Anda di halaman 1dari 5

Pilihan terbaik, Ayah

"Wah, indah sekali! Airnya sangat jernih dan butiran pasirnya yang berwana merah muda. Indah
sekali! Andai aku….." tiba-tiba mulutnya terdiam, hanya hela nafas panjang yang terdengar.

"Andai apa Ran?” Tanya Siska, rekan kerjanya yang ikut menonton video kiriman teman sekelas
Rani.

Rani hanya tersenyum sembari mematikan video dan segera menyimpan kembali handphone ke
dalam saku celananya. Tidak butuh penjelasan, Siska paham perasaan Rani.

"Sabar, ya. Suatu saat pasti kamu bisa deh ke sana. Mungkin sama suamimu. Ya ga?" Goda
Siska untuk membuat perasaan Rani lebih baik.

***
Rani adalah anak sulung dengan 2 adik yang masih sekolah. Dia dituntut sang Ayah untuk
melanjutkan kuliah meskipun saat ini dia sedang merintis karir yang diperolehny dari rekruitmen
sekolah.

Sebenarnya Rani tidak ingin melanjutkan kuliah dalam waktu dekat, dia ingin fokus pada
karirnya dulu. Tapi apa boleh buat, sang Ayah menyuruhnya untuk segera melanjutkan
pendidikan.

Rani sangat menyukai pantai. Mimpinya sebelum lulus ujian nasional adalah ingin sekali segera
bekerja dan bisa melakukan traveling dari penghasilannya sendiri. Maklum, dia bukan dari
keluarga mampu. Sehingga dia harus sabar mewujudkan mimpi-mimpinya dengan hasil kerjanya
sendiri.

Sayangnya, meski sudah berpenghasilan ternyata dia belum bisa mewujudkan mimpinya. Jadwal
kerja yang padat membuatnya lagi-lagi menunda mimpinya. Bahkan, untuk ikut acara berlibur
bersama teman sekelas kampus ke Labuan Bajo pun dia tidak bisa, karena tidak bisa mengambil
cuti panjang.

***
Terkadang Rani merasa hidupnya terlalu diatur oleh Ayahnya. Semua perintahnya harus dituruti
dan membuatnya tidak memiliki pilihan lain. Ayah Rani sangat keras dan tegas.

Rani menjalani hari berat setiap harinya. Ia harus keluar rumah sejak pagi hari dan kembali
pulang hampir tengah malam. Tidak ada banyak waktu untuk menikmati hidup seperti yang
diinginkannya. Bahkan jatah libur pun dihabiskan untuk mengurus kedua adiknya, karena
orangtuanya harus keluar kota.

Rani merasa bebannya sangat berat, tetapi dia sadar ini adalah kewajibannya. Membantu
orangtua untuk meringankan beban ekonomi keluarga dan juga mematuhi perintah Ayahnya
untuk melanjutkan kuliah dengan dalil jika dia sarjana, maka kelak akan lebih mudah dalam
mencari pekerjaan.

Satu sisi Rani merasa ini memang tanggung jawabnya, namun sisi lain dia merasa Ayahnya
merampas hak-haknya. Dia merasa terbebani. Dia merasa tidak bisa hidup bebas seperti teman-
temannya yang masih bisa menikmati hidup dan mewujudkan mimpi satu-persatu.

Rani merasa Ayahnya membuatnya bekerja sangat keras di usia remajanya. Seperti diberi
tanggungjawab memikul beban keluarga.

***
"Mbak, kapan libur kerja?" Tanya ibu yang sudah menunggunya pulang.
"Sabtu besok, Bu." Jawab Rani tanpa penasaran alasan ibunya bertanya.
"Oh, syukurlah. Jum'at malam mungkin Ibu sama Ayah sudah berangkat, kalau bisa kamu pulang
cepat ya. Kasian adik-adikmu di rumah." Pinta ibu yang bukan pertama kalinya.
Rani hanya mengangguk sembari masuk ke kamarnya.
Rani memang tidak banyak bertanya. Bahkan dia tidak tahu kemana dan apa yang dilakukan
orangtuanya ke luar kota setiap dirinya libur bekerja.

Bagi Rani menjalani ini semua sudah berat dan banyak kesedihan dan kekecewaan yang
dipendam. Jadi rasa penasaran dan ingin tahu itu sudah memudahkan bahkan menghilang. Pun,
orangtuanya seperti tidak ingin dia tahu. Seolah-olah ada yang ditutupi.

***
Waktu menunjukan jam 22.00, dia bergegas merapikan pekerjaan dan izin untuk pulang duluan
pada rekan-rekan kerjanya. Dia mengendarai motor lebih cepat dari biasanya, agar bisa sampai
rumah lebih cepat. 35 menit waktu yang dia tempuh untuk akhirnya sampai di rumah. Dilihatnya
adik-adiknya sudah tertidur pulas. Dia pun beristirahat setelah membersihkan diri.

Pagi datang dan mereka melakukan kegiatan seperti biasa. Hingga tiba malam hari, ternyata
sudah pukul 23.00. Ayah dan ibu belum juga pulang. Biasanya jam 21.00 mereka sudah di
rumah. Rani masih menunggu mereka pulang sampai tertidur di depan TV.

02.10 wib, handphone Rani berbunyi. Ternyata ada 2 panggilan tak terjawab dari ibu. Rani
segera menelpon balik.
"Halo.." belum selesai Rani berbicara, suara ibu memotong, "Ran siapkan rumah, setengah jam
lagi ibu sampai. Paman Bibin sudah sampai?" Suara ibu bergetar dan terdengar lemas.

"Ada apa, bu? Ibu dimana?" Rani bingung, kaget dan panik
"Ayah meninggal, nak." Tangis ibu pecah.
Seketika Rani membeku. Pikirannya kosong. Jantungnya berdetak tidak karuan. Nafasnya seperti
berhenti sesaat.

5 detik dia terdiam hingga handphonenya jatuh dari genggaman. Dia melihat ke sekitar. Seperti
sedang meyakinkan diri bahwa dia tidak sedang bermimpi. Kemudian terdengar bunyi pagar, dia
lari menuju ke luar. Paman Bibin datang dengan pakaian serba hitamnya.
Dia segera menghampiri Rani yang menangis, dipeluknya Rani kemudian berbisik lembut "sabar
ya Ran, yang ikhlas" sambil mengusap kepala Rani. Rani duduk termenung, matanya menatap
kosong hingga mobil ambulan datang, jenazah Ayah datang.

Rani tersungkur melhat ayahnya berbaring kaku berbalut kain kafan, kakinya sangat lemas. Ibu
datang memeluk Rani. Mereka larut dalam kesedihan yang mendalam.

***
Ayah Rani sudah dimakamkan sekitar pukul 06.00, semua tamu yang berdatangan juga sudah
banyak yang berpamitan pulang. Sekarang pukul 10.25 dan Rani belum makan apapun.

Ibu datang ke kamar Rani dengan membawa sepiring makanan, "Mbak, makan dulu. Kamu
belum makan apapun dari tadi. Makan ya meski sedikit."
Rani bangkit dari tidruya dan menyuap beberapa sendok nasi.

"Sudah?" Tanya ibu. Rani hanya mengangguk dengan matanya yang lebam.
"Mbak, ini ada surat buat kamu"
"Dari siapa?" Tanyanya sambil menerima sepucuk surat itu.
"Ayah" jawab ibu lirih sambil tersenyum dan mata berkaca-kaca.

Rani bergegas membacanya. Tangisnya pecah. Ibu memeluknya sambil menangis.


"Maaf ya mbak, selama ini ibu dilarang Ayah cerita karena takut kamu kepikiran. Ayah pengen
kamu fokus kuliah dan bekerja saja. Itu pun ayah sudah merasa sangat membebani kamu.
Makanya ayah dan ibu cari alternatif untuk kesembuhan Ayah. Ayah sudah sangat berjuang
bertahan satu tahun ini, Nak. Ayah pengen kamu sukses, pengen kamu kuat dan mandiri. Karena
ayah tahu, setelah ini bebanmu akan semakin berat setelah kepergiannya.”
Rani menangis semakin menjadi. Dadanya sesak dan rasa hati tak karuan.

Dia sekarang mengerti alasan ayah sangat otoriter padanya. Ayah ingin mempersiapkan dan
membentuk dirinya menjadi wanita kuat, mandiri, pekerjaan keras, dan bertanggungjawab.
"Ayah, maaf.. Rani belum bisa menjadi yang terbaik selama ayah hidup. Terimakasih sudah
memilih jalan ini untuk Rani. Insyaallah, tahun depan Rani lulus dan siap melanjutkan tanggung
jawab ayah di keluarga kita. Rani sayang Ayah, bahagia di surga ya, Yah!" Rani yang menutup
sholat malamnya dengan berbicara pada foto sang Ayah.

Anda mungkin juga menyukai