Anda di halaman 1dari 196

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala

rahmat-Nya sehingga modul Sosiologi Sastra ini dapat disusun sesuai dengan

harapan. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu dalam penyusunan modul Sosiologi Sastra ini, sehingga dapat

terselesaikan.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami sangat

mengharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan modul

Sosiologi Sastra ini. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam modul ini,

oleh karena itu kritik yang membangun serta saran dari semua pihak sangat kami

harapkan.

Semoga kedepannya kami dapat memperbaikinya sehingga modul

Sosiologi Sastra ini dapat lebih bermanfaat untuk seluruh pembaca.

Jakarta, Maret 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................... ii

BAB I HAKIKAT SOSIOLOGI SASTRA .............................................. 1

A. Hakikat Sosiologi Sastra ......................................................... 1

B. Karya Sastra dalam Perspektif Sosiologi Sastra ..................... 3

C. Teori Mimesis dan Kreasi: Plato dan Aristoteles .................... 5

D. Hubungan antara Sastra dengan Lingkungan Sosial, Iklim,

Geografi, dan Lembaga Sosial Menurut Johan Gottfried

von Herder dan Madame de Stae ............................................ 8

E. Asal-usul (Genetik) Karya Sastra Menurut Hippolyte Taine

dan Lucien Goldmann ............................................................. 9

BAB II SASTRA SEBAGAI DOKUMEN SOSIAL BUDAYA ............... 13

BAB III PUBLIKASI DAN KREASI ......................................................... 20

A. Perkembangan Historis ........................................................... 21

B. Pemublikasian Karya Sastra .................................................... 23

C. Upaya Pemasyarakatan Sastra ................................................. 37

BAB IV STRUKTURALISME GENETIK................................................. 39

A. Struktur karya Sastra ............................................................... 41

ii
B. Fakta Kemanusiaan ................................................................. 42

C. Homologi ................................................................................. 43

D. Kelas-kelas Sosial ................................................................... 44

E. Subjek Transindividual ........................................................... 44

F. Pandangan Dunia..................................................................... 45

BAB V HUBUNGAN SASTRA, MASYARAKAT, DAN

KEBUDAYAAN ........................................................................... 56

A. Seni Dalam Budaya ................................................................. 58

B. Pengaruh Budaya Terhadap Sastra .......................................... 59

C. Peranan Sastra ......................................................................... 61

D. Karya Sastra Dalam Realitas Kehidupan Sosial ..................... 63

E. Sastra dan Perubahan Sosial.................................................... 67

F. Sastra Sebagai Sumber Nilai Bagi Masyarakat ....................... 76

BAB VI JENIS DAN GENRE SASTRA .................................................... 78

A. Jenis-jenis Sastra ..................................................................... 78

B. Genre Sastra ............................................................................ 79

C. Nilai Moral dan Ajaran-Ajaran Dalam Sastra ......................... 83

BAB VII PENDEKATAN MEKANISME UNIVERSAL ........................... 87

A. Menguraikan Teori Jean Duvignaud ....................................... 87

B. Menguraikan Teori M.H Abrams ............................................ 94

iii
BAB VIII REALITAS SASTRA DAN REALITAS KONKRIT .................. 103

A. Realitas Sastra ......................................................................... 103

B. Realitas Konkrit....................................................................... 106

BAB IX KARYA SASTRA DALAM REALITAS KEHIDUPAN

SOSIAL ......................................................................................... 109

BAB X SASTRA DAN PELAPORAN KENYATAAN ........................... 113

A. Sastra Sebagai Dokumen Sosial .............................................. 114

BAB XI HAKIKAT SASTRA .................................................................... 117

BAB XII KARYA SASTRA BEREAKSI .................................................... 127

A. Hakikat Sastra dan Karya Sastra .............................................. 127

B. Syarat dan Tujuan Karya Sastra ............................................... 129

C. Kesimpulan ............................................................................... 145

BAB XIII SASTRA DAN PEMFIKTIFAN KENYATAAN ........................ 146

A. Pengertian Sastra Secara Umum ............................................ 146

B. Pengertian Fiksi, Fiktif dan Pemiktifan

Kenyataan ............................................................................... 155

iv
BAB XIV MENGURAIKAN HAKEKAT SASTRA DAN

KEKACAUAN PERISTIWA ....................................................... 172

A. Hakekat Sastra ........................................................................ 172

B. Pengertian Etimologis ............................................................ 173

C. Definisi Sastra Menurut Para Ahli ......................................... 174

D. Fungsi Sastra Dalam Masyarakat ........................................... 177

E. Kekacauan Peristiwa Dalam Susastra

(Anakronisme)........................................................................ 180

F. Pengertian Anakronisme ........................................................ 181

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 184

v
BAB I

HAKIKAT SOSIOLOGI SASTRA

A. Hakikat Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra, yang memahami fenomena sastra dalam hubungannya

dengan aspek sosial, merupakan pendekatan atau cara membaca dan memahami

sastra yang bersifat interdisipliner. Oleh karena itu, sebelum menjelaskan hakikat

sosiologi sastra, seorang ilmuwan sastra seperti Swingewood dalam The

Sociology of Literature (1972) terlebih dulu menjelaskan batasan sosiologi

sebagai sebuah ilmu, batasan sastra, baru kemudian menguraikan perbedaan dan

persamaan antara sosiologi dengan sastra. Swingewood (1972) menguraikan

bahwa sosiologi merupakan studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia

dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses sosial. Sosiologi

berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan,

bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup.

Apa yang diuraikan oleh Swingewood tersebut tidak jauh berbeda dengan

definisi mengenai sosiologi yang dikemukakan oleh Soerjono Sukanto (1970),

bahwa sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi

kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola

umum kehidupan masyarakat. Demikian juga yang dikemukakan oleh Pitirim

Sorokin (Soerjono Sukanto,1969:24), sosiologi adalah ilmu yang mempelajari

hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya

gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral), sosiologi adalah ilmu yang

1
mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan

gejala nonsosial, dan yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari ciri-

ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain. Baik sosiologi maupun sastra

memiliki objek kajian yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat, memahami

hubungan-hubungan antarmanusia dan proses yang timbul dari hubungan-

hubungan tersebut di dalam masyarakat. Bedanya, kalau sosiologi melakukan

telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dan masyarakat, telaah tentang

lembaga dan proses sosial, mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan

bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada; maka sastra menyusup,

menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia

menghayati masyarakat dengan perasaannya, melakukan telaah secara subjektif

dan personal (Damono,1979).

Swingewood (1972) memandang adanya dua corak penyelidikan sosiologi

yang mengunakan data sastra. Yang pertama, penyelidikan yang bermula dari

lingkungan sosial untuk masuk kepada hubungan sastra dengan faktor di luar

sastra yang terbayang dalam karya sastra. Oleh Swingewood, cara seperti ini

disebut sociology of literature (sosiologi sastra). Penyelidikan ini melihat faktor-

faktor sosial yang menghasilkan karya sastra pada masa dan masyarakat tertentu.

Kedua, penyelidikan yang menghubungkan struktur karya sastra kepada genre dan

masyarakat tertentu. Cara kedua ini dinamakan literary of sociology (sosiologi

sastra).

Dalam paradigma studi sastra, sosiologi sastra, terutama sosiologi karya

sastra, dianggap sebagai perkembangan dari pendekatan mimetik, yang

2
dikemukakan Plato, yang memahami karya sastra dalam hubungannya dengan

realitas dan aspek sosial kemasyarakatan. Pandangan tersebut dilatarbelakangi

oleh fakta bahwa keberadaan karya sastra tidak dapat terlepas dari realitas sosial

yang terjadi dalam masyarakat. Seperti yang pernah dikemukakan oleh Sapardi

Djoko Damono (1979), salah seorang ilmuwan yang mengembangkan pendekatan

sosiologi sastra di Indonesia, bahwa karya sastra tidak jatuh begitu saja dari langit,

tetapi selalu ada hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Oleh karena

itu, pemahaman terhadap karya sastra pun harus selalu menempatkannya dalam

bingkai yang tidak terpisahkan dengan berbagai variabel tersebut: pengarang

sebagai anggota masyarakat, kondisi sosial budaya, politik, ekonomi yang ikut

berperan dalam melahirkan karya sastra, serta pembaca yang akan membaca,

menikmati, serta memanfaatkan karya sastra tersebut.

B. Karya Sastra dalam Perspektif Sosiologi Sastra

Sebagai pendekatan yang memahami, menganalisis, dan menilai karya

sastra dengan mempetimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial), maka dalam

perspektif sosiologi sastra, karya sastra tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang

otonom, sebagaimana pandangan strukturalisme. Keberadaan karya sastra, dengan

demikian selalu harus dipahami dalam hubungannya dengan segi-segi

kemasyarakatan. Sastra dianggap sebagai salah satu fenomena sosial budaya,

sebagai produk masyarakat. Pengarang, sebagai pencipta karya sastra adalah

anggota masyarakat. Dalam menciptakan karya sastra, tentu dia juga tidak dapat

terlepas dari masyarakat tempatnya hidup, sehingga apa yang digambarkan dalam

3
karya sastra pun sering kali merupakan representasi dari realitas yang terjadi

dalam masyarakat. Demikian juga, pembaca yang menikmati karya sastra.

Pembaca pun merupakan anggota masyarakat, dengan sejumlah aspek dan latar

belakang sosial budaya, politik, dan psikologi yang ikut berpengaruh dalam

memilih bacaan maupun memaknai karya yang dibacanya. Bertolak dari hal

tersebut, maka dalam perspektif sosiologi sastra, karya sastra antara lain dapat

dipandang sebagai produk masyarakat, sebagai sarana menggambarkan kembali

(representasi) realitas dalam masyarakat. Sastra juga dapat menjadi dokumen dari

realitas sosial budaya, maupun politik yang terjadi dalam masyarakat pada masa

tertentu. Dalam karya sastra, misalnya novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis,

kita dapat menemukan gambaran mengenai kehidupan kaum pribumi dalam

pergaulannya dengan orang-orang Eropa pada masa kolonial Belanda, melalui

tokoh Hanafi dan Corrie.

Di samping itu, sastra juga dapat menjadi sarana untuk menyampaikan

nilai-nilai ataupun ideologi tertentu pada masyarakat pembaca. Ideologi

nasionalisme, misalnya tampak disampaikan dalam novel Salah Asuhan. Tokoh

Hanafi yang terombang ambing dalam posisinya sebagai pribumi yang mendapat

pendidikan di sekolah untuk anak-anak Eropa dan ingin disamakan kedudukannya

dengan orang-orang Eropa di Hindia Belanda agar dapat menikah dengan Corrie,

menunjukkan lunturnya nasionalisme pada orang-orang pribumi pada masa

kolonial Belanda. Sastra juga sangat mungkin menjadi alat melawan kebiadaban

atau ketidakadilan dengan mewartakan nilai-nilai yang humanis. Novel Sitti

Nurbaya, misalnya melawan tradisi yang biasa dijalankan kalangan bangsawan

4
Minangkabau pada tahun 1920-an dalam berpoligami, seperti tampak pada dialog

antara Sutan Mahmud dengan kakak perempuannya, Rubiah.

C. Teori Mimesis dan Kreasi: Plato dan Aristoteles

Plato, dengan teori mimesisnya dianggap sebagai pelopor teori sosial

sastra (Damono, 1979:16). Kata mimesis (bahasa Yunani) berarti tiruan. Teori

mimesis menganggap karya sastra sebagai tiruan alam atau kehidupan (Abrams,

1981). Menurut pandangan Plato, segala yang ada di dunia ini sebenarnya hanya

merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan.

Dalam dunia gagasan, ada gagasan mengenai manusia, semua manusia

yang ada di dunia ini (manusia nyata) adalah tiruan dari manusia yang ada di

dunia gagasan tersebut. Demikian juga benda-benda yang ada di dunia: bunga,

pohon, meja, kursi, dan lain sebagainya dianggap sebagai tiruan dari dunia

gagasan mengenai hal-hal tersebut. Maka, ketika seorang penyair kemudian

menggambarkan mengenai pohon dalam puisinya, misalnya, dia hanyalah

menggambarkan tiruan dari sebuah tiruan. Oleh karenanya, puisi atau sajak yang

dihasilkannya tidak lain hanyalah tiruan dari barang tiruan (Damono, 1979:16).

Pandangan Plato tersebut tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan

pendirian filsafatnya mengenai kenyataan, yang bersifat hirarki (Teeuw,

1988:220). Menurut Plato ada beberapa tataran tentang Ada, yang masing-masing

mencoba melahirkan nilai-nilai yang mengatasi tatanannya. Yang nyata secara

mutlak hanya yang Baik, dan derajat kenyataan semesta tergantung pada derajat

kedekatannya terhadap Ada yang abadi (Verdinius, via Teeuw, 1988:220). Dunia

5
empirik tidak mewakili kenyataan yang sungguhsungguh, hanya dapat

mendekatinya lewat mimesis, peneladanan atau pembayangan atau peniruan.

Misalnya, pikiran dan nalar kita meneladani kenyataan, kata meniru benda, bunyi

meniru keselarasan Illahi, waktu meniru keabadian, hukum-hukum meniru

Kebenaran, pemerintah manusia meniru pemerintah ideal, manusia yang saleh

meniru dewa-dewa, dan seterusnya (Teeuw, 1988:220).

Dalam rangka ini, menurut Plato mimesis atau sarana artistik tidak

mungkin mengacu langsung pada nilai-nilai yang ideal, karena seni terpisah dari

tataran Ada yang sungguh-sungguh oleh derajat dunia kenyataan yang fenomenal.

Seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan

yang tampak, berdiri di bawah kenyataan itu sendiri yang hirarki (Teeuw,

1988:220). Walaupun Plato cenderung merendahkan nilai karya sastra, yang

hanya dipandang sebagai tiruan dari tiruan, namun dalam pandangannya tersebut

tersirat adanya hubungan antara karya sastra dengan masyarakat (kenyataan). Apa

yang tergambar dalam karya sastra, memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi

dalam masyarakat.

Hubungan antara sastra dengan masyarakat selanjutnya dirumuskan

kembali oleh Aristoteles, dengan teori kreasi. Berbeda dengan Plato yang

memandang sastra sebagai tiruan kenyataan, Aristoteles (via Luxemburg dkk,

1984) memandang mimesis yang dilakukan para seniman tidak berarti semata-

mata menjiplak kenyataan, melainkan merupakan sebuah proses kreatif. Sambil

bertitik pangkal pada kenyataan, seniman (penyair) menciptakan kembali

kenyataan. Seniman mencipta dunianya sendiri dengan probability yang

6
memaksa, dengan ketakrelaannya. Apa yang terjadi dalam ciptaan seniman masuk

akal dalam keseluruhan dunia ciptaan itu dan sekaligus, karena dunia itu

merupakan konstruksi, perpaduan yang berdasarkan unsur-unsur dunia nyata.

Karena seniman (penyair) menciptakan kembali kenyataan, maka menurut

Aristoteles, nilai karya seniman lebih tinggi dari karya seorang tukang. Dalam

karya seorang seniman pandangan, vision, penafsiran kenyataanlah yang dominan

dan kepandaiannya diabadikan pada interpretasi, pemberian makna pada

eksistensi manusia (Teeuw, 1988:222). Berbeda dengan Plato yang cenderung

merendahkan karya seni dalam hubungan kenyataan, Aristoteles memberikan

penghargaan yang tinggi terhadap karya seni. Menurutnya karya seni, menjadi

sarana pengetahuan yang khas, cara yang unik untuk membayangkan pemahaman

tentang aspek atau tahap situasi manusia yang tidak dapat diungkapkan dan

dikomunikasikan dengan jalan lain (Teeuw, 1988:222).

Dalam sosiologi sastra, teori Plato dan Aristoteles dianggap mendasari

kajian sosiologi karya sastra, yang membahas ”kenyataan” yang terdapat dalam

karya sastra dalam hubungannya dengan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat

dan menganggap sastra sebagai sarana untuk mencatat dokumen sosial historis

masyarakat. Dalam kajian sosiologi sastra yang awal, hubungan antara karya

sastra dengan kenyataan, sering kali dipahami dalam hubungan yang bersifat

langsung, tanpa mengingat hakikat sastra sebagai karya estetik yang diciptakan

pengarang, dengan berbagai latar belakang dan motivasi yang kesemuanya akan

ikut berperanan dalam membentuk ”realitas” yang tergambar dalam karya sastra.

7
D. Hubungan antara Sastra dengan Lingkungan Sosial, Iklim, Geografi, dan

Lembaga Sosial Menurut Johan Gottfried von Herder dan Madame de

Stae

Di samping dikenal sebagai seorang kritikus, Herder juga dikenal sebagai

seorang penyair, yang termasuk dalam periode klasik sastra Jerman (Damono,

1979:19). Gagasan pentingnya mengenai sastra yang mendasari perkembangan

sosiologi sastra adalah pendapatnya bahwa setiap karya sastra berakar pada suatu

lingkungan sosial dan geografis tertentu. Faktor lingkungan sosial dan geografis

yang berhubungan dengan karya sastra, menurut Herder adalah iklim, lanskap,

ras, adat istiadat, dan kondisi politik. Di samping itu, Herder juga mengunakan

sejarah sebagai acuan untuk menganalisis sastra, sebaliknya sastra juga digunakan

untuk memahami sejarah (Damono, 1979:19).

Hubungan antara sastra dengan iklim, geografi, dan lingkungan sosial

juga dikemukakan oleh Madame de Stael (1766-1817), seorang kritikus dan

sastrawan Perancis. Bukunya yang berjudul De la Literature dans ses Rappaorts

avec les Institutions Sociales membicarakan hubungan antara sastra dengan

lembaga sosial: agama, adat istiadat, dan hukum terhadap sastra (Damono,

1979:20).

Di samping itu, Stael (via Damono, 1979:20) juga menyatakan bahwa

sifat-sifat bangsa juga sangat penting peranannya dalam perkembangan sastra.

Sifat-sifat bangsa ditentukan oleh hubungan timbal balik yang rumit antara

berbagai lembaga sosial seperti agama, hukum, dan politik. Untuk menjelaskan

hubungan tersebut, Stael mencontohkan kasus di Italia. Menurutnya, di Italia

8
novel tidak berkembang sebab di negeri tersebut orangorang terlampau angkuh

dan tidak menghargai wanita. Menurutnya, novel hanya bisa berkembang di

dalam masyarakat yang memberikan status cukup tinggi kepada wanita, dan yang

menaruh perhatian besar terhadap kehidupan pribadi.

Hubungan antara karya sastra dengan iklim, geografi, lingkungan sosial,

bahkan sifat-sifat suatu bangsa, seperti dikemukakan oleh Stael menunjukkan

bahwa keberadaan, ciri-ciri, dan perkembangan sastra tidak dapat dilepaskan dari

subjek pencipta dan masyarakat pembaca yang menikmatinya, yang dibentuk oleh

kondisi alam dan lingkungan sosial budayanya. Artinya, konteks sangat

berpengaruh terhadap keberadaan dan perkembangan sastra suatu bangsa.

E. Asal-usul (Genetik) Karya Sastra Menurut Hippolyte Taine dan Lucien

Goldmann

Taine, seorang filsuf, sejarawan, politisi, dan kritikus sastra Perancis

dianggap sebagai peletak dasar mazhab genetik dalam kritik sastra (Laurenson &

Swingewood,1972:31; Damono, 1979:21). Menurut Taine sastra bukanlah

sekedar permainan imajinasi yang pribadi sifatnya, tetapi merupakan rekaman

tata cara zamannya, suatu perwujudan macam pikiran tertentu. Apa yang

dikemukakan oleh Taine menunjukkan adanya hubungan antara sastra yang

diciptakan pengarang (melalui imajinasi dan pemahamannya terhadap apa yang

terjadi dalam masyarakatnya) dengan norma-norma dan nalar kolektif masyarakat

tempat pengarang dan pembaca hidup. Melalui sastra, seorang pengarang dapat

9
mengungkapkan kembali norma-norma dan nalar kolektif masyarakat yang

melahirkan karya tersebut.

Namun, dalam hubungannya dengan fungsi dokumen tersebut, Taine

membedakan antara karya sastra besar (yang monumental) dan karya sastra biasa.

Sastra hanya dapat dianggap sebagai dokumen, apabila ia merupakan monumen.

Hanya pujangga yang sungguh-sunguh besar saja, yang mampu menggambarkan

zamannya sepenuh-penuhnya.

Menurut Taine (via Damono, 1979:22) sebab-sebab yang melatarbelakangi

timbulnya sastra besar antara lain adanya hubungan timbal balik antara ras, saat,

dan lingkungan. Hubungan timbal balik antara ras, saat, dan lingkungan tersebut

menghasilkan suatu struktur mental yang praktis dan spekulatif, yang selanjutnya

akan menyebabkan timbulnya gagasangagasan yang selanjutnya akan diwujudkan

dalam sastra dan seni. Ras menurut Taine mengacu pada ciri turun-temurun

seperti perangai, bentuk tubuh, juga sifat-sifat suatu bangsa, sementara saat dapat

berarti periode yang memiliki gambaran khusus tentang manusia, jiwa zaman,

atau tradisi sastra.

Kajian sastra yang menekankan pada aspek genetik (asal-usul) sastra

selanjutnya dikembangkan oleh kritikus Lucien Goldmann dari Perancis, yang

dikenal dengan pendekatan strukturalisme genetik. Goldmann memahami asal-

usul karya sastra dalam hubungannya dengan pandangan dunia kelompok sosial

pengarang dan kondisi sosial masyarakat yang melahirkan karya sastra

(Goldmann, 1981:74). Dalam hal ini struktur karya sastra dianggap sebagai

ekspresi pandangan dunia kelompok sosial pengarang. Yang dimaksud dengan

10
pandangan dunia menurut Goldmann (1981:112) adalah rumusan dari gagasan-

gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara

bersama-sama anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang membedakannya

(mempertentangkannya) dengan kelompok sosial lain. Pengarang dalam

pandangan Goldmann dianggap sebagai wakil dari sebuah kelompok sosial

tertentu dalam masyarakatnya yang menyuarakan pandangan dunia

masyarakatnya ke dalam karya sastra yang ditulisnya.

Berdasarkan pandangan tersebut, maka menurut Goldmann, memahami

karya sastra pada dasarnya adalah memahami asal-usulnya dalam hubungannya

dengan pandangan dunia masyarakat yang melahirkannya, seperti yang disuarakan

oleh pengarang sebagai wakil masyarakatnya.

Menurut Ratna (2003: 332) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan

mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian

harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut:

1) Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin

oleh penyalin, ketiganya adalah anggota masyarakat.

2) Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan

yang terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan

oleh masyarakat.

3) Medium karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui

kompetensi masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung

masalah kemasyarakatan.

11
4) Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, dan adat istiadat serta tradisi

yang lainnya, dalam karya sastra terkandung estetik, etika, dan juga

logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek

tersebut.

5) Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas,

masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat

meneliti tiga perspektif, pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti

menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya.

Kedua, perspektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari sisi pengarang.

Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang dan latar kehidupan

sosial, budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis

penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.

Jadi, sosiologi sastra itu sendiri lebih memperoleh tempat dalam penelitian sastra

karena sumber-sumber yang dijadikan acuan mencari keterkaitan antara

permasalahan dalam karya sastra dengan permasalahan dengan masyarakat lebih

mudah diperoleh. Di samping itu, permasalahan yang diangkat dalam karya sastra

biasanya masih relevan dalam kehidupan masyarakat.

12
BAB II

SASTRA SEBAGAI DOKUMEN SOSIAL BUDAYA

Karya sastra lahir tidak berada dalam kekosongan budaya tetapi pasti

muncul pada masyarakat yang telah memiliki tradisi, adat-istiadat, konvensi,

keyakinan, pandangan hidup, cara hidup, cara berpikir, pandangan tentang

estetika, dan lain-lain yang kesemuanya dapat dikategorikan sebagai wujud

kebudayaan. Sastra dapat dipandang sebagai bagian integral dari kehidupan sosial

budaya masyarakat yang melahirkannya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa

sastra muncul karena masyarakat menginginkan legitimasi kehidupan sosial

budayanya, tepatnya salah satu wujud legitimasi esistensi kehidupannya. Walau

hal tersebut mungkin tidak dapat dibenarkan semuanya dalam kehidupan dewasa

ini, keadaan itu terlihat dominan menandai kehidupan masyarakat waktu itu,

misalnya berupa berbagai karya yang kini dikenal sebagai klasik.

Sastra yang lahir dalam sebuah masyarakat dalam banyak hal akan

mencerminkan keadaan kehidupan sosial budaya masyarakat itu. Pesan-pesan

yang terdapat dalam karya-karya itu pada umumnya juga berupa nilai-nilai yang

ada kaitannya dengan nilai-nilai yang terdapat pada latar belakang sosial budaya

masyarakat di mana pengarang hidup dan menjadi salah seorang anggotanya.

Dalam hubungan ini, Abrams (1981) menyatakan bahwa karya sastra

mencerminkan kehidupan masyarakat yang secara tak terelakkan dipersiapkan

oleh keadaan masyarakatdan kekuatan-kekuatan pada zamannya. Jadi, seorang

13
penulis ticlak clapat melepaskan diri dari pengaruh kerangka sosial budaya

masyarakat yang telah membentuk dirinya.

Dalam penulisan karya sastra faktor subjektivitas pengarang lengkap

dengan idealismenya akan menentukan bentuk karya yang dihasilkan. Namun,

proses kelahiran karya itu telah diprakondisi oleh kode sosial budaya masyarakat

yang melingkupi pengarang yang bersangkutan (Chatman, 1981 :26). Dengan

demikian, kebebasan pengarang memberikan citra, gambaran, terhadap tokoh-

tokoh fiksi yang diciptakan dalam banyak hal juga akan dipengaruhi oleh kondisi

sosial budaya tersebut. Untuk lingkup masyarakat Jawa misalnya, budaya

pewayangan merupakan salah satu fakta sosial budaya yang telah demikian

memasyarakat sehingga kehadirannya dapat dirasakan oleh setiap anggota

masyarakat . Namun, hal itu berarti bahwa pengarang hanya mampu berkisah

dengan latar sosial budaya kelahirannya saja. Sebagai manusia yang mernpunyai

hubungan luas, mereka dapat rnenulis cerita dengan latar sosial budaya di

masyarakat lain, baik yang masih dalam lingkup satu negara maupun negara lain,

yang kehidupan sosial budayanya telah dipaharni, diresapi, dan dihayati secara

intens. Dengan kata lain, pengarang telah rnernahami kehidupan kebudayaan

rnasyarakat lain tersebut, atau yang dalam kaitan ini telah rnelewati proses

pernahaman antarbudaya. Lewat penghayatan dan didukung oleh kemampuan

kreativitasnya itulah akhirnya tercipta karya yang berseting budaya rnasyarakat

yang bukan asli kebudayaan sendiri. Jadi, pengangkatan model kehidupan sosial

budaya dalam suatu masyarakat dalam karya sastra mungkin sekali dilakukan oleh

pengarang yang berasal dari tradisi budaya yang lain. Hal itu misalnya, dilakukan

14
oleh NH. Dini dalarn Namaku Hiroko dan Nasyah Djamin dalarn Gairah untuk

Hidup dan untuk Mati yang sarna-sarna rnengangkat kehidupan sosial budaya

masyarakat Jepang. Seperti kita ketahui, keduanya memang pernah tinggal

beberapa tahun di negeri Saklira tersebut. Namun, karena keduanya orang

Indonesia, tokoh-tokoh cerita yang dimunculkan pun tokoh yang berasal dari

kedua tradisi budaya itu. Selain itu, penderitaan kehidupan tradisi sosial budaya

Jepang pun tradisi sebagairnana dipahami oleh kedua pengarang itu yang tentu

saja telah mengalami "sensor" filter afektifnya.

Masalah yang kemudian dimunculkan antara lain adalah seberapa besar

sebuah karya sastra mencerminkan kehidupan sosial budaya rnasyarakat yang

bersangkutan? Atau, apakah benar karya itu rnencerminkan kondisi sosial budaya

masyarakatnya secara objektif? Hal itu merupakan persoalan yang tidak mudah

dijawab, namun, perlu penjelasan. Karena pengarang mempunyai kebebasan

kreativitas dan idealisrne sendiri, tak jarang karya yang ditulisnya justru

merupakan "cermin yang tidak patuh" terhadap sesuatu yang dipantulkannya.

Namun, bagaimanapun juga karya satra memerlukan tempat berpijak karena yang

dipersoalkan adalah persoalan manusia, dan itu berarti harus ada seting sosial

budaya.

Wellek & Warren (1956) mengemukakan bahwa realitas dalam karya fiksi

merupakan ilusi kenyataan dan kesan yang meyakinkan, namun tidak selalu

merupakan kenyataan sehari-hari. Sarana untuk menciptakan ilusi yang

dipergunakan untuk memikat pembaca agar mau memasuki situasi yang tidak

mungkin atau luar biasa, adalah dengan cara patuh pada detil-detil kenyataan

15
kehidupan sehari-hari. Hal itu berarti bahwa kebenaran dalam karya fiksi

bukanlah kebenaran sesuai dengan realitas kehidupan sehari-hari, melainkan

kebenaran situasionaI. Kebenaran situasional justru lebih dalam dari pada sekedar

kepatuhan pada kenyataan sehari-hari itu. Terhadap realitas kehidupan karya fiksi

akan membuat distansi estetis, membentuk dan membuat artikulasi. Dengan cara

itu, ia mengubah hal-hal yang terasa pahit dan sakit jika dialami dan dirasakan

pada dunia nyata, namun menjadi menyenangkan untuk direnungkan dalam karya

sastra.

Karya fiksi yang biasa tunduk pada realitas kehidupan sehari-hari justru

dinilai kurang bernilai literer. Hal itu misalnya terjadi pada novel-novel pop. Ia

sengaja ditulis untuk "selera populer'" kemudian dikemas dan dijajan sebagai

suatu "barang dagangan populer". Oleh karena itu, novel populer pada umumnya

bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak

memaksa orang untuk membacanya sekali lagi. Sebagai kebalikkan sastra populer

itu adalah sastra yang "sastra", "sastra serius", literature. Walau dapat juga bersifat

inovatif dan eksperimental, sastra serius tidak akan dapat menjelajah sesuatu yang

sudah mirip dengan "main-main" (Kayam, 1981:85-7).

Sastra populer adalah perekam kehidupan, dan tak banyak

memperbincangkan kemhali kehidupan dalam serba kemungkinan. 1a menyajikan

kemhali rekaman-rekaman kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal

kemhali pengalaman-pengalamannya sehingga merasa terhibur karena seseorang

telah menceritakan pengalamannya itu. Sastra populer akan setia memantulkan

kembali "emosi-emosi asli'" dan bukan penafsiran tentang emosi itu. Oleh karena

16
itu, sastra populer yang baik banyak mengundang pembaca untuk

mengidentivikasikan dirinya (Kayam, 1981 :88). Namun, novel papuler' lebih

mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena semat-mata ingin menyampaikan

cerita. Ia "tidak berpretensi'" mengejar efek estetis, melainkan memberikan

hiburan langsung dari aksi ceritanya.

Novel serius dipihak lain, justru "harus" sanggup memberikan yang serba

berkemungkinan, dan itulah sebenarnya makna sastra yang sastra. Membaca novel

serius, jika kita ingin memahaminya dengan baik, diperlukan daya konsentrasi

yang tinggi dan disertai kemauan untuk itu. Novel serius disamping memberikan

hiburan, juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada

pembaca, atau paling tidak, mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan secara

lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan. Novel serius

mengambil realitas kehidupan ini hanya sebagai model, dan kemudian

menciptakan sebuah "dunia baru" lewat penampilan cerita dan tokoh tokoh dalam

situasi yang khusus. Oleh karena itu, novel sastra menuntut aktivitas pembaca

secara lebih serius "mengoperasikan" daya intelektualnya. Pembaca dituntut untuk

ikut mengoperasikan duduk persoalan masalah dan hubungan antartokoh.

Sastra populer sebagai bagian kehidupan populer yang lain adalah juga

bagian kebudayaan suatu masyarakat karena kesemuanya itu memiliki pendukung.

Apapun wujud kebudayaan, ia memerlukan pendukung. Tanpa pendukung

kebudayaan akan mati. Namun, kebudayaan pop bukanlah kebudayaan yang

diciptakan oleh para pemikir dalam arti yang sebenarnya. Ia direkayasa oleh

pedagang yang acuan utamanya adalah keuntungan. Jadi, kebudayaan pop

17
bukanlah kebudayaan dalarn arti yang sesungguhnya, sedangkan kehudayaan yang

sesungguhnya adalah kebudayaan yang memperhatikan nilai-nilai moral (Darma,

1992: 93). Sastra, filsafat, dan ilmu dalam arti sebenarnya bukanlah sastra,

filsafat, dan ilmu yang merangsang manusia untuk melampiaskan nafsu-nafsu

rendah, melainkan yang selalu menentang ketidakbenaran. Oleh karena itu, sastra

yang serius akan sanggup menyuarakan kebenaran akan mempunyai gema yang

kuat, luas, dan tidak pernah ketinggalan zaman.

Kiranya perlu dikemukakan disini, bahwa hanya novel-novel yang

dikategorikan sebagai novel serius inilah yang selama ini banyak dibicarakan pada

dunia kritik sastra. Barangkali, orang beranggapan bahwa hanya novel jenis ini

pulalah yang pantas dianggap sebagai karya sastra sekaligus karya seni, sebagai

suatu bentuk kebudayaan, sedang sastra populer di pandang sebagai kebudayaan

massa yang artifisial, dan bukan rnerupakan kebudayaan yang sesungguhnya.

Namun, untuk keperluan praktis pemahaman antarbudaya, sastra pop kiranya

tidak ada salahnya dijadikan sebagai salah satu sumber. Justru karena sifatnya

yang memantulkan emosi-emosi asli itu ia akan mencerminkan tingkah laku

konkret interaksi manusia secara realistis dan mutakhir.

Namun, karya sastra tidak selalu bisa diperlakukan sebagai dokumen

sosial budaya, karya sastra selalu memanfaatkan dan menanggapi kenyataan-

kenyataan sosial budaya meskipun cara penyampaiannya metaforis atau simbolis

dan yang dilukiskan mungkin tidak sama dengan kenyataan sosial budaya sehari-

hari. Namun melalui karya sastra dapat diketahui melalui bagaimana kehidupan

sosial masyarakat pada masa itu.

18
Karya sastra dapat dipahami dari berbagai aspek kehidupan

bermasyarakat. Unsur kehidupan memang sangat menarik dituangkan dalam suatu

karya sastra sejauh karya sastra itu masih berupa aspek mimesis. Refleksi

kehidupan ini merupakan imitasi dan imajinasi pengarang terhadap bentuk

kehidupan manusia yang terlibat dan terjadi di masyarakat yang bisa

mempengaruhi pembaca seolah-olah berada dalam permasalahan tersebut. Sastra

juga dapat dibuat berupa hal yang terjadi dalam realita kehidupan manusia itu

sendiri. Melalui aspek-aspek sosial, pengarang mampu menggambarkan nilai

sosial pada masanya.

19
BAB III

PUBLIKASI DAN KREASI

Ketika menulis, semua pengarang memiliki public yang hadir dalam

pikirannya. Tindak publikasi merupakan sesuatu yang hanya benar-benar

dikatakan jika ia dikatakan kepada seseorang. Akan tetapi dapat pula dikatakan

bahwa sesuatu hanya dapat dikatakan kepada seseorang jika pertama-tama ia telah

dikatakan untuk seseorang. Dengan kata lain, public lawan bicara sudah eksis

dalam sumber kreasi sastra . Seperti yang dilakukan oleh Samuel pepys, yang

menulis hanya untuk dirinya sendiri dalam jurnalnya “Buku Harian “, jadi ia

sendiri lawan bicaranya. Setelah meninggal, “ia berbicara kepada kepada public

yang beras lewat penerbit yang telah mempublikasikannya.

Dalam pengertian publikasi sastra, untuk semantic yang konstan dalam

kata “publier” yang artinya menerbitkan. Kemudian dalam bahasa latin “pulicare”

mengandung gagasan penyerahan kepada seseorang yang anomin. “publicare

simulacrum” berarti membangun patung di lapangan, menerbitkan pengunguman

perkawinan, yakni memberitahukan suatu proyek pribadi kepada semua orang,

baik yang dikenal amupun yang tidak dikenal. Makna paling kuno dari kata

tersebut yang dikutip dari Littre, dipakai pada abad XIII, dan diterapkan pada

barang-barang bergerak yaitu “menjual dengan kata lelang”.

Memublikasikan karya berarti juga menuntaskan dengan menyerahan

kepada orang lain. Agar suatu karya dapat benar-benar eksis sebagai unsure yang

otonom dan bebas, sebagai suatu hasil ciptaan, ia harus memisahkan diri dari

20
penciptanya dan menjalani sendiri nasibnya diantara orang-orang. Itulah yang

disimbolkan acara pertama “peluncuran pertama” atau juga “peresmian” pameran

lukisan dimana pelukis tidak boleh membuat coretan baru dengan kuasnya, ia

harus melepaskan pengawasannya atas ciptaannya serta menyatakan kelahiran

karyanya dengan menyerahkannya untuk dijual di pameran.

A. Perkembangan Historis

Sejak jaman kuno sudah ada cara-cara untuk menggandakan ujaran

(parole) yang ditulis untuk menyebarkan karya. Pembacaan di muka umum

merupakan salah satu yang paling praktis untuk mencoba suatu karya dihadapan

public yang terbatas. Misalnya adalah penyebaran oleh pengarang yang paling

menarik adalah “yomuri”, yaitu nenek moyang Koran jepang yang setelah ditulis,

pengarang mencetaknya lalu menjualnya sendiri di jalan-jalan sambil

meneriakkan bagian-bagian yang terpenting.

Di sejak jaman dahulu pula, sudah ada spesialis penyebaran. Pertama-tama

adalah pencerita keliling yang menceritakan secara lisan kisah-kisah tradisional

ataupun yang masih baru. Hal ini masih suka kita dapati di banyak negara. Hal

inilah yang dikatakan salah satu bentuk publikasi, namun masih terbatas.

Sejak abad V, di Athena dan pada zaman klasik di Roma, sudah ada

bengkel-bengkel penulis (scriptoria) yang dipekerjakan oleh pengusaha untuk

menyalin naskah-naskah. Salinan-salinan itu kemudian dijual di took-toko buku

yang waktu itu memang juga sudah ada. Yang menarik adalah bahwa untuk

menyebut kegiatan tersebut orang-orang romawi itu telah memilih akar kata kerja

21
“edere” yang berarti “melahirkan”. Makna tersebut masih berlaku pada zaman

Vigilius dan Ovidius, sedangkan Pline memberikan penelitian penerbit modern

ketika ia berbicara tentang “libelli edition digni”.

Gagasan tersebut muncul sebelum peralatan teknis. Peralatan itu baru

muncul empat belas abat keudian. Dengan mesin cetak, tekanan diberikan pada

publikasi, artinya penyerahan pada seseorang yang anonym, bukan pada

penerbitnya. Dalm hal ini publikasi injil merupakan salah satu factor yang

menentukan dari reformasi keagamaan. Dapat ditambahkan bahwa publikasi

teknis diperkuat dengan publikasi bahasa, berupa pemakaian bahasa kasar. Dalam

memilih, mereka juga telah memiliki sifat pencipta. Oleh karena itu dikatakan

bahwa Chaucer, Gower, Maroly, dll telah berutang budi kepada Caxton yang

memungkinkan mereka tetap memilliki kelangsungan hidup dalam dunia sastra,

padahal jika karya mereka tetap ditulis tangan mungkin hal itu tidak akan terjadi.

Pada abad XV, sudah ada perusahaan dagang yang sangat besar seperti

kepunyaan Anton Koburger, pemilik percetakan di Nuremberg yang memiliki 16

toko penjualan dan agen-agen di kota-kota Kristen terpenting, atau juga milik

Aldo Manuzio di Venesia. Pada abad XVI, di prancis ada dinasti penerbit

Estienne, di Belanda keluarga Plantin dan Elzevir. Balanda dikenal memegang

peranan penting sebagai pasar buku internasional pada abad XVIII. Namun karena

percetakan-percetakan besar mulai kerepotan oleh pertumbuhan industry mereka

yang rumit, dengan sangat cepat terpaksa menyerahkan penjualan eceran hasil

produksi mereka kepada spesialis, mewakilkan kepada mereka semua atau

sebagian dari fungsi komersial mereka. Maka muncullah took-toko buku. Pada

22
penggalan kedua abad XVI, di prancis kata “librairie tidak lagi diterapkan kapada

para penyalin atau ahli perpustakaan tetapi kepada pedangan buku.

Batas antara kedua profesi itu belum begitu jelas. Pada tahun 1618, di

prancis peraturan pajak masih mengelompokkan percetakan dan toko buku dalam

grup yang sama. Sampai akhir abad XVIII, masih susah untuk dikatakan siapa

diantara keduanya yang bertanggung jawab secara moral dan dari segi keuangan

atas publikasi buku. Pada zaman Napolen di awal abad XIX, perundang-undangan

yang ada menghentikan perdebatan demi pihak ketiga dengan menunjuk seorang

penerbit yang bertanggung jawab untuk setiap publikasi, sama seperti pengelola

Koran prancis yang waktu itu masih merupakan mitos.

Pada masa kini, beberapa penerbit telah dibentuk dengan cara seperti itu,

misalnya John murray, yang ikut menanajak dengan romantisme inggris. Tetapi

lebih banyak yang berasal dari percetakan, misalnya Plon di prancis, sementara

yang lain berasal dari toko buku seperti Hachette. Selain itu, sekarang pun

memang masih ada beberapa gabungan percetakan-penerbit dan toko buku-

penerbit.

B. Pemublikasian Karya Sastra

1. Media Cetak

Media cetak merupakan salah satu publikasi dengan mencetak atau

menerbitkan dalam lembaran kertas atau bisa juga dalam bentuk poster, spanduk,

dan baliho. Publikasi karya sastra melalui media cetak terdapat dalam koran, dan

buku.

23
a. Surat Kabar ( Koran)

Perkembangan kesusastraan Indonesia erat kaitannya dengan

keberadaan surat kabar. Sebagian besar karya para sastrawan kita terlebih

dahulu dipublikasikan melalui surat kabar, baru kemudian dibukukan.

Kumpulan puisi atau kumpulan cerpen biasanya berasal dari puisi-puisi atau

cerpen-cerpen yang dimuat di berbagai media massa dan novel biasanya

berasal dati cerita bersambung. Selain karya yang sifatnya rekaan pengarang,

surat kabar juga menyediakan ruangan untuk karya berupa esai dan kritik

sastra. Berita atau tulisan tentang sasffawan dan aktivitasnya, sern kegiatan

kesusastraan, selalu mendapat tempat terhormat di surat kabar. Dari ruang

sastra dan budaya yang kadang-kadang disediakan khusus di surat kabar, baik

itu nasional maupun lokal, bermunculanlah karya-karya yang cukup bermutu.

Sering karya-karya itu kurang diperhatikan oleh para pengamat sastra, mereka

cenderung meneliti karya-karya yang sudah dibukukan, padahal tidak semua

karya yang baik mendapat kesempatan untuk dibukukan. Sekarang ini banyak

surat kabar yang menyediakan ruang untuk menampung karya dari remaja

atau para pemula. Ruang semacam ini sangat berguna untuk melatih bakat

menulis dari para pemula. Jika tidak, bakat-bakat terpendam semacam itu

tidak pernah mendapat kesempatan untuk mempublikasikan karyanya

sehingga sulit dihatapkan munculnya pengarang-pengarang besar di kemudian

hari. Sebagian besar pengarang Indonesia yang ada sekarang memulai

masa remaja. Melihat hal ini dapat dikatakan bahwa surat kabar

sangat berperan penting dalam melahirkan pengarang-pengarang besar.

24
Selain itu, dalam surat kabar terdapat pula berbagai berita mengenai

kegiatan sastra. Misalnya pembacaan puisi, pementasan drama, seminar, dan

diskusi sastra. Berita-berita ini menandakan bahwa sastra masih tetap

diminati masyarakat. Seberapa besar apresiasi masyarakat terhadap sastra

dapat dikaji dari berita-berita itu dalam surat kabar. Satu kebutuhan yang

langsung dapat dipenuhi oleh surat kabar ini adalah di dalamnya dibicarakan

persoalan-persoalan yang timbul mengenai kejadiankejadian di bidang

kesusastraan dan kebudayaan. Di samping memberikan kesempatan bagi para

pengarang dan penyair untuk menyiarkan hasil karyanya, baik yang berupa

percobaan maupun yang sudah matang, dengan tidak menunggu terlalu lama

halnya mereka menulis buku. Jika diamati dengan cermat segera

diketahui bahwa fungsi dan format media semacam itu besar sekali

pengaruhnya tethadap karya sastra, baik dari seg tema maupun penulisannya.

Koran menyediakan ruang yang sangat terbatas meskipun dibandingkan

dengan majalah dan buku, frekuensi penerbitannya lebih tinggi. Di samping

itu ada berbagai hal yang berkaitan dengan ideologi yang mau tidak mau

mempengaruhi berbagai segi tematik dan stilistika karya sastra yang dimuat.

Koran umumnya diterbitkan berdasarkan ideologi yang lebih tegas dari

pemiliknya. Hal ini terjadi sejak awal perkembangan persuratkabåran di

Indonesia. Klas balik sejarah yakni pada tahun 1950-an, hampir semua koran

diterbitkan berdasarkan ideologi politik yang tegas, banyak diantaranya yang

merupakan bagian dari divisi agitasi dan propaganda partai (Damono,

2002:36).

25
Perhatian yang serius terhadap penerbitan karya sastra dalam surat

kabar ini pendng karena semua karya mendapat kesempatan untuk diterbitkan

sebagai buku, seperti terbitan kompas yang menjadi kumpulan cerpen. Oleh

karena itu, penelitian kesusastraan Indonesia yang hanya yang berdasarkan

karya yang telah diterbitkan sebagai buku tidak akan gambaran

yang sesungguhnya mengenai kesusastraan Indonesia. Jumlah buku yang

diterbitkan terlalu sedikit dibandingkan dengan berbagai karya sastra yang

pernah dipublikasikan di surat kabar.

b. Majalah

Sastra Indonesia sering disebut sebagai sastra majalah sebab

perkembangan penerbitan buku dianggap cukup baik untuk menampung karya

sastra. Ada beberapa pokok pembicaraan yang bisa penelitian jenis

ini, misalnya apakah majalah yang memuat karya sastra itu merupakan

majalah khusus atau bukan? Majalah yang khusus memuat karya sastra seperti

Kisah, Horison, dan Pujangga Baru tentu memiliki tujuan tertentu dalam

penerbitannya. Pujangga Baru memiliki misi yang tentunya berbeda dengan

Kisah. Perbedaan itu akan berpengaruh dalam seleksi karya yang akan dimuat.

Dalam penerbitan Pujangga Baru secara berkesinambungan menyiarkan

serangkaian tulisan yang menunjukkan sikap terhadap apa yang disebut sastra

lama yang dianggap beku dan tidak bisa dikembangkan lagi, sedangkan Kisah

diterbitkan tanpa pandangan semacam it-u (Damono, 2002:33).

Sepanjang sejarahnya, kesusastraan Indonesia telah menghasilkan

berbagai majalah yang didasari pada idealisme semata, tanpa sama sekali

26
memperhadkan pentingnya penyebarluasannya. Dari suatu sisi majalah

Pujangga Baru boleh dianggap demikian meskipun usaha itu tampaknya juga

didukung juga Oleh keinginan untuk menyebarnya seluas mungkin, suatu hal

yang tampak dari struktur administrasi dan redaksional.

Beberapa majalah Indonesia memiliki ruangan khusus untuk karya

sastra. Ruangan khusus itu seolaholah dipisahkan isi majalah secara umum,

menjadi semacam "taman" yang dipelihara secara khusus, yang

pengelolaannya diserahkan kepada tokoh yang dianggap mengetahui sejarah

kesusastraan. Hal yang perlu perhatian khusus di sini adalah hubungan

hubungan antara ideolcÄ penerbitan majalah itudan karya sastra yang

dimuamya.

Dalam berbagai majalah semacam itu karya sastra terutama puisi

sering dianggap sebagai pengisi ruangan kosong. Jika ini terjadi, mungkin

sekali ada juga pengaruhnya terhadap perkembangan kesusastraan secara

menyeluruh. Dalam majalah semacam itu memiliki fungsi yang sama sekali

berbeda dengan yang disebarluaskan di majalah khusus sastra. Ada

kemungkinan perbedaan fungsi ini ada pengaruhnya terhadap tema dan gaya

penulisan. Belakangan ini ada semacam "pembelotan" pengarang terhadap

otoritas majalah yang bersifat sasü•a. Mereka mengatakan enggan menulis di

majalah sastra yang hanya bisa dibaca golongan elite dan lebih suka menulis

dalam majalah hiburan yang luas dibaca. Pengarang-pengarang menulis dalam

majalah bukan sastra bukanlah gejala yang hanya sekarang baru kelihatan,

tetapi dulupun juga ada semasa sebelum perang. Kilas sejarah, M. Yamin

27
membuat debutnya dalamJong Amir Hamzah, S. T. Alisyabana dan banyak

pengarang Pujangga Baru menulis dalam majalah Panji Pustaka. Majalah

Pujangga tidaklah khusus memuat hasil-hasil sastra, tetapi juga

karangankarangan mengenai kebudayaan umum. Panca Raya, Siasat, Mimbar

Indonesia, Pembangunan, merupakan wadah pengarang-pengarang Angkatan

'45 pertama kali melihat karangannya dimuat, merupakan majalah-majalah

urnum yang banyak dibaca orang (H.B.Jassin, 1994:72).

Beberapa majalah umum menyediakan tempat untuk karya sastra

sebagai bagian tak terpisahkan dari penerbitannya, tanpa menyediakan

ruangan khusus. Cerita rekaan yang dimuat di majalah wanita seperti femina

dianggap sebagai sekedar selipan, tetapi mendapat perhatian khusus sebagai

bagian dari kebijakan penerbitannya. Setiap tahun majalah itu

menyelenggarakan sayembara penulisan, suatu hal yang menunjukkan bahwa

ada perhatian khusus terhadap mutu karya sastra yang dimuatnya. Namun

apakah ada semacam intervensi dari kebijakan penerbitannya dalam memilih

karya sasú•a, mengngat bahwa majalah itu ditujukan khusus untuk pernbaca

perempuan? Pokok pembicaraan ini bisa menghasilkan gambaran umum

mengenai hubunganhubungan antara karya sastra dan pembaca sasaran.

Persoalan yang tidak kalah menariknya adalah dalam pemuatan karya

sastra itu ada pembatasan panjang pendeknya. Penerbitan karya sastra dalam

bentuk buku pada dasarnya tidak memasalahkan panjang pendeknya, ada

novel yang panjangnya 100 halaman dan ada juga yang 500 halaman. Hal itu

tentu saja memberikan kebebasan kepada penulis untuk mengatur

28
komposisinya sesuai dengan keinginannya. Dalam beberapa majalah,

panjangpendek novel ditentukan terlebih dahulu. Ini tampak dalam sayembara

penulisan cerpen. Dalam keadaan semacam itu mau novelis harus

menyesuaikan komposisinya dengan jumlah kata yang disediakan. Dari segi

panjang pendek, hal ini bisa menghasilkan keseragaman yang mungkin saja

ada kaitannya dengan perkembangan kesusastraan kita secara keseluruhan.

Persoalan panjang pendek ini mungkin disebabkan adanya batasan

terhadap ruang sastra. Ruang terbatas ini juga mungkin berdampak terhadap

tema dan teknik penulisannya. Sebagai sekedar contoh saja, cerpen-cerpen

Kuntcwijoyo yang pada tahun 1960-an dimuat di majalah relatif lebih panjang

daripada yang dimuat di koran pada tahun 1980-an dan 1990-an. Perlu apakah

perbedaan panjang pendek ini berpengaruh terhadap gaya dan tema penulisan

dan juga mutunya. Hal serupa berlaku juga untuk cerpen-cerpen Umar Kayam

dan Budi Darma (Damono, 2002: 36).

c. Buku

Buku merupakan salah satu publikasi yang mempunyai legalitas

dengan adanya ISBN dari lembaga yang berwenang yakni Perpustakaan

Negeri Republik Indonesia (PNRI). Selain itu, buku ini juga dilindungi

undang-undang dan di bawah tanggung jawab sebuah unit penerbitan.

Sekarang ini banyak buku-buku yang dicetak untuk mempublikasikan karya

sastra, teori, ilmu pengetahuan, pernbelajaran, dan Iain-Iain.

Karya sastra yang dipublikasikan dalam bentuk buku antara lain novel,

kumpulan cerpen, kumpulan puisi, teks drama, analisis-analisis

29
terhadap karya sastra. Pembuatan buku tentunya tidak jauh berbeda dengan

proses yang dilakukan di majalah ataupun di koran, hal yang

membedakannya adalah publikasi melalui buku ada batasan ruang dan

halaman, jadi penulis bebas berkarya sampai berapa halaman yang dia

mampu. Selain itu juga proses pembuatan buku ini tentunya tidak dengan

biaya yang sedikit, sehingga wajar jika harga buku jauh lebih mahal dari pada

majalah dan koran.

Karya sastra berbentuk buku banyak berasal dari majalah dan koran

yang akhirnya dikumpulkan dan dijadikan sebuah buku. Misalnya saja

Kompas banyak mengeluarkan kumpulan cerpen yang diambil dari cerpen-

cerpen yang pernah dimuat di Kompas. Bagaimana penerimaan masyarakat

terhadap karya ini? Tentunya ini menjadi Iahan penelitian bagi seorang

peneliti sastra.

Selain itu, dalam penelitian juga bisa dilihat sejauhmana pengaruh dari

unit penerbitan terhadap karya yang akan diterbitkan. l'arya sastra

yang sangat menarik biasanya alcan "meledak" yang tentunya akan kembali

dicetak oleh penerbitnya. Misalnya saja, Saman karya Ayu Utami

yang sudah mendapatkan juara sebagai novel terbaik sudah mengalami cetak

ulang beberapa kali. Demikian juga dengan yang lain: Perempuan Berkalung

Sorban, Laskar Pelangi, Para Priyayi, Ronggeng Dukuh Paruk, Ayat-ayat

Cinta, dan masih banyak karya sastra yang sudah mengalami cetak ulang

berkali-kali. Proses penerbitan akankah mengalami proses editing atau

perbaikan dari cetakan pertama? Ini juga untuk diteliti oleh peneliti sastra

30
dengan meneliti bagaimana proses editing ulangnya, apa faktor yang

mempengaruhinya, dan bagian mana yang akan ada penambahan atau

pengurangan.

Berdasarkan uraian di atas, media cetak sangat mempengaruhi karya

sastra, melalui media cetak masyarakat dapat membaca dan

mendokumentasikan karya sastra sebagai bahan bacaan, penelitian, dan

sebagai bahan ajar.

2. Media Elektronik

Sejak muncul berbagai media baru seperti ra dio, televisi, dan internet

(dunia maya) sastra muncul sebagai salah satu sumber yang memberikan sum

bangan yang bag perkembangan media yang bersangkutan. Pada urnumnya,

warga masyarakat berpendidikan atau kondisi sosial-ekonomi tertentu,

berkepentingan untuk media massa cetak. Sementara itu, media massa

elektronik (radio, televisi, dan internet) tidak mengenal diskriminasi sosial

ekonomi masyarakat, tetapi selektifberdasarkan isi acara di satu pihak, dan

minat serta perhatian khalayak di pihak lain. Berikut ini akan diuraikan

bagaimana hubungan sastra dengan radio, televisi, dan internet.

a. Radio

Radio merupakan salah satu alat penyampai informasi secam audio

yang sangat luas jangkauannya. Radio mengirimkan beritanya melalui

gelombang pemancar hingga sampai ke pelosok desa. Media ini tidak

mengenal adanya kelas sosial masyarakat, siapapun bisa mendengarkannya

31
dan dengan biaya yang sangat murah tentunya yakni dengan membeli pesawat

radionya. Bagaimana radio bisa menjadi salah satu penyampai karya

sastra? Menjawab pertanyaan ini tentunya kita masih ingat dengan drama yang

diperdengarkan oleh penyair untuk masyarakat. Program penyiaran

drama ini dikenal dengan drama radio. Drama merupakan salah satu karya

sastra yang dipentaskan, namun berbeda bila disiarkan di radio. Para penyiar

membacakan dialog-dialog yang ada dalam naskah yang diiringi dengan

musik. Misalnya drama radio Msteri Gunung Berapi yang disiarkan dengan

beberapa episode dan pertunjukan wayang yang disiarkan melalui siaran radio.

Selain itu juga ada pembacaan puisi yang dilakukan oleh beberapa radio lokal.

Hal ini dimunculkan sebagai media bagi pendengar untuk memublikasikan

puisi-puisinya kepada pendengar yang lain. Publikasi melalui radio ini tidak

menggunakan biaya yang mahal, sehingga siapapun bisa untuk

mempublikasikan karya sastranya sesuai dengan program yang ditawarkan

oleh pihak radio.

b. Televisi

Televisi merupakan media elektronik dengan menggunakan audio dan

visual. Program teìevisi juga tidak mengenal adanya kelas, sehingga semua

orang bisa menikmatinya. Dalam konteksnya, televisi cenderung menjadi

saluran hiburan, berita, dan pelayanan. Hiburan televisi berisi sinetron, film,

permainan, lagu, musik, dan olahraga. Sebagian besat program-program yang

ditawarkan televisi adalah karya sastra, misalnya film, sinetron, dan lagu. Di

dalam dan luar negeri, sejumlah film yang baik didasarkan pada novel.

32
Sejumlah cerpen dan novel juga dijadikan bahan untuk pementasan drama

dan siaran cerita atau drama radio. Pokok-pokok yang bisa dibicarakan dalam

penelitian erat kaitannya dengan masalah adaptasi, suatu hal yang tentu saja

tidak bisa dipisahkan dari khalayak dan ideologi. Hauser (1982: 619)

mengungkapkan bahwa film adalah salah satu produk sastra yang bisa

dinikmati masyarakat dari visual maupun audio. Masyarakat bisa

menikmatinya dengan melihat peran yang dimainkan Oleh para aktor.

Pembuatan film tentunya mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Dengan

sarana televisi adalah salah satu bentuk publikasi yang dilakukan secara luas.

Masyarakat dengan mudah memilih program atau acara yang disukainya,

pilihan para penonton yang ingin bersantai biasanya dengan memilih film.

Film menjadi salah safu bentuk karya sastra yang diciptakan atau

menghidupkan peran-peran yanga ada dalam naskah film. Sekarang ini banyak

film yang mengambil idea atau berangkat dari sebuah novel. Misalnya film

Perempuan Berkalung Sorban yang diangkat dari novel yang sama judulnya,

film Ayat-ayat Cinta juga diangkat dari novelnya, salah satu karya sastra

terbaik yakni Laskar Pelangi juga telah dibuatkan filmnya.

c. Internet ( Sastra Onlie)

Perkembangan teknologi ditandai dengan adanya inovasi inovasi baru

dalam setiap bidang keilmuan. Inovasi tersebut telah membuka cakrawala

berpikir masyarakat dalam arus moderniasasi. Salah satu inovasi baru dalam

bidang ilmu sastra sastra ini, yaitu munculnya sastra online yang berkembang

melalui media sosial online, seperti twitter, facebook, website, dan blog.

33
Sastra online atau cyber sastra pada perkembangannya telah menjadi alternatif

baru bagi sastrawan untuk mempublikasikan karyanya kepada pembaca.

Menurut Septriani (2017) cyber sastra atau sastra online adalah aktivitas sastra

yang memanfaatkan komputer atau internet. Kemunculan sastra online

menjadi identitas tersendiri dalam kesusasteraan Indonesia. Karya sastra yang

dimuat pun merupakan sebuah refleksi nyata dalam kehidupan sosial yang

ada. Karya sastra online bisa menjadi sebuah pendidikan digital kepada para

penulis untuk menunjukkan eksistensinya sebagai seorang penulis. Dan

sekaligus bukti kontribusinya dalam mendukung perkembangan kesusastraan

di Indonesia. Sehingga, sastra di Indonesia dapat hidup dan mengambil bagian

dalam perkembangan sastra di dunia. Kehadiran sastra online bukan sebuah

kemunduran dalam dunia sastra. Tetapi, menjadi sebuah titik awal kemajuan

dan inovasi baru dalam dunia sastra. Meskipun, banyak yang menilai bahwa

sastra online sebuah karya sastra yang identitasnya tidak jelas. Karena, tidak

melalui sebuah tahap penyuntingan atau proses editing yang dilakukan oleh

redaktur. Menurut Hidayat (2008) secara eksistensi sastra online dapat

dijadikan sebagai perlawanan atas legitimasi bahwa kapabilitas seorang

sastrawan ditentukan oleh kemampuannya menembus media massa. Seorang

sastrawan dikatakan sastrawan nasional apabila karyanya pernah muncul di

media massa bertaraf nasional. Selain daripada itu, sastra online juga dapat

dijadikan sebagai wahana inovasi karya sastra. Dalam kurun waktu ini sastra

Indonesia selalu terkungkung oleh sisi eksplorasi estetis. Hal ini karena

adanya selera redaktur sebagai “kritikus” yang berperan aktif dalam seleksi

34
baik dan buruknya karya sastra. Efektivitas sastra online telah memberikan

kemudahan kepada siapa saja dalam mengaksesnya. Sehingga, ini dapat

menambah minat masyarakat untuk mengenal dunia sastra lebih dekat.

Menurut Hidayat (2008) ada beberapa dampak positif dari kemunculan sastra

online, yaitu: 1) Sastra online menjadi ajang publikasi yang murah dan mudah.

Biaya yang dikeluarkan relatif terjangkau, dan tidak terlalu membutuhkan

keterampilan khusus. 2) Bagi sastrawan muda pertumbuhannya dapat

berkembang secara cepat. Ada penggalian potensi yang efektif melalui akses

data dari berbagai kalangan pencinta sastra sehingga karya tersebut dikenal

luas. 3) Eksistensi sastrawan menjadi lebih luas, bahkan bisa mendunia. Hal

ini dikarenakan pembuatan blog mampu sebagai wahana yang luas

jaringannya, yang bisa diapresiasi sampai ke luar negeri. 4) Melalui sastra

online, sastra Indonesia dapat melakukan eksplorasi, baik dari isi maupun

bentuknya, yang selama ini terbentur oleh ideologi koran. Fungsional sastra

online selain mendorong berkembangnya kesusasteraan di Indonesia juga

dapat menjadi ruang ekspresi yang imajinatif oleh siapa pun untuk

menuangkan ide dan imajinasinya melalui puisi dan cerita fiksimini yang

dapat dibaca oleh siapa pun. Ruang maya saat ini telah menjadi dunia mode

yang cukup digandrungi oleh siapa saja khususnya remaja. Kondisi tersebut

bisa menjadi alternatif kepada remaja untuk menggunakan akses internet

secara positif melalui pendidikan digital dengan aktif menulis karya sastra

seperti puisi dan cerita fiksimini melalui akun media sosial, facebook, twitter,

web, dan blog. Antusiasme masyarakat saat ini di dalam menilai sastra online

35
cukup beragam. Jadi, tak heran kalau banyak juga orang yang sebenarnya

mengkritik karya-karya yang dimuat di dalam media online. Dan menganggap

bahwa karya tersebut tidak mutu dan tidak teruji kualitas karyanya. Padahal,

karya sastra yang baik bukan dilihat dari ruang publikasinya. Tetapi, karya

sastra yang baik adalah karya yang menyajikan sebuah realitas sosial yang ada

yang didasari oleh sebuah pengalaman empiris dan mampu menginspirasi

pembacanya. Sastra online memberikan sentuhan baru dalam dunia sastra.

Sastra Online dalam Tinjauan Sosisologi Sastra Kemunculan sastra online saat

ini juga dilandasi nilai-nilai kebaruan sebagai bentuk inovasi dan kreativitas

dalam dunia maya. Setiap saat kecenderungan manusia boleh berbeda-beda

dan orientasi sastra dari waktu ke waktu memang sering berubah (Endraswara,

2016:36). Karya sastra online dinilai mampu merefleksikan zamannya di

tengah arus modernisasi tanpa mengurangi nilai dan subtansinya sebagai karya

sastra. Sastra online juga dapat ditinjau dari sosiologi sastra untuk menelaah

dinamika sosial yang dimuat di dalamnya. Menurut Kartikasari, dkk. (2014)

kajian sosiologi sastra tentang karya sastra dapat dipandang dari tiga sisi yaitu

masyarakat, pengarang dan karya sastra itu sendiri. Karya sastra merupakan

refleksi dari kehidupan yang mampu mendokumentasikan kehidupan di dalam

masyarakat. Karya sastra online telah mencoba mengonstruksi ideologi

masyarakat sehingga saat ini perkembangan sastra online bisa dikatakan telah

mengalami kemajuan yang pesat. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya

tulisan-tulisan sastra yang dimuat dalam media sosial online facebook, twitter,

website dan blog. Karya sastra yang dihasilkan pun merupakan kritik sosial

36
sebagai cerminan dari masyarakat pada umumnya. Sastra online merupakan

penggambaran kembali atau representasi konsep masyarakat era modern yang

bentuk dan isinya terkadang bersifat tendesius karena didasari berdasarkan

realitas sosial yang ada tanpa melalui sebuah proses editing.

C. Upaya Pemasyarakatan Sastra

Kegiatan Gemarame sebagai Langkah Tepat Dengan tidak mengabaikan

berbagai upaya pemasyarakatan sastra, kegiatan Gemarame (Gemar Membaca

Rajin Menulis) agaknya menjadi salah satu pilihan tepat bagi upaya menjadikan

sastra sebagai bagian penting dalam kehidupan manusia (masyarakat). Sesuai

dengan namanya, yang sangat substansial dalam kegiatan ini adalah membaca dan

menulis. Pada prinsipnya kegiatan jenis ini dapat dilakukan dengan sasaran siapa

saja, tetapi yang paling tepat adalah untuk para siswa. Alasannya, siswa masih

relatif memiliki kejernihan pikiran dan peluang untuk berkembang di (dan

sekaligus menjadi penanggung jawab) masa depan.

CONTOH KARYA SASTRA

Raden Ayu

Rukmi Wisnu Wardani

Serupa teka teki, kursi kursi berjejalan di sekitarku

kenangan mana yang harus kupungut

dan kuabadikan satu persatu?

37
di angkasa angka angka beterbangan tanpa perasaan

apalagi peristiwa. jarum jam selalu gagal

mengerti arti menunggu

deras jagir membenturku ke patahan sejarah

saat aku hanya mampu mengeja namamu

di batu nisan itu

raden ayu, izinkan kusentuh musimmu

meski rimis enggan memalingkan jejatuhannya dari parasku

www.cybersastra.org

38
BAB IV

STRUKTURALISME GENETIK

Strukturalisme Genetik (genetik structuralism) adalah cabang penelitian

sastra secara struktural yang tak murni. Strukturalisme genetik ini merupakan

penggabungan antara struktural dengan metode penelitian sebelumnya

(Endraswara 2003: 55). Semula, peletak dasar strukturalisme Genetik adalah

Taine. Baginya, karya sastra sekedar fakta imajinatif dan pribadi, melainkan dapat

merupakan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu

pada saat karya dilahirkan. Strukturalisme Genetik muncul sebagai reaksi atas

“stukturalisme murni” yang mengabaikan latar belakang sejarah dan latar

belakang sastra yang lain. Hal ini diakui pertama kali oleh Juhl (Teeuw 1988:

173) bahwa penafsiran model strukturalisme murni atau strukturalisme klasik

kurang berhasil (Endraswara 2003: 55-56).

Dari pandangan ini, tampaknya murid utama George Lukacs, dalam apa

yang dikenal sebagai kritik sastra marxis aliran “neo-Hegelian”, Lucien

Goldmann, kritikus asal Rumania adalah satu-satunya tokoh yang ikut

mengembangkan Strukturalisme Genetik. Goldmann berusaha mengulas struktur

sebuah teks sastra dengan tujuan mengetahui sampai sejauh mana teks itu

mewujudkan struktur pemikiran atau “visi dunia”, world vision dari kelompok

atau kelas sosial dari mana pengarang berasal. Penelitian Strukturalisme Genetik,

memandang karya sastra dari dua sudut yaitu intrinsik dan ekstrinsik.

Pendekatan ini mempunyai segi-segi yang bermanfaat dan berdaya guna tinggi,

39
apabila para peneliti sendiri tidak melupakan atau tetap memperhatikan segi-segi

intrinsik yang membangun karya sastra, di samping memperhatikan faktor-faktor

sosiologis, serta menyadari sepenuhnya bahwa karya sastra itu diciptakan oleh

suatu kreativitas dengan memanfaatkan faktor imajinasi (Jabrohim 1994: 82).

Pendapat di atas sesuai dengan pendapat Endraswara (2003: 56) yang

menyatakan bahwa studi Strukturalisme Genetik memiliki dua kerangka besar.

Pertama hubungan antara makna suatu unsur dengan unsur lainnya dalam suatu

karya sastra yang sama, dan kedua hubungan tersebut membentuk suatu jaringan

yang saling mengikat. Strukturalisme Genetik tidak begitu saja dari struktur dan

pandangan dunia pengarang. Pandangan dunia pengarang itu sendiri

dapat diketahui melalui latar belakang kehidupan pengarang. Hal itulah yang

memberikan kekuatan hasil analisis novel dengan pendekatan sosiologi sastra.

pendekata sosiologi sastra secara singkatnya adalah pendekatan yang memandang

karya sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Pencipta karya sastra adalah

anggota masyarakat. Jelaslah bahwa pendekatan sosiologi sastra terutama dengan

metode Strukturalisme Genetik sangat erat hubungannya dengan pengarang. Lebih

lanjut Goldmann mengemukakan bahwa semua aktivitas manusia merupakan

kreasi atau percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan

aspirasinya. Sesuatu yang dihasilkan merupakan fakta hasil usaha manusia untuk

mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan dunia sekitarnya (Fananie 2000:

117).

Untuk menghasilkan sebuah totalitas, Goldmann menawarkan metode

dialektik yang pada prinsipnya pengetahuan mengenai fakta-fakta kemanusiaan

40
akan tetap abstrak apabila tidak mengintegrasikannya ke dlaam keseluruhan.

Karena itu metode dialektik menegmbangkan dua pasangan konsep, yaitu,

“keseluruhan-bagian” dan “pemehaman-penjelasan”. Metode dialektik sama

dengan metode posifistik, keduanya sama-sama bermula dan berakhir pada karya

sastra. Hanya saja pada metode positivistik tidak mempertimbangkan persoalan

koherensi struktural, metode dialektika mempertimbangkannya. Strukturalisme

genetik ini merupakan gerakan penolakan strukturalisme murni, yang hanya

menganalisis unsur-unsur intrinsik saja tanpa mengindahkan hal-hal di luar teks

sastra itu sendiri. Gerakan ini juga menolak peranan bahasa sastra sebagai bahasa

yang khas, bahasa sastra. (Ratna, 2006: 121).

Secara definitif, Ratna (2006: 123) menjelaskan lebih lanjut bahwa

strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian

terhadap asal-usul teks sastra. Meskipun demikian, sebagai teori yang sudah teruji

validitasnya, strukturalisme genetic masih ditopang oleh beberapa konsep teori

sosial lainnya; fakta kemanusiaan (Faruk, 1999: 12), simetri atau homologi, kelas-

kelas social, subjek transindividual, dan pandangan dunia (Ratna, 2006: 123).

Konsep-konsep inilah yang membawa strukturalisme genetik pada masa

kejayaannya sekitar tahun 1980 hingga 1990.

A. Struktur karya Sastra

Goldman mengemukakan dua pendapat mengenai karya sastra pada

umumnya, yang pertama bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia

secara imajiner. Sedangkan yang kedua adalah bahwa dalam usahanya

mengekspresikan pandangan dunia itu pengarang menciptakan semesta tokoh-

41
tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner.

Dari dua pendapatnya itu, Goldmann mempunyai konsep struktur yang bersifat

tematik, yang memusatkan perhatian pada relasi antara tokoh dengan tokoh dan

tokoh dengan objek yang ada disekitarnya. Dengan demikian, Goldmann

membdedakan tekjs sastra dengan filsafat yang mengungkapkan pandangan dunia

secara konseptual dan sosilogi yang mengekspresikan pandangan dunia secara

empirisitas.

Sifat tematik dari konsep struktur Goldmann itu terlihat pula pada

konsepnya mengenai novel. Berkaitan dengan pentinganya pendekatan

strukturalisme genetik, Goldmann mengkaji dua hal yang dianggpanya saling

bersangkutan, yakni cara meneliti novel (baca: teks sastra) itu sendiri dan

hubungannya dengan sosio-budaya.

Mengenai novel itu sendiri, goldmann kemudian mendefinisikannya

sebagai cerita tentang pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai otentik dalam

dunia yang terdegradasi oleh seorang tokoh yang probematik. Yang dimaksud

dengan nilai-nilai yang otentik adalah totalitas yang secara tersirat muncul dalam

novel, nilai-nilai yang mengorganisasi sesuai dengan mode dunia sebagai totalitas.

Yakni, nilai-nilai yang hanya ada dalam kesadaran penulis/pengarang dengan

bentuk konseptual dan abstrak.

B. Fakta Kemanusiaan

Fakta kemanusiaan merupakan hasil aktivitas atau perilaku manusia baik

yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami ilmu pengetahuan. Fakta

42
kemanusiaan dalam Strukturalisme genetik dibagi kedalam dua bagian yaitu, fakta

individual dan fakta sosial. Goldmann via Faruk (1999: 13) menganggap bahwa

semua fakta kemanusiaan mempunyai struktur tertentu dan arti tertentu. Fakta-

fakta manusia ini memiliki arti karena bersentuhan dnegan subjek kolektif ataui

individual. Dengan kata lain, Fakta-fakta kemanusiaan ini merupakan hasil usaha

manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya

dengan dunia sekitar.

Dalam proses strukturasi dan akomodasi yang terus menerus suatu karya

sastra sebagai fakta kemanusiaan, sebagai hasil aktivitas cultural manusia. Proses

tersebut sekaligus merupakan genetic dari struktur karya sastra.

C. Homologi

Homologi menurut Ratna (2006: 122) diturunkan melalui organisme

primitif yang sama dan disamakan dengan korespondensi, kualitas hubungan yang

bersifat struktural. Homologi memiliki implikasi dengan hubungan bermakna

antara struktur literer dengan struktur sosial. Nilai-nilai yang otentik yang terdapat

pada strukturalisme genetik menganggap bahwa karya sastra sebagai homolagi

antara struktur karya sastra dengan struktur lain yang berkaitan dengan sikap suatu

kelas tertentu atau struktur mental dan pandangan dunia yang dimiliki oleh

pengarang dan penyesuaiannya dengan struktur sosialnya.

43
D. Kelas-kelas Sosial

Kelas-kelas sosial adalah kolektivitas yang menciptakan gaya hidup

tertentu, dengan struktur yang ketat dan koheren. Kelas merupakan salah satu

indikator untuk membatasi kenyataan sosial yang dimaksudkan oleh pengarang

untuk mempengaruhi bentuk, fungsi, makna, dan gaya suatu karya seni. Dikaitkan

dengan strukturalisme genetik kelas yang dimaksudkan adalah kelas sosial

pengarang karena karya sastra sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan

pengarang.

Dalam hubungan inilah, sesuai dengan pandangan Marxis, karya disebut

sebagai wakil kelas sebab karya sastra dimanfaatkan untuk menyampaikan

aspirasi kelompoknya. Dikaitkan dengan pengarang, latar belakang dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu latar belakang karena afiliasi dan karena kelahiran.

E. Subjek Transindividual

Meskipun istilah transindividual diadopsi oleh Goldmann dari khazanah

intelektual Marxis, khususnya Lukacs, Goldmann tidak menggunakan istilah

kesadaran kolektif dengan pertimbangan istilah ini seolah-olah menonjolkan

pikiran-pikiran kelompok. Sebaliknya, Konsep transindividual menurut

Goldmann, menampilkan pikiran-pikiran individu tetapi dengan struktur mental

kelompok.

Menurut Faruk, subjek transindividual adalah subjek yang mengatasi

individu, yang di dalamnya individu hanya merupakan bagian. Subjek

transindividual bukanlah kumpulan individu-individu yang berdiri sendiri,

44
melainkan merupakan satu kesatuan, satu kolektivitas. Meskipun demikian,

subjek transindividual merupakan konsep yang masih kabur. Subjek

transindividual itu dapat kelompok kekerabatan, kelompok sekerja, kelompok

teritorial, dan sebagainya. Goldmann menspesifikasikannya sebagai kelas sosial

dalam pengertian Marxis sebab baginya kelompok itulah yang terbukti dalam

sejarah sebagai keompok yang telah menciptakan suatu pandangan yang lengkap

dan menyeluruh mengenai kehidupan dan yang telah mempengaruhi

perkembangan sejarah umat manusia. Dalam strukturalisme genetik, subjek

transindividual merupakan energi untuk membangun pandangan dunia.

F. Pandangan Dunia

Pandangan dunia memicu subjek untuk mengarang, dan dianggap sebagai

salah satu ciri keberhasilan suatu karya. dalam rangka strukturalisme genetik,

pandangan dunia berfungsi untuk menunjukkan kecenderungan kolektivitas

tertentu. Melalui kualitas pandangan dunia inilah karya sastra menunjukkan nilai-

nilainya, sekaligus memperoleh artinya bagi masyarakat.

Menurut Goldmann via Faruk (1999: 15) pandangan dunia merupakan

istilah yang cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-

aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama

anggota kelompok sosial tertentu dan mempertentangkannya dengan kelompk

sosial yang lainnya. Masih menurut goldman pandangan dunia merupakan

kesadaran kolektif yang dapat digunakan sebagai hipotesis kerja yang konseptual,

suatu model, bagi pemahaman mengenai koherensi struktur teks sastra.

45
Pandangan dunia ini berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan

ekonomi tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang memilikinya.

Pandangan dunia tidak lahir dengan tiba-tiba, transformasi mentalitas yang lama

secara berlahan-lahan dan bertahap diperlukan demi terbangunnya mentalitas

yang baru dan teratasinya mentalitas yang lama.

Penelitian Strukturalisme Genetik

Strukturalisme Genetik pada prinsipnya adalah teori sastra yang

berkeyakinan bahwa karya sastra tidak semata-mata merupakan suatu yang statis

dan lahir yang sendirinya melainkan merupakan hasil strukturasi struktur kategori

pikiran subjek penciptanya atau subjek kolektif tertentu yang terbangun akibat

interaksi antara subjek itu dengan situasi sosial dan ekonomi tertentu. Oleh karena

itu pemahaman mengenai Strukturalisme Genetik, tidak mungkin dilakukan tanpa

pertimbangan-pertimbangan faktor-faktor sosial yang melahirkannya, sebab faktor

itulah yang memberikan kepaduam pada struktur karya sastra itu (Goldman dalam

Faruk 1999: 13).

Ada dua kelompok karya sastra menurut Goldmann (dalam Jabrohim

1994: 82), yaitu karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang utama dan karya

sastra yang dihasilkan oleh pengarang kelas dua. Karya sastra yang dihasilkan

oleh pengarang utama adalah karya sastra yang strukturnya sebangun dengan

struktur kelompok atau kelas sosial tertentu. Sedangkan, karya sastra yang

dihasilkan oleh pengarang kelas dua adalah karya sastra yang isinya sekedar

reproduksi segi permukaan realitas dan kesadaran kolektif. Untuk penelitian

46
sastra yang mengungkapkan pendekatan Strukturalisme Genetik oleh Goldmann

disarankan menggunakan karya sastra ciptaan pengarang utama, karena sastra

yang dihasilkannya merupakan karya agung (master peace) yang di dalamnya

mempunyai tokoh problematik (problematic hero) atau mempunyai wira yang

memburuk dan berusaha mendapatkan nilai yang sahih. Menurut Goldmann

(dalam Endraswara 2003: 57) karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan

mewakili pandangan dunia penulis, tidak sebagai individu melainkan sebagai

anggota masyarakatnya. Dengan demikian, dapat ditanyakan bahwa

Strukturalisme Genetik merupakan penelitian sastra yang menghubungkan antara

struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi

yang diekspresikannya. Keterkaitan pandangan dunia penulis dengan ruang dan

waktu tertentu tersebut, bagi Goldmann merupakan hubungan genetik, karenanya

disebut sebagai Strukturalisme Genetik. Pada bagian lain, Goldmann

mengemukakan bahwa pandangan dunia merupakan perspektif yang koheren dan

terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dengan alam semesta.

Sebagai sebuah analisis Strukturalisme Genetik didasarkan faktor

kesejarahan karena tanpa menghubungkan dengan fakta-fakta kesejarahan pada

suatu objek kolektif di mana suatu karya diciptakan, tidak seorang pun akan

mampu memahami secara komprehensif pandangan dunia atau hakikat dari yang

dipelajari (Goldmann dalam Fananie 2000: 120). Pandangan dunia, yang bagi

Goldmann selalu terbayang dalam karya sastra adalah abstraksi. Abstraksi itu

akan mencapai bentuknya yang konkret dalam sastra. Oleh karena itu pandangan

dunia ini suatu bentuk kesadaran kolektif yang mewakili kelas sosialnya. Oleh

47
karena itu, karya sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya (unsur genetik) dari

latar belakang sosial tertentu. Keterkaitan pandangan dunia penulis dengan ruang

dan waktu tertentu tersebut bagi Goldmann merupakan hubungan genetik.

Karenanya disebut Strukturalisme Genetik. Dalam kaitannya ini, karya sastra

harus dipandang dari asalnya dan kejadiannya (Endraswara 2003: 57). Atas dasar

hal-hal tersebut, Goldmann (dalam Endraswara 2003: 57) memberikan rumusan

penelitian Strukturalisme Genetik ke dalam tiga hal, yaitu:

1) penelitian terhadap karya sastra seharusnya dilihat sebagai satu kesatuan;

2) karya sastra yang diteliti mestinya karya sastra yang bernilai sastra yaitu karya

yang mengandung tegangan (tension) antara keragaman dan kesatuan dalam

suatu keseluruhan (a coherent whole);

3) jika kesatuan telah ditemukan, kemudian dianalisis dalam hubungannya

dengan latar belakang sosial. Secara sederhana, kerja penelitian

Strukturalisme Genetik dapat diformulasikan dalam tiga langkah antara lain:

1. Penelitian bermula dari kajian unsur intrinsik, baik secara parsial

maupun dalam jalinan keseluruhan.

Penelitian Strukturalisme Genetik, memandang karya sastra dari dua

sudut pandang yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali dari bagian unsur

intrinsik (kesatuan dan koherensi) sebagai data dasarnya. Selanjutnya,

penelitian akan menghubungkan berbagai unsur dengan realitas masyarakat.

Karya dipandang sebagai sebuah refleksi zaman, yang dapat mengungkap

aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa

penting dari zamannya akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur

48
intrinsik karya sastra. Untuk sampai pada World view yang merupakan

pandangan dunia pengarang memang bukan perjalanan mudah. Karena itu,

Goldman mengisyaratkan bahwa penelitian bukan terletak pada analisis isi,

melainkan lebih pada struktur cerita. Dari struktur cerita itu kemudian dicari

jaringan yang membentuk kesatuannya. Penekanan pada struktur dengan

mengabaikan isi kebenarannya merupakan suatu permasalahan tersendiri,

karena hal tersebut dapat mengabaikan hakikat sastra yang merupakan tradisi

sendiri (Laurenson dan Swingewood dalam Endraswara 2003: 57-58).

Penelitian sastra yang menggunakan pendekatan Strukturalisme Genetik

terlebih dahulu harus memulai langkah yaitu kajian unsur-unsur intrinsik. Dari

pengkajian unsur-unsur intrinsik ini akan dapat memunculkan tokoh

problematic dalam novel tersebut. Tokoh problematik yang terdapat dalam

novel akan memunculkan adanya pandangan dunia pengarang akan

dimunculkan melalui tokoh problematik (problematic hero). Tokoh

problematik (problematik hero) adalah tokoh yang mempunyai wira

bermasalah yang berhadapan dengan kondisi sosial yang memburuk

(degraded) dan berusaha mendapatkan nilai yang sahih (authentic value).

Melalui tokoh problematik inilah pandangan dunia pengarang akan terlihat

dari pemberian solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang kepada tokoh

problematik dalam usahanya untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi.

2. Mengkaji kehidupan sosial budaya pengarang, karena ia merupakan

bagian dari komunitas tertentu.

49
Sosial budaya terdiri atas dua kata yaitu sosial dan budaya. Sosial

berarti berkenaan dengan masyarakat. Budaya adalah keseluruhan hasil cipta,

rasa, dan karsa masyarakat. Budaya dapat dikaitkan sebagai warisan yang

dipandang sebagai karya yang tersusun secara teratur, terbiasa, dan sesuai

dengan tata tertib. Hasil budaya tersebut dapat berupa kemahiran teknik,

pikiran, gagasan, kebiasaan-kebiasaan tertentu atau hal-hal yang bersifat

kebendaan. Kata kebudayaan mengandung pengertian yang kompleks yang

mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat,

cara hidup, dan lain-lain. kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan

yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat kebudayaan adalah

hasil budi, daya kerja akal manusia dalam rangka mencukupi kebutuhan

hidupnya. Kebudayaan terbentuk karena adanya manusia, sedang manusia

merupakan anggota masyarakat. Simpulan yang diperoleh dari beberapa

pengertian sosial budaya di atas adalah segala sesuatu mencakup pengetahuan,

kepercayaan, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang

diperoleh manusia melalui akal budinya sebagai makhluk sosial. 23Seorang

pengarang adalah anggota kelas sosial, maka lewat suatu kelaslah ia

berhubungan dengan perubahan sosial dan politik yang besar. Perubahan

sosial dan politik itu sendiri adalah ekspresi antagonis kelas, dan jelas

mempengaruhi kesadaran kelas (Damono 1978: 42). Kelas sosial pengarang

akan mempengaruhi bentuk karya sastra yang diciptakannya, sebagaimana

dikatakan Griff (dalam Faruk 1999: 55) sekolah dan latar belakang keluarga

dengan nilai-nilai dan tekanannya mempengaruhi apa yang dikerjakan oleh

50
sastrawan. Gejolak batin pengarang menjadi hal yang sangat urgen dalam

peristiwa munculnya karya sastra. Sebagai manusia pengarang berusaha

mengaktualisasikan dirinya, menaruh minat terhadap masalah-masalah

manusia dan kemanusiaan, hidup, dan kehidupan melalui karya sastra.

Meskipun demikian, karya sastra berbeda dengan rumusan sejarah. Dalam

sebuah karya sastra, kehidupan yang ditampilkan merupakan peramuan antara

pengamatan dunia keseharian dan hasil imajinasi. Jadi, kehidupan dalam sastra

merupakan kehidupan yang telah diwarnai oleh pandangan-pandangan

pengarang. Latar belakang sosial budaya pengarang dapat mempengaruhi

penciptaan karya-karyanya, karena pada dasarnya sastra mencerminkan

keadaan sosial baik secara individual (pengarang) maupun secara kolektif. Hal

tersebut menyebabkan secara sadar atau tidak sadar bahwa dalam menciptakan

karya sastra baik sedikit ataupun banyak dipengaruhi oleh pemikiran perasaan

dan pengalaman hidupnya, salah satunya yaitu bahwa latar belakang sosial

budaya pengarang akan mempengaruhi penciptaan karya sastra yang

ditulisnya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kehidupan sosial

budaya pengarang akan mempengaruhi karya sastra yang ditulis. Karena

pengarang merupakan bagian dari komunitas tertentu. Sehingga kehidupan

sosial budaya pengarang akan dapat mempengaruhi karya sastranya.

Pengarang bukan hanya penyalur dari suatu pandangan dunia kelompok

masyarakat, tetapi juga menyalurkan reaksinya terhadap fenomena sosial

budaya dan mengeluarkan pikirannya tentang satu peristiwa. Secara singkat,

51
kehidupan sosial budaya pengarang akan memunculkan pandangan dunia

pengarang, karena pandangan dunia pengarang terbentuk dari pandangan

pengarang setelah ia berintereaksi dengan pandangan kelompok sosial

masyarakat pengarang.

3. Mengkaji latar belakang sosial sejarah yang turut mengkondisikan karya

sastra saat diciptakan oleh pengarang.

Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi

pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh

karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan

masyarakat. Sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat

tertentu (Iswanto dalam Jabrohim 1994: 78). Karya sastra yang besar menurut

Goldman (dalam Fananie 2000: 165) dianggap sebagai fakta sosial dari subjek

tran-individual karena merupakan alam semesta dan kelompok manusia.

Itulah sebabnya pandangan dunia yang tercermin dalam karya sastra terikat

oleh ruang dan waktu yang menyebabkan ia bersifat historis. Johnson (dalam

Faruk 1999: 45-46) menyimpulkan bahwa novel mempresentasikan suatu

gambaran yang jauh lebih realistik mengenai kehidupan sosial. Dengan

demikian, karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk menuliskan kembali

kehidupan dalam bentuk cerita. Bonald (dalam Wellek dan Warren 1995: 110)

mengemukakan hubungan antara sastra erat kaitannya dengan masyarakat.

Sastra ada hubungan dengan perasaan masyarakat. Sastra mencerminkan dan

mengekspresikan kehidupan secara keseluruhan kehidupan zaman tertentu

secara nyata dan menyeluruh. Grabstein (dalam Damono 1984: 4) menyatakan

52
bahwa karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila

dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan yang menghasilkannya.

Karya sastra harus dipelajari dalam konteks seluas-luasnya dan tidak hanya

menyoroti karya sastra itu sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari

pengaruh timbal balik antara faktor-faktor sosial kultural dan merupakan objek

kultural yang rumit. Latar belakang sejarah, zaman dan sosial masyarakat

berpengaruh terhadap proses penciptaan karya sastra, baik dari segi isi

maupun bentuknya atau strukturnya. Suatu masyarakat tertentu yang

menghidupi pengarang dengan sendirinya akan melahirkan suatu warna karya

sastra tertentu pula (Iswanto dalam Jabrohim 1994: 64).

Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem

kehidupan yang pengarang sendiri ikut di dalamnya. Karya sastra memberi

pengaruh pada masyarakat, bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan

nilai karya sastra yang hidup pada suatu zaman, sementara sastrawan itu

sendiri merupakan anggota masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya

pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkannya dan

sekaligus membentuknya sebagai realitas sosial (Semi 1989: 73). Semi (1989:

53) menyatakan bahwa karya sastra merupakan suatu fenomena sosial yang

terkait dengan penulis, pembaca, dan kehidupan manusia. Karya sastra sebagai

fenomena sosial tidak hanya terletak pada segi penciptanya saja, tetapi juga

pada hakikat karya sastra itu sendiri. Bahkan dapat dikatakan bahwa reaksi

sosial seorang penulis terhadap fenomena sosial yang dihadapinya mendorong

ia menulis karya sastra. Oleh karena itu, mempelajari karya sastra berarti

53
mempelajari kehidupan sosial. Hal itu bermakna bahwa kajian karya sastra

terkait dengan kajian manusia, kajian tentang kehidupan. Untuk lebih jelasnya,

dalam melakukan penelitian dengan menggunakan metode Strukturalisme

Genetik dapat kita ikuti langkah-langkah yang ditawarkan oleh Laurensin dan

Swingewood yang disetujui oleh Goldman (dalam Jabrohim 2001: 64-65).

Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:

a. Peneliti sastra itu dapat kita ikuti sendiri. Mula-mula sastra diteliti

strukturnya untuk membuktikan jaringan bagian-bagiannya sehingga

terjadi keseluruhan yang padu dan holistik.

b. Penghubungan dengan sosial budaya. Unsur-unsur kesatuan karya sastra

dihubungkan dengan sosio budaya dan sejarahnya, kemudian

dihubungkan dengan struktur mental yang berhubungan dengan

pandangan dunia pengarang.

c. Untuk mencapai solusi atau kesimpulan digunakan metode induktif, yaitu

metode pencarian kesimpulan dengan jalan melihat premis-premis yang

sifatnya spesifik untuk selanjutnya mencapai premis general.

Ciri-ciri Penelitian dengan Metode Strukturalisme Genetik

Sapardi Djoko Damono memberikan ciri-ciri strukturalisme genetik

sebagai suatu metode, yaitu:

1. Perhatiannya terhadap keutuhan dan totalitas: kaum strukturalis percaya

bahwa yang menjadi dasar telaah strukturalisme genetik bukanlah bagian-

54
bagian totalitas tetapi jaringan hubungan yang ada antara bagian-bagian itu,

yang menyatukannya menjadi totalitas.

2. Strukturalisme genetik tidak menelaah struktur pada permukaannya, tetapi

struktur yang ada di balik kenyataan. Kaum strukturalis berpandangan bahwa

yang terlihat dan terdengar, misalnya, bukanlah struktur yang sebenarnya,

tetapi hanya bukti adanya struktur.

3. Analisis yang dilakukan oleh kaum strukturalis menyangkut struktur yang

sinkronis (bukan diakronis). Perhatian kaum strukturalis lebih difokuskan

pada hubungan-hubungan yang ada pada suatu saat di suatu waktu, bukan

dalam perjalanan waktu. Struktur sinkronis dibentuk oleh jaringan hubungan

structural yang ada.

Strukturalisme genetik adalah metode pendekatan yang antikausal. Kaum

strukturalis dalam analisisnya sama sekali tidak menggunakan sebab-akibat;

mereka menggunakan hukum perubahan bentuk.

55
BAB V

HUBUNGAN SASTRA, MASYARAKAT, DAN KEBUDAYAAN

Sastra merupakan bagian dari kebudayaan. Bila kita mengkaji kebudayaan

kita tidak dapat melihatnya sebagai sesuatu yang statis, yang tidak berubah, tetapi

merupakan sesuatu yang dinamis, yang senantiasa berubah. Hubungan antara

kebudayaan dan masyarakat itu sangat erat, karena kebudayaan itu sendiri,

menurut pandangan antropolog, adalah cara suatu kumpulan manusia atau

masyarakat mengadakan sistem nilai, yaitu berupa aturan yang menenukan suatu

benda atau perbuatan lebih tinggi nilainya, lebih dikehendaki, dari yang lain.

Kebanyakan ahli antropologi melihat kebudayaan itu sebagai satu keseluruhan,

diaman system social itu sendiri adalah sebagai dari kebudayaan. Kebudayaan

memiliki tiga unsur :

1. Unsur system social

2. Sistem nilai dan ide

3. Peralatan budaya

Bila ciri kebudayaan itu kita letakan pada sastra dan kita kaitkan pula

dengan masyarakat yang menggunakan sastra itu, maka kita dapat mengatakan

bahwa nilai suatu sastra itu pada umumnya terletak pada masyarakat itu sendiri.

Kesustraan itu pada dasarnya bukan saja mempunyai fungsi dalam masyarakat,

tetapi juga mencerminkan dan menyatakan segi-segi yang kadang-kadang kurang

jelas terlihat dalam masyarakat. Sebagaimana juga dengan karya seni yang lain,

sastra mempunyai fungsi social dan fungsi estetika.

56
Ketika berbicara mengenai budaya, kita harus mau membuka pikiran

untuk menerima banyak hal baru. Budaya bersifat kompleks, luas, dan abstrak.

Budaya tidak terbatas pada seni yang sering kali dilihat dalam gedung kesenian

atau tempat bersejarah, seperti museum. Tetapi, budaya merupakan suatu pola

hidup menyeluruh. Budaya memunyai banyak aspek yang turut menentukan

perilaku komunikatif. Beberapa orang bisa mengalami kesulitan ketika

berkomunikasi dengan orang dari budaya lain. Hal ini dikarenakan budaya

memunyai keistimewaannya sendiri. Budaya masyarakat satu berbeda dengan

budaya masyarakat yang lainnya, sehingga seseorang harus bisa menyesuaikan

perbedaan-perbedaannya. Kebudayaan memengaruhi tingkat pengetahuan dan

meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga

dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.

Ada banyak unsur yang membentuk budaya, termasuk bahasa, adat istiadat,

sistem agama dan politik, perkakas, pakaian, dan karya seni. Bahasa merupakan

perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi, baik

melalui tulisan, lisan, ataupun gerakan. Sebagai perwujudan budaya, bahasa dapat

berperan dalam dua hal:

a) Sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, mengadakan integrasi, dan

adaptasi sosial.

b) Sebagai alat untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari,

mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan

mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

57
A. Seni Dalam Budaya

Kebudayaan diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan pokok

hidupnya, terutama kebutuhan fisiknya. Setelah kebutuhan pokok dapat dipenuhi,

manusia menciptakan kesenian yang merupakan salah satu kebutuhan psikisnya

yang tercukupi dari rasa indah (seni rasa indah).

Kesenian bagian kecil dari kebudayaan. Kesenian merupakan kelanjutan

dari kebudayaan. Pada umumnya, kesenian dapat dinikmati oleh manusia melalui

dua macam indranya, yaitu indera mata dan indera telinga, atau keduanya secara

serentak. Keindahan dalam hubungannya dengan kedua macam indera

itu,dibedakan atas tiga macam yaitu : Seni Rupa, Seni suara, dan Seni

pertunjukan.

Karya seni memberikan keindahan kepada manusia dan menyugukan ide-

ide baru yang harus dimengerti dan mungkin direnungkan ataupun ada yang harus

di bahas kehebatan isinya. Kesenian dapat memberikan suguhan bagi kehidupan

kejiwaan orang karena yang menjadi sasaran atau objeknya kehidupan alam luas

dan kehidupan manusia, individual, maupun kelompok, serta nilai-nilai dan

sebagainya.

Fungsi seni atau kesenian artinya hasil pengamatan orang terhadap apa

yang dapat diberikan oleh karya-karya kesenian bagi kehidupan manusia yakni:

1. Memberikan rasa keindahan

2. Memberikan tunjangan dan bantuan untuk memberi warna indah dari karya-

karya yang non-seni

58
B. Pengaruh Budaya Terhadap Sastra

Bahasa tidak hanya memunyai hubungan dengan budaya, tetapi juga

sastra. Bahasa memunyai peranan yang penting dalam sastra karena bahasa punya

andil besar dalam mewujudkan ide/keinginan penulisnya. Banyak hal yang bisa

tertuang dalam sebuah sastra, baik itu puisi, novel, roman, bahkan drama. Setiap

penulis karya sastra hidup dalam zaman yang berbeda, dan perbedaan zaman

inilah yang turut ambil bagian dalam menentukan warna karya sastra mereka.

Oleh karena itu, ada beberapa periode dalam penulisan karya sastra, seperti Balai

Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66, dan sebagainya. Setiap

periode "mengangkat" latar belakang yang berbeda-beda sesuai zaman dan budaya

saat itu.

Sebagai contoh, kesusastraan Indonesia. Kesusastraan Indonesia menjadi

potret sosial budaya masyarakat Indonesia. Tidak jarang, kesusastraan Indonesia

mencerminkan perjalanan sejarah Indonesia, "kegelisahan" kultural, dan

manifestasi pemikiran Bangsa Indonesia. Misalnya, kesusatraan zaman Balai

Pustaka (1920 -- 1933). Karya-karya sastra pada zaman itu menunjukkan problem

kultural ketika Bangsa Indonesia dihadapkan pada budaya Barat. Karya sastra

tersebut memunculkan tokoh-tokoh (fiksi) yang mewakili golongan tua

(tradisional) dan golongan muda (modern). Selain itu, ada budaya "lama", seperti

masalah adat perkawinan dan kedudukan perempuan yang mendominasi novel

Indonesia pada zaman Balai Pustaka. Sekarang ini, novel Indonesia cenderung

menyajikan konflik cinta, sains, kekeluargaan, dll..

59
Bagaimana pendapat Anda mengenai puisi zaman sekarang? Tentu saja

ada perbedaan yang sangat kentara, baik dalam topik yang "diangkat" maupun

bahasa yang digunakan. Sebagai contoh, kumpulan puisi Mbeling karya Remy

Sylado, tahun 2005. Sebagian besar puisi Mbeling yang ia tulis mengangkat

kehidupan politik pada saat itu, seperti korupsi, koruptor, individualisme, dll..

Secara penulisan, beberapa puisi karya Remy Sylado hanya terdiri 1 -- 2 kata saja

dan disusun dengan tipografi yang unik. Misal, puisi berjudul "Individualisme

dalam Kolektivisme". Puisi ini hanya terdiri dari kata "kita" dan "aku". Kedua

kata ini disusun dengan pola membentuk persegi panjang, dengan kata "AKU"

(kapital) pada titik diagonalnya. Jika dibandingkan dengan puisi pada zaman

Muhammad Yamin, tentu mengalami perbedaan. Meskipun mengangkat tema

yang sama, misalnya politik, tetapi konten penyajian puisi sangatlah berbeda.

Puisi Muhammad Yamin lebih mengangkat sisi perumusan konsep kebangsaan,

meskipun saat itu masih dalam lingkup Sumatera. Jelas sangat berbeda dengan

puisi Remy Sylado, yang lebih condong menyajikan sisi kehidupan politik sebuah

bangsa berkembang dengan kondisi pemerintahan yang kurang baik.

Perbedaan karya sastra setiap periode bukanlah semata-mata karena

ide/gagasan dari penulisnya. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kondisi sosial,

politik, dan budaya yang terjadi pada saat itu. Bahkan, jika kita mau merunut

karya sastra dari awal sampai sekarang, dan meneliti lebih dalam mengenai latar

belakang ideologi saat itu, kita bisa mendapati bagaimana proses perjalanan

Bangsa Indonesia. Meskipun karya sastra di Indonesia bisa dibilang hampir pada

posisi "tengah" -- tidak terlalu menonjol dan tidak terpuruk, namun perlu disadari

60
bahwa budaya barat sedikit demi sedikit, dari waktu ke waktu, turut memengaruhi

karya sastra Indonesia.

Pernahkah Anda mendengar karya sastra Indonesia modern? Gaya sastra

asing (barat) dan pengaruh bentuk menjadi patokan untuk menyebut sastra

Indonesia yang modern. Pada kenyataannya, ketika pengarang hidup dalam

budayanya, ia mencoba untuk menerima tradisi estetis (gaya barat) dengan

budayanya. Penerimaan tradisi estetis tersebut dituangkan dalam karyanya,

dijadikan latar/setting pada tulisannya, sekadar memberi warna dalam proses

kreatif yang ia lakukan. Akibatnya, sastra lama hanya akan menjadi sebuah

artefak. Para peneliti sastra pun menjadi asing dengan tradisi yang dimiliki oleh

sejarah panjang sastra di Indonesia, melalui karya-karya sastra yang ada.

Budaya dan sastra memunyai ketergantungan satu sama lain. Sastra sangat

dipengaruhi oleh budaya, sehingga segala hal yang terdapat dalam kebudayaan

akan tercermin di dalam sastra. Masinambouw mengatakan bahwa sastra (bahasa)

dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Jika

kebudayaan adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat,

bahasa (sastra) adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya

suatu interaksi.

C. Peranan Sastra

Karya sastra mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia

pendidikan dan pengajaran. Sebab itu sangat keliru bila dunia pendidikan selalu

menganggap bidang eksakta lebih utama, lebih penting dibandingkan dengan ilmu

61
sosial atau ilmu-ilmu humaniora. Masyarakat memandang bahwa karya sastra

hanyalah khayalan pengarang yang penuh kebohongan sehingga timbul klasifikasi

dan diskriminasi. Padahal karya sastra memiliki pesona tersendiri bila kita mau

membacanya. Karya sastra dapat membukakan mata pembaca untuk mengetahui

realitas sosial, politik dan budaya dalam bingkai moral dan estetika.

Sastra dapat memperhalus jiwa dan memberikan motivasi kepada

masyarakat untuk berpikir dan berbuat demi pengembangan dirinya dan

masyarakat serta mendorong munculnya kepedulian, keterbukaan, dan partisipasi

masyarakat dalam pembangunan. Sastra mendorong orang untuk menerapkan

moral yang baik dan luhur dalam kehidupan dan menyadarkan manusia akan tugas

dan kewajibannya sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial dan memiliki

kepribadian yang luhur.

Selain melestarikan nilai-nilai peradaban bangsa juga mendorong

penciptaan masyarakat modern yang beradab (masyarakat madani) dan

memanusiakan manusia dan dapat memperkenalkan nilai-nilai kemanusiaan yang

universal, melatih kecerdasan emosional, dan mempertajam penalaran seseorang.

Sastra tidak hanya melembutkan hati tapi juga menumbuhkan rasa cinta kasih kita

kepada sesama dan kepada sang pencipta. Dengan sastra manusia dapat

mengungkapkan perasaan terhadap sesuatu jauh lebih indah dan mempesona.

Seni sastra tidak hanya berhubungan dengan tulisan tetapi dengan bahasa

yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran

tertentu. Dalam berbahasa pun mulai memperlihatkan keseragaman berbahasa

yang hampir kejakarta-jakartaan bahasanya. Selain itu sinetron juga memberikan

62
efek bagi psikologis dan psikis penontonnya. Begitu pun budaya sudah

semestinya dalam salah satu unsurnya yang mampu memberikan sumbangan

dalam pengembangan bahasa itu sendiri.

D. Karya Sastra Dalam Realitas Kehidupan Sosial

Pada dasarnya, karya sastra (sastra) merupakan kristalisasi nilai-nilai dari

suatu masyarakat. Meskipun karya sastra yang baik pada umumnya tidak langsung

menggambarkan atau memperjuangkan nilai-nilai tertentu, tetapi aspirasi

masyarakat mau tidak mau tercermin dalam karya sastra tersebut. Oleh karena itu,

karya sastra tidak terlepas dari sosial-budaya dan kehidupan masyakarat yang

digambarkannya.

Karya sastra ditulis atau diciptakan oleh sastrawan bukan untuk dibaca

sendiri, melainkan ada ide, gagasan, pengalaman, dan amanat yang ingin

disampaikan kepada pembaca. Dengan harapan, apa yang disampaikan itu

menjadi masukan, sehingga pembaca dapat mengambil kesimpulan dan

menginterpretasikannya sebagai sesuatu yang dapat berguna bagi perkembangan

hidupnya. Hal ini membuktikan, bahwa karya sastra dapat mengembangkan

kebudayaan. Dengan kalimat lain, karya sastra selalu bermuatan sosial budaya.

Hal itu terjadi, karena sastrawan juga mengalami pengaruh lingkungan dan

zamannya dalam menciptakan karya. Damono mengatakan bahwa karya sastra

adalah benda budaya; ia tidak jatuh dari langit, tetapi diciptakan manusia yang

merupakan individu sekaligus bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakatnya.

63
Bradbury menjelaskan bahwa karya sastra pada dasarnya merupakan

rangsangan bagi kebebasan yang ada dalam diri pembaca, karya sastra menyajikan

kebebasan yang ingin diungkapkan oleh pembaca. Itulah sebabnya pada saat-saat

tertentu masyarakat harus memberikan toleransi yang semakin besar terhadap

karya sastra. Karya sastra itu mendidik, memperluas pengetahuan tentang

kehidupan, meningkatkan kepekaan perasaan, dan membangkitkan kesadaran

pembaca.

Menurut Lukács , sastra ditulis berdasarkan pandangan (gagasan) tertentu,

itu sebabnya, ia mengeritik sastra modernis karena sastra ini berpura-pura tanpa

pamrih, berpura-pura objektif terhadap masalah yang ada di dunia. Tanpa

pandangan tertentu, maka tidak mungkin dibedakan antara realitas yang dibuat-

buat dengan realitas yang sungguh-sungguh penting. Hilangnya pandangan

tertentu itu yang oleh Lukács disebut humanisme sosialis. Menyebabkan sastra

modernis dibebani dengan wawasan yang subjektif dan cenderung menerima

pengalaman subjektif sebagai kenyataan. Sastra seperti itu akan menggambarkan

manusia sebagai makhluk yang dikucilkan dari dirinya sendiri dan masyarakatnya.

Jelaslah, bahwa sastra semacam itu kehilangan hubungan dengan kehidupan

sosial.

Dari beberapa batasan sastra di atas terlihat bahwa sastra itu memiliki

kepentingan terhadap kehidupan atau masyarakat. Walaupun sebenarnya sangat

sulit bagi sastrawan untuk menggambarkan realitas yang sungguh-sungguh,

karena di dalam penciptaan sastra ada imajinasi, ada pengalaman yang sangat

subjektif sifatnya, dan ada kesan yang ingin diwujudkan oleh sang sastrawan.

64
Untuk itu, barangkali yang dikehendaki ialah agar karya sastra mengandung pesan

tentang kehidupan dan masyarakat tertentu.

Melihat perkembangan sastra Indonesia, banyak karya-karya yang

dihasilkan oleh pengarang pada zamannya dengan mengangkat tema dari realitas

kehidupan sosial di jamannya masing-masing. Karya sastra merupakan

pengalaman langsung pengarang yang dituangkan kedalam karya sastranya.

Pengalaman berdasarkan realitas kehidupam pengarang, mencoba membagi

kepada masyarakat umum tentang realita yang terjadi.

Sastra di dalam kehidupan masyarakat tidak dapat dipisahkan lagi.

Kehidupan masyarakat dengan berbagai polemik yang terjadi saat ini tidak

menutup kemungkinan untuk dituangkan kedalam karya-karya sastra sehingga

menjadi cerminan masyarakat itu sendiri.

Penciptaan karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan proses imajinasi

pengarang dalam melakukan proses kreatifnya. Bahwa karya sastra lahir di

tengah-tengah masyar akat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya

terhadap gejala-gejala sosial yang ada di sekitarnya. Akan tetapi karya sastra tidak

hadir dalam kekosongan budaya. Herder menjelaskan bahwa karya sastra

dipengaruhi oleh lingkungannya maka karya sastra merupakan ekspresi zamannya

sendiri sehingga ada hubungan sebab akibat antara karya sastra dengan situasi

sosial tempat dilahirkannya.

Karya sastra bisa merubah tatanan nilai-nilai social dan Budaya dalam

masyarakat yang dianggap tidak memberi kebebasan untuk manusia. Contohnya

karya novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menjadi karya yang cukup penting.

65
Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi kolot yang

membelenggu. Sampai kepada karya-karya N. Riantiarno.

Karya sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat

sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam membangun

karya sastra. Endraswara mengatakan reaksi atau tanggapan dapat memberikan

tindakan dan sikap pada karya sastra dengan perasaan senang, bangga, dan

sebagainya. Reaksi yang bersifat negatif tidak akan mendapatkan tanggapan sikap

yang membangun bagi perkembangan karya sastra.

Karya sastra memiliki objek yang berdiri sendiri, terikat oleh dunia dalam

kata yang diciptakan pengarang berdasarkan realitas sosial dan pengalaman

pengarang. karya sastra secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh

pengalaman dari lingkungan pengarang. Sastrawan sebagai anggota masyarakat

tidak akan lepas dari tatanan masyarakat dan kebudayaan. Semua itu berpengaruh

dalam proses penciptaan karya sastra.

Sebuah karya sastra lahir dari latar belakang dan dorongan dasar manusia

untuk mengungkapkan eksistensi dirinya. Sebuah karya sastra dipersepsikan

sebagai ungkapan realitas kehidupan Masyarakat yang ingin maju akan menerima

karya sastra sebagai bentuk kritikan yang membangun terhadap nilai-nilai sosial

yang mengekang dan sebagai batu loncatan menuju tatanan nilai kehidupan yang

lebih baik.

66
E. Sastra dan Perubahan Sosial

Kehadiran sastra (dalam hal ini: susastra, yaitu sastra yang baik)

merupakan salah satu sisi yang menarik untuk lebih mendalami sesuatu karena

susastra merupakan salah satu wujud dari pengalaman hidup seseorang. Susastra

menampilkan peristiwa kehidupan manusia, harapan-harapannya,

keputusasaannya, pamrihnya, siasatnya, serta absurditas-absurditasnya sebagai

suatu dimensi peristiwa kehidupan yang lebih menyeluruh tentang manusia yang

meliputi dimensi ontologis dan dimensi metafisis (Cf. Sutardja, 1982).

Pengarang termasuk dalam golongan marginal man, yaitu manusia yang

berada dalam batas dua kebudayan atau lebih yang berbeda dan saling

bersentuhan. Masalah integrasi budaya yang mengandung banyak konflik justru

merupakan sumber kreativitas yang tidak pernah kering. Seorang pengarang yang

baik akan senantiasa merespon dan berdialog dengan masyarakat lingkungannya.

Berikut ini disajikan contoh susastra yang relatif singkat, yaitu puisi dan cerpen.

Dalam puisi, W.S. Rendra mengemukakan keberpihakannya pada rakyat jelata

dan “kemarahannya” pada pihak penguasa atau pemerintah. Selain itu, puisi

Taufiq Ismail menyuguhkan masalah rantai kehidupan, sedangkan Sapardi Djoko

Damono menyuguhkan masalah integrasi budaya. Selanjutnya, dalam cerpen,

Suhariyanto Soetijoso mencoba mengurai esensi seorang ‘pembunuh’ . Berikut ini

pembicaraan masing-masing.

a. Puisi W.S. Rendra

Pernyataan dari Rakyat: Menghadapi Kekuasaan yang Tidak Adil

Karena kami makan akar, dan terigu menumpuk di gudangmu

67
Karena kami hidup berhimpitan, dan ruanganmu berlebihan.

Maka, kita bukan sekutu.

Karena kami kucel, dan kamu gemerlapan.

Karena kami sumpek, dan kamu mengunci pintu

Maka kami mencuri kamu.

Karena kami terlantar di jalan, dan kamu memiliki semua keteduhan.

Karena kami kebanjiran, dan kamu berpesta di kapal pesiar.

Maka kami tidak menyukaimu.

Karena kami dibungkam, dan kamu nerocos bicara.

Karena kami diancam, dan kamu memaksakan kekuasaan.

Maka kami bilang, tidak…! Kepadamu.

Karena kami tidak boleh memilih, dan kamu boleh berencana.

Karena kami cuma bersandal, dan kamu bebas memakai senapan.

Karena kami harus sopan dan kamu punya penjara. Maka, tidak….! dan

tidak…! Kepadamu.

Karena kami arus kali, dan kamu batu tanpa hati, Maka air akan mengikis

batu.

Dalam puisi ini, Rendra semakin meneguhkan kedudukannya sebagai

penyair yang peduli dengan rakyat kecil. Puisi-puisinya mencerminkan

keberpihakannya pada rakyat jelata. Puisinya juga selalu sarat dengan kritik sosial

yang biasanya ditujukan pada pemerintah. Perubahan soial yang terjadi di

Indonesia akhir-akhir ini juga direkam dan dikemukakan lagi dengan jeli dalam

bentuk puisi. Dalam puisi “Pernyataan dari Rakyat” ini, Rendra mengungkapkan

68
dengan gamblang adanya “people power” (arus kali) yang berhasil mengikis pihak

penguasa atau pemerintah (batu kali tanpa hati). Di sini terdapat unsur mengejek

dan ironi antara dua kekuatan, yaitu rakyat dan penguasa. Rakyat jelata

digambarkan sebagai orang yang papa dan sarat dengan derita kekurangan. Hal ini

digambarkan dengan: makan akar, hidup berihimpitan, kucel, sumpek, terlantar di

jalan, kebanjiran, dibungkam, diancam, tidak boleh memilih, cuma bersandal, dan

harus sopan. Sedangkan di sisi lain kehidupan penguasa yang otoriter

digambarkan penuh dengan gelimang kemewahan dan kekuasan yang

dikemukakan dengan kata-kata: terigu menumpuk di gudang, ruangan berlebihan,

gemerlapan, mengunci pintu, memiliki semua keteduhan, berpesta di kapal pesiar,

nerocos bicara, memaksakan kekuasaan, bebas berencana, bebas memakai

senapan, punya penjara. Perbedaan yang sangat tajam antara dua kelompok ini

membuahkan sikap keras pula pada rakyat jelata. Hal itu digambarkan dengan:

kita bukan sekutu, kami mencuri harta kamu, kami tidak menyukaimu, kami

bilang tidak…! Kepadamu, tidak…! dan tidak…! Kepadamu. Puisi ini merupakan

potret kenyataan perubahan sosial masyarakat Indonesia pada tahun ini (memang

ada semacam potret sosial yang dapat ditarik dari karya sastra) . Puncak peristiwa

ini terjadi pada bulan Mei saat presiden ke-2 RI lengser dari jabatannya. Lengser-

nya presiden ini dapat disamakan dengan lengser-nya pemerintah karena presiden

merupakan simbol penguasa pemerintahan. Saat inilah yang digambarkan dengan

…air akan mengikis batu.

b. Puisi Taufiq Ismail

Dalam salah satu puisi terbarunya, Taufiq Ismail menulis:

69
Mahasiswa takut pada dosen

Dosen takut pada rektor

Rektor takut pada menteri

Menteri takut pada presiden

Dan presiden takut pada mahasiswa

Dalam puisi ini, ada “students power” yang tercermin. Seperti halnya puisi

Rendra, di sini juga terdapat unsur mengejek dan ironi antara dua kekuatan

(mahasiswa-dosen, dosen-rektor, rektor-menteri, menteri-presiden, presiden-

mahasiswa). Puisi ini juga merupakan potret kenyataan perubahan sosial

masyarakat Indonesia pada tahun ini yang terjadi pada saat presiden ke-2 RI

lengser dari jabatannya. Lengser-nya presiden ke-2 ini secara tidak langsung

berkaitan dengan anggapan mengenai “ketidakmampuannya” menangani

perkembangan terakhir yang makin memanas di Indonesia. Dasar dari anggapan

ini dimotori dan dikumandangkan oleh para mahasiswa. Pada saat itu, mahasiswa

telah menduduki gedung MPR dengan tuntutan supaya presiden mundur. Hal itu

digambarkan oleh Taufiq sebagai ke‘takut’an seorang presiden pada mahasiswa.

Taufiq menangkap hal ini dengan jeli sekali dan menuangkannya dalam bentuk

rantai yang tidak terputus. Segala sesuatu akan kembali secara alamiah.

Selanjutnya, rantai juga merupakan salah satu simbol dalam Pancasila, yaitu

simbol dari ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’. Jadi, mata rantai yang

tersimpan dalam puisi di atas menunjukkan bahwa kejadian atau hal itu

merupakan hal yang adil karena pada akhirnya rantai itu tersambung dan kembali

ke bawah. Puisi itu juga mengingatkan manusia pada kehidupan yang diibaratkan

70
seperti roda yang berputar. Ada saatnya manusia itu berada di atas dan ada

saatnya berada di bawah. Ada saatnya mahasiswa takut pada dosennya dan ada

saatnya kekuasaan tinggi dalam hal ini presiden ‘takut’ pada para mahasiswa.

Dengan kata lain, dalam puisi ini Taufiq Ismail memberi tawaran relativitas nilai

yang merupakan buah dari wawasan relational objectivity (segala sesuatu itu

saling berkaitan dan selalu berproses). Perubahan sosial yang tampak dalam puisi

ini adalah pada baris akhir, yaitu: … presiden takut pada mahasiswa. Hal

semacam ini belum pernah terjadi sebelumnya (di Indonesia). Students power ini

merupakan hal baru yang membawa angin segar dalam kancah perubahan sosial di

masyarakat. Nilai-nilai lama banyak yang gugur dan nilai-nilai baru mulai

bermunculan.

c. Puisi Sapardi Djoko Damono

Mata Pisau mata pisau itu tak berkejap menatapmu;

kau yang baru saja mengasahnya berfikir,

ia tajam untuk mengiris apel yang tersedia di atas meja sehabis makan malam;

ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.

Salah satu jalan yang dapat digunakan untuk mengungkap puisi di atas

adalah dengan pendekatan struktur dalam rangka semiotik (cf. Wellek dan

Warren, 1989; Teeuw, 1983; Pradopo, 1987). Mata pisau menungkapkan adanya

kegiatan yang masih hangat dalam mendayagunakan dan mengefektifkan sarana

untuk mencapai suatu target tertentu (kau yang baru saja mengasahnya/berfikir, ia

tajam untuk mengiris apel). Wujud target tersebut ialah kenikmatan. Apel

merupakan lambang pikatan kenikmatan. Sedangkan kebiasaan makan malam

71
yang diakhiri dengan buah apel sebagai pencuci mulut pada awalnya ada dalam

budaya barat. Ditampilkannya budaya barat dimaksudkan untuk mendukung nilai

rasa bahwa yang berasal dari barat (asing) adalah super (…ia tajam untuk

mengiris apel/yang tersedia di atas meja/sehabis makan malam). Penajaman

perbuatan mendapatkan kenikmatan dari produk asing merupakan suatu langkah

yang tidak terlepas dari konsep keseimbangan menguntungkan-merugikan.

Keuntungannya terletak pada nilai kontan kenikmatan yang diberikan, sedangkan

kerugiannya terletak pada terancamnya eksistensi. Kerugian itu kemudian

diungkapkan sebagai suatu kondisi yang telah mencapai titik mengerikan: mata

pisau itu tak berkejap menatapmu;/…/ia berkilat ketika terbayang olehnya urat

lehermu. Kenikmatan nilai kontan yang diberikan hasil produk asing selama ini

telah meninabobokkan bangsa Indonesia dan membuat kondisi ketergantungan

yang semakin besar pada jalan pintas. Kebijakan menempuh jalan pintas

berkembang seperti deret ukur, sedangkan kemandirian bangsa berkembang

seperti deret hitung yang makin kabur. Akibatnya, kondisi ini dianggap Sapardi

sudah sampai pada titik yang mengerikan (ia berkilat ketika terbayang olehnya

urat lehermu). Di sini Sapardi seolah-olah sudah mempunyai prediksi bahwa hal

semacam ini dapat mencapai titik serius. Jadi, gejala krisis moneter yang sekarang

ini menimpa Indonesia telah diprediksikan lama sebelumnya oleh Sapardi lewat

puisi ‘Mata Pisau” (tahun 1982). Dalam hal ini, puisi Sapardi berkaitan secara

tidak langsung dengan situasi ekonomi, politik, dan sosial yang kongkret. Hal itu

terbukti sekarang dengan adanya krisis moneter yang betul-betul terjadi dan

berkepanjangan akhir-akhir ini karena ketergantungan pada produk asing yang

72
sangat besar. Bahkan untuk urusan makanan pokok pun ternyata Indonesia belum

mampu mandiri, misalnya: beras, kedelai, dan gandum yang masih perlu impor.

Bahkan untuk membuat plastik, sabun, dll. ternyata Indonesia juga belum mandiri.

Krisis moneter saat ini dan ketergantungan yang sangat besar pada produk asing

dapat mengancam eksistensi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.

Lihat saja bagaimana sekarang IMF mulai “mendikte” kebijakan perekonomian

Indonesia. Jadi, pada dasarnya puisi “Mata Pisau” merupakan tanggapan Sapardi

terhadap kebijakan penempuhan jalan pintas yang dijalankan dengan sembrono.

Penempuhan jalan pintas ini memang sangat tepat dan menguntungkan karena

dapat secara langsung dirasakan nilai kontan kenikmatannya. Tetapi hendaknya

selalu diingat bagaimanapun baiknya suatu sarana ia tidak akan luput dari mitos

keseimbangan yaitu menguntungkan –merugikan. Oleh karena itu, di samping

menempuh jalan pintas, juga harus senantiasa dipupuk kemandirian, jangan

sampai jalan panjang itu digilas oleh jalan pintas. Ngono yo ngono ning ojo

ngono. Itulah tema pokok yang terkandung dalam “Mata Pisau”. Keseimbangan

antara keduaanya merupakan satu-satunya jalan menyelamatkan kehancuran

eksistensi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar. Berangkat dari mitos

keseimbangan, Sapardi mengingatkan bahwa segala sesuatu itu dikuasai oleh

konsep keseimbangan. Kekaburan eksistensi bangsa Indonesia seperti yang

diungkapkan dalam “Mata Pisau” itu adalah bukti akibat salah langkah yang tidak

memperhatikan konsep keseimbangan. Melalui bentuk parodi dalam senjata dapat

makan tuan, ia menjelmakan secara tepat mitos keseimbangan sebagai acuan

tematis. Gambaran tersebut memberi amanat hendaknya manusia selalu eling lan

73
waspodo dalam memaknai segala sesuatu, memanfaatkan yang baik dan

menguntungkan serta bersikap waspada terhadap keburukan dan kerugiannya (cf.

Kisyani-Laksono, 1990).

d. Cerpen Suhariyanto Soetiyoso

Dalam cerpen Suhariyanto Soetijoso, manusia dihadapkan pada relativitas

nilai kebenaran terhadap free will bunuh diri seorang lelaki (suami) dan free will

tokoh Tinah (istri) yang mengakhiri penderitaan orang yang paling dikasihinya

dengan membunuh”… Tinah sudah saatnya aku harus pergi. Aku tak tahan

melihatmu lelah menjagaku terus-terusan, bisiknya lemah. Aku tak ingin

merepotkanmu lebih lama, karena itu aku menusukkan pisau itu ke dadaku. Aku

mau cepat mati, tapi tenagaku begitu lemahnya hingga pisau itu tak sampai

menembus jantungku. Akhiri penderitaanku, benamkan pisau itu supaya rasa

sakitku hilang, pintanya. Tolonglah Tinah, ini permintaanku yang terakhir,

kembali ia menyeringai kesakitan. Aku tak tahan melihatnya. Tanpa pikir panjang

aku memegang gagang pisau itu dan kutekankan ke dadanya kuat-kuat. Dia mati,

tapi di bibirnya tersungging senyuman.”

Bunuh diri dan membunuh jelas mempunyai nilai tidak benar, sedangkan

menolong orang yang paling dikasihi dari penderitaan tidak dapat dikatakan tidak

benar. Lalu apakah free will mereka itu benar atau tidak, jawabannya ditentukan

oleh relasinya dengan apa. Tentu saja bagi Tinah pribadi free willnya merupakan

kebenaran, dengan pembelaan: “Aku yakin apa yang kulakukan adalah benar. Aku

bahagia bisa memenuhi permintaan terakhir orang yang kukasihi meski untuk itu

semua orang menudingku pembunuh”. Tetapi, apakah memang demikian? Penjara

74
bagi Tinah mempunyai nilai yang lain dengan orang kebanyakan. Dalam penjara

Tinah justru merasa aman karena dia tidak perlu ketakutan terhadap lelaki ganas

yang selalu mengelilinginya. Dalam tahanan Tinah juga merasa mendapatkan

jatah makanan yang cukup dan latihan-latihan kewanitaan yang menurutnya

menyenangkan karena belum pernah dia dapatkan sebelumnya. Jadi, semua yang

ada dan dilakukan di penjara dianggap Tinah menyenangkan.

Simak saja penggalan berikut. “Penjara ini tak menyiksaku. Bahkan

sebaliknya. Di sini aku tak perlu ketakutan terhadap lelaki-lelaki ganas yang dulu

selalu mengelilingiku. Di sini aku mendapat makanan yang cukup, juga mendapat

latihan-latihan kewanitaan yang sebelumnya tak pernah aku dapat.” Apakah itu

tak menyenangkan? Demikian juga masalah kebebasan yang bagi Tinah justru

akan membuatnya sedih. Dia takut jika keluar dari tahanan maka dia akan

menghadapi para lelaki buas lagi di pinggir rel tanpa seorang pelindung (karena

suaminya telah mati). “Jangan kamu bertanya berapa tahun lagi aku akan keluar

dari penjara, itu akan membuatku sedih. Aku takut menghadapi saat itu, takut

untuk kembali ke pinggir rel itu. Di sana banyak lelaki buas, aku tentu tak kuat

menghadapi mereka sendiri.” Dalam hal ini, Suhariyanto memberi tawaran

relativitas nilai yang merupakan buah dari wawasan relational objectivity (segala

sesuatu itu saling berkaitan dan selalu berproses). Selama masih ada dalam proses

tidak ada nilai absolut, segala sesuatu masih relatif nilainya sebelum ia berhenti

berproses dan menunjukkan bentuk dari hasil prosesnya. Berdasarkan keempat

contoh inilah terlihat bahwa pengarang yang baik memiliki kepekaan intiutif dan

daya batin yang tinggi dalam memberikan tafsiran kehidupan lingkungannya. Dia

75
tidak hanya mengikuti jalannya kebudayaan melainkan juga melihat dimensi-

dimensi absurditasnya serta dampak-dampak negatif yang dapat timbul.

Kreativitas mereka dapat merupakan suatu tawaran, dapat pula merupakan

sumbangan pemikiran yang besar artinya bagi strategi kebudayaan. Hal semacam

ini dapat menjadi suatu indikasi bahwa karya sastra yang baik mempunyai peran

yang sangat berarti dalam kehidupan manusia dan kadang-kadang dapat pula

mengekspresikan perubahan budaya.

F. Sastra Sebagai Sumber Nilai Bagi Masyarakat

Terdapat berbagai macam aliran dalam karya sastra, salah satunya adalah

aliran realisme. Aliran tersebut memfokuskan karya sastra terhadap apa yang ada

di dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, aliran ini sangat erat hubungannya

dengan perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat kita.

Karya sastra yang menggunakan aliran ini memiliki pengaruh yang sangat besar

terhadap perubahan sosial bangsa Indonesia, terutama dalam hal pola pikir.

Contohnya saja Novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli yang mampu membuka

pola pikir masyarakat kita yang sejak zaman dahulu mengenal budaya kawin

paksa. Novel tersebut memberikan kesan kepada pembaca bahwa kawin paksa

merupakan suatu hal yang negatif. Banyak hal-hal negatif yang muncul akibat

proses kawin paksa. Dengan adanya novel tersebut pola pikir masyarakat

cenderung berubah. Terutama dalam segi kehidupan berkeluarga. Hal tersebut

bisa terjadi tergantung bagaimana kekuatan mempengaruhi yang ada di dalam

karya sastra itu sendiri.

76
Selain novel di atas, Novel Belenggu juga merupakan salah satu novel

yang di dalamnya terdapat nilai-nilai yang dapat mempengaruhi pola pikir

masyarakat. Melalui novel tersebut, pengarang berusaha menyampaikan pesannya

kepada pembaca bahwa di dalam menjalani hubungan kekeluargaan waktu dan

perhatian bagi antar anggota keluarga sangat penting. Jika hal demikian tidak bisa

terpenuhi, maka perpisahan adalah konsekuensinya. Dengan adanya novel

tersebut, pola pikir masyarakat tentu akan terbangun. Masyarakat akan lebih

mempertimbangkan nilai-nilai yang ada pada karya tersebut karena karya tersebut

mengemukakan alasan dan konsekuensi yang kongkrit dalam kehidupan sehari-

hari.

Boulton (lewat Aminuddin, 2000:37) mengungkapkan bahwa karya sastra

menyajikan nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu

memberikan kepuasan batin pembacanya. Di samping itu, sastra juga mengandung

pandangan yang berhubungan dengan renungan dan kontemplasi batin, dari

masalah agama, filsafat. Politik maupun macam-macam masalah kehidupan

lainnya. Kandungan makna yang kompleks dan keindahan dalam karya asastra

tergambar lewat media kebahasan atau aspek verbal. Berdasarkan uraian tersebut,

dapat dikemukakan bahwa karya sastra mengandung berbagai unsur yang

kompleks, yaitu:

1. Unsur keindahan

2. Unsur kontemplatif

3. Media pemaparan

4. Unsur-unsur intrinsik yang menandai eksistensi karya sastra

77
BAB VI

JENIS DAN GENRE SASTRA

A. Jenis-jenis Sastra

Karya sastra Indonesia dapat dibagi menjadi dua menurut zaman

pembuatan karya sastra tersebut. Yang pertama adalah karya sastra lama

Indonesia dan karya sastra baru Indonesia. Masing-masing karya memiliki ciri

khas tersendiri.

Karya sastra lama adalah karya sastra yang lahir dalam masyarakat

lama, yaitu suatu masyarakat yang masih memegang adat istiadat yang berlaku

di daerahnya. Karya sastra lama biasanya bersifat moral, pendidikan, nasihat,

adat istiadat, serta ajaran-ajaran agama. Sastra lama Indonesia memiliki ciri-

ciri:

1. terikat oleh kebiasaan dan adat masyarakat;

2. bersifat istana sentries;

3. bentuknya baku;

4. biasanya nama pengarangnya tidak disertakan (anonim).

Bentuk sastra lama Indonesia adalah pantun, gurindam, syair, hikayat,

dongeng, dan tambo.

Karya sastra baru Indonesia sangat berbeda dengan sastra lama. Karya

sastra ini sudah tidak dipengaruhi adat kebiasaan masyarakat sekitarnya.

Malahan karya sastra baru Indonesia cenderung dipengaruhi oleh sastra dari

78
Barat atau Eropa. Bentuk sastra baru Indonesia antara lain adalah roman,

novel, cerpen, dan puisi modern.

Ciri-ciri sastra baru Indonesia adalah:

 ceritanya berkisar kehidupan masyarakat pada umumnya;

 bersifat dinamis (mengikuti perkembangan zaman);

 mencerminkan kepribadian pengarangnya;

 selalu diberi nama sang pembuat karya sastra.

B. Genre Sastra

Dalam ilmu sastra, para pakar pada masa sekarang ini mengungkap

bahwa yang termasuk genre (jenis) sastra yaitu :

 Prosa Fiksi dan non Fiksi

 Puisi

 Drama

Genre, merupakan istilah serapan untuk ragam yang terbagi dalam

bentuk seni atau tutur tertentu menurut kriteria yang sesuai untuk bentuk

tersebut. Dalam semua jenis seni, genre adalah suatu kategorisasi tanpa batas-

batas yang jelas. Genre terbentuk melalui konvensi, dan banyak karya

melintasi beberapa genre dengan meminjam dan menggabungkan konvensi-

konvensi tersebut. Lingkup kata “genre” biasanya dibatasi pada istilah dalam

bidang seni dan budaya. Genre dalam tulisan dibedakan dalam kategori Non

Fiksi dan Fiksi. Berikut ini adalah pembagian kategori genre :

a. Non Fiksi

79
Non-fiksi adalah sebuah genre yang berisi tentang tulisan-tulisan

yang tidak terlalu membutuhkan imajinasi. Pada genre ini, isi tulisan

biasanya memuat narasi kepenulisan ilmiah, artikel, tips dan trik, catatan

peristiwa bersejarah, biografi dan autobiografi.

b. Fiksi

Fiksi adalah sebuah genre yang biasanya berupa cerita yang

membutuhkan imajinasi dalam pengolahannya.

Berikut adalah jenis-jenis genre fiksi :

c. Sci-fi adalah science (sains, iptek) dan fiction (fiksi). dalam sci-fi, dunia

yang terbangun adalah dunia yang memiliki konsep teknologi dan sains

ilmiah yang belum tentu ada di dunia nyata. genre Sci-fi dilihat dari

teknologinya : cyberpunk, steampunk, atau cerita lintas galaksi.

contoh sci-fi : Serenity, Matrix, Back to the future

d. Horor adalah jenis genre yang cerita dan plotnya dibangun sedemikian

rupa sehingga mampu memberikan rasa ngeri pada pembaca/penonton.

Horor bisa berisi tentang makhluk-makhluk halus yang suka meneror, tapi

bisa juga berisi tentang pembunuh berantai yang memberikan kesan ngeri.

Namun perlu diingat bahwa cerita yang memiliki setan di dalamnya,

belum tentu termasuk dalam genre horor.

Sebuah cerita hanya bisa dikatakan Horor apabila mampu memberikan

kesan “ngeri” dan “teror” bagi pembaca. contoh : the ring, saw, final

destination, drag me to hell

80
e. Fantasi adalah genre yang memiliki unsur magis dan supernatural,

berkecimpung dalam dunia yang kelihatannya serba surealis namun

sebenarnya sangat logis. Fantasi adalah sebuah bentuk manifestasi

kreativitas tingkat tinggi yang menuntut imajinasi bebas sebebasnya,

namun juga tetap logis dan rasional.

contoh : lord of the ring, harry potter, enchanted, cerita-cerita mitologi,

Berserk (ada unsur horor = dark fantasi)

f. Romance adalah genre yang sebenarnya mengangkat kehidupan sehari-

hari. di dalam romance ada unsur keseharian yang belakangan ini disebut

slice of life. Romance konon memiliki ciri khas dimana diksi-diksi yang

tertulis di dalamnya terbaca begitu puitis dan romantis sehingga mampu

menciptakan suasana heart-warming yang mengakibatkan pembacanya

dapat menikmati keindahannya. adapun bagian hidup yang selalu

dirasakan setiap orang adalah jatuh cinta, melihat cinta dan cinta.

contoh : Ayat-ayat cinta, Biarkan kereta itu berlalu, Karmila,

Tenggelamnya Kapal Van der Vick

g. Fanfiction adalah sebuah cerita yang dibuat sebagai tribute untuk sesuatu

yang memiliki copy right, alias sesuatu yang sudah ada. Mengurai dari

makna katanya, fan = fans, fiction = fiksi. Fanfiction bisa berarti

“imajinasi fans”. Jadi apabila kau membuat cerita berdasarkan boyband

atau film animasi favoritmu, dan masih menggunakan dunia, konsep,

karakter dan beberapa aspek cerita aslinya, itu disebut fanfiction.

81
h. Humor adalah genre yang menekankan pada unsur komedi dan parodi.

Humor lebih menekankan pada unsur jenaka dan bertujuan utama untuk

membuat pembaca menjadi tertawa dan terhibur. Beberapa penulis

menggunakan trik seperti menggunakan bahasa gaul atau bahasa slang dan

susunan kalimat seperti ucapan sehari-hari yang terkesan ngawur dan

ringan. Namun sesungguhnya humor juga bisa menjadi jenaka dengan

tetap menggunakan kata-kata sastra.

contoh : Kambing Jantan (tapi ragu juga ini fiksi atau non fiksi), Sketsa

i. Misteri belum tentu horor. misteri adalah cerita yang bertugas untuk

membuat pembaca merasa penasaran sepanjang cerita karena banyak hal

yang ditutupi dan terbongkar satu persatu. Cerita misteri menekankan pada

unsur twist dan membutuhkan trick yang kuat untuk mempertahankan

kemisteriannya. Chekov gun, red herring seringkali adalah teknik yang

dipakai para penulis misteri dalam menuliskan cerita genre ini. contoh :

sherlock holmes, detective conan

j. Historical fiction adalah sebuah genre cerita yang memiliki setting di

dunia sesungguhnya, namun di masa yang berbeda. biasanya di masa

lampau. menulis genre ini tidak boleh sembarangan kecuali penulis

memiliki teori lain mengenai fakta yang telah terjadi. Bila ingin sukses

menuliskan cerita pada genre ini, seorang penulis harus memiliki riset

yang sangat kuat. contoh : The Death to Come

k. Adventure adalah sebuah genre bertema petualangan. Sebuah petualangan

tidak harus mengembara ke tempat yang jauh, tapi bisa memiliki sebuah

82
peristiwa yang mampu mengubah sesuatu, baik itu diri sendiri atau orang

lain. Petualangan adalah kejadian/peristiwa penting yang terjadi dalam

hidup seseorang. contoh : lima sekawan, Icylandar (fantasi juga)Sebuah

cerita sangat mungkin memiliki multi-genre, terutama fantasi dan

romance.

C. Nilai Moral dan Ajaran-Ajaran Dalam Sastra

Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat disebut juga dengan Sastra Cetho.

Suatu hal yang mengandung kebenaran, keluhuran, dan keagungan akan

kesempurnaan penilaian terhadap hal-hal yang belum nyata bagi manusia

biasa. Karena itu, ilmu Sastra Jendra ini disebut pula sebagai ilmu atau

pengetahuan tentang rahasia seluruh alam semesta beserta perkembangannya.

Jadi, tugas dari Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu ini ialah

sebagai jalan atau cara untuk bisa mencapai kesempurnaan hidup yang sejati.

Wahai saudaraku. Dahulu, untuk mencapai tingkat hidup yang

demikian itu, manusia harus menempuh berbagai persyaratan atau perilaku

khusus. Dalam hal ini berarti suksma, jiwa dan rahsa-nya juga harus

bisa manunggal(menyatu). Adapun di antara caranya adalah sebagai berikut:

1. Ngrowot : Hanya makan sayuran tanpa garam atau gula dan cukup minum

air putih.

2. Mutih : Hanya makan nasi tanpa lauk pauk yang berupa apapun juga,

termasuk garam dan gula. Boleh minum air, itu pun harus terus dikurangi

volumenya.

83
3. Sirik : Menjauhkan diri dari segala macam urusan keduniawian.

4. Ngebleng : Tidak makan atau minum apa-apa sama sekali (berpuasa) dan

tidak tidur selama kurun waktu tertentu. Disini seseorang juga

melakukan semedhi (meditasi).

5. Patigeni : Tidak makan atau minum apa-apa sama sekali (berpuasa), di

tambah dengan tidak tidur dan tidak terkena cahaya (api, matahari) dalam

kurun waktu tertentu. Lalu selama melakukan patigeni ini seseorang juga

terus ber-semedhi (meditasi).

6. Tapa brata : Setelah ke lima laku tirakat di atas dijalani dengan tekun,

selanjutnya seseorang baru akan siap melakukan tapa brata secara terus

menerus tanpa makan, minum, dan bergerak di suatu tempat khusus –

biasanya di alam bebas seperti goa, puncak gunung, hutan, dan air terjun.

Pada saat semedhi itulah, jika ia berhasil seseorang akan

mendapatkan ilhamatau wisik goib.

Selain itu, ada beberapa hal yang juga harus dilakukan apabila

seseorang ingin mencapai tataran hidup yang sempurna. Semuanya harus

dilakukan dengan kerendahan hati dan penuh kesadaran, alias tanpa ada

paksaan atau karena ajakan seseorang. Adapun di antara yaitu:

1) Tapaning jasad: Sikap ini berarti mengendalikan/menghentikan daya

gerak tubuh atau kegiatannya. Disini seseorang seharusnya jangan merasa

iri, dengki, sakit hati atau menaruh dendam kepada siapapun. Segala

sesuatu itu, baik ataupun buruk, harus bisa diterima dengan kesungguhan

hati dan sikap yang ikhlas.

84
2) Tapaning hawa nafsu: Sikap ini berarti mengendalikan hawa nafsu atau

sifat angkara murka yang ada di dalam diri pribadi. Pada tahap ini

seseorang itu hendaknya selalu bersikap sabar, ikhlas, murah hati,

berperasaan mendalam (tenggang rasa, welas asih), suka memberi maaf

kepada siapa pun, juga taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, ia

juga sudah bisa memperhatikan perasaan secara sungguh-sungguh, dan

berusaha sekuat tenaga kearah ketenangan (heneng), yang berarti tidak

dapat diombang-ambingkan oleh siapa atau apapun juga, serta berada

dalam kewaspadaan (hening).

3) Tapaning budi: Sikap ini berarti selalu mengingkari perbuatan yang hina,

tercela dan segala hal yang bersifat tidak jujur (munafik). Pada tahap ini,

seseorang itu harusnya sudah berbudi pekerti yang luhur, memiliki sopan

santun, sikap rendah hati dan tidak sombong, tidak pamer dan pamrih,

serta selalu berusaha untuk bisa berbuat baik kepada siapapun.

4) Tapaning suksma: Sikap ini berarti memenangkan jiwanya. Jadi pada

tahapan ini hendaknya kedermawanan seseorang itu diperluas. Pemberian

sesuatu kepada siapapun juga harus berdasarkan keikhlasan hati, seakan-

akan sebagai persembahan khusus, sehingga tidak mengakibatkan

kerugian bagi siapapun. Singkat kata, ia tidak lagi pernah menyinggung

perasaan orang lain.

5) Tapaning cahyo: Sikap ini berarti seseorang itu selalu eling lan

waspodho (ingat dan waspada) serta mempunyai daya

meramal/memprediksikan sesuatu secara tepat. Jangan sampai kabur atau

85
mabuk, karena keadaan cemerlanglah yang dapat mengakibatkan

penglihatan yang serba samar (tidak jelas) dan saru (tidak baik, tidak

sopan, tidak tepat, tercela) menjadi jelas. Lagi pula setiap kegiatannya

harus selalu ditujukan untuk kebahagiaan dan keselamatan umum. Jauh

dari urusan materi duniawi.

6) Tapaning gesang: Sikap ini berarti selalu berusaha sekuat tenaga dan hati-

hati untuk bisa menuju pada kesempurnaan hidup. Hal ini bisa terjadi,

ketika seseorang sudah melalui ke lima jenis tapa sebelumnya. Dan

ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa disini adalah yang paling utama,

mengingat hanya dari Tuhanlah kebenaran yang mutlak itu berasal.

86
BAB VII

PENDEKATAN MEKANISME UNIVERSAL

A. Menguraikan Teori Jean Duvignaud

1. Latar Belakang Kehidupan Jean Duvignaud

Jean Duvignaud lahir pada tanggal 22 Februari 1921. Duvignaud seorang

novelis, sosiologi, dan antropolog Perancis lahir di La Rochelle, Charente-

Maritime. Seorang guru SMP di Abbeville kemudian di Etampes, mengajar di

Universitas Tours tahun 1972 ia mendirikan majalah yang berjudul cause

commune bersama George Perec. Buku yang terkenal adalah karya kontroversial

dalam membela orisinalitas kerja, imajinasi, menolak konsepsi dokmatis dan jauh

jangkauannya dari sosiologi seni tradisional, buku ini berjudul Sosiologi Seni

dengan judul asli The Sociologi of Art. Duvignaud juga seorang penulis dari

sebuah karya teoritis penting yang melintasi teater (sebagai actor, komedian,

sosiologis, atau kritik sastra). Dari tahun 1990 hingga 2000, Duvignaud

memimpin House of World Cultures. Dia meninggal pada tanggal 17 Februari

2007.

2. Penjelasan Teori Jean Duvignaud

Pada dasarnya karya sastra tidak lahir dari kekosongan. Pengarang

menciptakan karya sastra dengan berawal dari latar belakang pengalaman

hidupnya. Ia hidup dalam rangka sosial, yakni berada dalam lingkungan

masyarakat tertentu. Oleh karena itu berbagai hal yang berhubungan dengan

87
kehidupan sosial dapat mewarnai terciptanya karya sastra. Keadaan seperti itulah

yang mendasari pendekatan sosiologis dalam pengkajian sastra.

Pendekatan Duvignaud, yang melihat mekanisme universal dari seni,

termasuk sastra. Duvignaud memulai dengan penokohan 4 mitos tentang estetika.

Duvignaud menolak empat mitos tentang estetika tersebut, yakni:

1. Seni adalah realisasi empiris dari keindahan ideal (pandangan Goethe)

2. Seni berasal dari seni primitif, sehingga setiap pembicaraan pasti dimulai dari

seni primitif

3. Seni bertugas melayani (melukiskan) kenyataan dan alam,

4. Seni selalu terikat kepada agama.

Selanjutnya dinyatakan bahwa untuk memahami hakikat seni, harus

bertolak dari lima hipotesis kerja:

1. Seni adalah drama yang mengandung implikasi situasi konkret dan konflik,

2. Seni mempunyai sifat polemik, yang menunjukkan adanya:

a. halangan yang mesti dihilangkan,

b. usaha untuk menghilangkannya,

3. Ada hubungan antara sistem klasifikasi alam dan sosial dengan meminjam

klasifikasi dari Durkheim,

4. Ada keadaan anomi, masyarakat yang goncang karena adanya perubahan yang

radikal,

5. Keadaan atypic, orang yang menyimpang atau memberontak terhadap

kehidupan yang dijalaninya.

88
Biasanya karya seni dihasilkan oleh orang-orang yang mempunyai ciri ini.

Menurut Duvignaud segala kegiatan seni dapat didasarkan pada delapan sikap

estetika sebagai berikut.

1. Estetika adalah manifestasi seluruh masyarakat yang boleh dikatakan hilang

pada seni modern.

Sikap estetika ini berhubungan dengan manifestasi sosial, misalnya festival.

Kehilangan sikap ini mungkin akan menimbulkan hal kedua.

2. Nostalgia kepada keadaan kemasyarakatan yang sudah hilang, sehingga

mereka menceritakan masa lampau.

Nostalgia ini bersifat romantik dan mengandung dua aspek, yakni:

a) sesuatu yang inheren pada masyarakat modern ketika mereka

meninggalkan tradisi, dan

b) sesuatu yang berdaya untuk campur tangan secara efektif dalam kehidupan

sosial.

3. Seorang seniman dianggap sebagai seorang pendeta yang mewakili Tuhan di

dunia.

4. Ini terjadi pada masyarakat kharismatik dan seni dihubungkan dengan agama,

dengan sesuatu yang sakral.

5. Estetika adalah usaha yang disengaja untuk melukiskan kehidupan atau

keadaan sehari-hari

6. Seni adalah sesuatu yang tertutup (esoterik), terbatas untuk orang-orang

dengan kedudukan tertentu.

89
7. Seni adalah pameran kekayaan (potlatch), mungkin untuk manusia, mungkin

untuk Tuhan.

8. Oposisi dengan dasar etika terhadap kebudayaan tradisional dan nilai-nilai

yang sudah mantap (established) yang merupakan akibat dari perkembangan

ekonomi modern. Oposisi ini mempunyai dua komponen:

a. Sesuatu yang dipertahankan dalam proses transisi dari satu tipe masyarakat

ke tipe yang mengikutinya,

b. Mungkin tipe masyarakat yang menggantikan tidak menghilangkan

kesadaran tentang masa lampau yang sengsara, atau kelanjutan lembaga

yang sudah ada, atau institusi terhadap nilai-nilai baru. Tetapi semua tidak

dikenal karena adaptasi terhadap keadaan yang baru.

9. Sikap yang berhubungan dengan ajaran seni untuk seni.

Berdasarkan sikap estetik itu, Duvignaud membagi seni dengan tujuan untuk

mengkaji fungsinya dalam empat tipe, yakni:

a. Seni primitif yang memiliki fungsi sendiri dalam mayarakat primitif.

(seperti seni terkait animisme, dinamisme yang merupakan seni di zaman

prasejarah), yang akan hilang bila berhubungan dengan seni modern.

b. Seni dalam masyarakat teokrasi.

Seni dalam masyarakat teokrasi selalu berhubungan dengan kekuatan gaib

di luar manusia. Dalam seni ini terkandung asal mula bibit drama.

c. Seni dalam kehidupan kota (-feodal).

Seni dalam kehidupan kota memegang peranan penting dalam

perkembangan seni, seni dalam kehidupan kota mengubah kehidupan

90
mitos (yang ada pada tipe sebelumnya) ke arah sastra, karena pada tipe ini

keadaannya, terdapat keragaman bentuk, fungsi seni berhubungan dengan

anomi, dan kehidupan dan perkembangan seni didukung oleh kelas

menengah yang memegang peranan penting.

10. Seni modern.

Seni modern yang merupakan perkembangan dari seni kehidupan kota

Menurut Duvignaud, kota memegang peranan penting bagi perkembangan

seni menuju seni modern, yang bercirikan:

a. Dalam melukiskan manusia yang dipentingkan adalah peristiwa, perbuatan

lebih penting dari komentar, pengungkapan spontanitas lebih penting dari

lukisannya

b. Seni modern lebih bersifat collage, yang mengacaukan antara realitas

dengan imajinasi, antara manusia nyata dengan tokoh wira (imajiner).

Menurut Umar Junus (1986) pandangan Duvignaud bisa disimpulkan

sebagai berikut.

1) Seni, oleh Duvignaud, dilihat dari perspektif sejarah kesenian.

2) Setiap manifestasi seni mesti dihasilkan oleh kondisi sosial tertentu.

3) Semua seni dilihat dalam perspektif umum, berlaku dimana saja dan

kapan saja.

4) Seni suatu bangsa akan melalui perkembangan yang sama dengan

bangsa-bangsa lain.

5) Karena itu Duvignaud lebih mengerjakan sosiologi kesenian.

91
6) Kelemahannya, terlalu menekankan tipe, sehingga ia tidak

memperhatikan perkembangan seni setempat yang bersifat khusus.

Hal ini bertentangan dengan sosiologi sastra yang menekankan adanya

perbedaan karena perbedaan sosiobudaya sehingga sosiologi sastra menonjolkan

perbedaan lokal. Disamping itu Duvignaud mengesampingkan variasi individual

antar kreatifitas seniman yang merupakan ciri hakikat dari seni modern.

Pandangan ini juga bertentangan dengan sosiologi sastra yang menekankan latar

belakang sosial seniman. Pendekatan pada Duvignaud mengatakan setiap

masyarakat menghasilkan tipe seni yang sesuai dengan perkembangan masyarakat

itu.

Menurut Jean Duvignaud, Sosiologi Seni, Bandung: Sunan Ambu Press,

2009. Buku ini mengupas secara mendalam tentang korelasi antara pengalaman

sosial sebagai sesuatu yang menyeluruh dan ekspresi zaman yang ditawarkan

tersendiri melalui representasi citrawi. Di sanalah “visi dunia” harus ditemukan:

dengan melahirkan dan membuat nyata bentuk-bentuk imajinasi, karya seni yang

hebat menemukan formula-formula lain yang nampaknya berbeda, namun

memiliki struktur logika yang sama. (Jean Duvignaud, 22:2009)

Junus (1985: 84-86) mengemukakan, bahwa yang menjadi pembicaraan

dalam telaah sosiologi sastra adalah karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial

budaya. Ia juga menyangkut penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran

karya sastra. Termasuk pula penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap

sebuah karya sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya. Sosiologi

sastra berkaitan juga dengan pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya

92
sastra, misalnya pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan

pendekatan Marxis yang berhubungan dengan pertentangan kelas. Tak boleh

diabaikan juga dalam kaitan ini pendekatan strukturalisme genetik dari Goldman

dan pendekatan Duvignaud yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk

sastra. Sastra bisa dilihat sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat

kenyataan sosio-budaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu. Pendekatan

ini bertolak dari anggapan bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya.

Bagaimanapun karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak

terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada

zamannya.

Berikut ini salah satu contoh pemaparan Teori dari Jean Duvignaud yang

dikutip dari sebuah buku yang berjudul ”The Theatre in Society: Society in the

Theatre”, Teater dalam masyarakat dan masyarakat dalam teater:

Teater itu produk akumulasi masyarakat. Berbagai kejadian sosial selalu

diangkat dalam teater. Itulah eksistensi sosial dalam teater. Sebaliknya teater juga

berada pada lintasan sosial. Jika lintasan sosial ini mendukung teater, maka akan

ada perkembangan yang signifikan. Duvignaud mengatakan pertunjukan teater

siap mulai setelah seluruh perangkat siap. Masyarakat sebagai penonton harus ada

di tengah-tengah teater. Teater berada di tengah masyarakat, dan masyarakat

ternyata juga hadir di jagad teater. Itulah hubungan timbal balik antara teater

sebagai karya seni dan sastra dan karya sosial. Teater itu menjadi saksi imajinasi

masyarakat. Ketika lampu menyala, para aktor muncul, penampilan dimulai, ini

adalah berbagai ciptaan hasil yang menyangkut tujuan pengarang sandiwara, gaya

93
produser, penampilan aktor, dan partisipasi penonton. Teater pada awalnya terkait

dengan ritual. Ketoprak misalnya; sengaja ditampilkan sebagai teater Jawa tradisi

adat, upacara. Teater yang menyangkut kekhidmatan tempat, separasi antara suatu

gerakan, tetap mampu menerangi dunia, seragam aktor, isyarat yang tepat mereka

dan ketegasan suatu yang bahasa puitis memproklamirkan suatu pembedaan dasar

antara bahasa teater dan percakapan sehari-hari jauh lebih penting dalam kajian

sosiologis.

Kehidupan sosial, bagaimanapun, memajang berbagai aspek yang serupa

dengan upacara. Lebih dari itu, tampaknya mereka mengasumsikan tentang arti

penting pentas drama dipertimbangkan di dalam hidup kolektif. Mereka

menyatakan diri dengan suatu kejelasan lebih besar dari organisasi, aktivitas yang

praktis dan lambang di tempat kerja di dalam masyarakat. Dengan begitu mungkin

ada suatu teater yang secara spontan pada semua tingkat pengalaman selalu

melukiskan kehidupan sosial. Tonggak teater adalah kehidupan kolektif.

Kehidupan sosial tentu saja bukanlah menurunkan begitu saja ke dalam teater. Hal

itu meliputi seluruh aturan adat dan bahkan aspek anti peraturan adat/upacara.

Hanyalah keberadaan kolektif yang akan membawa masyarakat dekat dengan

teater dan menyarankan kesinambungan antara sosial dan upacara dramatis.

B. Menguraikan Teori M.H Abrams

1. Latar Belakang kehidupan M.H Abrams

M.H Abrams, dengan nama penuh Meyer Howard Abrams, lahir pada

tanggal 23 Juli 1912, Long Branch, New Jersey Amerika Serikat dan meninggal

94
tanggal 21 April 2015. Abrams adalah seorang kritikus sastra Amerika yang

merevolusi studi periode Romantik dalam sastra Inggris melalui analisis

terobosan. Dia juga menjabat sebagai editor umum untuk tujuh edisi pertama.

Setelah lulus dari Harvard University pada tahun 1934, Abrams belajar selama

setahun di University of Cambridge bersama IA Richards sebelum kembali ke

almamaternya untuk mendapatkan gelar MA (1937) dan gelar Ph.D.(1940). Pada

tahun 1945 ia bergabung dengan fakultas Cornell University, Ithaca, New York,

di mana ia menjadi professor penuh pada tahun 1953 dan professor emeritus pada

tahun 1983. Abrams menulis buku pertamanya, The Milk of Paradise. Esai kritis

lebih lanjut oleh Abrams tentang topik-topik romantik dikumpulkan di dalamnya

The Correspondent Breeze (1984). Dari koleksinya, Sastra dan Keyakinan (1958)

dan In Search of Literary Theory (1972) hingga A Glossary of Literary Terms

(1957). Abrams secara konsisten peduli dengan analisis teori dan kritik sastra, hal

ini dapat dilihat dari bukunya yang berjudul The Mirror and The Lamp sangat

berpengaruh dalam membedakan empat orientasi kritis yang melaluinya karya

sastra itu diperiksa dan diteliti.

2. Penjelasan Teori M.H Abrams

Dalam bukunya yang berjudul The Mirror and The Lamp (l971), Abrams

mengetengahkan teori Universe-nya. Melalui teori Universe itu, kita mengetahui

bahwa : pertama, ada semesta (alam) yang mendasari lahirnya karya sastra; kedua,

ada pencipta (pengarang); ketiga, ada karya sastra yang merupakan hasil karya

pengarang atau pencipta; dan keempat, ada penikmat karya sastra (pembaca).

95
Berdasar teori itu, karya sastra dapat dipandang dari empat pendekatan

3. Pendekatan Mimetik.

Pendekatan yang berupaya memahami hubungan karya sastra dengan

realitas/kenyataan. Kata mimetik berasal dari kata mimesis (bahasa Yunani) yang

berarti tiruan. Dalam pendekatan ini karya sastra dianggap sebagai tiruan alam

atau kehidupan (Abrams, 1981). Untuk dapat menerapkannya dalam kajian sastra,

dibutuhkan data-data yang berhubungan dengan realitas yang ada di luar karya

sastra. Biasanya berupa latar belakang atau sumber penciptaa karya sastra yang

akan dikaji. Misal novel tahun 1920-an yang banyak bercerita tentang "kawin"

paksa. Maka dibutuhkan sumber dan budaya pada tahun tersebut yang berupa latar

belakang sumber penciptaannya.

Secara mimetik dalam proses penciptaan karya sastra (seni),

sastrawan/seniman tentu saja telah melakukan pengamatan yang seksama terhadap

kehidupan manusia dalam dunia nyata dan lalu membuat perenungan terhadap

kehidupan itu sebelum menuangkan dalam karya sastra (seni)-nya. Dengan

demikian karya sastra pada hakikatnya adalah tanggapan seseorang (pengarang)

terhadap situasi di sekelilingnya.

Pandangan semacam ini berangkat dari pemikiran bahwa karya sastra

merupakan refleksi kehidupan nyata. Refleksi ini terwujud karena adanya

peniruan dan dipadukan dengan imajinasi pengarang terhadap realitas alam atau

kehidupan manusia.

96
11

Berbicara mengenai pandangan mimetik terhadap karya sastra itu, pada

dasarnya tidak dilepaskan dari pemikiran Plato. Dalam hubungan ini, Plato, dalam

dialognya dengan Socrates, mengemukakan bahwa semua karya seni (termasuk

karya sastra) merupakan tiruan (imitation). ‘Tiruan’ merupakan istilah relasional,

yang menyaran adanya dua hal, yakni: yang dapat ditiru (the imitable) dan

tiruannya (the imitation) dan sejumlah hubungan antara keduanya. Hubungan dua

hal tadi terlihat dalam tiga kategori: (a) adanya ide-ide abadi dan ide-ide yang

tidak bisa berubah (the eternal and unchanging Ideas), (b) adanya refleksi dari ide

abadi dalam wujud dunia rekaan baik natural maupun artifisial, dan (c) adanya

refleksi dari kategori kedua sebagaimana terlihat adanya suatu bayangan dalam air

dan cermin dan karya-karya seni ( Abrams, l971 : 8).

4. Pendekatan Ekspresif

Secara ekspresif karya sastra (seni) merupakan hasil pengungkapan sang

pencipta seni (artist) tentang pengalaman, pikiran, perasaan, dan sejenisnya.

Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra

memfokuskan perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta karya sastra.

Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai ekspresi sastrawan, sebagai

curahan perasaan atau luapan perasaan dan pikiran sastrawan, atau sebagai produk

imajinasi sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran atau

perasaanya. Kerena itu, untuk menerapkan pendekatan ini dalam kajian sastra,

dibutuhkan sejumlah data yang berhubungan dengan diri sastrawan, seperti kapan

97
dan di mana dia dilahirkan, pendidikan sastrawan, agama, latar belakang sosial

budayannya, juga pandangan kelompok sosialnya.

Dengan perkatan lain, dilihat dari sisi pengarang, karya sastra (seni)

merupakan karya kreatif, imaginatif (rekaan) dan dimaksudkan untuk

menghadirkan keindahan. Dalam kaitan ini, Esten menyatakan bahwa ada dua hal

yang harus dimiliki oleh seorang pengarang, yakni : daya kreatif dan daya

imajinatif. Daya kreatif adalah daya untuk menciptakan hal-hal yang baru dan asli.

Manusia penuh dengan seribu satu kemungkinan tentang dirinya. Untuk itu,

seorang pengarang berusaha untuk memperlihatkan kemungkinan tersebut,

memperlihatkan masalah-masalah manusia yang substil (halus)

dan bervariasi dalam karya-karya sastranya. Sedangkan daya imajinatif adalah

kemampuan pengarang untuk membayangkan, mengkhayalkan, dan

menggambarkan sesuatu atau peristiwa-peristiwa. Seorang pengarang yang

memiliki daya imajinatif yang tinggi bila dia mampu memperlihatkan dan

menggambarkan kemungkinan-kemungkinan kehidupan, masalah-masalah, 12


dan

pilihan-pilihan dari alternatif yang mungkin dihadapi manusia. Kedua daya itu

akan menentukan berhasil tidaknya suatu karya sastra (1978 : 9).

Dalam kaitan dengan proses penciptaan karya sastra, seorang pengarang

berhadapan dengan suatu kenyataan yang ada dalam masyarakat (realitas

obyektif). Realitas obyektif bisa berbentuk peristiwa-peristiwa, norma-norma (tata

nilai), pandangan hidup dan bentuk-bentuk realitas obyektif yang ada dalam

masyarakat. Bila seseorang pengarang merasa tidak puas dengan realitas obyektif

itu, mungkin saja dia lalu merasa ‘gelisah’. Berangkat dari kegelisahan itu,

98
mungkin saja, dia, dengan caranya sendiri (misalnya, lewat kegiatan

kepengarangan) memprotes, memberontak, mendobrak realitas obyektif yang,

menurutnya, tidak memuaskan atau penuh dengan ketidakadilan. Setelah ada

suatu sikap, maka dia mencoba untuk mengangankan suatu “realitas” baru sebagai

pengganti realitas obyektif yang sementara ini dia tolak. Hal inilah yang kemudian

dia ungkapkan melalui karya sastra yang dia ciptakan. Dia mencoba untuk

mengutarakan sesuatu terhadap realitas obyektif yang dia temukan. Dia ingin

berpesan kepada pihak-pihak lain tentang sesuatu yang dianggap sebagai masalah

atau persoalan manusia (Esten, 1978 : 9-10).

Karena karya sastra (seni) dituntut untuk memberikan

hiburan (entertainment), maka keindahan, kesegaran, kemenarikan dan sejenisnya

harus menyertai karya sastra (seni) itu. Karena sifatnya yang kreatif-imaginatif,

karya sastra (seni) mengarah pada dunia rekaan sang penciptanya. Karya sastra,

novel, misalnya, menyuguhkan cerita. Tokoh-tokoh berikut perilaku yang

menyertai dan segala aspek pendukung cerita itu merupakan hasil kreasi dari

penciptanya. Sebagai karya seni, karya sastra dicipta dengan menonjolkan aspek

seninya (aspek estetis) dalam upaya untuk memberikan

hiburan (entertainment) bagi penikmatnya.

Pandangan tersebut, memang, sejalan dengan doktrin seni yang pernah

berkembang di Eropa, terutama di Perancis, pada akhir abad 19, yakni: “l’art pour

l’art” yang dalam bahasa Inggrisnya “art for art’s sake” yang berarti “seni untuk

seni”. Para seniman Perancis, pada waktu itu, mengukuhkan pandangan bahwa

karya seni menyuguhkan nilai (seni) yang agung ketimbang karya-karya manusia

99
lainnya dan harus dipandang sebagai “dirinya sendiri” sebab ia “mampu berdiri

sendiri (self-sufficient) “; ia tidak menghadirkan manfaat atau mengajarkan moral.


13

Tujuan akhir dari karya seni adalah hanya menyuguhkan keindahan, yang pada

gilirannya dapat memberikan hiburan kepada penikmatnya (Abrams, l998).

5. Pendekatan Pragmatik

Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra

sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal

ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama, maupun

tujuan yang lain. Dalam praktiknya pendekatan ini cenderung menilai karya sastra

menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacannya

(Pradopo, 1994).

Dalam praktiknya, pendekatan ini mengkaji dan memahami karya sastra

berdasarkan fungsinya untuk memberikan pendidikan (ajaran) moral, agama,

maupun fungsi sosial lainnya. Semakin banyaknya nilai-nilai tersebut terkandung

dalam karya sastra maka semakin tinggi nilai karya sastra tersebut bagi

pembacannya. Karya seni yang menghibur dan bermanfaat harus dilihat secara

simultan, tidak secara terpisah antara satu dengan yang lainnya. Artinya, bagi

seniman, dalam proses penciptaan karya seni antara aspek hiburan dan

kebermanfaatan harus dipertimbangkan; dia hendaknya tidak menonjolkan aspek

hiburan ketimbang aspek kebermanfaatan, sehingga terjadi keseimbangan antara

segi menghibur dan bermanfaat pada karya seni yang diciptanya.

100
Secara pragmatis selain sebagai sarana hiburan, pesan-pesan moral yang

dihadirkan oleh karya seni bisa dimanfaatkan oleh para penikmatnya sebagai

bahan perenungan. Kalau sastra (seni), misalnya novel, dianggap sebagai “model”

kehidupan manusia, betatapun khayalnya, kita bisa melihat model-model atau

pola-pola kehidupan yang baik-buruk, santun-kasar, bermoral-amoral,

menyegarkan-menyebalkan atau sejenisnya (misalnya, dalam persahabatan,

hubungan antar anak-anak, hubungan anak terhadap orang tua atau sebaliknya,

hubungan murid terhadap guru atau sebaliknya, dan sebagainya). “Model-model”

kehidupan dalam kategori baik bisa diadopsi dan dikembangkan dalam kita
14

hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; sebaliknya, hal-hal yang tidak

baik tentu harus kita tinggalkan.

Sebagai model kehidupan, novel hampir selalu menawarkan model

kehidupan yang baik dikonfrontasikan dengan yang jelek, jahat. Walaupun, pada

awalnya tokoh yang baik banyak menghadapi tantangan, masalah, dan sejenisnya

dari tokoh yang jahat; pada akhirnya ‘yang baik’ menang, berjaya, dan

berbahagia, sedangkan ‘yang jahat’ kalah, tersingkir dan lalu menderita. Aspek

pragmatis (kebermanfaatan) yang dapat dipetik dari karya seni tersebut adalah

antara lain : (a) perbuatan yang baik lambat laun akan membuahkan hasil yang

baik pula, (b) perbuatan yang tidak baik (sewenang-wenang, korupsi, manipulasi,

hanya mementingkan kepentingan pribadi padahal yang bersangkutan seharusnya

memikirkan kepentingan rakyat banyak, serakah, memakan yang bukan

haknya, dan sejenisnya) akan berbuah ketidakbaikan, ketidaknyamanan,

101
kegelisahan, stress, penyakit (terkena bala), dan hal-hal yang tidak nyaman

lainnya; (c) perbuatan yang baik akan mengalahkan perbuatan yang jahat.

6. Pendekatan Objektif

Pendekatan objektif adalah pendekatan yang memfokuskan perhatian

kepada karya sastra itu sendiri. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai

struktur yang otonom dan bebas dari hubungannya dengan realitas, pengarang

maupun pembaca. Pendekatan ini juga disebut oleh Welek & Waren (1990)

sebagai pendekatan intrinsik karena kajian difokuskan pada unsur intrinsik karya

sastra yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi, dan kebenaran sendiri.

Pandangan terhadap karya sastra secara obyektif menyatakan bahwa karya

sastra (seni) merupakan dunia yang otonom, yang dapat dilepaskan dari pencipta

dan lingkungan sosial-budaya zamannya. Dalam hal ini, karya sastra dapat

diamati berdasarkan strukturnya. Pendekatan objektif merupakan pendekatan

menitik beratkan pada karya sastra itu sendiri.

102
BAB VIII

REALITAS SASTRA DAN REALITAS KONKRIT

A. Realitas Sastra

Sastra memang adalah sebuah bentuk ekspresi tidak langsung, maka dalam

praktiknya baik itu bentuk karya sastra dalam puisi maupun prosa, bahasa yang

menjadi jembatanya, tidak hanya sebatas pada bahasa sebagai langue (bahasa

dalam sistem linguistik) namun juga memiliki “makna” dalam sastra yang dapat

merefleksikan banyak hal dan multi tafsir. (Suwardi Endraswara, 2013). Bahasa

yang digunakan sastra tampak sederhana dan mudah dimengerti tetapi kadang

kala terasa sulit untuk dianalisis. Gambaran bahasa sastra terhadap realitas sangat

metaforis. Karena itu, realitas konkret manusia secara sederhana dapat dipahami

melalui bahasa sastra, tetapi membutuhkan analisis kritis agar mencapai makna

sebuah realitas yang sesungguhnya.

Karya sastra yang ditulis atau diciptakan oleh sastrawan tentu bukan hanya

untuk dibaca sendiri, melainkan melainkan merupakan ide, gagasan, pengalaman,

dan amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dengan harapan, apa yang

disampaikan itu menjadi masukan, sehingga pembaca dapat mengambil

kesimpulan dan menginterpretasikannya sebagai sesuatu yang dapat berguna bagi

perkembangan hidupnya. Hal ini membuktikan, bahwa karya sastra dapat

mengembangkan kebudayaan. Dengan kalimat lain, karya sastra selalu bermuatan

sosial budaya. Hal itu terjadi, karena sastrawan juga mengalami pengaruh

lingkungan dan zamannya dalam menciptakan karya. Sapardi Djoko Damono

103
mengatakan bahwa karya sastra adalah benda budaya; ia tidak jatuh dari langit,

tetapi diciptakan manusia yang merupakan individu sekaligus bagian yang tidak

terpisahkan dari masyarakatnya. Jadi pada dasarnya, karya sastra (sastra)

merupakan kristalisasi nilai-nilai dari suatu masyarakat. Meskipun karya sastra

yang baik pada umumnya tidak langsung menggambarkan atau memperjuangkan

nilai-nilai tertentu, tetapi aspirasi masyarakat mau tidak mau tercermin dalam

karya sastra tersebut. Oleh karena itu, karya sastra tidak terlepas dari sosial-

budaya dan kehidupan masyakarat yang digambarkannya.

Bradbury menjelaskan bahwa karya sastra pada dasarnya merupakan

rangsangan bagi kebebasan yang ada dalam diri pembaca, karya sastra menyajikan

kebebasan yang ingin diungkapkan oleh pembaca. Itulah sebabnya pada saat-saat

tertentu masyarakat harus memberikan toleransi yang semakin besar terhadap

karya sastra. Karya sastra itu mendidik, memperluas pengetahuan tentang

kehidupan, meningkatkan kepekaan perasaan, dan membangkitkan kesadaran

pembaca.

Menurut Lukács, sastra ditulis berdasarkan pandangan (gagasan) tertentu,

itu sebabnya, ia mengeritik sastra modernis karena sastra ini berpura-pura tanpa

pamrih, berpura-pura objektif terhadap masalah yang ada di dunia. Tanpa

pandangan tertentu, maka tidak mungkin dibedakan antara realitas yang dibuat-

buat dengan realitas yang sungguh-sungguh penting. Hilangnya pandangan

tertentu itu yang oleh Lukács disebut humanisme sosialis. Menyebabkan sastra

modernis dibebani dengan wawasan yang subjektif dan cenderung menerima

pengalaman subjektif sebagai kenyataan. Sastra seperti itu akan menggambarkan

104
manusia sebagai makhluk yang dikucilkan dari dirinya sendiri dan masyarakatnya.

Jelaslah, bahwa sastra semacam itu kehilangan hubungan dengan kehidupan

sosial.

Dari beberapa batasan sastra di atas terlihat bahwa sastra itu memiliki

kepentingan terhadap kehidupan atau masyarakat. Walaupun sebenarnya sangat

sulit bagi sastrawan untuk menggambarkan realitas yang sungguh-sungguh,

karena di dalam penciptaan sastra ada imajinasi, ada pengalaman yang sangat

subjektif sifatnya, dan ada kesan yang ingin diwujudkan oleh sang sastrawan.

Untuk itu, barangkali yang dikehendaki ialah agar karya sastra mengandung pesan

tentang kehidupan dan masyarakat tertentu. Melihat perkembangan sastra

Indonesia, banyak karya-karya yang dihasilkan oleh pengarang pada zamannya

dengan mengangkat tema dari realitas kehidupan sosial di jamannya masing-

masing, karena kadang kala, karya sastra merupakan pengalaman langsung dari

pengarang yang dituangkan kedalam karya sastranya. Dari pengalaman yang

berdasarkan realitas kehidupannya itu, pengarang, mencoba membagi kepada

masyarakat umum tentang realita yang terjadi dengan menambahkan sejumlah

pengembangan melalui bahasa dan penggambaran yang imajiner.

Jadi dari pemaparan di atas dapatlah dilihat bahwa, walaupun sastra

merupakan kristalisasi situasi dan keadaan nyata dalam masyarakat sosial dengan

berbagai fenomena serta konfliknya, namun sastra tetap memiliki kekhasan

tersendiri dalam mengungkapkan realitas tersebut. Sastra tidak secara serta-merta

memasukan realitas kehidupan dalam muatannya dengan langsung membawa

segenap realitas tersebut secara gamblang melainkan melalui gaya bercerita yang

105
khas memasukan unsur-unsur tersebut dalam muatannya. Sehingga dengan

demikian realitas sastra merupakan muatan-muatan yang dapat ditemukan secara

obyektif dalam karya sastra itu sendiri, yakni terbatas pada hal-hal yang “terbaca”

pada karya sastra tersebut, yang belum tentu merupakan fakta yang sesungguhnya

dari sebuah peristiwa yang menginspirasi karya sastra tersebut.

B. Realitas Konkrit

Sastra, di dalam kehidupan masyarakat tidak dapat dipisahkan lagi dengan

masyrakat itu sendiri. Kehidupan masyarakat dengan berbagai polemik yang

terjadi saat ini tidak menutup kemungkinan untuk dituangkan kedalam karya-

karya sastra sehingga menjadi cerminan masyarakat itu sendiri. Penciptaan karya

sastra memang tidak dapat dipisahkan dengan proses imajinasi pengarang dalam

melakukan proses kreatifitasnya, sehingga karya sastra lahir di tengah-tengah

masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-

gejala sosial yang ada di sekitarnya. Akan tetapi karya sastra tidak hadir dalam

kekosongan budaya. Herder menjelaskan bahwa karya sastra dipengaruhi oleh

lingkungannya maka karya sastra merupakan ekspresi zamannya sendiri sehingga

ada hubungan sebab akibat antara karya sastra dengan situasi sosial tempat

dilahirkannya suatu karya sastra.

Tidak dapat dipungkiri bahwa karya sastra bisa mengubah tatanan nilai-

nilai sosial dan budaya dalam masyarakat yang dianggap tidak memberi

kebebasan untuk manusia. Contohnya karya novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan

menjadi karya yang cukup penting. Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap

106
adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu. Sampai saat ini hasil kritik

dalam karya-karya sastra tersebut menunjukkan perubahan yang dapat dirasakan

dan diamati dari fakta budaya modern di mana hal-hal semacam fenomena yang

diangkat dalam karya-karya tersebut akhirnya memudar dari masa ke masa sampai

hari ini.

Karya sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi

masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam

membangun karya sastra. Endraswara mengatakan reaksi atau tanggapan dapat

bersifat positif atau negatif. Reaksi akan bersifat positif apabila pembaca

memberikan tindakan dan sikap pada karya sastra dengan perasaan senang,

bangga, dan sebagainya. Reaksi yang bersifat negatif tidak akan mendapatkan

tanggapan sikap yang membangun bagi perkembangan karya sastra.

Kita dapat menilik dari pemaparan ini bahwa karya sastra memang jelas

memiliki objek yang berdiri sendiri, terikat oleh dunia dalam kata-kata diksional

dan dipenuhi bahasa figuratif yang diciptakan pengarang berdasarkan realitas

sosial dan pengalaman pengarang sehingga karya sastra secara langsung atau tidak

langsung dipengaruhi oleh pengalaman dari lingkungan sosial pengarang.

Sastrawan sebagai anggota masyarakat memang tidak akan lepas dari tatanan

masyarakat dan kebudayaan, baik dari; kepribadian, pola pikirnya, imajinasinya,

pengetahuannya maupun emosi dan perasaannya, karena semua itu berpengaruh

dalam proses penciptaan karya sastranya. Sehingga sebuah karya sastra lahir dari

latar belakang di luar diri manusia dan dari dorongan dasar di dalam diri manusia

untuk mengungkapkan eksistensi dirinya.

107
Namun walau demikian, situasi dan kondisi faktual dalam masyarakat

merupakan realitas tersendiri, yang tentu saja, bisa jadi sama sekali berbeda

dengan apa yang difigurasikan dalam bahasa sastra yang serba imajinatif.

Masyarakat yang ingin maju akan menerima karya sastra sebagai bentuk kritikan

yang membangun terhadap nilai-nilai sosial yang mengekang dan sebagai batu

loncatan menuju tatanan nilai kehidupan yang lebih baik, namun tidak serta-merta

menjadikan suatu karya sastra sebagai pedoman dalam mengatur tatanan

kehidupan realnya.

Situasi dan kondisi faktual yang mendorong sastrawan melahirkan

karyanya itulah yang disebut sebagai Realitas konkret yang menginspirasi

hadirnya sebuah karya sastra. Jadi sebuah karya sastra dapat dipersepsikan sebagai

ungkapan realitas kehidupan, namun bukanlah fakta mutlak dari apa yang

ditampilkan dalam karya sastra itu. Dengan kata lain situasi dan kondisi faktual

kehidupan manusia sebagai masyrakat sosial maupun insan individual yang

dialami dan dijumpai oleh pengarang merupakan materi atau bahan inspirasi bagi

karya sastra yang dilahirkan.

108
BAB IX

KARYA SASTRA DALAM REALITAS KEHIDUPAN SOSIAL

Karya sastra ditulis atau diciptakan oleh sastrawan bukan untuk dibaca

sendiri, melainkan ada ide, gagasan, pengalaman, dan amanat yang ingin

disampaikan kepada pembaca. Dengan harapan, apa yang disampaikan itu

menjadi masukan, sehingga pembaca dapat mengambil kesimpulan dan

menginterpretasikannya sebagai sesuatu yang dapat berguna bagi perkembangan

hidupnya. Hal ini membuktikan, bahwa karya sastra dapat mengembangkan

kebudayaan. Dengan kalimat lain, karya sastra selalu bermuatan sosial budaya.

Hal itu terjadi, karena sastrawan juga mengalami pengaruh lingkungan dan

zamannya dalam menciptakan karya. Damono mengatakan bahwa karya sastra

adalah benda budaya; ia tidak jatuh dari langit, tetapi diciptakan manusia yang

merupakan individu sekaligus bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakatnya.

Bradbury menjelaskan bahwa karya sastra pada dasarnya merupakan

rangsangan bagi kebebasan yang ada dalam diri pembaca, karya sastra menyajikan

kebebasan yang ingin diungkapkan oleh pembaca. Itulah sebabnya pada saat-saat

tertentu masyarakat harus memberikan toleransi yang semakin besar terhadap

karya sastra. Karya sastra itu mendidik, memperluas pengetahuan tentang

kehidupan, meningkatkan kepekaan perasaan, dan membangkitkan kesadaran

pembaca.

Menurut Lukács , sastra ditulis berdasarkan pandangan (gagasan) tertentu,

itu sebabnya, ia mengeritik sastra modernis karena sastra ini berpura-pura tanpa

109
pamrih, berpura-pura objektif terhadap masalah yang ada di dunia. Tanpa

pandangan tertentu, maka tidak mungkin dibedakan antara realitas yang dibuat-

buat dengan realitas yang sungguh-sungguh penting. Hilangnya pandangan

tertentu itu yang oleh Lukács disebut humanisme sosialis. Menyebabkan sastra

modernis dibebani dengan wawasan yang subjektif dan cenderung menerima

pengalaman subjektif sebagai kenyataan. Sastra seperti itu akan menggambarkan

manusia sebagai makhluk yang dikucilkan dari dirinya sendiri dan masyarakatnya.

Jelaslah, bahwa sastra semacam itu kehilangan hubungan dengan kehidupan

sosial.

Dari beberapa batasan sastra di atas terlihat bahwa sastra itu memiliki

kepentingan terhadap kehidupan atau masyarakat. Walaupun sebenarnya sangat

sulit bagi sastrawan untuk menggambarkan realitas yang sungguh-sungguh,

karena di dalam penciptaan sastra ada imajinasi, ada pengalaman yang sangat

subjektif sifatnya, dan ada kesan yang ingin diwujudkan oleh sang sastrawan.

Untuk itu, barangkali yang dikehendaki ialah agar karya sastra mengandung pesan

tentang kehidupan dan masyarakat tertentu.

Melihat perkembangan sastra Indonesia, banyak karya-karya yang

dihasilkan oleh pengarang pada zamannya dengan mengangkat tema dari realitas

kehidupan sosial di jamannya masing-masing. Karya sastra merupakan

pengalaman langsung pengarang yang dituangkan kedalam karya sastranya.

Pengalaman berdasarkan realitas kehidupam pengarang, mencoba membagi

kepada masyarakat umum tentang realita yang terjadi.

110
Sastra di dalam kehidupan masyarakat tidak dapat dipisahkan lagi.

Kehidupan masyarakat dengan berbagai polemik yang terjadi saat ini tidak

menutup kemungkinan untuk dituangkan kedalam karya-karya sastra sehingga

menjadi cerminan masyarakat itu sendiri.

Penciptaan karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan proses imajinasi

pengarang dalam melakukan proses kreatifnya. Bahwa karya sastra lahir di

tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya

terhadap gejala-gejala sosial yang ada di sekitarnya. Akan tetapi karya sastra tidak

hadir dalam kekosongan budaya. Herder menjelaskan bahwa karya sastra

dipengaruhi oleh lingkungannya maka karya sastra merupakan ekspresi zamannya

sendiri sehingga ada hubungan sebab akibat antara karya sastra dengan situasi

sosial tempat dilahirkannya.

Karya sastra bisa merubah tatanan nilai-nilai social dan Budaya dalam

masyarakat yang dianggap tidak memberi kebebasan untuk manusia. Contohnya

karya novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menjadi karya yang cukup penting.

Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi kolot yang

membelenggu. Sampai kepada karya-karya N. Riantiarno.

Karya sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi

masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam

membangun karya sastra. Endraswara mengatakan reaksi atau tanggapan dapat

bersifat positif atau negatif. Reaksi akan bersifat positif apabila pembaca

memberikan tindakan dan sikap pada karya sastra dengan perasaan senang,

111
bangga, dan sebagainya. Reaksi yang bersifat negatif tidak akan mendapatkan

tanggapan sikap yang membangun bagi perkembangan karya sastra.

Karya sastra memiliki objek yang berdiri sendiri, terikat oleh dunia dalam

kata yang diciptakan pengarang berdasarkan realitas sosial dan pengalaman

pengarang. karya sastra secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh

pengalaman dari lingkungan pengarang. Sastrawan sebagai anggota masyarakat

tidak akan lepas dari tatanan masyarakat dan kebudayaan. Semua itu berpengaruh

dalam proses penciptaan karya sastra.

Sebuah karya sastra lahir dari latar belakang dan dorongan dasar manusia

untuk mengungkapkan eksistensi dirinya. Sebuah karya sastra dipersepsikan

sebagai ungkapan realitas kehidupan.

Masyarakat yang ingin maju akan menerima karya sastra sebagai bentuk

kritikan yang membangun terhadap nilai-nilai sosial yang mengekang dan sebagai

batu loncatan menuju tatanan nilai kehidupan yang lebih baik.

112
BAB X

SASTRA DAN PELAPORAN KENYATAAN

Sastra itu lahir dalam konteks sejarah sejarah dan sosial-budaya suatu

bangsa yang di dalamnya sastrawan penulisnya merupakan salah seorang anggota

masyarakat bangsanya (Pradopo, 2010:107). Hal ini sejalan dengan pendapat

Teew yang mengatakan bahwa karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya

(Teew dalam Pradopo, 2010:107). Dengan demikian kenyataan yang berwujud

konteks sejarah bisa memengaruhi karya sastra yang dihasilkan oleh sastrawan

karena sastrawan adalah anggota masyarakat.

Pendapat Plato yang mengatakan bahwa sastra adalah tiruan dari

kenyataan mungkin kurang tepat. Seperti pendapat Aristoteles di atas, tidak

mungkin sastrawan menggambarkan kenyataan dalam karya sastra sama persis

dengan apa yang pernah ada dalam kenyataan. Bukan berarti Aristoteles

menganggapan bahwa tidak ada hubungan sama sekali antara sastra dan

kenyataan. Aristoteles berpendapat bahawa karya sastra dapat menyucikan jiwa

pembacanya. Proses penyucian jiwa ini disebut katharsis (Teew, 1988:221).

Kenyataan-kenyataan yang memengaruhi karya sastra antara lain keadaan

geografis, iklim dan budaya. Asal-usul daerah pengarang ternyata berkaitan

dengan tema-tema yang tampak di dalam karya sastra mereka (Saraswati,

2003:35). Disebutkan sebagai contoh, misalnya pengarang yang berasal dari Jawa

memasukkan budaya-budaya Jawa dalam karya sastra mereka yang berupa

falsafah wayang dan mistik. Dalam perkembangan kehidupan tidak hanya yang

113
ada dalam lingkungan geografis tertentu saja yang memengaruhi karya sastra.

Keadaan universal juga memengaruhi sastrawan dalam menciptakan karya sastra.

Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa seakan tidak ada sekat antara negara

satu dengan negara lain di dunia ini karena didekatkan oleh sarana informasi yang

sangat mudah. Oleh karena itu, apa yang terjadi di belahan bumi lain bisa

dinikmati dan diketahui oleh orang di bagian dunia lainnya. Dan jika dia adalah

seorang sastrawan, karya yang dihasilkannya juga akan dipengaruhi oleh

kenyataan yang terjadi di dunia.

A. Sastra Sebagai Dokumen Sosial

Sebuah karya sastra yang mumpuni, pada galibnya, tak hanya mampu

menyuguhkan rangkaian kata dan bahasa yang estetis dan segar, tetapi juga

memuat makna yang mendalam, baik yang tersirat maupun sengaja ditegaskan

oleh penulisnya. Sastra dapat memberikan suatu pengalaman batin yang baru yang

tak pernah terbayangkan sebelumnya, atau justru mengingatkan pembaca akan

hal-hal sederhana namun esensial yang kerap luput dari perhatian. Dengan

demikian, sastra sesungguhnya tidak menjadi hiburan atau pelipur semata tetapi

juga cermin kehidupan sosial yang dapat mencerahkan masyarakat pembacanya.

Adapun terminologi ‘Sastra sebagai dokumen sosial’ biasanya

diidentikkan dengan laporan penelitian, karya jurnalistik atau hasil survei, yang

kesemuanya disusun berdasarkan rincian data-data konkret yang merekam

rangkaian peristiwa atau kecenderungan yang ada dalam suatu masyarakat pada

kurun waktu tertentu. Pertanyaannya kemudian, bagaimana mungkin sebuah karya

sastra yang dikenal fiksional dapat menjadi bahan rujukan yang (dipercaya) dapat

114
menjadi refleksi kenyataan sosial di masyarakat? Bahkan menjadi semacam media

penyadaran bagi khalayak dalam menyikapi berbagai peristiwa faktual?

Sastra sebagai dokumen sosial bisa dikata merupakan sebentuk karya cipta

yang meski bersifat rekaan, namun bertolak dari realitas dan menggambarkan

kondisi sosial yang kontekstual. Henry James (Michel Zerraffa dalam Elizabeth

and Burns, 1973:36) mengatakan bahwa sastrawan menganalisis “data” kehidupan

sosial, memahaminya dan mencoba menentukan tanda-tanda yang esensial yang

tepat, guna dipindahkan ke dalam karya sastra. Terkait pertanyaan di atas, justru

karena sifatnya yang fiksional dan rekaan itulah sastra menjadi unggul jika

dibandingkan dengan karya jurnalistik atau laporan penelitian.

Lain halnya dengan esai atau makalah ilmiah yang mengeksplorasi

pemikiran semata dalam bentuk yang cenderung ‘kaku’, karya sastra

menggunakan bahasa yang lebih sugestif dan penuh nuansa rasa; mampu

mengungkapkan peristiwa sehari-hari dalam masyarakat sehingga menjadi lebih

menyentuh dan meninggalkan kesan mendalam. Pada berita atau risalah, penulis

kerapkali tidak dapat mencantumkan hal-hal yang dianggap dapat menyinggung

suatu sosok atau peristiwa yang dipandang tabu secara langsung. Namun, melalui

sastra, pendapat dan pemikiran penulis dapat dituangkan secara lebih leluasa,

sehingga hal-hal yang selama ini ‘tak terkatakan’ memperoleh kemungkinan

untuk diutarakan dan didiskusikan oleh khalayak. Adapun kedua pendekatan tadi,

yakni melalui kajian ilmiah ataupun karya fiksi, sesungguhnya sama-sama penting

dan layak untuk dijadikan rujukan bagi khalayak luas dan pemerintah, termasuk

ahli sejarah, dalam mengkonstruksi pelbagai hal yang telah terjadi sekaligus juga

115
berupaya merumuskan strategi pembangunan di masa depan, sehingga dengan

demikian sastra dapat dinyatakan sebagai suatu bentuk lain dari pelaporan

kenyataan atau peristiwa sosial yang terjadi dalam masyrakat pada suatu era

tertentu, ditilik dari fakta-fakta dalam masyrakat yang diangkat ke dalam karya

sastra tersebut.

116
BAB XI

HAKIKAT SASTRA

Pengertian tentang sastra sangat beragam. Berbagai kalangan

mendefinisikan pengertian tersebut menurut versi pemahaman mereka masing-

masing. Menurut A. Teeuw, sastra dideskripsikan sebagai segala sesuatu yang

tertulis; pemakaian bahasa dalam bentuk tulis. Sementara itu, Jacob Sumardjo dan

Saini K.M. mendefnisikan sastra dengan 5 buah pengertian, dan dari ke-5

pengertian tersebut dibatasi menjadi sebuah definisi. Sastra adalah ungkapan

pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, semangat, dan keyakinan

dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat

bahasa. Secara lebih rinci lagi, Faruk mengemukakan bahwa pada mulanya

pengertian sastra amat luas, yakni mencakup segala macam hasil aktivitas bahasa

atau tulis-menulis. Seiring dengan meluasnya kebiasaan membaca dan menulis,

pengertian tersebut menyempit dan didefinisikan sebagai segala hasil aktivitas

bahasa yang bersifat imajinatif, baik dalam kehidupan yang tergambar di

dalamnya, maupun dalam hal bahasa yang digunakan untuk menggambarkan

kehidupan itu.

Untuk mempelajari sastra lebih dalam lagi, setidaknya terdapat 5

karakteristik sastra yang mesti dipahami. Pertama, pemahaman bahwa sastra

memiliki tafsiran mimesis. Artinya, sastra yang diciptakan harus mencerminkan

kenyataan. Kalau pun belum, karya sastra yang diciptakan dituntut untuk

mendekati kenyataan. Kedua, manfaat sastra. Mempelajari sastra mau tidak mau

117
harus mengetahui apa manfaat sastra bagi para penikmatnya. Dengan mengetahui

manfaat yang ada, paling tidak kita mampu memberikan kesan bahwa sastra yang

diciptakan berguna untuk kemaslahatan manusia. Ketiga, dalam sastra harus

disepakati adanya unsur fiksionalitas. Unsur fiksionalitas sendiri merupakan

cerminan kenyataan, merupakan unsur realitas yang tidak 'terkesan' dibuat-buat.

Keempat, pemahaman bahwa karya sastra merupakan sebuah karya seni. Dengan

adanya karakteristik sebagai karya seni ini, pada akhirnya kita dapat membedakan

mana karya yang termasuk sastra dan bukan sastra. Kelima, setelah empat

karakteristik ini kita pahami, pada akhirnya harus bermuara pada kenyataan

bahwa sastra merupakan bagian dari masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa

sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu memiliki tanda-tanda, yang kurang

lebih sama, dengan norma, adat, atau kebiasaan yang muncul berbarengan dengan

hadirnya sebuah karya sastra.

Mimesis, Realitas, atau Mitos?

Kalau karya sastra disebut sebagai karya kreatif dari seorang

pengarang, maka muncul satu pertanyaan, apakah karya tersebut lahir begitu

saja, ibarat hujan turun dari langit, ataukah ada keterkaitan dengan

kenyataan dan fenomena lain? Seorang filosof Yunani, Plato telah

membicarakan hubungan antara karya sastra dengan kenyataan dalam

bukunya “Republic”. Buku itu tidak semata-mata berisi uraian mengenai

teori-teori sastra, tetapi juga berisi tentang sikap dan pendiriannya mengenai

sebuah negara ideal yang menjadi obsesi dalam hidupnya.

118
Negara ideal, dalam pandangan Plato, adalah negara yang mengacu

kepada dunia ide, atau dunia gagasan. Karena ide dan gagasan tersebut

identik dengan kebenaran. Setiap perbuatan manusia di negara ideal harus

mengacu kepada kebenaran, sementara kebenaran tertinggi hanya ada pada dunia

ide, dunia Ilahi (Rapar, 1996: 103). Karya seni menurut Plato tidak dapat

sampai ke dunia ide, ia hanya tiruan. Sedangkan tiruan tidak pernah sama

dengan yang ditiru.

Dalam teorinya, Plato menggunakan istilah mimesis, atau tiruan. Karya

sastra meniru kenyataan, sementara kenyataan sehari-hari hanyalah tiruan dari

dunia ide yang merupakan kenyataan tertinggi yang terletak pada dunia Ilahi.

Para sastrawan hanya meniru kenyataan sehari-hari yang merupakan tiruan pula

dari dunia ide, dunia Ilahi. Puisi yang diciptakan penyair hanyalah tiruan dari

dunia nyata. Sebab itulah karya seni, puisi misalnya, lebih rendah mutunya

dari pada kenyataan sehari-hari karena ia berada dua tingkat di bawah kenyataan

tertinggi, yaitu dunia Ilahi.

Dari uraian di atas, Plato membagi kenyataan menjadi tiga tingkatan.

Pertama, kenyataan yang tertinggi, yaitu kenyataan yang berada pada dunia

ide, atau dunia Ilahi yang langsung berhubungan dengan kebenaran hakiki.

Yang benar dan yang baik hanya ada pada dunia Ilahi. Kedua, kenyataan

yang berada di bawah kenyataan ideal, yaitu kenyataan sehari-hari. Kenyataan

ini hanya meneladani kenyataan hakiki. Sesuai dengan sifatnya, yaitu

meneladani, maka kenyataan kedua ini tidak dapat sepenuhnya dipercaya.

Dan ketiga, kenyataan imajinatif yang menjelma dalam bentuk karya seni.

119
Karya seni tidak langsung berhubungan dengan kenyataan hakiki, tetapi

meneladani kenyataan sehari-hari, atau kenyataan kedua (Atmazaki, 1990: 40).

Walaupun Plato menempatkan karya seni pada tataran ketiga, bukan

berarti karya tersebut tidak bernilai sama sekali. Plato tetap memberi tempat

dalam negara ideal untuk karya seni dan untuk seniman, asal dipenuhi

beberapa syarat. Di antaranya, seni yang bermanfaat adalah seni yang

berlandaskan moral yang baik, maka seorang seniman harus bermoral. Seni

harus benar (setepat mungkin) menggambarkan sesuatu, dan tema seni harus

mengekspresikan hal-hal yang baik.

Pandangan Plato di atas mendapat tantangan keras dari muridnya,

adalah Aristoteles. Bagi dia karya seni tidak semata-mata tiruan dari

kenyataan sehari-hari. Seniman tidak menyampaikan kenyataan sehari-hari

sebagaimana adanya. Akan tetapi karya seni adalah kenyataan artistik, yang

diciptakan dalam suatu proses kreatif. Tidak disangkal bahwa kenyataan

dalam karya seni bersumber dari kenyataan sehari-hari, tetapi kenyataan

dalam karya seni telah menampilkan kenyataan baru berdasarkan

kesanggupan seniman mengolah dan memadukan imajinasi dan kenyataan.

Kebenaran dalam karya seni tidak perlu diukur dengan kebenaran

yang ada dalam kenyataan sehari-hari. Karena kebenaran yang ada dalam

karya seni adalah kebenaran dalam rangka keseluruhan karya yang imajinatif.

Imajinasi merupakan wilayah khusus, daerah otonom, yang tidak perlu

dicocok-cocokkan dengan kenyataan. Walaupun sesuatu bersifat imajinatif

tetapi ia tidak harus irrasional. Sesuatu yang bersifat imajinatif boleh jadi

120
terjadi dalam kehidupan nyata, karena bagaimanapun juga karya sastra

merupakan refleksi kehidupan manusia. Sebagai sebuah kreasi imajinasi,

karya sastra memang tidak mampu menegakkan diri menjadi salah satu pusat

legitimasi persoalan-persoalan sosial atau proses-proses institusional

masyarakat yang memilikinya. Ia menjadi dusta jika kita memaksakan

kategori-kategori logis yang umum padanya. Bahkan ia menjadi nonsens

andaikata kita meminta penjelasan rasional-ilmiah kepadanya tentang berbagai

persoalan keseharian (Dahana, 2001: 25).

Mimesis dalam pandangan Aristoteles lebih luas dari pada Plato. Bagi

Aristoteles yang penting dalam karya seni adalah sejauh mana ia mampu

memperlihatkan kenyataan baru yang dapat memperluas cakrawala manusia

tentang kenyataan yang dihadapinya sehari-hari. Aristoteles justru meletakkan

karya seni di atas kenyataan fenomenal. Kerja seorang penyair lebih berharga

dari pada kerja seorang tukang. Karya seni membuat manusia menyadari

keberadaannya sebagai manusia yang mempunyai akal, pikiran, dan perasaan.

Karena itu, seperti yang diungkap Ekarini, pemikiran Aristoteles tentang karya

sastra mencakup beberapa konsep; pertama, seni sebagai penyucian jiwa lewat

satu proses yang disebut katharsis (penyucian).

Kedua, seniman menciptakan dunianya sendiri. Penyair tidak meniru

kenyataan, melainkan mencipta dunianya sendiri dengan probability. Ketiga,

seniman lebih tinggi dari pada tukang. Dan keempat, karya seni merupakan

sarana pengetahuan (Ekarini, 2003: 23).

121
Kemampuan berimajinasi merupakan kemampuan kreatif pengarang.

Kreatifitas pengarang memungkinkan munculnya unsur fiksionalitas dalam

karya sastra. Seseorang pengarang tidak mungkin berimajinasi kalau tidak

ada yang melandasinya, yaitu kenyataan fenomenal. Tidak akan ada imajinasi

tanpa kenyataan, dan tidak akan ada peneladanan tanpa imajinasi. Kehidupan

manusia senantiasa berada antara kenyataan dan impian (Atmazaki, 1990:41).

Antara mimesis dan kreativitas yang melahirkan unsur fiksionalitas

dalam karya sastra tidak dapat dipisahkan. Karya sastra adalah dunia fiksi

yang bertolak dari kenyataan. Tidak ada karya sastra yang sepenuhnya

meneladani kenyataan, di samping juga tidak ada yang sepenuhnya fiksi.

Apabila karya sastra sepenuhnya kenyataan maka ia akan berubah menjadi

karya sejarah, dan apabila sepenuhnya fiksi maka tidak akan ada seorang pun

yang mampu memahaminya. Karena itu, keterpaduan antara mimesis dan

kreativitas pengarang dalam menciptakan karya sastra menentukan keberhasilan

sebuah karya sastra.

Dari sisi bahasa, kaitan antara mimesis dan kreativitas juga

memperlihatkan hubungan dialektika. Bahasa yang terdiri atas urutan kata,

yang digunakan sehari-hari tidak merupakan pelahiran kenyataan semata tanpa

diwarnai oleh unsur fiksi, imajinasi, atau fantasi. Makna yang dikandungnya

tidak secara langsung merujuk kepada kenyataan, walaupun juga tidak dapat

terlepas dari unsur kenyataan. Bahasa, termasuk sastra bukanlah representasi

dari kenyataan, tetapi juga tidak fantasi belaka, melainkan alat yang secara

konseptual didasarkan atas pengetahuan dan pengalaman. Kenyataan bagi

122
manusia tidaklah murni tetapi dipengaruhi oleh wawasannya yang telah

terkonstruksi oleh alam. Kenyataan bagi manusia selalu diarahkan oleh

norma-norma, sistem, ideologi, pengetahuan, pengalaman, konvensi, dan

aturan yang berbeda–beda pada setiap masyarakat, dan yang mungkin akan

berubah sepanjang zaman. Jadi, manusia tidak menerima kenyataan sebagai

kenyataan, tetapi kenyataan sebagai ditafsirkan.

Mimesis adalah hak preogatif Tuhan, hanya Tuhan yang boleh

membuat tiruan, atau mitasi. Manusia adalah contoh paling konkrit dari tiruan ini,

sebab seperti tertulis dalam Genesis, Tuhan menciptakan manusia sesuai

dengan citra-Nya. Mengutip Manneke, dalam pengertian mimesis yang

dikedepankan Plato, Tuhan merupakan realitas tertinggi dan bersifat abstrak,

sementara realitas material yang inderawi adalah realitas sekunder yang

sesungguhnya merupakan imitasi dari yang ideal. Seni, termasuk tulisan

dipandang rendah nilainya karena merupakan tiruan dari tiruan. Sedangkan

di dalam Perjanjian Lama, tulisan pertama-tama bukanlah suatu tiruan,

melainkan merupakan sebuah tanda yang bersifat metonimis. Manusia melalui

upayanya sendiri tidak mampu menghadirkan Tuhan dalam tulisan, kecuali

atas kehendak dan perintah Tuhan sendiri. Oleh sebab itu, ada larangan untuk

mensakralkan atau menyembah segala sesuatu yang diciptakan manusia atau

mengasumsikan kehadiran Tuhan dalam karya-karya cipta itu. Bahkan secara

lebih tegas lagi, Tuhan melarang manusia untuk melakukan peniruan dalam

bentuk apa pun terhadap apa pun yang ada di alam ini, kecuali, sekali lagi,

atas perintah-Nya (Junus, 1981:106).

123
Sementara Umar Junus berpendapat lain, setiap karya satra adalah

mitos (norma, ideologi, konvensi, dan lain lain), mungkin mitos pengukuhan,

mungkin pula mitos pembebasan, atau kontra mitos. Apabila karya sastra

membenarkan mitos yang ada dalam karya sebelumnya, atau mitos yang

hidup dalam masyarakat maka karya sastra itu disebut membawa mitos

pengukuhan. Sebaliknya, apabila karya sastra menentang mitos yang sudah

ada maka karya sastra tersebut membawa mitos pembebasan, dan dengan

sendirinya ia membawa, atau membuat mitos baru sehingga terjadi kontra

mitos (Junus, 1981:74).

Karya sastra sesungguhnya berakar dari masa prasejarah dalam wujud

sastra lisan dan bentuk-bentuk mitos. Sebagaimana diungkap Richard Chase,

mitos adalah karya sastra yang harus dipahami sebagai kreasi estetik dari

imajinsai manusia. Pengertian mitos sebagai seni sastra berkaitan dengan

fungsi primer mitos dalam pemikiran manusia sebelum munculnya bidang-bidang

lain, seperti religi, ekonomi, teologi, dan lainnya. Sebagai ekspresi kesenian,

mitos mengungkapkan kekuatan magis impersonal yang mengacu kepada

pengalaman akan hal-hal yang luar biasa indah, menakutkan, dan bahkan

mengagumkan (Chase, 1969:70). Dalam pandangan Vickery, mitos

membentuk acuan, dan dari acuan itu muncul sastra yang bersifat psikologis,

histories, simbolis, ekspresif, dan impresif. Elemen-elemen kesusasteraan,

seperti alur, tema, perwtakan, dan citraan pada umumnya ditemukan di

dalam mitos dan cerita-cerita rakyat. Mitos merangsang penciptaan seni, dan

lebih dari itu, ia menawarkan konsep dan pola-pola kritik yang dapat

124
dimanfaatkan untuk menginterpretasi karya sastra. Dengan demikian,

pengetahuan mengenai tata bahasa mitos akan dapat memberikan pemahaman

yang lebih utuh dalam membaca dan memahami karya sastra (Vickery,

1982:83).

Memang sulit menentukan, apakah karya sastra sebuah mitos atau

kenyataan. Pada kenyataannya di tengah masyarakat, jika peristiwa yang ada

dalam karya sastra sesuai dengan sistim ideologi yang mereka anut maka

mereka akan menyukainya. Dan sebaliknya, jika peristiwa itu tidak sesuai

maka mereka tidak menyukainya. Sebenarnya, bila dipikir secara rasional,

tidak perlu membenci atau tidak membenci sebuah karya sastra, kalau karya

itu dianggap sebuah khayal. Namun begitulah kenyataan masyarakat penikmat

karya sastra. Dan tidak bisa dielak, sesungguhnya kehidupan manusia, dan

dengan sendirinya hubungan antar manusia dikuasai oleh mitos-mitos. Sikap kita

terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos ini

menyebabkan kita menyukainya, atau membencinya. Dengan demikian, mitos

akan meyebabkan kita mempunyai prasangka tertentu terhadap sesuatu hal yang

dinyatakan dalam mitos. Hanya lewat persentuhan diri kita dengan hal

tertentu tadi kita dapat mengetahui kebenaran, ataukah kesalahan dari mitos

tadi. Persentuhan ini mungkin dapat memperkuat mitos itu, atau mungkin

pula dapat meniadakannya.

Memang tidak mungkin ada kehidupan tanpa mitos. Kita hidup dengan

mitos-mitos yang membatasi segala tindak-tanduk kita. Ketakutan atau

keberanian kita terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos-mitos yang kita hidup

125
bersamanya. Manusia tidak dapat memisahkan antara mitos dan kenyataan.

Mereka hidup di antara keduanya. Di dalam kenyataan sehari-hari manusia

menemukan mitos, dan sebaliknya, di dalam mitos mereka menemukan

kenyataan. Demikian pula keberadaan karya sastra, ia adalah sebuah mitos

sekaligus adalah kenyataan.

126
BAB XII

KARYA SASTRA BEREAKSI

A. Hakikat Sastra dan Karya Sastra

Sastra secara etimologi diambil dari bahasa-bahasa Barat (Eropa)

seperti literature (bahasa Inggris), littérature (bahasa Prancis), literatur (bahasa

Jerman), dan literatuur (bahasa Belanda). Semuanya berasal dari kata

litteratura (bahasa Latin) yang sebenarnya tercipta dari terjemahan kata

grammatika (bahasa Yunani). Litteratura dan grammatika masing-masing

berdasarkan kata “littera” dan “gramma” yang berarti huruf (tulisan atau

letter). Dalam bahasa Prancis, dikenal adanya istilah belles-lettres untuk

menyebut sastra yang bernilai estetik. Istilah belles-lettres tersebut juga

digunakan dalam bahasa Inggris sebagai kata serapan, sedangkan dalam

bahasa Belanda terdapat istilah bellettrie untuk merujuk makna belles-lettres.

Dijelaskan juga, sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta

yang merupakan gabungan dari kata sas, berarti mengarahkan, mengajarkan

dan memberi petunjuk. Kata sastra tersebut mendapat akhiran tra yang

biasanya digunakan untuk menunjukkan alat atau sarana. Sehingga, sastra

berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk atau pengajaran. Sebuah kata lain

yang juga diambil dari bahasa Sansekerta adalah kata pustaka yang secara luas

berarti buku (Teeuw, 1984: 22-23).

Sumardjo & Saini (1997: 3-4) menyatakan bahwa sastra adalah

ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide,

127
semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang

membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Sehingga sastra memiliki unsur-

unsur berupa pikiran, 11 pengalaman, ide, perasaan, semangat, kepercayaan

(keyakinan), ekspresi atau ungkapan, bentuk dan bahasa. Hal ini dikuatkan

oleh pendapat Saryono (2009: 18) bahwa sastra juga mempunyai kemampuan

untuk merekam semua pengalaman yang empiris-natural maupun pengalaman

yang nonempiris-supernatural, dengan kata lain sastra mampu menjadi saksi

dan pengomentar kehidupan manusia.

Menurut Saryono (2009: 16-17) sastra bukan sekedar artefak (barang

mati), tetapi sastra merupakan sosok yang hidup. Sebagai sosok yang hidup,

sastra berkembang dengan dinamis menyertai sosok-sosok lainnya, seperti

politik, ekonomi, kesenian, dan kebudayaan. Sastra dianggap mampu menjadi

pemandu menuju jalan kebenaran karena sastra yang baik adalah sastra yang

ditulis dengan penuh kejujuran, kebeningan, kesungguhan, kearifan, dan

keluhuran nurani manusia. Sastra yang baik tersebut mampu mengingatkan,

menyadarkan, dan mengembalikan manusia ke jalan yang semestinya, yaitu

jalan kebenaran dalam usaha menunaikan tugas-tugas kehidupannya (Saryono,

2009: 20). Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial (Luxemburg,

1984: 23). Hal itu dikarenakan sastra ditulis dalam kurun waktu tertentu yang

langsung berkaitan dengan normanorma dan adat itiadat zaman itu dan

pengarang sastra merupakan bagian dari suatu masyarakat atau menempatkan

dirinya sebagai anggota dari masyarakat tersebut.

128
B. Syarat dan Tujuan Karya Sastra

1. Syarat Karya Sastra

Menurut Jakob Sumardjo dan Zaini KM (1988:5-8) ada sepuluh

syarat karya sastra bermutu, yaitu;

a. Karya sastra adalah usaha merekam isi jiwa sastrawannya.

b. Sastra adalah komunikasi, artinya bisa difahami oleh orang lain.

c. Sastra adalah sebuah keteraturan, artinya tunduk pada kaidah-kaidah

seni.

d. Sastra adalah penghiburan, artinya mampu memberi rasa puas atau

rasa senang pada pembaca.

e. Sastra adalah sebuah integrasi, artinya terdapat keserasian antara isi,

bentuk, bahasa, dan ekspresi pribadi pengarangnya.

f. Sebuah sastra yang bermutu adalah sebuah penemuan.

g. Karya yang bermutu merupakan (totalitas) ekspresi sastrawannya.

h. Karya sastra yang bermutu merupakan sebuah karya sastra yang pekat,

artinya padat isi dan bentuk, bahasa dan ekspresi.

i. Karya sastra yang bermutu merupakan hasil penafsiran kehidupan.

j. Karya sastra yang bermutu merupakan sebuah pembaharuan.

2. Fungsi Karya Sastra

Sastra Indonesia sebagai sebuah entitas penuh makna dalam dunia

bahasa, tentu memiliki fungsi akan kehadirannya. Tidak mungkin, sebuah

karya sastra disenandungkan tanpa adanya tujuan-tujuan tertentu dari si

129
penulis. Dalam menyusun sebuah karya sastra, penulis pasti memiliki

maksud dan tujuan yang kadang-kadang tidak dapat diartikan secara jelas.

Itulah keindahan sastra.

Setiap karya sastra pasti memiliki tujuannya masing-masing, dan

tak jarang, tujuan itu berbeda. Ada satu karya sastra yang bertujuan A,

sedang karya sastra lainnya bertujuan B. Hal itu wajar, mengingat

khazanah bahasa dan ide manusia memang tak terbatas. Dan berikut

adalah fungsi karya sastra,diantaramya;

a. Fungsi Rekreatif

Sastra adalah hiburan. Bagi beberapa orang, membaca sastra

merupakan hiburan tersendiri. Dengan membaca kisah sastra,

barangkali pembaca akan fokus pada konflik yang terjadi di dalamnya,

dan untuk sesaat melupakan konflik yang terjadi di dunia nyata.

Dengan membaca kisah sastra, barangkali pembaca akan tersenyum

sendiri menikmati keindahan kisah cinta yang tersaji, atau justru

menangis kecil ketika merasakan kesedihan dalam karya sastra, atau

tertawa, jika memang penulis memberikan lelucon yang menarik di

dalam karyanya. Yang jelas, karya sastra adalah hiburan bagi

pembacanya.

b. Fungsi Didaktif

Sastra adalah pendidikan. Dengan membaca karya sastra,

pembaca mungkin akan mendapatkan ilmu-ilmu baru di dalam

karyanya. Karena sejatinya, karya sastra adalah membahas tentang

130
berbagai aspek kehidupan, yang bisa membuat pembacanya merasakan

hal-hal yang sulit dirasakannya secara nyata. Misalnya, kita menjadi

tahu sejarah Indonesia, berkat membaca karya-karya sastra dari Pram.

c. Fungsi Estetis

Sastra adalah keindahan. Jangan lupakan gemulai tarian kata

yang berjejer indah di dalam karya sastra. Sastra harus memiliki

keindahannya sendiri. Tidak harus rumit dan sulit dimengerti, tapi

keindahan harus tetap ada. Setiap calon penulis karya sastra, harus

mampu mengartikan keindahan apa yang dimaksud itu.

d. Fungsi Moralitas

Sastra yang baik, selalu mengandung moral yang tinggi. Semua

karya sastra besar di Indonesia memiliki nilai moralnya sendiri. Kisah

Siti Nurbaya karya Marah Rusli misalnya, memberikan moral tentang

cinta dan budaya (salah satunya). Begitu pula dengan puisi Tanah Air

dari Muhammad Yamin, sarat moral akan kemerdekaan. Sastra adalah

moral.

e. Fungsi Religius

Sebagai bangsa yang dibuat berdasarkan kepercayaan atas

Tuhan Yang Maha Esa, tentu aspek agama sebaiknya tidak hilang dari

karya sastra. Ingat, sastra adalah hasil dari budaya masyarakat.

Artinya, masyarakat yang beragama, sudah seharusnya menyusun

karya sastra yang memberikan perspektifnya tentang agama.

131
3. Karya Satra Sebagai Reaksi Sosial

Sastra mengungkapkan banyak hal mengenaikehidupan ini.

Meskipun sastra merupakan imajinasi pengarangnya, hasil olah rasa dan

jiwa pengarang, sastra tidak dapat dilepaskan dari pengamatan,

pengalaman, dan pelajaran mengenai kehidupannya dan kehidupan

manusia atau makhluk hidup lainnya di dunia nyata yang kemudian oleh si

pengarang diwujudkan dalam dunia fiksi.

Sastra menggambarkan berbagai ragam konflik atau masalah yang

dihadapi oleh manusia atau makhluk hidup lainnya yang hidup di muka

bumi ini. Semua itu dikemas kembali oleh pengarang dalam bentuk karya

fiksi yang dapat dinikmati oleh penikmat sastra. Sastra yang baik

mengajarkan banyak hal kepada penikmatnya seperti empati, keberanian,

kebaikan, dan berbagai pembelajaran lainnya mengenai kehidupan ini.

Banyak hal yang apat diambil dari suatu karya sastra yang dari hari ke hari

terus bermunculan bersamaan dengan munculnya pengarang-pengarang

baru yang juga ikut meramaikan ranah sastra di tanah air maupun dunia

internasional.

Hingga saat ini berbagai karya sastra terus hadir seiring dengan

perputaran kehidupan manusia yang semakin berkembang dan terus

mengalami perubahan dari hari ke hari bersama dengan perubahan tahap

demi tahap kehidupan manusia. Kehidupan di dunia ini setiap menit dan

detiknya seiring dengan perputaran kehidupan manusia terus mengalami

berbagai pergantian dalam ragam kisahnya. Karya sastra yang telah dibaca

132
atau didengar oleh penikmat karya sastra agar pembelajaran yang terdapat

di dalamnya tidak menjadi sia-sia, pembelajaran tersebut dapat diambil

oleh si penikmat karya sastra untuk di terapkan dalam kehidupannya.

Selain itu, pesan yang terdapat dalam karya sastra dapat dijadikan

pengingat atau nasihat agar penikmat karya sastra sastra dapat menjalani

kehidupan yang lebih baik atau sebagai acuan untuk mengatasi

permasalahan kehidupan ketika masalah yang dihadapi serupa dengan

masalah yang dialami tokoh yang digambarkan dalam karya sastra.

Sastra mengungkapkan begitu banyak hal mengenai kehidupan ini,

tidak hanya yang sebatas yang dapat kita lihat atau kita dengar, sastra

bahkan dapat menggambarkan berbagai hal yang terjadi di berbagai tempat

di muka bumi ini. Sastra juga menggambarkan berbagai hal yang kadang

menggelikan membuat penikmatnya menjadi tersenyum atau tertawa.

Kadang karya sastra juga mengingatkan tanpa menggurui sehingga

orang yang sedang menikmati suatukarya sastra dapat mengambil

pelajaran di alam suatu karya sastra setelah ia meresapi dan memahami

nilai-nilai kehidupan yang berada dalam suatu karya sastra. Sehubungan

dengan itu Sarumpaet (dalam jendela bahasa dan sastra) mengemukakan

bahwa sastra memampukan manusia menjadi lebih manusia: mengenal diri

sendiri, sesama, lingkungan, dan berbagai permasalahan kehidupan.

Karya sastra selain menjadi sarana untukmengingatkan, ia juga

dapat menjadi sebagai sarana hiburan di tengah penatnya rutinitas

kehidupan di dunia ini. Lihatlah banyak orang yang sedang membaca

133
novel, cerpen atau puisi di waktu istirahat mereka atau di waktu senggang.

Karya sastra dapat menjadi media untuk mengatasi kepenatan dan

kesuntukan pikiran dari berbagai beban yang menumpuk dalam pikiran

yang diakibatkan oleh masalahmasalah kehidupan yang pasti dihadapi

olehsemua manusia selama masih hidup di dunia ini.

Isi dari karya sastra tersebut dapat mengajak penikmatnya untuk

merenung sejenak bahwa masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia

dapat saja masalah yang sama meskipun dalam bentuk yang berbeda. Ini

sesuatu yang dapat dipahami oleh seseorang dalam proses pemahamannya

mengenai suatu karya sastra.

Hal ini bersifat umum yang dapat terjadi di bagian mana pun di

bumi ini. Pemahaman seseorang mengenai suatu karya sastra dapat

membuatnya mengerti bahwa kehidupan ini bersifat dinamis dan bagaikan

siklus yang terus mengalami rotasi. Tidak ada yang stagnan tanpa

perubahan karena hakikat kehidupan ini dibarengi dengan adanya

perubahan dari waktu ke waktu.

Hal ini merupakan suatu keniscayaan karena itu sudah merupakan

kodrat kehidupan yangmerupakan bagian dari kehidupan manusia yang

menjalani keseharian dan rutinitasnya dalam rangka pemenuhan kehidupan

dan peningkatan kesejahteraan hidupnya. Karya sastra merupakan

perwujudan ide pengarangnya yang diwujudkan dalam karyanyayang

dapat dinikmati oleh masyarakat luas yang dapat menjadi media yang

dapat dijadikan bahan bacaan untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat.

134
Karya sastra dapat menjadi sarana untuk mengajak masyarakat

untuk lebih rajin membaca. Ketika kegiatan membaca sudah menjadi

bagian dari kehidupan maka buku-buku yang lain pun akan ikut dibaca,

semakin banyak bahan bacaan yang dibaca akan ikut berpengaruh terdapat

pengetahuan yang didapatkan oleh masyarakat yang otomatis dapat

meningkatkan kecerdasanmasyarakat.

Kecerdasan yang meningkat akan berpengaruh terhadap

kesejahteraan kehidupan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan

hidupnya. Semakin cerdas masyarakat maka akan semakin maju pula

kehidupannya. Sastra memiliki banyak arti penting dalam kehidupan.

Sastra tumbuh dan berkembang bersamaan dengan kehidupan masyarakat

yang terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

Bahkan dalam suatu karya sastra secaratidak langsung dapat

diketahui bagaimana peradaban masyarakat, bagaimana tatanan dan

budaya serta religi dalam suatu masyarakat. Sastra juga dapat menjadi

bagian dari upaya untuk meminimalkan kejahatan dalam masyarakat.

Semakin aktif masyarakat dalam berkegiatan termasuk dalam bersastra

akan membuat waktu yang dimiliki dapat digunakan untuk kegiatan-

kegiatan yang bermanfaat.

Di samping itu, berkegiatan dalam bersastra akan ikut

menumbuhkan dan mengembangkan sisi-sisi kemanusiaan dalam diri

manusia yang akan ikut berpengaruh terhadap perilaku manusia dalam

membentuk sifat-sifat dan sikap yang lebih beradab dan lebih peduli

135
terhadap sesama.

4. Contoh Karya Sastra Bereaksi

15 Petikan Puisi Wiji Thukul Ini Bisa Bikin Marah, Juga

Menangis. Hidup dalam Kejaran, Juga Ancaman 2 YEARS

AGO BY TIRSARI

Wiji Thukul. Sebagian dari kamu mungkin memang sudah tak

asing saat mendengar dua kata tersebut. Apalagi baru-baru ini

film Istirahatlah Kata-Kata yang ditayangkan di bioskop Tanah Air cukup

menarik perhatian publik. Ya, benar! Wiji Thukul merupakan nama

seorang aktivis sekaligus penyair yang menjadi korban represi rezim orde

baru di sekitar era 1998. Ia terus lari dan diburu untuk ditangkap oleh

jaringan Soeharto, hingga akhirnya bapak dari dua orang anak tersebut

sampai kini tak pernah diketahui keberadaannya.

Sebagai aktivis, sepak terjangnya menyuarakan kemiskinan,

perampasan tanah, kesejahteraan buruh, dan demokrasi dalam JAKKER

(Jaringan Kerja Kesenian Rakyat) dan kemudian PRD (Partai Rakyat

136
Demokratik) memang dianggap sebagai ancaman serius bagi

rezim pemerintah Soehartowaktu itu. Lalu bagaimana sebagai penyair?

Mungkin karyanya masih kalah secara artistik dibanding WS Rendra,

Chairil Anwar, atau beberapa penyair adiluhung Tanah Air lainnya.

Namun, yang membuat Wiji Thukul haram untuk dilupakan adalah

sosoknya sendiri yang bisa melebur dengan sajak-sajaknya yang tajam

bagai sembilu. Sajaknya sama berbahayanya dengan aktivismenya. Penuh

nyali, berapi, dan nyata. Tak sedikit penyair yang menulis tentang

perjuangan sosial dan politik, namun Wiji Thukul mengalami semua itu

secara langsung. Ia adalah tokoh dalam puisinya. Membaca puisinya

membuat kita sadar bahwa maut senantiasa mengawasinya. Dan ketika ia

bicara tentang dirinya sendiri, kita mahfum ada jutaan rakyat jelata

tertindas yang terwakili, laksana akar rumput yang gersang dan terinjak-

injak namun tak mudah mati.

Mungkin di masa-masa itu kamu masih berada dalam usia dini, di

mana belum memahami betul apa yang terjadi. Zaman macam apa yang

bisa membuat seorang penyair tiba-tiba hilang begitu saja? Sericuh apa

kondisi sosial politik waktu itu? Beberapa bukti serta asumsi kuat yang

muncul membuat banyak pihak menduga ia sengaja dihilangkan karena

terlalu gigih mengutuki kelaliman negara. Namun, justru di situlah puisi-

puisinya berperan. Kita bisa menyimaknya untuk tahu seberapa bengis dan

serakah pemerintahan di kala itu. Karena Wiji Thukul tak pernah mati, ia

terus hidup dalam puisi-puisinya.

137
a. Secara tak langsung puisi ini seperti merujuk pada kondisi rumah-

rumah masyarakat di masa itu, begitu sempit dan kumuh

Suara dari Rumah-rumah Miring, 1987. via hipwee.com

b. Telihat pula bagaimana cara Wiji Thukul berusaha mengajak muda-

mudi di masa itu untuk tak hanya diam dan berusaha agar melakukan

perlawanan

Ucapkan Kata-katamu. via hipwee.com

c. Apapun yang terjadi saat itu, Wiji Thukul tak pernah berharap jika

kebenaran dibiarkan terbungkam

138
Ceritakanlah Ini Kepada Siapa Pun, 1991. via hipwee.com

d. “Apa yang berharga dari puisiku…”

Apa yang Berharga dari Puisiku, 1986. via hipwee.com

e. Kutipan puisi ini menunjukkan jika pribadi Wiji Thukul adalah sosok

yang tak pernah gentar

139
Puisi Menolak Patuh, 1997. via hipwee.com

f. Seperti bisa dipahami kalau Wiji Thukul berterima kasih pada kondisi

di mana banyak pelajaran bisa diambilnya, juga untuk anak dan

istrinya

Para Jenderal Marah-marah (5) via hipwee.com

g. “Tidurlah, kata-kata, kita bangkit nanti…”

140
Istirahatlah, Kata-kata, 1988. via hipwee.com

h. Dalam kondisi apapun, penyair satu ini memang seperti tak lelah dan

terus berusaha menulis untuk mengabadikan beragam perjalanannya

Dalam Kamar 6 x 7 Meter. via hipwee.com

i. Bantal tas dan punggung tangannya pun seperti menjadi saksi

perjalanan melarikan diri saat Thukul tengah buron

141
Para Jenderal Marah-marah (2) via hipwee.com

j. Ia pun seperti tak habis-habisnya menceritakan penindasan bagi

banyak masyarakat di waktu lalu

Edan, 1992. via hipwee.com

k. Seperti tak ada kepastian kapan ia pulang, nyatanya…. Ia memang tak

lagi pernah pulang

142
Para Jenderal Marah-marah (3) via hipwee.com

l. “Seperti tikus selokan…”

Tikus, 1997. via hipwee.com

m. Bagi Thukul pergerakan tersebut memang membuat segala kebenaran

tak lagi nampak nyata dan lurus sewajarnya

143
Hukum, 1996. via hipwee.com

n. Seperti ingin menjelaskan kalau kepergiannya adalah untuk merampas

kembali haknya yang telah dirampas dan dicuri oleh pemerintah

Catatan, 1997. via hipwee.com

o. Apa pun dan bagaimana pun kondisinya, penulis tetaplah harus

menulis. Itulah yang dilakukan Wiji Thukul

144
Puisi di Kamar, 1996. via hipwee.com

Itu dia beberapa karya Wiji Thukul yang bisa dikenang sampai

dengan hari ini. Berbagai puisi yang ditulisnya seperti bisa menjadi wadah

untuk menapak tilas sejarah Orde Baru. Tiada raganya yang bisa kita

temui hingga saat ini, namun sajak-sajaknya adalah dokumentasi terbaik

tentang kisah sebuah penindasan….. dan perlawanan!

C. Kesimpulan

Karya sastra memiliki syarat-syarat agar dapat dikatakan sebagai karya

yang bermutu selain itu juga karya sastra memiliki beberapa fungsi salah

satunya adalah sebagai media bereaksi seperti yang dilakukan oleh Wiji

Thukul di masa Orde Baru dengan puisi-puisinya itu merupakan bentuk

curahan hati masyarat yang disampaikan melalui sebuah karya sastra.

145
BAB XIII

SASTRA DAN PEMFIKTIFAN KENYATAAN

A. Pengertian Sastra Secara Umum

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, sastra adalah bahasa (kata-kata, gaya

bahasa) yang dipakai di kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari). Sastra merupakan

salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia tidak

dapat ditolak, bahkan kehadiran tersebut diterima sebagai salah satu realitas sosial

budaya. Hingga saat ini sastra tidak saja dinilai sebagai sebuah karya seni yang

memiliki budi, imajinasi, dan emosi, tetapi telah dianggap sebagai suatu karya

kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual di samping konsumsi

emosi.

Sastra sebagai salah satu bentuk kreasi seni, menggunakan bahasa sebagai

media pemaparnya. Akan tetapi, berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-

hari, bahasa dalam karya sastra memiliki kekhasan sendiri.

Ada sejumlah definisi mengenai sastra yang perlu dipertimbangkan, dalam

rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat,

antara lain:

1. Pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek aspek

kemasyarakatannya.

2. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek

kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.

146
3. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya masyarakatyang

melatar belakanginya.

4. Analisis terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan seberapa jauh

peranannya dalam mengubah struktur kemasyarakatan.

5. Analisis yang berkaitan dengan manfaat karya dalam membantu

perkembangan masyarakat.

6. Analisis mengenai seberapa jauh kaitan langsung antara unsur-unsur karya

dengan unsur-unsur masyarakat.

7. Analisis mengenai seberapa jauh keterlibatan langsung pengarang sebagai

anggota masyarakat.

8. Sosiologi sastra adalah analisis institusi sastra.

9. Sosiologi sastra adalah kaitan langsung antara karya sastra dengan

masyarakat.

10. Sosiologi sastra adalah hubungan searah (positivistik) antara sastra dengan

masyarakat.

11. Sosiologi sastra adalah hubungan dwi arah (dialektik) antara sastradengan

masyarakat.

12. Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antarasastra

dengan masyarakat.

13. Pemahaman yang berkaitan dengan aktivitas kreatif sebagai semata-mata

proses sosiokultural.

14. Pemahaman yang berkaitan dengan aspek-aspek penerbitan dan Pemasaran

karya.

147
Karya sastra imajinatif menjelaskan tentang fakta kehidupan juga realitas

kehidupan. Sastrawan bersentuhan dengan realitas dan kemudian menafsirkannya,

menjelaskannya, atau bereaksi demikian, sastra imajinatif lebih bertugas untuk

menerangkan, menjelaskan, memahami, membuka pandangan baru, memberikan

makna kepada realitas kehidupan. Dengan kata lain, sastra imajinatif

“menyempurnakan” realitas agar manusia lebih mengerti dan bersikap yang

semestinya terhadap realitas kehidupannya. Fakta atau realitas hidup sehari-hari

tidak begitu penting dalam sastra imajinatif, karena memang tujuannya bukan

memberikan informasi tentang fakta kepada pembacanya. Kaitan sastra imajinatif

dengan realitas: sastra imajinatif memberi makna yang baru terhadap realitas,

meskipun dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan realitas.

Sebagai sebuah dunia miniatur, karya sastra berfungsi untuk

menginventarisasikan sejumlah besar kejadian-kejadian, yaitu kejadian-kejadian

yang telah dikerangkakan dalam pola-pola kreativitas dan imajinasi. Pada

dasarnya, seluruh kejadian dalam karya, bahkan juga karya-karya yang termasuk

ke dalam genre yang paling absurd pun merupakan prototype kejadian yang

pernah dan mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan ciri kreativitas

dan imajinasinya, sastra memiliki kemungkinan yang paling luas dalam

mengalihkan keragaman kejadian alam semesta ke dalam totalitas naratif

semantis, dari kuantitas kehidupan sehari-hari ke dalam kualitas dunia fiksional.

Karya sastra adalah seni. Dalam seni banyak unsur kemanusiaan yang

masuk di dalamnya, khususnya perasaan, sehingga sulit diterapkan untuk metode

148
keilmuan. Perasaan, semangat, kepercayaan dan keyakinan sebagai unsur sastra

yang sulit dibuat batasannya.

Karya sastra adalah karya yang dibuat oleh pengarang atau sastrawan.

Tujuannya adalah memberi kesan dan menghibur kepada pembacanya. Sebuah

karya sastra tidak akan terlepas dari fiksionalitasnya yang menceritakan berbagai

masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan Tuhan. Selain itu, karya

sastra juga memiliki tujuan estetik, sebuah karya tetap merupakan cerita yang

menarik, memiliki bangunan struktur yang koheren dan bernilai estetis.

Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknik-teknik

sastra tradisional seperti simbolisme dan matra bersifat sosial karena merupakan

konvensi dan norma masyarakat. Lagi pula sastra “menyajikan kehidupan”, dan

“kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra

juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia.

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra, Sosiologi berasal dari

akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman)

dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan

berikutnya mengalami perubahan makna, sosio/socius berarti masyarakat,

logi/logos berarti ilmu. Jadi sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan

pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari

keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat, sifatnya umum,

rasional, dan empiris. Sastra dari akar sas (Sansakerta) berarti mengarahkan,

mengajar memberi petunjuk dan intruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi,

sastra adalah kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran

149
yang baik.Studi sosiologis didasarkan atas pemahaman bahwa setiap fakta kultural

lahir dan berkembang dalam kondisi-kondisi sosial historis tertentu. Sistem

produksi karya seni, karya sastra khususnya, dipandang sebagai akibat hubungan-

hubungan bermakna interaksi antar individu disatu pihak, hubungan-hubungan

bermakna individu dan kelompok dengan struktur sosial dipihak lain. Sistem

produksi karya sastra dengan sendirinya tidak hanya didasarkan atas komunikasi

linear antara pengarang, penerbit, patron, dan masyarakat pembaca pada

umumnya, melainkan juga tradisi dan konvensi sebagai warisan literernya.

Sosiologi sastra adalah lebih merupakan salah satu pendekatan terhadap

sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan yang mana masyarakat

selalu erat dan melekat dalam kehidupan. Karya sastra merupakan dokumen sosial

yang direfleksikan pada waktu sastra tersebut dibuat. Penelitian sosiologi sastra

dipandang sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya pada

waktu tertentu.

Penelitian sosiologi sastra mengungkap refleksi tiga hal, yaitu ras, waktu,

dan lingkungan, karena ketiga hal tersebut mencerminkan iklim rohani suatu

kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta karyanya.

Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam

masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala-gejala alam.

Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan

kebudayaan.

Dalam penelitian sosiologi sastra dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

150
Pertama adalah sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra.

Masalah yang berkaitan disini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar

belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari

berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra.

Kedua adalah isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam

karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial.

Ketiga adalah permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra.

Sejauh mana sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan, dan

perkembangan sosial. Adalah pertanyaan yang termasuk dalam ketiga jenis

permasalahan di atas: sosiologi pengarang, isi karya sastra yang bersifat sosial,

dan dampak sastra terhadap masyarakat.

Sastra memang adalah sebuah bentuk ekspresi tidak langsung, maka dalam

praktiknya baik itu bentuk karya sastra dalam puisi maupun prosa, bahasa yang

menjadi jembatanya, tidak hanya sebatas pada bahasa sebagai langue (bahasa

dalam sistem linguistik) namun juga memiliki “makna” dalam sastra yang dapat

merefleksikan banyak hal dan multi tafsir. (Suwardi Endraswara, 2013). Bahasa

yang digunakan sastra tampak sederhana dan mudah dimengerti tetapi kadang

kala terasa sulit untuk dianalisis. Gambaran bahasa sastra terhadap realitas sangat

metaforis. Karena itu, realitas konkret manusia secara sederhana dapat dipahami

melalui bahasa sastra, tetapi membutuhkan analisis kritis agar mencapaimakna

sebuah realitas yang sesungguhnya.

Karya sastra yang ditulis atau diciptakan oleh sastrawan tentu bukan hanya

untuk dibaca sendiri, melainkan melainkan merupakan ide, gagasan, pengalaman,

151
dan amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dengan harapan, apa yang

disampaikan itu menjadi masukan, sehingga pembaca dapat mengambil

kesimpulan dan menginterpretasikannya sebagai sesuatu yang dapat berguna bagi

perkembangan hidupnya. Hal ini membuktikan, bahwa karya sastra dapat

mengembangkan kebudayaan. Dengan kalimat lain.

Karya sastra selalu bermuatan sosial budaya. Hal itu terjadi, karena

sastrawan juga mengalami pengaruh lingkungan dan zamannya dalam

menciptakan karya. Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa karya sastra

adalah benda budaya; ia tidak jatuh dari langit, tetapi diciptakan manusia yang

merupakan individu sekaligus bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakatnya.

Jadi pada dasarnya, karya sastra (sastra) merupakan kristalisasi nilai-nilai

dari suatu masyarakat. Meskipun karya sastra yang baik pada umumnya tidak

langsung menggambarkan atau memperjuangkan nilai-nilai tertentu, tetapi

aspirasi masyarakat mau tidak mau tercermin dalam karya sastra tersebut. Oleh

karena itu, karya sastra tidak terlepas dari sosial-budaya dan kehidupan

masyakarat yang digambarkannya.

Bradbury menjelaskan bahwa karya sastra pada dasarnya merupakan

rangsangan bagi kebebasan yang ada dalam diri pembaca, karya sastra menyajikan

kebebasan yang ingin diungkapkan oleh pembaca. Itulah sebabnya pada saat-saat

tertentu masyarakat harus memberikan toleransi yang semakin besar terhadap

karya sastra. Karya sastra itu mendidik, memperluas pengetahuan tentang

kehidupan, meningkatkan kepekaan perasaan, dan membangkitkan kesadaran

pembaca.

152
Menurut Lukács, sastra ditulis berdasarkan pandangan (gagasan) tertentu, itu

sebabnya, ia mengeritik sastra modernis karena sastra ini berpura-pura tanpa

pamrih, berpura-pura objektif terhadap masalah yang ada di dunia. Tanpa

pandangan tertentu, maka tidak mungkin dibedakan antara realitas yang dibuat-

buat dengan realitas yang sungguh-sungguh penting. Hilangnya pandangan

tertentu itu yang oleh Lukács disebut humanisme sosialis. Menyebabkan sastra

modernis dibebani dengan wawasan yang subjektif dan cenderung menerima

pengalaman subjektif sebagai kenyataan. Sastra seperti itu akan menggambarkan

manusia sebagai makhluk yang dikucilkan dari dirinya sendiri dan masyarakatnya.

Jelaslah, bahwa sastra semacam itu kehilangan hubungan dengan kehidupan

sosial.

Dari beberapa batasan sastra di atas terlihat bahwa sastra itu memiliki

kepentingan terhadap kehidupan atau masyarakat. Walaupun sebenarnya sangat

sulit bagi sastrawan untuk menggambarkan realitas yang sungguh-sungguh,

karena di dalam penciptaan sastra ada imajinasi, ada pengalaman yang sangat

subjektif sifatnya, dan ada kesan yang ingin diwujudkan oleh sang sastrawan.

Untuk itu, barangkali yang dikehendaki ialah agar karya sastra mengandung

pesan tentang kehidupan dan masyarakat tertentu. Melihat perkembangan sastra

Indonesia, banyak karya-karya yang dihasilkan oleh pengarang pada zamannya

dengan mengangkat tema dari realitas kehidupan sosial di jamannya masing-

masing, karena kadang kala, karya sastra merupakan pengalaman langsung dari

pengarang yang dituangkan ke dalam karya sastranya. Dari pengalaman yang

berdasarkan realitas kehidupannya itu, pengarang, mencoba membagi kepada

153
masyarakat umum tentang realita yang terjadi dengan menambahkan sejumlah

pengembangan melalui bahasa dan penggambaran yang imajiner.

Jadi dari pemaparan di atas dapatlah dilihat bahwa, walaupun sastra

merupakan kristalisasi situasi dan keadaan nyata dalam masyarakat sosial dengan

berbagai fenomena serta konfliknya, namun sastra tetap memiliki kekhasan

tersendiri dalam mengungkapkan realitas tersebut. Sastra tidak secara serta-merta

memasukkan realitas kehidupan dalam muatannya dengan langsung membawa

segenap realitas tersebut secara gamblang melainkan melalui gaya bercerita yang

khas memasukkan unsur-unsur tersebut dalam muatannya. Sehingga dengan

demikian realitas sastra merupakan muatan-muatan yang dapat ditemukan secara

obyektif dalam karya sastra itu sendiri, yakni terbatas pada hal-hal yang “terbaca”

pada karya sastra tersebut, yang belum tentu merupakan fakta yang sesungguhnya

dari sebuah peristiwa yang menginspirasi karya sastra tersebut.

Dalam kaitan hubungan antara sastra dengan perubahan sosial, peran

sosiologi sastra sangat penting , karena ssiologi sastra hanya mengkhususkan diri

menalaah sastra dalam hal sosial kemasyarakatan, Wellek dan Werren membagi

telaah sosiologi menjadi 3 klasifikasi :

1. Sosiologi pengarang, yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial,

ideology politik, dan yang lain-lain yang menyangkut pengarang.

2. Sosiologi karya sastra, mempermasalahkan tentang suatu karya sastra yang

menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra

tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikan.

154
B. Pengertian Fiksi, Fiktif dan Pemiktifan Kenyataan

1. Fiksi

Fiksi adalah cerita atau latar yang berasal dari imajinasi dengan kata lain,

tidak secara ketat berdasarkan sejarah atau fakta. Fiksi bisa dieskpresikan dalam

beragam format, termasuk tulisan, pertunjukan langsung, film, acara

televisi, animasi, permainan video, dan permainan peran, walaupun istilah ini

awalnya dan lebih sering digunakan untuk

bentuk sastra naratif, termasuk novel, novella, cerita pendek, dan sandiwara. Fiksi

biasanya digunakan dalam arti paling sempit untuk segala "narasi sastra".

Karya fiksi merupakan hasil dari imajinasi kreatif, jadi kecocokannya

dengan dunia nyata biasanya diasumsikan oleh audiensnya. Kebenaran dalam

karya fiksi tidak harus sejalan dengan kebenaran yang berlaku di dunia nyata,

misalnya kebenaran dari segi hukum, moral, agama, logika, dan

sebagainya. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi di dunia nyata bisa saja terjadi di

dunia fiksi. Dengan demikian, fiksi umumnya tidak diharapkan untuk hanya

menampilkan tokoh yang merupakan orang nyata atau deskripsi yang akurat

secara faktual. Alih-alih, konteks fiksi, yang tidak persis berpatokan pada dunia

nyata, secara umum dipahami sebagai sesuatu yang lebih terbuka

terhadap interpretasi. Tokoh dan peristiwa di dalam dunia fiksi mungkin berlatar

di dalam konteks mereka sendiri yang sepenuhnya terpisah dari dunia nyata:

suatu semesta fiksi yang mandiri. Fiksi merupakan lawan kata untuk nonfiksi,

yang tokoh-tokohnya memegang tanggung jawab untuk hanya menampilkan fakta

155
sejarah dan faktual; akan tetapi, perbedaan antara fiksi dan nonfiksi bisa menjadi

tidak jelas,

2. Fiktif

Kaum realisme sosialis meyakini bahwa sastra mencerminkan kehidupan

atau proses sosial. Pada hakikatnya sastrawan tidak bisa terlepas atau melepaskan

diri dari kenyataan sosial. Pengarang tidak sekadar menampilkan kembali fakta

yang terjadi dalam kehidupan, tetapi telah membalurinya dengan imajinasi dan

wawasannya. Oleh karena itu, meskipun tidak akan sama persis dengan kehidupan

nyata, karya sastra sering dianggap dan dijadikan fakta sejarah sehingga lahirlah

istilah sastra sejarah. Sastra sejarah merupakan karya sastra yang di dalamnya

terkandung nilai-nilai sejarah atau fakta-fakta sosial yang terjadi dalam

masyarakat. Dengan mengandalkan kreativitasnya, seorang pengarang

menginterpretasikan peristiwa sejarah pada waktu dan tempat tertentu ke dalam

karyanya (sastra sejarah). Dalam sastra sejarah, dengan demikian, fakta sejarah

telah diolah (dengan imajinasi dan kreativitas pengarang) dan dituangkan kembali

melalui tokoh, seting, dan/atau peristiwa yang dibangun. Mungkin, itulah

sebabnya muncul pendapat bahwa sastra sejarah hanyalah suatu upaya untuk

merekonstruksi peristiwa sejarah yang pernah terjadi, bukanlah sebuah buku

referensi sejarah yang ditulis dengan metode sejarah (Junaidi, “Novel Sejarah:

Antara Fiksi dan Fakta” dalam Sastra yang Gundah, 2009).

Sekalipun bersifat fiktif dan imajinatif, sebagai karya yang mengangkat

peristiwa sejarah menjadi obyeknya, sekurang-kurangnya sastra sejarah memiliki

156
dua manfaat: (1) dari segi pembaca, sastra sejarah dapat digunakan untuk

menerjemahkan peristiwa sejarah sesuai dengan maksud dan kadar kemampuan

pengarang melalui bahasa imajinernya; dan (2) dari segi pengarang, sastra sejarah

dapat menjadi sarana penyampai pikiran, perasaan, dan tanggapannya terhadap

peristiwa (fakta) sejarah. Dalam hal yang terkhir ini, sastra sejarah dapat menjadi

“dunia” penciptaan kembali sebuah peristiwa (fakta) sejarah sesuai dengan

pengetahuan dan daya imajinasi pengarang.

Atas dasar itu, kriteria (harapan) atas sastra sejarah pun ditetapkan oleh para

ahli. George Lukacs, misalnya, menulis, novel sejarah harus mampu

menghidupkan masa lampau, yang membuat pembacanya mengalami kejadian-

kejadian, merasakan suasana sesuai zaman, berhadapan dengan tokoh-tokoh yang

dihidupkan, mengenali perasaan-perasaan mereka, semangat mereka, pikiran-

pikiran mereka, dan motif-motif perbuatan mereka. Novel sejarah tidak cukup

hanya memberikan pengetahuan tetapi pengalaman konkret subyektif dalam

bentuk gambaran-gambaran (dalam Suharno, “Membudayakan Novel Sejarah”,

2009). Sementara itu, filosofi penting dalam ilmu sejarah pun mengatakan bahwa

masa lampau merupakan pelajaran bagi masa kini dan masa yang akan datang.

Apabila berupa kebaikan, masa lampau itu dapat dijadikan contoh untuk masa

depan. Sebaliknya, apabila berupa kesalahan, masa lampau itu bisa dijadikan

pelajaran agar tidak terulang lagi di masa yang akan datang.

Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang telah melahirkan

(karya) sastra sejarah adalah “kerusuhan” Mei 1998. Peristiwa sejarah yang

sempat mencoreng nama baik Indonesia dan telah membangkitkan kemarahan

157
dunia itu, oleh sejumlah pengarang, diabadikan dalam sastra sejarah, baik berupa

puisi, cerpen, maupun novel. Denny J.A., misalnya, mengabadikannya dalam Atas

Nama Cinta (kumpulan puisi, 2012). Salah satu puisinya, “Sapu Tangan Fang

Yin”, bercerita tentang kasus perkosaan seorang gadis keturunan Tionghoa pada

kerusuhan Mei 1998. Dengan mengambil Jakarta sebagai latar tempat peristiwa,

pengarang menggambarkan situasi yang miris: rumah-rumah dibakar, toko-toko

dijarah, kerumunan massa membuas, serta perkosaan dan penganiayaan

merajalela. Saat itu, Indonesia benar-benar menjadi sasaran kemarahan dunia

karena peristiwa memalukan dengan adanya kejadian pemerkosaan dan tindakan

rasialisme yang mengikuti peristiwa gugurnya pahlawan reformasi.

Begitu pula yang dilakukan Hary B. Kori’un. Melalui cerpennya, “Luka

Beku” (dalam Tunggu Aku di Sungai Duku, 2012: 91—100), Hary memaparkan

historisitas kerusuhan Mei 1998. Melalui pendekatan historis, dalam cerpen itu

terlihat arti dan makna kesejarahan yang diungkapkan pengarang melalui cerita

yang disuguhkannya. Peristiwa kerusuhan yang terjadi serentak di beberapa kota

di Indonesia cenderung hanya menimpa warga Indonesia keturunan Tionghoa.

Ihwal terjadinya pelecehan seksual dan perkosaan massal menjadi sorotan

tersendiri, baik di dalam negri, terlebih lagi di luar negri, sama halnya dengan

penjarahan dan pembakaran, serta tindak kekerasan seksual yang banyak

menimpa warga keturunan Tionghoa, khususnya yang berusia muda.

Sementara itu, Ratna Indraswari Ibrahim dan Leila S. Chudori mengemas

peristiwa Mei 1998 itu dalam bentuk novel: 1998 (2012) dan Pulang (2012).

Bedanya, Ratna (melalui 1998) memilih kisah percintaan dengan latar khusus

158
kerusuhan Mei 1998, sedangkan Leila (melalui Pulang) berkisah tentang sebuah

drama keluarga, persahabatan, cinta, dan pengkhianatan dengan latar tiga

peristiwa sejarah sekaligus: 30 September 1965 (Indonesia), Mei 1968 (Perancis),

dan Mei 1998 (Indonesia).

Keempat (karya) sastra sejarah itu, bila diamati secara mendalam dan

sungguh-sungguh, dapat dirasakan adanya perbedaan antara karya sastra yang

bersifat fiksi dan sejarah yang bersifat fakta. Karya fiksi lebih mementingkan

unsur imajinasi yang bersifat subjektif, sedangkan sejarah lebih mementingkan

fakta yang bersifat objektif. Namun, dengan kreativitasnya, keempatnya

(pengarang) mampu menyatukan dua hal yang berbeda itu ke dalam karya

rekaannya.

Begitulah, pada kenyataannya karya sastra mampu menghadirkan “fakta

lain” yang dapat menjadikan fakta sejarah lebih hidup dan kuat. Berkat kekuatan

imajinasi pengarang, fakta sejarah yang dikandungnya tidak harus membuat

“dunia fiksi” menjadi beku dan kaku, tak berpenghuni, sebab karya sastra tetaplah

fiksi, dunia imajinasi.

3. Pemiktifan

Pemiktifan adalah sebuah hasil karya yang dihasikan berdasarkan sebuah

fiktif. Pemiktifan sering kali hadir didalam karya—karya pengarang berdasarkan

apa yang pengarang rasakan sehingga jadilah sebuah karya yang didasari

pemikiran yang fiktif. Fiktif sering kali disangkut pautkan dengan kenyataan. Hal

ini dimaksudkan bahwa fiktif bias juga masuk kedallam dunia kenyataan.

159
4. Bentuk-Bentuk Pemfiktifan Karya Sastra

Beragam, mulai dari Puisi, Prosa hingga drama hingga mungkin sesuatu

yang tidak kalian sangka, yaitu mantra. Sastra sendiri berasal dari bahasa

Sansekerta yang artinya tulisan atau karangan. Beberapa para ahli juga

mengungkapkan bahwa karya sastra adalah bentuk lain dalam pengungkapan ide,

gagasan ataupun cerita pengarang dalam bentuk tulisan. Lebih dalamnya, sastra

dapat dikatakan sebagai segala tulisan atau karangan yang mengandung nilai-nilai

kebaikan dan keindahan yang ditulis dengan bahasa yang indah.

Seni sastra sendiri merupakan sebuah seni yang mengungkapkan gagasan

atau ide penulis melalui tulisan. Sehingga seni sastra dapat juga dikatakan sebagai

media penyampaian informasi. Untuk itu seni sastra sangat terikat dengan unsur-

unsur komunikasi. Dan penting sekali belajar bagaimana sebuah seni komunikasi

efektif dalam sebuah seni sastra. Seni Sastra juga merupakan salah satu cabang

seni yang di dalamnya terdapat segala bentuk lisan ataupun tulisan yang

mengandung unsur keindahan, estetika dan bersifat imajinatif. Perbedaan seni dan

keindahan sendiri pernah kita bahas di artikel sebelumnya.

Sebuah Karya sastra bisa sangat berbeda satu sama lain. Tergantung

bagaimana cara penulis menyampaikan ide-idenya. Dan tergantung dalam bentuk

apa ide-ide / karangan itu disampaikan. Sehingga jenis-jenis seni sastra dapat

beragam bentuknya. Pada artikel kali ini kita akan membahas mengenai Ragam

dan bentuk dari sastra. bentuk-bentuk sastra di kelompokan menjadi tiga bentuk

umum, yaitu :

160
1. Puisi

Puisi merupakan bentuk karangan yang terikat oleh rima, ritma dan jumlah

baris serta biasanya ditandai oleh bahasa yang padat. Bentuk karya sastra yang

satu ini juga dipengaruhi oleh jaman. Sehingga salah satu contoh seni sastra ini

dapat digolongkan kembali atas puisi lama dan puisi baru. Atau, jika dapat

digolongkan secara garis besarnya. Terdapat 4 Jenis Pusi, yaitu :

 Puisi Lama

 Puisi Baru

 Puisi Bebas

 Puisi Kontemporer

Puisi Lama adalah puisi yang terikat oleh aturan-aturan. Aturan yang dimaksud

meliputi : Jumlah kata dalam 1 baris, Jumlah baris dalam 1 bait, Persajakan

(Rima), Banyak suku kata tiap baris dan Irama. Bentuk dari jenis puisi lama ini

juga beragam. Yakni :

c. Mantra adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki kekuatan gaib.

d. Pantun adalah puisi yang bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris, tiap baris terdiri

dari 8 -12 suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya sebagai

isi.

e. Syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris.

f. Gurindam merupakan jenis puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris dan bersajak

a-a-a-a.

Sedangkan puisi baru adalah puisi yang sudah tidak terikat oleh aturan, dan

merupkan perkembangan dari puisi lama yang telah mendapat banyak berubah.

161
Puisi baru memiliki bentuk yang lebih bebas daripada puisi lama baik dalam segi

jumlah baris, suku kata, maupun rima.

2. Prosa

Sama halnya dengan jenis karya sastra lainnya, prosa juga merupakan

sebuah tulisan. Lebih tepatnya tulisan bebas. Bebas disini maksudnya adalah

bahwa prosa tidak terikat dengan aturan-aturan layaknya puisi. Dan tetap

memiliki unsur-unsur sastra layaknya karya sastra dalam bentuk lain. Kata-kata

yang terdapat di dalam prosa memiliki makna yang sebenarnya atau biasa disebut

denotative. Kalaupun terdapat kata kiasan dalam sebuah prosa, maka dapat

dikatakan bahwa hal tersebut berfungsi untuk memperindah tulisan. Prosa juga

dipengaruhi oleh waktu atau jaman layaknya puisi. Untuk itu Jenis Prosa terbagi

menjadi 2 jenis, yaitu prosa lama dan prosa baru.

Prosa Lama adalah pada dasarnya merupakan sebuah karya sastra yang

belum dipengaruhi oleh kebudayaan barat. Pada jaman dahulu kala, karena belum

ditemukannya alat untuk menulis, prosa lama disampaikan atau diceritakan dari

mulut ke mulut. Dan kebanyakan cerita yang disampaikan sifatnya menghibur,

tidak menggunakan struktur kalimat dan bersifat ke daerah. Artinya juga sangat

terikat dengan kebudayaan yang ada disekitar. Contohnya sebuah karya sastra

dengan kebudayaan jawa yang kental.

Banyak sekali contoh dari prosa lama yang dapat kita pelajar. Biasanya,

prosa lama terbit sebelum abad ke-19. Contohnya, seni sastra sumbawa lawas

ataupun seni sastra jawa lama yang pastinya banyak sekali. Bukan hanya

dipengaruhi oleh kebudayaan, tapi seni sastra juga erat kaitannya dengan

162
kehidupan beragama. Contohnya dapat dilihat dari seni sastra peninggalam islam,

ataupun karya sastra peninggalan hindu buddha. Prosa lama sendiri memiliki

bentuk-bentuk yang berbeda yaitu :

a. Hikayat merupakan sebuah tulisan fiksi atau karangan dan biasanya tidak

masuk akal. Biasanya kisah yang diceritakan merupakan cerita dari

kehidupan pada dewa-dewi, cerita kerjaan dimana ada pangeran atau seroang

raja.

b. Sejarah merupakan tulisan yang menceritakan peristiwa-peristwa tertentu.

Sejarah harus bersifat aktual, atau benar-benar sesuai dengan kejadian yang

terjadi sebenarnya. Terdapat dua jenis sejarah yakni sejarah lama dan sejarah

baru. salah satu contoh sejarah adalah sejarah kuda lumping.

c. Kisah adalah tulisan-tulisan pendek yang menceritakan tentang cerita

perjalanan ataupun petualangan orang-orang pada jaman dahulu.

d. Dongeng merupakan khayalan-khayalan masyarakat pada zaman dahulu.

Terdapat beberapa bentuk di antaranya mitos, legenda, fabel ataupun sage.

e. Pandir biasanya mengisahkan tentang cerita dari orang-orang yang bodoh dan

memiliki nasib yang sial. Sifatnya untuk hiburan karena kerap menampilkan

hal hal yang lucu.

Sedangkan prosa baru adalah salah satu bentuk karya sastra yang telah

dipengaruhi oleh kebudayaan barat. Kehadiran prosa baru ini tidak lain karena

prosa lama dianggap sudah tidak mengikuti perkembangan jaman atau bisa

disebut tidak modern. Jenis prosa baru di antaranya:

163
 Roman adalah tulisan mengenai kisah hidup seorang dari lahir hingga ia

meninggal dan atau bagaimana ia mengakhiri hidupnya secara keseluruhan.

 Novel adalah sebuah cerita panjang mengenai kehidupan. Biasanya bersifat

fiktif atau karangan. Tapi bisa juga berdasarkan kisah nyata.

 Cerpen merupakan singkatan dari cerita pendek. Biasanya menceritakan

sebagian kecil dari kosah pelaku utamanya. Konflik yang dihadirkan

mengubah sikap pemeran utama. Dan hal tersebut yang membedakan cerpen

dengan novel.

 Riwayat merupakan kisah hidup seorang yang terkenal atau menginspirasi

orang banyak.

 Kritik merupakan bentuk tulisan yang sifatnya memberi alasan atau menilai

ataupun menjudge karya seseorang.

 Resensi adalah bentuk tulisan yang merangkum atau mengulas suatu karya.

Karya yang dimaksud beragam. Baik buku, seni, musik, film ataupun karya

lainnya. Resensi ini berisi sudut pandang seseorang mengenai penilaiannya

pada sebuah karya.

 Esai merupakan tulisan yang berisi sudut pandang atau opini tentang suatu hal

yang menjadi topik atau isu dalam tulisan tersebut.

3. Drama

Bentuk terakhir dari sastra adalah Drama. Drama sendiri merupakan salah

satu dari cabang-cabang seni dalam seni pertunjukan dan merupakan salah satu

bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang panjang dan

bebas. Drama dibuat dengan tujuan untuk menceritakan kembali suatu kisah

164
kepada penontonnya melalui sebauh lakuan dialog atau percakapan para

pemerannya. Drama sering kali disalah artikan sebagai teater. Padahal kedunya

memiliki perbedaan.

Perbedaan seni teater dan drama salah satunya dapat dibedakan dari

penggunaan istilahnya. Drama adalah bentuk narasi yang menggambarkan

kehidupan dan alam manusia melalui perilaku (Akting) yang dipentaskan.

Sedangkan teater merupakan secara bahasa atau dalam artian yang lebih sempit,

teater berarti sebuah gedung pertunjukan atau auditorium.

Unsur-unsur pementasan drama yang kita ketahui meliputi :

a. Tokoh atau penokohan

b. Dialog

c. Alur

d. Latar

Drama sendiri memiliki berbagai macam jenis, yakni :

e. Drama Tragedi yaitu drama yang isi ceritanya mengangkat kesusahan dan

kesulitan hidup para tokoh di dalamnya.

f. Drama Komedi merupakan drama yang banyak mengandur unsur humor

ataupun candaan yang menghibur para penontonya.

g. Tragedi/komedi merupakan drama kombinasi antara tragedi dan komedia

yang berarti jalan ceritanya mengandur kedua unsur tersebut. Dibawakan silih

berganti.

h. Musikal yaitu drama yang diiringi oleh musik sebagai pelengkap pementasan

seninya.

165
Demikian bentuk-bentuk sastra yang ternyata sangat banyak bentuknya.

Perlu diketahui bahwa dewasa ini, seni sastra termasuk ke dalam salah satu sub

sektor industri kreatif yakni dibidang penerbitan dan percetakan. Semoga ke

depannya kita dapat menganalisis dan mengapresiasi karya sastra sesuai dengan

bentuknya. Mengingat peran dan fungsi kritik sastra yang sangat penting. Dan

juga memperoleh manfaat belajar seni bagi kehidupan sehari-hari.

2.3 Contoh Karya dari Pemfiktifan Kenyataan

KARAWANG BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi

Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami

Terbayang kami maju dan berdegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu

Kenang, kenanglah kami

Kami sudah coba apa yang kami bisa

Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

Kami sudah beri kami punya jiwa

Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa

Kami cuma tulang-tulang berserakan

166
Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan

Atau tidak untuk apa-apa

Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang-kenanglah kami

Menjaga Bung Karno

Menjaga Bung Hatta

Menjaga Bung Syahrir

Kami sekarang mayat

Berilah kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang-kenanglah kami

Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

Karya Chairil Anwar

Puisi Chairil Anwar

Tema kuat yang diusung pada puisi Karawang Bekasi adalah perjuangan

para pahlawan yang telah gugur dalam medan perang dan terbaring antara Kota

Karawang sampai Kota Bekasi. Hal ini dapat dilihat pada baris pertama

167
yaitu “Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi” dan pada baris

terakhir “Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi”.

Pada puisi Karawang Bekasi ini juga menggunakan berbagai majas, diantaranya:

 Majas Metonimia, seperti yang ada dalam kalimat “Kami cuma tulang-

tulang berserakan”.

 Majas Metafora yaitu pada kalimat “Atau jiwa kami melayang untuk

kemerdekaan kemenanga dan harapan atau tidak untuk apa-apa”.

 Majas Sinekdoki yaitu pada kalimat “Jika dada rasa hampa dan jam

dinding yang berdetak”.

Sedangkan citraan (imagery) yang terdapat dalam puisi ini adalah :

c) Citraan Pendengaran dalam kalimat “Jika ada rasa hampa dan jam dinding

yang berdetak”.

d) Citraan Penglihatan yaitu dalam kalimat “Beribu kami terbaring antara

Krawang-Bekasi”.

e) Citraan Gerak dalam kalinmat “Kami sudah coba apa yang kami bisa”.

f) Citraan Kesedihan yang tergambar pada kalimat “Kenang, kenanglah kami

yang tinggal tulang – tulang diliputi debu”.

g) Citraan Lingkungan pada kalimat “Kami bicara padamu dalam hening di

malam sepi”.

Puisi Karawang Bekasi ini juga kaya dengan rima atau persamaam

bunyi, baik perulangan bunyi yang cerah dan ringan, yang mampu menciptakan

suasana kegembiraan serta kesenangan, maupun bunyi-bunyi yang berat,

menekan, yang membawa suasana kesedihan bagi pembacanya.

168
Walaupun puisi Karawang Bekasi tergolong puisi yang panjang, tapi ternyata tak

banyak rima yang ada di dalamnya. Di antaranya :

2. Rima Mutlak, yaitu yang terdapat pada baris 14 – 15 dan baris 18 -19 pada

kalimat :

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata

Kaulah sekarang yang berkata

Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

 Rima Patah, terdapat hampir di semua baris. Misalnya baris 1 – 5, yaitu pada

kalimat :

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi

tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,

terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Diksi atau pilihan kata atau frase yang digunakan oleh penulis dalam

puisi Karawang Bekasi merupakan kata-kata pilihan yang sangat tepat untuk

dapat mengungkapkan apa yang hendak disampaikannya. Efek yang muncul dari

pemilihan kata ini adalah adanya imajinasi yang estetis. Pemilihan kata juga bisa

menjadi ciri dari seorang penyair (idiosinkresi).

Pada puisi ini terdapat beberapa diksi, di antaranya :

169
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Amanat adalah sebuah pesan, tapi bisa juga berupa perintah yang di

sampaikan pengarang kepada pembaca. Pesan atau perintah tersebut bisa tersurat

(implisit) dan bisa tersirat (eksplisit), tergantung dari bagaimana cara pengarang

mengungkapkannya. Di dalam Puisi Karawang Bekasi terdapat banyak amanat.

Di antaranya yang diungkapkan oleh pengarang cerita secara tersurat (implisit)

adalah pada kalimat :

Kenang, kenaglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

Berikan kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Amanat yang diungkapkan pengarang dengan tersirat (eksplisit) antara lain

adalah:

“Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa”

Amanat tersebut dapat berarti walaupun negara ini sudah merdeka, tapi belum

bisa menghargai jasa-jasa para pahlawan yang gugur saat berjuang malawan

penjajah demi kemerdekaan.

“Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan”

Arti pada amanat ini adalah hanya kita sebagai penerus kemerdekaan yang mampu

memberi nilai dan menghargai para pahlawan yang telah gugur.

170
Chairil Anwar dalam Karawang Bekasi ini, banyak mengajarkan pada kita

untuk : tidak boleh lupa dengan jasa-jasa para pahlawan yang rela mati demi

merdekanya bangsa ini. Jiwa pahlawan adalah jiwa seorang ksatria, maka kita

harus bisa meniru dan meneruskan jiwa yang dimiliki para pahlawan. Kita adalah

generasi penerus bangsa, jadi kita harus bisa mengisi kemerdekaan ini dengan

pembangunan. Berpikirlah positif!, karna dengan berpikir positif kita dapat

memiliki jiwa dengan mental yang kuat.

171
BAB XIV

MENGURAIKAN HAKEKAT SASTRA DAN KEKACAUAN PERISTIWA

A. Hakekat Sastra

Sastra berasal dari bahasa sansakerta shastra yang artinya adalah "tulisan

yang mengandung intruksi" atau "pedoman". Dalam masyarakat Indonesia

definisi sastra masih bersifat kabur, pengertiannya kadang menjadi bias.

Pengertian sastra merujuk pada kesusastraan yang diberi imbuhan ke-an. “Su”

artinya baik atau indah dan “sastra” artinya tulisan atau lukisan. Jadi, kesusastraan

artinya tulisan atau lukisan yang mengandung kebaikan atau keindahan. Sastra

terbagi menjadi sastra lisan dan tulisan. Sastra lisan berkaitan dengan berbagai

macam karya dalam bentuk tulisan sedang sastra lisan adalah karya sastra yang

diekspresikan langsung secara verbal. Dalam perkembangannya istilah sastra

dengan sastrawi mempunyai perbedaan makna. Sastra diartikan lebih terbatas

pada bahasa tulisan sedangkan sastrawi memiliki makna dan ruang lingkup lebih

luas. Istilah sastrawi merujuk pada sastra yang bersifat lebih puitis dan abstrak.

Sastrawan adalah istilah yang berasal dari istilah sastrawi, yaitu orang yang

berkecimpung dan mempunyai keahlian di bidang sastrawi.

Ketika berbicara mengenenai sastra mungkin yang terlintas dalam benak

kita adalah keindahan bahasa. Kesusastraan adalah sebuah unsur kebahasaan yang

mempunyai nilai-nilai estetik yang tinggi. Berbicara tentang sastra berarti kita

mencoba untuk menggali nilai-nilai keindahan yang terkandung dalam bahasa.

172
Setiap bahasa mempunyai kesusastraan masing-masing yang tentunya mempunyai

karakter dan cita rasa linguistik tesendiri.

Bahasa adalah sesuatu yang universal. Bahkan bahasa adalah unsur esensial

dalam kehidupan manusia sehingga seorang ahli semiotika atau pakar komunikasi

mengatakan bahwa manusia tanpa kemampuan berbahasa adalah tidak jauh

berbeda dengan makhluk primata lainnya. Dengan demikian, dapat dikatakan

bahwa kemampuan manusia untuk menciptakan bahasa sebagai sebuah sistem

simbol atau lambang yang digunakan untuk alat berkomunikasi adalah sesuatu

yang luar biasa yang membuat manusia menjadi makhluk yang unik yang berbeda

dengan makhluk lainnya. Tapi, tentu ini tidak berarti bahwa seseorang yang tidak

mempunyai kemampuan berbicara dengan normal adalah bukan

manusia.Mungkin itu asumsi yang bisa dianggap wajar terhadap pernyataan di

atas tapi jelas kita harus memahami itu secara lebih luas dan kompleks karena kita

tidak boleh terpaku pada aspek artikulasi semata tapi lebih dalam daripada itu.

B. Pengertian Etimologis

Ssecara etimologi, sastra berasal dari bahasa sansakerta shastra yang artinya

adalah "tulisan yang mengandung instruksi" atau "pedoman". Dari makna asalnya

dulu, sastra meliputi segala bentuk dan macam tulisan yang ditulis oleh manusia,

seperti catatan ilmu pengetahuan, kitab - kitab suci, surat - surat, undang - undang,

dan sebagainya. Sastra dalam arti khusus yang digunakan dalam konteks

kebudayaan, adalah ekspresi gagasan dan perasaan manusia. Jadi, pengertian

sastra sebagai hasil budaya dapat diartikan sebagai bentuk upaya manusia untuk

173
mengungkapkan gagasannya melalui bahasa yang lahir dari perasaan dan

pemikirannya.

Dalam bahasa Indonesia dikenal istilah “kesusastraan”. Kata kesusastraan

merupakan bentuk dari konfiks ke-an dan susastra. Menurut Teeuw (1988: 23)

kata susastra berasal dari bentuk su + sastra. Kata sastra dapat diartikan sebagai

alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi, atau pengajaran. Awalan su-

pada kata susastra berarti “baik, indah” sehingga susastra berarti alat untuk

mengajar, buku petunjuk, buku instruksi, atau pengajaran yang baik dan indah.

Kata susastra merupakan ciptaan Jawa atau Melayu karena kata susastra tidak

terdapat dalam bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno.

C. Definisi Sastra Menurut Para Ahli

1. Sumarno dan Saini:

Sastra adalah ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran,

perasaan, gagasan, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran

konkret yang membangkitkan pesona dengan alat – alat bahasa.

2. Mursal Esten:

Sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan

imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui

bahasa sebagai medium dan mempunyai efek yang positif terhadap kehidupan

manusia (kemanusiaan).

3. Ahmad Badrun:

174
Kesusastraan adalah kegiatan seni yang menggunakan bahasa dan garis

simbol -simbol lain sebagai alat yang bersifat imajinatif.

4. Semi:

Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang

objeknya adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai

mediumnya.

5. Panuti Sudjiman:

Sastra adalah karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri

keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi dan

ungkapannya.

6. Sumardjo dan Sumaini

Definisi sastra yaitu :

a. Sastra adalah seni bahasa

b. Sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam

c. Sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa

d. Sastra adalah inspirasi kehidupan yang dimaterikan dalam sebuah bentuk

keindahan

e. Sastra adalah semua buku yang memuat perasaan kemanusiaan yang

benar dan kebenaran moral dengan sentuhan kesucian, keluasan

pandangan dan bentuk yang mempesona.

7. Suyitno:

Sastra adalah sesuatu yang imajinatif, fiktif dan inventif juga harus

melayani misi – misi yang dapat dipertanggungjawabkan.

175
8. Tarigan:

Sastra merupakan objek bagi pengarang dalam mengungkapkan gejolak

emosinya, misalnya perasaan sedih, kecewa, senang, dan lain sebagainya.

9. Damono:

Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan gambaran kehidupan itu

sendiri adalah suatu kenyataan sosial.

Beberapa pengertian sastra menurut para ahli berikut ini dapat dijadikan

sebagai acuan dalam memahami arti sastra yaitu: Esten (1978: 9) mengemukakan

bahwa sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan

imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia. (dan masyarakat) melalui

bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan

manusia (kemanusiaan).

Karya sastra adalah untaian perasaan dan realitas sosial (semua aspek

kehidupan manusia) yang telah tersusun baik dan indah dalam bentuk benda

konkret (Sangidu, 2004: 38). Karya sastra tidak hanya berbentuk benda konkret

seperti tulisan, tetapi dapat juga berwujud tuturan (speech) yang telah tersusun

dengan rapi dan sistematis yang dituturkan (diceritakan) oleh tukang cerita atau

yang terkenal dengan sebutan sastra lisan. Karya sastra merupakan tanggapan

penciptanya (pengarang) terhadap dunia (realitas sosial) yang dihadapinya. Di

dalam sastra berisi pengalaman-pengalaman subjektif penciptanya, pengalaman

subjektif seseorang (fakta individual) dan pengalaman sekelompok masyarakat

(fakta sosial).

176
Sastra anak adalah karya sastra yang secara khusus dapat dipahami oleh

anak-anak dan berisi tentang dunia yang akrab dengan anak-anak, yaitu anak yang

berusia antara 6-13 tahun. Seperti pada jenis karya sastra umumnya, sastra anak

juga berfungsi sebagai media pendidikan dan hiburan, membentuk kepribadian

anak, serta menuntun kecerdasan emosi anak. Pendidikan dalam sastra anak

memuat amanat tentang moral, pembentukan kepribadian anak, mengembangkan

imajinasi dan kreativitas, serta memberi pengetahuan keterampilan praktis bagi

anak. Fungsi hiburan dalam sastra anak dapat membuat anak merasa bahagia atau

senang membaca, senang dan gembira mendengarkan cerita ketika dibacakan atau

dideklamasikan, dan mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin sehingga

menuntun kecerdasan emosinya. (Wahidin, 2009).

D. Fungsi Sastra Dalam Masyarakat

Fungsi sastra harus sesuai dengan sifatnya yakni menyenangkan dan

bermanfaat. Kesenangan yang tentunya berbeda dengan kesenangan yang

disuguhkan oleh karya seni lainnya. Kesenangan yang lebih tinggi, yaitu

kontemplasi yang tidak mencari keuntungan. Dan juga memberikan manfaat

keseriusan. Keseriusan yang menyenangkan, estetis dan keseriusan persepsi.

Sehingga ini berarti karya sastra tidak hanya memberikan hiburan kepada

peminatnya tetapi juga tidak melupakan keseriusan pembuatnya.

Selain menampilkan unsur keindahan, hiburan dan keseriusan, karya sastra

juga cenderung membuktikan memiliki unsur pengetahuan. Contohnya puisi,

keseriusan puisi terletak pada segi pengetahuan yang disampaikannya. Jadi puisi

177
dianggap sejenis pengetahuan. Seperti yang dikatakan oleh filosof terkenal

Aristoteles bahwa puisi lebih filosofis dari sejarah karena sejarah berkaitan

dengan hal-hal yang telah terjadi, sedangkan puisi berkaitan dengan hal-hal yang

bisa terjadi, yaitu hal-hal yang umum dan yang mungkin.

Lain lagi dengan novel. Para novelis dapat mengajarkan lebih banyak

tentang sifat-sifat manusia daripada psikolog. Karena novelis mampu

mengungkapkan kehidupan batin tokoh - tokoh pada novel yang ditulisnya.

Sehingga ada yang berpendapat bahwa novel - novel bisa dijadikan sumber bagi

para psikolog atau menjadi kasus sejarah yang dapat memberikan ilustrasi dan

contoh. Bahkan bisa dikatakan bahwa novelis menciptakan dunia yang

mengandung nilai kebenaran dan pengetahuan sistematis yang dapat dibuktikan.

Menurut Quentius Horatius Flaccus (08-12-65 sM s,d 27-11-8 sM), seorang

sastrawan Romawi yang hidup pada masa pemerintahan Kaisar Agustinus

mengatakan bahwa manfaat sastra itu berguna dan menyenangkan. Secara lebih

jelas dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Karya sastra dapat membawa pembaca terhibur melalui berbagai kisahan yang

disajikan pengarang mengenai kehidupan yang ditampilkan. Pembaca akan

memperoleh pengalaman batin dari berbagai tafsiran terhadap kisah yang

disajikan.

2. Karya sastra dapat memperkaya jiwa/emosi pembacanya melalui pengalaman

hidup para tokoh dalam karya.

178
3. Karya sastra dapat memperkaya pengetahuan intelektual pembaca dari

gagasan, pemikiran, cita-cita, serta kehidupan masyarakat yang digambarkan

dalam karya.

4. Karya sastra mengandung unsur pendidikan. Di dalam karya sastra terdapat

nilai-nilai tradisi budaya bangsa dari generasi ke generasi. Karya sastra dapat

digunakan untuk menjadi sarana penyampaian ajaran-ajaran yang bermanfaat

bagi pembacanya.

5. Karya sastra dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan atau penelitian

tentang keadaan sosial budaya masyarakat yang digambarkan dalam karya

sastra tersebut dalam waktu tertentu.

Masih banyak manfaat sastra yang bagi satu pembaca berbeda dengan

pembaca lainnya. Sehingga beberapa pembaca yang menikmati buku yang sama

bisa jadi memperoleh pengalaman puitik yang berbeda. Dari sana dapat kita

simpulkan bahwa dalam fungsi sosial dan kemasyarakatannya, sastra memiliki

fungsi-fungsi spesifik sebagai berikut:

b. Fungsi rekreatif: Sastra berfungsi sebagai sarana hiburan bagi masyarakat

karena mengandung unsur keindahan

c. Fungsi didaktis: Sastra memiliki fungsi pengajaran karena bersifat mendidik

dan mengandung unsur kebaikan dan kebenaran

d. Fungsi estetis: Sastra memiliki unsur dan nilai-nilai keindahan bagi para

pembacanya

e. Fungsi moralitas: Sastra mengandung nilai-nilai moral yang menjelaskan

tentang yang baik dan yang buruk serta yang benar dan yang salah

179
f. Fungsi religious: Sastra mampu memberikan pesan-pesan religius untuk para

pembacanya.

E. Kekacauan Peristiwa Dalam Susastra (Anakronisme)

Berbicara dan membahas tentang peristiwa dalam sastra, kita tak’kan

terlepas dari urusan kronologi, karena peristiwa dalam kesusastraan sangat erat

kaitannya dengan waktu dan ruang yang merupakan ranah lingkupan kejadian

yang diangkat dalam suatu karya sastra. Membahas tentang peristiwa berarti kita

akan bicara tentang rentang waktu, urutan waktu, serta peristiwa-peristiwa yang

terjadi dalam lingkup waktu yang dibicarakan. Dalam kesusatraan hal ini dikenal

sebagai alur atau plot yang erat kaitannya dengan latar cerita atau seting.

Beberapa istilah berkaitan dengan waktu dan perisitwa dalam sastra:

a. Kronologi : Ilmu tentang pengukuran kesatuan waktu, seringkali juga

dipahami sebagai susunan waktu peristiwa sejarah yang tersusun secara

berurutan dan benar terjadinya, yang mempermudah dalam memahami

peristiwa sejarah dan menghindari anakronisme (kekeliruan) terhadap rentetan

waktu dalam pemahaman sejarah.

b. Kronik : Catatan peristiwa berdasarkan urutan waktu kejadian, atau segala

hal yang berkaitan dengan waktu. Kadang kala krinik dikaitkan dengan suatu

kumpulan tulisan-tulisan tentang perjalanan seorang musafir, erjalanan hidup

tokoh tertentu, misalnya pujangga, tokoh revolusi, tokoh politik, pemuka

agama, dan sebagainya.

180
c. Sinkronik : Keterkaitan pristiwa yang terjadi dalam lingkup suatu masa yang

terbatas. Sinkronik mengacu pada pemahaman terhadap suatu peristiwa

dengan menelusuri jejaknya di masa lalu sehingga lebih menitikberatkan pada

proses terjadinya suatu peristiwa

d. Diakronik : Pendekatan terhadap bahasa dengan menilik perkembangannya

sepanjang waktu yang bersifat historis. Diakronik merupakan proses

pemahaman tentang peritiwa-perisitwa dengan memperluas ruang lingkup atau

cakupannya dengan memperhatikan unsur-unsur berupa srtuktur dan pola-

pola yang ada dalam tiap perisitwa.

e. Anakronik : Ketidakcocokan dengan masa yang berlaku, dalam peristiwa

sastra, ditunjukkan dengan penempatan peristiwa, latar (setting), tokoh yang

tidak sesuai realitas peristiwa yang sebenarnya. Anakronisme biasanya

dilakukan oleh Sastrawan dalam mengambarkan suatu peristiwa sejarah

(ataupun tidak) dalam karyanya.

Kekacauan peristiwa dalam kesusatraan merujuk pada anakronisme, yakni suatu

anomaly yang memberikan kesan yang cukup luas dan dramatisir, akan tetapi

menyebabkan suatu pengaburan maksud, atau dapat menyebabkan

kesalahpahaman dalam melihat suatu peristiwa yang sebenarnya, karena

diceritakan dengan penggambaran yang tidak sesuai.

F. Pengertian Anakronisme

Anakronisme, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani dari kata ἀνά

yang berarti ‘melawan' dan χρόνος yang berarti ‘waktu', yakni kesalahan dalam

181
kronologi, yang dinyatakan dalam ketiadaan keselarasan, line atau korespondensi

dengan waktu. Anakronisme dapat terjadi dalam cerita atau narasi sejarah,

lukisan, film atau media apapun, jadi tidak hanya mengacu pada karya sastra

semata-mata.

Dalam sastra, Anakronisme adalah penempatan peristiwa, tata latar

(setting), tokoh maupun dialog yang tidak sesuai dengan tempat dan waktu yang

dipilih sastrawan dalam karyanya. Anakronisme umumnya terjadi dalam karya

sastra yang bersifat realistis entah yang fiksi maupun non-fiksi, dengan

mengambil tata latar di masa lampau. Adanya anakronisme dalam sebuah karya

sastra dapat mengurangi efek logika sastra dan mengurangi kepercayaan pembaca

terhadap kualitas karya sastrawan tersebut. Namun, anakronisme ini sering kali

disengaja demi efek dan nilai lambang sastra dalam karya-karya modern, seperti

dalam aliran surealisme yang lebih menekankan kelanggengan peristiwa yang

tidak terikat oleh waktu dan tempat.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 58), anakronisme adalah:

1. Hal ketidakcocokan dengan zaman tertentu;

2. Sastra; penempatan tokoh, peristiwa percakapan, dan unsur latar yang tidak

sesuai menurut waktu di dalam karya sastra. Contohnya Malin Kundang

mengendari Ferrarinya dan mengirim BBM kepada istrinya (KBBI, 2008:58).

Anakronisme, menurut Nurgiyantoro (2009: 237), menyaran pada

pengertian adanya ketidaksesuaian dengan urutan (perkembangan) waktu dalam

sebuah cerita. Waktu yang dimaksud adalah waktu yang berlaku dan ditunjuk

dalam cerita (waktu cerita) dengan waktu yang menjadi acuannya yang berupa

182
waktu dalam realitas sejarah. Selain itu, anakronisme juga menunjuk pada

pengertian yang lebih luas-namun masih dalam hubungannya dengan kekacauan

penggunaan waktu-yaitu pada sesuatu yang tidak masuk akal. Cerita fiksi yang di

dalamnya terdapat kekacauan dan kerancuan penggunaan waktu dapat disebut

cerita yang mengandung anakronisme. Anakronisme dapat juga menyaran pada

sesuatu yang tidak logis, misalnya seseorang yang semestinya tak memiliki benda

atau kesanggupan tertentu, tetapi dalam karya itu disebutkan memilikinya.

Misalnya, seseorang yang baru pertama kali naik pesawat, langsung bisa

menerbangkannya.

Anakronisme pada dasarnya merupakan kelemahan dan menurunkan

kualitas sebuah karya sastra. Namun, kesengajaan meramu anakronisme dapat

menjadi keunikan dan kelebihan tersendiri bagi sebuah karya. Pertunjukan

wayang sering memasukkan hal-hal yang bersifat anakronistis yang berasal dari

budaya kini, khususnya dalam adegan goro-goro. Unsur-unsur anakronisme dapat

menjembatani imajinasi audience (penonton/pendengar) terhadap cerita wayang

dengan sesuatu yang bersifat kekinian atau untuk menunjukkan bahwa kesenian

wayang tidak ketinggalan zaman. Sumber: Lembar Informasi Kebahasaan dan

Kesastraan, Edisi 2, Juli--Desember 2016 ( reu/Tim Laman Balai Bahasa

Provinsi Jawa Tengah )

183
DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1971. The Mirror and the Lamp. Oxford : Oxford University Press.

Abrams, M.H. 1993 . A Glossary of Literary Terms. Fort Worth : Harcourt Brace

Press.

Agni, Binar. 2009. Sastra Indonesia Lengkap. Jakarta: Hi-Fest Publishing.

Agni, Binar. 2009. Sastra Indonesia Lengkap. Jakarta: Hi-Fest Publishing.

Al-Faishal, Abd al-Aziz bin Muhammad. 1405 H. Al-Adab al-`Arabi Wa

Tarikhuhu. Riyadh: al-Mamlakah al-`Arabiyah al-Su`udiyah.

Al-Khafaji, M. Mun`im. 1996. Al-Syi`r al-Jahili. Libanon: Dar al-Kuttab.

Amin, Ahmad. 1975. Fajr al-Islam. Tanpa Tempat: Tanpa Penerbit.

Arifin, Zaenal E. 2006. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Akedemika

Pressindo.

Astuti, Rr. Dwi. Nilai Sosial pada Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya

Anantatoer. Jurnal Pesona. 2 (1): 1-7.

184
Astuti, Rr. Dwi. Nilai Sosial pada Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya

Anantatoer. Jurnal Pesona. 2 (1): 1-7.

Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya.

Budiman, Manneke. 1995. ”Tuhan dalam Mimesis: Representasi Tuhandalam

Paradiso dan Bhagavadgita”, dalam Jurnal Ulumul Qur`an,

Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas.

Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.

Damono, Sapardi Djoko. 1999. Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida. Jakarta:

Pustaka Firdaus.

Djoko Damono, Sapardi. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas.

Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media

Presinfo.

185
Escarpit, Robert. 2008. Sosiologi Sastra. Terjemahan dari buku Soci- ologie de La

Esten, Mursal. 1978. Kesusasteraan : Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung :

Angkasa.

Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strkturalisme Genetik sampai Post-

Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hoerip, Satyagraha.(Editor). 1982. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta : Sinar

Harapaan.

Jabrohim (editor). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindika.

Juliansyah, dkk. 2018. Analisis Novel Ada Surga Di Rumahmu Karya Oka Aurora

Ditinjau Aspek Sosiologi Karya Sastra. Jurnal Ilmu Budaya (Vol. 2, No. 4).

Hlm. 337-346.

Lembar Informasi Kebahasaan dan Kesastraan, Edisi 2, Juli--Desember 2016

(reu/Tim Laman Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah)

Lewis, Leary. 1976. American Literature: A Study and Research Guide. New

York: St. Martin’s Press.

186
Mahayana, Maman S. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta:PT. Raja

Grafindo persada

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Sastra Sebagai Pemahaman Antarbudaya.

Cakrawala Pendidikan. XIV (3).

Nurgyantoro, Burhan. 2018. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gajah Mada

University Press

Pradopo, Rachmat Joko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan

Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Rokhmansyah, Alfian. 2014a. Studi dan Pengkajian Sastra. Yogyakarta: Graha

Ilmu.

Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra: Sebuah Pemahaman Awal. Malang:

Bayu Media & UMM Press.

Sumarjo, Yakop. 1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta : C.V. Nur

Cahaya.

187
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Diindonesiakan oleh

Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

Website:

http://floressastra.com/2016/03/18/sastra-membahasakan-

realitas/http://www.togamas.co.id/read-articles-119

https://www.hipwee.com/hiburan/15-petikan-puisi-wiji-thukul-yang-bisa-

membuatmu-lebih-punya-nyali-sudah-bukan-zamannya-diperbudak/

Budiman, Manneke. 1995. ”Tuhan dalam Mimesis: Representasi Tuhan

dalam Paradiso dan Bhagavadgita”, dalam Jurnal Ulumul Qur`an,

Nomor 2, Volume VI.

https://www.researchgate.net/publication/284073908_KARYA_SASTRA_

MIMESIS_REALITAS_ATAU_MITOS [accessed Aug 02 2018].

http://asasin-casas.blogspot.com/2012/01/hakikat-sastra.html

http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/home-sastra-teater-penaku

pengertian-fungsi-dan-ragam-sastra/

188
http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/home-sastra-teater-penaku-

pengertian-fungsi-dan-ragam-sastra/

http://nongbola.blogspot.com/2012/12/karya-sastra-dalam-realitas-kehidupan.html

http://pelitaku.sabda.org/pengaruh_budaya_nusantara_terhadap_sastra

http://phianz1989.blogspot.com/2011/08/definisi-dan-hakikat-sastra.html

http://sheltercloud.blogspot.com/2009/11/pengertian-dan-fungsi-sastra.html

http://sijagokeok.blogspot.com/2014/03/pengertian-sastra-karya-sastra-

dan.html?m=1

http://www.sastradigital.com

https://www.amazon.com/author/cecep

https://www.berbagaireviews.com/2017/09/pengertian-karya-sastra-dan-

syarat.html

https://www.bimakini.com/2017/02/karya-sastra-sebagai-cermin-kritik-sosial/

https://www.google.co.id/amp/s/elshasiburian.wordpress.com/2014/02/28/defenisi

189
-sastra-menurut-para-ahli/amp/

https://www.google.co.id/amp/s/elshasiburian.wordpress.com/2014/02/28/defenisi

-sastra-menurut-para-ahli/amp/

https://www.google.co.id/amp/s/muntijo.wordpress.com/2011/11/16/sosiologi-

sastra-sastra-dan-kenyataan-dalam-darah-di-palestina-karya-akhmad-

taufiq/amp/

https://www.google.co.id/amp/s/muntijo.wordpress.com/2011/11/16/sosiologi-

sastra-sastra-dan-kenyataan-dalam-darah-di-palestina-karya-akhmad-

taufiq/amp/

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Diindonesiakan oleh

Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

http://floressastra.com/2016/03/18/sastra-membahasakan-realitas/

http://www.togamas.co.id/read-articles-119

www.cybersastra.org

www.rumpunsastra.com

190

Anda mungkin juga menyukai