Karya:
Dr. Nani Solihati, M.Pd.
Prof. Dr. Ade Hikmat, M.Pd.
Syarif Hidayatullah, M.Pd.
Diterbitkan oleh:
UHAMKA PRESS
Anggota IKAPI, Jakarta
Jl. Gandaria IV, Kramat Pela, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Telp. (021) 73398898/ext. 112, website: www.uhamkapress.com
e-mail: uhamkapress@yahoo.co.id
Dalam penulisan buku ini, tentu masih dalam wujud yang jauh
dari sempurna oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan
saran dari pembaca untuk perbaikan buku ini melalui pos elektronik
yang terdapat dalam biodata penulis. Semoga buku ini bermanfaat
bagi pembaca, khususnya untuk para peserta didik dan pendidik.
BAB V: DRAMA
A. Tujuan Pembelajaran ........................................................... 111
B. Pengertian Drama ................................................................ 112
C. Unsur-unsur Drama ............................................................. 114
1. Tema dan Amanat ......................................................... 114
2. Penokohan ...................................................................... 115
3. Alur ................................................................................ 116
4. Latar ............................................................................... 117
a. Tempat ..................................................................... 117
b. Waktu ....................................................................... 119
c. Suasana .................................................................... 119
5. Tikaian atau Konflik ...................................................... 120
C. Fungsi Sastra
Sastra dengan berbagai jenis karyanya telah dibaca oleh
banyak orang. Intensitas membacanya beragam, ada yang sering,
ada yang sesekali. Pertanyaannya, untuk apa mereka membaca
karya sastra?
Peran karya sastra dalam tradisi umat manusia memang
multipersfektif. Sajian alur dan penokohan di dalam karya sastra
mampu membangun keyakinan atau mitos tertentu untuk dijadikan
pelajaran. Misalnya cerita tentang Malin Kundang, oleh masyarakat
cerita ini dianggap sebagai sebuah kejadian nyata untuk dijadikan
pelajaran agar tidak durhaka kepada orang tua. Di sisi lain, karya
sastra dianggap representasi kehidupan nyata. Anggapan kehidupan
Buya Hamka sewaktu muda adalah seperti tercermin pada novelnya
Di Bawah Lindungan Ka‟bah atau Tenggelamnya Kapal
Vanderwijck.
Pandangan-pandangan demikian menunjukkan bagaimana
sebuah karya sastra membentuk persepsi penikmatnya, sehingga
karya sastra bukan hanya sebuah benda yang mati setelah ditulis,
namun justru hidup setelah tulisan itu telah berakhir. Hidupnya
sastra itu ketika ia berfungsi kepada pembacanya.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa fungsi sastra berikut ini:
1. Fungsi Estetik
Karya sastra memiliki fungsi estetik yang artinya bahwa karya
sastra memberikan keindahan kepada pembacanya. Hal ini
diungkap oleh Horace dalam Wellek dan Warren bahwa karya sastra
itu harus dulce atau indah (2014: 23).
Keindahan itu didapat di semua karya sastra. Misalnya dalam
puisi. Permainan rima dan irama membuat puisi syahdu ketika
didendangkan, sementara diksi yang puitis membuat puisi selain
memiliki kedalaman makna juga turut memberikan keindahan.
Dalam karya fiksi, keindahan terdapat pada deskripsi dan narasi
2. Fungsi Edukasi
Selain memberikan fungsi estetik, ungkapan Horace lainnya
adalah utile atau berguna. Artinya karya sastra harus memiliki nilai
guna bagi pembacanya, dalam hal ini mengajarkan sesuatu kepada
pembacanya. Misalnya tentang perangai baik dan buruk yang
terdapat di dalam cerita fiksi.
Dengan membaca karya fiksi, kita mampu mengetahui
hukum kausalitas dari segala perbuatan manusia. Berbuat baik
akan mendapatkan apa, demikian juga sebaliknya. Sehingga dengan
karya sastra, pembaca tidak perlu mengalami terlebih dahulu untuk
merasakan pahitnya sesuatu atau dalam kata lain, pembaca mampu
menjadikan karya sastra tersebut sebagai teladan atau contoh. Hal
ini yang ditegaskan Ratna, menurutnya karya sastra merupakan
sarana pendidikan karakter karena mampu memberikan nasihat,
contoh, dan teladan (2014: 672).
3. Fungsi Hiburan
Fenomena pemuatan karya sastra di koran maupun majalah
tidak lain adalah untuk memberikan hiburan kepada pembaca setia
koran tersebut. Lewat keindahan kata-kata di dalam puisi serta
rangkaian alur yang menyentuh hati dalam karya fiksi, sastra
menjadi bacaan alternatif yang ditunggu setiap minggu.
Berkaitan dengan hal itu, Poe dalam Wellek dan Warren
menyebut bahwa sastra itu berfungsi untuk menghibur (2014: 23).
Dengan demikian, penciptaan karya sastra pada dasarnya bukan
hanya untuk tujuan didaktis saja, namun untuk tujuan menghibur
pula.
4. Fungsi Ekpresi
Karya sastra pada dasarnya merupakan bentuk ekspresi para
pengarangnya. Endapan pikiran dan perasaan yang kemudian
dirangkai menjadi berbagai bentuk karya sastra. Kegelisahan
terhadap apa yang terjadi di lingkungan masyarakatnya yang
kemudian dituangkan dalam bentuk narasi yang puitis atau penuh
E. Studi Sastra
Menurut Wellek dan Warren dalam studi sastra dikenal tiga
wilayah yakni teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra (2014:
35). Yang dimaksud dengan teori sastra adalah ilmu sastra yang
mempelajari hakikat sastra, unsur-unsur yang membangun karya
sastra, jenis karya sastra, dan perkembangan pemikiran pakar
tentang sastra dan karya sastra. Artinya, apa yang disampaikan di
dalam teori sastra adalah tentang apa itu karya sastra, sehingga
dengan mempelajari teori sastra kita mengetahui bentuk karya
sastra seperti puisi, cerita fiksi, drama, dan esai untuk kemudian
kita mengetahui unsur-unsur yang membangun karya-karya
tersebut.
Adapun yang dimaksud degan sejarah sastra adalah ilmu
yang mempelajari perkembangan karya sastra, tokoh-tokohnya, dan
ciri masing-masing tahap perkembangan tersebut. Dengan kata lain,
mempelajari sejarah sastra adalah tentang kapan, siapa, di mana.
Artinya, mempelajari sejarah sastra merupakan upaya mempelajari
kapan kemunculan sastra, siapa tokoh yang melatarbelakanginya,
serta di mana karya sastra itu berkembang.
Terakhir, kritik sastra. Yang dimaksud kritik sastra adalah
ilmu yang mempelajari sastra dalam bentuk pemahaman,
penghayatan, penafsiran, dan penilaian terhadap karya sastra. Oleh
karena itu, mempelajari kritik sastra adalah tentang kenapa dan
bagaimana. Artinya, mempelajari kritik sastra adalah mempelajari
kenapa karya sastra ini dapat disebut sebagai kanon atau sebagai
sastra pop. Selain itu, dengan mempelajari kritik sastra kita akan
mengetahui bagaimana karya sastra itu dapat disebut karya yang
bermutu sastra atau karya yang pop.
Meski secara subtantif ketiga studi sastra itu berbeda, namun
pada dasarnya ketiga istilah ini tidak dapat dipisahkan, sebab tidak
mungkin menyusun teori sastra tanpa membahas kritik sastra dan
sejarah sastra, tidak mungkin ada kritik sastra tanpa berpijak pada
F. Wilayah-wilayah Sastra
Wilayah dalam KBBI dapat dimaknai sebagai daerah atau
lingkungan daerah. Wilayah sastra dapat diartikan sebagai sastra
yang melingkupi daerah tertentu. Dalam konteks wilayah sastra ini,
Esten membagi wilayah sastra menjadi tiga bagian, wilayah
penciptaan kesusastraan, wilayah penelitian kesusastraan, dan
wilayah penikmat karya sastra (2013: 9-10). Wilayah penciptaan
adalah wilayah bagi yang memproduksi karya sastra, dalam hal ini
penulis karya sastra tersebut. Berkaitan dengan wilayah ini, dalam
sastra Indonesia, kita mengenal presiden penyair Indonesia, yaitu
Sutarji Calzoum Bachri, sementara presiden cerpenis Indonesia, Joni
Ariadinata.
F. Latihan
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi
yang telah dibaca, kerjakanlah latihan berikut!
1. Mengapa konsep Horace tentang karya sastra harus
mengandung dua hal yakni Dulce dan Utile dapat
disandingkan dengan pengertian etimologi susastra?
2. Jelaskan perbedaan fungsi karya sastra sebagai fungsi estetik
dan fungsi hiburan!
3. Studi sastra terbagi menjadi tiga, yakni teori sastra, sejarah
sastra, dan kritik sastra. Jelaskan hubungan ketiganya
dalam mengkaji karya sastra!
4. Ada tiga wilayah dalam sastra, yakni wilayah penciptaan
kesusastraan, wilayah penelitian kesusastraan, dan wilayah
penikmat karya sastra. Jelaskan maksud dari ketiga istilah
tersebut!
5. Apa yang membedakan antara sastra koran dan sastra
digital? Jelaskan!
6. Mengapa sastra digital disebut sebagai sastra sampah?
Jelaskan!
7. Pengembangan karya sastra secara umum terbagi menjadi
dua, yakni sastra lisan dan tulisan. Jelaskan maksud dari
kedua istilah tersebut dan berikan contohnya!
8. Jelaskan pengertian sastra secara etimologi!
B. Pengertian Puisi
Puisi merupakan karya sastra yang memiliki bentuk yang
paling identik. Hal ini terlihat dari bentuk fisiknya yang berbeda
dengan cerita pendek, novel, dan drama. Selain perbedaan fisik,
puisi juga memiliki perbedaan lainnya, yakni perbedaan dalam
pemilihan kata atau diksi. Diksi dalam puisi sangat berbeda dengan
karya sastra lainnya. Namun demikian, tidak menuntut
kemungkinan bahasa yang puitis tersampaikan pula pada jenis
karya sastra lainnya, misalnya dalam drama, karya William
Shakespeare seperti Hamlet, Macbeth, serta Romeo dan Juliet.
Dalam cerita pendek dan novel pun hal yang sama mudah
ditemukan, bacalah karya Agus Noor dan Ayu Utami. Sensasi
keindahan bahasa khas puisi dapat ditemukan dalam narasi cerita
pendek dan novel mereka.
Berdasarkan perbedaan tersebut, sebetulnya dapat ditarik
sebuah simpulan tentang pengertian puisi, yakni puisi adalah
ungkapan perasaan yang disampaikan oleh pengarang dengan
mengedepankan diksi yang indah. Adapun yang dimaksud dengan
diksi yang indah ini, dapat kita lihat pendapat Waluyo tentang puisi
yang disebutnya sebagai karya sastra yang bahasanya padat,
singkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan
kata-kata kias (2005: 1). Dengan demikian, keindahan yang
dimaksud adalah keindahan yang padat, berirama, dan memiliki
bahasa kias.
Irama di dalam puisi menjadi bagian penting karena puisi pada
akhirnya tidak hanya untuk dibaca (tanpa dilisankan), namun juga
dilisankan dalam bentuk pembacaan puisi, deklamasi puisi,
dramatisasi puisi, dan musikalisasi puisi. Kesadaran ini yang
disinggung Sutarji Calzoum Bachri dalam kredonya yang
C. Ciri-ciri Puisi
Dalam mendefinisikan puisi, banyak ahli menyebut unsur-
unsur yang harus ada di dalam puisi. Unsur-unsur tersebut dapat
disebut sebagai ciri-ciri puisi, diantaranya bahwa puisi harus
mengandung nilai estetik, bahasa yang padat, dan ekspresi yang
1. Fungsi Estetik
Puisi sebagai sebuah karya sastra harus mempertimbangkan
aspek keindahan. Hal ini diharapkan muncul dari karya-karya
sastra yang lahir. Sebab, satu-satunya wahana bahasa yang
menawarkan keindahan, tidak lain adalah karya sastra itu sendiri
sebagaimana disebut Horace dalam Wellek dan Warren (2014: 23)
sebagai dulce (indah).
Dengan penegasan semacam itu, maka jelas bahwa satu-
satunya yang membedakan karya sastra dengan karya tulis lain
adalah fungsi estetiknya. Karya sastra yang tak dapat memberikan
nilai estetik tidak dapat disebut sebagai karya seni.
Puisi memiliki kekuatan untuk menyampaikan fungsi estetik
itu melalui susunan kata-katanya. Tidak hanya terletak pada
susunan rimanya, namun juga pada susunan lainnya seperti
permainan kata yang menawarkan kedalaman makna.
2. Kepadatan
Puisi juga harus menunjukkan bahasa yang padat. Hal ini
ditekankan oleh Perrine dalam Siswantoro yang menyebut puisi
merupakan bentuk karya sastra yang paling padat (2010: 23).
Dari pendapat tersebut, maka puisi hendaknya
menyampaikan bahasa yang tidak bertele-tele. Kalaupun harus
mendeskripsikan suatu kejadian, maka kejadian tersebut tidak
dideskripsikan layaknya seorang cerpenis maupun novelis.
Perhatikan puisi WS Rendra, Balada Terbunuhnya Atmo Karpo
berikut ini:
3. Ekspresi
Pada dasarnya semua bentuk tulisan merupakan sebuah
ekspresi, hal ini termasuk di dalamnya puisi. Bahkan puisi erat
kaitannya dengan kata-kata yang menyiratkan suara hati. Muda-
mudi banyak mengungkapkan perasaan cinta melalui puisi. Para
politikus turut berpuisi meski bukan penyair, misalnya presiden
keenam Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono yang sudah
menerbitkan dua kumpulan puisi.
Fakta-fakta ini menunjukkan betapa puisi pada dasarnya
merupakan media yang sering dipilih untuk mengungkapkan
perasaan hati, gejolak jiwa, kecamuk pikiran. Namun, sebagai
sebuah karya seni, apa yang terdapat di dalam puisi tetaplah
dipandang imajinasi. Hal ini sebagaimana ditekankan oleh
Wordsworth dalam Suryaman dan Wiyatmi yang menyebut puisi
sebagai pernyataan perasaan imajinatif (2012: 12). Artinya,
persfektif dan gagasan dalam puisi adalah gagasan khayali yang
menuntun pembaca pada perasaan tertentu.
Ekspresi imajinatif ini dapat dilihat pada puisi Dian Hartati
dalam judul puisinya Kau Tak Melihat Kupukupu di Leherku. Puisi
ini hanya tiga baris saja, perhatikan,
1. Struktur Fisik
Pada dasarnya puisi memiliki bentuk yang berbeda dari
bentuk karya sastra lainnya. Perbedaan ini terlihat dari struktur
fisiknya yang terdiri dari beberapa baris dan bait puisi. Tentu istilah
ini tidak akan muncul pada karya sastra lainnya.
Berbicara struktur fisik puisi tidak akan lepas membicarakan
perkembangannya. Dalam perkembangannya, struktur fisik puisi
menunjukkan perbedaan. Misalnya dengan penyajian rima, irama,
dan metrum. Dalam puisi lama, ketiga hal tersebut merupakan hal
yang harus diperhatikan. Namun dalam perkembangan puisi baru,
ketiga hal tersebut mulai ditinggalkan, meski sebagian penyair
berupaya mengolaborasikan kecendrungan lama dengan
kecendrungan baru. Oleh karena itu, seluruh struktur fisik puisi
tetap disampaikan dalam pembahasan ini.
Struktur fisik di dalam puisi menyangkut wujud puisi, diksi,
gaya bahasa, kata konkret, dan citraan. Kelima struktur fisik ini
tidak secara konsisten hadir di dalam puisi, sebab kehadiran
struktur fisik dilakukan penyair untuk menyampaikan maksud dan
tujuan tertentu.
a. Wujud Puisi
Di dalam puisi Indonesia pada umumnya, wujud puisi
dibangun dengan empat hal yakni, bait dan baris, pungutasi,
tipografi, dan enjabemen. Namun dalam perkembangan puisi
modern, unsur-unsur tersebut bisa saja hilang. Misalnya puisi
Afrizal Malna berikut ini,
ASIA MEMBACA
Asia.
1985
Inilah peperangan
Tanpa jenderal, tanpa senapan
Pada hari-hari yang mendung
Bahkan tanpa harapan
1966
2) Pungtuasi
Puisi yang ditulis oleh penyair biasanya memiliki ciri yang
berbeda dengan gaya penulisan karya sastra maupun jenis tulisan
lainnya. Hal ini erat kaitannya dengan Pungtuasi. Pungtuasi
3) Tipografi
Tipografi merupakan perwajahan puisi yang membentuk
baris-baris puisi menjadi bentuk-bentuk yang variatif untuk
menyiratkan makna tertentu. Tipografi menjadi ciri khas penanda
puisi baru, hal ini karena dalam puisi lama, permainan tipografi
dalam puisi belum digunakan. Yang sering menggunakan tipografi
ini adalah Sutarji Calzoum Bachri, misalnya dalam puisi Tragedi
Winka dan Sihka. Selain Sutarji, penyair lain juga menggunakan
bentuk tipografi ini, misalnya puisi Mbling Remy Sylado berjudul
Jangan Bergunjing Ada Ini di Dindingberikut ini:
4) Enjabemen
Enjabemen adalah pemenggalan baris puisi yang dilakukan
penyair untuk maksud tertentu. Untuk menyusun puisi yang baik,
penyair tidak hanya mempertimbangkan kata. Namun, peletakan
Sajak Samar
Karya Abdul Hadi WM
b. Diksi
Diksi adalah proses pemilihan kata oleh penyair. Kemampuan
ini mutlak dimiliki seorang penyair agar bahasa dalam puisinya
tidak seperti artikel atau karya prosa. Dengan demikian, struktur
puisi yang padat dan bermakna menjadi kunci untuk menyusun
puisi yang indah.
Namun dalam konteks tertentu, penyair memiliki dua pilihan
untuk menghamparkan keindahan kepada pembacanya. Dalam
bahasa penyair biasa disebut dengan puisi gelap dan puisi terang.
Puisi gelap adalah puisi yang menyajikan diksi yang sulit untuk
dipahami maknanya sehingga membutuhkan perenungan berkali-
kali. Puisi terang adalah puisi yang menyajikan diksi yang mudah
untuk dipahami sehingga hanya dengan diperdengarkan saja puisi
dapat dimengerti.
Berdasarkan kedua karakteristik tersebut, maka puisi gelap
biasanya tidak cocok untuk dipentaskan di sebuah panggung,
sebaliknya puisi terang akan terdengar mengagumkan dan
Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu
1) Penggunaan Lambang
Lambang dalam puisi bermakna penggantian suatu hal/benda
dengan hal/benda lain (Waluyo, 2005: 4). Dalam memaknai lambang
yang disampaikan penyair, paling tidak pembaca harus memiliki
pandangan dunia yang sama dengan penyairnya. Misalnya untuk
kata ―hujan‖, lambang hujan dapat berarti air mata, kesedihan,
keharubiruan. Dengan demikian pemaknaan terhadap baris puisi,
hujan di matamu yang runtuh, mengiris tubuh. Dapat dimaknai
sebagai air mata yang jatuh di matamu dapat menyiksaku.
Penggunaan lambang dalam puisi befungsi untuk membuat
puisi memiliki efek estetis. Misalnya, pilihan kata R Giryadi dalam
puisinya Mendung Bulan Juni. Ia menulis di bait pertama, aku
mengerti, kau akan kembali/pada laki-laki yang memanggul
mendung/menebar hujan/menebar halilintar//. Penggambaran
sosok lelaki dengan lambang mendung untuk makna pemurung,
2) Versifikasi
Versifikasi di dalam puisi menyangkut dua aspek yakni bunyi
dan irama. Permainan bunyi ini sering juga disebut sebagai rima.
Sehingga berbicara versifikasi maka berbicara rima dan irama pula.
a) Rima
Bunyi atau rima yang disusun dengan baik membangun
keindahan di dalam puisi.. Hal inilah yang tampaknya disadari oleh
penyair Indonesia. Di Indonesia penyair yang senang memainkan
bunyi dan rima adalah Sutarji Calzoum Bachri, Amir Hamzah,
Taufiq Ismail, namun sebelum puisi-puisi mereka muncul,
sebetulnya budaya literasi puisi kita memang mengakar pada bunyi-
bunyian. Hal ini terlihat dalam pantun, syair, seloka, dan gurindam.
Perhatikan contoh pantun berikut:
Aku Ingin
Karya Sapardi Djoko Damono
Heyyyy Eyjafjallajokull
Jaf jaf jaf jaf! Eyjafjallajokull
Jalla jalla jalla heeeyy Eyjafjallajokull
Alamaakk! Eyjafjallajokull
Begitu sedap dibikin lagu
Kenapa dikau bikin mampus
Seluruh Eropa hingga pinggiran Asia?
b) Irama
Irama merupakan naik-turunnya bunyi bahasa yang teratur.
Menurut Pradopo (2009: 40), irama terbagi menjadi dua, ada yang
c. Gaya Bahasa
Gaya bahasa erat sekali dengan penggunaan majas. Menurut
Nurgiyantoro permajasan merupakan penggaya bahasa yang
maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang
mendukung, melainkan pada makna yang ditambah, makna yang
tersirat (1987: 297). Hal ini menunjukkan bahwa bahasa dalam puisi
bukanlah bahasa yang sifatnya denotatif atau makna sebenarnya,
melainkan makna konotatif atau makna tersirat.
Dalam persefektif macam gaya bahasa atau majas ini, Tarigan
(1990: 117) membagi gaya bahasa menjadi empat jenis yakni, majas
perbandingan, majas pertentangan, majas penegasan, dan majas
perulangan. Keempat jenis majas ini kemudian terbagi kembali
menjadi beberapa bagian, yaitu majas perbandingan terdiri dari
perumpamaan, kiasan, penginsanan, alegori, dan antitesis. Majas
pertentangan terdiri dari hiperbola, litotes, ironi, oksimoron,
paronomasia, paralipsis, dan zeugma. Majas penegasan terdiri dari
metonimia, sinekdoke, alusi, eufimisme, elipsis, inversi, dan gradasi.
Majas perulangan terdiri dari aliterasi, antanaklasis, kiasmus, dan
repetisi.
Di antara jenis-jenis majas tersebut, yang sering digunakan
adalah majas perbandingan. Hal ini karena majas perbandingan
sifatnya membandingkan suatu hal/benda dengan hal/benda yang
lain secara tidak langsung. Perbandingan ini pada akhirnya
membutuhkan interpretasi pembaca untuk memaknai konteks
pembandingan yang ditulis oleh penyair. Maka dari itu, puisi
tersebut tidak dangkal, namun kaya dengan makna.
2) Kiasan
Majas kiasan adalah majas yang membandingkan sesuatu
dengan sesuatu yang lainnya tanpa menggunakan kata-kata
pembanding. Hal inilah yang disampaikan oleh Becker dalam
Pradopo yang menyatakan bahwa, kiasan seperti perbandingan,
hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding, seperti: bagai,
laksana, dan lain sebagainya (2009: 66). Perhatikan majas kiasan
yang terdapat pada puisi Kangen berikut ini:
Kangen
Karya WS Rendra
3) Penginsanan
Penginsanan disebut juga dengan personifikasi. Majas
penginsanan merupakan majas yang membuat benda-benda mati
seolah-olah hidup seperti manusia atau dalam pendapat Keraf
disebut sebagai gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-
benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah
memiliki sifat-sifat kemanusiaan (1987: 140). Perhatikan puisi
berikut:
Selamat ulang tahun, buku. Makin lama kau makin kaya saja.
Tambah cerdas pula. Aku saja yang tambah parah dan sekarang
mulai pelupa.
Maaf, aku tidak bisa kasih hadiah apa-apa selain sejumlah ralat
dan catatan kaki yang aku tak tahu akan kutaruh atau
kusisipkan di mana. Sebab kau sudah pintar membaca dan
meralat dirimu sendiri.
Selamat ulang tahun, buku. Anggap saja aku kekasih atau pacar
naasmu. Panjang umur, cetak-ulang selalu!
4) Alegori
Tarigan menyatakan bahwa Alegori adalah cerita yang
diceritakan dalam lambang-lambang atau dalam wujud metafora
yang diperluas dan berkesinambungan, tempat atau wadah objek-
objek atau gagasan-gagasan diperlambangkan (1990: 125). Dalam
puisi yang menyampaikan majas Alegori ini perumpamaan tidak lagi
disampaikan dalam satu-dua kata, namun puisi itu sendiri sebagai
sebuah perlambangan. Perhatikan puisi Anis Sayidah berikut ini:
Akuarium
Karya Anis Sayidah
Sebuah akuarium
mungkin cukup mengurung
ikan-ikan kegelisahanku selama ini.
Belikan aku tempat
untuk menyimpan kecemasanku
yang kini berupa ikan, kerikil kecil
dan pasir-pasir ini
5) Antitesis
Ducrot dan Todorov dalam Tarigan berpendapat bahwa antitesis
adalah sejenis majas yang mengadakan komparasi atau
perbandingan antara dua antonim (1990: 128). Dalam kata lain,
majas ini membuat perbandingan yang saling bertolak belakang
satu-sama lain. Perhatikan contoh puisi berikut:
Orang Perancis
berpikir
maka mereka ada
Orang Indonesia
tidak berpikir
namun terus ada.
Pemandangan Senjakala
Karya WS Rendra
5. Citraan
Citraan atau disebut juga pengimajian menurut Waluyo adalah
kata atau susunan kata-kata yang dapat memperjelas atau
memperkonkret apa yang dinyatakan penyair (2005: 10). Citraan
yang dimaksud erat kaitannya dengan panca indera. Sebagaimana
diketahui, panca indera meliputi penglihatan, pendengaran,
penciuman, perabaan, dan pengecapan.
1) Citraan Penglihatan
Citraan penglihatan adalah citraan yang diperoleh dari kata-
kata yang tersusun membangun gambaran penglihatan agar
pembaca seakan-akan melihat apa yang dituliskan di dalam puisi.
Puisi semacam ini banyak dilukiskan oleh penyair Indonesia,
misalnya WS. Rendra ketika menggambarkan ketimpangan sosial
dalam sajak-sajaknya, demikian juga Taufiq Ismail saat
menggambarkan peristiwa demonstasi di tahun 1966. Untuk lebih
jelasnya perhatikan contoh berikut ini,
SALEMBA
Karya Taufiq Ismail
1966
2) Citraan Pendengaran
Citraan pendengaran adalah citraan yang dibangun dengan
kata-kata yang menunjukkan bebunyian sehingga pembaca seakan
mendengarkan sesuatu dari puisi yang dibacanya. Puisi jenis ini,
membuat pembaca menikmati sesuara dari kata-kata yang
menyampaikan bunyi, nyanyi hujan meruntuhkan kenangan. Baris
puisi ini membuat kita seakan mendengar suara hujan. Perhatikan
juga baris-baris puisi Suaraku karya Acep Zamzam Noor berikut ini:
Suaraku hanyalah gema dari sepi yang sumbernya berada jauh/di
dalam dada. Gaung yang memantul dari luka parah di lubuk
hati/yang perihnya terasa hingga ke ujung kaki. Sepiku memerlukan
suara/untuk sekedar bernyanyi dan lukaku/membutuhkan bunyi
agar bisa/menyatakan diri.
Dari baris-baris puisi yang ditulis Acep Zamzam Noor
tersebut, pembaca diajak mendengar suara sepi yang bernyanyi dan
luka yang berbunyi, meski sepi dan luka sulit diinderakan, namun
nuansa pendengaran pembaca tersentuh. Untuk itu, baris puisi ini
menghidupkan indera pendengaran pembaca.
3) Citraan Penciuman
Puisi juga membangkitkan indera penciuman pembaca
dengan melakukan citraan penciuman. Citraan penciuman
merupakan citraan yang diisi oleh kata-kata yang mengandung
wangi atau bau tertentu sehingga pembaca seolah-olah mencium
sesuatu saat membaca puisi tersebut. Perhatikan petikan puisi
karya Alizar Tanjung berjudul Kepada Pelacur yang Menjajakan
Diri, Tuhanku Bersembunyi di Bajumu berikut ini,
4) Citraan Perabaan
Citraan perabaan merupakan citraan yang merangsang indra
peraba yang dengan membaca kata-kata yang bertekstur permukaan
hal/benda tertentu pembaca seakan menyentuh tekstur tersebut.
Dengan citraan perabaan ini, penyair berusaha meningkatkan
sentuhan-sentuhan yang puitis pada indera peraba pembaca.
Perhatikan petikan puisi Agit Yogi Subandi berjudul Tungku berikut
ini: //Kita dipertemukan kembali,/tapi di dalam dadamu, aku telah
melebur menjadi/kulitmu yang lembut//
Dalam kutipan puisi karya Agit ini, indera peraban pembaca
dibangkitkan dengan baris puisi kulitmu yang lembut. Kata lembut
puisi ini menerangkan bentuk aku lirik yang telah berubah menjadi
kulit.
5) Citraan Pengecapan
Citraan pengecapan adalah citraan yang berusaha
membangkitkan indera pengecapan pembaca dengan menyampaikan
kata-kata yang bernuansa rasa sehingga seolah pembaca merasakan
pahit, manis, asin, gurihnya sebuah kata dalam puisi. Perhatikan
petikan bait karya Mustofa W Hasyim berjudul Negeri Pesisir 5
berikut ini: //Sup gurami dan aneka ikan bakar/pedasnya sampai
2. Struktur Batin
Struktur batin di dalam puisi meliputi tema, nada, suasana,
dan amanat. Keempat struktur ini akan tampak jika pembaca
membaca keseluruhan puisi, bukan potongan-potongan puisi. Untuk
itu, dalam memahami keempat struktur batin tersebut, maka
perhatikanlah puisi berikut ini dan bacalah secara utuh agar
keempat struktur batin itu dapat kita uraikan dengan baik.
b. Nada
Nada menurut Suryaman dan Wiyatmi (2012: 73) adalah
sikap penyair terhadap pembaca. Dengan pendapat tersebut, maka
nada dapat diartikan sebagai ekspresi afektif penyair terhadap
pembacanya.
Dalam puisinya, penyair dapat memandang pembacanya
dengan berbagai sikap, misalnya angkuh, bersahabat, masa bodoh,
peduli, dan lain sebagainya. Artinya sikap-sikap tersebut
memungkinkan disampaikan oleh penyair dalam upaya memperkuat
amanat yang hendak disampaikan kepada pembacanya. Misalnya,
puisi yang ingin menyampaikan protes tentang kesewenang-
wenangan pemerintahan, nada yang dipilih penyair tentu bukan
nada peduli, namun nada mengecam.
Dalam puisi di atas, WS Rendra menempatkan pembaca
untuk merefleksikan kehidupan sosial yang ada. Di sini penyair
c. Suasana
Suasana menurut Wardoyo adalah kondisi psikologi yang
dirasakan oleh pembaca yang tercipta akibat adanya interaksi
antara pembaca dengan puisi yang dibacanya (2013: 53). Kondisi
psikologi yang dimaksud berkaitan dengan perasaan senang,
bahagia, atau sebaliknya, sedih dan duka. Perasaan-perasaan lain
yang juga sering dimunculkan penyair kepada pembacanya
misalnya, marah, geram, empati, simpati, dan lain-lain.
Suasana yang terdapat di dalam puisi memang bertujuan
untuk menyentuh perasaan pembaca agar pembaca mampu berpikir,
merenungi, dan kemudian melakukan tindakan yang terbaik.
Misalnya dalam puisi agitasi karya Rendra yang berupaya untuk
mengobarkan semangat berdemontrasi menentang kelaliman
penguasa dengan memunculkan fakta-fakta kesenjangan sosial agar
pembaca berpikir, merenung, dan kemudian turut serta menentang
kelaliman penguasa.
Dalam konteks puisi Sajak Joki Tobing untuk Widuri di atas,
maka suasana yang dibangun adalah suasana yang
memprihatinkan. Suasana yang dengan sengaja menyinggung
persoalan kemiskinan yang merajalela, bahkan diperkotaan.
d. Amanat
Amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan seorang
penyair kepada pembacanya. Pesan tersebut umumnya disampaikan
secara tersirat. Pembaca harus benar-benar memperhatikan kata-
demi kata, baris demi baris, bait demi bait sampai pada keseluruhan
puisi untuk menangkap amanat apa yang ingin disampaikan
penyair. Meski kadang disampaikan secara tersirat, tidak menuntut
kemungkinan seruan, ajakan, nasihat, disampaikan secara tersurat.
Umumnya amanat di dalam puisi dapat berupa pesan-pesan
moral, misalnya ajakan untuk berbuat baik, ajakan untuk
meninggalkan hal yang buruk atau tercela. Amanat dalam puisi
merupakan implementasi dari konsep utile atau bernilai dalam
pandangan Horace.
E. Jenis Puisi
Dalam sejarah panjang kesusastraan Indonesia, puisi memiliki
peranan penting dalam kehidupan manusia. Puisi tidak hanya
dijadikan sebagai upaya mengekspresikan diri, namun lebih dari itu,
puisi juga dijadikan sebagai sebuah sarana untuk berbagai ritual
adat dan pergaulan sehari-hari. Dengan berbagai penggunaannya
tersebut, maka tidak heran jenis puisi di Indonesia sangat variatif.
Jenis pertama yang lebih mengakar pada tradisi sastra lisan,
menurut Jalil hal tersebut terjadi karena pada saat itu masyarakat
masih buta huruf (1995: 43). Puisi jenis ini sering disebut sebagai
puisi lama. Sementara jenis kedua lebih mengakar kepada tradisi
sastra tulis, disebut sebagai puisi baru.
1. Puisi Lama
Puisi lama sastra Indonesia dapat diidentifikasi dengan ciri-
ciri sebagai berikut:
a. Puisi rakyat yang tidak diketahui pengarangnya.
b. Disampaikan dari mulut ke mulut, oleh karena itu disebut sebagai
sastra lisan.
c. memiliki aturan yang ketat dalam penulisan baris dalam setiap
baitnya.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut, maka yang termasuk ke dalam
puisi lama adalah mantra, pantun, karmina, seloka, gurindam,
syair, dan talibun. Puisi-puisi tersebut memang menyebar di
masyarakat tanpa nama pengarang dengan cara disampaikan dari
mulut ke mulut serta memiliki aturan yang ketat.
a. Mantra adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki kekuatan
gaib meskipun secara semantik kadang kata yang keluar tidak
memiliki arti. Jenis puisi ini dapat ditemukan dihampir semua
2. Puisi Baru
Puisi baru dalam sastra Indonesia ditandai dengan budaya
literasi yang telah berkembang dengan baik. Puisi tidak lagi hanya
dilisankan, melainkan ditulis. Pengaruh sastra Eropa juga sangat
mempengaruhi perkembangan puisi baru ini. Hal ini terbuka setelah
akses buku terhadap perkembangan literasi sastra dunia terbuka,
selain juga beberapa penyair Indonesia turut mengecap pendidikan
Barat. Oleh karena itu, aspek-aspek yang menjadi ciri khas puisi
lama mulai ditinggalkan, bahkan sampai pada bentuknya. Bentuk
puisi yang tidak lagi terikat oleh aturan-aturan persajakan.
Berdasarkan isinya, puisi baru ini dibedakan menjadi tujuh
bagian yang terdiri dari balada, himne, ode, epigram, romance, elegi,
dan satire. Pembagian ketujuh jenis ini lebih pada persoalan isi yang
disampaikan di dalam puisi, bukan pada persoalan aturan rima atau
bentuk sebagaimana pembagian puisi pada puisi lama.
a. Balada
Balada adalah jenis puisi yang menyampaikan gagasannya
dalam bentuk kisah/cerita. Puisi balada kini sering disebut sebagai
puisi prosaik lantaran struktur intrinsik puisi semacam ini seperti
karya prosa. Artinya, puisi balada mengandung alur, penokohan,
dan latar. Perhatikan puisi balada berikut ini:
b. Himne
Himne adalah puisi yang isinya berupa puja-puji kepada
Tuhan, tanah air, atau pahlawan. Pengalaman batin penyair dan
interaksi sosialnya dengan masyarakat akan memunculkan
penggarapan tema yang serupa namun kedalaman isi yang berbeda.
Misalnya, berkaitan dengan puja-puji kepada Tuhan, Chairil Anwar
dan Taufiq Ismail, keduanya menulis puisi berjudul Doa. Namun
intensitas, nada, suasana, yang dibangun sangat berbeda sehingga
membuat puisi menunjukkan sebagai sebuah karya kreatif, bukan
imitasi atau duplikasi. Perhatikan kedua puisi penyair tersebut,
berikut ini:
Do'a
kepada pemeluk teguh
Karya Chairil Anwar
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Doa
Karya Taufiq Ismail
Tuhan kami
Telah nista kami dalam dosa bersama
Bertahun-tahun membangun kultus ini
Dalam pikiran yang ganda
Ampunilah kami
Ampunilah
Amin
Tuhan kami
Telah terlalu mudah kami
Menggunakan AsmaMu
Bertahun di negeri ini
Semoga Kau rela menerima kembali
Kami dalam barisanMu
Ampunilah kami
Ampunilah
Amin
c. Ode
Puisi Ode adalah puisi yang isinya memberikan sanjungan
kepada orang yang berjasa. Puisi ode umumnya menyampaikan budi
baik tokoh yang dituliskannya, sehingga seolah jasa-jasanya sangat
perlu dikenang dan dituliskan. perhatikan contoh puisi karya Buya
Hamka berikut ini:
d. Epigram
Epigram merupakan puisi yang di dalamnya menyampaikan
tuntunan/ajaran hidup/nasihat. Puisi dengan jenis epigram
umumnya bersifat persuasif. Artinya, pembaca diajak untuk
melakukan hal yang baik. Salah satunya, puisi karya Ade Hikmat
berjudul Baju berikut ini:
e. Romance
Romace merupakan jenis puisi yang berisi luapan perasaan
cinta yang dalam bentuknya bisa saja berisi tentang kasih sayang,
kecemburuan, rindu, dan dendam. Intinya, semua perasaan yang
melingkupi hubungan cinta. Umumnya jenis puisi ini banyak
digemari remaja, meski sebetulnya yang menuliskannya tidak lagi
remaja. Di antara contohnya adalah puisi karya Nani Solihati
berjudul Bisikan Gerimis Cinta berikut ini,
f. Elegi
Elegi merupakan puisi yang di dalamnya menyatakan
perasaan yang berupa suatu ratapan tangis ataupun kesedihan.
Puisi ini tentu tidak melulu persoalan cinta, namun hubungan lain
terkait ketidakberdayaannya sebagai manusia yang sulit mencari
kerja, kemalangan nasib, dan lain sebagainya. Perhatikan puisi elegi
berikut ini yang menunjukkan betapa kemalangan menimpa sebuah
keluarga lantaran warisan yang tergadaikan.
g. Satire
Satire adalah sejenis puisi yang di dalam pengungkapnya
melakukan sindiran atau kritikan. Umumnya, kritikan tersebut
dapat berupa kritik sosial ataupun kritik terhadap pemerintahan.
Dalam sejarah sastra Indonesia, penyair yang sampai ini
keberadaannya tidak ketahui lantaran diculik oleh pemerintah.
Dugaan penculikan tersebut lantaran puisi-puisinya yang keras
Peringatan
Karya Wiji Thukul
F. Penyimpangan Puisi
Yang membedakan puisi dengan karya sastra yang lainnya
adalah faktor kebahasaannya. Faktor kebahasaan puisi, ditilik dari
segi mana pun memang berbeda. Dalam susunan sintaksis, puisi
dapat melakukan pemenggalan (enjabemen) kapan pun ketika
kalimat itu belum usai. Berkaitan dengan morfologinya, bahasa
puisi juga menunjukkan fenomena yang berbeda dengan bahasa
yang terdapat pada karya sastra lainnya, misalnya bentukan kata
yang nirmakna.
Berdasarkan fenomena-fenomena yang telah dijabarkan secar
singkat tersebut, Leech telah merangkum berbagai penyimpangan
1. Penyimpangan Leksikal
Penyimpangan leksikal merupakan penyimpangan yang
terdapat di dalam puisi yang menggunakan kata yang tidak sesuai
dengan kaidah bahasa pada umumnya untuk memenuhi tuntutan
estetis dan memberi makna lebih dalam. Penyimpangan leksikal ini
berfokus pada penggunaan kata yang menyimpang di dalam puisi,
bukan satuan frasa maupun klausa.
Penyimpangan leksikal ini dapat ditemui pada puisi
Eyjafjallajokull Kull Kull karya Viddy AD Daery yang sempat
dikutip di awal bab ini. Dalam salah satu baris puisi tersebut,
penyair ini melakukan penyimpangan leksikal pada kata bilau
untuk menggantikan kata balau. Perhatikan bait puisi utuhnya
berikut ini,
2. Penyimpangan Semantis
Penyimpangan semantis adalah penyimpangan yang berupa
penggunaan kata yang semula bermakna biasa kemudian berubah
sehingga memiliki makna yang luar biasa. Kata-kata tersebut amat
bergantung pada siapa dan bagaimana latar belakang penyairnya.
Misalnya dalam puisi karya penyair Madura, D. Zawawi Imron kata
celurit tidak lagi bermakna benda yang tajam, namun maknanya
berubah menjadi makna yang bersifat afektif atau sikap hidup.
Yang
Pura-pura mati dalam terang
dan
Bergila dalam gelap
Ia jadi mengerti : wangi yang menunggunya di seberang
Meski ia menyesal namun gelombang masih ditolak
Singgah ke dalam dirinya
3. Penyimpangan Fonologis
Penyimpangan fonologis adalah sejenis penyimpangan dalam
bentuk bunyi yang dilakukan penyair untuk kepentingan rima.
Rima di dalam puisi memang memiliki peran untuk memberikan
efek keindahan ketika puisi itu diperdengarkan. Oleh karena itu, tak
sedikit penyair yang dengan sengaja melakukan penyimpangan
fonologis agar dapat menyusun rima yang indah.
Dalam puisi Aku, Chairil Anwar dengan sadar dan sengaja
menggunakan kata peri untuk menggantikan kata perih. Perhatikan
puisinya berikut ini,
4. Penyimpangan Morfologis
Penyimpangan morfologis adalah penyimpangan yang
dilakukan penyair di dalam puisinya dalam bentuk pengubahan cara
pembentukan kata. Dengan kata lain, penyair dengan sengaja
mengubah bentuk kata untuk menonjolkan nada dan irama di dalam
puisi. Pengubahan morfologis ini sering diidentikkan dengan nada
protes, menggugat, dan lain sebagainya.
Dalam kasus tersebut, hal ini dapat kita lihat dalam puisi
karya WS Rendra. Ia misalnya dalam puisinya Pamflet Cinta
menggunakan kata nyamperin untuk merujuk pada kata
menyamperi. Perhatikan petikan baitnya berikut ini: Ma, nyamperin
matahari dari satu sisi./Memandang wajahmu dari segenap
jurusan.
gurunya yang satu ini adalah pencari buku bekas dia hidup di
setiap pulau yang mengajarkannya cara merawat kasur dan
kamar tidur serta membuatkan pekerjaan dan
menyemprotkan minyak wangi ke tubuhnya meski
sebenarnya dia lebih tertarik pada barang-barang bekas
dingin malam dan angin terminal guru yang tak pernah lelah
mengikuti jalan waktu dan nasibnya sungguh darinya dia
banyak belajar dari rambutnya yang putus asa dan dari
kakinya yang pernah menyimpan panjang harapan dia
belajar untuk tidak menjadi sesat padanya dia belajar untuk
tidak menjadi lupa padanya lalu diam-diam dia bersyukur
walau menyayangkan sikap gurunya yang tak pernah mau
belajar dari kebodohan yang bertahun-tahun terus digergaji
waktu kini gurunya itu semakin hari semakin bertambah
banyak dan semakin membuatnya bingung
dia tak habis fikir mengapa di negara ini guru dan murid
sama banyaknya
gurunya yang satu ini adalah pencari buku bekas (.) dia hidup
di setiap pulau yang mengajarkannya cara merawat kasur dan
kamar tidur(,) serta membuatkan pekerjaan dan
menyemprotkan minyak wangi ke tubuhnya(,) meski
sebenarnya dia lebih tertarik pada barang-barang bekas dingin
malam dan angin terminal(.) guru yang tak pernah lelah
mengikuti jalan waktu dan nasibnya(.) sungguh(,) darinya dia
banyak belajar(.) dari rambutnya yang putus asa dan dari
kakinya yang pernah menyimpan panjang harapan(.) dia
belajar untuk tidak menjadi sesat padanya(.) dia belajar untuk
tidak menjadi lupa padanya(.) lalu diam-diam dia bersyukur
walau menyayangkan sikap gurunya yang tak pernah mau
belajar dari kebodohan yang bertahun-tahun terus digergaji
waktu(.) kini gurunya itu semakin hari semakin bertambah
banyak dan semakin membuatnya bingung(.)
6. Penyimpangan Dialek
Penyimpangan dialek adalah penyimpangan yang dilakukan
penyair dalam bentuk penggunaan dialek daerah dibandingkan
dengan bahasa resmi, karena menganggap bahasa daerah lebih
mewakili perasaannya dibandingkan bahasa resmi. Indonesia yang
memiliki banyak dialek daerah tentu memunculkan berbagai
penyair yang secara sengaja memasukkan istilah daerah di dalam
puisinya. Memang, banyak konsep bahasa resmi yang belum tentu
mewakili bahasa daerah. Misalnya, di Papua untuk rambut, dialek
Papua memiliki istilah sendiri, bukan sekedar rambut ketek, rambut
kemaluan, rambut halus, dan lain sebagainya.
Di Indonesia banyak penyair menggunakan dialek daerahnya
tersebut, sebut saja nama-nama berikut Linus Suryadi (Dialek
Jawa), Abdul Hadi WM (Dialek Madura), LK Ara (Dialek Aceh).
Berikut ini contoh puisi Mahwi Air Tawar yang menggunakan dialek
Madura, Kejung dibandingkan dengan tembang.
Mari menari...
7. Penyimpangan Register
Penyimpangan register adalah penyimpangan yang
dilakukan penyair dengan menggunakan bahasa atau istilah yang
hanya dipahami oleh sebuah kelompok atau profesi tertentu dalam
masyarakat. Dalam penyimpangan ini, seorang harus mencari
kamus istilah terlebih dahulu untuk menentukan makna yang
dikandung dalam istilah tersebut. Misalnya, didalam puisinya
berjudul Sajak Sebatang Lisong, WS Rendra menggunakan kata up-
8. Penyimpangan Historis
Penyimpangan historis merupakan penyimpangan yang
dilakukan penyair dengan menggunakan kata-kata arkais di dalam
puisinya untuk meningkatkan nilai estetis. Dalam kata lain,
penyair menggunakan kata-kata kuno yang sudah tidak terpakai di
dalam puisinya. Tentu saja dalam penafsiran kata kuno ini adalah
kata-kata resmi yang memang tercantum dalam kamus, namun kini
penggunaannya sudah tidak lazim lagi atau bahkan kata tersebut
kini sudah tidak dikenal. Misalnya dalam puisi Toto Sudarto
Bachtiar berjudul Ibu Kota Senja, ia menggunakan kata oto sebagai
pengganti kendaraan bermotor (mobil/motor). Perhatikan petikan
baitnya berikut ini:
9. Penyimpangan Grafologis
Penyimpangan grafologis ialah penyimpangan yang
dilakukan penyair dalam bentuk penulisan kata, kalimat, larik, dan
baris yang tak sesuai dengan kaidah bahasa untuk meningkatkan
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
G. Latihan
Untuk memperdalam pemahaman materi Anda tentang puisi,
kerjakanlah latihan berikut ini:
1. Apa yang dimaksud dengan penyimpangan grafologis dan
penyimpangan semantis? Jelaskan dan berikanlah contohnya!
2. Puisi dengan jenis karya sastra lainnya memiliki perbedaan
dasar. Jelaskan perbedaan tersebut dengan mengidentifikasi
ciri-ciri puisi!
3. Jelaskan perbedaan rima dan metrum di dalam sebuah puisi!
4. Di dalam puisi terdapat struktur fisik dan struktur batin.
Jelaskan perbedaan kedua istilah tersebut!
5. Apa yang dimaksud dengan enjabemen dan pungtuasi?
6. Jelaskan dua unsur yang terdapat dalam versifikasi!
7. Apa perbedaan puisi himne dan ode dalam puisi baru?
8. Untuk memperindah puisi, penyair menggunakan gaya
bahasa. Di antaranya kiasan dan perumpamaan. Jelaskan
kedua istilah tersebut dan berikanlah contohnya di dalam
sebuah puisi!
9. Jelaskan lima citraan di dalam puisi dan berikan contohnya!
10. Tentukan struktur fisik dan struktur batin di dalam puisi
berjudul Pulang berikut ini:
B. Pengertian Cerpen
Cerita pendek menurut Stanton (2012: 76) harus berbentuk
padat. Jumlah kata dalam cerpen harus lebih sedikit dibandingkan
novel. Pendapat ini menunjukkan ciri khas dari cerpen yang
memang tak panjang agar ia berbeda dengan novel. Dengan
1. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik cerita pendek pada umumnya, tak jauh
berbeda dengan cerita rekaan lainnya, yakni novel. Unsur intrinsik
itu terdiri dari tema, alur, penokohan, latar, gaya bahasa, sudut
pandang, dan amanat. Ketujuh unsur intrinsik ini, tidak dapat
dipisahkan satu-sama lainnya. Masing-masing berperan untuk
membangun keutuhan dan kepaduan cerita.
a. Tema
Setiap karya pasti ditulis berdasarkan tema tertentu. Penentuan
tema ini didasari oleh bagaimana ide tersebut muncul untuk
kemudian dituliskan.
Menurut Adi, tema merupakan pokok pembicaraan dalam
sebuah cerita atau dapat juga berarti pesan yang ingin disampaikan
oleh pengarang (2011: 44). Dari pendapat ini, tema dapat
dirumuskan sebagai gagasan atau pokok pikiran yang hendak
disampaikan penulis kepada pembacanya.
Ragam tema dalam sastra Indonesia sangatlah variatif. Jika
kita membaca cerpen-cerpen Danarto, tema-tema yang kuat adalah
tema-tema ketuhanan bahkan sampai pada konsep sufi yang
menyatukan diri dengan Tuhan, hal itu terlihat dalam kumpulan
cerpennya Godlob. Lain halnya dengan Kuntowijoyo, dalam
menyajikan cerpen-cerpennya, ia kental sekali mengangkat budaya
Jawa, namun dengan berbagai tema di dalamnya, kadang ia
menyindir perilaku religius, misalnya lewat cerpennya Anjing-anjing
Menuju Kuburan atau menyintir persoalan nilai sosial, misalnya
dalam cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi.
b. Alur
Menurut Stanton alur merupakan rangkaian peristiwa-
peristiwa dalam sebuah cerita. Biasanya alur hanya terhubung
secara kausal (2012: 26). Artinya, alur diurai berdasarkan hubungan
timbal-balik antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya.
Misalnya, cerpen Anjing-anjing Menuju Kuburan karya
Kuntowijoyo. Dalam cerpennya itu hubungan timbal balik yang erat
antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, terbentuk oleh
tokoh yang diceritakan sebagai dia dalam cerpen ini berusaha
menggali kuburan yang baru demi suatu kepercayaan tahayul.
Dengan sigap ia membaca mantra sehingga semua penjaga kuburan
terlelap, namun sayang ketika ia hampir berhasil meraih telinga
orang meninggal yang diinginkannya, anjing-anjing datang dan
turut memperebutkan mayat tersebut. Terjadilah perebutan sengit
hingga akhirnya warga desa terbangun dan menemui kenyataan
yang membingungkan, ia seorang pencuri atau penyelamat jenazah
tadi.
Dalam cerita itu, alur dibuat saling berkaitan. Kenapa dia
mampu menggali kuburan tanpa diketahui, ya karena para penjaga
telah diguna-guna. Kenapa anjing-anjing menyerbu kuburan, karena
bau mayat yang mengundangnya, dan seterusnya.
1) Tahap Perkenalan
Pada tahap perkenalan ini. Pengarang menyampaikan
berbagai informasi penting yang berkaitan dengan kisah yang akan
diceritakan. Tahap ini erat kaitannya dengan pengenalan tokoh,
latar tempat, latar budaya, latar sosial. Dalam cerita pendek,
pengenalan memang tidak dilakukan secara utuh dan bulat,
lantaran keterbatasan jumlah kata yang harus dipenuhi. Umumnya
pengenalan tokoh dilakukan sekaligus memperkenalkan aspek lain
dengan menyampaikan secara singkat, perhatikan kutipan cerpen
Sinai karya F. Dewi Ria Utari yang termuat dalam 20 Cerpen
Indonesia Terbaik 2008:
3) Tahap Peleraian
Tahap peleraian dalam cerita pendek merupakan akhir dari
klimaks yang telah disampaikan sebelumnya. Dalam tahapan ini,
cerpen kadang ditulis dengan teknik menggantung. Artinya seorang
pembaca harus menerka-nerka sendiri akhir dari cerita tersebut.
Misalnya pada cerpen Anjing-anjing Menyerbu Kuburan karya
c. Penokohan
Istilah penokohan dan perwatakan sering dibedakan, meski
dalam konsep bahasa Inggris keduanya disebut sebagai character.
Hal ini dapat dilihat dari pendapat Pujiharto (2012: 44).
Menurutnya, penokohan adalah cara pengarang dalam melukiskan
tokoh, sedangkan perwatakan adalah cara pengarang dalam
menggambarkan watak dan kepribadian tokoh. Dengan konsep yang
diutarakan sebelumnya, maka penokohan dapat berarti melukiskan
tokoh baik fisik, watak, maupun kepribadiannya. Perhatikan
kutipan cerpen berikut ini karya Sulung Pamanggih yang dimuat
koran Kompas dengan judul Tukang Pijat Keliling,
d. Latar
Latar menurut Aminuddin adalah peristiwa dalam karya
fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki
fungsi fisikal dan fungsi psikologis (2013: 67). Pengertian ini
menunjukkan latar bukan semata-mata menyajikan lokasi dan
waktu tertentu, namun juga berkaitan dengan fungsi fisikal dan
psikologis latar dalam cerita. Misalnya, cerpen yang menyajikan
cerita tentang nasib para pemulung sampah di TPA (Tempat
Pembuangan Akhir) yang menyajikan latar sebuah rumah yang
terbuat dari seng dan setiap kali hujan, atapnya akan bocor.
Penyajian latar semacam ini sebetulnya secara tidak langsung,
bukan hanya menunjukkan latar tempat, namun memunculkan pula
kondisi fisikal latar tersebut sekaligus psikologis yang menunjukkan
kemalangan, merana, dan lain sebagainya.
Latar berfungsi untuk memperkuat cerita, meski sifatnya
melengkapi unsur cerita, namun penggunaan latar yang tidak tepat
akan mengurangi nilai rasa sebuah cerpen. Misalnya, kejadian
pertengkaran antar pemabuk yang habis minum-minum terjadi di
rumah ibadah. Secara nalar, untuk apa bertengkar di rumah
ibadah? Hal ini sulit diterima dengan akal sehat.
e. Gaya Bahasa
Menurut Wiyatmi (2006: 42) gaya bahasa merupakan cara
pengungkapan seorang yang khas bagi seorang pengarang. Gaya
meliputi penggunaan diksi (pilihan kata), imajeri (citraan), dan
sintaksis (pola kalimat). Dalam penjelasan Wiyatmi tentang gaya
bahasa tersebut, menunjukkan bagaimana gaya bahasa bukan
hanya untuk menimbulkan suasana estetik tertentu sebagaimana
fungsi gaya bahasa itu sendiri, namun ia lebih menitikberatkan
bagaimana gaya bahasa menentukan kekhasan pengarang. Susunan
kalimat, diksi, dan citraan yang dimunculkan akan mengidentifikasi
pengarang tertentu. Misalnya, cerpen Seno Gumira Ajidarma,
eksplorasinya tentang senja menasbihkan dirinya sebagai pengarang
yang pandai merangkai keindahan senja. Nilai rasanya, akan sangat
berbeda dengan penulis-penulis lainnya.
Diksi dan struktur kalimat daerah pun kadang
mempengaruhi gaya penceritaan sebuah cerpen. Misalnya, cerpen-
cerpen Benny Arnas menunjukkan perkembangan tersebut. Ketika
membaca cerpen-cerpennya, nuansa daerah tidak hanya kental
dengan kosa-kata daerah, namun juga kental dengan struktur
kalimatnya. Tanpa ada namanya pun, kekhasan cerpen Benny
Arnas mampu kita identifikasi bahwa itu cerpen miliknya.
Perhatikan cerpennya yang berjudul Bujang Jauh yang dimuat di
Koran Tempo berikut ini:
f. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah serangkaian teknik yang dipilih
pengarang agar dapat memposisikan dirinya di dalam sebuah
karangan untuk menyampaikan gagasannya. Dalam bahasa
berbeda, Minderop menyebut sudut pandang sebagai strategi,
teknik, siasat yang sengaja dipilih pengarang untuk
mengungkapkan gagasan dan ceritanya untuk menampilkan
pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan yang semua
ini disalurkan melalui sudut pandang tokoh (2013: 88).
Dengan pengertian tersebut, maka sudut pandang
merupakan sarana agar gagasan yang ada di dalam pikirannya
dapat disampaikan melalui tokoh-tokohnya. Untuk itu, pengarang
memiliki beberapa variasi agar gagasannya tersebut dapat
diperankan oleh tokoh-tokohnya.
b) Orang Pertama-Sampingan
Dalam penceritaan orang pertama-sampingan ini, tokoh aku
menceritakan tokoh lain di dalam cerita. Oleh karena itu, cerita
bukan lagi dituturkan oleh satu karakter utama, melainkan tokoh
utama menceritakan tokoh lain dalam ceritanya.
Dalam cerpen Gadis Bermata Gerimis karya Zelfeni Wimra
yang dimuat di Jawa Pos, teknik tersebut digunakan dengan baik.
Perhatikan kutipan cerpennya berikut ini:
c) Orang Ketiga-Terbatas
Dalam sudut pandang ini, pengarang memosisikannya
dirinya sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang
dapat dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu orang karakter
saja. Dalam kata lain, pengarang hanya menceritakan satu tokoh
dengan sudut pandang orang ketiga, yang ditandai dengan nama
tokoh atau kata ganti dia.
Dalam cerpen Kapal Perang karya Yusi Avianto Pareanom
yang dimuat di Koran Tempo, hal tersebut dapat terlihat. Dalam
cerpennya ini, ia mengisahkan tokoh yang bernama Abdullah Yusuf
Gambiranom. Bacalah kutipan cerpennya berikut ini:
Satu hal yang lebih menjengkelkan Abdullah Yusuf
Gambiranom daripada harus membersihkan lantai rumahnya
pada sembarang pagi setelah banjir surut adalah pertanyaan
tidak perlu dari tetangga-tetangganya tentang suatu perkara
yang sudah terang-benderang bagi semuanya: ―Ngepel, Pak
Yus?‖
Kepada penanya pertama Abdullah Yusuf akan
memberi senyum palsu, kepada penanya kedua ia akan
g. Amanat
Amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan penulis
kepada pembacanya. Dalam menulis cerpen, pengarang tentu
memiliki tujuan tertentu yang ingin disampaikan kepada
pembacanya. Tujuan ini tak selamanya disampaikan dalam bentuk
yang eksplisit, namun juga disampaikan secar implisit. Hal ini
seperti yang disampaikan oleh Jauhari, menurutnya amanat ada
2. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik menurut Nurgiyantoro adalah unsur yang
berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung
mempengaruhi bangunan karya sastra (2012: 23). Artinya
keberadaan unsur intrinsik sebetulnya mempengaruhi unsur
intrinsiknya juga. Yang dimaksud bagian di luar karya sastra
adalah latar belakang pengarangnya dan sosial budaya yang
melingkupi keberadaannya.
Pengarang menulis tema tertentu memang sangat
bergantung pada lingkungan sekitarnya. Lingkungan akan
membentuk pola pikir atau paling tidak menginspirasi apa yang
hendak dituliskannya. Misalnya, ketika peristiwa tsunami
mengguncang Aceh, tak sedikit pengarang cerpen yang membuat
alur dan latar ceritanya berdasarkan kejadian tragis tersebut
sebagai bentuk rasa simpatik. Misal saja cerpen Gelombang yang
Berlabuh karya Hamsad Rangkuti dan Laut Lepas Kita Pergi karya
Kurnia Effendi.
Dalam kasus lain, cerpen yang dimuat di koran, sering kali
cerpen dengan tema yang sedang aktual diperbincangkan lebih
berpeluang untuk dimuat dibandingkan dengan tema-tema lainnya.
Ini menunjukkan faktor ekstrinsik lainnya.
Lepas dari dua kasus di atas. Pengarang memiliki otoritas
sendiri untuk menunjukkan amanat apa yang hendak disampaikan
kepada pengarang. Tidak semata-mata pada kasus atau topik
tertentu. Ia bisa saja terinspirasi dengan hal-hal di sekitarnya atau
atas imajinasi yang melintas dalam kelebat pikiran.
Jenis Perbedaan
No.
Persamaan Cerpen Novel
1 Unsur Intensitas lebih Intensitas lebih
Intrinsik padat kompleks
2 Alur Bersifat tunggal Memiliki alur dan
subalur
3 Latar Tidak detil Latar lebih rinci
4 Kepaduan Berisi pengalaman Berisi pengalaman
yang kecil yang lebih besar dan
kompleks
BUKAN PEREMPUAN
Cerpen Syarif Hidayatullah
Keterangan:
Mumtaz : Predikat setara dengan cumlude dari bahasa
Arab
Aynal Ihsan : Dimana hisan
Ma kuntu Bi aarif : Aku tak tahu
Ma fi : Tidak ada.
Mudif : Menerima tamu
Diwan : Kantor (bahasa Arab)
C. Ciri-ciri Novel
1. Fiksi
Novel menurut Ratna (2014: 630) merupakan reduksi
masyarakat dalam bentuk kreativitas imajinatif yang paling
sempurna. Pernyataan ini menegaskan bahwa novel tetap
bersumber dari imajinasi penulisnya. Artinya, apa yang
disampaikan pengarang dalam novelnya tetap adalah buah dari
fiksi. Namun demikian, sejatinya tidak ada sebuah karya fiksi yang
benar-benar fiksi. Hal ini disampaikan Novakovich, menurutnya
selalu ada percampuran antara hal yang nyata (fakta) dan ciptaan
(fiksi) dalam sebuah karya fiksi (2003: 11).
Contoh yang sesuai dengan pernyataan Novakovich tersebut
adalah novel karya Tasaro GK. Tasaro menghadirkan sejarah nabi
Muhammad dalam bentuk novel yang diberi judul Muhammad:
Lelaki Penggenggam Hujan. Ia menggabungkan fakta-fakta yang
diambil dari ayat suci maupun hadis nabi dengan imajinasinya.
Dalam hal ini, imajinasinya dimunculkan melalui tokoh rekaannya,
yakni Kashva.
3. Naratif
Ciri yang membedakan novel dengan karya yang lain adalah
bahwa novel bersifat menceritakan sesuatu, bukan memperagakan.
Hal ini dijelaskan oleh Aziez dan Hasim (2010: 3) yang berpendapat
bahwa novel bersifat bercerita dibandingkan memperagakan.
Novel pada dasarnya memang tidak untuk diperagakan
layaknya sebuah drama. Namun tidak jarang, pentas drama berasal
dari novel. Misalnya novel Bunga Roos dari Cikembang karya Kwee
Tek Hoay.
Belakangan, novel juga dilayarlebarkan. Novel-novel best
seller seperti Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahma El Shirazy dan
Negeri 5 Menara karya A. Fuadi merupakan beberapa contoh dari
fenomena ini. Fenomena ini lazim disebut sebagai ekranisasi.
Ekranisasi yaitu pengubahan bentuk suatu karya sastra menjadi
bentuk karya yang lain.
D. Unsur Novel
Novel pada dasarnya terbangun oleh berbagai unsur. Unsur-
unsur tersebut menurut Kuiper terdiri dari plot, penokohan, latar,
metode naratif dan sudut pandang, ruang lingkup (atau dimensi),
dan mitos, simbol, dan makna (2012: 4). Pendapat berbeda
disampaikan oleh Milhorn. Menurutnya elemen karya fiksi dibangun
dengan enam aspek, yakni: (1) alur, cerita, dan struktur, (2) latar, (3)
1. Unsur Intrinsik
a. Tema
Tema sebuah novel sejatinya tak jauh berbeda dengan bentuk
cerita pendek. Intinya, tema merupakan gagasan yang ingin
disampaikan oleh pengarang kepada pembacanya.
Dalam konsep yang berbeda, Wiyatmi menyebut tema sebagai
makna cerita yang disampaikan oleh penulis secara eksplisit
maupun implisit (2006: 42-43). Pendapat ini menunjukkan bahwa
novel merupakan gagasan penulis untuk memberikan pesan kepada
pembacanya. Makna tersebut disampaikan dengan mengurai
berbagai masalah yang ada di dalam cerita serta solusi
penyelesaiannya sebagai pendapat penulis terhadap suatu masalah.
Dalam mengungkap pesan di dalam cerita ini, penulis kadang
menyampaikan dalam bentuk eksplisit, misalnya memberikan
saran-saran di akhir cerita kepada pembaca. Namun, kadang pula
menyampaikan dalam bentuk implisit atau tersirat. Dalam bentuk
tersebut, pembaca berusaha menginterpretasi pesan yang tersirat
itu dari berbagai konflik di dalam alur.
b. Alur
Alur adalah tahapan peristiwa di dalam sebuah cerita yang
berisi tingkah laku tokoh yang bersifat kausal. Pendapat ini yang
paling tidak disinggung oleh Aminudin (2013: 83). Menurutnya, alur
adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan
peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para
pelaku dalam suatu cerita.
c. Penokohan
Penokohan di dalam novel sejatinya tak jauh berbeda dengan
cerpen. Penokohan erat kaitannya proses penggambaran fisik dan
psikologis tokoh di dalam cerita. Dalam menggambarkan tokohnya
ini, menurut Esten (2013: 26), pengarang dapat melakukan dengan
cara analitik dan dramatik. Analitik yaitu pengarang langsung
menceritakan bagaimana watak tokoh-tokohnya. Dramatik yaitu
pengarang tidak langsung `menceritakan watak tokoh-tokohnya.
Dalam menggambarkan secara analitik, penulis
memperkenalkan tokohnya dengan cara mengidentifikasikan fisik
tokoh dan kebiasaan-kebiasaannya. Misalnya pada novel Hujan
karya Tere Liye, ia memperkenalkan tokohnya tersebut melalui
dialog yang mengidentifikasi tokohnya yang bernama Lail.
Perhatikan contohnya berikut ini:
d. Latar
Latar adalah sebuah tempat dan waktu yang melingkupi
peristiwa di dalam novel. Hal ini yang paling tidak ditekankan oleh
Stanton. Menurut Stanton latar merupakan lingkungan yang
melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita. Latar dapat berbentuk
suatu tempat dan waktu (2012: 35).
Berdasarkan hal tersebut, maka latar dapat dibedakan
menjadi dua, yakni latar tempat dan latar waktu. Latar tempat
merupakan lokasi terjadinya peristiwa di dalam novel. Misalnya,
novel Di Bawah Lindungan Ka‟bah karya Buya Hamka, selain
menceritakan peritiwa yang terjadi di Padang, latar novel ini juga
menceritakan kisah yang terjadi di Mekkah.
Latar waktu adalah berkaitan dengan waktu tempat
terjadinya peristiwa. Waktu dapat berupa periode musim, misalnya
musim hujan atau musim kemarau. Waktu juga dapat menceritakan
periode tahun, misalnya 2016. Pada satuan yang lebih kecil dari
tahun, misalnya bulan, hari, jam, hingga detik. Waktu juga dapat
digambarkan dengan menyebut bagian hari, fajar, pagi, siang, sore,
senja, dan malam.
Dalam novel, penggunaan istilah waktu memang berbeda-
beda. Misalnya dalam novel yang erat kaitannya dengan sejarah,
umumnya menunjukkan kurun tahun tertentu, seperti dalam novel
Junaedi Setiyono berjudul Glonggong. Namun, novel-novel yang
tidak berkaitan dengan sejarah, umumnya tak menunjukkan periode
e. Gaya Bahasa
Setiap penulis memiliki gaya penceritaan yang khas. Gaya
yang khas tersebut terlihat dari bagaimana penulis menggunakan
gaya bahasa ketika membangun unsur intrinsik yang terdapat di
dalam novel. Bandingkan bagaimana dua novelis ini mengawali
novelnya.
Dalam novelnya berjudul Namaku Mata Hari, Remy Sylado
mengawalinya dengan kalimat-kalimat yang tegas dan lugas seperti
terlihat berikut ini:
f. Sudut Pandang
Pembahasan mengenai sudut pandang telah dibahas panjang
lebar pada bagian cerpen. Pembahasan tersebut sebetulnya
merupakan pembahasan yang tak jauh berbeda dengan novel. Hal
g. Amanat
Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan penulis
kepada pembacanya. Hal inilah yang disampaikan oleh Hasanudin
dkk. bahwa amanat adalah pesan yang ingin disampaikan
pengarang lewat karyanya kepada pembaca atau pendengar (2007:
46).
Dalam usaha menyampaikan amanat ini, novel dengan
karakteristik tumpukan beberapa peristiwa di dalam alurnya,
penulis novel umumnya menyampaikan amanat secara tersirat.
Misalnya, ketika membaca novel Negeri 5 Menara karya A. Fuadi.
Amanat disampaikan tidak hanya pada bab-bab awal cerita, namun
keseluruhan bab memunculkan suatu amanat yang penting, yakni
tentang kesungguhan belajar untuk meraih cita-cita, meskipun
menceritakan kisah cinta, namun kisah cinta di dalam novel ini
menuntun pembaca pada amanat semula, yakni tentang pentingnya
belajar.
2. Unsur Ekstrinsik
Dalam menulis novel, pengarang biasanya dipengaruhi oleh
situasi-situasinya di dalam sosial masyarakat. Pengaruh-pengaruh
luar yang secara tidak langsung mempengaruhi isi novel disebut
sebagai unsur ekstrinsik. Hal inilah yang disampaikan oleh Sehandi
yang menyebut unsur ekstrinsik merupakan unsur yang
mempengaruhi karya sastra dari luar (2014: 54).
Misalnya pandangan-pandangan mengenai gerakan
feminisme yang disampaikan oleh NH Dini di dalam novel-novelnya
tidak lepas dari situasi sosial yang mempengaruhi NH Dini ketika
menciptakan novel-novelnya tersebut. Dalam kasus yang sama,
Buya Hamka menyampaikan pemberontakannya terhadap adat dan
kentalnya nuansa Islami dalam novel-novelnya, tidak lepas dari
latar belakang budaya dan pemikirannya.
Pengungkapan tema-tema tertentu oleh seorang pengarang
memang sangat dipengaruhi oleh unsur ekstrinsiknya. Pengaruh
tersebut terjadi karena seorang penulis dapat menggulirkan alur
yang menarik di dalam novelnya lantaran memang penulis
memahami apa yang dituliskannya. Misal saja, seorang yang tak
paham tentang pesantren, pasti ia akan kesulitan untuk menuliskan
tentang pesantren. Ia butuh observasi berkali-kali, baik secara
literer maupun observasi empiris, baru kemudian menuliskannya.
Tanpa observasi, novel tersebut tentu tidak akan terbentuk dengan
baik.
Artinya, novel umumnya ditulis berdasarkan dua hal, yakni
pengalaman dan beragam observasi yang dilakukan. Kedua hal ini
akan mempengaruhi karya sastra dari luar, namun berperan
penting terhadap isi karya sastra.
1. Picaresque
Novel picaresque merupakan genre novel yang mencoba untuk
meletakkan ketidakadilan sosial yang terlihat dengan cara yang
satir. Novel seperti ini kita dapat rasakan pada karya Andrea Hirata
dalam trilogi Laskar Pelangi.
Ketimpangan sosial direpresentasikan di dalam novel ini
melalui potret pendidikan. Dalam novel ini, orang-orang dengan
ekonomi rendah, menikmati pendidikan dengan cara
memprihatinkan, bangunan sekolah yang hampir roboh, fasilitas
sekolah yang serba terbatas, dan guru yang jumlahnya sedikit.
Berbeda dengan mereka yang memiliki ekonomi yang tinggi,
keluarga PN Timah akan merasakan pendidikan dengan gedung
sekolah yang baik, fasilitas memadai, bahkan memiliki kelompok
marching band.
2. The Bildungsroman
The bildungsroman atau novel pendidikan. Kata bildungsroman
diambil dari bahasa Jerman untuk menyebut genre novel yang
menjelaskan perkembangan protagonis dari masa kanak-kanak
hingga dewasa. Dalam pola seperti ini, novel-novel karya Hamka
menunjukkan perkembangan tokoh-tokohnya mulai dari kecil
hingga dewasa. Misalnya dalam novel Di Bawah Lindungan Ka‟bah.
Tokoh Zainuddin diceritakan bahagia saat kecil karena berlimang
harta, namun ketika banyak musibah menerpa keluarganya,
Zainuddin kecil dalam proses pendewasaannya mengalami
penderitaan lantaran adat/budaya.
4. Historical Novel
Historical novel atau novel sejarah merupakan novel yang
berangkat dari fakta sejarah untuk kemudian dimodifikasi dengan
sedemikian rupa untuk mencapai efek-efek tertentu. Di antara novel
yang mengambil cerita berdasarkan fakta sejarah adalah novel
Gajah Mada yang ditulis oleh Langit Kresna Hariadi. Ia
menceritakan fakta sejarah dengan sajian imajinasi yang menarik.
Strategi pertempuran yang cerdas, pasukan Bhayangkara yang
memiliki ilmu kanuragan, denting pedang saat peperangan. Semua
digambarkan seolah-oleh pembaca berada di masa kejayaan
Majapahit.
5. Satirical Novel
Satirical novel merupakan genre yang memvisualisasikan
kesenjangan hidup dengan cara yang kritis. Dengan penggambaran
tersebut, pembaca akan menemukan nuansa yang satir atau
menyindir. Dalam novel Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer
menggambarkan bagaimana tokoh Minke dan Nyai Ontosoroh
melawan kesenjangan yang dihadapi mereka melalui protes-
protesnya.
6. Gothic Novel
Gothic novel merupakan genre yang menyampaikan cerita horor
dalam pengisahannya. Dalam Lelaki Harimau karya Eka
Kurniawan, kisah horor disajikan dengan cara yang mendekati
detektif, di mana kejadian di awal cerita seperti diuraikan hingga
menjadi jawaban di akhir cerita. Pernyataan yang membuat karya
ini masuk ke dalam genre ini adalah pengakuan tokohnya, yaitu
7. Detective Novel
Detective novel adalah genre yang menyampaikan peristiwa
misterius dalam pengungkapan kasus seperti pembunuhan dan
pencurian. Novel bergenre ini banyak ditulis oleh S. Mara Gd, judul-
judulnya umumnya diawali dengan kata misteri, seperti judulnya
Misteri Rahasia Enam Wanita, Misteri Pesta Maut, dan Misteri
Cinta Segilima.
F. Latihan
Untuk memperdalam pemahaman materi Anda tentang novel,
kerjakanlah latihan berikut ini:
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan novel!
2. Jelaskan ciri-ciri novel yang Anda ketahui!
3. Jelaskan perbedaan novel bildungsroman dengan epistolary
novel. Kemukakan contohnya di dalam karya sastra
Indonesia!
4. Menurut Martin, sudut pandang dibagi menjadi dua, yakni
omniscient dan unreliable narrator. Jelaskan perbedaan
kedua istilah tersebut!
5. Jelaskan unsur-unsur intrinsik di dalam sebuah novel!
6. Jelaskan jenis-jenis alur berdasarkan kuantitasnya!
7. Jelaskan karakteristik genre detektif di dalam novel!
8. Jelaskan tiga unsur latar di dalam novel!
9. Jelaskan dua cara pengarang dalam mendeskripsikan
tokohnya!
10. Dalam menggambarkan penokohan, penulis dapat
melakukan berbagai teknik. Di antaranya adalah simple
character, complex character, pelaku dinamis, dan pelaku
statis. Jelaskan maksud dari keempat istilah tersebut!
Drama Teater
Lakon Pertunjukkan
Naskah Produksi
Teks Pemanggungan
Pengarang Pemain, Pelaku, Pemeran
Kreasi Penafsiran
Teori Praktik
C. Unsur-unsur Drama
Menurut Satoto (2012: 38) unsur-unsur drama yang terdapat
di dalam naskah drama menyangkut enam aspek. Yakni, tema dan
amanat, penokohan, alur, latar, tikaian, dan cakapan.
2. Penokohan
Penokohan merupakan penggambaran sifat dan karakter
tokoh di dalam sebuah pementasan drama. Penggambaran tokoh ini
tercermin dari lakuan dan dialog para tokoh-tokohnya. Namun,
penulis naskah drama biasanya menempatkan deskripsi singkat
untuk tokoh-tokoh yang akan berperan dalam naskahnya tersebut.
Deskripsi singkat ini sering disebut dengan Dramatic Personae.
Dalam menyampaikan deskripsinya ini, paling tidak ada tiga
dimensi yang harus diperhatikan. Menurut Satoto (2012: 41-42) tiga
dimensi itu meliputi dimensi fisiologis, sosiologis, dan psikologis.
Dimensi fisiologis adalah dimensi yang menyebut ciri-ciri badan
tokoh yang terdapat di dalam sebuah drama. Dimensi fisiologis ini
menyangkut usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri-ciri muka, dan
ciri-ciri badani lainnya.
Dimensi sosiologis membahas manusia berdasarkan ciri-ciri
kehidupan masyarakat. Dimensi ini menyangkut status sosial,
pekerjaan, jabatan, peranan dalam masyarakat, tingkat pendidikan,
kehidupan pribadi, pandangan hidup, agama, kepercayaan, aktivitas
sosial, organisasi, hobi, bangsa, suku, dan keturunan.
Dimensi psikologis adalah dimensi yang pada dasarnya
membahas latar belakang kejiwaan. Dimensi ini berisi ukuran moral
antara yang baik dan yang jahat, yang indah dan yang buruk, yang
benar dan yang salah, sifat temperamen, keinginan dan perasaan
pribadi, sikap dan prilaku, tingkat kecerdasan, dan keahlian di
bidang tertentu.
Selain dimensi-dimensi tersebut, pembagian tokoh juga dapat
dilihat dari sifatnya. Dalam pembagian ini, tokoh dibagi menjadi
empat macam, yaitu protagonis, antagonis, tritagonis, dan peran
pembantu. Protagonis adalah peran utama yang biasanya bersifat
baik dan menjadi pusat cerita. Antagonis adalah peran yang bersifat
3. Alur
Alur di dalam drama adalah urutan peristiwa yang
disampaikan dalam bentuk verbal dan lakuan. Hal inilah yang
ditekankan oleh Abrams. Menurutnya alur di dalam drama tidak
hanya dikembangkan melalui percakapan, melainkan juga melalui
gerakan (1999: 224).
Perkembangan tersebut pada dasarnya meliputi beberapa
tahapan. Tahapan-tahapan ini disampaikan oleh Gustav Freytag
dalam sebuah piramida yang kemudian disebut sebagai piramida
Freytag. Di dalam bukunya, Die Technik des Dramas (1863),
Freytag membagi tahapan alur di dalam drama menjadi (a)
exposition atau eksposisi, (b) rising action atau alur memuncak, (c)
climax atau klimaks, (d) falling action atau alur menurun, dan (e)
denouement atau penyelesaian.
Dalam eksposisi, pengarang memperkenalkan tokoh-
tokohnya dengan berbagai sifatnya dalam bentuk dialog dan tingkah
laku. Selain itu, diperkenalkan pula latar tempat peristiwa itu
terjadi.
Setelah tahap eksposisi selesai, tahap selanjutnya adalah
alur memuncak. Dalam tahapan ini, pengarang mulai
memperkenalkan masalah yang akan dihadapi oleh tokoh utama
cerita ini.
Alur kemudian berjalan menuju klimaks. Pada klimaks ini
biasanya alur menunjukkan benturan tokoh protagonis dan
antagonis. Namun kadang benturan bukan terjadi individu dengan
individu saja, namun bisa saja antara individu dengan kelompok,
atau antara kelompok dengan kelompok. Pada tahapan ini disebut
juga sebagai konflik atau tikaian.
4. Latar
Di dalam pementasan drama, latar tidak hanya berkaitan
dengan waktu dan tempat peristiwa saja. Namun, menurut Satoto
(2012: 55) latar juga menyangkut suasana. Dengan demikian, dalam
naskah drama, latar terbagi menjadi tiga, yakni tempat, waktu, dan
suasana.
a. Tempat
Dalam menggambarkan tempat, penulis naskah drama dapat
menyampaikan tempat atau situasi di dalam panggung. Seperti
misalnya dalam naskah drama Agus Noor yang berjudul Sarimin.
b. Waktu
Dalam menggambarkan waktu kejadian di dalam sebuah
naskah drama. Satoto membaginya menjadi dua yakni waktu cerita
dan waktu penceritaan.
Waktu cerita merupakan waktu yang terjadi dalam seluruh
cerita atau suatu episode lakon. Misalnya, kejadian dalam naskah
tersebut menceritakan kejadian selama sehari, sebulan, setahun,
atau beberapa tahun. Kurun waktu ini kadang tidak terlihat dengan
jelas, sehingga sutradara harus mampu menerjemahkan
perkembangan fisiologi tokoh-tokoh yang berada di dalam naskah
tersebut.
Berbeda dengan waktu cerita, waktu penceritaan merupakan
durasi atau panjang sebuah naskah ketika dipentaskan. Tentu saja
panjang-pendeknya durasi amat bergantung pada panjangnya
naskah dan interpretasi sutradara dalam memaknai dan mewarnai
naskah yang dibacanya. Misalnya, penambahan musik dan
penggiringan suasana dengan tata cahaya, akan membuat
penambahan durasi yang tidak sedikit.
Selain pembagian waktu tersebut, pembagian hari misalnya
pagi, siang, sore, dan malam adalah yang paling tampak di atas
pentas. Waktu-waktu tersebut diwakili dengan warna-warna yang
dibuat oleh penata cahaya sehingga menimbulkan kesan-kesan
tertentu, seakan-akan siang atau seakan-akan malam.
c. Suasana
Suasana dalam naskah drama berkaitan dengan nuansa yang
dimunculkan dari naskah tersebut. Umumnya, penulis naskah
I B U (Menerawang)
Ayahmu seorang hartawan yang mempunyai tanah
dan kekayaan yang sangat banyak, mewah diwaktu kami
kawin dulu. Tetapi kemudian... seperti pokok yang ditiup
angin kencang...buahnya gugur..karena......
(Suasana Sejenak Hening, Penuh Tekanan Bathin,
Suara Ibu Lemah Tertekan)
Uang Narto! Tidak Narto, tidak...aku tidak mau
terkena dua kali, aku tidak mau adikmu bersuamikan
seorang Hartawan, tidak...cukuplah aku saja sendiri. biarlah
ia hidup sederhana Mintarsih mestilah bersuamikan orang
yang berbudi tinggi, mesti, mesti...
1. Naskah Drama
Naskah drama merupakan teks yang berisi cerita dalam
bentuk ujaran dan petunjuk lakuan. Panjang-pendeknya naskah
drama bergantung pada kisah yang disampaikan. Tak sedikit
naskah yang dipentaskan dalam waktu yang lama, misalnya Teater
Koma umumnya mementaskan naskah drama yang cukup panjang
sekitar 3-6 jam.
Naskah drama ditinjau dari latar belakang penulisnya
terbagi menjadi dua, yakni drama literer dan drama triatrikal.
Drama literer adalah drama yang ditulis oleh sastrawan. Umumnya
drama jenis ini bersifat drama baca atau closed drama, namun tidak
menuntut kemungkinan untuk dipentaskan. Sebagai contoh, Taufiq
Ismail menulis naskah drama berjudul Langit Hitam. Adapun
drama triatrikal adalah drama yang ditulis oleh seorang sutradara
yang memang dikhususkan untuk dipentaskan. Misalnya naskah
Bib-Bob karya WS Rendra.
Tak semua sutradara memiliki kemampuan untuk menulis
naskah drama. Oleh karena itu, biasanya naskah drama yang
dipentaskan merupakan naskah drama yang ditulis oleh pengarang
atau sastrawan ternama. Sebaliknya, ada sastrawan atau penulis
2. Produser
Produser merupakan orang yang melakukan pengelolaan
pembiayaan terhadap produksi sebuah pentas drama. Tugasnya
memang tidak terlibat langsung dengan proses produksi sebuah
pementasan, namun keberadaan produser menjadi sangat penting
karena menyangkut pembiayaan sebuah pentas drama.
Bagaimana pun pentas drama tidak dapat melepaskan diri
dari biaya. Semua kru, baik pemain maupun karabat panggung yang
terlibat dalam pementasan membutuhkan uang untuk keperluan
kehidupan mereka. Gedung pertunjukkan membutuhkan uang sewa.
Pembuatan properti juga membutuhkan uang yang tidak sedikit.
Pendek kata, meski tak terlibat, sutradara menjadi bagian yang
sangat penting.
Dalam pementasan drama kontemporer, produser bukan
hanya mengeluarkan uang dari kantungnya sendiri, namun juga
mencari berbagai sumber pendanaan selain dari tiket. Misalnya dari
berbagai sponsor. Dengan itu, biaya pementasan yang mahal dapat
ditekan dan honor para pekerja dapat terpenuhi. Hal ini yang
terlihat dalam pementasan Teater Koma yang tampil dengan
berbagai kemegahannya.
3. Sutradara
Sutradara merupakan orang yang bertugas mewujudkan
cerita yang terdapat dalam naskah drama menjadi sebuah
pertunjukkan yang menarik. Beratnya tugas sutradara membuat
sutradara biasanya dibantu dengan asisten sutradara. Meski kadang
dalam kasus-kasus tertentu, asisten sutradara tidak dibutuhkan.
Menurut Broockett dalam Satoto (2012: 96) seorang sutradara
memiliki lima fungsi. Kelima fungsi tersebut adalah: (1) melakukan
penafsiran terhadap naskah, (2) memilih para pemain, (3)
mengadakan kerjasama dengan penulis naskah, penata pentas, dan
kerabat kerja teater lainnya dalam merencanakan pementasan, (4)
4. Pemain
Pemain adalah sejumlah orang yang mementaskan tokoh-
tokoh yang ada di dalam naskah drama. Pemain laki-laki di dalam
drama disebut aktor, sementara pemain perempuan disebut sebagai
aktris.
Tuntutan seorang pemain bukan hanya tuntutan fisiologis
berkaitan dengan tubuh yang bagus dan wajah yang rupawan.
Namun yang lebih penting adalah kemampuannya dalam
mewujudkan tokoh yang terdapat di dalam naskah drama menjadi
dirinya.
Untuk dapat melakukan hal tersebut, seorang pemain harus
benar-benar menghayati perannya dengan terlebih dulu
menganalisis tokoh yang hendak diperankan. Dengan demikian,
pembawaan dan penjiwaan yang dilakukan di atas pentas akan
terasa sesuai dengan apa yang tertulis di dalam naskah drama.
Dalam mementaskan drama, aktor dan aktris terbagi
menjadi dua bagian besar. Pertama, peran utama dan kedua, peran
pendukung. Peran utama memiliki durasi tampil yang lebih banyak
dibandingkan dengan peran pendukung. Karakternya pun lebih
kompleks. Beban pertunjukkan jauh lebih besar dibandingkan
dengan tokoh lainnya, karena menjadi pusat penceritaan. Berbeda
dengan peran pendukung, ia sifatnya mendukung peran utama
menjalankan alur utama.
6. Penonton
Pementasan tanpa penonton tentu akan membuat pentas
tersebut mengalami kerugian. Bukan hanya kerugian secara materi,
dalam hal ini biaya produksi yang tidak sedikit, namun juga
kerugian secara psikis. Tentu saja pemain akan sedih ketika
apresiasi dari penonton sangat kurang. Oleh karena itu, dapat
dikatakan hidup tidaknya sebuah pentas drama bergantung pada
penontonnya.
E. Jenis-Jenis Drama
Drama dalam pemahaman kontemporer semakin
berkembang. Umumnya, remaja jauh lebih familiar dengan drama
Korea atau drama Turki yang belakangan memenuhi stasiun televisi
Indonesia.
Lepas dari persoalan tersebut, pembagian jenis drama
sebetulnya sangat variatif. Salah satunya adalah menurut Budianta
dkk. yang membagi drama berdasarkan jenis naskahnya, yakni
drama pentas dan drama baca (2002: 112).
Drama pentas adalah drama yang ditulis untuk dipentaskan.
Hal ini berbeda dengan drama baca. Drama baca adalah drama yang
F. Latihan
Untuk memperdalam pemahaman materi Anda tentang drama,
kerjakanlah latihan berikut ini:
1. Jelaskan makna dari istilah monolog, dialog, solilokui, dan
aside dalam sebuah drama!
2. Dalam unsur-unsur pementasan drama terdapat produser,
sutradara, dan pemain yang memiliki tugas berbeda.
Jelaskan masing-masing tugasnya!
3. Jelaskan perbedaan antara drama farce dan drama komedi!
4. Apa yang dimaksud dengan piramida Freytag? Jelaskan
pendapat Anda disertai dengan contoh!
5. Drama dapat dibagi berdasarkan medianya yakni berupa
panggung, radio, televisi, dan film. Jelaskan perbedaan
keempat media tersebut!
6. Jelaskan macam-macam konflik di dalam drama!
7. Manakah peran yang lebih besar antara penata artistik dan
penata panggung? Jelaskan dan kemukakan pula peran
keduanya di dalam pementasan drama!
8. Jelaskan perbedaan antara drama dan teater!
9. Apa yang dimaksud dengan dimensi fisiologis dan psikologis
dalam pengembangan karakter drama?
10. Jelaskan perbedaaan antara naskah literer dengan naskah
triatrikal!