Anda di halaman 1dari 2

Nama : Sanya Prameswari Cahyani

Nomer: 29
Kelas : XII IBB

“Menangis di Jalan Pulang”


Pada suatu malam yang hening, gadis itu mulai merebahkan tubuhnya di ranjang. Matanya
tengah menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Nafasnya mulai terisak, sesak.
Pupil matanya yang indah itu kini tidak sangup lagi menampung derasnya air air mata yang
mengalir. Hatinya perih, jiwanya seolah separuh mati. Bahkan untuk mengumpat satu kata
pun, Ia sudah tidak sanggup.
Ia berulangkali bertanya kepada sepi. “Dari sekian banyak umatNya, mengapa harus aku?”.
“Mengapa?” ‘’Mengapa harus aku?” “Adakah sebentar saja aku diberi kesempatan untuk
bahagia. Sehari saja.” “Aku ingin memeluk Ayahku, lagi, lagi dan lagi. Setidaknya hingga
aku mati.” ‘’Bisakah nyawaku saja yang Engkau ambil? Atau bisakah aku tukar dengan
apapun yang aku miliki sekarang? Bisakah demikian?.” Gadis yang sangat malang, sungguh.
“Tuhan, bahkan makam Ibuku saja belum kering.” Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Haruskah aku tetap hidup? Untuk apa? Untuk siapa? Bolehkah ku akhiri semua ini sekarang
juga? Aku tidak tahu. Untuk menghirup nafas 1 menit saja semua terasa sangat sesak, pedih.
Kau tau rasanya mati tapi hidup? Pernahkah? Pernahkah engkau merasa demikian? Saat kau
benar-benar dalam keadaan terburukmu. Saat semua mimpimu dalam sekejab menjadi abu-
abu.”
Tepat 7 hari sebelum ayahnya pergi, ia sempat berpesan kepada anak gadis satu-satunya itu.
“Nduk, anak ayah. Belajar sing rajin yo, ben besuk iso nduweni urip sing genah, ora kaya
Ayah. Sepurane ya Nduk, ayah mung isa ngewenehi kowe urip sing sederhana nemen kaya
ngene. Kanggo Ayah isa mangan ae wes cukup. Sing penting putri Ayah isa sekolah sing
genah. Ayah ora njaluk apa-apa Nduk, Sesok nguwasno kowe wes iso golek pangan dewe lan
nduweni urip kang genah wis cukup.” Pesan yang ayah kirimkan saat itu hanya ia balas
“Nggih Yah, maturnuwun. Maturnuwun sanget. Nduk janji bakal sekolah sing rajin. Sesuk
enjing Nduk wangsul, Yah. Nyuwun tulung dijemput ten terminal biasane nggih.”
Sore itu, Ia sudah bersiap untuk pulang ke Jogja. Seperti biasanya, Pak Romi Ayahnya akan
menjemput di Terminal Semarang nantinya. Pukul 21.00 malam Ia sudah sampai di Terminal.
Tapi tidak seperti biasanya, Ayah tidak membalas chat maupun mengangkat telfonnya
sekalipun. Viona sudah menunggu 1 jam lebih, namun belum juga ada jawaban. Setelah
sekian lama menunggu, dering ponselnya berbunyi. ”Nomor tidak dikenal”. Bukan ayah,
batinnya. Dengan nada sedikit kesal Viona menangkat telepon itu.
“Halo”
“Halo, selamat malam”
“Dengan Mbak Viona?”
“Iya, saya sendiri, mohon maaf ini siapa ya?”
“Saya Ratmo, saya mendapat nomor Mbak dari HP bapak Romi. Saya mau mengabarkan
kalo Bapak Romi kecelakaan mbak. Sekarang sedang dibawa ke Rumah Sakit Persada
Semarang.”
Bagai tersambar petir di siang hari, Ia hanya terdiam. Sampai Bapak Ratmo melanjutkan
telfonnya.
“Halo, Mbak Viona. Sebaiknya Mbak segera menyusul ke rumah sakit saja. Tadi Bapak tidak
sadarkan diri. Sepertinya lukanya cukup serius.”
“Iya, baik Pak. Terima kasih. Saya akan segera menyusul”
Dalam perjalanan dari terminal ke rumah sakit. Pikiran Viona benar-benar kacau. “Tunggu
Viona pulang, Yah.” Batinnya. Keadaan lalu lintas Semarang yang cukup padat membuatnya
sedikit lebih lama untuk sampai di rumah sakit. Sekitar satu jam kemudian, Viona telah
sampai di rumah sakit dan bertemu Bapak Ratmo yang menelfonnya tadi. Mereka menunggu
di depan ruang IGD. Kini ia menangis, ia takut. Sangat takut. Di dunia ini yang kini Ia miliki
hanya Ayah sepeninggal Ibunya satu bulan lalu. “Tolong bertahan demi Viona, Yah”.
Yang ia dengar saat ini hanya deru suara alat medis yang terpasang pada tubuh ayah. 10
menit kemudian, dokter keluar dengan wajah datar. Terlintas terlihat setitik rasa putus asa
pada matanya. Ada apa ini?. Dengan suara berat, ia mengatakan. “Mbak, maaf kami sudah
berusaha semaksimal mungkin, namun Allah telah berkehendak lain. Bapak sudah
berpulang.” Kakiku bagai tak bertulang lagi setelah mendengarnya. Gelap. Hanya itu, hanya
itu yang terakhir kali aku rasakan.
Perlahan Viona membuka matanya. Dengan tubuh lemas dan perasaan hancur, ia perlahan
turun dari ranjangnya mendekati Ayah yang telah terbujur kaku. Viona memeluk tubuh
dingin itu sembari menahan tangis. Ia baru saja merasakan hal yang sama satu bulan lalu. Ya!
Baru satu bulan lalu Ibunya berpulang. Kini ia harus merasakannya lagi. Kali ini Ayah.
Suara berisik ambulan mengantarkan ia dan Ayah ke rumah mereka. Di perjalanan pulang,
Viona terus menangis. Mengapa? Mengapa secepat ini Tuhan mengambil semuanya. Hatinya
kacau, pikirannya gelap. Ia menyalahkan Tuhannya kali ini. Namun sejenak ia berpikir. “Apa
serindu itu Ayah pada Ibu?” Di pemakaman Ayah, Viona tidak lagi menangis. Ia sadar,
bahwa Allah terlalu menyayangi Ayah dan Ibunya.
Hari ini tepat satu tahun sejak kepergian Ayah dan Ibunya. Ia telah berhasil mendapatkan
gelar Sarjana Kedokteran. Viona akan menjadi dokter. Ini adalah cita-citanya sejak kecil dan
juga didukung oleh orangtuanya. Sejak sepeninggal ayah dan ibunya, Viona seolah menjadi
pribadi yang baru. Ia menjadi seorang wanita yang kuat dan mandiri. Ia membiayai kuliahnya
dengan bekerja paruh waktu. Saat teman-temannya yang lain sibuk membeli tas, makeup,
skincare dan kebutuhan wanita lainnya. Ia lebih memilih untuk menabung demi studinya.
Setelah ia lulus, ia memilih untuk menjual rumah sepeninggal ayah dan ibunya itu. Awalnya
ia bimbang, ingin menjualnya atau tidak. Namun, demi kedamaian suasana hatinya ia
memilih untuk menjualnya dan pindah ke luar kota. Ia pasti akan sangat merindukan rumah
masa kecilnya ini.

Anda mungkin juga menyukai