Anda di halaman 1dari 8

Cerpen karya agus noor

PEMETIK AIR MATA


Mereka hanya muncul malam hari. Peri-peri pemetik air mata. Selalu datang
berombongan— kadang lebih dari dua puluh—seperti arak-arakan capung,
menjinjing cawan mungil keemasan, yang melekuk dan mengulin di bagian ujungnya.
Ke dalam cawan mungil itulah mereka tampung air mata yang mereka petik. Cawan
itu tak lebih besar dari biji kenari, tapi bisa untuk menampung seluruh air mata
kesedihan di dunia ini. Saat ada yang menangis malam-malam, peri-peri itu akan
berkitaran mendekati, menunggu air mata itu menggelantung di pelupuk, kemudian
pelan-pelan memetiknya. Bila sebulir air mata bergulir jatuh, mereka akan buru-buru
menadahkan cawan itu. Begitu tersentuh jari-jari mereka yang ajaib, setiap butir air
mata akan menjelma kristal.
Mereka tinggal di ceruk gua-gua purba. Ke sanalah butir-butir air mata yang dipetik
itu dibawa. Di selisir ulir batu alir, di antara galur batu kapur berselubung tirai
marmer bening yang licin dan basah, di jejulur akar-akar kalsit yang bercecabang di
langit-langit stalagtit, peri-peri itu membangun sarang. Butir-butir air mata itu ditata
menjadi sarang mereka, serupa istana-istana kecil yang saling terhubung jembatan
gantung yang juga terbuat dari untaian air mata. Di langit-langit gua itu pula butir-
butir air mata itu dironce terjuntai menyerupai jutaan lampu kristal yang berkilauan.
Seorang pencuri sarang walet menemukan tempat peri-peri pemetik air mata itu tak
sengaja. Setelah berhari-hari menyelusup celah gua, ia merasakan kelembaban
udara yang tak biasa, hawa yang membuat kuduknya meriap, dan menyadari dirinya
telah tersesat dan tak akan lagi melihat dunia karena setiap kali bersikeras mencari
jalan keluar ia justru merasa semakin mendekati kematian. Kesepian gua itu begitu
hitam dan mengerikan. Bahkan kelelawar, ular dan lintah pun seperti memilih
menjahuinya. Sayup jeritan dan gema kelepak ribuan walet seperti berada di dunia
yang berbeda. Semua suara seperti lesap—bahkan ia tak mendengar suara napasnya
sendiri—dan ia merasakan betapa udara tipis dan bau memualkan yang bukan
berasal dari tumpukan kotoran kelelawar atau lumpur belerang membuatnya
limbung dan perlahan-lahan seperti mulai mengapung.
Saat kesadarannya seperti terisap, lamat-lamat didengarnya tangisan yang begitu
gaib, menggema dari palung gua. Sampai kemudian ia menyadari betapa tangisan itu
berasal dari butir-butir kristal bening yang menempel dan bergelantungan nyaris
memenuhi seluruh langit-langit stalagtit di mana ribuan peri mungil tampak
beterbangan lalu lalang. Pada saat-saat tertentu butir-butir kristal air mata itu
memang memperdengarkan kembali kesedihan yang masih tersimpan di dalamnya.
Tak ada yang bisa menghapus kesedihan bukan, bahkan ketika kesedihan itu telah
menjelma kristal? Di lambung gua itu bergaung jutaan tangisan yang terdengar
bagaikan simfoni kesedihan yang agung.
Ketika akhirnya lelaki pencuri sarang walet itu meninggalkan jazirah peri dan
menemukan jalan pulang, ia membawa sekarung kristal air mata yang kemudian
dijualnya eceran. Kristal-kristal air mata itulah yang kini banyak dijajakan di pinggiran
dan perempatan jalan.

***
Sandra tak percaya cerita itu. Meski ia sering melihat para pengasong menjajakan
kristal air mata itu. Sering mereka mengetuk-ngetuk kaca mobilnya, setengah
memaksa.
”Air mata, Bu? Murah… Seribu tiga, Bu… Seribu tiga…”
Dulu, semasa kanak, setiap kali melihat Mamanya diam-diam menangis, Sandra
selalu berharap peri-peri pemetik air mata itu muncul. Mamanya memang sering
menangis terisak malam-malam. Ia pun selalu menangis bila melihat Mamanya
menangis. Tapi Sandra berusaha menahan tangisnya karena Mamanya pasti akan
langsung membentak bila tahu ia menangis. ”Jangan cengeng anak setan!” Kadang
teriakan itu disertai lembaran kaleng bir yang segera bergemerontangan di lantai
yang penuh puntung dan debu rokok. Rumahnya memang selalu berantakan. Selalu
ada pakaian dalam Mamanya yang berceceran begitu saja di lantai. Tumpahan bir di
meja, bercak-bercak sisa muntahan di pojokan, botol-botol minuman yang
menggelinding ke mana-mana. Kasur yang selalu melorot seprainya. Bantal- bantal
tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus-
menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.
Suara Mama memang nyaris selalu membentak. Pernah sekali Sastra bertanya soal
Papanya, tetapi ia langsung disemprot mulutnya yang berbau alkohol, ”Belajarlah
untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!” Meski begitu Sandra
tahu kalau sesungguhnya perempuan itu menyayanginya. Bila pulang setelah pergi
berhari-hari—Mamanya memang selalu pergi berhari-hari keluar kota atau entah ke
mana, kadang mendadak pergi terburu-buru begitu saja malam-malam setelah
menerima pager—selalu ada oleh-oleh menyenangkan untuk Sandra. Sering boneka.
Tapi Sandra lebih senang bila ia dioleh-olehi buku cerita.
Sering, bila hari Minggu, Mamanya juga mengajaknya jalan-jalan. Membelikannya
baju, mengajak makan kentang goreng atau ayam goreng. Saat Sandra menikmati es
krim, perempuan itu tampak selalu menatap dengan mata penuh cinta. Tanpa sadar
ia akan bergumam, ”Sandra, Sandra….” Sambil membersihkan mulut Sandra yang
belepotan.
Tapi saat-saat paling menyenangkan bagi Sandra adalah saat perempuan itu
membacakannya cerita dari buku berbahasa Inggris dengan gambar-gambar
berwarna. Kadang tanpa sadar di tengah-tengah cerita yang dibacakannya, air mata
Mamanya menetes.
”Kenapa Mama menangis?”
”Tidak, Sandra… Mama tidak menangis.”
”Kenapa manusia bisa menangis, Mama?”
”Karena manusia diciptakan dari kesedihan.”
”Kenapa mesti ada kesedihan, Mama?”
”Diamlah. Jangan cerewet. Atau Mama hentikan bacanya!”
Lalu Mama kembali membacakan cerita tentang peri-peri pemetik air mata.
Pada mulanya adalah sebutir air mata. Saat itu Tuhan begitu sedih dan kesepian,
hingga meneteskan sebutir air mata. Dari sebutir air mata sejernih putih telur itulah
tercipta semesta, hamparan kabut, langit lakmus yang belum dihuni bintang-bintang,
makhluk-makhluk gaib, pepohonan dan sungai-sungai madu. Kemudian, pada hari ke
tujuh, barulah terbit cahaya. Dari sebutir air mata itu pula muncul sepasang manusia
pertama. Karena tahu manusia akan mengenal kesedihan, maka sebelum
menciptakan maut, Tuhan menciptakan lebih dulu peri-peri pemetik buah kesedihan.
Saat itu memang ada tumbuh Pohon Kesedihan, yang buah-buah bening segarnya
selalu bercucuran dari ranting-rantingnya. Setiap kali datang musim semi, peri-peri
itulah yang selalu memetiki buah-buah kesedihan yang telah ranum, yang membuat
manusia tergoda menikmatinya.
Saat manusia sedih karena harus pergi dari surga, peri-peri pemetik air mata turun
menyertai. Maka, sejak saat itu, bila ada manusia menangis malam-malam, peri-peri
itu akan muncul dan memetik air matanya yang bercucuran.
Setiap kali mendapati Mamanya menangis, Sandra pun berharap peri-peri pemetik
air mata itu muncul. Ia tahu peri-peri itu bisa menghapus kesedihan dari mata
Mamanya. Tapi Sandra tak pernah melihat peri itu muncul, dan Mamanya terus
terisak menahan tangis, sembari kadang-kadang memeluk dan dengan lembut
menciumi Sandra yang pura-pura tertidur pulas. Setiap malam Sandra memang
selalu pura-pura bisa tertidur lelap, terutama bila ada laki-laki entah siapa datang ke
rumahnya. Sandra tak pernah lupa ketika suatu malam Mamanya pelan-pelan
memindahkannya ke kolong ranjang dan mengira ia sudah tertidur, padahal ia bisa
mendengar suara lenguh Mamanya dan laki-laki itu di atas ranjang. Juga suara
dengus sebal Mamanya ketika akhirnya laki-laki itu mendengkur keras sekali. Di
kolong ranjang Sandra terisak pelan, ”Mama… Mama….” Pipinya basah air mata.
Bahkan saat itu peri-peri pemetik air mata yang diharapkannya tak pernah muncul.
Itulah sebabnya ia tak percaya.
***
Tapi Bita, anak semata wayangnya, punya beberapa butir kristal air mata itu. Dia
membelinya dari seorang pedagang mainan di sekolahnya. Cerita tentang pencuri
sarang walet yang menemukan koloni peri itu pun didengarnya dari Bita. Kata
anaknya yang berumur 10 tahun itu, cerita itu dia dengar langsung dari penjual
kristal air mata itu.
”Itu bohong, sayang…”
”Kenapa penjual itu mesti bohong, Mama? Ini memang air mata beneran, kok.
Cobalah Mama dengerin, kadang-kadang ia mengeluarkan tangisan.” Lalu Bita
berceloteh riang, kalau kawan-kawan sekolahnya juga banyak yang membeli butir-
butir kristal air mata itu untuk dikoleksi. ”Semua anak laki-laki di sekolah sekarang
enggak suka lagi adu jangkrik. Saat istirahat, mereka lebih suka mengadu kristal-
kristal air mata miliknya. Kristal air mata yang mengeluarkan tangisan paling panjang
dan paling menyedihkan yang menang.”
Bita menyimpan koleksi kristal air matanya di kotak kecil, dan selalu menaruhnya di
sisi bantal tidurnya. Kadang Bita terbangun ketika didengarnya kristal-kristal air mata
itu mengeluarkan tangisan. ”Bita senang mendengar tangisan mereka yang merdu,
Mama,” katanya. ”Apa Mama juga suka menangis kalau malam?”
Tidak, tidak—tapi Sandra tak mengucapkannya.
”Apakah kalau Bita menangis, peri-peri itu juga akan muncul, Mama?”
Sandra mencoba tersenyum.
”“Sekarang tidurlah,” Sandra berusaha menghentikan percakapan, kemudian dengan
lembut menyelimuti dan mencium keningnya. Baru saja beranjak hendak keluar
kamar, terdengar suara Bita,
”Apa besok Papa jadi ngajak Bita jalan-jalan?”
Sandra tersenyum. ”Nanti Mama tanyakan Papamu, ya. Kamu kan tahu, Papamu
sibuk.…”
Lalu mematikan lampu.
***
Suaminya tengah berbaring di ranjang ketika Sandra masuk. Senyumnya masih tetap
memikat seperti saat pertama kali Sandra melihatnya, ketika suatu malam ia
menyanyi di sebuah kafe. Senyum yang membuatnya jatuh cinta. Ia bukannya tak
berdaya oleh senyum itu. Namun senyum itu sejak mula memang telah membuatnya
percaya, bahwa ia akan menemukan hidup yang lebih baik. Sandra memang tak ingin
nasibnya berakhir celaka seperti Mamanya: digeroti penyakit kelamin saat tua dan
ditemukan mati tergorok di losmen murahan.
Tidak. Tidak. Sandra tidak ingin seperti Mamanya. Bahkan Sandra tahu kalau
Mamanya tak pernah menginginkan ia menjadi seperti Mamanya. Sandra selalu
ingat, dulu, di saat-saat Mamanya begitu tampak mencintainya, perempuan itu
selalu mendekapnya erat-erat sembari sesekali berbisik terisak, ”Berjanjilah pada
Mama, kamu akan menjadi wanita baik-baik, Sandra.”
”Seperti Mama?”
”Tidak. Kamu jangan seperti Mama, Sandra. Jangan seperti Mama….”
Sandra merasa hidupnya jauh lebih beruntung dari hidup Mamanya karena punya
suami yang mencukupi hidupnya. Bagaimana pun suaminya memang laki-laki penuh
perhatian yang pernah dikenalnya. Setidaknya dibanding puluhan laki-laki yang
hanya iseng terhadapnya.
Berbaring di ranjang, hanya dengan selimut di bawah pinggang, suaminya terlihat
segar. Hmm, pasti habis mandi air hangat, batin Sandra. Itu berarti laki-laki itu
memang menginginkannya malam ini. Sandra segera meredupkan lampu, membuka
gaunnya, dan bersijengkat naik ke ranjang. Bau harum tubuh laki-laki itu
merangsanya untuk menciuminya. Ia hafal dengan denyut otot laki-laki itu yang
perlahan meregang. Sandra ingin selalu membuat laki-laki itu betah bersamanya.
”Kamu menyenangkan sekali malam ini,” desah laki-laki itu tersengal, setelah lenguh
panjang dan berbaring lemas memeluk Sandra.
”Makanya kamu nginep saja malam ini. Biar besok sekalian ngajak Bita jalan-jalan.”
Ketika laki-laki itu hanya diam, Sandra tahu kalau ia telah meminta yang tak mungkin
laki-laki itu penuhi. Selama ini mereka memang sepakat, Sandralah yang akan
mengurus Bita. Mengantar jemput ke sekolah. Menemani jalan-jalan atau pergi
makan. Dan Sandra selalu mengatakan ”Papamu sibuk…” setiap kali Bita bertanya
kenapa Papa enggak pernah ikut?
Sandra tahu malam ini laki-laki itu pun harus pergi. Sandra sudah terbiasa dengan
pertemuan-pertemuan yang cuma sebentar seperti ini. Tapi ketika selepas jam 2 dini
hari Sandra mendengar derum mobil laki-laki itu keluar rumahnya, ia benar-benar
tak kuasa menahan air matanya. Dulu, saat ia seusia Bita, Sandra selalu pura-pura
tertidur ketika ada laki-laki keluar masuk rumahnya. Apakah Bita kini juga pura-pura
tak mendengar suara mobil itu pergi?
Sandra ingin semua ini akan berjalan baik seterusnya. Ia berusaha serapi mungkin
menyembunyikan. Ia tak ingin Bita sedih. Ia ingin Bita menikmati masa-masa
sekolahnya dengan nyaman dan tak cemas menghadapi pelajaran mengarang.
Sandra kembali merasakan saat-saat paling sedih masa kanak-kanaknya, saat ia tahu
kalau ibunya pelacur. Sungguh, ia tak ingin Bita tahu, kalau ibunya hanya istri
simpanan.
Sandra merasa bantalnya basah. Ia berharap, sungguh-sungguh berharap, para peri
pemetik air mata itu muncul malam ini.
Yogyakarta, 2009

ANALISIS

Tema

Cerpen Pemetik Air Mata karya Agus Noor ini menceritakan tentang gambaran hidup
wanita PSK dan wanita yang dijadikan seorang istri simpanan.

Perwatakan atau Penokohan

 Sandra

Sandra adalah tokoh utama dari cerpen ini. Sandra berwatakan penyayang. Ia selalu
menyangi anak semata wayangnya yang bernama Bita. Watak Sandra sebagai
seseorang yang penyayang terlihat dari kutipan cerpen berikut ini:
“Sekarang tidurlah,” Sandra berusaha menghentikan percakapan, kemudian dengan
lembut menyelimuti dan mencium keningnya. Baru saja beranjak hendak keluar
kamar, terdengar suara Bita,
Sandra memiliki hidup yang lebih baik dari ibunya, ia adalah istri simpanan. Ini
terlihat dari kutipan cerpen berikut ini:
Sungguh, ia tak ingin Bita tahu, kalau ibunya hanya istri simpanan.

 Ibunya Sandra

Ibunya Sandra adalah seseorang yang berwatak keras. Ia sering berkata-kata kotor
kepada anaknya Sandra. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan cerpen berikut ini:

Tapi Sandra berusaha menahan tangisnya karena Mamanya pasti akan langsung
membentak bila tahu ia menangis. ”Jangan cengeng anak setan!” Kadang teriakan itu
disertai lembaran kaleng bir yang segera bergemerontangan di lantai yang penuh
puntung dan debu rokok.

 Suaminya Sandra

Suaminya Sandra berwatak perhatian. Ia sangat perhatian kepada Sandra. Ia selalu


memenuhisetiap kebutuhan Sandra dan anaknya. Hal ini dapat ita lihat dari kutipan
cerpen berikut ini:

Sandra merasa hidupnya jauh lebih beruntung dari hidup Mamanya karena punya
suami yang mencukupi hidupnya. Bagaimana pun suaminya memang laki-laki penuh
perhatian yang pernah dikenalnya. Setidaknya dibanding puluhan laki-laki yang
hanya iseng terhadapnya.
 Bita

Bita adalah anak semata wayang dari Sandra. Ia anak kecil yang polos, ia tidak
mengetahui kalau ibunya adalah seorang istri simpanan. Ini terliha dari kutipan
cerpen berikut ini:

Sandra ingin semua ini akan berjalan baik seterusnya. Ia berusaha serapi mungkin
menyembunyikan. Ia tak ingin Bita sedih. Ia ingin Bita menikmati masa-masa
sekolahnya dengan nyaman dan tak cemas menghadapi pelajaran mengarang.
Sandra kembali merasakan saat-saat paling sedih masa kanak-kanaknya, saat ia tahu
kalau ibunya pelacur. Sungguh, ia tak ingin Bita tahu, kalau ibunya hanya istri
simpanan.

Latar / Setting

 Tempat

Rumahnya Sandra dan ibunya

Rumah ini adalah sebuah losmen kumuh tempat tinggal Sandra dan ibunya ketika ia
masih kecil.

Rumahnya Sandra dan anaknya

Rumah ini adalah tempat tinggal Sandra dan anak semata wayangnya Bita. Rumah
pemberian suaminya, karena ia adalah seorang istri simpanan.

Ranjang

Ranjang tempat Sandra melayani suaminya apabila suaminya datang menjenguknya.


Walaupun perteuannya dengan suaminya sangat sebentar dan singkat. Ia selalu ingin
membuat suaminya selalu betah bersamanya. Berikut ini kutipan cerpen yang
menjelaskan hal tersebut:

Berbaring di ranjang, hanya dengan selimut di bawah pinggang, suaminya terlihat


segar. Hmm, pasti habis mandi air hangat, batin Sandra. Itu berarti laki-laki itu
memang menginginkannya malam ini. Sandra segera meredupkan lampu, membuka
gaunnya, dan bersijengkat naik ke ranjang. Bau harum tubuh laki-laki itu
merangsanya untuk menciuminya. Ia hafal dengan denyut otot laki-laki itu yang
perlahan meregang. Sandra ingin selalu membuat laki-laki itu betah bersamanya.

Kafe
Kafe ini adalah tempat Sandra dulu ketika ia masih muda. Sandra adalah seorang
penyanyi di sebuah kafe.

 Waktu

Dalam cerpen ini terdapat beberapa latar waktu yaitu malam hari, hari minggu, dan
jam 2 dini hari. Latar waktu malam hari dapat kita lihat pada kutipan cerpen berikut
ini:

Setiap malam Sandra memang selalu pura-pura bisa tertidur lelap, terutama bila ada
laki-laki entah siapa datang ke rumahnya. Sandra tak pernah lupa ketika suatu
malam Mamanya pelan-pelan memindahkannya ke kolong ranjang dan mengira ia
sudah tertidur, padahal ia bisa mendengar suara lenguh Mamanya dan laki-laki itu di
atas ranjang.

Latar waktu hari minggu dapat kita lihat pada kutipan cerpen berikut ini:

Sering, bila hari Minggu, Mamanya juga mengajaknya jalan-jalan.

Latar waktu jam 2 dini hari dapat kita lihat pada kutipan cerpen berikut ini:

Tapi ketika selepas jam 2 dini hari Sandra mendengar derum mobil laki-laki itu keluar
rumahnya, ia benar-benar tak kuasa menahan air matanya. Dulu, saat ia seusia Bita,
Sandra selalu pura-pura tertidur ketika ada laki-laki keluar masuk rumahnya

 Suasana

Latar suasana dalam cerpen ini yaitu sedih, tegang, dan riang. Latar suasana sedih
dalam cerpen ini terlihat ketika Sandra selalu menangis melihat ibunya melayani
para lelaki yang datang kerumahnya setiap hari dan mendengkur bersama ibunya.
Suasana sedih juga terlihat ketika Sandra saat Sandra menangis karena takut
anaknya Bita mengetahui bahwa ia adalah seorang istri simpanan. Suasana tegang
yaitu pada saat Sandra mendapat bentakan dari ibunya ketika ia menanyakan
tentang keberadaan papanya. Sedangkan suasana riang adalah ketika Sandra selalu
mendapatkan oleh-oleh berupa boneka dan buku cerita apabila ibunya pulang dari
luar kota.

Sudut Pandang

Pada cerpen Pemetik Air Mata ini, pengarang menggunakan sudut pandang orang


ketiga serba tahu. Hal ini terbukti karena dalam cerpen ini pengarang selalu
menggunakan kata ganti orang ketiga dengan menyebut nama dan status social dari
para tokoh misalnya: Sandra, mamanya, suaminya, dan Bita.

Anda mungkin juga menyukai