Anda di halaman 1dari 6

Hurriyatul Wardah

201610080311088

PBSI 7B

PERBANDINGAN STRUKTURAL PUISI “AKU” KARYA CHAIRIL ANWAR DAN


PUISI “SAJAK PEPERANGAN ABIMANYU” KARYA W.S RENDRA

Sastra perbandingan adalah wilayah keilmuan sastra yang mempelajari keterkaitan antar
sastra dan perbandingan sastra dengan bidang lain. Jalin-menjalin antar karya sastra sangat
dimungkinkan, karena setiap pengarang menjadi bagian dari penulis lain. Setiap pengarang sulit
lepas dari karya orang lain, karena mereka harus membaca dan meresepsi karya orang lain.
Dalam kajian sastra perbandingan ini, selalu diperlukan kaidah-kaidah teoritis yang berhubungan
dengan ilmu sastra. Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, sebuah kreasi bukan semata - mata
sebuah imitasi. Yang termasuk dalam kategori sastra adalah: Puisi, Novel cerita/cerpen
(tertulis/lisan), syair, pantun, sandiwara/drama, lukisan/kaligrafi. Secara etimologis, kata puisi
dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya penciptaan. Dalam bahasa Inggris,
padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan poet dan poem. Mengenai kata poet,
Coulter (dalam Tarigan) menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat
atau mencipta. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui
imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-
dewa. Kajian intertekstual puisi adalah kajian yang membandingkan, menjajarkan, dan
mengontraskan puisi-puisi secara teks. Hubungan intertekstualpuisi ditunjukkan oleh adanya
pengaruh suatu puisi terhadap puisi yang lain, yang bisa berupa kesejajaran dan atau bahkan
kekontrasan.

Berdasarkan uraian di atas, penulis melakukan penelitian tentang perbandingan struktural


puisi “Aku” karya Chairil Anwar dan “Sajak Peperangan Abimanyu” karya W.S Rendra dengan
pendekatan Struktural. Pendekatan struktural ini merupakan alat untuk mengkaji puisi
berdasarkan struktur yang membangun puisi. Hal ini yang ditegaskan Pradopo yang menyebut
pendekatan struktural sebagai usaha untuk menggali puisi ke dalam unsur atau struktur yang
membangunnya dan fungsinya di dalam saja. Lebih lanjut, Aminudin menyebut bahwa dengan
pendekatan struktural ini merupakan proses mengkaji puisi dengan sistematis objektif terhadap
unsur intrinsik dan ekstrinsik di dalam puisi. Dalam beberapa paragraph dibawah ini, penulis
akan menjelaskan analisa dari dua puisi yang berbeda, yaitu “Aku” karya Chairil Anwar dan
“Sajak Peperangan Abimanyu” karya W.S Rendra. Masing-masing puisi memiliki perbedaan dan
persamaan dari beberapa aspek. Maka pada akhir analisa ini penulis akan membuat kesimpulan
berisi perbandingan kedua puisi tersebut yang menjelaskan bagaimana kedua puisi tersebut
memiliki kesamaan dan perbedaan.

Aku
Karya Chairil Anwar
Kalau sampai waktuku.
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku.
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Analisis
Puisi di atas adalah puisi yang ditulis oleh salah satu penyair paling terkenal di Indonesia,
yaitu Chairil Anwar. Puisi yang berjudul “Aku” ini memiliki tema perjuangan yang
menggambarkan kegigihan dan semangat perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu
penjajahan, dan semangat hidup seseorang yang ingin selalu memperjuangkan haknya tanpa
merugikan orang lain, walaupun banyak rintangan yang ia hadapi. Diksi atau pilihan kata dalam
puisi tersebut banyak mengandung atau mendeskripsikan perjuangan. Menurut saya amanat yang
coba disampaikan oleh Chairil Anwar adalah manusia harus tegar, kokoh, terus berjuang,
pantang mundur meskipun rintangan menghadang, berani mengakui keburukan dirinya, tidak
hanya menonjolkan kelebihannya saja, harus mempunyai semangat untuk maju dalam berkarya
agar pikiran dan semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya.
Alur puisi ini tidak dibuat seperti cerita, melainkan menyampaikan perasaan penulis
mengenai perjuangan. Pada bait pertama, dijelaskan bahwa beliau ingin membuang semua
kekhawatirannya akan kematian. Dan juga tidak peduli terhadap siapa pun yang merayunya,
bahkan tidak juga kekasihnya sendiri. Bait kedua menjelaskan bahwa beliau memberikan pesan
kepada orang-orang terdekatnya supaya melepaskannya, jika saatnya untuk menghadap sang
khalik telah tiba. Bahkan beliau menyebut dirinya sebagai binatang jalang, sebagai simbol
kehinaan dirinya. Bait ketiga terdapat penjelasan bahwa beliau telah berterus terang tentang apa
yang telah di deritanya, akan tetapi beliau tetap mencoba untuk menanggungnya sendiri. Karena
jika saatnya tiba rasa sakit yang di deritanya akan hilang. Di bait terakhir beliau mengatakan
bahwa beliau ingin hidup seribu tahun lagi. Artinya beliau ingin semua karyanya hidup
selamanya walaupun kini beliau telah tiada.
Dari pengamatan saya, tokoh yang ada dalam puisi ini yaitu sang penyair dan pembaca.
Karena puisi ini banyak menggunakan kata “aku” yang berarti penyair itu sendiri dan terdapat
kata “Kau” yang berarti pembaca. Latar tempat dan waktu tidak dijelaskan dalam puisi ini,
namun terlihat bahwa latar suasana puisi ini adalah penuh perjuangan, optimis dan kekuatan
emosi yang cukup tinggi tetapi ada beberapa suasana yang berubah menjadi sedih karena dalam
puisi tersebut menceritakan ada beberapa orang yang tak menganggap perjuangannya si tokoh.
Majas yang terkandung dalam puisi ini adalah hiperbola pada kalimat “Aku tetap meradang
menerjang”. Selain itu, terdapat majas metafora pada kalimat “Aku ini binatang jalang”.

Sajak Peperangan Abimanyu (untuk putraku : Isaias Sadewa)


Karya WS Rendra.
Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru
Sang ksatria berdiri dengan mata bercahaya.
Hatinya damai,
di dalam dadanya yang bedah dan berdarah,
karena ia telah lunas
menjalani kewajiban dan kewajarannya.

Setelah ia wafat
Apakah petani-petani akan tetap menderita
Dan para wanita kampung
Tetap membanjiri rumah pelacuran di kota ?
Itulah pertanyaan untuk kita yang hidup.
Tetapi bukan itu yang terlintas di kepalanya
Ketika ia tegak dengan tubuh yang penuh luka-luka
Saat itu ia mendengar
Nyanyian angin dan air yang turun dari gunung

Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa.


Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayat ;
Di saat badan berlumur darah,
Jiwa duduk di atas teratai.
Ketika ibu-ibu meratap
Dan mengurap rambut mereka dengan debu,
Roh ksatira bersetubuh dengan cakrawala
Untuk menanam benih
Agar nanti terlahir para pembela rakyat tertindas
- Dari zaman ke zaman.

Analisis
Puisi di atas adalah puisi yang ditulis oleh salah satu penyair paling terkenal di Indonesia,
yaitu WS Rendra. Puisi yang berjudul “Sajak Peperangan Abimanyu” ini memiliki tema
perjuangan mewujudkan cita dan rasa, dan menggambarkan tentang hakikat perjuangan sebagai
bukti atau perwujudan nyata akan cita-cita dan rasa yang mesti di lakukan hingga akhir hayat.
Dari puisi diatas terdapat beberapa pilihan kata khas yang dipilih penyair sehingga tidak bisa
diganti walaupun kata tersebut makna denotatifnya sama, diksi yang terdapat dalam puisi
diatas antara lain, maut, delapan penjuru, ksatria, lunas, wafat, kampung, meratap, roh, dan
cakrawala. Menurut saya amanat yang coba disampaikan oleh W.S Rendra adalah perjuangan
dalam menggapai cita-cita yang besar, begitu besarnya sampai penyair menggambarkannya
sampai harus mempertaruhkan nyawa.
Alur puisi ini dimulai dengan sang penyair menjelaskan bahwa saat menghadapi maut
Abimanyu tegar dan pasrah penuh kedamaian, hutangnya lunas saat dia berbohong pada Utari
bahwa dia masing single. Berbohong bisa merontokkan “kesaktian” Abimanyu yang
kesehariannya sebagai ksatria tak terkalahkan. Dia harus rela dan puas gugur dirajam panah para
kurawa seperti sumpahnya sendiri. Kemudian bait kedua menjelaskan permasalahan dengan
kematian Abimanyu semua sudah terbayar apakah belum, akankah rakyat kecil menerima
dampak tebusan kematian sang ksatria. Dia bukan juru selamat yang dapat menebus dosa insani.
Abimanyu tidak berpikir sejauh itu, bahkan dalam hati kecilnya dia hanya puas dengan
terbalasnnya dosa ‘berbohong’ yang harus dia bayar dengan nyawanya, tak peduli dengan
kesaktiannya, pada wahyu cakraningrat sebagai calon raja di masa yang akan datang. Saat
kepasrahannya menghadap sang pencipta, terdengar nyanyian surgawi berupa puji-puji kitab
suci, serasa sejuk bagai tersiram air gunung. Bait ketiga menjelaskan Abimanyu sadar betul
bahwa perjuangan hanya akan menjadi sebagian kecil kontribusi terhadap tercapainya sebuah
visi. Perjuangannya adalah pelunasan hak dan kewajiban masing-masing individu. Darah
mengucur deras keluar dari luka dengan panah yang masih menancap tegar. Jiwa Abimanyu
bangkit dan siap dengan sikap semedi sempurna ‘sedakep sinuku tunggal’ seakan duduk di atas
bunga teratai bidadari. Bait terakhir menjelaskan para wanita, ibu, istri, dan para dayang
menangis, meratapi kematian sang ksatria yang sebenarnya sudah tidak perduli lagi pada urusan
dunia. Rohnya berkeliling cakrawala, mengamati kepada siapa kelak dia hendak menitis dan
terlahir kembali sebagai kesatria yang lebih baik dengan ‘Wahyu Cakraningrat’ yang masih
menempel pada rohnya. Saat itu istri Abimanyu sedang hamil, kurang dari 40 hari dan masih ada
kemungkinan roh Abimanyu akan menitis ke dalam Rahim istrinya, dan kelak lahirlah seorang
calon raja Astinapura.
Tokoh yang ada dalam puisi di atas adalah penulis, karena diceritakan dari pandangan
penulis. Latar tempat dan waktu tidak dijelaskan dalam puisi ini, namun terlihat latar suasana
puisi ini adalah penuh dengan perjuangan dan berduka pada akhirnya karena pada bait terakhir
sang ksatria meninggal. Majas yang terkandung dalam puisi ini adalah hiperbola pada kalimat
“Sang ksatria berdiri dengan mata bercahaya” , personifikasi pada kalimat “Nyanyian angin dan
air yang turun dari gunung”, dan repetisi pada kalimat dapat dilihat pada bait ketiga baris
pertama dan kedua mengulangi 2 kata yang sama yaitu Perjuangan.

Perbandingan
Setelah membaca kedua puisi di atas dengan teliti, serta menganalisa masing-masing
puisi dari segi intrinsik dan ekstrinsik, maka saya dapat membuat kesimpulan berikut mengenai
kemiripan dan perbedaan yang dimiliki kedua puisi tersebut. Kedua puisi yang tertera di atas
memiliki beberapa persamaan, begitu juga perbedaan. Persamaan yang sangat terlihat adalah
tema, karena kedua puisi berhubungan dengan perjuangan. Dapat dilihat dari kedua puisi tersebut
mengandung kata-kata perjuangan. Tetapi sedikit perbedaannya adalah Chairil Anwar
menghubungkan perjuangan dengan sebuah karya. Sedangkan WS Rendra menghubungkan
perjuangan dengan kehidupan masyarakat.
Persamaan lain yang dapat terlihat adalah penggunaan salah satu majas atau gaya bahasa
dalam puisi kedua penyair tersebut, yaitu majas hiperbola. Sepertinya mereka sama-sama suka
menggunakan kata yang berlebihan untuk mengungkapkan sesuatu di dalam puisinya. Dalam
puisi Chairil Anwar, ia menggunakan majas hiperbola seperti “sedu sedan” dan “meradang
menerjang”. Sedangkan dalam puisi WS Rendra ia menggunakan majas hiperbola seperti
“berdiri dengan mata bercahaya”.
Dalam segi alur, suasana, latar tempat, dan waktu sudah jelas berbeda karena
penyampaiannya juga tidak sama. Chairil Anwar hanya mengungkapkan seluruh perasaannya
pada satu puisi itu. sedangkan WS Rendra melakukannya seperti mendeskripsikan sebuah
kejadian, kemudian mengungkapkan sebuah perasaan. Perbedaan lainnya terdapat pada nada.
Pada puisi Aku diatas menggunakan nada-nada yang berwibawa, tegas, lugas dan jelas dalam
penyampaian puisi ini, karena banyak bait-bait puisi tersebut mengandung kata perjuangan.
Menggunakan nada yang syahdu di bait yang terkesan sedikit sedih. Sedangkan nada pada puisi
Sajak Peperangan Abimanyu hanya sekedar memberi tahu pembaca saja, karena tiap bait dalam
puisi Sajak Peperangan Abimanyu di atas tidak diketemukan nada mengajak, menyarankan,
ataupun yang lain. Nada memberi tahu pada puisi diatas cenderung dapat dirasakan pada bait ke-
3.

Anda mungkin juga menyukai