Anda di halaman 1dari 5

METEORA SETELAH PERSIMPANGAN

Terik matahari siang itu, seolah menjadi teman sejawat seseorang dengan motor
butut memacu gas mengitari sebuah kota kecil di pinggiran kalimantan. Dahulu, mencari
penumpang cukuplah dengan mengetem di sekitar bundaran kota, namun karena ketatnya
persaingan dan meningkatnya jumlah sesama pengemudi darling membuat nya harus
berkeliling sembari berharap orderan masuk.

”sepertinya pekerjaan ini sudah tidak produktif lagi bagiku yang hanya memiliki jam
kerja minimum, dan kerjaan apa lagi yang harus aku coba untuk memenuhi kebutuhanku”
keluh nya sembari menunggu lampu hijau menyala di sebuah persimpangan jalan.

Seseorang itu bernama Lindung, Mahasiswa semester akhir di salah satu


Politeknik swasta di kota tersebut.Menjadi seorang Laki-laki sulung di keluarga yang
serba berkecukupan tidaklah mudah, andai uang semesteran mengalir dengan lancar dari
saku kedua Orang tua nya tentu saja Indu (panggilan akrab nya) tidak akan bermandi
peluh sepanjang jalan demi beberapa lembar rupiah. Sedari awal sang Ayah memang
tidak setuju andai anak sulung nya itu melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang
perguruan tinggi,

“Buat apa kuliah, kalau hanya menghabiskan uang dan waktu saja. Alangkah lebih baik
jika kamu fokus bekerja saja nak, sembari membantu biaya sekolah Adik mu itu” celetus
sang Ayah kala itu saat Indu hendak masuk kuliah,

“Kamu kenapa lagi nak, baru jam Empat kok sudah pulang? Memangnya sudah
memenuhi target kerja kamu?” sahut sang Ayah yang juga baru pulang dari tempat kerja
nya sebagai seorang satpam.

“ Indu mau berhenti saja yah, sekarang susah mendapatkan pelanggan. Untuk memenuhi
target, Orang lain saja harus bekerja sekitar 10-12 jam, sedangkan Indung hanya memiliki
6 jam” kata Indung dengan muka lusuh sembari merebahkan badan nya di lantai selasar
rumah.

“ Lah, kenapa kamu tidak pulang malam untuk memenuhi target mu itu, kalau memang
harus lembur ya lembur dong nak, jagan hanya karena dirimu melihat pegawai kantoran
pulang lalu kamu juga ikut-ikutan pulang”
“ Bukan seperti itu yah, nanti malam Indu mau revisi tugas akhir. Andai bisa mengerjakan
revisi sambil berkendara mungkin sudah indu lakukan dari dulu” jawab sang anak kesal,
karena sedari dulu Ayah memang tidak paham seputar dunia perkuliahan.

“ Lagi-lagi urusan kuliah, lagi-lagi urusan kuliah. Kapan sih urusan kuliah kamu itu tidak
menganggu kerjaan? “ sahut sang Ayah sambil mengelengkan kepala.

Malam kian larut dan Indu masih sibuk di depan layar Laptop, dengan jemari yang
lincah ia mengerjakan revisi untuk diperiksa besok pagi. Indu memang anak yang
tangguh, jarang ia tidur awal selalu saja ada hal yang ia kerjakan dan salah satu hal yang
selalu ia kerjakan dikala waktu luang adalah membuat sajak. Memang aneh rasanya
seseorang yang mendalami studi ilmu pasti malah memiliki hobi pada sastra, mungkin
sedari awal memang salah masuk jurusan kuliah karena di kota tersebut tidak ada
perguruan tinggi dengan jurusan sastra.Namun itulah kehidupan terkadang takdir kita
temukan di jalan yang sebenarnya kita hindari. Fajar pun bersambut ketika burung-burung
di depan rumah saling bersaut, pagi itu juga Indu sudah membulatkan tekad untuk
“gantung helm” dengan berhenti dari dunia ojek darling dan mulai fokus pada skripsi
nya, tak lupa pagi itu setelah mandi ada rutinitas yang ia lakukan yaitu mengirim karya
sajak nya yang ia buat setap malam pada salah satu situs web yang memang menampung
sajak-sajak karya anak bangsa seantero Negeri.

“Loh, kok helm sama jaket kerja kamu sudah disimpan rapi di atas lemari nak” teriak
sang Ayah yang tak sengaja melihat ke atas lemari tua di pojok ruangan.

“Mau kerja apa lagi kamu nanti nak? Jualan Bensin sudah, Jadi Pegawai Minimarket
sudah, Jadi kuli bangunan sampai jadi tukang Ojek juga sudah, tapi kok tak pernah lama
dan tidak ada yang kamu seriusi. Mau kerja apa lagi habis ini? “

“Sudah lah Ayah, dia kan sudah besar, sudah bisa berfikir konsekuensi dari segala
keputusan nya” dengan suara lirih sang Ibu berusaha membela Indu, Ibu memang akhir-
akhir ini merasa tidak enak badan dan sering sakit-sakitan, jadi beliau tidak mau ambil
pusing dan menjadi penengah jika ada konfik kecil di keluarga tersebut. Indu hanya diam
sembari mengikat tali sepatu, kemudian ia bergegas berangkat ke kampus tanpa satu patah
kata pun ia meninggalkan rumah, tidak sperti biasanya ia selalu memulai hari dengan
mencium tangan kedua orang tua nya, namun kali ini seolah ada rasa kecewa di hatinya.
Hari berganti hari, hujan datang pertir bersambut kemarau datang terik bersahut
tugas akhir yang Indu buat kian mendekati klimaks, begitupun sajak-sajak yang Ia buat
sudah sarat karena setiap hari Indu hanya fokus kepada dua hal tersebut tanpa terbebani
oleh pekerjaan seperti biasanya. Hingga sampai pada suatu malam di mana pada malam
itu berjalan seperti biasanya, waktu menunjukan pukul 23:48 namun Indu masih sibuk
dengan revisi tugas akhir nya, tiba-tiba terdengar bunyi pemberitahuan yang masuk
ternyata itu bunyi kotak masuk surel, dengan cepat Ia membuka isi dari surel tersebut dan
alangkah terkejut nya Indu ketika mengetahui bahwa pengirim surel tersebut adalah
pimpinan redaksi salah satu situs dimana Indu gemar mengirimkan sajak-sajak nya,
singkat cerita si pimpinan redaksi tertarik akan karya yang selama ini Indu kirim, dan Ia
ingin memasukan Indu ke dalam tim redaksi nya dengan jabatan sebagai penulis tetap.
Rasa senang dan sedih pun seketika bercampur dalam benak Indu, tentu saja senang
karena impian nya selama ini untuk menjadi seorang penulis Profesional akan segera
terwujud namun, disisi lain Ia juga sadar bahwa tugas akhir yang telah Ia perjuangkan
selma ini tidak mungkin akan Ia tinggalkan begitu saja, hingga pagi datang Indu tetap
terjaga karena memikirkan hal tersebut.

“kenapa mata kamu merah nak? Pasti kamu lembur lagi hanya untuk mengerjakan skripsi
kan” tanya sang Ayah di meja makan ketika mereka sarapan bersama

“begini yah, sebenarnya semalam Indu bingung karena memikirkan dua hal”

Kemudian dengan santai Indu menceritakan kejadian semalam kepada semua anggota
keluarga.

Dengan saksama seluruh anggota keluarga mendengarkan cerita dan kebingungan


yang Indu alami,

“Nah, kalau memang sudah pasti diterima dan mendapat bayaran yang cukup kenapa
kamu masih bingung lagi? Bukanya selama ini kamu ingin jadi seorang penulis”

“tapi kan sebentar lagi Indi mau sidang akhir yah”

“Sudahlah nak, buat apa memperjuangkan sesuatu yang bukan hobi kamu. Kapan lagi
kamu ke Jakarta dan bekerja sesuai dengan keinginan kamu, kamu juga bisa membatu
Ayah untuk memenuhi kebutuhan Adik kamu kelak”
“ Hore ! Abang nanti bakalan terkenal seperti WS Rendra” seru sang Adik yang girang

“ Semua pilihan ada di kamu Nak, Ibu hanya berpesan apapun pilihan nya kelak kamu
harus tekun menjalani nya “ kata Ibu yang begitu diplomatis.

“pokoknya tidak mau tahu, Ayah mau kamu tetap pergi ke Jakarta dan Menjadi seorang
yang Bermanfaat” seketika suasana di meja makan jadi memanas

“ tapi Ayah kan tau, Minggu depan Indu sudah Sidang tugas akhir. Tidak mungkin
perjuangan selama Lima tahun ini bakalan Indu sia-siakan begitu saja”

“ terserah kamu saja, jangan salahkan Ayah jika pas sidang nanti Ayah tidak akan mau
datang. Buat apa melihat Anak yang keras kepala dan susah diatur” dengan Emosi sang
Ayah meninggalkan meja makan. Sementara anggota keluarga yang lain hanya bisa
terdiam melihat perselisihan antara Ayah dan Anak sulung tersebut.
Perlu diketahui bahwa hari keberangkatan Indu ke Jakarta bertepatan dengan hari
dimana Indu akan melaksanakan Sidang akhir, hal ini pula yang membuat nya semakin
gundah gulana. Singkat cerita, sampailah pada malam hari sebelum sidang akhir akan
dilaksanakan. Malam itu begitu sunyi semua anggota keluarga sudah masuk ke kamar nya
masing-masing untuk istirahat, namun tidak bagi sang Ayah dengan mengenakan sarung
dan kaos oblong, sang Ayah duduk di ruang tengah dengan tatapan kosong sembari
melamun

“apakah selama ini didikan ku yang salah, mungkin aku yang terlalu egois karena selalu
memaksakan semua kehendak-kehendak ku” pikir sang Ayah tentang keputusan nya
selama ini. Di waktu yang sama pada ruangan yang berbeda Indu pun sedang merenung
sambil berbaring pada sebuah kasur di pojok ruang kamar tidur nya

“ apakah selama ini aku yang egois, karena tidak pernah mendengarkan semua saran dari
Orang tua ku “ pikir Indu yang masih galau, bukanya belajar untuk persiapan sidang akhir
besok, Ia justru memilih rebahan sembari termenung seolah-olah esok adalah hari paling
berat yang akan Ia hadapi.

Keesokan Harinya Seorang Ayah berjalan tergesa-gesa menuju ruang sidang


sembari membawa bingkisan Bunga di tangan kanan nya, mungkin Ia bermaksud
memberi ucapan selamat kepada Anak nya yang hari ini melaksanakan sidang akhir,
namun betapa terkejut nya sang Ayah ketika melihat seisi ruang sidang kosong tak ada
Orang satu pun. Di waktu yang sama pada tempat yang berbeda seorang remaja berjalan
tergesa-gesa menuju ruang tunggu keberangkatan pesawat sembari membawa bekal
seadanya dan tiket pesawat tujuan Jakarta di tangan kanan nya. Di ruang tunggu pemuda
itu duduk sembari menunggu pesawat yang akan Ia tunggangi siap untuk lepas landas.

“ Indu!!!” dari kejauhan seorang Bapak-bapak tua berlari sambil berteriak “Indu,apakah
itu kamu? Kenapa nak? Kenapa kali ini kamu dengan mudah berubah fikiran” sambil
berlari mendekat orang itu yang tak lain adalah Ayah dari Indu.

“ Perkataan Ayah selama ini benar, selama ini Indu mengejar mimpi pada jalan yang
bersebrangan, hari ini di tempat ini Tuhan telah membangun Persimpangan diantara
kedua Jalan, yaitu jalan yang selama ini Indu hadapi dan jalan yang selama ini Indu impi-
impikan. Semalam Indu sudah putuskan untuk menyebrang ke jalan yang satunya”

“ ini nak, ambil bingkisan bunga ini sebagai picisan bekal kamu ke seberang jalan itu,
walaupun bunga ini Ayah niatkan untuk hadiah atas sidang akhir yang katanya tidak akan
kamu tinggalkan” mendengar pernyataan dari sang Ayah, Indu terkejut dan bertanya

“ bukankah Ayah tidak akan rela datang ke sidang Indu? Ada apa gerangan yah?”

“ Ayah merasa berdosa karena selama ini sebagai kepala keluarga yang keras kepala dan
tidak pernah menuruti keinginan anak-anak nya, maka sebelum kamu ke seberang sana
mohon maafkan Ayah mu ini nak” kata sang Ayah dengan mata yang berkaca-kaca

Akhirnya kedua Ayah dan Anak tersebut berpelukan mesra, Indu pun tak kuasa
menahan air mata yang kian deras mengalir di pipi nya, setelah mencium tangan sang
Ayah, Indu pamit untuk Menyebrang menjemput mimpi nya. Di dalam pesawat, Indu
yang optimis akan masa depan nya tak berhenti mencorat-coret kertas untuk membuat
sajak yang ia tulis di ketinggian 20.000 kaki. “meteora setelah persimpangan” adalah
judul sajak yang Ia buat. Perlu diketahui kata “meteora” itu sendiri dalam bahasa Yunani
berarti “melayang di udara atau di atas langit”. Kini Indu sedang bersajak di Meteora
setelah melewati persimpangan yang cukup rumit, di mana Ia harus melakukan
Perjuangan tanpa kenal kuyup dan terik.

Anda mungkin juga menyukai