Anda di halaman 1dari 2

Waktu itu, dengan baik hati kamu mengulurkan tangan.

Aku yang nyaris lenyap sebab luka yang


ditorehnya tak kunjung kering, akhirnya punya alasan untuk mengangkat kepala, menatap ke depan
meski kamu tak menjanjikan apa-apa. Dengan satu sentuhan, kamu merubah hidupku yang kelabu serta
hatiku yang berdebu kembali menjadi merah jambu. Tanpa disadari, kita serupa sepasang merpati yang
mengikat janji sehidup semati. Selayaknya sepasang sepatu yang tidak keren bila hanya dipakai sebelah
saja. Aneh. Itu yang aku rasakan ketika kamu tak muncul dihadapkanku meski hanya sehari. Bila kamu
adalah musim dingin, maka aku adalah salju yang bersedia dilempar, diinjak, dijadikan mainan, bahkan
disingkirkan oleh banyak orang. Yang terpenting kamu disenangi, ditunggu hadirnya lagi. Aku bisa
menjadi apa saja untukmu. Badut ulang tahun yang ditertawakan seharian, didatangi ketika kamu butuh
hiburan, ditinggalkan setelah hatimu tak lagi kesepian, menjadi kue bulan yang hanya dihadirkan ketika
musim gugur, meski harus berakhir menjadi kotoran, menjadi buku harian yang bisa kamu isi penuh
dengan keluh, menampung semua kekesalan yang kamu pendam sejak lama sendirian. Lama kelamaan,
aku menjadi bayanganmu. Menyertaimu kapan pun dan dimana pun. Sebuah keputusan yang salah
sebab bayangan tak akan serasi disandingkan dengan raga yang sempurna. Meski begitu aku tetap
menikmati peranku. Mengawasimu tanpa takut kamu usir, sebab hadirku bahkan tak disadari. Tugasku
hanya memastikanmu bahagia, selebihnya aku tidak punya kuasa termasuk memaksamu untuk tak
meninggalkanmu. Jika biasanya bayangan yang meninggalkanmu di tengah kegelapan, kali ini aku harus
rela ditinggalkanmu di tengah kenestapaan. Ternyata rasanya lebih menyakitkan dari pengalamanku
sebelumnya. Sebab tak kusadari, kamu sudah mengambil jiwaku separuhnya.

Kukira kita tak akan berakhir setragis ini. Saling tak sudi untuk menyapa. Harusnya aku tidak heran,
sebab permulaannya pun tidak begitu mengesankan. Namun haruskah sampai saling memalingkan
wajah bila bertatap muka? Kukira berpisah denganmu sudah menjadi hal paling menyakitkan. Ternyata
tak lagi mampu mendengar suaramu jauh lebih parah. Tak lagi memiliki keberanian untuk bertanya ini-
itu terasa jauh lebih sulit. Kupikir semuanya akan mudah, semudah aku memutuskan untuk
menyerahkan perasaan dulu. Tidak peduli seberapa asingnya kamu, aku tetap menjadikanmu yang
nomor satu. Rasanya masih terlalu indah bila diingat kembali, nahasnya kita tak mungkin bisa bersama
lagi. Kamu sudah mengambil jalan untuk hidup semasing, untuk tak memberiku kesempatan, tak
memberiku celah untuk memperbaiki diri. Sudah kamu temukan jalan yang menurutmu paling
membahagiakan, yaitu dengan melepas manusia yang kepalang kertergantungan akan sosokmu ini.
Manusia yang hingga saat ini belum rela bila kisahnya cintanya tidak mengesankan sama sekali. Orang
yang selama bertahun-tahun mencoba menjaga perasaanmu, mencoba menjaga tawamu tetap muncul
dengan cara apapun. Meski harus rela dirinya tersakiti, ia tidak peduli. Aku sudah menjadikanmu tujuan,
bukan hanya tempat untuk menaruh beban. Sampai-sampai aku sendiri tidak menyadari bila pada
akhirnya aku yang menjadi beban untukmu. Banyak merengek, mengeluh, mengadu, tanpa tahu bila
yang dijadikan peraduan sedang sama kacaunya. Aku memaksamu mengerti, namun acapkali tidak mau
mengerti kebutuhanmu. Merasa sudah memberikan segalanya, padahal hanya menyediakan waktu
sekenanya. Sampai akhirnya aku paham bila kita hanya sedang berlomba untuk membuktikan diri, siapa
yang paling unggul dalam hal mengobati luka. Tujuan kita berubah, hubungan kita kehilangan arah.
Kamu dan pesan-pesanmu tak lagi ramah, sementara aku jadi lebih senang marah-marah. Kita sudah
keluar jalur, tak lagi jujur pada perasaan yang minta diulur sesegera mungkin. Keputusan yang kamu
ambil sudah benar, hanya saja aku belum bisa menerima kebenaran. Berakhir denganmu begitu
memilukan.
Kamu yang dulu paling lantang menyuarakan kata sayang kini bahkan menolak bersinggungan. Kamu
yang dulu rajin memulai obrolan perlahan-lahan menghilang. Kamu yang dulu sering mengingatkanku
makan, kini bahkan menjadi penyebabku berpuasa seharian. Kamu yang dulu menjadi sumber
semangatku kini menjadi penghancur hariku yang nomor satu. Kamu yang dulu paling setia menunggu di
bilik obrolan kini lebih memilih bungkam.

Aku ingin menjadi layar ponsel yang bisa kamu tatap setiap hari. Aku ingin menjadi buku favorit yang
kamu baca berkali-kali. Aku ingin menjadi lagu andalan yang kamu dendangkan ketika merasa lemah dan
tak berarti sebagai peranti melegakan hati. Aku ingin menjadi bait-bait yang kamu puisikan. Aku ingin
menjadi vlogger kesayanganmu yang video-video terbarunya selalu kamu tunggu. Aku ingin menjadi
salah satu bagian dari koleksi film yang diberi kesempatan untuk mengisi waktu luangmu. Aku ingin
menjadi orang-orang asing yang menjadi penyebab senyummu, bahkan meski mereka tak mengenalmu.
Aku ingin menjadi pedagang bubur yang keberadaannya selalu kamu tanyakan setiap pagi. Aku ingin
menjadi apa saja yang membuatmu bahagia, membuatmu tak membutuhkan siapa-siapa lagi kecuali
aku. Aku ingin menjadi tempatmu mengadu sendu, ingin menjadi orang pertama di dunia yang
memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Harusnya begitu bila kamu bersedia terus berada di sampingku.
Harusnya begitu bila kamu tak buru-buru mengusirku. Harusnya begitu bila kamu tak segera menghapus
semua ingatan tentangku. Harusnya begitu bila kamu memberiku waktu untuk memantaskan diri.
Harusnya begitu bila kamu tak membuatku berkecil hati. Beruntung aku ditampar oleh kenyataan bahwa
kamu memang tak memberimu kesempatan bahkan ketika kita masih berada di pembuka halaman. Bila
diakumulasikan, usahaku yang berhasil tak lebih dari satu persen. Alih-alih melengkapi, aku malah
membuat lembaran dalam dirimu menjadi berantakan. Semakin aku menyelami, semakin aku
mendalami, semakin aku serius membaca kata per kata dari dirimu, semakin paham bila hadirku
memang tak seberharga itu.

Sampai detik ini semua tindakan yang kulakukan, kamu yang menjadi satu-satunya alasan. Seperti
motivasiku untuk bangun pagi yang hanya bertujuan untuk segera membuka ruang obrolan yang sempat
kutinggal semalam. Alasanku meminum kopi supaya mataku yang lelah seharian tidak terlalu kepayahan
ketika menemanimu begadang. Tentang baterai ponselku yang selalu penuh sebab tak ingin melewatkan
kesempatan mengobrol dengamu. Nada dering yang disetel keras-keras agar semua notifikasi dari akun
sosial mediamu tak kulewatkan. Alasanku membaca ulang buku-buku lama tersebab kamu mengangkat
tema obrolan dari salah satu kutipan di buku itu. Atau bahkan berpura-pura paham dengan hal-hal yang
minta kamu diskusikan, padahal aku sama sekali tidak paham tentang itu. Cuma biar kelihatan keren
saja, kelihatan pintar dan tidak memalukan. Tanpa sadar, denganmu aku sudah melepas apa yang
melekat dalam diriku. Bersamamu aku menjadi orang lain.

Anda mungkin juga menyukai