Anda di halaman 1dari 8

YANUSA NUGROHO

Setubuh Seribu Mawar


Date: June 13, 2011Author: lakonhidup4 Comments

6 Votes

Cerpen Yanusa Nugroho (Koran Tempo, 12 Juni 2011)

“JANGAN pernah mempercayai kata, sebelum kau mengenali maknanya. Dan jangan
pernah menganggap kau bisa memaknainya, sebelum kau mampu merasakannya,”
kera tua itu berkata, sambil mengerkah jambu biji merah.
Sekujur tubuhnya ditumbuhi beribu helai perak, sehingga siapa pun di rimba itu akan
dengan mudah menyebutnya sebagai kera cahaya.

Sebagian hewan yang mendengar ucapannya terangguk-angguk tak paham. Sebagian


yang lain hanya tersenyum dan menganggapnya sebagai bualan makhluk yang pikun
dan kesepian.

“Ayo, masuk. Sudah berapa kali ibu bilang, jangan dengarkan ucapan dia,” seekor ular
menghardik anak-anaknya, sambil menggiring mereka memasuki lubang.

“Kenapa? Dongeng kera itu bagus-bagus, Bu,” sela yang paling kecil agak merajuk.

REPORT THIS AD

“Kau tahu, dia lebih tua daripada usianya sendiri. Itu sebabnya pikirannya jadi kacau
dan bicaranya meracau.”

“Tapi…,” si kecil hendak bersikeras, tapi si ular sudah terlanjur menggelandangnya


masuk liang.

“Hmm. Aku ingat, sepertinya kau mengulangi kata-kata seseorang?” terdengar suara
si gajah yang sejak tadi berendam di sungai dekat batang jambu biji itu tumbuh.

“Hahahaha. Kau memang layak dijadikan lambang ilmu pengetahuan. Daya


ingatanmu sangat besar. Benar, Kawan. Aku hanya mengulangi sebuah ucapan yang
ditulis entah oleh siapa.”

“Jadi kau bisa baca tulis?” celetuk seekor ulat bulu.

Si kera tak menjawabnya, asyik menikmati jambu biji yang kelihatannya manis itu.
Beberapa kera kecil menelan ludah, mencoba membayangkan kesegaran itu
menyegarkan kerongkongan mereka. Burung-burung kecil mencoba mencari-cari
kesempatan untuk mematuk satu atau dua remah kecil yang tersangkut di bulu sekitar
mulut si kera cahaya.
“Begini,” sambungnya tiba-tiba setelah menelan gigitan terakhir buah jambunya,
“sebuah anak panah hanya akan menjadi anak panah jika pertama-tama kau
merasakannya sebagai anak panah. Namun jika kau merasakannya sebagai mawar,
misalnya, dia pun akan menjadi mawar seutuhnya.”

Hutan senyap seketika. Angin seperti beku mendadak. Aliran air di sungai seperti
berhenti. Batu-batu seperti makin mengeras. Langit seperti menganga. Burung-burung
seperti hendak jatuh, karena sesaat lupa mengepakkan sayap. Tapi itu hanya sesaat.
Sesaat kemudian yang terjadi adalah sebuah ledakan besar. Ledakan gelak tawa luar
biasa. Air berjingkrak kegelian. Gajah tersedak air yang tiba-tiba melonjak memasuki
lorong belalainya. Batu-batu menggelinding dan saling membenturkan diri ke batu
yang lain. Langit terlalu terang karena matahari seperti melorot begitu saja ke bumi.
Burung-burung mengepakkan sayap kembali.

REPORT THIS AD

Kera tua itu menjadi bahan olokolok seluruh dunia. Ucapannya yang sebetulnya lahir
dari kesungguhannya, ternyata hanya membuahkan gelak tawa penghinaan. Tetapi dia
sudah tua dan paham benar muara setiap persoalan. Karenanya, dia tenang-tenang
belaka, pura-pura mencari kutu, itu pun kalau masih ada kutu yang mau melekat di
tubuhnya.

“Jadi,” kata si kuda betina, sambil menahan tawa, “kalau si kambing jantan ingin
menunggangiku, aku harus merasakannya sebagai si banteng, dan jadilah dia banteng,
begitu maksudmu?”

Gelak tawa kian menggila. Si kambing memelototi siapa saja, terutama si kuda betina
yang kian liar menggoyangkan pantatnya.

“Kambing tetaplah kambing. Mana bisa jadi sebesar banteng?” Gelak tawa makin
membahana.

Hutan rimba riuh gaduh. Hanya keheningan yang menelusupi hati si kera cahaya. Dia
memilih pergi, mencari danau kesenyapan. Barangkali saja di sana tak ada sebisik pun
suara yang tak berguna. Diam-diam si gajah mengikutinya. Dan itu membuat si kera
tersenyum.

DIA tahu, gajah adalah makhluk pendiam dan pencatat peristiwa paling cermat. Daya
ingatnya yang tak tertandingi makhluk apapun di dunia ini, membuatnya memilih
menjadi batu bergerak yang seringkali diabaikan. Apapun yang tergores di benaknya,
akan abadi di sana.

“Apakah yang kau maksudkan tadi adalah kisah kematian seorang brahmana sakti
itu?” bisiknya di sela langkahnya yang berat.

Kera cahaya melompat ke punggungnya, dan sambil tiduran dia pun membenarkan
pertanyaan si gajah.

REPORT THIS AD

Konon, demikian si gajah mulai mengurai kisahnya, brahmana ini memiliki 105 orang
cucu. Padahal dia sendiri tak pernah merasakan kelamin perempuan. Keturunan itu dia
peroleh bukan melalui persetubuhan, tetapi melalui daya cipta yang kuat. Kekuatan
daya ciptanya memancar dan bersemi di rahim tiga perempuan suci.

Tapi kisah yang baru sepotong itu sudah dipangkas oleh bantahan si kera bahwa
bukanlah brahmana itu yang memiliki cucu, tetapi saudara sesusunya. Dengan
demikian anak dan cucu saudara sesusunya itu adalah juga keturunan si brahmana.

“Yang aku katakan tadi adalah apa yang kuketahui, bukan apa yang sebaiknya
kuketahui, Monyet,” ucapnya tenang. Si kera cahaya hanya tertawa girang.

“Lanjutkan.”

“Begitulah, waktu berjalan sebagaimana seharusnya dan nasib membentuk sendiri


kisah-kisahnya. Keseratus lima orang cucunya berselisih. Lima melawan seratus,
memperebutkan sebentang kerajaan. Si brahmana sedih. Dia merasa gagal menjadi
manusia karena seharusnya manusia adalah sumber ketenteraman di muka bumi,
bukan sebaliknya.”

“Tapi bukankah dia memilih memihak pada yang seratus? Bukan pada yang lima?”

“Benar. Apa salahnya dengan itu?” sahut si gajah tenang.

“Artinya, percuma saja dia sedih oleh selisih dan tikai jika pada akhirnya dia
menjalani juga apa yang tak diinginkannya?”

“Dan seingatku, bukankah kau ada di sana waktu itu, Monyet?” Si kera cahaya hanya
tertawa kecut, dia senang memancing-mancing di mana saja.

Ingatan si kera cahaya melayang ke beberapa ratus bulan silam. Semuanya seperti
segulung deluwang panjang yang menggelar kisah-kisah yang lama tersimpan di dunia
para makhluk bumi. Kisah-kisah itu berlompatan riang, seperti terbebas dari
pengapnya kebodohan. Bersusul-susulan cerita-cerita itu menerjang kenangan si kera
cahaya. Namun semuanya hanya seperti penari cantik yang hanya menggoda mata
dengan helai tipis penutup tubuhnya. Tak boleh ada yang menjamahnya dan tak
mungkin pula ia terjamah, hanya mata belaka yang boleh berzinah.

REPORT THIS AD

SATU kisah tiba-tiba diam bersimpuh di mata batin si kera. Kisah paling cantik yang
pernah dijumpainya. Hanya sepenggal percakapan di senja hari, ketika para kalong
keluar sarang dan para kerbau pulang kandang. Si kera gemetar.

Itulah senja ketika si kera duduk di sebuah dipan tombak dan anak panah di mana
terbaring si brahmana sakti. Keduanya terdiam. Si brahmana menatap langit berlapis
tujuh yang mulai gelap menembaga, sementara si kera cahaya memandangi bentangan
padang mayat dengan kepulan asap di sana sini.
“Jadi, kehancuran inikah yang kau maksud, wahai orang tua?” si kera bertanya
setengah menggumam.

Brahmana tua yang tubuhnya tersangga oleh tombak-tombak dan anak-anak panah itu
tersenyum, lalu balik bertanya apa yang dirasakan si kera. Dengan agak jengkel dia
pun bertanya apa sesungguhnya maksud si brahmana.

“Biarlah rasa menuntun makna dan makna menuntun kata,” ucapnya semanis madu
selembut embun saat subuh hari. “Jika kau merasakan kehancuran, maka kata yang
tepat untuk pemandangan ini bagimu adalah kehancuran. Namun aku merasakannya
sebagai pencapaian kepada pancamaya.”

Si kera tertegun. Sesaat nafasnya terhenti.

Menurut leluhur para kera, jin dan manusia, demikian kata brahmana itu selanjutnya,
pancamaya adalah rahasia ilmu abadi, yang hanya bisa dikupas dengan memadamkan
kelima daya inderawi. Dia tak bisa disebut dekat atau jauh, karena kedua kata itu tak
mampu menunjukkan keberadaannya yang sejati. Jika mata inderawi yang digunakan
untuk melihatnya, maka terbutakanlah mata itu untuk mencapainya. Jika telinga
inderawi yang digunakan untuk mendengarnya, maka hanya dengung sepi yang
mengumandang.

REPORT THIS AD

“Pancamaya?” ulang si kera kala itu dan brahmana tersenyum mengiyakan.

“Lalu apakah lima cucumu itu yang kau maksudkan? Bagaimana dengan yang
seratus?”

“Ah, kera buruk rupa dan keras kepala! Semua itu hanya sebuah kata. Kau
menyebutnya lima dan seratus karena matamu melihat dan otakmu menghitung.
Tinggalkan itu semua, karena hanya akan menipumu ke dalam kemayaan.”

“Ah, bingung aku.”


“Dasar bodoh. Kalau kau tak mau merasa, maka selama dunia ini tergelar, kau akan
tetap jadi kera.”

“Apa maksudmu? Aku saja ngeri melihat beribu anak panah menembus tubuhmu,
tombak mengoyak lambung dan dadamu, dan kau masih hidup. Apa kau tak merasa
sakit? Sederhana saja, bukan? Lantas untuk apa semua kengerian ini sementara kau
sekarat tak mati-mati?”

“Dengarkan baik-baik, monyet jelek. Demi melihat kebenaran aku bersedia


mematikan seratus rasaku. Demi menyibak pancamaya, aku bersedia menghancurkan
bukan hanya tubuhku. Apalah artinya usiaku, yang bahkan tak pernah kumiliki?
Apalah artinya setiap nafasku, yang juga tak pernah kukuasai? Dan jika hidup ini saja
rela kuhancurkan demi munculnya pancamaya, maka apalah arti seribu anak panah
dan tombak yang hanya mengoyak tubuh rentaku? Dan rasakan dengan cermat apakah
benar yang mengoyak tubuhku ini anak-anak panah? Apakah tak kau saksikan
sebetulnya tubuhku ini adalah sebidang taman bermawar merah yang membukit,
beribu mawar yang membuncah dengan suburnya dan mengharum ke angkasa raya?”

Seketika si kera jatuh dari punggung gajah. Si gajah hanya tersenyum karena dia pun
mengikuti ingatan si kera. Dengan diam-diam tentu saja. Itu sebabnya gajah tak
bertanya mengapa.

Sedikit merasakan sakit, si kera buru-buru memanjat punggung gajah kembali dan
menikmati keheningan.

“Kira-kira, apakah dia sudah mencapai pancamaya?”

“Mungkin? Kita tak pernah tahu. Mungkin saja dia masih minum-minum bersama
Attar si pengharum itu, bertukar jawab tentang sebuah nama yang tak satu pun lidah
makhluk bahkan mampu melafalkannya dengan benar.”

Kera cahaya, memerak putih bulu-bulunya, terdiam. Dia merasa sudah saatnya dia
menempuh jalan rasa, mematikan jalan kasat mata, menghidupkan pancamaya.
Bersama si gajah, kera cahaya itu berjalan menapaki jalan rasa sehingga matahari
menuntunnya sampai ke batas antara langit dan bumi maya. (*

Anda mungkin juga menyukai