Anda di halaman 1dari 5

Give Thanks

Hujan turun dengan lebat sore itu. Membungkus kota kecil di pinggiran kota provinsi.
Tika gadis kecil bertubuh ringkih terduduk lesu di pojokan sebuah konstruksi bangunan
baru. Menangis terisak. Tika rindu mama dan papanya. Tika rindu suasana rumah yang
hangat. Sekarang rumah tak lagi sehangat dulu. Mama dan papanya meninggal sejak
sebulan yang lalu saat Tika masih berusia enam tahun. Tika tinggal bersama kakaknya
yang selalu pulang larut malam. Tika kesepian, ia tidak mau tinggal sendiri di rumah
yang hanya mengingatkan pada kenangan-kenangan bersama mama dan papanya.
“Uh..uhu.huhu.. mama, papa” hujan sudah berhenti sejak sejam yang lalu dan
Tika masih terus menangis.
Tuk. “Aww..”. Ada yang melempari kepala Tika dengan batu kerikil. Tika mendongak.
Penglihatannya masih kabur tertutupi air mata. Ia melihat sesosok anak laki-laki di
hadapannya.
“Iyuh.. ingusnya beler kemana-mana”, anak laki-laki itu spontan menyahut dan
mundur beberapa langkah. Tika mengerutkan kening, merasa tersinggung. Tika
mengelap seadanya air mata dan ingus yang memang sudah beler kemana-mana.
“Kamu siapa?” Tika memperbaiki duduknya sambil menatap anak laki-laki di
depannya.
“Aku akan memperkenalkan namaku kalau kau mau menemaniku bermain”
anak laki-laki itu duduk di samping Tika bersandarkan tembok bangunan, “Aku bosan
dan sedang mencari teman untuk bermain, kebetulan aku menemukanmu yang
sepertinya sebaya denganku”
Tika tidak menjawab. Ia hanya melongo menatap anak laki-laki itu. Walaupun terlihat
menyebalkan, di dalam hati kecil Tika ia bersyukur. Anak laki-laki di depannya tidak
menanyakan kenapa ia menangis.
“Aku juga bosan, dan aku tidak keberatan menemanimu bermain” Tika
berbicara lirih.
“Benarkah?” anak laki-laki itu berdiri menghadap Tika. Matanya berbinar
senang. Tika tertawa kecil melihatnya. “Kalau begitu karena sudah mau bermain
denganku aku akan memperkenalkan namaku” anak laki-laki itu mengulurkan
tangannya, “Namaku….”
***
“Tika. Bangun. Tika temanmu sudah menunggu di luar” Tika sontak terbangun. Ia
mengerjapkan matanya membaca sekitar. Matahari sudah tinggi, jam dinding di
kamarnya menunjukkan pukul 10.00, terlihat kakaknya yang baru saja
membangunkannya duduk di samping ranjang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Kakak kan sudah menyuruh kamu cepat tidur tadi malam. Katanya ada janjian
sama teman jam sepuluh, tapi malah bangun jam sepuluh. Alasan begadang kerja skripsi
tapi malah nonton drakor”. Ckck..”
Tika beranjak dari tempat tidurnya, mengambil handuk dan berlari menuju
kamar mandi. Sindiran dari kakaknya barusan hanya dianggap angin lalu. Si kakak
hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan adik semata wayangnya itu.
Pukul sebelas siang itu, Tika sudah siap hangout bersama temannya. Sweater
merah muda kebesaran yang dipadupadankan dengan celana jeans hitam panjang dan
sepatu converse putih terlihat sangat cocok digunakan di tubuhnya yang tinggi
semampai.
“Kakak, Tika pergi dulu ya” Tika menghampiri kakaknya yang sedang asyik
bermain di ruang keluarga dengan Tio, keponakan Tika, anak pertama dari pasangan
Tira –kakak Tika- dan suaminya Mas Obiet.
“Tidak makan dulu sebelum keluar?” kakak Tika bertanya khawatir.
“Nanti aku makan sama Gilang aja diluar. Tika pamit ya kak, Gilang udah
nunggu lama” Tika pamit kepada kakaknya, tidak lupa juga Tika mengecup pipi imut
Tio dan seraya berlari ke luar rumah.
Di teras depan duduk Mas Obiet, kakak ipar Tika, sedang menikmati weekend
dengan caranya sendiri. Mas Obiet sedang mengelap satu per satu bingkai foto yang
berdebu. Beliau memang senang kebersihan. Juga senang memotret. Hampir seluruh
dinding di rumah Tika dipenuhi hasil potret Mas Obiet.
“Kakak ipar, Tika pamit pergi dulu sama teman. Nanti bakal cepat pulang kok”
tidak lupa Tika juga pamit kepada kakak iparnya.
“Iya..Tika hati-hati ya. Jangan serampangan diluar sana. Selalu dahulukan
kepentingan umum. Kalau ketemu orang yang lebih tua kalau bisa disapa dengan ramah.
Kalau..”
“Iya iya kakak ipar” Tika cepat-cepat memotong nasihat Mas Obiet. “Tika selalu
menuruti nasihat-nasihat kakak kok. Jangan khawatir. Oke?” walaupun ada perasaan
tidak enak, tapi Tika tidak ingin rencana weekendnya jadi berantakan gara-gara harus
tinggal mendengar nasihat-nasihat Mas Obiet yang tentunya tidak sebentar.
“Tika pergi ya kak”
“Hati-hati di jalan Tika” pesan Mas Obiet sambil menekuni kembali bingkai-
bingkai fotonya.
Tika berlari menghampiri Gilang yang sedang berdiri di samping pagar rumah.
Gilang memakai celana jeans hitam yang serasi dengan warna sepatunya. Sweater
hoodie merah maroon terlihat cocok dipakai di tubuhnya yang jangkung. Gilang terlihat
sedang memerhatikan bunga anyelir warna-warni yang di tata rapi milik kakak Tika.
“Gilaanggg.. Maafin aku ya. Aku telat bangun. Soalnya alarmku gak bunyi. Gak
tau juga kenapa alarm itu gak bunyi. Rusak kali ya. Tapi beneran aku udah pasang
alarmnya tadi malam. Aku beneran Gilang. Huhu maafin aku”
“Iya iyaaa. Kamu kayak gak tau aku aja, dasar anak ingusan” Gilang tersenyum
seraya mengacak-acak rambut Tika.
“Hehehe, baik banget Mas Gilang, sini sini peluk dulu”
“Ih jijik”
“Huh! Keluar nih aslinya. Yuk ah jalan”
Gilang hanya tersenyum melihat wajah cemberut Tika.
Siang itu Tika dan Gilang menghabiskan waktu melakukan hal-hal yang disukai
Tika. Sambil berboncengan di motor vespa sprint150 berwarna merah maroon milik
Gilang, tiap minggunya mereka secara bergantian melakukan hal-hal yang disukai satu
sama lain. Minggu lalu mereka mengunjungi pameran bunga yang dilaksanakan di
sebuah taman bunga di pinggiran kota. Walaupun pilihan bunganya tidak banyak, tapi
warna bunga merah yang sebagian besar memenuhi taman itu membuat Gilang
tersenyum ceria sepanjang hari dan tidak berhenti mengambil foto.
Minggu ini mereka sepakat mengunjungi sebuah pasar buku di kota mereka.
Tempat warga kota berburu buku baru maupun bekas dengan harga yang relatif murah.
Tika senang membaca buku. Tika memiliki kesan dan kenangan yang baik bersama
buku-buku. Dulu saat masih kecil, Tika selalu membaca buku untuk mengusir rasa sepi
ditinggal di rumah sendiri. Lagipula saat ini Tika sedang menyusun skripsi, Tika mau
tidak mau harus mencari buku-buku untuk referensi tugas akhir.
Waktu menunjukkan pukul satu siang saat Tika sudah selesai berbelanja buku-
buku referensi tugas akhir. Gilang juga membeli sebuah novel salah satu penulis
favoritnya dengan sampul monyet berdasi.
“Gilang, habis ini kita makan bakso yuk” Tika yang tidak sempat sarapan
sebelum meninggalkan rumah mulai merasa lapar.
“Bakso mulu ah, bosan” Gilang merengut. Gilang paling tahu, makanan
kesukaan Tika. Mau diajak makan makanan lain pun, ujung-ujungnya mereka pasti
mengunjungi warung bakso pilihan Tika.
“Yahh, kok gitu. Kalau cari tempat makan yang lain aku keburu lapar. Bakso aja
ya. Ya?”
Gilang luluh, mereka akhirnya makan siang di salah satu warung bakso terkenal
di kota itu. Seusainya, Tika dan Gilang menghabiskan waktu duduk-duduk di cafe
hingga matahari terbenam.
Setiap melihat wajah Gilang, Tika selalu merasa bersyukur akan banyak hal.
Kini saat Tika mengingat-ingat lagi keadaan yang menarik paksa kehidupannya di
kedukaan yang dalam. Semua itu membuat Tika bertanya-tanya, bagaimana ia bahkan
bisa melaluinya. Tetapi Tika lalu teringat semua hal-hal yang tak terduga di momen-
momen yang memilukan hatinya. Dia punya kakak yang membantunya merasa aman
dan nyaman. Teman yang bisa diandalkan. Teman yang selalu ada. Teman yang saat ini
tersenyum manis ke arahnya.
“Udah malam, pulang yuk” Gilang mengulurkan tangannya.
“Yuk” Tika tersenyum dan menyambut uluran tangan Gilang.
Malam itu mereka pulang bergandengan tangan. Hanya saja gandengan tangan malam
itu mungkin akan menjadi yang terakhir. Tuhan selalu punya rencananya sendiri.
***
Minggu berikutnya Gilang sudah siap menunggu Tika di depan rumahnya. Gilang
terlihat memakai pakaian serba hitam dan membawa bunga anyelir putih. Minggu itu
mereka akan pergi ke tempat yang diinginkan Gilang.
“Selamat pagi Gilang” Tika keluar dari rumah tersenyum ceria menyambut
Gilang. Tika memakai dress selutut motif bunga-bunga berwarna merah. Sangat cantik,
pikir Gilang sambil tersenyum.
“Hari ini kita mau kemana, kok bawa bunga?”
“Hari ini aku mau kita mengunjungi makam orangtua kamu Tika” Gilang hati-
hati menjawab Tika.
Gilang tahu hal ini akan membuat Tika terguncang. Tapi Gilang sudah tidak bisa
menunda-nunda lagi. Baginya hal ini harus diselesaikan demi kebaikan Tika sendiri.
Sekarang atau tidak selamanya.
“Gilang, kamu..” Tika mundur perlahan. Senyumnya memudar. Sorot matanya
liar. Antara takut dan amarah bercampur.
“Tika aku tahu ini berat, tapi tolong ini kesempatan yang baik buat kamu”
Gilang mencoba meraih tangan Tika. Bunga anyelir yang digenggamnya dijatuhkan
begitu saja. “Sekarang kamu sudah lebih baik. Kamu sudah melewati semuanya. Dan
bahkan kalau kamu masih ragu, aku akan ada disana Tika. Aku akan selalu ada di
samping kamu” Gilang menggenggam erat tangan Tika. Gilang bisa merasakan tangan
ramping Tika mendingin, tubuhnya bahkan bergetar hebat. Tika diam saja, wajahnya
mulai memucat. Gilang memalingkan wajah, menunduk lesu. Hal ini sangat memilukan
hati Gilang.
“Kumohon Tika. Kumohon berbicaralah. ” tanpa sadar Gilang menitikkan air
mata. Gilang paling mengerti apa yang dirasakan Tika sekarang, karena saat itu Gilang
juga ada di sana. Menyaksikan betapa pedihnya kehilangan itu. Merasakan betapa
dalamnya rasa duka itu.
“Pergi..” ucap Tika lirih
“Tika.. kumohon..”
“AKU BILANG PERGI!” Gilang sontak kaget mendengar teriakan Tika. Ia
sama sekali tidak menduga hal ini.
“Tika..aku”
“PERGI! PERGI KAMU! Huuuaaaa” Tika tiba-tiba menangis histeris. Segala
duka yang Tika kira sudah kubur dalam-dalam kini kembali meluap. Menusuk-nusuk
luka yang Tika kira sudah terbalut dengan momen indah bersama Gilang. Percuma,
pikirnya. Sia-sia saja semuanya. Pikiran Tika saat ini dipenuhi Reyhan. Astaga,
memikiran namanya saja membuat Tika tak mampu berdiri. Sakit. Terlalu sakit baginya.
“Tika! Tika ada apa?” kakak Tika dan suaminya Mas Obiet keluar karena
mendengar teriakan Tika. Mereka menyongsong Tika yang terduduk di rumput
halaman, menangis sejadi-jadinya. Gilang hanya beridiri terdiam di hadapan Tika,
psikisnya terguncang melihat Tika saat ini.
Tira, kakak Tika yang sepertinya mengerti apa yang sedang terjadi langsung
menyuruh Gilang untuk pulang dulu saja. Kakak Tika dan Mas Obiet membantu Tika
berdiri dan membawanya ke dalam rumah, mereka tidak sengaja menginjak bunga
anyelir yang tadi dibawa Gilang.
Pagi itu Gilang pulang dengan perasaan kacau. Pikirannya kosong.
Tenggorokannya tercekat. Rasanya ia juga ingin berteriak dan menangis sejadi-jadinya
seperti Tika. Entah kenapa ia tak mampu melakukannya. Gilang hanya tidak habis pikir
Tika memperlakukannya seperti itu. Padahal dia juga merasakan persis seperti yang
dirasakan Tika. Dia juga kehilangan teman yang paling berharga baginya. Teman
sepanti yang sudah Gilang anggap sebagai kakak sendiri. Reyhan. Dia bahkan tidak
memperlakukan Reyhan dengan baik di hari terakhir Reyhan masih hidup. Penyesalan
yang dirasakan Gilang begitu besar. Lima tahun berlalu, Gilang sendiri bahkan tidak
mampu menatap makam Reyhan. Saat pemakanan, ia hanya memandang dari kejauhan.
Gilang tenggelam dalam kenangan masa lalunya. Ia bahkan tidak mendengar
suara klakson sebuah mobil yang melaju kencang dari arah sisi kanan Gilang. Kejadian
itu begitu cepat, Gilang tidak sadar melewati lampu lalu lintas yang saat itu berubah
merah. BRAKK..!! Sudah terlambat, pikir Gilang. Mungkin ini hukuman dari Tuhan
karena sudah melukai dua hati sahabatnya. Pandangan Gilang menghitam, ia tiba-tiba
merasa mendengar sayup-sayup suara Reyhan. Gilang tersenyum, mungkin sebentar
lagi ia akan bertemu teman berharganya.
Sepanjang hari Tika mengurung diri di dalam kamar. Ia tidak mau makan.
Kembalinya memori tentang Reyhan membuatnya kehilangan semangat. Bukannya
Tika tidak ingin mengunjungi makam orangtuanya. Hanya saja Reyhan juga
dimakamkan di pemakaman yang sama. Sebelas tahun bersama Reyhan membuatnya
tidak mudah melupakan sosok laki-laki itu. Reyhan yang dulu menemukannya
menangis di sebuah konstruksi bangunan. Reyhan yang selalu menemani hari-harinya
yang penuh duka. Reyhan yang tetap setia berteman dengannya hingga beranjak remaja.
Tika tetap bergeming di kamarnya, melamun menatap langit-langit. Sampai
kabar kecelakaan Gilang datang dari kakaknya yang berteriak panik dibalik pintu.
***
Tika terus menangis selama di perjalanan menuju rumah sakit. Ia takut hal yang
dialami Reyhan juga menimpa Gilang. Tika saat itu menyadari betapa dia sangat
menyayangi Gilang. Dia tidak ingin sahabatnya satu-satunya juga ikut
meninggalkannya. Bodohnya ia membentak Gilang pagi tadi. Hal itu terus mengganggu
pikiran Tika. Ia ingin cepat-cepat tiba di rumah sakit.
Tiba di rumah sakit, Tika langsung diarahkan kakaknya menuju ruang ICU.
Jantungnya berdegup kencang ketika mendekati pintu masuk ruangan itu. Dia mengintip
melalui kaca kecil transparan pintu ruang ICU. Dibaliknya, terbaring lemah sahabatnya,
Gilang. Tika terkesiap. Ia tiba-tiba terduduk menangis haru. Sahabatnnya selamat.
“Kakak..Gilang selamat. Terima kasih Tuhan. Gilang selamat. Uhu..huhu.hu.
Terima kasih Tuhan”
Tika sungguh bersyukur kepada Sang Pencipta. Tuhan masih memberi Gilang
kesempatan untuk hidup. Walaupun saat ini Gilang belum sadar dan akan memakan
waktu yang lama untuk melihat Gilang kembali sembuh, Tika akan menunggu. Tika
menyadari sebuah hal penting untuk dirinya. Ia berjanji, mulai hari ini ia telah berdamai
dengan masa lalunya. Kenyataan pahit bahwa Reyhan pergi meninggalkan dia dan
Gilang tidak boleh menjadikannya lemah dan cengeng. Tika punya keluarga, ia bahkan
memiliki teman yang tetap setia bersamanya hingga saat ini. Ia patut bersyukur atas
semua itu. Bagi Tika, mengucap syukur atas semua yang telah terjadi dalam hidupnya
dan mengucap syukur atas orang-orang yang tetap bersama Tika adalah bentuk cinta
terbesar yang Tika berikan Tuhan, kekuarganya, Gilang dan bagi dirinya sendiri.

Anda mungkin juga menyukai