Anda di halaman 1dari 3

Izinkan aku memanggilmu kasih, walau sekarang keadaanya aku dan kamu hanyalah sepenggal cerita

di masa lalu. Bertahun lamanya sudah, tapi tak kunjung bosan aku haturkan kata maaf untukmu
walau hanya dari dalam hati saja, mantanku. Apa kabar kamu? Ingin rasanya aku bertemu dan
menceritakan banyak hal tentang diriku selapas kamu aku tinggalkan. Kasih, sakitkah dulu hatimu?
marah besarkah dulu kamu ke padaku? Remukkah hatimu dulu aku tinggalkan?. Jujur kasih, dulu aku
masih terlalu kekanak-kanakan. Bukan berarti sekarang aku telah dewasa. Namun sekarang aku
mengerti, kehilangan orang yang sebenarnya telah menyayangi kita itu, perih.

Saat itu, bisa mengenalmu adalah cita-cita terbesarku

Ingat dulu aku, kasih, saat pertama kita bertemu. Saat kita mahasiswa baru. Tertarik rasanya aku
ingin mengenalmu lebih dalam. Bagaimana tidak, kamu yang bertubuh tinggi semampai, rambut
tertata rapi, bertutur kata penuh sopan santun, dan.. tatapan teduh. Sebagai seorang perempuan,
aku malu untuk maju duluan. Bagaikan magnet yang memiliki daya tarik kuat, telingaku siaga saat
mendengar informasi tentangmu dari teman-temanku. Di kelas, selain mendapatkan nilai A, berhasil
curi pandang kearahmu juga membahagiakan bagiku. Kamu tau, kasih, dulu setiap kamu presentasi
di depan kelas tak pernah satu pun aku mengerti apa yang tengah kamu sampaikan. Kamu terlalu
memiliki karisma untuk membuatku terpesona.

Aku mencoba cara lain untuk meredakan cinta sendiriku, kasih

Lama seperti ini, aku seperti gila sendiri. Cinta sendiri tanpa dia ketahui. Berjuang sendiri itu ternyata
tidak enak, mengagumi sendiri itu ibarat berbicara ke pada angin. Benar kata orang, cinta terlalu
menusuk untuk dipendam. Aku sudah tidak tahan, tapi tetap tidak berani untuk berbicara
denganmu. Berbicara jujur dengan teman akrabmu mungkin bisa mengurangi beban ini pikirku.
Siang itu kasih, selepas kuliah seluruhnya aku ungkapkan dengan teman akrabmu kalau aku
menyukaimu, seluruh rasaku aku tumpahkan, bahkan sesekali ada air mata yang melintas di pipiku.
Setelah aku bercerita, aku katakan pada teman akrabmu bahwa ini adalah sebuah rahasia. Saat itu
sebenarnya aku hanya menjujurkan rasaku saja. Tapi di luar dugaan kasih, temanmu berkata ke
padaku, kalau sebenarnya kamu pun menyukaiku. Dan saat itu pula aku merasa menjadi wanita
terbahagia di jagat ini.

Semesta, ternyata aku tidak cinta dan berjuang sendiri. Pelukku terbalas.

Aku kira sebagian besar yang tidak bisa menjaga rahasia itu adalah wanita. Tetapi aku salah, lelaki
itu, teman akrabmu membongkar semua ungkapanku. Saat itu rasanya harga diriku runtuh sebagai
seorang wanita, aku berikir keras semalaman di mana besok akan aku taruh muka ini saat di kelas,
dan saat itu rasa maluku seakan tak terhingga.
Hari berlalu, keadaan pun juga ikut berubah. Ingat hari itu kamu menyapaku untuk pertama kali.
Kasih, saat itu sapaanmu aku beri judul “sapaan pertama untuk sebuah cerita”. Ternyata kasih, itu
bukan hanya sebuah judul saja, bahkan doa hingga jadi nyata. Pada akhirnya kita memiliki cerita.
sering berkomunikasi empat mata, sering juga kita satu kelompok belajar secara bersama, dan kita
jalan berdua di luar jam kampus ternyata mampu membuatku mengerti arti pandangan dan
senyummu saat kamu menatapku, arti genggaman tanganmu saat kita menyebrang jalan, arti
bantuanmu saat aku kesusahan, dan arti kerasnya dugup jantung yang tidak berkesudahan. Pada
akhirnya aku dan kamu menjadi sebuah pasangan.

Dari semua yang terlewati sudah cukup menjadikanmu kekasih yang bermakna bagiku.

Kasih, tanya wanita di luar sana. Wanita mana yang tidak bernyanyi riang, wanita mana yang tidak
bahagia bukan kepalang saat mendapatkan kekasih yang dia idamkan. Dulu, seperti itulah rasaku
terhadapmu. Ingat sekali, kasih, dulu aku jatuh cinta denganmu sejatuh-jatuhnya. Masihku ingat,
kasih, betapa sayangnya kamu terhadapku. Kita memang bukan dari keluarga kaya raya, tak perlu
candle light dinner, merayakan hari jadi dengan sebuah perayaan, merayakan ulang tahun dengan
segala macam pernak pernik. Cukup saling memahami satu sama lain, mengingatkan saat harus
ibadah, kencan dengan mengahabiskan obrolan hangat dan menyenangkan, serta saling membantu
dalam hal akademik, semua itu sudah cukup menjadikanmu kekasih yang bermakna bagiku.

Iya kasih, aku yang melempar batu duluan.

Kasih, cepat sekali rasanya waktu berlalu. Kesibukan kampus semakin menyita waktu. Aku terpilih
menjadi ketua HIMA dan kamu terpilih menjadi ketua tingkat saat itu. Jabatan yang aku emban
memaksaku untuk rutin setiap bulan rapat dengan ketua HIMA dari jurusan kampus lain. Dan saat
itu, kasih, aku mengenal dia (yang sengaja aku rahasiakan darimu). Lama aku menyembunyikan
rahasia ini darimu. Hingga pada akhirnya, kamu dapati isi private messengerku dengannya di inbox
sosial mediaku. Iya, kasih, maaf aku selingku. Aku tau, aku paham kamu marah besar. Teriring
maafku untukmu yang tidak berkesudahan saat itu. Kamu memang berhati malaikat, terimakasih
sudah mengampuniku dan kita mulai lagi.

Kasih, Ternyata cerita yang aku bilang di awal memiliki akhir

Tak bisa dielakkan, semakin perkuliah ingin menginjak semester akhir semakin sedikit waktu untuk
kita. Sekali sehari kita saling berkabar itu saja sudah aku syukuri. Saat itu bagiku tak apa, aku faham
kamu selalu gigih dalam akademik dan cita-cita, aku pun selalu bersikeras untuk selalu mengerjakan
pekerjaanku hingga akhir dan selesai. Hari itu saat di kampus, karya ilmiah yang aku selesaikan
semalam ditolak oleh dosen. Revisi yang sebegitu banyak mampu memunculkan emosi dan
mengabaikan rasa laparku, tanpa membuang waktu ku buka lapton dan segera memperbaikinya.
Kamu pun datang membujukku untuk makan, aku mengelak dan berkata nanti. Kamu terus
membujukku dan aku hanya diam karena konsentrasi. Kamu tetap gigih hingga (mungkin tidak
sengaja) terinjak sepatuku untuk membujukku makan. Aku berhenti mengetik dan marah ke
padamu. Amarahku tak kunjung padam hingga sore. Akhirnya kamu pun berkata apa mau ku, hingga
aku menjawab “aku ingin sudah dengan kamu, aku ingin menyelesaikan semua pekerjaanku tanpa
kamu harus ganggu”.

Dalam sekali rasa sesal dan kehilangan ini, kasih.

Iya, hanya hal sepele itu akhirnya kita tamat (hanya karena ego dan sifat kekanak-kanakanku). lulus
dari perkuliah membuatku seperti bangun tidur. Tidak ada lagi dunia kampus, dan tidak ada lagi
kamu. Dunia kerja membuatku arti kehidupan sesungguhnya, beban yang dirasa jauh lebih berat,
masalah yang ada seakan datang berkali lipat. Ntah kenapa saat mata terpejam lelah benakku
seakan membutuhkanmu, membutuhkan bahumu, membutuhkan sandaranmu, membutuhkan
cintamu. Seperti dulu. Saat itu dan sampai sekarang, kasih, aku mengerti sekali rasanya arti
menyesal dan kehilangan. Tolong, maafkan aku.

http://www.hipwee.com/preview/?type=list&pid=289298&preview=true

Anda mungkin juga menyukai