Anda di halaman 1dari 4

Laki-laki yang Tersedu

Puthut EA

Ada sebuah peristiwa di mana aku tahu, semenjak itu terjadi, aku tidak akan lagi menemukan
sebuah pagi yang membahagiakan. Peristiwa itu menggenapi rentetan peristiwa sebelumnya,
menyempurnakannya dalam satu rumus kesedihan yang tidak terelakkan. Tidak ada lagi
harapan. Tidak ada rumah yang hangat. Tidak ada anak-anak yang berteriak girang dan sehat.
Tidak ada seorang laki-laki yang memelukku dari belakang, mencium punggungku, dan
membisikkan kalimat sayang.
Aku tumbuh nyaris tanpa orangtua. Sejak kecil aku hanya hidup dengan seorang nenek yang
keras kepala dan surat-surat dari jauh, kabar dari orangtuaku. Nenekku mempertahankanku
sebagai cucu semata wayang untuk tidak bersama orangtuaku yang menempuh hidup di dunia
yang jauh. Dunia yang jauh dari jangkauan dan alam pikir nenekku. Ia berpikir hidup adalah
sesuatu yang bisa diteruskan. Ia, nenekku, berharap aku adalah sosok yang bisa meneruskan
kehidupannya. Kehidupan yang tidak bisa kumengerti.
Dan aku hidup dalam hening dan sepi yang melilit. Di sana aku tumbuh, menjalar, menggapai
sesuatu yang serba lamat-lamat. Rumah tua besar yang angkuh dan sepi. Seorang perempuan
tua yang nyinyir, dan surat-surat yang tidak memberitakan apapun selain kabar bahwa
mereka berdua, orangtuaku, baik-baik saja dan selalu rindu. Tapi apa yang kupahami dari
surat-surat yang hampir sama itu? Tidak ada.
Lalu aku tumbuh menuju remaja. Seorang gadis, yang kata beberapa teman, cantik dan aneh.
Pergi ke sekolah, pulang, pendiam, tidak banyak teman. Seorang gadis remaja yang
menyusuri jam-jam penuh dengan kelelahan tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Aku
merasa tidak punya modal untuk memulai sebuah pergaulan. Aku tidak mempunyai sesuatu
sebagai tiket masuk dalam sebuah dunia yang renyah.
Hingga seorang laki-laki memasuki duniaku seperti petasan yang membangunkan seseorang
dalam tidur resahnya. Aku merasakan waktu itu sebagai anak tangga baru yang bisa
kutempuh. Aku berharap bisa menemukan sesuatu yang selama ini kuharap, semacam
perlindungan dan rambatan. Tapi ternyata tidak. Aku justru memasuki pintu sedih berikutnya.
Masuk ke dalam lorong gelap teror dan ketakutan.
Ia hanya memenuhi hidupku dengan ancaman-ancaman dan persetubuhan yang ganas. Ia
membawaku lari dari kehidupan nenekku, meninggalkan sebuah ruang sepi yang kubenci tapi
membawaku dalam gelap yang lain. Kamu tahu aku tidak mempunyai apa-apa bahkan
sekadar kenangan yang menyenangkan tentang hidup ini. Harapan tentang seseorang yang
melindungiku lenyap dan digantikan dengan perasaan bahwa hidup ini tak lebih dari rentetan
kisah sedih yang terasa panjang. Laki-laki itu terus melempar teror dari segala yang ada di
dirinya. Mulutnya mengeluarkan kalimat-kalimat pedih, penghinaan, ancaman maut, dan
gigitan di tubuh saat ia meregang memuntahkan hasrat yang aku tidak pernah bisa
merasakannya. Tangannya begitu ringan mampir di tubuhku meninggalkan bilur-bilur
kesakitan. Aku larut di sana, dalam hari-hari yang penuh dengan siksaan.
Hingga kemudian aku hamil dan ia menikahiku. Secercah harapan muncrat. Siapa tahu
dengan kehamilanku, ia bisa sedikit menganggapku bahwa aku masih manusia, setidaknya
karena di dalam rahimku ada benih kehidupan darinya. Tapi ternyata tetap tidak. Aku adalah
gelap itu sendiri.
Ia tetap datang dengan kelakuan iblis yang sama, bahkan ketika aku melahirkan, ia hanya
menengokku sebentar, tak ada kecupan selamat dan wajah bahagia yang kutangkap.
Kelahiran itu tidak memberiku berkah apa-apa. Tidak ada tangan gaib yang membelaiku
sesaat karena aku telah menimang buah kehidupan yang lain. Tidak ada janji Tuhan pada
umatnya seperti yang ada di kitab-kitab. Tidak pernah ada buah dari kesabaran dan
penderitaan yang panjang. Tidak pernah ada.
Kelahiran bayiku itu justru hanya semakin mengukuhkan aku tidak punya apa-apa, juga hak
untuk membunuh diriku sendiri. Ketika perasaan ingin mengakhiri hidup ini datang padaku,
wajah bayi itu mengurungkannya. Aku berpikir, bayi itu juga tidak akan punya siapa-siapa
dan tidak punya apa-apa jika aku meninggalkannya. Kemudian aku belajar menaruh harapan
pada bayi itu. Aku mencoba merawatnya dengan baik di tengah kepungan marabahaya yang
bisa datang kapan saja dari laki-laki itu.
Laki-laki itu bisa datang pada tengah malam, membangunkanku dengan paksa,
menyetubuhiku, meregang lalu tidur dalam lelah. Laki-laki itu bisa datang di pagi benar,
membanting piring sebab tidak ada makanan di meja makan, menyetubuhiku, meregang lalu
tidur dalam lelah. Laki-laki itu bisa datang di siang hari, menghinaku karena aku tidak
mendatangkan uang, karena aku tidak punya bentuk tubuh yang bagus, kemudian
menyetubuhiku, meregang lalu tidur dalam lelah. Laki-laki itu bisa datang di sore hari,
memukuliku hanya karena aku habis mandi dan dia mengatakan bahwa pasti aku berdandan
karena sedang berselingkuh dengan laki-laki lain, menyetubuhiku, meregang lalu tidur dalam
lelah. Laki-laki itu bisa datang…
Jika kamu bilang bahwa hidup itu jalinan antara kesedihan dan kebahagiaan, katakan saja itu
pada orang lain. Jangan katakan padaku. Jangan pernah. Aku tidak percaya.
Ketika bayiku mulai tidak menyusu, aku sempatkan diri untuk bekerja membuat kue dan
mengedarkannya di warung-warung terdekat. Usahaku itu mulai tumbuh membesar seiring
dengan besarnya anakku. Aku pikir, ini saatnya aku bisa menapaki hal baru dalam hidupku,
setidaknya untuk anakku kelak. Tapi tetap saja tidak. Ketika aku pulang dari mengantarkan
kue, dari pintu depan aku dengar suara anakku yang menangis kencang, dan ketika kubuka
pintu kamar… laki-laki itu sedang bercinta dengan seorang perempuan di samping anaknya
yang menangis karena kehausan. Aku mendatangi mereka dan kutampar wajah laki-laki itu,
lalu kubawa pergi anakku. Selesai sudah.
Selesai sudah? Ah, tidak. Aku pergi jauh. Berpindah dari satu kota ke kota yang lain dengan
dikuntit oleh perasaan tak aman dan teror hitam kenangan, dengan uang yang tak seberapa di
tangan. Hingga kemudian aku memutuskan untuk menetap di sebuah kota, berharap bisa
membangun sesuatu yang baru bersama dengan anakku yang baru bisa menyebut kata:
mama…
Aku membuat lagi kue, mengedarkannya sambil tetap membawa anakku kemana saja.
Hingga kemudian aku bisa menyewa rumah, menggaji orang untuk sebentar saja menjaga
anakku sebab bisnisku mulai berkembang dan semakin jauh edarannya. Sedikit demi sedikit
biji harapan mulai keluar dari tanah kenangan yang kejam dan tandus. Tapi itu semua belum
juga berakhir.
Seperti kepulangan yang dulu, ada suara berdengung di telingaku yang memaksaku pulang
lebih dulu, dan kudengar tangis anakku dari jauh sambil menyeru-nyeru kata “mama”
berulang-ulang. Orang yang menjagaku menggigil di depan pagar, ketakutan. Aku masuk
rumah dan kudapati beberapa orang berada di dalamnya. Salah satunya adalah laki-laki itu
yang sedang mendekap keras anakku yang berusaha meronta dan menangis tapi tetap tidak
bisa lepas dari dekapan laki-laki itu. Aku tahu, sesuatu yang lebih buruk sedang menungguku.
Rombongan orang itu membawaku pergi dengan pesan yang terngiang dari laki-laki itu agar
aku menyelesaikan urusan perceraianku dengannya.
Tentu, aku menceraikannya. Tapi bukan itu, ia juga mempermasalahkan hak asuh anakku.
Dan itu artinya aku harus melalui proses peradilan yang panjang dan bertele-tele. Aku sudah
tidak punya tenaga lagi, dan terutama, aku tidak punya uang. Lalu kuputuskan untuk pergi
melayang tanpa arah. Setiap kali aku mencoba untuk membunuh diriku sendiri, wajah anakku
memberatiku. Padahal aku tahu, aku tidak pernah bisa bertemu dengannya lagi.
Ini adalah dua tahun kepergianku, dan baru kali ini aku bisa menceritakan kisahku. Hanya
padamu.
Aku tidak tahu kenapa aku harus bercerita padamu. Dan aku tidak tahu untuk apa aku
menceritakan ini semua. Kamu mungkin bisa mendapatkan kisah-kisah yang jauh lebih sedih
di buku-buku cerita atau di film-film. Tapi… Ah, aku tidak tahu… seharusnya kata “tidak”
saja sudah cukup.
Semua hal di atas kuceritakan pada seorang laki-laki yang belum begitu kukenal. Semua itu
berawal dari ketika aku akan menyeberang jalan menuju ke sebuah stasiun. Dari stasiun
kulihat dua laki-laki, yang satu kemudian menyeberangi lalu lintas yang padat, sementara aku
masih sibuk untuk berusaha mencari celah agar aku bisa segera menyeberang. Rupanya agak
jauh dari tempatku ada seorang perempuan tua yang juga sedang berusaha untuk
menyeberang jalan. Ternyata laki-laki itu hendak menolong perempuan itu untuk
menyeberang. Waktu itu aku hanya membatin, ternyata masih ada orang yang agak baik di
dunia ini.
Di peron, aku melihat lagi dua laki-laki itu. Kemudian kulihat laki-laki yang tadi membantu
menyeberangkan jalan perempuan tua, berjalan menuju pojok stasiun menghampiri seorang
nenek penjual kacang rebus. Laki-laki itu kulihat balik dengan membawa bungkusan penuh
dengan kacang. Aku mendengar kawannya bertanya, “Untuk apa membeli kacang sebanyak
itu?” Dan aku mendengar jawaban yang keluar dari mulut laki-laki itu, “Kamu bawa pulang
untuk teman-teman. Nenek itu hebat, ia perempuan hebat.” Selanjutnya, pengumuman kereta
yang kutunggu datang.
Ternyata laki-laki itu satu gerbong denganku bahkan ia berada satu deret di sampingku. Di
antara kami hanya dipisahkan oleh seorang ibu berkerudung yang duduk di sampingku,
sebuah lorong, dan seorang laki-laki tua yang sering batuk di sampingnya. Kami sama-sama
dekat dengan jendela. Dari bayang jendela di sampingku, aku melihat ia melambaikan tangan
pada temannya yang ternyata hanya mengantar.
Aku tergeragap dari lamunanku ketika ibu di sampingku berteriak setengah menangis pada
kondektur yang sedang memeriksa tiket, ternyata tiket ibu itu ketinggalan. Aduh, sungguh
kasihan sekali, dan tentu ibu itu tidak mungkin berbohong. Sebelum suasana bertambah
runyam, laki-laki itu berdiri lalu mengajak kondektur dan ibu itu ke arah belakang untuk
berbicara bertiga. Entah apa yang mereka bicarakan di sekat antargerbong, semua orang yang
duduk di gerbong itu ingin tahu. Tapi tentu kami tidak bisa mendengar apa-apa. Hingga
kemudian mereka bertiga berjalan kembali, pemeriksaan tiket dilanjutkan, ibu itu
mengucapkan terima kasih berkali-kali ke laki-laki itu, lalu tertidur. Dan laki-laki itu tetap
terlihat tenang seperti tidak ada kejadian apa-apa dan di sepanjang perjalanan ia membaca
buku. Sedangkan aku terus dibawa oleh pikiran ke masa lalu yang rasanya tidak akan pernah
selesai membuntutiku.
Kereta berhenti. Orang-orang bersiap turun. Aku agak kesulitan menurunkan barang
bawaanku yang kutaruh di atas, sebuah tas besar berisi pakaian yang akan kujual di kota ini.
Aku memang berdagang pakaian untuk mempertahankan hidupku dan mengisi hari-hariku.
Tapi tiba-tiba sebuah tangan mengambil tasku sambil sebuah suara mengiringi, “Saya bantu,
Mbak.”
Aku menoleh kaget. Laki-laki itu seperti tidak peduli lalu menurunkan bawaanku, ia menoleh
ke arahku sambil berkata lagi, “Mau keluar lewat pintu depan?” Sambil bingung aku
mengangguk. “Kalau begitu biar saya bawakan saja.” Dan aku menurut tanpa bisa berkata
apa-apa.
Sampai di depan stasiun, ia bertanya, “Mau naik taksi atau ada yang menjemput?” Aku masih
belum bisa mengatasi rasa bingungku dan berusaha menjawab, “O, tidak, saya naik angkot
saja.”
Kulihat ia mengernyitkan mukanya, lalu tersenyum sambil berkata, “Hari ini angkot di kota
ini mogok.” Aku bingung, lalu buru-buru bertanya, “Anda tahu dari mana?”
Ia meletakkan tasku di lantai lalu duduk dan menjawab, “Dari koran.” Aku belum sempat
memberi respons atas jawabannya ketika ia kembali bertanya, “Mbak mau ke arah mana?
Sebentar lagi saya dijemput oleh teman dengan mobil. Kalau kita satu arah, bareng saja,
Mbak.” Aku masih belum menjawab ketika seorang laki-laki datang lalu mereka berpelukan
erat dan berbagi kabar. Mungkin ia yang dimaksud dengan kawan yang akan menjemputnya.
Lalu ia berbisik ke temannya, dan kemudian temannya menghampiriku dengan senyum dan
bertanya, “Mau ke arah mana, Mbak?” Dengan agak gugup aku memberitahu tempat yang
kutuju. Lalu laki-laki itu berkata, “O, itu satu arah dengan kami, Mbak. Mari bareng saja.”
Aku belum juga sempat berkata apa-apa ketika laki-laki yang satu kereta denganku itu
kembali membawakan tasku dan memberi anggukan untuk mengikuti mereka berdua.
Dari pertemuan itulah, aku mengenal laki-laki yang sekarang sedang kuhadapi. Semenjak
peristiwa itu, kami sering berhubungan, kadang ia menelepon, bahkan kadang ia mampir di
tempat tinggal sementaraku jika aku ada di kota ini. Beberapa hari yang lalu, ia bertanya,
apakah suatu saat aku bersedia untuk diajak makan malam? Dan seperti sebelumnya, aku
tidak punya jawaban apa-apa selain mengangguk.
Malam ini, ia mengajakku untuk keluar makan malam. Di sebuah ruang yang agak sepi,
sebuah kalimat yang sungguh mengagetkan meluncur dari mulutnya: ia menginginkanku
menjadi kekasihnya! Aku seperti sesak napas seketika. Duniaku terasa kembali dalam gelap.
Ah, tidak, aku tidak boleh mempunyai harapan lagi pada hidupku kali ini. Aku tidak ingin
ada yang ikut menanggung lukaku. Tetapi sepasang mata yang tajam dan tulus itu
menggedor-gedor pintu harapanku, dan keinginan untuk hidup dalam hari yang
menyenangkan menekan kuat dari dalam diriku. Ah, tapi tidak. Dan kata “tidak” itu yang
kemudian keluar dari mulutku.
Ia angluh. Mukanya tertunduk. Tapi kemudian kembali tegak, berusaha tersenyum. Dan ah…
ada air mata di kedua sudut matanya. Lalu dari mulutnya meminta sedikit alasan dariku
mengapa menolak permintaannya.
Aku kemudian menata perasaanku. Dengan perasaan yang tidak menentu, aku membuka
sejarah yang ingin kubuang dalam hidupku. Di depanku, laki-laki itu tersedu sembari sesekali
menggenggam tanganku. Tapi aku tahu, setelah cerita ini semua, ia hanya bisa tersedu. Tidak
akan lebih dari itu sebab ini bukan kisah di buku-buku cerita dan di film-film. Dan ia
memang hanya bisa tersedu. Tidak lebih.[]

Anda mungkin juga menyukai