Anda di halaman 1dari 5

Eccedentesiast

‘biarkan aku mencintaimu dengan caraku


sendiri. Ungkapkan segala apa yang kurasa
dengan kata-kata, supaya tak habis kau
baca jka suatu saat kita tak lagi bersama.
Sebab ku tau memoriku tak cukup banyak
mengingat yang telah lalu’. Aku hanya
mengekspresikan rasa kehilanganku pada
musim hujan Mei lalu. Dan segala rindu yang masih membekas pada Juni itu.
Kehilangan sesuatu yang sebenarnya tak kubiarkan hilang. Namun apa daya?
Perasaanmu tak lagi memihak. Aku memilih pergi- demi bahagiamu. Bukankah cinta tak
harus memiliki? Kiranya aku tak dapat memilikimu lagi, biarkan aku mencintaimu hingga
waktu yang memintaku untuk mengakhiri rasaku. – (M.A)

Ada yang belum tuntas di akir bulan ini, sementara Desember sedikit lagi ingin
tampakkan dirinya. Apa yang belum tuntas? Tentu saja rinduku. Atau mungkin
perasaanku terhadapmu. Aku duduk termangu di teras kelabu dalam suasana sendu
sembari memandangi jilbab bercorak cantik pemberianmu Mei lalu.

Sayang sekali kisah itu kandas begitu saja. Padahal aku menobatkanmu sebagai
seseorang yang sangat berarti. Aku ingat sekali ketika itu raja siang tampak
menyaksikan dua sejoli sedang diam terlibat perang perasaan. Aku diam, dan kau
diam. Sama-sama tiada yang ungkapkan. Sebenarnya aku tau apa yang terjadi.
Berminggu-minggu merasakan perubahanmu, meyakitkan. Hubunganku kian hambar
dan diambang. Sementara kamu? Hanya diam tanpa penjelasan. Dekat secara fisik,
namun secara emosional kita jauh sekali. Sangat jauh.

“Masih nyaman sama aku?” tukasku berat hati menatap lekat matamu yang bening.
“Kok ngomongnya gitu?” membalas tatapanku.
“Nggak, nanya aja..”
“Masih sayang?” tanyaku lagi.
“Masih lah.. kenapa sih nanya kayak gitu?” tangan lembutmu berusaha menggenggam
tanganku, sesekali tangan lembutmu menyentuh pipiku. Ya! Pada akhirnya sentuhanmu
meredakan amarahku yang hampir saja meledak.

“Udah sore, pulang aja gih!” kataku tak ingin memperpanjang masalah.
“Ngusir nih?” candanya berusaha mencairkan suasana.
Motormu melaju perlahan, meninggalkan senyum manis, mungkin merupakan senyum
terakhir yang masih bisa kupandangi sebelum dirimu memutuskan pergi nantinya. Kita
pun berlalu. Kehadiranmu sedikit demi sedikit luput dari pandanganku. Pembicaraan
singkat itu disaksiskan oleh deru kendaraan yang sliweran. Aku heran. Apa dia tidak
meraskan kejanggalan dalam hubungan? Sempat-sempatnya berlaku biasa saja seperti
tiada apa-apa. Sepanjang perjalanan pulang kepalaku masih terngiang tentang
perempuan itu dan mataku dihiasi kristal yang akan menumpahkan segala isinya.
Mungkin dia tidak tau, kalau sebenarnya aku selalu mencari tau sebab-sebab
perubahan sikapnya, meskipun sebagian ada yang kurasakan sendiri. Sikapnya dingin,
padahal aku selalu ingin bertukar kabar secara wajar. Satu minggu tak berkabar
rasanya ada yang berbeda, hubungan kian terasa hambar. Aku selalu ingin tau
keadaanya dan aktivitasnya. Tetapi aku tak lupa selalu ingatkan dia untuk beribadah.
Sebab, aku sangat peduli akan hubungan dia dengan Tuhannya. Musim hujan kali ini
tak berarti apa-apa. Aku tetap merasakan kemarau yang gersang. Aku haus kasih
sayangnya. Aku rindu. Bukan rindu lama tidak bertemu, melainkan rindu diperlakukan
hangat seperti dulu. Duhai kasih? Ingin rasanya aku memelukmu sekali lagi untuk yang
terakhir kali, sebelum kau memutuskan untuk pergi.

Aku tiada bisa menyalahkan siapapun perihal rasamu yang tak lagi berpihak padaku.
Entah aku yang terlalu sibuk dan tak punya waktu untukmu. Atau mungkin kau tak lagi
bisa bertahan denganku, sebab aku membuatmu bosan. Atau mungkin ada dia yang
lebih bisa membuatmu bahagia? Iya dia yang selalu ada untukmu sementara aku tidak.
Dia yang lebih sempurna dariku, sementara aku hanya mengandalkan ketulusan untuk
tetap bertahan dalam hubungan. Ketahuilah, setiap detik ingatanku selalu tertuju
padamu. Sungguh! Teriris sekali ketika kutau kau lebih nyaman dengan yang lain
sementara saat itu aku adalah kekasihmu.

Kekasih? Iya kekasih, tetapi seperti orang lain. Jika seseorang benar-benar mencintai,
ia pasti tak punya niat di hati untuk cari pelarian. Kendati aku sibuk, kau tau apa yang
selalu kupikirkan dalam kesibukanku? Mengecek handphone untuk sekedar menunggu
kabarmu, ingin selalu tau segala keadaanmu. Saat jauh darimu, aku merapal do’a yang
selalu kujadikan perbincanganku dengan Tuhan.

Cintaku tak sekonyol yang kau kira. Aku tak pernah main-main dengan perasaan. Tetap
setia walau diabaikan mungkin suatu kebodohan. Adakalanya aku berhenti. Yang setia
memang tak akan pergi begitu saja. Aku tidak pergi, namun aku membiarkanmu pergi.
Kepergianku ini bukan kemauan murni dari diriku. Melainkan kepergianku ini
merupakan suatu kebutuhanmu. Kebutuhanku untuk bahagia dengan yang ain,
kebutuhanmu untuk mewujudkan segala keinginanmu yang sebelumnya tak pernah
bisa kau wujudnkan denganku. Menyadari pula bahwa kau bisa lebih bahagia tanpaku.
Walau kutau merelakanmu merupakan hal yang tak pernah kuinginkan. Ini yang kau
mau bukan?
Detik kehilanganmu pun tiba. Menangis, dan berteriak pun takkan mengembalikan apa
yang telah hilang. Aku yakin kau pasti ingat berapa kali sering kukatakan padamu
bahwa aku benar-benar takut kehilanganmu bukan? Sungguh? Secepat inikah kisah ini
menjadi kenangan, yang memang pada hakikatnya abadi hanya untuk dikenang? Kau
juga pasti ingat ketika aku meronta-ronta padamu bahwa aku benar-benar takut
kehilanganmu, dan terus memohon padamu untuk tetap berada di sampingku. Pada
akhirnya aku lelah memaksamu untuk tetap mencintaiku, lelah untuk mengubah rasamu
seperti saat pertama kita bertemu, yang menetap abadi saat ini adalah rasa sayang
untukmu. Walau berkali-kali kau buat lebam perasaanku, tetap saja rasa ini takkan
goyah. Dan akhirnya kisahku luntur di masa ‘Putih Abu Abu’.

Padahal kita sering bertemu. Tetapi kenapa dekat terasa jauh? Membuatku yakin
mungkin itulah saat-saatku harus melepasmu. Saat aku tak lagi menjadi prioritasmu,
aku merasa kecil sekali kehilangan satu hal yang benar-benar membuatku merasa
paling berharga. Saat aku bukan lagi dermaga yang kau buat berlabuh, saat itu pula
aku sadar; aku harus membiarkanmu berlabuh di tempat yang lain. Saatku bukan lagi
rumah yang akan kau kunjungi untuk pulang, saat itu pula aku sadar bahwa aku yang
harus pergi menyadari bahwa hatiku tak ingin lagi kau singgahi. Saatku bukan lagi yang
kau inginkan, saat itu pula aku sadar; bahwa cinta tak bisa dipaksa. Adakalanya aku
mengerti dan tahu diri, bahwa tidak seharusnya aku memaksamu untuk tetap
mencintaiku seperti dulu lagi.

Memang betul adanya, melepasmu itu merupakan sesuatu yang menyakitkan. Kau tau
apa yang kurasa? Perasaanku hancur lebur tak karuan. Pelangi yang tadinya
menghiasi berubah menjadi gemuruh yang kubenci. Jika rasaku tak terlalu dalam
untukmu, mungkin tak sesakit ini yang kurasakan. Jangan kau kira di balik sikapku yang
biasa-biasa saja, bukan berarti aku tak menyimpan segudang nestapa. Awalnya, aku
tidak bisa bahagia ketika melihatmu bahagia dengan yang lain. Tapi, apa lebih tidak
bahagia jika bersamaku kau tidak bahagia? Bukankah cinta itu bahagia jika melihat
yang dicinta bahagia? Bahagiamu itu bahagiaku, meski kebahagiaanmu tanpa diriku.
Ketika aku sadar bahwa kau pun berhak bahagia. Ketika itu pula aku siap melepasmu
untuk bahagia. Dan satu-satunya cara membuatmu bahagia yaitu dengan
membiarkanmu – merelakanmu bahagia dengan dia.

Ketika aku melepaskan seseorang bukan berarti aku berhenti mencintai. Melainkan
lebih kepada menyadari bahwa kehadiranku tiada menciptakan arti lagi, dan aku juga
bukanlah satu-satunya di hati. Menyadari pula bahwa aku bukan penyebabmu bahagia.
Cara mencintai paling baik ialah mengikhlaskannya bahagia. Seharusnya kita tak
menuai peretemuan itu, jika pada akhirnya ada satu hati yang berat untuk menerima
perpisahan.
Kini, yang kujuluki sebagai Pewujud Imajinasi itu lenyap sendiri. Kalimatmu “ingin
bersamamu selamanya” kurasa sudah kedaluwarsa. Derai airmata yang mengalir tak
kuasa kubendung sendirian. Andai kau mengerti betapa tersiksanya hati ketika aku
harus menerima kenyataan bahwa aku benar-benar kehilanganmu, dan kau benar-
benar h i l a n g.

Kehadiranku yang luput dari pandanganmu mungkin tak berarti apa-apa, kau hanya
menganggapku seperti angin lalu. Sebab, sebelumnya aku memang tak pernah benar-
benar ada dalam hatimu. “Pergilah sayang..”

Perasaanku bergelayut. Pada rindu yang semakin akut. Rindu pada seseorang yang
pernah membuatku terpaut. Aku terlanjur mematrikan rasa di hati, sehingga namamu
sampai saat ini masih bersemayam di hati. Maaf, aku terlalu dalam tenggelam sehingga
aku lupa caranya harus pulang. Seandainya rindu itu debur pasir mungkin ia akan lebih
mudah hilang diterpa buih ombak pinggir pesisir. Seandainya rindu itu embun pagi,
mungkin matahari akan lebih mudah mengikisnya. Seandainya rindu itu senja, mungkin
malam akan lebih bijak mengajaknya berpamitan. Tapi rindu tetaplah rindu, suatu
hasrat yang tiba-tiba muncul saat menginginkan sesuatu yang pernah ada. Kali ini ia
murni menghantui malamku.

Di awal-awal minggu kehilanganmu, rinduku memang masih menderu dan menggebu.


Ketika rindu datang menghampiri, aku selalu pejamkan mata sebagai pengganti.
Kepulan rindu yang ada kian tebal, sebisa mungkin aku harus menyekanya, pada
akhirnya kuutarakan rindu pada angin malam yang dengan tenang membawanya
hilang. Sebenarnya aku ingin sekali ungkapkan rindu ini padamu, tetapi aku tak mampu
mengungkapkannya. Melihat kondisi kita yang tak lagi SATU.

Di luar, rintik hujan masih terdengar jelas. Mataku sembab lagi, tangisku bersahutan
dengan hujan. Aku termangu dengan dagu yang menempel di lututku yang tertekuk,
sementara pelukanmu kala itu masih membekas hangat di tubuhku malam ini.
Memandangi hujan yang menurutku kini tak lagi menampakkan kesan bahagia. Dulu,
melihat hujan adalah kamu. Aku hanya sanggup menggigit bibirku kuat-kuat, sesekali
aku memajamkan mata atau mengerjapkannya. Aku tak boleh menangis lagi, lirihku
pelan.

Salahku dulu terlalu meyakini bahwa kau benar-benar mencintai sepenuh hati. Salahku
terlalu bahagia hingga tak sempat kupikirkan duka. Kenangan menghujam pikiranku
untuk kembali mengingat-ingat yang telah berlalu. Karena hujan adalah, saat-saat untuk
mengingatmu; mengingat semua yang telah terlewati. Tentang rintik yang membaca
setiap tawa, canda dan kebersamaan yang sempat kita alami. Rintiknya menjadi saksi,
bahwa kita pernah berada dalam satu cerita. Yaitu cerita bahagia. Kenangan itu masih
tersimpan rapi. Kau ingat? Saat menunggu reda terlalu lama, pada akhirnya melawan
hujan adalah jalan satu-satunya. Aku tak peduli berapa buku pelajaran yang basah, tak
kupikir betapa dingin – menggigil yang kurasa. Malam ini aku terisak ketika aku
mendengar kabar bahwa kehadiranku tegantikan begitu cepat dengan orang yang baru.
Selamat atas kemenanganmu! Semoga kau lebih bahagia bersamanya.

Aku menghentikan lamunanku. Kuhapus segala Kristal yang membanjiri wajahku sejak
tadi. Langkahku gontai menuju kamar. Kuraih notebookku, jariku melangkah ke salah
satu folder yang di dalam folder tersebut terdapat 70 lembar cerita ukuran A5,
rencananya cerita itu masih ingin kuperpanjang Lembaran itu berisikan cerita tentang
‘kita’ berdua. Tadinya, lembaran cerita itu akan ku kemas – kubukukan menjadi Novel
dan kuberikan padamu tepat di hari ulang tahunmu. Namun, kini cerita itu hanya
mampu kupandangi di kasur. Jemariku berhenti menari semenjak kita tak lagi berada
dalam satu cerita. Pupus sudah.

Biar perih, tetap kubawa lari untuk menyongsong bahagianya hidup. Walau pilu, aku
benar-benar tak menyesali pernah mengukir bahagia itu denganmu. Yang membuatku
kecewa diawal adalah terlalu berharap tentang ‘kita’, sementara kamu tak mau terlibat
dalam harap tersebut. Berbahagialah dengan caramu – dengan dia yang lebih baik
dariku. Maaf tak pernah jadi apa yang kau mau, maaf pula tak pernah jadi penyebab
bahagiamu. Maaf sekali. Aku tak tau kapan rasa ini akan berhenti. Atau bahkan
nantinya aku akan tetap mencintaimu dalam diam? Diam merapal do’a dan
kuperbincangkan dengan-Nya.

Anda mungkin juga menyukai