Anda di halaman 1dari 13

KRITIK SASTRA POSTKOLONIAL DAN KRITIK SASTRA

MULTIKULTURAL

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kritik Sastra

Dosen Pengampu : Fitri Nura Murti, S.Pd., M.Pd.

Oleh:

Adi Sasongko NIM 170210402040


Susanti Try Apriliani NIM 170210402043
Ulviana Novianti NIM 170210402051
Diah Anita Nurul Izza h NIM 170210402061
Nur Azman NIM 170210402066

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan
judul “Kritik Sastra Kostkolonial dan Kritik Sastra Multikultural”. Penyusunan
makalah ini guna melengkapi tugas mata kuliah Kritik Sastra. Selain itu, untuk
meningkatkan kreativitas mahasiswa dalam pembuatan makalah. Kami berharap
materi yang disajikan pada makalah ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan
sebagai referensi untuk pembaca, terutama untuk mata kuliah Kritik Sastra.

Penyusun berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu


sehingga proses pembuatan makalah ini dapat berjalan dengan lancar. Penyusun
berharap makalah ini dengan segala kelebihannya dapat memberikan sesuatu yang
berharga, dan dengan kekurangannya dapat dijadikan pelajaran. Penyusun
mengharapkan adanya kritik dan saran demi membangun karya ini lebih lanjut.

Jember, 16 Oktober 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 2

DAFTAR ISI....................................................................................................................... 3

BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................................. 4

1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 4

BAB 2. PEMBAHASAN .................................................................................................... 5

2.1 Kritik Sastra Postkolonial ......................................................................................... 5

2.1.1 Pengertian Postkolonial...................................................................................... 5

2.1.2 Tokoh-Tokoh Postkolonial ................................................................................ 6

2.1.3 Konsep Sastra Postkolonial ................................................................................ 7

2.1.4 Kritik Sastra Postkolonial .................................................................................. 8

2.1.5 Contoh Kajian Kritik Sastra Postkolonial .......................................................... 8

2.2 Kritik Sastra Multikultural ........................................................................................ 9

2.2.1 Konsep Sastra Multikultural .............................................................................. 9

2.2.2 Implikasi Studi Sastra Multikultural ................................................................ 10

2.2.3 Multikultural Indonesia .................................................................................... 10

BAB 3. SIMPULAN ......................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 13

3
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Pradopo (2011: 10) Kritik sastra adalah upaya untuk menentukan
nilai hakiki karya sastra dalam bentuk memberi pujian, mengatakan kesalahan,
memberi pertimbangan lewat pemahaman dan penafsiran sistematik. H. B Yasin
mengemukakan bahwa kritik sastra digunakan untuk memberikan informasi
kepada khalayak umum tentang karya sastra, termasuk simbol-simbol yang tidak
diketahui khalayak umum. Selain itu, karya sastra berfungsi sebagai
perkembangan sastra.

Kritik sastra telah mengalami sejarah dan perkembangan yang cukup


panjang. Salah satunya kritik sastra multikultural dan kritik sastra postkolonial.
Kritik sastra multikultural mengenai teori keberagaman kebudayaan yang
dikemas dalam karya sastra. Dan kritik sastra postkolonial mengenai teori yang
menelusuri aspek yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan sehingga dapat
diketahui bagaimana kekuasaan bekerja pada masa kolonial atau penjajahan.

Untuk melakukan kritik dalam sebuah karya sastra seorang kritikus harus
memiliki dasar pengetahuan yang luas. Salah satunya, dengan memahami kritik
sastra multikultural dan kritik sastra postkolonial. Oleh sebab itu, kami sebagai
mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia akan
membahas kritik sastra multikultural dan kritik sastra postkolonial dalam makalah
ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana kritik sastra postkolonial?
2. Bagaimana kritik sastra multikultural?

4
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Kritik Sastra Postkolonial

2.1.1 Pengertian Postkolonial


Secara definitif, teori pascakolonialisme adalah teori yang digunakan
untuk menganalisis berbagai gejala kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi,
sastra, bahasa, agama, sekaligus dengan bentuk pratik di lapangan, seperti
perbudakan, pendudukan, pemindahan penduduk, pemaksaan bahasa, agama yang
terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa modern. Teori ini menganalisis
dengan menelusuri aspek yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan sehingga
dapat diketahui bagaimana kekuasaan bekerja. Pada umumnya gejala-gejala
kultural tersebut terkandung dalam berbagai teks studi mengenai dunia Timur,
yang ditulis oleh para orientali (dari kata orient yang berarti Timur). Meskipun
demikian, banyak juga karya yang ditulis intelektual pribumi melukiskan
ketidakseimbangan hubungan antara masyarakat Barat dan masyarakat Timur
karena terkontruksi oleh pemikiran barat (Sehandi, 2016: 202).

Analisis wacana pascakolonialisme untuk menelusuri aspek-aspek yang


tersembunyi atau sengaja disembunyikan sehingga dapat diketahui bagaimana
kekuasaan bekerja, di pihak lain membokar disiplin, lembaga, dan ideologi yang
mendasarinya. Kemunculan gerakan sosial di tengah arus kolonialisasi setidaknya
memiliki dua arti penting. Pertama yaitu menandai titik balik kesadaran (the
turning point of consciousness) masyarakat dalam strategi meruntuhkan tembok
kolonialisasi yang menghujam dunia pada masa penjajahan. Kemudian yang
kedua adalah meletakkan landasan kebudayaan (cultural) sebagai basis
fundamental bagi perjuangan pergerakan kebangsaan. Dalam hubungan inilah
peranan bahasa, sastra, dan kebudayaan pada umumnya dapat memainkan peranan
sebab di dalam ketiga gejala tersebutlah terkandung wacana sebagaimana
diintensikan oleh kelompok kolonialis.

5
2.1.2 Tokoh-Tokoh Postkolonial
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Franz Fanon. Fanon adalah
seorang psikiater yang mengembangkan analisis yang sangat cermat mengenai
dampak psikologis dan sosiologis yang ditimbulkan oleh kolonialisme. Fanon
menyimpulkan melalui dikotomi kolonial: penjajah-terjajah, wacana oriental telah
melahirkan alienasi dan marginalisasi psikologis dan sosiologis yang sangat
dahsyat.

Menurut Said (dalam Sehandi, 2016), dekonstruksi terhadap wacana-


wacana kolonialis penting untuk menyadarkan bangsa Eropa bahwa teks-teks
orientalis penuh dengan bias kultural, sekaligus menghapuskan mitos bahwa
bangsa Barat dinamis sedangkan bangsa Timur statis. Barat memiliki ciri-ciri
maskulin sedangkan Timur feminism. Studi wacana kolonial mengkoreksi
kembali naskah dan parktik kultural yang penuh kekeliruan diharapkan dapat
mendekontruksi legitimasi bangsa Eropa Modern. Said juga mengkritik buku-
buka ilmiah, seperti antropologi, filologi, sejarah, ekonomi, dan sastra yang penuh
dengan bias kultural. Studi antropologi selalu menganggap bangsa Timur sebagai
bangsa terbelakang, kuno, dan primitif. Pandangan Said tersebut seolah-olah
menyuarakan secara eksplisit apa yang terpendam dalam kesadaran banyak orang,
terutama orang-orang di negara bekas jajahan Barat, yang kini disebut sebagai
“dunia ketiga”, untuk bangkit berjuang menemukan kesadaran dengan menuntut
keadilan dan kesetaraan.

Selain itu, Gayatri C. Spivak, tokoh yang terkenal karena kontribusinya


yang besar dalam membangun kajian postkolonial secara terus-menerus, menulis
pengantar yang demikian panjang untuk buku Jacques Derrida, Of
Grammatology, (1982). Dalam pengantar buku tersebut pada dasarnya Spivak
menolak segala kekuasaan yang menghambat dan membatasi, sekaligus
mengungkapkan pengutamaannya atas kebebasan. Masyarakat yang tertekan dan
terjajah, subaltern, harus berbicara, harus mengambil inisiatif, dan menggelar aksi
atas suara mereka yang terbungkam.

6
2.1.3 Konsep Sastra Postkolonial
1. Tema
Tema dalam sastra poskolonial merupakan pokok maslah yang diangkat
dalam sastra poskolonial. Menurut Aschraft (dalam Taufiq, 2010) tema
sastra poskolonial berkisar pada tema tentang kemerdekaan, pembangunan
atau pembongkaran rumah atau bangunan. Said (dalam Taufiq, 2010)
mengungkapkan bahwa ditemukan ciri-ciri tema lain, misalnya tema
tentang diskriminasi dan ketidakadilan. Tema tersebut sangat menonjol
dalam kekuasaan yang mencakup dimensi sosial, politik, dan budaya.
2. Konstruksi Perlawanan
Dalam hal ini konstruksi perlawanan yang dimaksud adalah respon
terhadap realitas yang dianggap menindas dan segala bentuk ketidakadilan
yang menimpa subjek. Taufiq (2010) mengemukakan bahwa ciri sastra
poskolonial dalam sastra Indonesia adalah perlawanan. Bentuk perlawanan
tersebut dapat berupa simbolik maupun fisik.
3. Warisan dan Dampak Kolonial
Bangsa poskolonial (terjajah) sering kali tidak mudah melepaskan beban
warisan kolonial. Realitas kolonial yang tidak menyenangkan
menimbulkan inspirasi sosial dan politik dengan munculnya sikap yang
ingin dipertuankan.
4. Watak Kolonial
Akibat kolonial adalah munculnya konstruksi watak terhadap pihak yang
dijajah. Watak ingin selalu menguasai, dipertuankan, dan watak
membedakan pihak yang berkuasa dan ingin dikuasai.
5. Dampak Kolonial
Dampak kolonisasi dapat dirasakan baik saat kolonisasi maupun
pascakolonisasi. Dampak saat kolonisasi dapat dilihat dalam karya sastra
novel Bumi Manusia, yakni ketika Nyai Ontosoroh dijual pada pihak
kolonial, berpisahnya Annelis dengan Nyai Ontosoroh dan Minke akibat
hukum colonial (Taufiq, 2010).

7
2.1.4 Kritik Sastra Postkolonial
Menurut Day dan Foulcher, kritik postkolonial adalah strategi membaca
sastra yang mempertimbangkan kolonialisme dan dampaknya dalam teks sastra,
posisi, atau suara pengamat berkaitan dengan isu tersebut. Berdasarkan
pemahaman tersebut, sesungguhnya kritik postkolonial adalah suatu jaringan
sastra atas rekam jejak kolonialisme. Apabila ditelusuri dengan cermat, tentu
banyak karya sastra Indonesia modern yang merekam jejak kolonialisme bangsa
Barat dan Asia Timur Raya sepanjang sejarahnya. Atas dasar kenyataan sejarah
bahwa Indonesia pernah menjadi bagian dari kolonialisme atau bangsa yang
terjajah hingga ratusan tahun dan banyaknya karya sastra yang merekam jejak
penjajahan, tentu sastra Indonesia modern menjadi gudang penelaahan
postkolinialisme.

Menurut Keith Foulcher dan Tony Day (2008:5), ada dua topik utama
pembicaraan tentang kritik postkolonial dalam sastra Indonesia, yaitu masalah
bahasa dan identitas. Masalah bahasa berkaitan dengan pengaruh bahasa kolonial
terhadap bahasa terjajah, cara pengungkapan postkolonilitas dalam teks sastra
Indonesia, dan cara yang digunakan oleh para penulis bekas jajahan dalam
mendekolonisasi (kesadaran kebangsaan) bahasa penjajahan besar. Sementara itu,
masalah identitas berkaitan dengan masalah hibriditas, yakni masalah jati diri
bangsa yang berubah karena adanya pengaruh budaya dari bangsa kolonial,
termasuk mimikri (tindakan meniru) budaya kolonial oleh bangsa terjajah dan
subaltern (kaum yang terpinggirkan atau orang yang terjajah).

2.1.5 Contoh Kajian Kritik Sastra Postkolonial


Salah satu periode sastra Indonesia modern, yakni sastra Balai Pustaka, di
mana pemerintahan kolonial terlibat secara langsung dalam proses menciptaan,
sebagai lembaga sensor, dinilai mengandung aspek-aspek yang dapat dikaji
melalui teori pascakolonialisme. Novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis,
misalnya yang diterbitkan Balai Pustaka, mengandung berbagai masalah yang
berkaitan dengan perbedaan antara kebudayaan Barat dan Timur. Selain itu, novel
Salah Asuhan hampir secara keseluruhan meceritakan konflik, adaptasi, dan

8
berbagai bentuk hubungan antara hubungan kebudayaan Barat dan Timur. Serta
novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer dapat dikaji menggunakan
teori postkolonial.

2.2 Kritik Sastra Multikultural

2.2.1 Konsep Sastra Multikultural


Istilah multikultural itu sendiri di Indonesia mulai ramai dibicarakan orang
pada sekitar dekade 1990-an. Hal ini tidak terlepas dari berlangsungnya
globalisasi yang melanda bangsa-bangsa di dunia yang melahirkan pluralisme
budaya dalam masyarakat modern baik dalam hal etnis, tradisi, agama, maupun
bahasa. Perbedaan latar belakang warga masyarakat tampaknya merupakan
sebuah kenyataan yang terelakkan. Lahirlah multikulturalisme dalam kehidupan
masyarakat yang kemudian terefleksi dalam karya sastra (Imron, 2007).
Munculnya multikulturalisme dilatarbelakangi antara lain oleh adanya tiga
teori sosial yang menjelaskan hubungan antarindividu dalam masyarakat dengan
beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya. Menurut Ricardo L.
Garcia (1982: 37-42) teori sosial tersebut adalah: (1) Melting Pot I: Anglo
Conformity (individu-individu yang beragam latar belakang seperti agama, etnik,
bahasa, dan budaya, disatukan ke dalam satu wadah yang dominan); (2) Melting
Pot II: Ethnic Synthesis (individu-individu yang beragam latar belakangnya
disatukan ke dalam satu wadah baru, identitas agama, etnik, bahasa, dan budaya
asli para anggotanya melebur menjadi identitas yang baru; dan (3) Cultural
Pluralism: Mo"saic Analogy (individu-individu yang beragam latar belakang
agama, etnik, bahasa, dan budaya, memiliki hak untuk mengekspresikan identitas
budayanya secara demokratis dengan tidak meminggirkan budaya kelompok
minoritas). Masyarakat yang warganya berlatar belakang budaya Jawa, Batak, dan
Barat misalnya, tiap individu berhak menunjukkan identitas budayanya dan
mengembangkannya tanpa saling mengganggu. Teori ketiga itulah yang
dipandang banyak pengamat paling sesuai dengan pengembangan masyarakat
global yang pluralistis. Jadi, multikulturalisme mengakui hak individu untuk tetap
mengekspresikan identitas budayanya sesuai dengan latar belakang masing-

9
masing, termasuk gender dengan bebas. Inilah esensi multikulturalisme dalam
masyarakat modern yang heterogen (Imron, 2007).
Adapun dimensi multikultural dapat diartikan sebagai aspek atau matra
yang berbasis pada pluralitas budaya dalam kehidupan masyarakat yang
memberikan kebebasan kepada berbagai budaya untuk hidup berdampingan
dengan saling menghargai satu dengan lainnya. Sastra multikultural berarti sastra
yang mengandung dimensi-dimensi pluralistik yang menyuarakan spirit
multikultural. Gagasan dan semangat pluralistik terasa mendasari karya sastra
multikultural itu. Kultur lokal, nasional, dan global semuanya dapat berinteraksi
secara wajar tanpa harus dipertentangkan, masing-masing memiliki eksistensinya.

2.2.2 Implikasi Studi Sastra Multikultural


Sebagai bagian dari pengembangan kultural, karakteristik kajian sastra
multikultural harus dibangun diatas landasan tiga hal: (1) memberikan
pengalaman (experential) terhadap kehidupan lintas budaya, (2) memberikan
dorongan sikap (behavioral) terhadap kelompok kultural yang lain, (3)
memberikan fokus informasi (informational aspect) terhadap kelompok kultural
yang secara lebih memadai (Albert dan Triandis, 1998:432). Untuk mencapai hal
itu, wacana multikultural (multikulturalisme) harus meninggalkan pretensi bahwa
ia merupakan sebuah kategori analitis semata dan lebih memosisikan dirinya
sebagai sebuah kategori yang dapat dianalisis dalam konteks sosial maupun
historis (West dalam Taufiq: 2017).

2.2.3 Multikultural Indonesia


Multikultural Indonesia setidaknya dapat diposisikan dalam tiga hal.
Pertama, multikultural itu diposisikan sebagai ruang budaya, di mana dinamika
kebudayaan Indonesia menempati posisi dalam ruang geografis yang bersifat
beragam pula. Hal tersebut menunjukkan adanya relevansi, kontinuitas, dan
sustuinabilitas ke Indonesiaan dalam hubungannya dengan aspek geografis
kenusantaraan (archipelago) dengan ruang kreatif kultural sebagai bangsa. Oleh
karena itu, luas ruang geografis sebagai bangsa tidak boleh terjadi diskoneksitas
dengan ruang kreatif kelompok kultural yang ada. Kedua, multikultural Indonesia

10
itu diposisikan sebagai suatu ruas horizontal, yang mengandaikan bahwa antara
kelompok kultural yang ada tersebut, saling terhubung dan bersinergi dalam
membangun kekuatan bangsa yang sama. Tanpa hal tersebut, multikultural itu
akan menjadi masalah dan beban yang serius bagi proses perjalanan bangsa ini
kedepan. Keterhubungan itu dapat tercipta secara alamiah, maupun dalam
konstruksi sosial yang melibatkan negara untuk membangun ruang interaksi,
mediasi, dan transformasi budaya yang kondusif dan elegan. Ketiga, multikultural
Indonesia itu dapat diposisikan secara vertikal, dimana negara menjadi pihak yang
memiliki keabsahan nalar struktural untuk membangun Indonesia dalam wajah
peradaban multikultural yang kondusif dan elegan tadi. Tidak bisa tidak, negara
menjadi pihak yang paling rasional untuk melakukan sesuatu yang memiliki
kontribusi positif bagi perjalanan kebudayaan Indonesia. managemen
multikultural, sekaligus konsistensinya dalam menjaga ruang multikultural itu
sendiri menjadi keniscayaan yang tidak dapat ditolak (Taufiq, 2017:13-14).
Berikut contoh karya sastra (novel) yang dapat dikaji dalam kritik sastra
multikultural: Pertama, Salah Asuhan karya Abdoel Moeis penerbit Balai Pustaka,
Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer penerbit Lentera Dipantara,
Burung-Burung Rantau karya Y.B Mangunwijaya diterbitkan PT Gramedia
Pustaka Utama 1992.

11
BAB 3. SIMPULAN

Dari pembahasan yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa


postkolonial adalah teori yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala
kultural yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa modern. Teori ini
menganalisis dengan menelusuri aspek yang tersembunyi atau sengaja
disembunyikan sehingga dapat diketahui bagaimana kekuasaan bekerja. Ada dua
topik utama pembicaraan tentang kritik postkolonial dalam sastra Indonesia, yaitu
masalah bahasa dan identitas. Kritik sastra multikultural berfokus pada keragaman
budaya yang diangkat oleh pengarang dalam sebuah karya sastra. Karakteristik
kajian sastra multikultural harus dibangun diatas landasan tiga hal: (1)
memberikan pengalaman (experential) terhadap kehidupan lintas budaya, (2)
memberikan dorongan sikap (behavioral) terhadap kelompok kultural yang lain,
(3) memberikan fokus informasi (informational aspect) terhadap kelompok
kultural yang secara lebih memadai.

12
DAFTAR PUSTAKA

Imron, Ali. 2007. Multikulturalisme dalam Novel Burung-Burung Rantau Karya


Y.B. Mangunwijaya. Dalam Jurnal litera volume 6:

http://eprints.uny.ac.id/4796/1/MULTIKUL_TURALISME_DALAM_NOVEL_B
URUNG_BURUNG_RANTAU.pdf

Keith Foulcher., Tony Day (Ed). 2008. Sastra Indonesia Modern: Kritik
Postkolonial. Edisi Revisi. Alih Bahasa Koesalah Soebagya Toer dan Monique
Soesman. Edisi Pertama. 2004. Jakarta: KITLF-Jakarta dan Yayasan Obor
Indonesia.

Pradopo, Rachmad Djoko. 2011. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra Teori dan


Penerapannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sehandi, Yohanes. 2016. Mengenal 25 Teori Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak

Taufiq, Akhmad. 2017. Sastra Multikultural: Kontruksi Indentitas dan Praktik


Diskursif Negara dalam Perkembangan Sastra Indonesia. Malang: Beranda
Kelompok Intrans Publishing.

Taufiq Akhmad. 2010. Sastra Poskolonial: Teori, Analisis Teks, dan


Pembelajaran. Jember: University Press.

13

Anda mungkin juga menyukai