Anda di halaman 1dari 5

PESAN TERAKHIR BAPAK

Nama : Hardyanti
NPM : 20.20.10.008

Jakarta hari itu sudah berganti malam. Cahaya matahari sudah tergantikan cahaya
lampu-lampu neon yang menyinari setiap sudut kota. Keramaian siang, berganti keramaian
malam, tak jauh berbeda. Debu-debu dan asap kendaraan yang ketika siang terlihat
memuakan dipandang, kini tak lagi terlihat, tapi tetap menyesakan. Sebuah city car keluar
dari ramainya jalan ibukota, masuk menuju pekarangan komplek appartemen di selatan
Jakarta. Puspita mengendarai mobilnya menuju area parkir di basement gedung. Deretan
penuh mobil terparkir, begitu kontras dengan sepinya suasana basement tersebut. Ketika
mobilnya sudah terparkir, ia tidak segera keluar dari mobilnya. Ia mencintai suasana itu, ia
begitu mencintai sepi.
“Kenapa aku sedih?” pikir Pita.
Hari ini ia mendapat promosi besar. Pita akan ditempatkan oleh perusahaannya sebagai
Indonesia Tax Desk di Kota New York, kota idamannya. Sepanjang hari itu, begitu banyak
rekan kerjanya yang mengucapkan selamat. Bahkan sebelum pulang tadi, ia mentraktir rekan-
rekannya pizza, New York style. Ketika itu suasana begitu ceria. Sebagai hadiah promosinya
Deva, teman baiknya, memberikannya topi Yankee dan Pak Gustam, bossnya, memberikan
kaos vintage New York Knick.
Hari itu, Pita begitu bahagia.
Tetapi ketika pizza sudah habis, ketika jam kantor sudah berakhir, ketika tidak ada lagi
rekan kerja di sampingnya, Pita merasa begitu kosong. Sudah lama ia begitu menginginkan
kerja di ibukota dunia, New York, tapi ketika ia meraih apa yang ia inginkan, ia merasa
begitu kosong. Di puncak impiannya, Pita hanya sendiri, merasa sepi.
Sebenarnya, Pita begitu menyukai sendiri. Ketika sendiri, ia tidak akan menyakiti dan
disakiti orang lain, sengaja atau tidak sengaja. Bertahun-tahun lamanya ia menikmati
kesendirian. Bahkan ketika Ibu dan almarhumah Bapak menyarankannya untuk menikah 2
tahun lalu, ia menolak keras. Pita mencintai kesendirian, Pita mencintai sepi. Tapi tidak saat
ini. Saat ini ia sangat benci sendiri.
Masih duduk di depan kemudi mobilnya di area parkir basement, Pita mengambil
handphone dari dalam tasnya. Ia membuka kontak, ia ingin menelepon bapak atau adik-
adiknya untuk mengabari keberhasilannya, tapi sejenak ia ragu. Semenjak meninggalnya
Bapak 9 bulan lalu, hubungan Pita dengan ibunya memang menjauh. Ia merasa tidak layak
lagi diperhatikan Ibunya, ia sudah berumur 36 tahun, Ibu sudah mempunyai cucu-cucu dari
ketiga adik perempuannya yang semuanya sudah berkeluarga.
Biar Ibu menikmati jadi eyang kakung, aku bisa mengatasi masalah-masalahku sendiri
pikir Pita. Selain itu, Pita merasa Ibu tidak pernah memaafkan Pita karena terlambat
menghadiri pemakaman Bapak. Ketika itu, Pita sedang berada di London untuk urusan
kantornya. Ibu dan adik-adiknya bahkan suami-suami mereka semua berada di samping Ibu
ketika Bapak meninggal, kecuali Pita. Ketika itu, Pita pun begitu merasa terpukul tidak ada di
samping ibu, tapi ia juga kecewa seakan Ibu membuat Pita merasa bahwa Pita bukan anak
yang taat orangtua. Sambil menghela nafas, Pita tidak jadi menghubungi ibu atau adik-
adiknya. Biar ibu dan keluarga adik-adiknya istirahat, Pita tidak ingin jadi pengganggu,
menelepon malam hari hanya karena merasa sepi sendiri.
Pita memasukan kembali handphonenya ke dalam tas dan keluar dari mobilnya. Ia
menuju lift di ujung basement dan kemudian menuju unit appartemennya di lantai 17. Di
dalam appartementnya, Pita kembali disapa kesendirian.
“Mungkin setelah mandi pikiranku akan lebih rileks” pikir Pita.
Sebelum mandi, Pita ingat, Deva memintanya untuk menginstall kembali salah satu
aplikasi messenger, supaya Pita lebih mudah dihubungi ketika nanti di New York. Sudah
hampir 1 tahun Pita sudah tidak lagi memakai aplikasi ini, karena penuh dengan group chat
ini-itu yang isinya hanya sharing berita tidak jelas dan diskusi-diskusi politik tak berujung.
Maka dari itu, ia menghapus aplikasi ini dari handphonenya. Ia terpaksa menginstall kembali,
karena permintaan Deva.
Setelah diinstall kembali, applikasi tersebut meminta persetujuan Pita untuk merestorasi
pesan-pesan yang diterima Pita selama akunya tidak aktif. Ia menyetujui sebelum kemudian
meninggalkan handphonenya untuk mandi. Setelah mandi, Pita duduk di sofanya. Rupanya
mandi bukan obat penawar rasa kesendirian, pikir Pita. Ia menyalakan televisi di depannya.
Sambil meraih handphone yang sudah hampir satu jam merestorasi pesan selama 1 tahun.
Pita membuka aplikasi messenger itu, seketika jantungnya berdegup kencang. Dari banyak
chat yang masuk, ada chat dari almarhumah Bapaknya yang juga masuk. Pesan itu dikirim 18
November 2017, setahun yang lalu, 3 bulan sebelum Bapak meninggal, hitung Pita.
“Mbak Pita, Nduk, ibu sama bapak minta maaf kalau terlalu memaksakan kamu untuk
menikah secepatnya. Bapak sama ibu cuma ndak mau kamu ngerasa kesepian, hidup sendiri
tanpa tujuan. Dulu, ketika kamu lahir, ibu sama bapak benar-benar merasa mendapat
anugerah dari Gusti Allah. Dulu, pas kamu kecil, ketika Ibu dan Bapak capek dengan apapun
di luar rumah, rasa itu hilang begitu saja ketika melihat kamu di rumah, nduk. Bapak gak mau
kamu melewatkan rasa itu, tapi Bapak sadar kalau kebahagian tidak hanya datang dari anak.
Ibu sama bapak akan dukung apapun keputusan kamu. Yang terpenting adalah, akan adanya
waktu ketika kamu merasa kesepian. Ketika rasa itu datang, anggap waktu itu adalah
kenikmatan yang diberikan Gusti Allah kepada kamu untuk mengingatNya. Jangan hanya
memohon dan meminta, tapi lupa bersyukur terhadap nikmatNya ya Nduk. Bapak sama ibu
bangga banget sama kamu”.
Air mata Pita begitu deras membasahi wajahnya. Badannya telihat bergetar, terisak-isak
membaca chat panjang almarhum Bapaknya. Ia menangis, tapi entah kenapa, hatinya terasa
begitu plong. Ia begitu merindukan Ibu, ia begitu merindukan adik-adiknya dan lebih lagi, ia
begitu merindukan almarhumah Bapak. Bahkan setelah meninggal, pesan dari almarhum
Bapak yang menyejukan hati Pita. Besok ia akan mengunjungi Ibu dan keluarga adik-
adiknya, juga menziarahi makam Bapak. Tapi untuk malam ini, malam ini ia akan menikmati
nikmat dari penciptanya. Bersujud dan bersyukur atas nikmatNya.
MIMPI YANG NYATA

“kevin bangbun” teriak bundaku dari depan pintu kamar


“udah bangun, kevin lagi siap siap” sahut ku dari dalam kamar
“kalau gitu cepetan siap siapnya, habis itu kita sarapan, kasurnya udah rapiin belum”
tanya bundaku
“bel…” belum selesai aku menjawab aku teringat kejadian tadi subuh
Flashback
“ario, berentiin dulu motornya gue kebelet”
“iya, iya cepetan gue tunggu disini”
ucap ario sambil memberhentikan motornya di depan toilet umum
“leganya” ucakku

Dan kalian pasti tau apa yang terjadi selanjutnya, aku bangun dari tidurku dan terasa
ada yang anget anget becek di bawah punggung, apakah ini yang namanya mimpi yang nyata,
dengan secepat kilat aku bangun dari tidur.
“ya ampun gue harus gimana nih, ck gue mandi dan shalat dulu deh habis itu baru gue
pikirin lagi”.

Flashback off
“udah kok bun, udah kevin beresin kasurnya, bunda tunggu aja kevin di bawah”
“yaudah bunda turun, kamu cepat ya”
“iya bunda sayang”
Selepas bunda pergi aku langsung bergegas siap siap, dan ngeberesin bekas tadi subuh.
“kok lama sih, kita udah nunggu kamu lama lo bang” tanya ayah
“…emhp, oh soalnya tadi abang nyariin baju dulu” jawabku memberi alasan,
lalu aku bergabung bersama orangtua dan adik cerewetku, untuk sarapan.
“kok aku curiga ya sama abang”
“cu..curiga kenapa sih kamu dek?”
“kayak nya ada yang abang sembunyiin deh” ujar alena menyelidik,
“kamu nyembunyiin apa bang?” tanya bunda,
“nggak kok, abang nggak nyembunyiin apa apa”
jawabku sesantai mungkin
“masa sih” ucap alena dengan tatapannya yang menyelidik, aku hanya bisa meneguk
saliva secara kasar,
“tuh kan abang keringetan” sambungnya
“kan disini panas, makanya keringetan” sambil ngelap keringet,
“kan acnya nyalanya bang, ini juga masih pagi”
jawab alena lagi yang membuatku semakin terpojok,
‘yaampun ini bocah, untung sayang kalau nggak udah gue lempar ke palung mariana’
batinku,
“tapi sebelumnya ayah mau nanya, anak ayah yang cantik ini tahu darimana kalau
abang nyembunyiin sesuatu?”
tanya ayah
“tadi subuh al kan mau bangunin abang, tapi al dengar abang ngomong sendiri, kalau
abang ngom…”
ucapannya terpotong karena tanganku langsung membekap mulutnya,
“iya iya abang jujur, tapi bunda jangan marah ya dan jangan ketawain kevin ya”
“iya” jawab mereka kompak
“biar al aja yang cerita ya”
“nggak kalau kamu yang cerita nanti dilebih lebihkan” potongku cepat, dan langsung
menceritakan apa yang sebenarnya,
“tapi tenang aja bunda, udah abang bersihin kok” jawabku sambil nyengir kuda
“untung bunda moodnya lagi bagus hari ini, kalau nggak, udah bunda jewer kuping
kamu,
udah gede kok masih ngompol”
“hahahaha, al aja yang masih SD nggak pernah ngompol lagi” uja adikku
“awas ya kamu” ujarku sambil ngegelitikin adikku yang satu itu, pagi itu dipenuhi lagi
oleh gelak tawa,
Ternyata memang benar bahagia itu sederhana, takperlu mahal asalkan bersama orang
yang kita sayang itu sudah cukup.

Anda mungkin juga menyukai