Anda di halaman 1dari 4

“ Passion??


Hai, panggil saja aku Shena. Bagiku passion adalah segalanya. Aku memaknai passion
sebagai sebuah kunci untuk mengenal diri dan berperan sebagaimana yang diamanahkan oleh
sang pembuat untuk manusia. Passion itu bersifat apa adanya dan aku mulai mengenali
passionku sejak aku masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Sejak aku masih berumur 5
tahun, aku sangat suka membeli binder, buku-buku notes dan buku diary untukku menulis.
Saat itu, aku suka mengekspresikan seluruh perasaanku dalam sebuah tulisan. Dan, ya kalian
benar! Passionku adalah menulis.

Aku sangat suka memikirkan hal-hal yang tidak masuk akal dan nyaris mustahil. Untuk
memenuhi imajinasiku itu, aku menuangkannya dalam sebuah tulisan. Menulis adalah
wadahku untuk meluapkan seluruh perasaan, imajinasi, khayalan, bahkan untuk menciptakan
sesuatu yang tidak ada. Apakah kamu ingin punya sayap? Kamu ingin terbang? Kamu ingin
melihat naga berkepala tujuh yang sedang bertarung dengan dewa petir? Kamu bisa
menciptakannya. Kita bisa menggambarkan seluruh imajinasi kita dalam sebuah tulisan.
Menulis memang bebas, tidak terikat oleh apapun. Inilah yang paling membuatku jatuh cinta
pada dunia sastra. Dimana kita bisa bebas mengekspresikan apapun yang kita rasa.
Namun, ada kalanya ketika aku benci dengan menulis. Ketika otak sudah habis dengan kata-
kata, ketika otak sudah tak bisa mendapatkan inspirasi. Aku memaksa otakku bekerja keras
mencari, mencari, dan mencari inspirasi untuk aku tuliskan dalam sebuah proyek novelku,
tapi hasilnya nihil. Kemudian aku menyadari, bahwa menulis bukan sesuatu yang dipaksakan,
tetapi menulis adalah suatu kerelaan. Menulis yang nikmat adalah menulis dengan hati.
Saat ini, aku sedang menempuh pendidikanku di bangku SMA. Dimana ketika remaja-remaja
seumuranku sedang merasakan euforianya cinta. Ya, jatuh cinta masa-masa SMA. Masa
paling manis, katanya. Sama seperti remaja-remaja lain, aku juga merasakannya. Ketika awal
aku merasakannya bagaikan ada sejuta kupu-kupu yang terbang dalam tubuhku. Ketika patah
hati, tubuh ini bagai tersayat sejuta duri. Aku pun meluapkan segala rasa ini melalui diary,
puisi, dan novel-novel yang aku buat.
Pada siang hari itu, Ketika aku duduk di pojok bangku perpustakaan sekolah, ada seseorang
yang tiba-tiba menegurku.
“hai”
“aku boleh duduk disini”
“terima kasih”
“by the way, namamu siapa?”
“hi Shena, senang berkenalan denganmu”
“Panggil saja aku Nathan”
Nathan!, Ya Tuhan sungguh indah ciptaanmu. Batinku dalam hati.
Aku merasakan hal ini lagi! Sejuta kupu-kupu itu seolah hinggap lagi dalam tubuhku.
Awal pertemuan kami waktu itu, menjadi sebuah awal pula bagi kami merangkai kisah-kisah
manis berdua di masa SMA. Kini, ada dua orang yang selalu mendukungku untuk terus
menulis. Mereka adalah Mama dan Nathan. Mereka berdua adalah orang yang selalu percaya
aku akan berhasil dalam dunia sastra. “Suatu saat kamu akan menjadi penulis terkenal dan
karyamu akan dinikmati oleh semua orang”. Begitu kira-kira kata-kata penyemangat yang
selalu mereka ucapkan kepadaku.
Saat ini, aku sudah menginjak kelas 12. Semua rangkaian ujian sudah aku lewati. Penentuan
masuk perguruan tinggi akan diumumkan 1 minggu lagi. Aku memutuskan untuk mengambil
prodi Sastra Indonesia di Universitas Brawijaya sedangkan Nathan mengambil prodi Teknik
Sipil Universitas Brawijaya.
Sore hati itu, dengan perasaan gelisah, takut, dan cemas aku menghidupkan laptop dan
membuka laman LTMPT. Hasil pengumuman diterimanya mahasiswa baru melalui jalur
SNMPTN sudah bisa diakses sekarang. Aku dan Mama tak henti-hentinya memanjatkan doa.
Dengan mata terpejam, aku memberanikan diri untuk mengklik pengumuman tersebut. Saat
aku membuka mata, aku menangis terharu karena terpampang nyata bahwa aku diterima
sebagai mahasiswa baru Universitas Brawijaya prodi Sastra Indonesia. Ini adalah satu
Langkah kemajuan untuk diriku mengggapai mimpiku.
Kesenanganku ini pun tak bertahan lama. Berbeda denganku, Nathan gagal mendapatkan
prodi impiannya itu di Universitas Brawijaya. Aku terus memberikan support kepadanya
sebisa yang aku mampu. Ia terus mencoba mendaftarkan dirinya dengan seluruh jalur masuk
PTN tapi tetap saja gagal. Dan akhirnya, dengan berat hati ia memutuskan untuk melanjutkan
pendidikannya di Jepang.
Ya, awal yang berat bagi kami. Sejak keberangkatan Nathan ke Jepang waktu itu semuanya
kini seolah berubah. Hubungan kami semakin memburuk. Diperparah lagi dengan
keterbatasan komunikasi yang kami miliki. Menginjak semester 3, kami memutuskan untuk
mengakhiri hubungan ini. Aku sangat-sangat patah saat itu. Entah sudah berapa lama aku
berada di meja belajar dan menatap laptopku ini. Otakku seakan menolak kuajak menulis.
Padahal, ada sejuta rasa yang harus aku luapkan dalam tulisan sekarang juga.
“Sial. Mengapa otakku seakan berhenti berfungsi begini”. Umpatku dalam hati.

Dua bulan sudah sejak kejadian yang seolah merenggut kewarasanku saat itu. Aku
memutuskan untuk healing dan tidak memaksa otakku untuk menulis saat itu juga. Saat ini,
suasana hati dan pikiranku mulai stabil. Aku Kembali menulis sekata demi kata apa yang ada
dalam hatiku. Tak terasa, akhirnya airmata ini menetes juga. Rasa bahagia dan luka yang
pernah aku lalui, kenangan-kenangan di tempat yang pernah kami datangi seolah menganga
lagi. Tak apa, aku bisa menahannya kali ini. Batinku.
Hari ini adalah tepat satu tahun sejak aku memulai untuk menulis kisahku dengan Nathan saat
itu. Semua bab telah selesai kutulis dan aku rangkai dalam sebuah novel. Novelku ini kuberi
judul “Dear Nathan”. Novel ini juga merupakan sebuah bentuk rasa terima kasihku kepada
Nathan atas segala hal-hhal baik yang telah ia berikan kepadaku. Aku bangga pada diriku
sendiri karena bisa menyelesaikan novelku ini dalam keadaan yang tidak mudah. Aku
menulisnya di senggang-senggah waktu ditengah kesibukan semester akhir kuliahku. Ini
adalah kali ketiga aku membuat proyek novel dan ingin aku terbitkan. Aku telah mengalami
dua kali penolakan oleh penerbit. Dengan penuh keyakinan, aku berharap proyekku yang
ketiga ini dapat diterima dan segera diterbitkan.. Aku memang terlalu dini untuk membuat
sebuah novel teenlit, maksudku bukan terlalu dini dari faktor usia, tetapi terlalu dini untuk
menentukan karakter dari tulisanku sendiri. Aku hanya berparadigma, aku menulis dan aku
akan merasa lega. Jadi, semua kata-kata aku tuangkan dalam cerita teenlit-ku. Kata-kata
dalam tulisanku menjadi tidak konsisten. Tak konsisten antara tema yang gaul meremaja
dengan karakter bahasa tulisanku yang beraroma puitis. Ketidakkonsistenan itu yang
mungkin menjadi penyebab tidak jelasnya tema yang akan aku utarakan di novelku. Aku
kemudian berpikir, aku harus segera mencari karakterku sendiri.
Aku mencetak berlembar-lembar novel ketigaku ini. Aku menjadi sedikit resah Ketika telah
mencetaknya. Bagaimana jika novelku ini ditolak lagi? Bagaimana jika aku gagal lagi?
Apakah aku akan mengecewakan Mama dan orang yang selalu mendukungku untuk ketiga
kalinya? Bagaimana? Oh Tuhan tolong aku.
Pagi itu, semesta seolah berada di pihakku. Novelku diterima dan akan diterbitkan pada
sebuah majalah yang cukup terkenal. Aku sangat bahagia. Mama adalah orang pertama yang
memeluk dan mengucapkan kata selamat itu kepadaku.
Aku semakin percaya diri dan selalu terpacu untuk mengasah skill menulisku ini. Apalagi
sejak aku ikut organisasi di kampus yang dibawahi oleh prodi sastra Indonesia. Aku bertemu
banyak teman yang memiliki passion yang sama denganku. Disini aku dapat terus belajar dan
bisa terus berkembang. Satu kesuksesanku dalam menulis novel tidak akan membuatku
berhenti belajar dan menulis lagi. Masih ada hari esok dengan ribuan lembar kertas lagi yang
ingin aku tulis. Aku memang pernah bermimpi menjadi seorang penulis. Menjadi penulis
terkenal. Menjadi seorang penulis yang pikirannya, kata-kata, kalimat, dan curahatan hatinya
dapat dibaca oleh orang lain. Namun, lambat laun aku hanya menyadari bahwa menulis
adalah sebagai wadah pelegaan, pencurahan kata hati, penampung segala pemikiran. Menjadi
penulis terkenal atau tidak, yang jelas aku adalah seorang penulis untuk diriku sendiri.

Anda mungkin juga menyukai