidur larut malam. Aku tuh kemarin tidur jam 10. ”
“Ya udah, kamu bawa bekal aja!”
“Nggak usah, aku langsung berangkat. Assalamuallaikum!”
“Eh… ya nggak boleh gitu. Nih bawa!Kalo nanti tiba-tiba kamu pingsan gimana?”
Mama mengulurkan sekotak sandwich padaku.
Aku terpaksa menerimanyanya, nanti kalo nggak aku terima bisa panjang urusannya. Dan aku
malah makin telat.
Dengan sigap aku melajukan motorku.

REPORT THIS AD

Sesampainya di sana bel sudah berbunyi. Turun dari motor aku langsung berlari. Berlari cepat,
sangat cepat.
Tiba-tiba…
Brukkkk…
Hatiku seperti melayang di angkasa. Bersama peri-peri yang asyik berdansa. Dengan cinta dan
bahagia. Senyum tawa menyertainya.
Saat kutatap matanya aku langsung bangkit.

“Maaf, aku nggak sengaja. Aku nggak bermaksud nabrak kamu” ucapku tertunduk.
“Nggak papa, nggak masalah kok, cewek aneh”
Aku tak menganggapnya dan segera pergi…
Waktu kujalani seperti biasa.
Pulang sekolah…
“Vaisha… aku duluan ya. Bye!” pamit Sheina, saat aku masih merapikan bukuku.
Aku tersenyum kepadanya.
Kelas mulai sepi…
Tiba-tiba hp-ku bergetar. Nomornya nggak dikenal. Tapi aku tetap membacanya.

To: Vaisha Nohan Hashkara


‘Aku minta maaf! Sekarang aku tunggu di lapangan basket. Jangan takut aku bukan orang jahat.
Aku mohon. Plisss Vaish!

Aku bingung, tapi aku tetap menemuinya. Kulangkahkan kakiku segera. Sebelum waktu berlalu
dengan sendirinya.

Aku berdiri di tepi lapangan basket. Lama sekali. Hingga aku tak sabar.
“Sorry, udah nunggu lama ya? Malah jadi kamu yang nungguin aku.”
Aku berbalik ke suara itu.
“Ajun!” ucapku lirih
“Aku minta maaf, soal kemarin. Aku udah emosi sama kamu. Dan aku udah ngata-ngatain kamu.
Abisnya kamu juga sih! Kamu yang mulai duluan!”
Aku sedikit menatapnya tajam.
“Udahlah, lupain masalah itu! Sekarang yang mau aku omongin bukan masalah itu. Aku mau
ngomong kalo aku… emm… aku… aku…”
Aku tetap mendengarkanya meski kata-katanya tidak terlalu jelas dan patah-patah.
“Oke! Jujur, pertama kali ketemu kamu aku udah tertarik sama kamu. Dan aku… suka sama kamu”
“Suka dalam arti?”
“Aku… mencintai kamu”
Hening seketika.

“Kamu mau nggak, jadi… pacar aku!”


Aku tetap diam.
“Kamu nggak suka dengan perkataan aku?”
“Bukan! Bukannya gitu. Aku kaget aja, orang sebaik kamu, seganteng kamu, sepinter kamu, dan…
seperfect kamu, suka sama aku. Cewek nggak jelas, yang nggak sesempurna malaikat.”
“Liat orang jangan luarnya aja. Mandang orang jangan kelebihannya aja. Itu kan yang ada di pikiran
kamu. Dan aku suka cara berpikir kamu”
“Gimana ya. A… aku bingung”
“Kalo kamu nggak mau nerima aku, nggak papa”
“Kamu serius?”
“Iya!”
“Aku… nggak bisa”
“Nggak papa, itu hak kamu!”
“Maksudnya aku nggak bisa nolak kamu!”
“Beneran? Serius?”
Aku mengangguk.

Anda mungkin juga menyukai