Anda di halaman 1dari 6

Ambisi untuk Menjadi Signifikan

Judul Buku Penulis : Satin Merah : Brahmanto Anindito Rie Yanti Penerbit Tahun Terbit Tebal Buku Ukuran Buku Jenis Buku : GagasMedia : 2010 : xiv + 314 halaman : 13 19 cm : Fiksi

Satin Merah merupakan salah satu novel bergenre misteri-thriller yang wajib kita cantumkan dalam daftar buku yang harus kita baca. Diciptakan secara duet oleh Brahmanto Anindito dan Rie Yanti yang berbeda latar belakang terutama dalam hal suku dan budaya. Rie yang merupakan keturunan Sunda asli berhasil menciptakan penggambaran tanah Pasundan yang sangat kental akan budaya dan sisi magisnya, sedangkan Brahmanto merupakan seorang Arek Suroboyo yang mengusung budaya Arek, budaya yang lumayan jauh dari bumi Parahyangan yang menjadi setting utama novel Satin Merah ini. Di dalam novel ini diceritakan secara detail, permasalahan bahasa dan sastra sunda, namun diwarnai dengan gita ria pelajar SMA Priangan 2 Bandung pada zaman yang dikenal sebagai abad informasi. Satin merah ditokoh utamai oleh seorang gadis cantik yang cerdas, anak orang kaya yang dijuluki sebagai Julie Estelle versi malas dandan. Dengan segala kesempurnaannya yang terlihat dari luar, namun kaya akan konflik batin di dalam dirinya. Di dalamnya tergambar secara jelas tentang pembunuhan, Sastra sunda, pelajaran menulis serta sisi psikologis, yang diramu menjadi satu kesatuan yang terbilang sempurna. Kemampuan penulis dalam menggambarkan sisi psikologis Nadya dengan sangat detail perlu diacungi jempol. Permainan emosi Nadya sebagai remaja belia yang cenderung naik turun melengkapi

perjalanan alur yang dipenuhi dengan berbagai misteri. Dengan membacanya kita serasa ditarik kedalam cerita dan tempat kejadian novel misteri ini, seolah kita dapat menyaksikan langsung peristiwa di dalamnya yang mampu membuat merinding seketika. Kedua penulis konsisten membangun alur cerita dengan kecepatan konstan dari awal hingga akhir, bangunan cerita tertata rapi perlahan-lahan dengan pasti membuat rasa penasaran kian melingkupi atmosfer para pembaca. Kekompakan duet penulisnya menakjubkan, ibarat dua orang yang bercakap-cakap, kalimatnya berkesinambungan dalam satu sistematika pemikiran. Yang membuat novel ini semakin menarik adalah unsur detektif yang menyembul di tengah konflik yang telah terjadi. Tema yang diambil pun sangat menarik dan hampir tak tersentuh oleh penulis zaman sekarang. Sisi budaya yang ditampilkan dapat dipadukan secara menawan dengan kehidupan remaja yang sangat akrab dengan teknologi internet. Nindhita Irani Nadyasari, 12 A, SMA PRIANGAN 2 BANDUNG. Nama itu terpamapang diantara serentetan nama yang tercantum dalam daftar siswa yang lolos seleksi kedua pemilihan siswa teladan se-Bandung Raya. Dari awal, Nadya yakin dirinya bakal terpilih sebagai wakil sekolah dalam lomba itu. Jadi, dia tidak terkejut lagi saat membaca pengumuman, sementara siswa yang terpilih lainnya bersorak kegirangan. Piala Wali kota, piagam penghargaan, voucher kursus Bahasa Inggris di TBI, pujian seantero Bandung, semua hal itu mulai mendekat pada diri Nadya, selangkah lagi. Namun, Nadya yang langganan ranking 1 pun tahu, pemilihan siswa teladan bukan perkara mudah, tahapnya pun berlapis. Seleksi tahap ketiga pun dimulai, kedua puluh lima siswa yang berhasil melenggang ke babak ketiga diharuskan untuk membuat makalah setebal 30-50 halaman. Lima siswa yang lolos tahapan ini akan dilepas untuk presentasi di depan Wali Kota Bandung dan Dewan Juri dari Depdiknas. Hal inilah yang membuat pikiran Nadya berputar, dia bingung dalam menentukan hal yang ingin diangkat dalam makalahnya itu. Teman-temannya pun sudah mengusulkan beberapa tema yang patut untuk dipertimbangkan. Sayangnya, tema tersebut pasaran, pasti juga sudah banyak yang mengangkat tentang hal itu. Nadya ingin mendapatkan bahan acuan yang lebih menantang dan tentunya tidak

banyak terpikirkan oleh otak anak SMA di era modern saat ini. Perbincangan tentang tema ini pun menimbulkan percekcokan antara Nadya dan sahabatnya. Mereka saling menjauh satu sama lain. Hanya satu yang tersisa, Echa, namun sahabat Nadya yang satu ini tidak bisa diharapkan, karena yang dipikirkannya hanya satu, Pacaran. Nadya pun terpaksa mengerahkan seluruh tenaganya sendirian tanpa dukungan ataupun bantuan dari sahabatnya. Sepulang sekolah seperti biasa Nadya menaiki angkot untuk dapat sampai ke rumahnya. Pada kompetisi ini, Nadya berencana habis-habisan membanting tulang sampai remuk pun dia rela demi sebuah pengakuan bahwa dirinya lebih signifikan dan lebih unggul dibandingkan dengan adiknya. Hubungan Nadya dengan Alfi memang tak pernah akur. Sebelum Alfiani Citra Vidyasari lahir, orang tua Nadya memberi perhatian yang berlimpah kepadanya. Orang lain pun demikian. Akhir-akhir ini, kejengkelan Nadya semakin membuncah. Dia semakin sering disalahkan oleh orang tuanya setiap ada perselisihan dengan sang adik. Menurut Nadya, ini tak lepas dari prestasi Alfi yang semakin bersinar, sementara dia sendiri hanya mentok sebagai pelanggan juara kelas, juara kandang. Nadya pun terancam kian tenggelam, kian tak signifikan. Sementara dia melamun merenungi nasibnya, telinga Nadya menangkap dengan jelas percakapan seseorang di sudut angkot reot itu. Ini bukan kali pertama dia mendengar percakapan menggunakan bahasa daerah Jawa Barat itu. Secara tidak sengaja dia menemukan ide yang tiba-tiba terlintas dalam pikirannya, Sastra Sunda!. Di hari-hari berikutnya dia disibukkan dengan hal-hal yang berbau Sunda. Bermula dari kunjungannya ke Pusat Studi Sunda. Dengan membaca buku-buku Sunda dia belum merasa puas. Nadya memang bukan tipikal orang yang langsung memahami materi dari sebuah buku, kebiasaannya ini sangat berkebalikan dengan adiknya, Alfi. Dia memang biasa berdiskusi langsung dengan sang penulis buku, entah mengapa ada satu fenomena aneh dalam dirinya. Ketika dia telah bertemu langsung dengan penulisnya, pada malam harinya ia biasanya bermimpi tentang kenampakan awan putih, itu adalah pertanda bahwa dia telah mewarisi ilmu dari sang penulis.

Dari Pusat Studi Sunda, dia mendapatkan alamat seorang pujangga sunda yang sudah bertahun-tahun menggeluti bidang sastra terutama Sastra Sunda, Yahya Soemantri. Tanpa menunggu lama ia langsung menuju kediaman sang pujangga. Dilihat dari rumahnya yang berhiaskan ilalang setinggi lutut orang dewasa serta cat dinding yang berwarna putih kusam sudah dapat diduga Yahya adalah orang yang senang menyendiri dan hidup Soliter. Pada awalnya ada sedikit rasa takut yang menyeruak dari dalam diri Nadya. Namun karena ini satu-satunya jalan untuk dapat menulis makalahnya, Nadya pun memberanikan diri untuk melangkah melintasi kepulan ilalang yang hampir menenggelamkan tubuhnya. Setelah pintu rumah terbuka, muncullah seseorang dari balik pintu, Yahya Soemantri. Sudah dapat ditebak penampilannya pun sekusut penampilan rumahnya, terlihat renta dan tak terurus. Tetapi tidak seperti penampilannya, pendapatnya sangat kritis. Dia dikenal di jagad sastra sebagai pujangga bermulut pedas. Sama pedasnya ketika ia menghujat karyakarya Nadya yang terlihat amatir. Seperti siswa-siswa lain yang berusaha berguru dengannya, ia mencap Nadya sebagai generasi krupuk melempem. Hati Nadya terasa diremas-remas ketika mendengar hal itu. Dia pun memutuskan untuk berguru kepada sastrawan lain yang lebih punya hati dan lebih dapat menghargai karya-karyanya. Dia akhirnya melanjutkan misinya dengan mendekati seorang sastrawan spesialis cerita kriminal bernama Didi Sumpena Pamungkas. Sangat berbanding terbalik dengan Yahya, Didi adalah orang yang cerdas dan supel, dia pun mampu membungkus semua kritikannya dengan bahasa yang memotivasi. Lama-kelamaan Nadya merasa betah berguru dengannya, dia sudah seperti ayah bagi Nadya. Setelah berguru dengan Didi, Nadya memutuskan Nining Tresna Munandar sebagai mentor barunya. Pertemuan Nadya dan Nining terjadi secara tidak sengaja melalui situs jejaring sosial Facebook. Mereka akhirnya memutuskan untuk bertemu di toko buku Toga Mas. Penampilan Nining yang modis serta gaya bicaranya yang sangat keibuan membuat Nadya sangat tertarik. Maklum, Nining merupakan penulis yang filosofinya berbasis cinta. Kata-kata Nining terasa bagaikan suntikan vitamin bagi tubuh Nadya, sangat menyegarkan. Tetapi karena pekerjaannya sebagai freelancer dan copywriter dia kurang dapat meluangkan waktu untuk Nadya. Selain

itu, waktu ujian nasional pun semakin dekat membuat Lucky, ayah Nadya tidak tinggal diam. Lucky melarang Nadya untuk keluar rumah dan melarang Nadya untuk belajar Sastra Sunda lagi. Hal ini dikarenakan perubahan sikap yang signifikan dari diri Nadya, ambisi Nadya untuk dapat menjadi penulis Sastra Sunda telah melenyapkan segalanya, perhatian Nadya pada keluarganya, nilai-nilainya yang merosot dengan tajam, serta sikap Nadya yang berubah menjadi dingin. Setelah Ujian Nasional berakhir Nadya dipertemukan kembali dengan seorang sastrawan Sunda bernama Lina Inawati, yang bekerja sebagai dosen Sastra Sunda di UNPAD. Hal itupun membangkitkan semangat Nadya lagi. Namun ketidaklulusan Nadya dalam Ujian Nasional membuat sang ayah marah besar. Nadya pun terpaksa hengkang dari rumah yang telah membesarkannya selama bertahun-tahun itu. Penderitaan Nadya pun semakin berlanjut ketika mamanya meninggal dunia. Nadya tidak menyangka kehidupannya dapat berputar 180 derajat, hanya karena satu sebab, Sastra Sunda. Namun keinginannya yang terlampau besar untuk menjadi pujangga Sunda yang signifikan membuat Nadya menjadi seorang yang sangat berbeda dan tak segan-segan menghalalkan segala cara untuk dapat mewujudkan ambisinya itu. Cerita semakin rumit saat Yahya menghilang secara misterius, lalu muncul sebuah karya yang memiliki ciri khas sama dengan gaya penulisannya selama ini. Dan tak lama, Didi pun turut menghilang dengan cara yang sama. Misterius dan sebuah tulisan dengan ciri khasnya pun muncul. Misteri itu semakin berlanjut ketika Nining dikabarkan meninggal, karena racun sianida yang tercampur dalam secangkir kopi yang dia minum. Ambisi Nadya untuk menjadi pujangga signifikan tinggal beberapa langkah lagi. Kelihaiannya dalam menulis berbagai puisi yang dapat hidup dimata pembacanya yang di dapatnya dari Yahya, kemampuannya dalam menonjolkan tokoh utama dipadukan dengan sisi kriminologi yang di dapatnya dari Didi, serta kemahirannya dalam membungkus semua itu dengan efek cinta yang di dapatnya dari seorang Nining belum membuat Nadya merasa puas. Dan satu lagi pertanyaan yang muncul di benak Nadya Mengapa pembunuhan dapat mempercepat datangnya fenomena awan putih dalam mimpinya?. Hanya satu lagi yang diharapkan seorang

Nadya untuk menjadi sastrawan Sunda yang signifikan yaitu kemampuan Lina Inawati dalam menterjemahkan bahasa lisan seseorang dan mewujudkannya dalam karya yang sempurna. Akankah Nadya berhasil mewujudkan ambisinya itu? Akan lebih menyenangkan membaca sendiri keseluruhan ceritanya dalam buku setebal 314 halaman ini. Jujur, saya sendiri merasa ngeri sekaligus prihatin ketika membayangkan penggambaran kedua penulis tentang Nadya, seorang anak yang haus akan pengakuan dari kedua orang tua dan orang-orang yang berada disekitarnya, bisa menjadi seorang pembunuh berdarah dingin. Sesuatu yang mungkin dapat terjadi di dunia nyata. Buku ini dapat dijadikan sebagai cermin bagi orang tua dan juga anak yang mempunyai pengalaman serupa dengan Nadya. Sehingga tidak tercipta Nadya-Nadya baru di kehidupan nyata. Namun, alur flashback yang digunakan dalam proses penceritaan novel ini dirasa kurang efektif, karena untuk dapat memahaminya diperlukan pemikiran ulang agar kita dapat mengerti jalan cerita dengan utuh. Selain itu masih muncul pertanyaan, Bagaimana tokoh Didi dan Nining meninggal?. Dalam buku ini penulis hanya menjelaskan secara tersamar. Karena, justru pada bagian itulah penulis dapat mengumbar trik pembunuhan yang menawan, yang tentunya merupakan titik ketertarikan penggemar novel bergenre misteri-thriller ini. Jenis kertas yang digunakan pun sebaiknya diperbaiki untuk dapat meningkatkan kualitas cetakan, karena secara tidak langsung hal ini juga dapat mempengaruhi minat pembaca dalam mengkonsumsi novel yang berbobot ini. Para pembaca yang berkecimpung dalam dunia kepenulisan atau berkeinginan menggeluti dunia tersebut amat disarankan untuk membaca Satin Merah. Banyak ilmu yang dapat diserap, mengalir dalam bahasa jenaka dan renyah. Pernyataan tokoh-tokoh di dalamnya juga dapat memberikan motivasi serta pelajaran moral yang sangat berarti. Novel ini seakanakan juga mengingatkan kita pada budaya dan sastra daerah lain yang bernasib serupa dengan Sastra Sunda yang digambarkan dalam cerita, hampir punah. Dan seperti pesan kedua penulis dalam bukunya, jangan berhenti membaca runtut ceritanya hingga Anda tahu apa arti Satin Merah yang sebenarnya. Masih penasaran? Segera baca novel terbitan GagasMedia ini, dijamin tidak akan rugi!.

Anda mungkin juga menyukai