Anda di halaman 1dari 29

Dijemput Mamaknya

HAMKA

Sudah dua tahun si Musa mencoba peruntungannya ke tanah Deli ini. Tetapi

orang lain juga yang pulang ke kampungnya membawa hasil, namun si Musa kian lama

kian terbenam jua di dalam kesulitan peruntungan .

Pada suatu hari dia bertemu dengan daku. Asal mula pertemuan kami itu biasa

saja. Kasur tempat tidurnya anak-anakku telah robek. Sudah berkali–kali Mak si

buyung mengatakan kepadaku bahwa sudah patut kain kasur itu diganti dengan yang

baru.

Tetapi permintaannya itu kulalaikan jua. Sebetulnya banyak tukang kasur yang

lalu–lintas setiap hari di muka rumah kami, dan Toko Kasur yang besar-besarpun ada

pula. Tetapi entah rezekinya pada suatu hari sebelum aku pergi ke tempat pekerjaan,

kelihatan olehku si Musa menyandang kain-kain bakal kasur yang akan dijualnya.

Setelah ia lalu di hadapan rumahku iapun kupanggil, kuberitahukan kepada

istriku bahwa tukang kain kasur telah ada. Maka terjadilah tawar- menawar.

Penawaran itupun bersetujulah. Maka mulailah diangkat kasur nyang telah usang itu ke

halaman rumah kami, akan diganti kainnya dengan yang baru dan akan ditambah

kapasnya.

Sebetulnya sudah lama aku hendak menuliskan peri penghidupan manusia, dan

sudah lama pula pembacaku menunggu gubahanku, sampai sekarang belum juga dapat

kususun. Hatiku malas pergi ke kantor, aku hendak melihat lebih dahulu bagaimana

caranya si Musa mengisi kasur itu.

Matahari ketika itu mulai meningkat naik, di antara pukul sembilan dengan pukul

sepuluh. Kulihat bagaimana tukang kasur itu bekerja, mula-mula dibongkarnya kapas,

sesudah itu diselesaikannya dengan tangannya, dan sesudah itu barulah diangsurnya

memasukkan segenggam demi segenggam ke dalam kain kasur yang baru itu.
Payah dia bekerja, mengalir keringathya memenuhi seluruh bajunya.

“Bagaimana pendapatmu menjual kain kasir ini, Musa ?” tanyaku dengan tiba-

tiba

“ah engkau ! berjual kain kasur adalah sebagai rezeki harimau. Kalau ada

pesanan atau ada orang menyuruh menukar kain kasurnya, waktu itu dapatlah berobat

jerih payah menjaja keliling kota. Tetapi dapatlah engkau pikirkan sendiri, beratus

banyaknya tukang kasur dan tidak beratus orang yang menghendaki kasurnya diganti.

kadang -kadang sekali tiga hari kadang- kadang sekali sepuluh hari. Labanya agak

bagus tetapi sekali keuntungan itu ialah buat makan empat dan lima hari. dalam pada

itu harus sungguh dan kuat pula menjaja ke mana -mana menyorak-menyeruhkan kalau-

kalau ada orang yang sudi menukar kain kasurnya dengan yang baru “

Lalu aku menjawab : ... salah tuan-tuanpun ada pula, pada muka tuan-tuan penjual

kasur kulihat kelah kesah saja. Kuliat kesedihan saja.

Alamat bahwa fikiran tuan-tuan pecah. Kebanyakan sebab itu saya lihat. Ialah

karena anak istri tuan-tuan tidak dibawa merantau ditinggalkan saja di kampung.

Sedang pulang ke kampung belum tentu akan tercapai sekali setahun. Padahal istri dan

anak di kampung itupun perlu jua tuan-tuan kirimi belanja. Alangkah baiknya kalau istri

itu dibawa serta ke mana kita pergi. Biar bagaimana susah kita,’ pikulan yang akan

dihadapi senantiasa ada dihadapan mata. Bila dia tinggal di kampung belanjanya

dikirimi jua. Sedang kalau dia bersama-sama dengan kita, belanja hidup akan sekian

jua, tidak berapa tambahannya, sedang hari di dalam mencari penghidupan tidak pecah,

kecewa, sedih dan kenang-kenangan tidak mengalir entah ke mana-mana.

Berapa pula ongkos harus tuan-tuan belanjakan tiap-tiap tahun, pergi manziarahi

pamili ke kampung. Padahal ongkos itu bisa dipergunakan buat hidup di sini. Apalagi

uang tidak pula sejinak dahulu lagi. Belum tentu tuan-tuan akan dapat pulang sekali

dahulu sebagai dahulu, karena begini seretnya penghidupan.”


Mendengar perkataanku itu dia mengeluh dan setelah mengeluh itu ia tersenyum

sedikit. Pecah rupanya pikirannya, sehingga terhenti ia mengisikan kapas itu ke dalam

kainnya. Sedang matahari bertambah tinggi dan panas juga.

Lalu dihelakannya tepi tikar pembentangkan kasur itu sedikit ke bawag pohon

seri, yang dibawahnya pula aku sedang duduk berlindung.

Perkataan engkau itu betul saja, telah saya cobakan ....... tetapi dalam perkara

yang demikian engkau, saya sudah ditimpa oleh perasaan yang tidak terpikul rasanya

dan pedih melukai hati.

Saya takut, nanti engkau ceritakan pula,” katanya sambil tersenyum.

Melihat senyum itu, akupun tahu bahwa ia lebih ingin kalau memang hal itu aku

ceritakan. Barangkali dengan jala”. Demikian hatinya akan dapat terobati

Sebetulnya istri dan anakku baru saja pulang kira-kira enam bulan yang telah

lalu,” katanya sambil mengisi kasur itu juga dengan gontainya.

Sebagimana yang engkau katakan itu telah saya cobakan. Kalau Sekiranya yang

orang lain kelihatan suka sekali merantau tidak membawa istri. Saya berpendapat lain

dari itu. Istriku telah kubawa merantau. Dua tahun lamanya kami hidup disini, dan

dalam dua tahun itu kami telah beroleh seorang putera. Walaupun pencaharianku hanya

dari p ada menjajakan kain kasur ini jua, pada masa itu hatiku merasa gembira dan

riang. Biarlah begini pekerjaan, mengalir keringat menentang panas, dari pagi sampai

petang menjaja dari lorong ke lorong mencari kalau ada kain kasur orang yang telah

tua dan busuk, yang akan diganti dan diperbaharui. Semua itu tidak terasa beratnya

bagi saya, sebab di rumah ada pengobat jerih pelarai payah. Saya percaya hati mudaku

dapat kutekuk, dapat kuperintah. Lantaran ada istri dan anak, dan saya insaf akan

bertanya tanggungan saya.

Tetapi maklumnya engkau, berdagang tidak bermodal ! dihutang duit kawan,

dibeli kain kasur” agak sekayu dipotong dan ............. diperbuat untuk kain kasur barang
dua kaki tiga kaki dan seterusnya . kadang-kadang terjual, kadang-kadang tidak.

Sedang orang lainpun banyak pula yang berjualan. Oleh sebab itu, hanyalah makan dan

minum yang terang dapat dicukupkan dengan penjualan itu, demikian juga sewa rumah

petak kecil tiap-tiap bulan. Lainnya adalah susah, kain baju susah mendapat.

Kain yang lekat dibadanku sendiri engkau, susahlah menggantinya kemejaku

telah robek. Tetapi istriku tahu kewajibannya. Diangsurnya menisik dan menjahit mana

yang robek itu, sehingga dapat juga kupakai. Celanapun demikian pula. Kubeli celana

hitam yang tegap supaya jangan lekas kentara kotorannya.

Kalau hanya sekedar dapat makan, apalah artinya membawa istri merantau?

Seketika dia lepas oleh ibu dan mamaknya menurutkan kita, pergi merantau jauh, ada

yang mereka harapkan dari kita. Pergi merantau jauh ada yang mereka harapkan dari

kita. Ada hendaknya bekas kita beristri kepada anaknya, terbeli hendaknya emas dan

dukuh puan ringgit. Dan kalau sekitarnya berhasil kelak, dibuatkan hendaknya rumah

barang seruang dua ruang.

Tetapi engkau jangankan gelang terbeli, atau dukuh paun tercarikan, pakaiannya

saja baru dua salin, bila dicucinya yang sesalin, dipakainya yang sesalin lagi, sedang

pakaian anakku ialah perca kain baju ibunya yang berlebih seketika menjahit.

Menjahitnyapun diminta tolongkan saja kepada seorang teman dengan tidak membayar

upahnya. Saya merasa berat sekali hal itu bagi istri saya.

Dia berninik bermamak, dia berkaum berkerabat, pengharapannya dan

pengarapan pemilinya besar kepadaku. Tetapi sekarang rupanya pengharapannya itu

menjadi angin saja. Bagai melantamkan bedil pecah, tidak kena apa yang dibidik.

Pulanglah awak tidak.” Kataku pada suatu hari ,,, indak katahan dikau siko” ( mari

sajalah kita pulang agaknya adinda tidakkan tahan menunggu selama ini ). Adinda

tertompang di biduk tiris pengayuh bilah entah bila akan terjejak tanah tepi,”
Apa pula yang abang sebut? “ Tanyanya kepadaku seakan-akan abang masih

belum tahun akan hati kecilku. Aku kepadamu sepenuh hati. Sakit dan senang kita

tanggungkan berdua, hidup sekali turun sekali naik. Kalau tak dapat pada masa kini,

kita tidak boleh putus pengharapan kita tunggu sampai lain hari abang jangan berpecah

hati.”

Katanya pula : ,, pecah hati menjadikan pekerjaan abang pecah dulu. Walau kita

akan terbenam dirantau ini bertahun – tahun, inilah nikmat di dalam hidup,”

Apa yang dikatakannya itu betul engkau. Walau melarat bagaimana pun hidup

kami merantau, bagi kami rasanya nikmat.

Tidak tertahan tidak tertanggung sakitnya hidup dikampung walaupun ada sawah

ladang yang akan dihadapi.

,,Mengapa begitu?’’ tanyaku

,, Istriku itu bersaudara perempuan bertiga. Suami kakaknya seorang saudagar

besar di Bengkulu, suami adiknya seorang saudagar barang hutan di kampung .

Cuma nasib istriku yang sial, aku yang diterima oleh mamaknya menjadi

suaminya.

Pada sangkanya bermula akan selamat sentosa anak kemenakannya di dalam

tanganku. Rupanya kehidupanku kian lama kian susah.

lama saya di kampung sesudah kawin. Kian lama belanja kian kurang, dengan

sayap yang singkat saya hendak mencoba terbang, dengan keadaan serba miskin saya

hendak ikut memasuki dunia orang lain. Ringgit pertahurkan hannya satu, itu saya bawa

kemedan hidup, sesudahnya saya ambil menjadi taruh rupanya ringgit tidak kembali

lagi, saya kalah

Demikianlah misalnya hidup saya.


Tiap-tiap pekan kenyataannya bagaimana kurang hargaku. Kebetulan suami kakak

istriku sedang di kampung pula. Yang seorang melemparkan ringgit untuk belanja yang

seirang melemparkan uang kertas lima rupiah. Saya sendiri apa yang akan saya

lemparkan. Oleh sebab itu adalah pagi-pagi hari pekan itu hari yang seburuk-buruknya

buat saya selama di kampung.

Istriku tetap juga menghidangkan nasi dengan hormatnya, walaupun hanyna

sambal dan ikan kering berbakar yang dia hidangkan. Tetapi ke mana saja akan

menyembunyikan makan, engku? Bukankah tudung saji dan dulang harus diantar di

ruang rumah? Di ruang yang satu kelihatan ikan pangat dan yang satu lagi rendang hati.

Padahal di bawah tudung saji saya hanya sambal lada itu saja.

Saya menjadi gelisah, saya menjadi tidak betah duduk di rumah mamak istriku

jarang datang melihat kemenakannya ayahnya hanya gila membagi giliran istri-istrinya

yang bertiga saja. Kadang-kadang sehari-harian saya tidak memperhatikan diri kepada

istriku. Mula mula masih teguh saya memulanginya tetapi kian lama kian jarang.

Pada suatu ketika saya mendapat keputusan hendak berangkat saja pergi

merantau. Keadaan inilah, yakni kejatuhan di dalam perjuangan di dalam rumah, inilah

yang di tunggu-tunggu oleh kedua pembayanku itu.

Maka saya minta izinlah kepada ibuku hendak mengupas batang kayu manis yang

saya tanam sembilan tahun lalu, harga perjualan itu akan saya jadikan ongkos

merantau.

Tiba-tiba sedang saya termenung-menung memikirkan akan mengupas pohon

kayu manis itu. Menaksir-naksir harganya yang akan cukup buat ongkos, kelihatanlah

istriku berjalan seorang dirinya menuju rumah ibuku. Mukanya kelihatan oleh ibuku,

diapun disuruh naik ke rumah. Dengan tidak menjawab, terus saja kedekat tingkap

tempatku berdiri. Dia menangis dengan memangut kakiku: ,, Mari kita pulang, mari kita

pulang !! ‘ katanya, sambil menangis dengan sedu-sedannya yang amat merawankan


hatiku. Air matanya membasahi punggung kakiku, kakiku seakan-akan tidak akan

dilepaskan lagi.

Ramah ............. angkat kepalamu, adik, jangan kau menangis juga,” kataku .

,,Ramah, mengapa menangis begitu ? “ tanya ibuku pula ,,, sakit kepalamu nanti.

,, sudah hampir sepekan lamanya tidak pernah pulang, entah apa salahku

agaknya. Maafkanlah kesalahanku, marilah kita pulang !” katanya pula dengan tangisnya.

Engkau tidak salah, ramah, sedikitpun haram ada kesalahanmu kepadku. Hanya

saya yang salah, saya tidak dapat mencukupkan hajat dan keperluamu. Engkau

tertompang di biduk pecah,” kataku.

Tiba-tiba cerita kami yang asyik itu terpaksa berhenti istriku datang dan

mukanya agak merah padam benar. Dilihatnya wajahku dengan sudut mata, seraya

berkata “,, bila kasur itu akan sudah, kalau yang mengerjakannya awak lawan mahota ?”

Sudah hampir siap, kakak, sebentar saya bawa naik ke rumah ! hota kami tidak

ada yang percuma, dan kuat tulang berkerja dibuatnya,” ujar si Musa sebagai ,,

adpokat “ mempertahankan saya.

Istriku naik pula ke atas rumah kembali, sebelum dia naik tangga dia berkata

pula : ,, kalau engkau bawa engkumu itu bercakap,kesudahannya tidak habis sampai

sore, pekerjaanmu sendiri terlantar , “ katanya dan diapun naik.

,,Tidak , kakak, jawab si Musa sambil tersenyum

Aku hanya diam saja

Diteruskannya mengisi kasur itu sampai selesai, lalu dia berkata : ,,, kita

sambung pula engku.”

,,Sambunglah !,, jawabku .


,,Begini, Ramah, ”kata saya kemudian, setelah saya melihat tangisnya sudah

susut dan air matanya sudah berhenti turun. ,, Sebetulnya kepadamu, hatiku

sedikitpun tidak berobah. Benarlah engkau seorang perempuan yang setia. Tidak

engkau mengharapkan hartaku, karena dahulupun engkau sudah tahu bahwa saya

miskin. Tetapi............. ah, bukankah sudah selalu kita perkatakan juga, rupanya tidak

jua akan terlepas kita ini dari cobaan?

Berkasih-kasihan awak, tetapi orang lain benci melihatnya perkasihan kita itu.

Kakanda di atas rumahmu sebagai terpijak dibara panas, senantiasa digendeng disakiti,

dan dipakuk dengan punggung lading, oleh kakakmu dan suaminya. Ibumu sendiri

rupanya tidak dapat mendamaikan, mamak-mamakmu seakan-akan tidak peduli.

Melahan jarang- jarang mereka datang ke rumah, akan menyelesaikan yang

sukut dan menjernihkan yang keruh.

Manahan lama keadaan yang demikian tentu kakanda tidak tahan. Padahal engkau

tetap setia. Itulah sebabnya maka saya berbenam saja di rumah ibuku sendiri.

,,Adinda tahu itu semuanya, dan adinda sendiri yang deritanya. Coban ini

sebenarnya bukanlah mengenai kakanda seorang, tetapi mengenai kita berdua. Adinda

takut kalau-kalau kakanda tidak sabar menanggungkan ini, sehingga kakanda ceraikan

adinda, kakanda tinggalkan adinda ditempat yang gelap, terbenam kaki adinda ke

lumpur, tidak seorangpun yang sudi menolong melepaskan,”

,,Itu tidak .......... tidak Ramah, tidak ! Adinda jangan takut ! Cuma satu yang

terpikirkan olehku ! lebih baik kakanda berjalan dahulu merantau, karena bukan main

sakitnya hidup di kampung. Itu boleh kakanda katakan kepadamu terus terang !.

,, baik ........ adinda tidak keberatan. Mari kita merantau mari kita tempuh

perantauan itu berdua ! “

,, Jangan Ramah engkau belum boleh pergi. Belum tentu keadaan yang akan

kakanda tempuh.
Masih gelap tujuan yang akan kita jelang, sawah belum ada perlindungan. Padahal

engkau berninik bermamak, tentu mereka merasa menyesal melepaskan engkau nanti !”

,, Adinda sudah tahu merantau bukan senang, merantau bukan pergi memukat

duit.. tetapi kanda , - air matanya berlinang kembali – adinda jangan ditinggalkan.

Biarlah berganti memakai kain sembarang, biar kita bagi nasi sepinggan, asal kita tidak

berpisah.......... bawa adinda kemana pergi“

Kulihat ibuku, beliau telah menangis saja mendengarkan perkataan istriku.

Maka maklumlah saya bahwa perempuan itu seperasaan, sebagai laki-laki semalu.

Faham saya bahwa beliau setuju dengan pendapat istriku.

,,Ah Ramah ! pikirkan benarlah dahulu, perantauan yang akan kakanda tempuh ini

entah kemelaratan semata-mata.’’

,, Adinda sudah berfikir, itulah dia keputusannya. Adinda mesti kakanda bawa.

Kalau tidak, kakanda jua yang akan menyesal akhir kelaknya, entah tanah perkuburan

yang merah yang akan kakanda dapati kalau kakanda pulang nanti.”

Mendengarkan perkataan itu, berobahlah warna alam ini pada pendengaranku,

menjadi indah dan berseri. Riak nan laksana emas, kukuk ayam tengah hari membawa

pengharapan yang penuh, panas terik sesudah hujan semalam menyebabkan kayu di

rimba berbunga dan mekar bunganya, semuanya menjadi bayangan dari pada

kebahagiaan yang kurasai pada hari sehari itu.

Tidak saya gemang lagi akan menempuh kesulitan hidup, saya menjadi percaya

kepada diriku dan percaya kepada pertolongan tuhanku.

Hati yang tertutup itu terbuka kesedihan bertukar dengan gembira, sehingga

terlompatlah dari mulutku perkataan : “ baikla ramah, Kita berangkat.’

Waktu itu berulah kelihatan kembali seri mukanya.......Istriku , buah hatiku. Dia

gembira, tetapi air matanya titik pula kembali , Cuma bukan air mata yang tadi lagi.
Ibukupun pergilah ke dapur. Ramah kuraih ke dalam pangkuanku dan kucium

keningnya seperti tidak akan kulepaskan lagi.

“ kita berangkat, Ramah, kita berangkat !’’

Setelah kami mendapat keputusan akan berangkat itu dan uang telah tersedia

pula, maka tidaklah lagi saya terbenam di rumah ibuku. Saya sudah tetap pulang ke

rumah istriku, segala sindiran dan ejekan, sikap menentang dan menghina dengan sudut

mata, yang dilakukan oleh suami-suami saudara istriku kepadakku tidak kuperdulikan

lagi. Tetapi akhirnya alangkah terkejut mereka minta supaya mereka sudi duduk

mendengarkan musyawarat saya dengan mertua saya sebentar.

Mereka terheran, musyawarat apa pulakah yang akan timbul dari saya? Adakah

kesanggupan bagi saya untuk memperbaiki rumah akan menambah diding, akan menyisip

atap. Padahal mereka kenal bahwa belanja pekan saja saya tak sanggup memenuhi,

kononlah memperbaiki rumah tempat tinggal. Mereka terkejut lagi setelah mendengar

dari mulut saya sendiri, bahwa pertemuan malam itu ialah sebagai saya meminta

sendiri, bahwa pertemuan malam itu ialah sebagai saya meminta diri sebab dua hari

lagi saya akan berangkat bersama istriku saya, menuju tanah Deli.

Kelihatan betul terbayang di muka mereka masing-masing rasa benci dan dengki

melihat saya akan berangkat. Istri mereka masing-masing tentulah menurutkan alun

dan ombak suami mereka pula.

Memang mereka tercengang dan mereka benci, sebab sebagai engku tahu juga.

Di kampung kita pada umumnya, amatlah bangganya bagi satu mertua. Kalau sekiranya

anak perempuan dibawa merantau, walaupun mertua itu tidak akan tahu apa yang akan

dideritanya, apa yang akan tahu apa yang akan diderita, apa yang akan dimakan dan

dimana rumah tempat anaknya menumpang di perantauan itu.


Ketika akan berangkat telah saya paksa-paksakan benar ke dalam telinga

istriku, bahwasanya saya tidak bermodal, modal hanya tulang delapan kerat. Saya tidak

berpokok-pokok demikian istri saya cukup teguh dan tangguh. Dia insyaf bahwa kami

berjalan merantau ke negeri orang bukan akan pergi menjemput uang berlonggok,

menggali uang bukan sebagai menggali pasir dan bertanam uang bukan sebagai

bertanam ubi. Bukan akan pergi mencari ringgit maupun emas, gelang emas dan subang

berlian, tetapi semata-mata karena mengelak dari kesakitan hidup miskin di kampung.

Dengan keyakinan demikianlah saya memulai kehidupan di ratau. Sebagai saya

katakan tadi, saya ke luar dan matahati naik, saya masih berjalan dari satu straat ke

lain straat menjaja dan menyorakkan, kalau-kalau ada orang yang sudi akan ditukar.

Kain saurnya sebab telah usang dan lapuk. Kadang-kadang berhasil, kadang-

kadang tidak, tetapi jalan mendaki lebih banyak dari pada yang menurun. Keringat

mengalir di dahi sebagai anak sungai. Kadang-kadang anak baju tak terganti, celana

saya beli yang hitam, supa tahan dibawa “berjuang” melawan nasib.

Saya tidak pernah berpatah hati engku, walaupun bagaimana sukarnya hidup.

Jika berlebih sekali-sekali uang saya, saya belikan buku-buku, saya baca seketika

hendak tidur, diterangi oleh lampu minyak tanah. Dari membaca buku-buku itu, ada

juga sedikit saya mendapat kesan, bahwa tidak ada satu perkerjaanpun di dalam alam

dunia ini yang dapat dikerjakan dengan mudah saja ; tidak ada satu maksud yang

tercapai dengan tidak menempuh juangan.

Yang paling sulit keadaan saya ialah ketika istri saya telah hamil. Setelah dia

mengandung empat bulan, saya kirimkan kabar pulang.

Saya mendapat balasan, bahwa mertua saya akan datang menjaga anaknya.

Menunggu cucunya yang akan lahir. Sedianya akan saya tulis pula mencegahnya datang

ke Medan. Tetapi setelah saya musyawaratkan dengan istri saya dia membantah.
Bantahannya itu betul pula, yakni kalau sekiranya dihalangi dia hendak tahu apa

Sebabnya. Dikatakan lantaran kita melarat tentulah akan bertambah fitnah orang

kepada kita. Kalau sekiranya kita tidak menyatakan sebabnya, tentulah ,disangkanya

kita buruk basa disangka kakanda tidak sudi didatangi tetamu.

Biarkan dia datang ke mari, biar nanti dilihatnya sendiri perasaian dan kesulitan

yang kita hadapi. Demikian kata istri saya

Tidak berapa lama kemudian, memang datanglah mertuaku itu dari kampung.

Tidak berapa bulan dia ada di sini anak itupun lahirnya anak laki-laki, lahir untuk

melihat bagaimana kemelaratan yang ditanggung diderita oleh ayah bundanya.

Meskipun hidup dan berniaga tidak bermodal meskipun pagi-pagi kita mengeluh

dan sore kita menarik napas panjang , ada pula waktunya kesusahan itu berbalas

dengan gembira yaitu seketika rumah kita kedatangan anggota yang batu itu. Waktu

anakku telah lahir, hatiku bertambah giat mencari nafkah, siang malam saya tidak

mengenal lelah. Bila datang dari menjaja kian kemari, sampai di rumah, saya hempaskan

pikulan dari bahu dan terus sekali ke tempat tidur melihat anakku. Wahai engku,

ketika ia telah pandai tertawa ia telah pandai menghimbau ayah! Waktu itu, tidak ada

di atas dunia ini orang yang sekaya saya rasanya.

Setelah usia anakku empat bulan, mertuaku kembali pulang tentu saja perlu pula

disediakan bantuan ongkos buatnya demikian juga kain bajunya sesalin dua, bali

sirihnya sampai di kampung itupun saya usahakan.

Hidup kami senang, kami beruntung kesenangan bukan karena kami mampu. Kami

senang, walaupun pada penglihatan orang lain, kami orang yang amat sengsara.

Kerapkali saya datang ke rumah orang kaya, berumah besar, berpekarangan cukup,

beradio di dalam rumahnya tetapi muka mereka kusut saja sebab rupanya terjadi

perselisihan pikiran diantara suami dengan istri. Saya dipanggilkannya “Tukang kasur-

nya, orang gajinya atau orang upahannya, jauh lebih besar penghasilannya dari pada
kita. Tetapi kilau sekiranya mereka tahu, atau yang badannya dibungkus dengan kain

berlaku buruk. Kalau sekiranya hendak mengecap itu.

Kami merdeka, kami bebas dari pada pengaruh pemili kami yang kami makan enak

rasanya, walapun hanya sambal terasi dan ikan berpanggang. Lebih enak dari pada gulai

ayam yang kami makan seketika : apa yang akan kami kerjakan tidak ada yang

membantah kasihku kepada istriku , tidak ada orang lain yang akan membenci. Padahal

selama ini yang menjadi penyakit di kampung kita. Kalau sekiranya seorang suami

hendak memberikan apa-apa kepada istrinya. Tentulah saudaranya atau ibunya, atau

mamaknya hendak campur tangan pula. Kasih kita kepada istri kita, difitnah dikatakan

bahwa kita telah lupa kepada kaum kerabat dan suku sendiri. Malahan kadang- kadang

orang berusaha hendak mencarikan kita istri yang. Sebab hatinya sakit kepada istri

kita itu. Sebab disangkanya kita telah lepas dari tangannya sendiri. Lantaran pengaruh

istri. Demikian pula istri tadi, dia telah menyerah kepada kita bulat-bulat tidak ada

lagi mertua yang akan campur tangan, atau mamaknya yang akan meini meitukan, atau

saudaranya yang akan memasukkan fitnah buruk. Melainkan buruk dan baik senang dan

sengsara di tanggungkan berdua dengan hati yang tulus dan ikhlas.

Pada sangka saya, tidaklah ada lagi orang yang seberuntung kami. Biar hilang

kampung halaman asal keberuntungan kita berumah tangga dapat ditegakkan sendiri.

Apalagi anak sudah ada pula di perantauan ini terasa betul bahwa anak itu memang

anak kita. Berbeda dengan kampung.!

Di sana anak itu hanya bertemu diwaktu sore saja, sebab dia dan ibunya di

bawah kuasa serta tilikan mamaknya.

Tetapi engku! Apakah keadaan ini akan begitu saja terus-menerus

Apakah keberuntungan kami itu pada pandangan kaum kerabat istriku benar-

benar keberuntungan.
Mereka memandang sebaliknya. Sudah tiga tahun lamanya meninggalkan

kampung halaman bertambah lama bertambah terbenam di rantau. Sebagai batu jatuh

ke dalam lubuk, tak diharap akan ke luar lagi. Sudah tida tahun. Belum juga terdengar

atau termasuk hendak pulang. Perlu apa pergi merantau kalau sekiranya hanya akan

melarat saja. Sebagaimana yang telah disaksikan oleh mertuaku sendiri, perlu apa

berhilang-hilang negeri, kalau sekurangnya sekali setahun tidak dapat menziarahi kaum

famili. Di kampung ada harta benda yang akan dimakan. Diminum, ada rumah besar

empat ruang rumah petak terselat-selat di sudut kota.

Oleh sebab itu, setelah dua tahun masuk ketiga, kerapkalilah saya menerima

surat meminta lekas segera pulang. Orang tidak fikirkan dari manakah uang akan saya

korek buat ongkos pulang itu. Kebanyakan dari pada surat itu tidak saya balas, tidak

saya pedulikan. Istrikupun demikian pula, sudah senang baginya rasa pedulikan.

Istrikupun demikian pula, sudah senang baginya rasa hidup merantau. Dia kepingin

pulang, dia teragak ; siapa orang yang tidak eragak kepada kampung halaman, tepian

tempat mandi, rumah tempat diri lahirkan. Ibunya teragak dan kepingin itu ? setinggi-

tingginya satu atau dua minggu, teragak dan kepingin lepas itu akan lepas. Kalau

ditahan lebih lama dari pada itu. Maka persengketaan kesengsaraan dan kesukaranlah

yang akan diderita.

Hal itu rupanya terpikir pula oleh istriku, sebab itu di turutnyalah haluanku,

yaitu semata- mata tidak ingin hendak pulang. Dipikirkannya bagaimana sukarnya hidup

di kampung, kena sindir kena sandang dari pembayaran, apalagi kalau tidak pula ada

gelang emas, dukuh emas dan peniti paun. Ketika pergi mandi ke pancuran bercampur

gaul dengan perempuan lain. Selama itu engkau berjalan merantau menurutkan suami,

apakah yang engkau dapat?

Oleh karena itu, rupanya orang di kampung bertambah tidak bersenang hati,

tiap-tiap orang yang pulang dari Deli, mereka tanyai bagaimana keadaan kami. Tentu

akan terdapat orang yang tidak bersenang hati, orang yang gatal mulut, menyatakan

barang yang mereka lihat, lalu dilebihi yang tiga mereka jadikan sembilan, lima
dijadikan belas. Sampailah kabar ke kampung bahwa hidup kami di rantau bertambah

lama bertambah melarat. Tidak diharap akan dapat pulang lagi.

Tiba pula fitnah bahwasanya pada masa yang akhir ini, kami sudah kerap kali

berselisih dan berkelahi, saya dituduh terlalu kasar terhadap istriku, pelekatkan

tangan, penempeleng dan lain. Anakku yang masih kecil itu penuh dengan kudis,

badannya tidak berpalut dengan lain lagi. Gelang dan dukuh yang kubelikan untuk

istriku, ke luar masuk rumah gadai.

Mendengarkan kabar berita yang demikian itu, naik darahlah mamak-mamaknya,

marah penghulunya, kecewa mertua saya dan bertambah tersenyum suami saudara istri

saya, masuklah fitnah, bahkan merekalah yang lebih banyak memasukkan kata-kata

buruk kepada isteri mereka masing-masing, dan dari istri itu disampaikan kepada

ibunya atau mamaknya.

Menurut kabar yang saya terima dari pihak kaum kerabatku sendiri di kampung,

keadaan saya lama merantau itu telah menjadi buah bibir.

Apapula hari pekan, bertemu pihak persukuanku dengan persukuan istriku, telah

amat banyak kata sindir. Akhirnya, kabarnya diperbuatnyalah kata mufakat di rumah

mertuaku, di panggil beberapa orang mamak jauh dan mamak dekat, dibawa

musyawarat, sikap apakah yang akan dilakukan supaya kemenakan mereka dapat

“dicabutkan supaya kemenakan mereka dapat “dicabutkan “ dari pada kesengsaraan itu.

Karena rupanya mereka telah tertumpang di biduk tiris.

Mereka tidak bersenang hati, mufakat telah putus bahwa kemenakan mereka,

istriku dan anakku, akan mereka jemput , jemput terbawa. Dapat dengan lunak tentu

dengan lunak, dan kalau terpaksa dengan keras tentu dengan keras.

Darimana akan dicari uang buat ongkos menjemput itu? Mupakat putus pula

bahwa sawah yang bndar di Bandar Buat perlu digadaikan dahulu kepada orang yang

mampu. Sebab meskipun sawah itu harta tua yang harus dijaga dan dimuliakan, tetapi
kehilangan anak kemenaka, merantau bertahun-tahun, adalah malu besar yang tidak

dapat dipupuskan.

Guna apa harta benda, sawah banyak, kalau sekiranya yang akan memakannya

telah hilang tak tentu rimbanya di rantau orang, dibawa oleh suaminya.

Ketika mamak istriku datang menjemput itu, saya sendiri sedang pergi

menjajakan kain kasurku ke kebun, dan pergi menunggu piutang. Sebab pada masa itu,

sistem memberi utang perlu pula dipakai, kalau tidak laku, sebab orang lain semuanya

memberi piutang. Pada bulan muda, kita tunggu piutang itu dan dibayar oleh yang

berutang dengan mencicil.

Oleh sebab itu, yang akan saya ceritakan kepada engkau sekarang ialah ceritera

dari orang lain pula, yaitu ceritea daripada seorang perempuan tua asal dari

Mandaliling yang bertetangga dengan daku dan sudah lama tinggal di Deli.

Sore, Sehari saya pergi ke kebun itu, mamak istriku telah datang. Terus sekali

naik ke rumahku. Setelah bertemu dengan istriku, dia kelihatan sebagai seorang yang

sangat bersusah hati. Dari luar sampai ke dapur dia berjalan-jalan sambil

menggelengkan kepala.

Malamnya, sehabis sembahyang maghrib, disuruhnya isteriku duduk, lalu

diterangkannya maksud kedatangannya, yaitu pergi menjemput isteriku dan anakku,

akan dibawa kembali pulang ke kampung. Karena begitu permintaan dan kata

kesepakatan dari pada famili semua.

Perempuan tua itu menceriterakan bagaimana bunyi percakapan mereka : “Sudah

sekian lamanya merantau, sebuah pun tidak ada yang dapat. Sudah melarat dan

sengsara di rantau orang, menurutkan suami yang rupanya tidak sanggup mencarikan

nafkah badan makan minum. Padahal di kampung sendiri bukanlah engkau terhitung

orang miskin. Ada kau berninik bermamak, bukan kau anak terbuang. Ada kau berumah

tangga, mengapa engkau pergi tinggal di rumah petak buruk yang tidak tentu ekor
kepalanya ini. Lapang rumahmu, beruang tengah, berserambi, bukan sempit, bukan

sehingga tidak masuk cahaya matahari seperti ini.

Isteriku menjawab : “Benar rumah tanggaku ada, tetapi akau tidak aman tinggal di
sana, sedang di rumah petak buruk ini walaupun di rumah bersewa, merdeka hamba
hidup dengan suami hamba!”
Dengan cukup engerti rupanya mamak isteriku mendengarkan jawab itu. Lalu dia berkata :
“Merdeka dengan suami hamba : Apakah artinya percakapanmu itu? bukankah engkau bersuku,
berkaum kerabat, bermamak berninik? sudah lupakah engkau bahwasanya suami disembah
lahir, tetapi ninik mamak disembah bathin? manakah yang lebih kekal suami daripada suku?

Sedangkan orang yang tidak tentu siapa bapanya, lagi dipertahankan dengana nama suku,
kononlah kau? sehingga mana benarkah engkau akan menurutkan suamimu itu? bukankah orang
suku Piliang, walaupun bagaimana tidak akan dapat menukar sukunya dengan Caniago, walaupun
bagaimana dia menurutkan ?”

Isteriku menjawab : “Ini bukan perkara suku, mamak. Ini adalah perkara suami dengan
Isteri. Sengsara, seakan-akan hidup di alam api neraka jahanam kami hidup di kampung,
bersangai dengan bara yang panas, tidak boleh senang diam. Sebabnya ialah lantaran suamiku
miskin, tidak hanya sebagai suami saudara-saudaraku. Kalau kami tinggal juga di kampung,
maulah kami bercerai dengan karena tidak tahan. Sedang mamak dan ninik, tidak mau perduli.
Dia hanya hendak memenangkan mana yang beruang dan meninggikan mana yang jeputan.
Adapun yang melarat, tinggallah di dalam kemelaratannya.”

“Tidak, engkau mesti pulang,” jawab mamaknya pula, “walaupun apa yang akan terjadi,
Ibumu sendiri telah tua. Harta pusaka tua turun temurun, mesti dibagi dan dibulati dengan
adil. Merantau boleh, tetapi merantau sebagai engkau ini tidaklah menurut adat yang biasa.
Orang lain kalau merantau, di bulan hari raya mesti pulang memperlihatkan muka kepada
famili !”

“Mamak . . . . mamak,” jawab isteriku pula

“Merantau menurut adat, pulang sekali setahun, adalah kulitnya yang bagus, isinya amat
busuk. Walaupun bukan orang melarat seperti kami ini, walaupun orang yang bertoko besar,
inilah yang menjadi pangkal kemalaratan. Karena hendak memperlihatkan kemegahan dan
kekayaan kepada orang kampung, musnalah uang beratus-ratus, padahal mencarinya bukanlah
mudah. Sudah kulihat sendiri dengan mata kepalaku bagaimaa sukarnya mengumpulkan uang
dari satu sen dua sen. Habis dimusnakan untuk kemegahan di kampung dan congkak kepada
famili. Kesudahannya tidak ada seorang jua yang bisa nai, melainkan patah di tengah.”

“Tak usah banyak cakap ! Engkau mesti pulang. Kalau tidak, tentulah kaum kerabat kita
tidak senang hati. Bukan adat, bukan lembaga, seorang perempuan engkar dari mamaknya,
karena menurutkan suaminya.”
Isteriku menjawab : “Kesalahan hamba kepada suamiku tidak ada kesalahan suamiku
kepadakupun tidak ada. Anakku, berat akan bercerai dengan ayahnya. Dia adalah sebagai obat
bagi ayahnya seketika hatinya susah. Tentu akan bertambah larat untung kami, kalau kami
pulag pula. Akan diam kami di kampung, apalah yang akan kami hadapi. Meskipun kami akan
mamak beri sawah dan ladang, itu hanya sekedar dimakan, padahal pakaian mesti dibeli, minyak
tanah dan garampun mesti dibeli.”

“Suruh dia mengantarkan engkau pulang, setelah sampai di kampung, biar engkau tinggal
di rumah dan dia pergi merantau kembali.”

Isteriku menjawab pula : “Tentu canggung sebab dia telah biasa membawa isteri. Tentu
lemah hatinya berusaha, sebab anaknya tidak berada dihadapannya. Sedang ada anaknya lagi
seperti “sirih tumbuh di batu”, kononlah kalau anak itu telah jauh dari mata. Lagi pula terburu
tidak baik. Lebih baik kami kumpulkan ongkos dahulu, nanti barang sebulan dua bulan lagi kami
pulang.”

“Tidak, engkau mesti terbawa olehku pulang. Sekali lagi kekatakan kepadamu, engkau
mesti terbawa pulang, mesti.”

“Bagaimana kalau suamiku tidak sanggup?”

“Itu sudah kami perkatakan jua. Sedapat-dapatnya dialah yang mengatakan engkau
pulang. Tetapi kalau dia tidak bisa pulang, engkau saja pulang dengan anakmu, dan saya kemari
ialah menjemputmu.”

Perempuan tua di dekat rumah itu menceritakab pula, bahwa lama isteriku termenung.
Nyata bahwa dia enggan. Setelah itu berkatalan mamaknya, tidak lagi dengan perkataan keras,
tetapi lemah-lembut : “Fikirlah olehmu ! Kalau sekiranya engkau tidak mau pulang itulah maka
susah benar. Ayahmu akan bercerai dengan ibumu, mamak-mamakmu yang lain akan berkerat-
keratan rotan dengan ibumu. Tidak ada malu bagi kami yang lebih dari pada ini, kemanakan
masih muda remaja, hilang saja dirantau orang. Padahal walaupun bagaimana, ada jugalah kita
memasuki adat dan lembaga, ada juga bersawah, berladang, berharta benda, berasap-asap,
berjerami, berpendam pekuburan, bukanlah kita orang terbuang.”

Isteriku menjawab, sedang iar matanya berlinang-linanag : “Bukan main beratnya hal ini
bagi hamba. Hamba tidak sanggup bercerai dengan kaum kerabat, hamba hendak berkaum,
bersuku, berninik bermamak. Tetapi disamping itu, hamba sayang kepada suami hamba.”

Mamaknya menjawab : “Betul kamipun tahu engkau sayang kepadanya. Tetapi engkau
harus berpikir! Apagunanya seorang suami yang tidak tahu basa-basi, sopan-santun. Tidak
menghargai famili, tidak tahu bermanis muka. Anak orang dibawahnya merantau, tetapi
berlarat-larat. Kalau dia orang beradat, tentu tidaklah engkau akan ditahaninya. Bagaimana dia
akan dapat menahani, padahal seorang kemenakan mesti seperintah mamak . . . . . Gunung
Merapi masih berdiri, adat lembaga mesti tegak.”
“Tetapi akibatnya tidak baik, mamak!” kata isteriku pula. “Kalau sekiranya hamba mamak
bawa pulang dengan kekerasan. Bermula tidaklah dia akan membantah, akan dilepasnya, sebab
dia segan mencegah, menjaga kemanisan perhubungan. Tetapi hamba takut, sesampainya
hamba di rumah, suratlah yang akan hamba terima.”

“Itu . . . . ? itu yang engkau rusuhkan? Perempuan pandir !” kata mamaknya denga separuh
marah. “Bukankah seadat juga, susah bergaul, bertingkah bercera. Itukah yang meenggankan
engkau pulang? takut akan diceraikan suamimu? apakah engkau suka juga kepadanya? seorang
laki-laki yang tak patut ditumpang? seribu laki-laki bisa kucarikan. Kalau tidak dapat orang
yang bergelar Datuk dan Sutan, tukang rumputpun kami sanggup carikan. Bukanlah kami
mamak-mamakmu ini orang buta ! Sebetulnya persangkaanmu itu tidak boleh engkau kemukakan
!”

“Yang kupikirkan bukan diriku. Bagiku sama, mamak ia, suami ia. Jadi janda selama
hiduppun jadi, bersuami sekali setahunpun jadi ! tetapi anak hamba?”

“Ah . . . . . rupanya engkau sudah kemasukan faham cara kini. Celaka engkau ! Engkau
rupanya sudah kena bujuk cumbu. Memang sudah sampai ke kampung kita, bahwa di Medan ini,
ada beberapa orang yang mengaku dirinya cerdik pandai, tetapi ia hendak menghapuskan adat
lembaga Perpatih-Ketemanggungan. Kemenakan tidak seperintah mamak lagi, anak buah tidak
akan seperintah penghulu. Anak akan dibangsakan kepada ayahnya.”

Dia terhenti bicara, menahan marah.

“apa yang engkau susahkan? bukankah anakmu itu bermamak, beradat, bersuku, berlembaga,
berkampung berhalaman? biar ayahnya bertukar, dia ada bermamak, ada berharta tua. Minag
Kabau negeri beradat, kemenakan dibela oleh harta benda pusaka. Gelar yang akan dipakainya
gelar mamaknya. Adapun suamimu itu, walaupun kemana dia diturutkan, namun sukunya berlain
juga dengan suku anakmu.”

Isteriku masih menjawab : “Mamak, agak-agak bicara, jangan lupa bahwa rumah ini
dia yang menyewa, di sini dia yang berkuasa. Janganlah mamak terlalu terlanjur.”

Di situ baru dia diam. Paling akhir ditutupnya bicaranya: "Engkau mesti terbawa
pulang !"

Begitulah pembicaraan mereka yang disampaikan perempuan tua orang Mandailing


itu kepadaku, beberapa hari kemudian. Kira-kira pukul sembilan ma!am, barulah saya
sampai di rumah.

Yang semalam itu tidaklah ada pembicaraan kami dengan dia. Cuma dari isteriku
sendiri malam itu saya mendengar pembicaraan yang ringkas, meminta supaya sama-sama
pulang, sebab kedatangan mamaknya itu ialah menjemput kami.
Engku - kata si Musa pula menyambung pembicaraan, baru tiga patah perkataan
isteriku, saya sudah maklum. Selukbeluk adat kita saya sudah tahu.

Engkau . . . .saya laki-lak! Saya lahir dari ada emak saya, menguak, bukan mengoak.
Dalam hal ini, isteriku tidak salah. Dia paling susah berjuang, menenggang hati mamaknya,
dan menenggang hati suaminya. Maka salah satu dari keduanya, mamak dan suami itu,
itulah yang mesti mengalah. Saya belum ada duit untuk ongkos pulang! Sebab itu biarlah
dia pulang bersama mamaknya. Itulah keputusan saya dalam hati. Saya yang mesti
mengalah.

Besoknya pagi-pagi, sehabis minum kopi, waktu itutah mamaknya, mengajak saya
bermusyawarat. Saya duduk dan saya telah bersedia ! Isteriku tidak enak lagi makannya,
sebentar-sebentar dia menangis dan diciumnya kening anaknya.

"Begini, Sutan . . . . . !” kata rnamaknya dengan gugup, sebab susahnya nampaknya dia
akan mengeluarkan perkataan. "Kedatangan saya kemari, ialah diutus oleh orang di
kampung, oleh segala mamak dan keluarga, meminta Sutan dan anak isteri Sutan pulang
dahulu. Sebab sesudah lebih tiga tahun merantau, jadi orang di rumah sudah teragak p ula
..... ! Tetapi, kalau ada perkataan saya yang salah susunnya, ma’afkanlah saya."

Jawab saya sudah sedia, saya berkata : "Kalau itu maksud mamak, saya tidak
keberatan. Cuma permintaan mamak supaya kami pulang bersama, belumlah dapat rasanya
saya kabulkan. Sebab banyak lagi piutang yang belum menerima bulan ini. Yang
sebaiknya, supaya hati orang di kampung terobat, dan teragaknya lepas, mamak sajalah
dengan si Ramah dan si Fauzi pulang lebih dahulu. Nanti kira-kira dua atau tiga bulan lagi
sayapun pulang pula," jawab saya dengan senyum.

Mendengarkan jawab saya yang cepat itu, disertai senyum, maka mamak isteriku
itupun bertambah gugup. Tidak dia sangka bahwasikapnya yang sekasar itu akan saya
sahuti dengan secara ringkas demikian.

Dia menjawab pula : "Lebih baik kita pulang bersama-sama. kalau sekiranya perkara
hutang-hutang itu yang akan jadi halangan, janganlah Sutan kemukakan. Untuk ongkos
kita pulang berempat dengan si Fauzi, adalah cukup hamba sediakan."

"Hal ini bukan tergantung diongkos," kata saya pula. "Sekedar buat ongkos saya
sendiri. Ramah dan Fauzi tidaklah perlu akan kita carikan dari kam pung ' malahan, ongkos
mamak sendiri, yang telah sudi menolong membawa isteriku pulang, hamba jua yang wajib
membayarnya," kata saya sambil mengeraskan perkataan menolong itu.

Dia tercengang mendengar perkataanku. Mulutnya tertutup. "Jadi . . . . Sutan?”


katanya kemudian dengan gugup dan malu.
“Mamak saja dengan anak-anak pulang dahulu. Dari sekarang haruslah kita cari oto
yang akan kita tumpang, kalau tidak, tentulah kita tidak kebahagian tempat. Biarlah saya
urus sekarang supaya dapat berangkat besok."

Saya, dengan muka yang tidak berubah, terus sekali ke halaman, waktu saya hendak
mengambil kereta angin, t:ba-tiba isteriku berseru.” . . . . . Kanda!”

Dengan tersenyum saya kembali. Saya ambil anak saya dari pangkuan ibunya, saya
cium dan seluruh anggota saya lemah rasanya. Mamak isteri saya itu duduk sebagai duduk
batu, dengan perasaan kosong dan muka tebal.

"Ambil Fauzi !" kataku kepada Ramah.

"Kanda !" katanya pula, sedang tangisnya tak bisa ditahannya lagi.

Saya tekankan perasaan, saya tekankan hati dan saya terus mengendarai kereta
angin.

Kemanakah saya? Tahukah, engkau?

Saya pergi kepada seorang kawan, saya pinjam uangnya Rp.15,-. Saya sendiri ada
menyimpan Rp.10,-. Setelah itu saya pergi membeli karcis oto buat dua orang seharga Rp.
10,-. sebab anakku masih vry. Setelah itu saya kembali pulang dan saya serahkan karcis
itu kepada mamak isteriku.

"Inilah karcis oto si Ramah dan ini pula untuk mamak," kataku.

"Sewa oto si Ramah dan saya, sudah saya sediakan sejak dari kampung."

Waktu itu, barulah saya menjawab dengan agak keras. "Sekedar untuk menyewa oto,
belumlah saya akan sampai memakan harta dari kampung," kata saya dengan bersenyum.
Tetapi mukanya kelihatan merah padam.

Perlu apakah saya ceriterakan kepada engkau, bagaimana kesedihan perasaan kami
suami isteri ketika itu. Isteriku, sejak kejadian itu lalu ketika akan berangkat senantiasa
menangis saja. Tetapi saya, saya tidak mau memperlihatkan bagaimana pula kesedihan
hati saya. Perasaan saya sudah berlain dengan perasaan orang kita kebanyakan, engkau.
Isteriku itu teman hidupku.

Sudah bertahun-tahun kami sama-sama menderita sakit dan senang, menurun dan
mendaki. Dia yang tahu rasia hatiku, sayapun telah tahu ketulusan hatinya. Tetapi ah ......
engku! Mengapa saya dilahirkan menjadi orang Minangkabau?

"Musa . . . . . ! engkau silap." jawabku. "Teruskan saja bicaramu, jangan dicampuri


keluh!"
Saya hantarkan dia ke perhentian auto, saya yang menggendong anakku. Saya ciumi
anakku itu sepanjang jalan, ditarik-tariknya rambutku.

Dia naik ke atas oto, anaknya dipangkunya dan mamaknya duduk di sebelahnya. Saya
bingung, meskipun saya tertawa jua. Tidak tentu rasanya apa yang akan saya pegang.
Setelah supir oto itu naik dan menghidupkan mesin otonya, tanda sudah dekat waktu
berangkat, barulah saya bersalaman dengan mamak isteriku itu. Lalu kuambil anakku
sebentar, kucium pula. Setelah itu barulah kupegang tangan isteriku.

Dipegangnya tangan saya erat-crat, seakan tidak akan dilepaskannya : "Kanda! .......
Ingat si Fauzi . . . . . . ! Adinda jangan diceraikan!"

"Ah. apa yang engkau sebut ini," jawabku dengan senyum, meskipun leherku bengkak.
"Pulanglah dahulu, peliharalah si Fauzi baik-baik! Insya Allah tidak lama lagi kakanda
pulang pula!"

Otopun berangkat. Saya kembali pulang ke rumah , . . . . .

Engkau .... gelap bumi Allah rasanya, badanku rasa bayang-bayang! Kamar tempat
kami tidur, dapur tempatnya memasak, jemuran kainnya, buaian si Fauzi ! Semua masih
terletak, tetapi mereka tak ada lagi.

Ramah . . . . . Fauzi sudah jauh dari sisiku .... Astagfirullah.

Lama dia temenung sesudah menceriterakan ceritera yang amat menarik hati lagi
menyedihkan itu. Setelah itu diteruskannya kembali mengisi kasur itu dan tidak berapa
menit kemudian

selesailah dikerjakan. Setelah selesai semuanya, dia sendirilah yang menolong


mengangkatnya ke atas rumah.

"Setelah itu masih adakah sambungannya ?" tanya saya pula.

"Biarlah kita selesaikan urusan kasur ini dahulu. engku. Kita letakkan ke atas rumah
dan kita senangkan hati kakak. Nanti sesudah itu kita sambung, karena apa penanggungan
saya sesudah itu lebih hebat pula." Lalu kasur itu digulungnya baik-baik dan diantarkannya
ke atas rumah.

Setelah dipertepukkannya tangannya dan dipilihnya kapas-kapas yang melekat di


mukanya, diapun datanglah memilih tempat duduk di dekatku, yakni sebuah bangku yang
telah lama terletak di tempat kami berteduh apabila panas terik. Setelah diperbaiki
duduknya, dimulainya pulalah ceriteranya kembali.

"Lama juga baru dapat saya mencocokkan diri dengan nasib. Coba engku pikir, selama
ini makan teratur. walaupun sambal terasi, tentu waktunya. Sangat enaknya makan
bersama-sama berhadapan dengan anak dan isteri. Sementara kita makan berdua anak
merangkak di lantai. mengganggu ke kanan dan mengganggu ke kiri. Tetapi sekarang pagi-
pagi pergi minum ke lepau dan tengah hari membeli nasi berbungkus.mesti pula disediakan
satu hari untuk mencuci kain yang telah kotor, kalau tidak tentu dia berlonggok. Kata
orang, senang hidup lajang, bisa menyimpan duit dan dapat dikirimkan ke kampung. Tetapi
setelab saya coba, ternyata bahwa kata orang itu tidak sesuai dengan diri saya. Bagaimana
akan senang, fikiran pecah, angan-angan menjalar jauh! Heran saya, engku, bagaimana maka
orang sampai hati merantau berbulan dan bertahun, padahal anak dan isterinya
ditinggalkannya di kampung dan dia hidup, sendiri di kota. Katanya. dia dapat mengirimkan
uang! Akan belanja Buat saya engku, apalah harganya uang, kalau sekiranya mereka tidak
berada dihadapan mata. Kalau sakit dan senangnya tidak di dalam penjagaan kita."

Lalu saya jawab : "Itulah suatu bukti bahwa telah berobah haluan, engkau telah
termasuk orang "kini", Musa. Orang lama, makanya mereka sampai hati meninggalkan anak
isterinya di kampung dan dia pergi merantau jauh-jaah, hanya berkirim belanja sekali-kali,
yang amat dipentingkan hanya pada hari baik bulan baik. ialah karena hatinya tidak lekat
betul kepada isterinya dan anaknya itu. Dia percaya bahwa anak dan isterinya ada
mempunyai sawah ladang, ada mempunyai mamak dan kaum. Sebab itu, tidak dibelanjainya
sekalipun mereka akan makan jua.

Tetapi hidup seperti demikian, kian lama kian tercecer ditinggalkan Zaman. Dahulu
sawah ladang cukup, harta benda cukup. Mamak bisa menanggung belanja anak
kemenakannya dan suami hanya sebagai orang semanda. Tidak mengebat erat memancung
putus, tidak mempunyai tanggungan di rumah isterinya, karena perlainan sukunya.
Tanggungannya ialah di rumah ibu dan saudara perempuannya. Sekarang terbuka jalan
merantau. Kata dan isteri kita sudah sama-sama tahu sakit dan sukarnya mengumpulkan
duit sesen ke sesen. Dilihatnya sendiri peluh keringat mengalir dari dahi kita. Dirasainya
sendiri pula bagaimana nikmatnya bersuami, dirasainya cinta kasih suami, sedang di
kampung dia bertemu dengan suaminya hanyalah pada waktu senja dan sebelum waktu
subuh saja. Siang hari suaminya telah hilang, sebab tidak tahan hidup dirumah panjang itu,
tidak bebas bergaul dengan anak dan isterinya.

Lantaran merantau, terlihat sendiri oleh kita bagaimana susahnya si isteri di dalam
rumah tangga Pagi-pagi dia membersihkan rumah, memandikan anak, mencuci kain. Nanti
sepe ninggal kita pergi mencari kehidupan, dimulainyalah mericih bawang dan menggiling
lada. Cara di kampung, hal itu kita tidak peduli, kita tidak boleh membantu, barangsiapa
laki-laki yang membantu kesusahan isterinya, barangsiapa laki-laki yang menolong
memandikan anak, mengambilkan air, semuanya itu dipandangnya aib. Laki-laki yang
demikian dituduh telah "dihukum bini", telah "dilangkahi isteri". Tetapi dirantau, kita tidak
sampai hati melihat dia kepayahan sendiri. Mana yang patut kita tolong. kita tolong, apalagi
kita tidak kaya, buat menggajikan babu dan membayar jongos.
Oleh sebab itu bertambahlah patri kasihnya kepada kita, terasalah olehnya apa arti kata
orang tua-tua, bahwa suami itu "junjungan", laksana penggalan junjungan kacang. Terasa
olehnya apa arti kata orang tua-tua bahwa suami tumpangan, yakni tempat menumpang hidup
dan mati, sakit dan senang.

Waktu itulah kita merasai apa artinya rumah tangga, waktu itu terasanya berat beristeri
berdua atau bertiga atau berempat."

"Memang," kata Musa, sambil menarik nafas dan menghemouskan asap rokoknya ke udara.

"Tidak berapa lama kemudian, baru kira-kira dua pekan, datanglah surat isteriku.
Fauzipun selamat pula. Tetapi di dalam surat itulah Ramah menyatakan segenap perasaannya,
penang gungannya, sakit-senangnya. Bagaimana fitnah, cemooh, hinaan dan sindiran yang dia
terima. Berjalan selama itu, sudah sampai tiga tahun, satupun tidak ada yang dibawa. Berjalan
menurutkan suami, harta benda tidak bertambah. Subang, subang yang dibawa dan kampung
jua, gelang tidak lebih dari pada gelang yang dibelikan ayahnya sebelum kawin dahulu. Peti
besar, tetapi bukan penuh dengan kain baju, hanyalah dengan kain buruk si Fauzi. Macam-
macam .... !

Menilik kepada isi suratnya itu, nyatalah bahwa Ramah teguh pada pendiriannya."

"Tentu teguh," jawabku, "sebab jika orang lain mengatakan bahwa merantau itu susah,
tetapi bagi Ramah merantau itu nikmat. Sepuluh tahun di belakang, tidaklah dia akan lupa,
bagaimana senang dan tenteramnya ketika dia engkau bawa merantau. Tetapi setelah dia
pulang ke kampung, dia masuk neraka jahanam layaknya. Kiri kanan musuh belaka, hasung fitnah
tak berhenti, semuanya memakai selendang penutup rambut, tetapi di balik selendang itu
bersarang gunjing-fitnah, hasud dengki. Maklum di kampung, perkara yang kecil dibesar-
besarkan, perkara orang lain menjadi pembicaraan yang tidak putus-putus."

"Memang, engku, di mana salahnya itu?"tanya Musa sambil menghentikan


pembicaraannya.

"Sebabnya mudah saja, semuanya bertali dengan yang tadi, yaitu karena tidak ada
"rumah tangga" yang bebas. Orang perempuan pergi mandi bersamar-sama kepancuran, di
sanalah mereka bertemu, bercengkerama panjang lebar sebelum mandi." Tidak berapa lama
sesudah itu datang pula surat dari pada pihak ibu dan saudaraku. Isinya berbeda jauh dengan
isi surat yang dahulu bahwa di kampung tidak ada keadilan, di kampung orang tidak mau
memberi pembalaan kepada yang benar dan menyalahkan mana yang salah. Walaupun seorang
dipihak kebenar z, tetapi kalau sekiranya dia hidup di dalam golongan lawan, diapun dipandang
musuh dan salah pula. Sikap mamak menjemput isteriku ke rantati itu, dipandang oleh kaum
kerabatku sendiri sebagai suatu sikap yang memberi malu, menghina kepada mereka seakan-
akan mereka tidak dihargai. Sebab itu, seketika anak dan isteriku telah sampai di kampung,
dari pihak kaum kerabatku sendirilah yang banyak datang sindiran, hinaan dan gunjing. Apabila
suatu ketika mereka bertemu di jalan atau terpaksa, terjadilah sindir menyindir yang amat
menusuk hati. Adat kita yang biasa terpakai., tidak dilakukan lagi. Anakku lahir di rantau,
sebab dia telah pulang dengan selamat, sepatutnyalah dia dijemput oleh bakonya, oleh kaum
kerabat dan bermalam di rumah mereka.

Tetapi ini tidak ! Hal itu disampaikan pula oleh mereka sendiri dengan suratnya, walaupun
dari isteriku tidak dikabarkan.

Saya terpaksa menulis surat kepada ibuku, menyatakan bahwa di dalam hal ini isteriku
tidak salah. Tetapi mereka tidak pedulikan keteranganku itu. Bukankah isteriku di dalam
golongan mamak dan kaumnya ?

Di dalam perkara ini urusan orang suami isteri tidak lagi dipandang ! Urusan anak
dan ayah tidak lagi diperhatikan ! Yang bertentangan sekarang ini ialah pihak pamiliku
dengan pihak pamili isteriku. Karena isteriku di jemput ke rantau menghin a kepada
pamiliku. Pihak pamili isteriku mempertahankan diri dengan pendirian : "Perlu kami jemput
sebab sudah bertahun-tahun tidak sanggup suaminya membawa pulang."

Lama perkara itu menjadi suatu kerumitan besar. Dari isteriku datang surat dua
pucuk, tiga pucuk, sekali menyatakan putus asa sekali menyatakan kesusahan, sekali
meminta supaya kami jangan bercerai. Dari pamiliku demikian pula, di sana tersebut
penyesalan, sudah begitu sikap pamili isteriku kepada mereka, dan kepada diriku sendiri,
mengapa maka saya masih juga suka beristeri dia. Mereka tidak mau tahu bahwa isteriku
sendiri tidak bersalah ! Mereka tidak mau tahu bahwa saya cinta kepada isteriku. Malu
semalu, hina sehina ! Kalau sekiranya pihak isteriku telah membuat pekerjaan yang
demikian terhadapku, saya harus meninggalkan rumah itu, saya harus mencari isteri lain,
karena bukan dia saja perempuan yang bersanggul.

Inilah rupanya yang ditakutkan isteriku dahulu, itu sebabnya ketika dia akan
berangkat pulang itu, dipegangnya tanganku erat-erat, dia menangis dan memesankan
betul-betul, supaya dia jangan diceraikan.

Waktu itu beIum terasa olehku bagaimana berat pikiran isteriku, kemudian baru
saya insaf, engku.

Akan saya ceraikan isteri saya, nyata dia tidak bersalah !

Akan saya minta dia datang, tentu dia tak kuasa. Dia lemah, dia belum dapat
melepaskan diri dari pada kungkungan kaum kerabatnya. Tentu saja orang tidak
rnengizinkan dia berangkat.

Akan terus saya bergaul dengan dia, pamili saya sendiri tidak suka lagi.

Dalam pada itu, siang dan malam, petang dan pagi, isteriku dibujuk dicumbu jua oleh
ibu dan mamaknya sendiri dan kalau perlu diancam supaya segera meminta cerai, meminta
ta'lik dan meminta fasakh.

Lama saya rumit memikirkan ini, engku !


Mula-mula saya bermaksud saja menurut kata pamiliku yakni akan saya kirimkan
surat cerai. Alasan mereka ialah, supaya jangan dapat malu. Lebih baik dia diceraikan
dahulu, dari pada dia sendiri yang "menceraikan" kita lantaran dia pergi kepada tuan Kadi
meminta ta'lik.

Tetapi Setelah saya bulak-balikkan, dan saya pikirkan dengan tenang, dapatlah
keputusan bahwa permintaan kaum kerabat itu tidak akan saya kabulkan. Saya tidak akan
mencerai Ramah, sebab dia tidak bersalah sedikit jua kepadaku. Saya tidakan
menceraikan dia, saya tidak akan memutuskan tali silaturahim kami yang telah berhubung
bertahun-tahun itu. Saya tidak sampai hati mendengarkan sesalan anakku, Fau ziku,
apabila besar kelak, mengapa ibunya diceraikan dengan tidak bersala Mengapa maka dia
dibiarkan menjadi anak yang ditinggalkan ayah tinggal dengan ayah tiri, terkatung-katung
tak menentu. Sebab itu, belanja isteriku saya kirimkan juga, walaupun kecil. Pengiri man
belanja ini rupanya menjadikan fitnah jua dan memperdalam permusuhan diantara m ereka.

Saya tunggu apa yang akan terjadi!

Tidak berapa lama kemudian, yang saya tunggu itupun datanglah. Seorang kawan
saya, nama si Samah, yang datang dari kampung, membawa sepucuk surat dari tuan Kadi,
mengatakan, bahwa saya tidak beristeri lagi, bahwa Ramah datang kepada tuan Kadi
meminta kata putus.

Saya tersenyum menerima surat itu, tetapi Samah melihat jelas bahwa tanganku
gemetar.

Tiba-tiba dia berkata : "Engkau jangan menyesali si Rama Musa! Saya lihat sendiri
waktu dia akan datang menghadap tuan Kadi, sehingga pintu surau dia diiringkan oleh
ibunya. Orang kampung kita banyak yang tahu bahwa dia meminta kata putus itu lantaran
paksaan. Saya lihat air rnatanya meleleh ketika mengucapkan permintaan itu.

"Benar-benarkah engkau hendak meminta ta'lik?" tanya Kadi.

“Ya, . . . . .engku !”

"Sudah engkau fikirkan? sebab apabila uang khuluk ini telah saya singgung saja dengan
tangan saya, thalak itupun jatuhlah."

"Sudah ....”

Demikian ceritera si Samah Artinya Ramah telah memilih Pamilinya ......... Si Ramah tidak
salah!

"Memang," jawabku, "si Ramah tidak salah, dia seorang Perempuan yang dapat
mengeraskan hatinya dan melepaskan diri dari pada kungkungan pamili itu. Yang salah dalam
perkara ini barangkali engkau sendiri, sebab engkau lemah. Alangkah baiknya kalau sekiranya
engkau pulang ke kampung dan engkau jemput dia dengan diam-diam dan bawa merantau ..........”
Mendengarkan perkataan itu air mata Musa berlinang. Itulah baru air matanya menepi,
sejak pagi kami bercakap ! Dia menjawab : "Memang begitu engku . . . . . . .tetapi . . . . . . .”

“Tetapi apa?” kataku.

"Duit tidak ada, engku." lalu dia menekur menahan air matanya, dan sayapun tidak
bercakap lagi. Gembung batang leher saya menahan tangis . . . .

Adalah kira-kira tiga menit kami tidak berkata kata. Lalu Musa berkata : "Sampai
sekarang kabarnya Ramah belum jua persuami, dan sayapun belum pula beristeri buat
menggantikan dia. Kadang-kadang timbul perdayaan iblis dalam dadaku : "Akh, lebih baik kalau
hendak beristeri juga, janganlah berisiteri orang-orang kampung awak, cari orang lain, habis
perkara."

"Itu tidak betul !" kataku "pendirian itu salah! Biar engkau tak beristeri dahulu yang
setahun ini. Tetapi nanti pilihlah isteri menilik pada tanah tempat tumbuhnya. Kalau dapat
kelak isteri yang setuju, bolehlah Fauzimu engkau bawa."

'Tidak engku, sudah ! Sekarang saya sudah hampir putus asa, mudah-mudahan sembuh
jugalah kelak sakit putus asaku ini."

Dengan mengeluh dia berdiri, disandangnya kembali kain kasurnya yang belum laku itu,
akan dijajakannya moga-moga ada pula orang yang akan menukarkan kain kasurnya yang telah
usang.

Lalu ku keluarkan dompetku, saya berikan kepadanya harga kain itu dan saya lebihi satu
rupiah.

"Apa pula ini, engku!"

"Uang kertas itu harga kainmu, yang serupiah upah jerihmu."

“Terima kasih, engku" ujarnya dengan senyum. "Lain hari kalau engkau hendak menukar
kain kasur, jeput sajalah saya."

"Baik " kataku, dan senyum tersenyum pula .........

Meninjau padinya masak,

Batang kapas bertimbal jalan;

Hati risau dibawa gelak,

Bagai panas mengandung hujan.”


Musapun meneruskan perjalanannya,menyandang kain kasurnya, kuiringkan dengan
mataku sampai sehilang-hilangnya. Di liku jalan kedengaran suaranya yang sayup-sayup sampai
: "Kain kasur ...... Kain kasur ...........”

Tidak berapa saat kemudian berbunyilah beduk di sebuah langgar kecil di tepi sungai,
menandakan waktu Lohor telah tiba.

Anda mungkin juga menyukai