Anda di halaman 1dari 28

IWAN SIMATUPANG

Iwan Martua Dongan Simatupang, lebih umum dikenal sebagai “”Iwan Simatupang”” (lahir di
Sibolga, 18 Januari 1928 – meninggal di Jakarta, 4 Agustus 1970 pada umur 42 tahun) adalah
seorang novelis, penyair, dan esais Indonesia[1]. Ia belajar di HBS di Medan, lalu melanjutkan ke
sekolah kedokteran (NIAS) di Surabaya tapi tidak selesai. Kemudian belajar antropologi di
Universitas Leiden (1954-56), drama di Amsterdam, dan filsafat di Universitas Sorbonne, Paris,
Perancis pada Prof. Jean Wahl pada 1958.[2][3] Ia pernah menjadi Komandan Pasukan TRIP dan
ditangkap pada penyerangan kedua polisi Belanda di Sumatera Utara (1949)[2]; setelah bebas, ia
melanjutkan sekolahnya sehingga lulus SMA di Medan. Ia pernah menjadi guru SMA di
Surabaya, redaktur Siasat, dan terakhir redaktur Warta Harian (1966-1970). [2]. Tulisan-
tulisannya dimuat di majalah Siasat dan Mimbar Indonesia mulai tahun 1952.

Pada mulanya ia menulis sajak, tapi kemudian terutama menulis esai, cerita pendek, drama dan
roman. Sebagai pengarang prosa ia menampilkan gaya baru, baik dalam esainya, maupun dalam
drama, cerita pendek dan terutama dalam romannya; dengan meninggalkan cara-cara
konvensional dan alam pikiran lama. Jalan cerita dan penampilan watak dalam semua
karangannya tidak lagi terikat oleh logika untuk sampai kepada nilai-nilai baru yang lebih
mendasar. [4]

Karya novel yang terkenal Merahnya Merah (1968) mendapat hadiah sastra Nasional 1970,[2]
dan Ziarah (1970) mendapat hadiah roman ASEAN terbaik 1977. “Ziarah” merupakan novelnya
yang pertama, ditulis dalam sebulan pada tahun 1960; diterbitkan di Indonesia pada 1969. Pada
1972, “Kering”, novelnya yang ketiga diterbitkan. [2]”Kooong” (1975) mendapatkan Hadiah
Yayasan Buku Utama Department P Dan K 1975. Pada tahun 1963, ia mendapat hadiah kedua
dari majalah Sastra untuk esainya “Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air”.[5] Menurut
Benedict Richard O’Gorman Anderson, Iwan Simatupang dan Putu Wijaya merupakan dua
orang penulis fiksi yang berpengaruh dari Indonesia sejak kemerdekaan dan keduanya memiliki
kelekatan yang kuat dengan realisme gaib (“magical realism”).

Daftar Karya
Berikut adalah karya-karya Iwan Simatupang: [1]

 Bulan Bujur Sangkar – drama (1960)


 Petang di Taman – drama sebabak (1966, judul asli Taman, diubah penerbit menjadi
Petang di Taman)
 RT Nol /RW Nol – drama sebabak (1966)
 Merahnja merah – novel (1968)
 Ziarah – novel (1969)
o The Pilgrim – terjemahan bahasa Inggris oleh Harry Aveling (1975)
 Kering – novel (1972)
o Drought – terjemahan bahasa Inggris oleh Harry Aveling (1978)
 Kooong: kisah tentang seekor perkutut (1975)
 Tegak lurus dengan langit: lima belas cerita pendek (1982, penyunting: Dami N. Toda)
 Surat-surat politik Iwan Simatupang, 1964-1966 (1986, penyunting: Frans M. Parera)
 Sejumlah Masalah Sastra – kumpulan esai (1982, penyunting: Satyagraha Hoerip)
 Ziarah – novel (1983)
o Ziarah – terjemahan bahasa Perancis (1989)
 Poems – selections (1993)
 Square moon, and three other short plays – terj. John H. McGlynn (1997)
 Ziarah malam: sajak-sajak 1952-1967 – penyunting: Oyon Sofyan, S. Samsoerizal Dar,
catatan penutup, Dami N. Toda (1993)
 Kebebasan pengarang dan masalah tanah air: esai-esai Iwan Simatupang, editor, Oyon
Sofyan, Frans M. Parera (2004)
 Iwan Simatupang Pembaharu Sastra Indonesia (Korrie Layun Rampan, ed), Yayasan
Arus, 1985


Studi
Studi terhadap karya-karya Iwan Simatupang dilakukan oleh

 Dami N. Toda dalam Novel Baru Iwan Simatupang – sajak (1980)


 Korrie Layun Rampan dalam Iwan Simatupang Pembaharu Sastra Indonesia – kumpulan
esai (1985)
 Okke K. S. Zaimar dalam Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang – sajak
(1991)
 Kurnia J. R. Dalam Inspirasi? Nonsen! Novel-novel Iwan Simatupang – sajak 1999)

Rujukan
1. ^ a b (Indonesia) Rampan, Korrie Layun. Leksikon Susastra Indonesia. Balai Pustaka,
2000, Jakarta. Halaman 220. ISBN 979-666-358-9.
2. ^ a b c d e Aveling, Harry (1990). “Book Review of Surat-surat Politik Iwan Simatupang,
1964-1966 (Political Letters of Iwan Simatupang, 1964-1966)”. Journal of Southeast
Asian Studies (Cambridge University Press on behalf of Department of History, National
University of Singapore) 21 (2): 430–432. JSTOR 20071202.
3. ^ Bodden, Michael; McGlynn, John H., ed. (2010). The Lontar anthology of Indonesian
drama. Jakarta, Indonesia: Lontar. ISBN 979-8083-72-5.
4. ^ (Indonesia) Simatupang, Iwan. Kooong. Pustaka Jaya, 1975, Jakarta. Sampul Belakang
5. ^ Eneste, Pamusuk (2001). Buku pintar sastra Indonesia : biografi pengarang dan
karyanya, majalah sastra, penerbit sastra, penerjemah, lembaga sastra, daftar hadiah
dan penghargaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Hlm. 113. ISBN 979-9251-78-8.
Kategori:

 Tanggal kelahiran 18 Januari


 Kelahiran 1928
 Tanggal kematian 4 Agustus
 Kematian 1970
 Meninggal usia 42
 Tokoh Batak
 Tokoh dari Sibolga
 Sastrawan Indonesia
 Marga Simatupang
 Tokoh Angkatan 66

Iwan Simatupang sebagai Pembaharu Sastra Indonesia


TUGAS KELOMPOK MERINGKAS BUKU “IWAN SIMATUPANG SEBAGAI PEMBAHARU SASTRA
INDONESIA”

(Kelas N PBSI 2010)

Anggota Kelompok I :

Dhesi Jayanti 10201244056

Nadia Ayu P 10201244073

Ade Rakhma N.S 10201244080

Ayu Siti R 10201244087

NOVEL-NOVEL IWAN SIMATUPANG PERGUMULANNYA ATAS AJAL

Merahnya Merah, Ziarah, Kering, dan, Kooong; Novel-novel Iwan Simatupang terkesan
berisi obsesi Iwan terhadap ajal, versus maut, kematian, m-a-t-i. Seluruh konflik yang ia
taburkan baik dengan humor-lewat tokoh apa saja di kempat novelnya tadi itu, merupakan
pergumulannya melawan ajal. Dalam Ziarah setidaknya 10 kali kematian disebutkan, Koong 3
kali, Kering 10 kali, dan Merahnya Merah 15 kali. Semua itu tidak lepas dari kematian istrinya,
betapa besar kecintaannya pada Corry-istrinya. Wafatnya Corry inilah, agaknya genesis dari
keempat novel tersebut.

Bekas pelukis dalam Ziarah, setelah istrinya meninggal entah berapa lama yang
silam. Ia kemudian terdorong ke berbagai pengalaman, pergumulan batin, sehingga pada
suatu malam, di pekuburan, tatkala ia meneriakkan dengan amat nyaringnya, “SAYA
MENCINTAI ISTRI SAYA-A-A!”. Itu layaknya proklamasi Iwan Simatupang sendiri kepada dunia.

TEGAK LURUS DENGAN LANGIT- CERPEN-CERPEN IWAN SIMATUPANG YANG MEMPESONA

Tegak Lurus dengan Langit merupakan kumpulan cerpen Iwan Simatupang yang dikumpulkan
oleh Dami N.Toda. Di dalam berisi 15 cerpen, diantaranya; Lebih Hitam dari Hitam, Monolog
Simpang Jalan, Tanggapan Merah Jambu terhadap Revolusi, Tegak Lurus dengan Langit, dan
lain-lain. Cerpen-cerpennya ini hampir keseluruhannya mipip esai, karena dia pada mulanya
adalah penulis esai. Cerpen-cerpenya yang pekat, tidak menarik karena kisahnya, tetapi
menarik karena ide-idenya. Komitmen Iwan dengan masalah sosial masyarakatnya cukup
besar, dan sebenarnya itlah yang dikemukakannya dalam karya-karyanya yang avantgarde,
yang memang mendahului zamanya.

IWAN SIMATUPANG PEMBAHARU SASTRA INDONESIA

Cerpen-cerpen Iwan Simatupang adalah jarak dan unik dalam dunia percerpenan di Indonesia.
Mana ada cerpen Indoonesia sedalam dan seintens cerpen Iwan dalam memasuki dunia jiwa
tokoh-tokohnya. Dalam hal bahasa Iwan juga seorang master. Cerpen-cerpenna memiliki
aktualitas sendiri serta mengundang studi yang luas karena kekayaannya.

IWANSIMATUPANG DAN SURAT-SURATNYA:KELAHIRAN NOVEL BARU

Sebagai seorang pengarang, surat-surat Iwan yang demikian banyaknya itu, terutama
ditujukan kepada H.B.Jassin yang telah dilakukan sejak tahun 1952 banyak sekali
menungkapkan sikap atau pandangan hidup sebagai literer Iwan. Termasuk pergulatan,
kegelisahan, pencahariannya dan lain-lain. Nada bicaranya tegas, to the point dan berani.
Sering pula berisi keluhan.

BEBERAPA CATATAN TENTANG PEMBAHARUAN IWAN SIMATUPANG DALAM PENOKOHAN DAN


TEMA

Iwan Simatupang memperlihatkan bahwa alur Iwan yang anti alur; gaya yang puitis
dan esais; serta latar belakang yang indiferen merupakan akibat dari temannya yang
berstruktur ganda serta tokohnya yang personality incomplete.

Iwan dalam esainya “Sastra dan 2 x Manipulasi” mengatakan bahwa sastra bukan
melahirkan konsepsi, tetapi dilahirkan dan konsepsi tertentu. Dan memang novel Iwan
melahirkan tokoh-tokoh eksistensial, yakni orang-orang yang bergelut dengan permasalahan
modus keberadaannya baik pilihan itu ditanggapi secara sadar maupun yang terhanyut di
dalam kehidupan begitu saja. Iwan tampak mencakup kedua pola itu sekaligus. Misalnya saja
di dalam Ziarah.
Pada novel-novel Iwan, tema memiliki struktur bersusun. Jika kita membandingkan
dengan tema yang diketengahkan dalam karya-karya sastra sebelum Iwan, maka tampaklah
bahwa dalam hal tema Iwan telah membuka suatu wilayah baru. Memberikan suatu
kemungkinan lain. Ini terlihat, jika sastra di masa sebelumnya banyak mengetengahkan
masalah sosiologis-kultural. Kemudian masa berikutnya mulai menggarap permasalahan
kejiwaan dan pemikiran. Iwan membuka dimensi baru dengan membuka pertanyaan pada
problema metafisis. Inilah sumbangan dan tantangan Iwan bagi kesusasteraan kita
selanjutnya.

FUNGSI PUITIK ALUR DALAM KOMEDI SEBARAK “PETANG DI TAMAN” *) KARYA IWAN
SIMATUPANG

Kedudukan Iwan Simatupang dalam khazanah kesusasteraan Indonesia sangat


terhormat. Dengan novel-novelnya: Merahnya Merah (1968), Ziarah (1969), dan Kering (1972).
Beberapa pengamat sastra mempredikati ketiga novel itu sebagai nouveau roman.

Rangkaian kejadian dalam PDT tidak berputar pada satu persoalan inti yang dikelilingi
oleh persoalan-persoalan tambahan. Seluruh rangkaian kejadian dalam PDT membeberkan
beberapa persoalan yang kadang-kadang tidak saling berhubungan sama sekali.

Irama alur inilah yang akan menentukan daya tarik alur PDT ini. Tanpa irama alur
yang hidup, alur PDT ibarat perkembangan garis mendatar yang tunggal nada, monotone, dan
membosankan.

Orientasi PDT ini terlukis pada tempat dan alat yang terlihat pada kata “taman” dan
“bangku”. Juga terdapat orientasi tokoh. Orientasi yang dilukiskan PDT dengan dua buah
petunjuk pentas tersebut sudah cukup padat.

F. WIDYASTANTO

SIAPA MAU MENYUSUL EKSISTENSIALIS DARI SIBOLGA?

Iwan Martua Dongan Simatupang. Kehadirannya menjadi berharga. Nama seperti


Chairil atau Pram dengan mudah orang temukan sebagai monumen klasik dalam perjalanan
sastra. Tetapi jenis novel seperti Merahnya Merah (1969) atau Ziarah atau Kering yang
ketiganya bermain dalam satu mata rantai; lalu juga Kooong yang diterbitkan posthumous.

J.P. Sartre telah menempatkan diri pada kesadaran akhir dari apa yang mampu
diserap oleh manusia masa sekarang. Di tengah gelombang kemajuan ilmu dan teknologi. Ilmu
dan kemampuan tinggi dari intelegensi manusia seakan telah mampu menjerit dan makan
umat manusia itu sendiri. Tingkat nafsu hegemoni politik dan ekonomi telah memuncak
sedemikian dahsyat, sehingga pada gilirannya nilai yang paling asasi dalam kebudayaan dan
peradaban lenyap ditelan oleh kegilaan.
Anomalie dalam diri dan sejarah hidup Iwan Simatupang hanya bisa dipahami dari
titik tolak ini. Tetapi dilihat dari sebuah perspektif budaya dan sejarah, maka pergulatan
Iwan untuk menangkap diri, merumuskan dan menghadirkannya sebagai "iwan”, sebagai aku
dan subyek. Upaya semacam itulah mengandung nilai heroik dan benar atas harga diri
kesadaran yang semakin tua dari masa sekarang.

Ketidakmampuannya untuk meloncat dari jabatan gairah individual telah memaksanya


seolah menjadi semakin parah dan remuk pada dataran kesadaran itu.

“TAMAN” IWAN SIMATUPANG

Bagian pembukaan drama ini menyajikan beberapa problema yang menarik; beberapa
konstatasi, perwatakan dan segi kejiwaan kefisikan sebuah karya literer. Drama ini
menyajikan ide pokok tentang kehadiran. Settingnya mencerminkan sebuah pola gagasan
tentang keberadaan. Taman adalah milik umum-kecuali taman di rumah sendiri-semacam
firdaus kecil yang menerima kehadiran entah siapa, entah kapan, dengan problema apa,
dengan masalah bagaimana, dengan keisengan atau kemestian.

IWAN SIMATUPANG:KERAKYATJELATAAN UNIVERSAL NOVEL BARU INDONESIA

Faktor ketidaksengajaan seringkali menentukan dalam proses penulisan karya karya


Iwan. Iwan sangat menyukai gaya bahasa yang padat , yang terkadang menimbulkan kesan
kaku pada rasa kalimatnya.Misalnya, kita baca kalimat-kalimatnya yang terakhir dalam
novelnya Ziarah yang di terbitkan PT Gunung Agung, Jakarta, tahun 1969, pada halaman
197.

“Tiap langkahku menginjak perkuburan tertentu dari mayat-mayat tertentu di bumi


yang bersejarah telah jutaan tahun. Iwan Simatupang adalah penuis yang unik.Ia manususia
yang banyak mengandung kontradiksi dan kompleksitas yang tidak kepalang. Penggunaan
bahasa dari Iwan bukan sekedar sebagai alat penyampai atau penghantar isi pikiran atau
dipergunakan sebagai “tunggangan” dari ide-idenya belaka.

Ada dua masalah besar yang masih harus dihadapi oleh Iwan Simatupang yaitu:
1.Bagaimana ia menyuguhkan ide-idenya yang merupakan pengalaman batin dan kekayaan
ideologisnya sanggup tampil ayau lahir dalam bentuk literer. 2.Bagaimana ia sanggup
memberikan karya karya yang semakin baik, semakin bobotnya bertambah dan selalu relevan
dengan persoalan persoaln terpenting bagi kehidupan masyarakatnya.

Iwan selalu menyongsong dengan positif setiap tokoh pemberontakan, rebeli,


revoltan, yang bergerak menghabiskan hidupnya untuk manusia lain, untuk masyarakat jelata
sekarang dan masyarakat jelata zaman yang akan datang.Peristiwa dan masalah sentral karya
Iwan adalah selalu masyarakat menderita, masyarakat jelata.

Aliran Iwan Simatupang hanyalah Iwan Simatupang sendiri.Latar belakang hidupnya


sangat kompleks dan luar biasa luas pengembaraan pemikiran dan ide-idenya.

IWAN SIMATUPANG DAN TRAGEDINYA


Kegagalan Iwan Simatupang

Dari surat pribadi Iwan yang ditulisnya tanggal 12 Desember 1968(dari Hotel Salak
Bogor H.B. Jasin), terpancar suatu pernyataan rasa menyesal Iwan Simatupang terhadap
kegagalannya untuk memenuhi tuntutan orang tuanya.Harapn orang tuanya ialah agar Iwan
Simatupang menjadi seorang dokter.

Masalah Keagamaan

Tragedi yang kedua yang dialami Iwan ialah sekitar masalah agama.Iwan sebelumnya
adalah seorang muslim yang patut dan taat menjalankan ibadah.Kemudian ia beragama
Katholik sejak terlibat perdebatan sengit di Surabaya.Penyesalan Iwan Simatupang bukan
masalah Katholik atau Islam itu sendiri.Yang menjadi masalah baginya adalah jalan yang
brsimpang dua dengan orang tuanya.Ia memilih Katholik sebagai pegangan terakhir bukanlah
suatu yang dipaksakan kepadanya, bukan pula suatu pelarian, tetapi memang melalui
kesadaran yang disertai oleh pertimbangan yang sehat.

Kematian Istri

Sejak kematian istrinya, Iwan selalu sakit, dan penyakit itu selalu dating setiap bulan
Desember.Sebagai akibatnya Iwan mengalami frustasi yang cukup hebat.Maka mulailah Iwan
menekuni kertas-kertas untuk menulis novel. Kisah tentang kematian istri ini sepenuhnya
terbias dalam novel Ziarah.

“MERAHNYA MERAH”

SEBAGAI CERMIN ORISINALITAS IWAN

Karya-karya Iwan Simatupang merupakan suatu gejala yang pernah mengagetkan


konsumennya, mengagetkan konsumennya , mengagetkan kehidupan kesusastraan kita secara
keseluruhannya. Struktur novel Iwan sama dengan struktur novel kesadaran baru yang hidup
di barat sana.Cerita dalam novel Merahnya Merah itu sendiri memperlihatkan suatu
proses.Tahap pertama dalam kehidupan Tokoh Kita adalah tahap penentuan akan mutlaknya
suatu nilai yang dipilih dan dihayatinya.Namun demikian, novel ini berbeda dengan novel
transisi, sebab di dalamnya hanya ada satu tokoh utama. Tokoh Fifi, Pak Centeng, Maria,
memamng mempunyai pencarian nilainya sendiri-sendiri, yang berkonflik dengan dunia
gelandangan yang penuh dengan ketidakpastian itu.

Novel Iwan seluruhnya, termasuk strukturnya, beranjak dari struktur batin Iwan
sendiri yang dicetak oleh lingkungan masa colonial dan masa sesudahnya.Individulisme yang
melatarbelakangi sosialisasi dirinya mencetak struktur novel yang berciri pencarian.Iwan
adalah tukang baca.Adanya pengaruh-pengaruh dari karya-karya barat tidak dapat dipungkiri.

KEBUDAYAAN KELONTONG MERAMBAH MASYARAKAT DESA

Sastrawan Gerson Poyk pada sekitar lima tahun yang lalu (yang dimaksud adalah
tahun 1975) pernah merisaukan tentang keadaan masyarakat Indonesia yang sudah
kejangkitan barang-barang kelontong.Yaitu barang-barang luks yang ditawarkan lewat iklan
pada media massa cetak ataupun elektronik dengan cara yang teramat
mempesona.Sebenarnya apa yang dirisaukan oleh Gerson Poyk sudah lebih dulu pernah
dirisaukan Iwan Simatupang.Pada tahun 1968 Iwan Simatupang telah menulis novel berjudul
Kooong

KEBUDAYAAN KELONTONG

Kekayaan yang diterima secara mendadak sontak memang tidak saja mengejutkan,
tetapi juga mengagetkan mental yang menerima kekayaan itu secara tiba-tiba.Hal demikian
ini oleh Iwan Simatupang diamati secara teliti.Iwan Simatupang menilai bahwa kebudayaan
kelontong telah masuk dan dimasukkan ke desa.

NOVEL-NOVEL IWAN SIMATUPANG: EKSPERIMEN YANG BERHASIL

Iwan Simatupang telah membawa kita dalam dunia yang penuh absurditas. Gagasan-
gagasan dalam novelnya memberikan suatu sistem yang mengandung arti ketidakpastian. Hal
tersebut dilakukan Iwan untuk melakukan eksperimen dalam usahanya mengekploitasi
kemungkinan potensial karya sastra yang bergenre novel.

Kemungkinan potensial lain yang tak luput dari penganamatan Iwan adalah unsur
setting/ latar, dan image-image simbolik lewat penamaan tokoh,serta penulisan ejaan.

IWAN SIMATUPANG SASTRAWAN INDONESIA

Iwan tergolong jenis manusia yang menjadi terkenal, justru setelah ia tiada.”Hidup
Iwan laksana sebuah simfoni yang tak terselesaikan,” ungkap Menteri Frans Seda pada saat
menghadiri upacara pemakaman Iwan.

Tanggapan pada novel Merahnya-merah adalah ceritanya efektif karena menggunakan


unsur tertentu, seperti ironi. Tanggapan pada novel Ziarah adalah berhasil mengungkapkan
segala pikiran, persepsi tokoh mengenai kemanusiaan yang membukakan kesempatan
interpretasi yang luas. Tanggapan pada novel Kering adalaah merupakan novel kritik sosial
yang paling tajam diantara karya yang lain.

Iwan menulis secara sangat filosofis dan psikologis. Di mana Iwan memiliki khas
tulisan yang abstrak, kontraditif, nasionalistis, terlibat, idealistik, humoristik, dan gaya
bahasa yang kuat. Iwan selalu menunjukkan solidaritas dengan rakyat biasa. Iwan diaggap
sebagai pembaharu dalam sastra Indonesia.

IWAN SIMATUPANG (1928-1970) MANUSIA HOTEL SALAK KAMAR 52

Iwan memiliki gagasan bahwa Indonesia saat ini adalah MENCIPTA. Protes atau
pemberontakan, lalu-lalang dalam novel Iwan, berupa gabungan antara rasa iba pada diri
sendiri, sunyi, takut, merana, dan sebagainya.

Secara keseluruhan, yang menonjol dalam karya sastra Iwan adalah keasadaran
melihat manusa itu dalam nilainya yang serba nisbi.
Iwan Simatupang, Sartre Indonesia
Oleh : Sigit Susanto | 28-Des-2006, 17:21:41 WIB

Judul: Esai-Esai Iwan SimatupangPenulis: Iwan Simatupang Cetakan: I (Oktober


2004)Penerbit: Buku Kompas Tebal: 366 hal

Membaca karya sastra dalam bentuk novel, puisi, teater, atau cerpen, kita lebih
sering dihadapkan pada imajinasi seni penulisnya. Dengan kata lain seluruh
kekuatan seni menulis, gaya bahasa, pilihan tema menjadi prioritas. Sebaliknya
pada penulisan esai, imajinasi seni sering tidak dikedepankan lagi, melainkan lebih
mengutamakan wawasan, pengalaman, pandangan politik, dan sosial dari penulis
bersangkutan. Faktor lain yang tak kalah penting pada penulisan esai adalah
mengikuti secara intensif berita teraktual yang sedang beredar di masyarakat.
Kualitas esai sering pula dinilai dari bagaimana esais mampu mengaplikasikan
antara tema yang dipilih dengan banyak referensi buku bacaan.

Schopenhauer menyebutnya, membaca ibarat berpikir dengan menggunakan


kepala orang lain. Akan tetapi Nietzsche justru berseberangan dengan argumen,
orang-orang yang banyak belajar dan bekerja dengan baik, maka tak perlu
membaca lagi. Pada buku “Esai-Esai Iwan Simatupang” ini, Iwan menulis 44 esai
yang secara garis besar terbagi dalam tiga bagian. Bagian I: Masa Menjadi Guru
SMU (1950-1955). Bagian II: Masa di Eropa (1955-1959). Bagian III: Masa Menulis
Novel (1960-1970)
Buku setebal 366 halaman ini cukup menantang. Setidaknya untuk mengintip
pandangan-pandangan seorang Iwan terhadap dunia sastra pada umumnya.
Novel-novel Iwan, seperti: “Ziarah” “Kering”, dan “Merahnya Merah” bisa kita
anggap sebagai ciptaan imajinasi seni Iwan. Pada esai-esai ini pembaca disodori
sumpah serapah, emosional serta niveau intelektual seorang pengarang yang
kritis. Kalau orang membicarakan kepengarangan Iwan, sering dikaitkan dengan
gaya bahasanya yang berbeda dengan pengarang sezamannya. Atau
kepengarangannya sering pula diparalelkan dengan tokoh eksistensialisme
Perancis, Sartre atau Camus. Pada esai berjudul “Sartre dan Konsekuensi”
(hal:75), Iwan tampak habis-habisan mendudukkan persoalan seorang Sartre yang
dianggap hanyalah sebagai Ecce homo. Keterlibatan Sartre pada Partai Komunis
Perancis, serta kesalahan tentara Rusia menduduki Hongaria, tak bisa dinilai
secara separuh-separuh. Istilah yang dipakai Iwan harus dinilai secara totalitet.
Kalau tidak ingin pincang menemukan sosok Sartre sebagai filosof. Pada esai itu
disebutkan keretakan hubungan antara Sartre dan Camus dipicu lahirnya buku
Camus berjudul “L`Home révolté”.

Polemik Sartre-Camus dilangsir oleh jurnal “Les Modernes Temps”. Jurnal yang
didirikan oleh Sartre sendiri dan lebih banyak menganalisis hasil pemikirannya.
Pada jurnal tersebut Camus mengakhiri perpisahannya dengan mengucapkan,
“Adieu, Monsieur le Directuur”-Bien, Bien.” Sartre menjawab, “Au revoir, Monsieur
Camus.” Iwan pada esai ini tidak banyak menyinggung Camus. Justru ketertarikan
Sartre pada marxisme, dibela oleh Iwan dengan membandingkan ketertarikan awal
Dostojewsky pada sosialisme. Pada buku Sartre “L`Existentialisme est un
humanisme” (Eksistensialisme Adalah Humanisme), Sartre menyitir pula
pandangan Dostojewsky yang menyebut, “Bila Tuhan tidak ada, semuanya bisa
dibebaskan.” Pandangan Dostojewsky tersebut bagi Sartre dianggap sebagai jalan
keluar pemikiran eksistensialisme. Pada prinsipnya manusia terlempar ke dunia
tanpa harus punya rasa beban bersalah. Sebaliknya mereka harus bebas. Sebab
masa depan manusia terletak pada manusia itu sendiri. Mereka bisa dan harus
mandiri. Di sini letak perbedaan sekaligus persamaan teori marxisme dengan
eksistensialisme. Marxisme mengajak manusia menentukan masa depannya
dengan kekuatan kolektif kaum proletar seluruh dunia. Artinya kaum proletar lah
yang dapat dan harus mengubah sistem untuk masa depannya. Sebaliknya
eksistensialisme menawarkan kemandirian menatap masa depan dimulai dari diri
sendiri secara individu. Niscaya bila setiap individu sudah mampu mandiri, dengan
sendirinya masyarakat bisa mengurus dan menjawab beban hidupnya di dunia.
Sebaliknya Camus menyebutkan pada bukunya “L`Homme révolté”, kejahatan
zaman kini bukan lagi dari anak-anak bersenjata, melainkan dari orang-orang
dewasa yang berusaha mencari alasan dengan logika. Sejalan dengan itu pada
buku “Inspirasi? Nonsens!” karangan Kurnia Jr mengutip perkataan Gunawan
Mohamad sebagai berikut, “Tokoh pada `Merahnya Merah` ada selalu unsur ke-
Tarzan-an. Tokoh Iwan yang tak bernama dan disebut `tokoh kita` dan `dia` punya
fisik mental yang kuat untuk memilih situasi yang paling keras sekalipun. …seperti
pahlawan dalam sastra realisme-sosialis.” Pada buku yang sama Kurnia Jr menyitir
pendapat Arief Budiman, “Tapi kesulitan Iwan menurut saya, dia terlalu genit,
bombas dengan ide-idenya. Dia menurut saya bukan pengarang. Dia lebih seorang
esais atau kritikus. Sebenarnya dia tidak pantas menulis novel, dia lebih pantas
menulis esai atau kritik.”

Lepas dari berbagai interpretasi terhadap kepengarangan Iwan, tetap saja Iwan
telah pergi dan mewariskan guratan corak kepenulisan baru. Tampaknya Iwan
lebih dekat dengan pemikiran Sartre daripada Camus. Pada beberapa esainya di
buku ini dia sering menyinggung dan membenarkan pemikiran Sartre. Iwan
menganggap eksistensialisme Sartre itu bertuju ke suatu bentuk sosiologi yang
lempang mengunjuk ke suatu acara sosial. Sartre bercondong ke suatu bentuk
moral berlatar luas yakni, sosiologi yang marxistis. Sebagai pengarang Indonesia,
Iwan lah yang terlihat paling loyal dan membenarkan pemikiran Sartre. Sebab itu
layak dia disebut sebagai Sartre Indonesia.
Pada esainya berjudul “Manusia-souterrain” (hal:43), dia berang dengan seorang
berinisial H.S. Berawal dari pidato Iwan di sebuah radio, mendapat kritik pedas dari
H.S yang dimuat di majalah “Jaman Baru” milik Lekra edisi 20 Juni 1953. Iwan
ditantang bertemu H.S untuk berdialog. Tapi Iwan menolak dengan jawaban santai
“Mari mencipta! Masih terlalu sedikit ciptaan dalam kesustraan kita. Yang banyak
baru ngomongnya saja.” Apalagi kalau dikaitkan dengan prediksinya, bahwa masa
produktif seorang pengarang berkisar antara 15-20 tahun. Masa itu penanya masih
basah, khayalnya kaya. (Sekitar Surat Kabar Selentingan, hal:202).Tentang proses
kreatif pengarang, Iwan menurunkan esai berjudul “Kemungkinan-kemungkinan
bagi Para Tunas Muda” (hal:195). Dia memaparkan kejujuran Winston Churchill,
peraih nobel sastra yang mengakui, karyanya “Memoires” yang terdiri atas empat
jilid sangat sukses. Kesuksesannya bukan karena mutu karyanya, malainkan
Churchill menganggap lebih banyak disebabkan oleh pengaruh kepopuleran
namanya sebagai negarawan dan pengarang.
Pengembaraan Iwan di negeri Eropa tak hanya mempelajari seni teater di
Amsterdam, antropologi di Leiden, dan filsafat di Sorbonne, namun dia melakukan
pengamatan pada perkembangan sastra di Belanda khususnya serta Eropa pada
umumnya. Iwan mencontohkan seorang pengarang Belanda bernama Simon
Vestdijk yang sangat berbakat saat itu. Pria bujang berusia 50 tahun itu dalam
waktu setahun mampu menghasilkan tiga novel, satu kumpulan esai, dan satu
kumpulan sajak. Karya-karya Vestdijk digemari dan selalu ditunggu-tunggu publik.
Dalam pandangan Iwan keberhasilan sebuah karya lebih banyak ditentukan oleh
bakat penulisnya. Penyair kenamaan Jerman, Rilke tak lepas pula dari kritiknya.
Iwan menuduh Rilke penyair nyinyir, berdasar bacaan Iwan atas buku berjudul
“Buku harian Malte Laurids Brigge” (Die Aufzeichnungen des Malte Laurids Brigge).
Iwan muak dengan ulasan panjang Rilke berhalaman-halaman hanya bicara
tentang cat yang hampir pudar pada sebuah bingkai. Inginnya Iwan melemparkan
jauh-jauh atau merobek-robek buku itu. Mitos seniman yang harus morat-marit
hidupnya atau didepak dari asmaranya, seperti dilakukan Rilke tak seharusnya
diteruskan. Cara demikian menurut Iwan seperti beribadah pada era romantik. Dari
daratan Jerman Iwan meluruk ke Australia mempertanyakan kritik Harry Aveling
perihal tak adanya humor sastra Indonesia yang sophiticated. Iwan memperkirakan
humor model Indonesia sering tidak langsung. Puisi rakyat jelata kita adalah puisi
alam bernada riang gembira. Dongeng-dongeng kita adalah folklore yang kocak
tentang peri, jin, raksasa, dan roh nenek moyang kita. Singkatnya tanpa bakat alam
akan humor ini, sudah sejak lama bangsa kita pupus dari muka bumi.
Dengan membaca kumpulan esai Iwan Simatupang ini, setidaknya pembaca bisa
mendekatkan diri pada pola pikir pengarang yang pernah dijuluki sebagai
pembaharu sastra Indonesia. Bagi pembaca yang datang dari generasi
belakangan, terasa akan sedikit terganggu dengan banyaknya ungkapan bahasa
Belanda yang dipakai Iwan. Mungkin pada zaman itu trend berbahasa Belanda
menjadi barometer niveau intelektual seseorang. Pengantar Frans M. Parera
berjudul “Visi dan Misi Seniman Pascarevolusi” sampai 57 halaman, terlalu
panjang. Terdapat kesalahan nomor jalan pada alamat Museum Multatuli di
Amsterdam. Sekarang ini bukan di jalan Korsjepoortsteeg, No. 44, melainkan No.
20. (Museum Multatuli, hal:152)
***
Skizofrenia, Kegilaan, dan Modernitas: Perihal Prosa Iwan Simatupang
Posted by PuJa on September 4, 2011 Asarpin *

Novel pelacur mesti diuji keampuahannya dari suatu keadaan tepi-tepi terakhir tepi yang menari-
nari di remang kejauhan Tepi, daerah terakhir sebelum ketamatan –IWAN SIMATUPANG
Seorang novelis terkemuka memutuskan untuk menarik diri dari situasi politik yang sedang riuh.
Setiap saat ia merasa dipaksa oleh suatu tata pemerintahan di negerinya untuk patuh dan
mengikuti segala aturan yang telah ditetapkan. Si pemuda yang calon seniman itu merasakan
kesuntukan yang tak terlukiskan, dan nyaris tak ada pilihan bagi hidupnya. Satu-satunya jalan
adalah berpura-pura patuh mengikuti garis yang dipancangkan pada semua orang, termasuk pada
dirinya. Si pemuda bertingkah kekanak-kanakan, dan terkadang pula meledek situasi yang
sedang terjadi pada realitas politik dan seolah-olah mengikuti begitu saja kenyataan sesuai
dengan garis partai yang sedang berkuasa (namun, sekali lagi, ia cuma pura-pura). Setiap hari
pemuda itu berjalan ke gedung kesenian mengirimkan tulisan, dengan pakaian compang-
camping dan tampak urakan. Orang bilang ia sangat taat pada aturan, namun tingkah-polahnya
bikin orang yang bekerja di gedung kesenian tahu bahwa ia sedang menyaru atau
menyembunyikan sifatnya yang sebenarnya. Si pemuda sedang membuat parodi yang bercorak
karikatural; seolah-olah mau mencemooh negara dengan cara tak wajar. Ia rajin berkirim surat
kepada sesama seniman, dan isi suratnya kadang kala mendoakan kekuasaan partai tunggal
segera runtuh dan dirinya yang compang-camping itu akan menjadi manifes kalau diri palsu itu
sudah runtuh dan semua protes akan menjadi nyata kalau topeng sudah diambil-alih. Harapannya
terbukti. Protes terhadap negara dan partai yang sedang berkuasa muncul di mana-mana.
Beberapa orang bahkan ada yang sengaja memanfaatkan tentara negerinya agar kekuasaan partai
tunggal segera hancur. Dan pemuda yang seniman itu juga pernah mengirim surat kepada
kenalannya, Latok, dengan mengatakan: “Tentara nasionallah harapan kita yang paling makzul
di masa akan datang, Latok!” ***

Kisah di atas sengaja saya kemukakan dalam konteks mengawali pembicaraan tentang
skizofrenia, kegilaan, dan modernitas dalam konteks prosa-prosa Iwan Simatupang. Gejala ini
memang sempat menjadi kajian mendasar pada pertengahan abad ke-20, seperti saya gambarkan
di atas, yang saya cuplik dari berbagai sumber. Pandangan hidup skizofrenik dalam ilustrasi di
atas menegaskan beberapa hal: saya menjadi gila atau mengidap schizoid berhubungan dengan
paksaan lingkungan yang menjajah kemerdekaan berpikir dan berserikat saya. Orang gila tetap
manusia, juga dia tetap berupa hal mengada pada dunia. Beberapa neourolog dan filsuf telah
mencoba menjelaskan soal ini: Sigmund Freud, Eugen Bleuker, Louis A Sass (Madness and
Modernism), C.R. Badock (yang salah satu bukunya telah diterjemahkan ke Indonesia dengan
judul Kegilaan dan Modernitas, 1987), Anthony Storr (The Dynamics of Creation dan Solitude:
A Return to the Self), Ray Monk (Ludwig Wittgenstein: The Duty of Genius), Irving I
Gottesman (Schizophrenia Genesis: The Origins of Madness) , Nietzsche, Fanon, Sartre,
Marleau-Ponty, Sylvia Nasar (A Beautiful Mind), dll. Kondisi skzofrenia dan kegilaan terkait
erat dengan situasi modernitas dengan segala derivasinya. Situasi kegilan bagaimana pun sering
kali merupakan korban lingkungan. Namun orang yang dianggap gila justru menyimpan
kejeniusan. Hidup Iwan dalam kecemasan yang luar biasa. Seakan hidupnya tak lagi punya
harapan. Saya kira Gabriel Marcel benar ketika mengatakan, sambil mengutip sebuah pepatah
asing, bahwa yang dipakai untuk membuat hidup manusia ialah harapan: without hope no life.
Kita hidup berdasarkan harapan, ketika harapan hidup punah, manusia resah dan cemas. Bahkan
bisa jadi putus asa dan gila. Maut tak bisa dibayangkan. Ketika istri tercinta kita mati, maka maut
seperti datang kepada kita tanpa basa-basi dan tak bisa dibayangkan. Gejala ini tentu bisa
ditafsirkan macam-macam, bukan hanya dialektika dari retensi dan protensi seperti Hegel
melukiskan putus asa absolut.

Novel Ziarah Iwan dibuka dengan kematian sang istri tercinta, di mana sang suami tampak
linglung. Kemudian geala ke arah skizofrenia terkuak ketika si suami melontarkan kata-kata
yang sering tak beraturan dan menerabas tanda baca melaui gaya fantasi yang kekanak-kanakan.
Walau sejak kematian istrinya, ada alasan baginya tiap siang hari untuk terus hidup. Namun
ketika malam tiba, ia mabuk dan nyaris berada pada ambang kegilaan. Letupan kata-kata muncul
dengan merdeka tanpa beban dan di situlah makna harapan dan tiadaharapan tokoh yang
mengalami skizofrenia terkuak. Sepanjang hidup Iwan sering melontarkan perasaan kesepian dan
merasa tertekan akibat situasi politik yang tak menentu. Banyak kritikus yang mencemooh
gagasan eksistensialisnya, baik dari kalangan Lekra maupun di luar. Sutan Takdir dan
Sudjatmoko, misalnya, tak terlampau menaruh harapan pada eksistensialis dan sering meledek
eksistensialisme Iwan. Namun, jarang sekali kritikus sastra mengaitkan secara serius narasi
skizofrenia dan kegilaan dalam prosa Iwan dengan situasi modernitas yang tengah melanda
Indonesia pertengahan abad ke-20. Prosa-prosa gebalau nonsens Iwan didominasi oleh suatu
pelarian dari realitas yang disebabkan oleh perkembangan modernitas yang mendadak ke suatu
bidang seni dan sastra. C.R.Badcock sendiri pernah menelusuri hampir semua karya seni, mulai
dari lukisan, musik, teater, puisi, prosa (novel dan cerpen) kian mirip dengan karya psikotik dan
anak-anak dengan bentuk ekspresi regresif di mana tokoh-tokoh mengalami disintegrasi,
skematisasi, degradasi. Seni lukis Sezanne, novel Samuel Beckett (How It Is) yang tidak
mengunakan tanda baca, teater Ionesco (The Bald Prima Donna), James Joyce, dll. Dalam
bukunya, Madness and Modernity—terjemahan Bosco Carvallo—Badcock melukiskan panjang
lebar konteks skizofrenia dan kegilaan dalam karya seni atau sastra, berikut ini: Beberapa karya
penulis seperti Beckett, Joyce, Ionesco, mungkin mewakili keekstriman, bahkan untuk
kesusastraan modern sekali pun, namun para pengarang ini tidak dapat dilukiskan sebagai
eksentrik, periferal, atau tanpa pengaruh. Kebanyakan pembaca akan sependapat bahwa ciri
modernisme dalam kesenian yang telah saya kemukakan bukan tidak esensial dan ciri tersebut
memang perlu diberi komentar.
Sudah sejak lama ada kebiasaan di kalangan connoisseur avant-garde untuk menghukum orang-
orang awam di jalanan karena kebanyakan menolak kesenian modern lantaran tidak
memahaminya sebagai suatu macam kegilaan, namun pada kesempatan ini orang di jalanan
tersebut—yang, tidak seperti para connoisseur, tida membela suatu kepentingan tetap atau tidak
tetap—mungkin memang benar. Jika kita menanyakan diri kita sendiri mengapa dalam bidang
kesenian dan khususnya kesusastra-anlah simtom konflik skizoid, psikokotik dengan realitas
paling menonjol, maka jawabnya mungkin harus ditemukan dalam dua pertimbangan utama.
Pertama, ada pendapat yang mengatakan bahwa dampak kultur modern, ilmiah, dan teknologis
ternyata paling sulit dialami oleh orang-orang yang mempunyai temperamen artistik dan intuitif
yang mengungkapkan dirinya melalui teknik tradisional seperti pengrajin. Kedua, ada pendapat
yang mengatakan bahwa kesenian dan kesusastraan, barangkali lebih daripada yang lain kecuali
agama, menjamin eksternalisasi bawah sadar yang diakui secara kultural dan barangkali bahkan
lebih daripada agama, untuk bawah sadar individual khususnya. Oleh karena itu, ketika dampak
itu tiba, dampak itu tercatat amat kuat dalam bidang-bidang upaya yang terutama sangat rentan
dan sangat cocok untuk ekspresi reaksi psikologis yang sangat mirip dengan ekspresi psikosis
individual. Pada prosa Ian bukan tidakada tanda-tanda yang dikemukan Badcock lewat teori
psikoanalis Freudian itu. Kita tahu, situasi politik pada masa Orde Lama banyak orang terlampau
menuntut tanggungjawab seniman. Seni untuk seni dipandang borjuis. Eksistensialis dianggap
terlampau mewah untuk Indonesia pada masa Orde Lama, bahkan sampai Orde Baru. Dalam
situasi inilah Iwan banyak menulis prosa yang dipengaruhi karya-karya eksistensialisme Prancis.
Iwan memang pernah dekat dengan gagasan eksistensialisme dan Humanisme Jean Paul Sartre.
Namun dalam perihal tentang s’enganger (melibatkan diri) dan tanggungjawab seorang seniman,
tampak bahwa Iwan berbeda dengan Sartre. Gagasan Iwan tentang komitmen sosial dan
tanggungjawab malah agak dekat dengan Levi-Strauss yakni tanggungjawab pada dirinya sendiri
dan apa karyanya berikutnya. Tidak semua orang bisa seperti Sartre yang melakukan banyak hal,
selain menulis roman, filsafat, teater, dan politik. Namun bukan berarti bahwa ketika Iwan
mengangkat kaum urakan, kaum gelandangan, orang gila, tak punya komitmen terhadap
masyarakatnya. Iwan telah menunjukkan tanggungjawab pada dirinya dan karyanya.

Apa boleh buat, Iwan masih tak banyak pengikut kecuali segelintir sastrawan yang tergabung
dalam Manifes Kebudayaan. Tuntutan tanggungjawab pengarang dan komitmen sosial jauh lebih
bergemuruh dan membuat jiwanya kuyup. Kemerdekaan untuk memilih sesuai dengan nurani
belum banyak sekutu. Maka muncullah pergulatan batinnya yang keras dan nyaris melumat
individunya. Pikiran muncul dengan merdeka dalam sunyi, dan terkadang tanpa berpikir panjang.
Ketika muncul peluang untuk membebaskan diri dari rasa tertekan, apa pun sering nol
pertimbangan.

Dan Iwan sendiri pernah menaruh harapan pada TNI sebagai pembebasan dari tekanan kaum
komunis. Dalam suratnya kepada Larto bertanggal 19 Agustus 1965 (saya baca dari buku
Prahara Budaya suntingan D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail (1995: 410), Iwan pernah menulis
begini: …TNI-lah harapan kita yang paling utama di masa depan, Larto! Semangat kemerdekaan
yang masih tetap bergelora dalam dada korps Siliwangi, Brawijaya, Diponegoro, Bukit Barisan,
Sriwijaya, Hasanudin, Pattimura, dan lain-lain, kukira semangat kemerdekaan mereka ini masih
cukup ampuh untuk menghadapi eksperimen Madiun kedua yang akan datang! Prajurit-prajurit
seperti Abdul Haris Nasution, Ahmad Yani, Suharto, Basuki Rachmat,, Ibrahim Adjie, dan lain-
lain adalah (masih) tetap jaminan bangsa kita, bahwa eksperimen seperi itu bakal pasti
memperoleh perlawanan yang sangat dramatis, dan bahwa eksperimen itu, walau betapa besar
pun nantinya jumlah korban yang bakal dimintanya, tapi kemenangan terakhir pastilah ada pada
pihak KEMERDEKAAN YANG BERDAULAT PENUH DARI NUSA DAN BANGSA
KITA!… Bukan maksud saya untuk membuka polemik lama antara Lekra dan Manifes
Kebudayaan dan memojokkan Iwan di sini, namun pernyataan itu saya kutip untuk menegaskan
bahwa dalam situasi yang gawat dan mengancam, orang sering tak berpikir panjang untuk
mengambil suatu alternatif.

Gejala ini sedikit banyak terkait dengan skizofrenia dan kegilaan yang ingin saya ketengahkan.
Beberapa pernyataan Iwan menjadi kenyataan, dan seorang yang tengah merasakan situasi yang
menekankan kadang kala bertindak seperti kaum futurolog yang berdepan-depan dengan zaman.
Surat-menyurat Iwan yang telah diterbitkan adalah contoh bagaimana perasaannya dan sikapnya
terhadap kekuasaan Orde Lama dan berbagai penopangnya.
Iwan kerap kali melukiskan hidupnya seperti kapal pecah dihempas gelombang, naik-turun tanpa
kepastian. Pikiran sering melantur, regresif, dan sering tanpa corak integrasi. Komunikasi dengan
orang lain seakan tertutup dan jadilah ia makhluk kamar, menyepi di sebuah hotel di
bilangan Bogor dan menulis novel, cerpen, esai, surat, dll., dengan mutu
yang relatif terjaga (walau bahasa Indonesia yang digunakan tidak sepenuhnya mengikuti kaidah
bahasa yang baik dan benar).

Tiap kali saya membaca prosa-prosanya, selalu muncul imago kegilaan dan makin lama makin
tampak menunjukkan gaya ke arah ekstase yang bersifat mistis. Selama ini, pembacaan terhadap
sudut pandang penokohan dalam novel dan cerita pendeknya, cenderung berhenti pada tokoh-
tokoh gelandangan, seperti dalam pembacaan Dami N. Toda, Mangunwijaya (1982), Kurnia JR
(1999). Tak banyak yang mencoba mengaitkannya dengan narasi kegilaan dan skizofrenia lebih
jauh. Hanya sedikit yang mengaitkan tema skizofrenia dan kegilaan dan modernitas. Pembacaan
saya terhadap hampir semua prosa Iwan, tidaklah berlebihan jika saya mengatakan di sini bahwa
Iwan telah menjelma sosok pengarang Indonesia yang begitu intim menghadikan narasi kegilaan
dalam prosa pada zamannya. Bahasa eksistensialis yang dipinjamnya dari eksistensialisme
Prancis cukup membantu mengekspresikan narasi skizofrenia dan kegilaan yang di Indonesia
pada dekade 1950-an-1960-an belum terlalu banyak disuarakan. Dalam prosanya muncul letupan
kata-kata yang dari mulut Tokoh Kita dan tokoh-tokoh lelaki lainnya, yang terkesan main-main
dengan kata-kata, seperti Merahnya Merah, Ziarah, Koong, Kering, dan kumpulan cerpen Tegak
Lurus dengan Langit (cetak ulang oleh Pustaka Kompas, Jakarta, 2004), mirip dengan cerocosan
orang gila. Ceracau tokoh-tokoh antagonis dan eksentriknya, mengingatkan kita pada orang-
orang gila yang di autopsi di Rumah Sakit Jiwa. Saya tak tahu persis ungkapan yang tertulis
dalam sampul belakang buku Ziarah penerbit Djambatan (1969), ketika muncul kata-kata yang
agaknya mengarahkan kita untuk melihat fenomena novel Iwan sebagai cermin keberhaslan
melahirkan narasi kegilaan. Saya kutip langsung dalam ejaan lamanya: “Dalam penondjolan
tokoh-tokoh dan watak-wataknya adalah orang-orang la biasa. Tetapi kesan ini disebabkan
karena penulisnja menempatkan mereka didepan suatu katjagila”. Kedekatan Iwan terhadap
manusia-manusia yang tampak seperti pasien-pasien yang merasa terpenjara di RSJ itu, tentu
berhubungan dengan kedekatan Iwan terhadap tema ini. Kita tahu, Iwan pernah melakukan studi
tentang kejiwaan manusia dengan intim; ia pernah kuliah di fakultas kedokteran Universtas
Airlangga Surabaya, walau tidak tamat. Lalu ia mendalami kembali tentang manusia lewat kajian
antropologi di Universitas Leiden dan mendalami filsafat—khususnya eksistensialisme—di
Univesitas Sorbonne, Paris. Konflik penokohan dalam prosanya begitu kuat justru karena Iwan
tak pernah henti-hentinya memahami manusia berikut pernik-pernik kejiwaan secara intim. Iwan
menghadirkan prosanya bagaikan para sufi yang tengah akstase, dan ia memang pernah
mengatakan tentang “manusia dalam ekstase sekaligus kemanusian dalam ekstase”. Tidak
berlebihan jika Mangunwijaya dalam Sastra dan Religiositas (1982) menyebut novel-novel Iwan
adalah “novel gaya sur-realis lebih berkecimpung dalam teritorium puisi daripada prosa, lebih
dalam bahasa mistik daripada bahasa theologi, lebih melamun daripada bercerita”. Hal-hal yang
dianggap gila, yang dijauhkan masyarakat kebanyakan, justru diapresiasi Iwan dengan sangat
intim dan penuh penghayatan individual yang keras melalui bahasa kesyuhadaan. Apa yang
“gila” itulah yang lazim dan menantang sekaligus yang paling segera menjadi minatnya, menjadi
titik-pemberangkatan dari dunia di luar lingkungannya. Untuk apakah semua itu? Lamat-lamat
kita melihat sebuah “keakanan yang tak selesai”: untuk menyusun (sementara) dunianya sendiri.
Bahasanya sendiri. Gayanya sendiri. Ada kesan bahwa Iwan menulis prosa seperti pernah
menjadi orang gila betulan, karena kata-katanya kerap kali melantur begitu saja dan dengan
cekatan dinarasikan tanpa beban, hingga bahasanya pun seakan melompat-lompat menyalahi
aturan ejaan yang diberlakukan secara sengaja. Tengok ucapan ini: “Begitu malah jatuh,
pantatnya di tuangnya arak penuh-penuh, memanggil Tuhan keras-keras, kemudian meneriakkan
nama istrinya keras-keras, menangis keras-keras, untuk pada akhirnya tertawa keras-keras”
(Ziarah). Lalu dalam lembar beikutnya Iwan kembali menulis sebagai hasrat melukis dengan
kata-kata di benak pembaca: “malam waktu itu, dia mulai dikenal sebagai pemabuk, yang keras-
keras memanggil nama istrinya, keras-keras menangis, keras-keras memanggil Tuhan, dan
akhirnya keras-keras tertawa, terbahak-bahak kesetanan”. Pemberontakan Iwan terhadap
pandangan dunia “kegilaan” yang selama ini secara picik diterjemahkan, dan orang-orang gila
senantiasa dianggap sampah oleh masyarakat, memang sangat dekat dengan tema
pemberontakan atas konvensi-konvensi sastra resmi yang terlanjur dimamahbiak oleh
masyarakat banyak. Dalam cerpen Lebih Hitam dari Hitam—cerpen ini dipublikasikan pertama
kali oleh di majalah Siasat Baru Desember 1959—tokohnya menjelma sebagai pasien yang “tak
waras” dan terpaksa harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Dalam rumah sakit tersebut sang tokoh
bertemu dengan “orang-orang gila” yang berceloteh-ria dan terkadang monolog dengan dirinya
sendiri. Seorang lelaki berperawakan kekar memperlihatkan caranya menatap dan mengamati
sesorang, memulai bicara dan menyudahi kalimat-kalimatnya, meninggalkan kesan bahwa orang
ini begitu disegani dan ditakuti. Dalam cerpen ini sang narator terlihat begitu simpati dengan
orang-orang yang dianggap miring dan gila yang sedang dirawat bersamanya. Jiwanya terasa
kuyup oleh segala pelabelan dan harga diri orang-orang normal yang menderas kesadaran
batinnya. Sementara dalam cerpen Monolog Simpang Jalan, sang narator kembali mengisahkan
seorang lelaki gelandangan yang dianggap gila dan melakukan sebuah monolog—sesuatu yang
sering dijadikan indikasi bahwa setiap orang yang berbicara sendiri dianggap gila. Lewat cerpen
ini, sang narator mengisahkan perjumpaannya dengan seorang gelandangan yang berpakaian
dekil dan kumuh di sebuah persimpangan jalan yang dilaluinya. Lelaki itu, dengan sorot mata
yang tajam, menatap ke arahnya dan melemparkan kata-kata yang menyentak kesadaran
batinnya. Sang gelandangan dalam cerita ini nyaris tak memberi ruang dialog bagi tokoh lainnya,
tapi lebih suka bicara sendiri dai hti ke hati. Di tengah-tengah kegalaun dan teka-teki yang
menyelimut perasaannya, ia menangkap kesunyian sempurna di balik raut wajah lelaki tersebut.
Sang lelaki tersebut tampak sedang mempersaksikan seorang manusia, seorang yang
menanggung seluruh beban dari sunyinya, di dunia yang kian hari kian ramai dan bising. Orang-
orang memperlakukannya sebagai orang sinting dan harus segera dibawa ke RSJ. Orang-orang
pun hilir mudik dan sibuk mencari ambulan, dan dari dalam mobil ambulan tersebut berlompatan
beberapa juru rawat yang siap dengan tandu penggotongnya. Iwan Simatupang menafsir dengan
kritis tentang makna tersirat di balik narasi kegilaan. Pergulatan sang narator adalah pergulatan
seorang yang protagonis, yang absurd, dan hampir tak pernah mau berkompromi. Meski pada
akhirnya lelaki dalam cerita itu tinggal sendirian menanti “ayam pertama berkokok kembali,
senyum lebar di wajahnya, senyum yang sangat membebaskan”, sang narator tampak seperti ikut
terlibat dalam konfli penokohan dalam prosanya. Tokoh lelaki itu, tingkah lakunya yang aneh,
sepeti wajahnya dihadapkan pada terik yang terbit, tegak lurus dengan langit, menunjukkan rasa
hayatan yang kuat tentang pengetahuan kegilaan. Tetapi, sang tokoh dalam Tegak Lurus Dengan
Langit tak pernah tunduk dan menyerah dengan kesendirian atau kehampaan. Harga diri dengan
segala tetek-bengeknya telah ia campakkan. Semua yang dijumpainya, lelaki tua, lelaki kekar,
orang-orang gila perlahan-lahan hanya tinggal bayangan. Ia kembali dengan dirinya sendiri,
dengan kesunyian dan kekosongan dan kehampaan, tempat keheningan yang harus ditebusnya
dengan kepedihan dan kegilaan. Ia terus menyusuri pahitnya liku-liku kehidupan, menelanjangi
segala bentuk kemunafikan dan kecongkakan, menohok realitas sosial, budaya hipokrisi, dan
“memihak” mereka yang gila. Iwan memang pernah menyebut novel dan cerita pendeknya
sebagai “novel tak bermoral” tapi inilah “novel masa depan”. Agaknya, ini pula “suara
eksistensialis” Iwan Simatupang yang paling khas dan sering disalahpahami para kritikus, dan
tak jarang juga disanjung dengan pujian—seperti dalam esai-esai Dam N. Toda, Mangunwijaya,
dan Kurnia JR. Bagi kalangan Marxis, filsafat eksistensialis dengan tokoh sering tak bernama,
tak jelas, amoral, terlampau subjektif dan sama sekali tidak berurusan dengan realitas pedih dan
komitmen sosial, akan dicap sebagai kegagalan. Kaum eksistensialis tak ubahnya makhluk
kamar yang terisolir, soliter, tanpa peduli dengan nasib sesama. Dan, sekali lagi, dalam
pandangan kaum sosialis, eksistensialisme tak lebih dari warisan ego cogito ergo sum-nya
Descartes. Iwan Simatupang seakan menegaskan saya gelandangan maka saja ada, saya gila
maka saya ada. Syahdan, seorang lelaki yang menakutkan duduk di bawah jembatan, yang
membuat orang-orang yang lewat menyimpulkannya sebagai orang gila. ”Mula-mula kukira ia
orang yang sangat ramah. Setiap orang yang berpapasan dengan dia, disenyuminya”, kata Iwan
dalam cerpen Senyum di Jembatan. Asosiasi kegilaan dihadirkan lewat tokoh lelaki yang senyum
sendirian. Bukan sumringah, melainkan ketidakwajaran. Lalu selanjutnya kita akan menemukan
komentar sang narator kembali terhadap si lelaki sebagai bentuk “pembelaan”. “Tapi, ketika
kulihat pada satu hari, bahwa ia juga tersenyum kepada seekor kuda penarik gerobak tukang
sayur, pendirianku berubah. Aku menduga dia tak waras. Dan perempuan tempat aku bayar
makan, mengiyakannya”. Kejadian cerita di jembatan dalam cerpen ini berlangsung di sebuah
kota besar yang bukan Jakarta, Surabaya, atau Medan, melainkan Amsterdam. Sang tokoh
mulanya jadi “gila” karena sempat di penjara akibat ia menolak dikirim ke Indonesia sebagai
serdadu untuk menumpas orang Aceh. “Alhasil”, kata sang narator, “ia dimasukkan dalam
tahanan. Alhasil, ia jadi tak waras. Alhasil, ia tersenyum terus…” Gaya pengucapan infantil ini
sudah khas Iwan. Dalam Ziarah bahkan berkali-kali ia menggunakan gaya repetitif yang
kemudian kita temukan bayangannya dalam puisi-puisi Afrizal. Misalnya: “Lihatlah keseluruhan
wajahnya, bahunya, dadanya, tubuhnya, riwayat hidupnya…”. Ketika sang tokoh lelaki dalam
Senyum di Jembatan mulai membuka dialog tentang kota-kota di Indonesia, Suabaya, Makasar,
Manado, Ambon, terkuak kejeniusan sang tokoh yang terlanjur disimpulkan gila tadi. Jawaban-
jawaban yang muncul dari mulutnya ternyata tidak ngawur, dan sang narator kembali berkilah:
“Dia boleh orang sebut gila, tapi pengetahuan ilmu buminya, atau setidaknya kesadaran arahnya,
masih tetap utuh. Aku ini kagum, sekaligus aku mulai menyangsikan ketakwarasannya. Suatu
hasrat jalang timbul kini dalam diriku. Yakni, hasrat tahu bagaimana pula bunyi jawabnya atas
pertanyaan-pertanyanku berikut”. Ada perasan terlibat dan dekat pada tokoh-tokoh gila yang tak
mampu disembunyikan oleh sang naratornya. Kontras antara waras dan tak waras dipermainkan
sedemikian rupa hingga posisi yang tak waras menjadi waras, bahkan lebih waras karena sangat
cerdas, sementara yang waras sendiri menjadi hipokrisi, menjadi manusia tak bermatabat. Orang
gila yang sering dianggap sebagai mentalitas hidup yang kacau itu, ternyata menyimpan perasaan
yang mengalami kehilangan, kekosongan, kelungkrahan, karena ke-aku-an mengalami semacam
disintegrasi, tapi dengan begini justru hidup menjadi merdeka dan kreatif. Dari sisi seorang
fenomenolog, kegilaan bisa dilihat sebagai suatu disintegrasi dari situasi yang tak hendak
mengejar reintegrasi di tingkat lebih rendah, melainkan di tingkat puncak. Justru ketika hal-hal
yang “irasional” dan kegilaan hilang dalam benak dan jiwanya, bisa jadi ia justru menjadi tak
kreatif. Roland Barthes benar ketika mengatakan dalam Mitologi: “semakin kejeniusan
seseorang coba disembunyikan oleh otaknya, semakin kreatif penemuannya mendapatkan
dimensi magis, dan memberikan suatu inkarnasi kepada gambaran esoteris primitif tentang
pengetahun yang sepenuhnya terkandung ke dalam huruf”. Rasionalisme dan berpikir logis justru
menjadi hantu paling menakutkan bagi orang gila atau seorang yang mengalami skizofrenik.
Orang yang ketakutannya terhadap menjadi normal hampir sama besar dengan ketakutannya
dengan menjadi abnormal, mungkin akan menjadi kreatif yang tak cuma karena dorongan
pengalaman kenikmatan estetik, atau gairah yang mengalami pikiran yang aktif, tetapi juga untuk
mempertahankan diri terhadap kecemasan akibat konflik antara soliter dengan solider. Gugusan
kegilaan dari perasaan soliter dan luka eksistensial yang muncul bertubi-tubi, seperti ditunjukkan
Iwan dalam tokoh-tokoh ceritanya, dengan segala ego dan emosinya yang yang aneh itu, akan
dianggap tak sanggup menjangkau sesama manusia yang menderita, apalagi berpikir tentang
solidaritas kaum tertindas. Tetapi ini adalah sebuah tuduhan yang mulai sekarang harus segera
ditinggalkan, mengingat hidup soliter Iwan justru begitu deras menghadirkan komitmen sosial
pada kaum gelandangan atau kaum yang tak berumah. Empati Iwan—kalau boleh kata ini
dipakai—terarah pada kaum gelandangan dan orang-orang gila dan yang dianggap “sampah
masyarakat”, dalam satu tarikan nafas ia mengubahnya. Dalam menghadirkan gebalau-gebalau
nonsens dan igauan-igauan yang abnormal, Iwan membela subjektivitas habis-habisan dari
serangan kaum pemuja objektivisme. Iwan seakan menyerukan ke-orang-lainan dalam prosanya;
keoranglainan yang menggelandang, mengemis, dan tidur di bawah kolong jembatan. Tematik
penciptaan orang-orang tak waras dalam prosanya berangkat dari sebuah lamunan akan
pertanyaan filsafat eksistensialis yang melihat bagaimana dunia mesti dibaca dari kacamata
orang yang dianggap gila. Narasi kegilaan Iwan dalam prosa orang-orang gelandangan itu,
memang bukan sesuatu yang baru, karena tema semacam ini telah lama jadi perhatian
pengarang-pengarang Eropa. Narasi kegilaannya memiliki kesamaan dengan kisah kegilaan di
One World–sebuah nama institusi sebuah rumah sakit jiwa dalam novel The Comfort of
Madness karya Paul Sayer. Prosa Iwan memiliki kesamaan dengan tema “sejarah kegilaan” yang
pernah diangkat Michel Foucault, kendati tokoh terakhir ini sangat skeptis terhadap pembicaraan
tentang kepribadian, kesadaran, kebebasan. Kepiawaian Iwan terletak pada kemampuannya
menangkap penderitaan pasien yang diperlakukan secara khusus tanpa melakukan autopsi yang
mencincang kaum yang sering dicap “abnormal” itu. Gugatan sarkastis Iwan terhadap para juru
rawat di rumah sakit yang menggunakan metode persis seperti yang dilakukan di York Retreat—
sebuah lembaga pengobatan jiwa yang sering diungkapkan Foucault—tampak memberikan
sebuah narasi kegilaan yang seakan membangkitkan sebuah peradaban baru. Kita tahu Iwan
salah ketika kita mulai membaca Foucault yang tidak lagi percaya pada kebaruan dan lebih
tertarik pada karya yang anonim. Namun beberapa gagasan Foucault tentang skizofrenia dan
kegilaan justru telah berpengaruh dalam “pikiran liar” Iwan, kendati tak sepenuhnya tepat untuk
mengatakan Iwan adalah sosok postmodernisme. Lewat bahasa prosa, Iwan mengungkapkan
narasi kegilaan dengan limit dan pembangkangan atau transgresi terhadap pertentangan biner
yang diciptakan oleh dunia medis modern seperti ‘same’ dan ‘other’, ‘waras’ dan ‘gila’, ‘normal’
dan ‘abnormal’, atau ‘civilized’ dan ‘uncivilized, “subjektive” dan “okjektive”. Dan ini memang
postmodernisme. Namun segera pandangan itu mengalami kontradiksi tak berkesudahan dan
tarik-menarik antara modernisme dan postmodernisme. Dengan bekal pengalaman dan
pengetahuan tentang dunia kedokteran dan medis Iwan sangat piawai dan berhasil mengisahkan
tragedi kemanusiaan yang paling sadis yang berlangsung di ruang pengobatan dan kamar isolasi
RSJ. Dengan wawasan psikologi fenomenologi dan filsafat eksistensialis Prancis, Iwan berhasil
mengangkat kesadaran seorang protagonis, absurd dan nihilis yang percaya bahwa kegilaan
adalah kehidupan. Kegilaan adalah kemanusiawian. Sigmund Freud memang pernah mengatakan
bahwa kegilaan bukanlah sebuah penyakit, melainkan potensi manusia yang terkubur. Sigmund
Freud menyebut ide kegilaan sebagai situasi yang berada dalam alam bawah sadar
(unconsciousnes). Semua manusia adalah neurosis dan memiliki kegilaannya sendiri, karena
banyak sekali ketidaksadaran yang disimpan dalam gudang jiwa manusia. Bahwa kegilaan
sebetulnya adalah pengobatan jiwa itu sendiri. Kegilaan adalah kedahsyatan manusia di mana
manusia tidak lagi diberi batas-batas hukum. Ia lebih bebas dari imajinasi. Kegilaan adalah
ketidaksadaran yang disadarkan dan kemudian menjadi sesuatu yang genius, yang mencerahkan,
yang kreatif. Pembauran antara sudut pandang eksistensialis dan psikoanalisis atau neurologis,
menjadikan prosa Iwan berada dalam menara kekosongan, sebuah nol mutlak, dan menyandang
obesesi yang tidak lagi sebagai narasi dan tema-tema besar, kendati rangsangan yang
ditimbulkan alam novelnya muncul dari tokoh-tokoh besar. Kebesaran, atau terlalu kecil untuk
ukuran tokoh-tokohnya yang berkali-kali mengalami depresi berat. Jiwanya melayang-layang
menghayalkan sesuatu yang tak tergapai. Ia mengalami gangguan jiwa, seperti skizofrenia,
melankolia involusi, parafrenia involusi, demensia dan sejenisnya. Tetapi, tokoh-tokohnya itu
dengan sadar menikmati kegilaanya. Menarik menghubungkan narasi kegilaan yang telah
dibicarakan di atas dengan novel Kering lewat jalan hidup Tokoh Kita yang telah menemukan
jalan pembebasan justru dengan jalan ketakwajaran dan kegilaan. Tokoh Kita merintis jalan baru
kemanusian dan pembebasan para rudin, setapak demi setapak, berlarah-larah dan kering-
kerontang bagai tanah tandus yang bertahun-tahun tak disiram hujan. Begitulah jiwa yang
dirasakan Tokoh Kita dalam Kering, namun dengan jalan itu justru ia menemukan kebebasan
yang paling penuh kesadaran. Sebuah pandangan yang menolak ketamatan sambil
menghunjamkan subjek dalam proses yang tak selesai dalam sebuah pencarian sampai ke titik
nadir, sebuah titik, sebuah nun, sebuah nol yang mutlak. “Dari x, ke 2z, ke 1 x, dan kini ke 0 x
makan sekali”. Tak ragu lagi, tokoh-tokoh imajiner Iwan mendendangkan sejarah kegilaan, yang
menarik jika dikaitkan dengan Nietzsche yang merupakan salah satu tokoh yang dikagumi Iwan.
Sejarah kegilaan yang pernah jadi perhatian Nietzsche kemudian dilanjutkan oleh Michel
Foucault, dalam bukunya Kegilaan dan Perdaban yang terbit pertamakali pada tahun 1965.
Sejauh ini, Foucault memang juru bicara Nietzsche yang paling fasih di abad ke dua puluh, dan
tak tanggung-tanggung, ia pun menjelajahi tema kegilaan dengan penelitian yang mendalam di
sebuah lembaga bernama York Retreat. Belakangan, upaya penelitian semacam ini juga diikuti
oleh Paul Sayer di sebuah lembaga bernama One World, yang bisa ditelusuri dalam novelnya
berjudul The Comfort of Madness yang sudah diterjemahkan oleh penerbit Lafadz Yogyakarta.
Baik Foucault maupun Sayer, keduanya paling getol melacak soal narasi kegilaan. Keduanya
menampik model praktik Rumah Sakit jiwa yang mengklaim melakukan diagnosa terhadap
pasien secara objektif—nilai yang sering dijadikan syarat untuk mencapai ilmu pengetahuan
yang diagung-agungkan oleh disiplin modernitas. Bagi Foucault, para dokter jiwa modern selalu
menggunakan taktik pengawasan (surveillance) dan pelabelan (judgement) sebagai terapi ampuh
untuk menyembuhkan orang gila. Mereka menundukkan pasien-pasien di bawah observasi dan
evaluasi dengan standar penilaian tingkah laku yang kaku. Subjektivitas dari jati diri, yang turut
membingkai akan pemahaman dunia medis sama sekali tak pernah dipertimbangkan. Foucault
dan Sayer melakukan sebuah transgresi terhadap pertentangan biner dan menemukan metode
kekuasaan yang digunakan untuk memapankan satu kategori yang menindas. Dengan bekal
pengalaman sebagai mantan perawat di sebuah rumah sakit jiwa, Sayer mampu mengisahkan
secara apik tragedi kemanusian di ruang isolasi perawatan pasien Rumah Sakit Jiwa dalam novel
semi ilmiah itu. Dalam salah satu monolog tokoh Peter, misalnya, menarik dibandingkan dengan
tokoh-tokoh ang digunakan Iwan Simatupan. Peter ternyata seorang pasif, dan memilih untuk
tidak merespon apapun yang menghampirinya meski sebenarnya ia bisa melakukannya. Dalam
terang ilmu jiwa modern, pilihan cara hidup Peter sudah cukup untuk membawa dirinya ke
‘mental institusi’ yang mengklaim bisa memulihkannya menjadi orang ‘normal’ kembali.
Bagaimana rasanya melihat dan mengalami dunia dari sudut kegilaan? Pertanyaan ini menjadi
titik berangkat sebagian besar pengarang yang mengambil seting kegilaan. Bagi mereka,
kegilaaan adalah ciptaan, kutukan sekaligus kehidupan. Menjadi gila adalah merasakan kembali
kebebasan, “keliaran” sekaligus kesedihan. Menarik mengikuti tafsir yang dikemukakan oleh A.
Setyo Wibowo (2004) dan Sindhunata tentang kegilaan seorang Nietzsche. Filsuf ini bisa
mendobrak segala kemapanan, kepuasan diri, katanya, bahkan mendobrak forma apa pun. Iwan
sendiri dalam esai berjudul mahapendek, Dan, memang pernah mengatakan: pemberontakan
terhadap realitas, berontak untuk berontak saja, taklah menarik bila mega segumpal pun tak ada
yang mengarak. Atau: “kekuatan abstrak untk berkata tidak!” Iwan tidak bisa dipojokkan pada
sudut mana pun. Nietzsche memang telah membunuh Tuhan. Tapi kita harus hati-hati untuk
menggelarinya sebagai “pembunuh Tuhan”. Seluruh keresahan jiwanya justru bisa membantu
kita untuk memurnikan Tuhan dari kekerdilan anggapan kita tentang-Nya, dan dengan demikian,
menakhtakan-Nya di atas kekerdilan manusia. Nietzsche memang melakukan suatu refleksi
filsafat yang ateis, namun kita mesti berhati-hati untuk menyudutkannya sebagai seorang ateis.
Dengan filsafat “palu”-nya, Nietzche justru memperolok mereka yang merasa telah mencapai
pencerahan dengan jalan ateisme. Ateisme Nietzsche malah bisa menuntun kita untuk melihat
apa yang seharusnya paling mistik dalam relasi kita dengan Tuhan. Dalam hal ini, Nietzsche
yang a-religius itu sesungguhnya adalah orang yang sangat religius. Wajar saja jika kita
menemukan keliaran ungkapan dalam prosa Iwan Simatupang, yang ia sendiri nyaris berada
dalam ambang ketidaksadaran, karena imajinasi orang dalam situasi ini sungguh merdeka.
Seorang yang merasa jiwanya melayang, tokoh-tokohnya dengan cepat menghayalkan sesuatu
yang tak tergapai, sering dianggap mengalami gangguan jiwa. “Penyakit jiwa” seperti dilukiskan
sebagai penciptaan makna, suatu pendapat yang berbeda dengan teori para psikiater yang sering
melukiskan skizofrenia dan kegilaan sebagai alam anpa makna. Di sini makna hadir dengan latar
belakang dari hal yang tak bemakna, yang jika menggunakan kata-kata Marleau Ponty, sebuah
“sens dan nonsens”: sense ialah corak yang membutuhkan latar belakang dari nonsens. Iwan
memang bermain dalam wilayah manusia dan kemanusian sebagai latar depan dengan
mempermainkan dengan ringan antara kebermaknaan dan tanpa kebermaknaan, sens dan
nonsens. Manusia dalam hayatannya mirip seperti ahli sihir yang kadang-kadang berhasil
menghadirkan suatu makna kegilaan yang menghidupkan kesadaran, tapi kadang-kadang ia pun
gagal menembus kabut tebal awan penanda dan petanda yang telah lama dipancangkan oleh
masyarakat. Makna tak terpisah dengan tanda, dan rasio paling tinggi duduk di sebelah kegilaan
paling hebat. Makna senantiasa berada dalam tegangan dengan ketidakbermaknaan, tapi
sekaligus berbaur-erat dalam ketakterhinggaan. Sebagian besar novel Iwan Simatupang, Ziarah,
Merahnya Merah, Kering, dan cerpen-cerpennya, bisa diberi arti secara psikologis, dan kita
nyaris ikut mengami skizofrenia pula saat membacanya. Menarik mengaitkan gejala skizofrenia
dalam prosa Iwan dengan modernitas dan kegilaan, di mana kondisi skizofrenia sebagai sebuah
wacana diungkapkan pada tahun 1806 dan dipopulerkan Eugen Bleuler, yang mengenalkan
istilah skizofrenia pada tahun 1908 dan menjabarkannya sebagai ”sejenis peningkatan pikiran,
perasaan, dan hubungan dengan sesuatu yang bukan dari dunia ini”. Nietzsche, Freud, Franz
Fanon dan Michel Foucalt, Sayer adalah tokoh-tokoh yang berjasa mempopulerkan tema
skizofrenia, sehingga sering diidentikkan oleh para kritikus sebagi postmodernisme. Membaca
gejala skizofrenia dalam prosa Iwan, menuntut kita untuk menyikapi letupan kata-kata yang
muncul dari mulut Tokoh Kita sebagai sebuah konflik terhadap modernisme. Tokoh Kita dalam
Merahnya Merah dan Kering tak urung mengingatkan saya pada tokoh “gila” yang cerdas dalam
sebuah film yang dibintangi Russel Crowe—yang memerankan John Forbes Nash yang ahli
matematika yang mengalami delusi skizofrenia namun akhirnya menyabet hadiah Nobel itu.
Berbagai kata yang bermakna kegagahan dan keangkuhan yang muncul dari Tokoh Kita tak
ubahnya si penderita skizofrenia yang diguyur aura mistik dan hidup dalam kekeringan dan
kekerontangan jiwa di tengah arus modernisme yang mulai melanda Dunia Ketiga. “Targikku
adalah tragik dari sebelum tragik. Tragik angkap dua”, kata Tokoh Kita dalam Meahnya Merah.
Tapi hidup dalam tragik rangkap dua itu, asal saja kita berhasil melampaui pesoalan fisik yang
akan mengantarkan manusia untuk meraih segala haknya dan akan merasa bahagia lebih dari
yang lain. “Inilah kami dari kaum fakir, kaum pertapa, para mistikus, yang membuat mereka
selalu suka mencari daerah-daerah pelik dari kehidupan dan mempertontonkan rasa kebahagian
yang asing bagi manusia-manusia dari kondisi hidup yang biasa”. Kontras antara manusia
normal dan abnormal, antara kaum paria dengan bangsawan, mistikus dengan para ahli hukum,
merupakan inti yang didedah Iwan dalam sebagian besar novelnya. Di sisi lain, muncul semacam
harapan melalui kehadiran psikologi pembebasan yang akan mengantarkan manusia-manusia
gelandangan ke dalam alam batinnya yang paling sunyi. Merekalah kaum soliter yang paling
kesepian. Paling sunyi. Menderita. Tapi mereka bukan pengemis yang meminta belas-kasihan.
Membaca delusi-delusi dalam prosa Iwan menuntut kita untuk mengenal secara intim karakter
tokoh-tokohnya yang sepintas tampak nonsens. Karena prosa, sebagai kekuatan naratif, ternyata
cukup ampuh untuk menjadi saksi bagi apa yang pernah terjadi dalam suatu zaman. Iwan
memang “seniman jalang” yang lahir dai “novel pelacur” yang “mesti diuji keampuahannya dari
suatu keadaan tepi-tepi terakhir”—kata-kata Iwan Simatupang sendiri yang saya temukan dalam
Ziarah. Apa yang kita ketahui tentang “suatu keadaan tepi-tepi terakhir” itu muncul secara
gamblang dalam esai dengan judul eksentrik: Dan. Esai ini, sejak kalimat pembuka, menegaskan
ke mana kesusastraan Iwan mesti di bawa: ke “tepi yang menari-nari di remang kejauhan. Tepi,
daerah terakhir sebelum ketamatan” yang merupakan penolakan atas romantika dan segala yang
dianggap tamat, yang mesti dihalau dengan “menempatkan diri jauh dari tepi itu. Sedemikian
jauh, hingga pudar dari ketamatan”. Dan: menyadarinya sebagai “kesadaan akan peranan sebagai
hanya penyambung saja” lagi. Sebuah tepi yang berpijar yang tak sempat terungkap dalam kisah
romantik dan heroik saja lagi. Dan inilah novel tanpa moral, novel tak fitri, novel tanpa
pahlawan! Saya membayang kekokohannya pintalan pikiran dan perasaan dilihatnya seperti
benang-benang intuitif, “benang hitam dan merah, mengular memanjang di udara berputar-putar,
menukik, laju mendatar, menanjak lagi, dan terusnya” (Ziarah). Rajutan berbagai persoalan
“ketidakwajaran” bertemu dengan obsesi yang membubung bagai “kupu-kupu yang hanya bisa
di cuaca”, namun mampu melengkapi peran narasi untuk menyediakan tempat di bumi bagi
sebuah kesetaran secara eksplisit bagi pembaca. Dengan prosa “hitamnya”, saya seperti sedang
dituntut untuk memahami apa yang tak terpahami. Dan, Iwan telah menyuguhkan pengalaman
batinnya yang buncah oleh itu konflik-konflik perwatakan tokoh-tokohnya yang mengalami
persoalan kejiwaan yang berat, kecemasan yang sangat, tapi mampu menantang kita untuk segera
memperbaharui tafsir tentang narasi kegilaan dalam sastra dalam seni. Tokoh-tokoh gelandangan
adalah pijaran yang bergetar memasuki lorong-lorong penuh orang-orang gila-cerdas dengan
berkelakuan liar dan suka memberontak. Dengan tokoh-tokohnya yang makmur, dengan Tokoh
Kita dengan kecerdasan dan kesadaran di atas rata-rata, prosa-prosa Iwan berhasil dengan baik
menyelam kesadaran manusia dalam sebuah praktik yang selama ini berlangsung di ruang isolasi
RSJ. Saya kira Gabriel Garcia Marquez benar ketika mengatakan: semakin dalam kita
menyelami karya sastra, dengan intensitas dan kecintaan yang demikian besar, niscaya kita akan
kehilangan cara untuk membedakan fiksi dengan kenyataan. Apa yang dihadirkan Iwan dalam
prosa-prosanya tak lagi bisa dibedakan antara fakta dan fiksi. Dan, Iwan Simatupang telah
memberikan satu sumbangan pemikiran tentang soal besar kemanusian—betapa pun kini
gagasannya sudah banyak menuai kritik dari gerakan postmodernis—namun diskusi mengenai
kesadaran manusia tetap mempesona orang banyak. __________ *) ASARPIN, lahir di dekat
hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan
Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan
Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada
2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8
Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor
Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah
menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin
memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan
terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat
blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/

Make Money at : http://bit.ly/copy_win

beberapa puisi pilihan Iwan Simatupang yang diambil dari buku Ziarah Malam. Selamat
membaca.

Potret
Di sudut kamar seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
“Tunggu! Sepulangku, bahtera kita kayuh!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
belum jua pulang.

Kini dara sudah lama tak menunggu lagi.


Langkah-langkah pelan, yang biasa datang
Menjelang tengah malam dari kebun belakang
Bawa cium dan kembang –
Takkan lagi kunjung datang.

Di sudut kamar seorang dara


Tergantung potret serdadu senyum:
“Jangan tunggu! Aku bangkai dalam bingkai!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
masih jua belum pulang.

Kini dara sudah lama dalam biara.


Ballade Kucing dan Otolet
Di jalan ada bangke
Kucing digilas otolet

Darah
Ngeong tak sudah
Selebihnya:
Langit biru
Dan manusia buru-buru

Otolet makin rame


Di tuhan punya jalan

Bangke makin rata


Di aspal panas

Penumpang gigimas
Bercanda

Di Surga
Kucing pangku supir kaya
Dan cekik
Tuhan

Pada Kepergian Bersama Angin


buat murid-muridku di Surabaya

Irama dari bahaya dan bencana


Lagi-lagi gentayangan dari jauhan
Ah, mengapa panji tak kuangkat saja kembali
Dan
Berlari jingkat telanjang bulat ke muka
Dengan tembilang
Memupus segala jejak di belakang?

Usah duga
Mana tugu ujung segala pencarian
Hanya
: Bila pelangi cerlangi dinihari pekat
Dan asap berkepul hijau dari bintang-gerhana –
Datang, datanglah kau
Ziarahi aku dalam bayang terkulai
Dari tiang gantungan atas piala racun tercecer…
Dan aku
Akan ziarahi semua
Penziarah

Dengan senyum –
Seribu-kiamat

Merah Jambu Di Melati


Kepada Sitor Situmorang

Ada darah tiris


Dari hati atas melati
Satu satu

Ada melati tumbuh


Diciuman segara dengan gurun
Jauh jauh

Darah beku
Melati layu
Tapal sayu

Ada murai atas cactus


Ada cactus dalam hati
Ada kicau berduri

Sunyi sunyi

Bintang tak Bermalam


(nocturne untuk Nany Jasodiningrat)

Bertengger atas risau lembayung


Bintang tak tahu
Ke mana pijar hendak dipenjar

(Siang telah reguk segala warna


Bahkan kelam
Tak lagi bagi malam)

Dan pada pelangi


(Yang hanya di siang)
Tak ada berwakil

Warna bintang jatuh


Pengakuan
Aku ingin memberi pengakuan:

Bulan yang gerhana esok malam


telah kutukar pagi ini
dengan wajah terlalu bersegi
pada kaca yang retak oleh
tengadah derita kepada esok

Kulecut hari berbusa merah

Jambangan di depan jendela terbuka


menyiram kesegaran pagi dengan
pengakuan:

esok adalah bulan purnama

Sungai Batanghari, 13 Agustus 1961

Tentang Iwan Simatupang


Iwan Simatupang lahir di Sibolga, Sumatera Utara pada 18 Januari 1928 dan meninggal
4 Agustus 1970 di Jakarta. Tahun 1949 pernah menjadi komandan pasukan TRIP di
Sumatera Utara, tahun 1950-1953 bekerja sebagai guru di Surabaya. Tahun 1977 Iwan
Simatupang menerima Hadiah Sastra ASEAN. Dramanya: Bulan Bujur Sangkar (1957),
Taman (1958), RT Nol/RW Nol (1966), Petang di Taman (1966) dan Cactus dan
Kemerdekaan (1969). Novelnya: Merahnya merah (1968), Ziarah (1969), dan Kering
(1972). Cerpen-cerpennya dibukukan oleh Dami N. Toda dengan judul Tegak Lurus
denga Langit (1982).

Sumber: www.kepadapuisi.blogspot.com

KOOONG: KISAH TENTANG SEEKOR PERKUTUT

Apakah makna "kebebasan" bagi pengarang? Iwan Simatupang dalam sebuah esainya:
Kebebasan Pengarang dan masalah tanah air menyatakan bahwa maknanya adalah kebebasan
yang dibutuhkan (oleh pengarang) untuk memungkinkan penciptaan. Proses penciptaan adalah
pergumulan kebebasan melawan yang selebihnya, alias melawan ketakbebasan.

Buku ini bercerita tentang Pak Sastro yang kehilangan burung perkututnya. Burung perkututnya
ini sudah bersama pak Sastro kurang lebih 10 tahun. Pak Sastro membeli burung perkututnya di
Pasar Senen, sebagai pelipur lara karena ia baru saja ditinggal anak tunggalnya, Amat. Sebelum
kehilangan Amat, Pak Sastro juga kehilangan istrinya yang diseret banjir. Pak Sastro yang
disegani di desanya sangat bermuram. Orang-orang di desa menganjurkan padanya agar ia
mencari pengganti istrinya, namun ia bergeming. Anaknya Amat juga pergi meninggalkannya
sampai ia tahu berita kematiannya. Sungguh Pak Sastro sangat bersedih, dan ketika pulang dari
acara pemakaman Amat di pekuburan Karet, ia meminta tukang becak mengantarnya ke Pasar
Senen untuk mengetahui hal ikhwal kematian Amat yang katanya tergilas kereta api. (cat. bisa
terbayang jauhnya, kurang lebih 10km).

Judul: Kooong, Kisah tentang Seekor Perkutut


Pengarang: Iwan Simatupang
Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya
Cetakan kedua, 2013 (pertama kali 1975)
ISBN:978-979-419-386-0

Tanpa disadari, ia tiba di pasar burung. Ia terpesona melihat seorang laki-laki yang merawat
burung perkutut. Burung itu diberi jewawut dan ketan hitam di tempat makannya. Lalu perkutut
itu mengeluarkan bunyi, tanda berterima kasih, "Kooong! Kooong!" Mulanya Pak Sastro tidak
tertarik, karena ia pikir burung perkutut bukanlah burung istimewa. Di kampungnya di Jawa
Tengah, burung perkutut kerap ditemukan. Namun karena ternyata penjual burung dan Pak
Sastro berdekatan kampungnya, jadilah Pak Sastro membeli burung perkutut itu seharga seribu
rupiah (cat. novel ini dicetak pertama kali tahun 1975).

Kepulangan Pak Sastro membawa seekor burung perkutut menarik perhatian orang desa. Orang-
orang desa berkerumun mendekati perkutut Pak Sastro untuk mendengar kooongnya. Namun
mereka kecewa. Perkutut Pak Sastro tidak ada kooong-nya. Pak Sastro tidak mempermasalahkan
hal tersebut. Ia sendiri cukup puas dengan keadaan tersebut. Bagi dia, keberadaan perkutut yang
tidak bisa kooong tersebut justru tepat mengisi kekosongan dalam dirinya. Begitulah Pak Sastro
setiap pagi. Begitu bangun ia memberi makan perkututnya dan dikereknya sangkar burung
perkutut itu tinggi-tinggi di udara. Itulah kebahagiaannya. Sampai pada suatu ketika ia
menemukan sangkar perkututnya dalam keadaan kosong. Burung perkututnya hilang!

Kehilangan burung perkutut tersebut tidak hanya membuat Pak Sastro gusar, tetapi seluruh
warga desa. Tiap penghuni desa merasakan kesedihan Pak Sastro. Pak Lurah mengumpulkan
orang desa untuk memecahkan masalah itu. Hasil rapat itu menyimpulkan agar Pak Sastro
meninggalkan desa itu untuk berjalan-jalan sejenak supaya ia melupakan kesedihannya. Untuk
mencari perkutut yang hilang itu pun dinilai pekerjaan yang sia-sia. Karena itu, diutuslah
beberapa orang untuk menyampaikan simpulan rapat tersebut pada Pak Sastro. Awalnya Pak
Sastro menolak usulan itu, namun setelah merenungkannya kembali, akhirnya Pak Sastro
memutuskan untuk 'keluar' sejenak dari desa dengan menitipkan seluruh sawah, kebun,
penggilingan padi, ternaknya pada Pak Lurah selama ia pergi.
Kisah selanjutnya adalah perjalanan Pak Sastro tanpa tujuan. Berkelana kemana ia suka untuk
mengusir kegundahan. Meski perjalanannya bertema "kebebasan" ia tetap bertanya pada orang-
orang yang ditemuinya perihal perkututnya. Tentu saja banyak orang menertawakannya dengan
ciri-ciri perkututnya. Warna bulu biasa, kakinya biasa, paruhnya biasa, dan tidak ada kooong
sama sekali. Sampai-sampai orang-orang mengatakan bahwa ia sinting.

Pak Sastro merenungkan kembali atas situasi kehilangan yang dialaminya. Dalam hatinya Pak
Sastro mempertanyakan apa yang salah dengan ia menyayangi sesuatu yang orang lain anggap
biasa-biasa saja, tidak ada keistimewaan? apakah yang kita miliki di rumah semuanya memiliki
keistmewaan? apakah salah memiliki suatu benda yang menurut orang lain biasa-biasa saja
namun justru di dalamnya ada kenangan pada salah satu kurun waktu di masa lalu? Situasi yang
sama mungkin menghampiri kita, manakala kita dianggap orang lain aneh bila kita mengalami
kehilangan suatu benda.

Bagaimana kisah selanjutnya, silakan anda teruskan sendiri membacanya. Banyak pelajaran yang
dapat kita tarik dari kisah Pak Sastro ini. Iwan Simatupang berhasil memikat dengan kata-
katanya yang tidak menggurui, namun memberikan permenungan yang mendalam tentang apa
artinya hidup, apa kebahagiaan. Iwan benar-benar mengeksplorasi makna kebebasan pengarang
sebebas-bebasnya, tanpa kehilangan pesan utamanya. Iwan sangat apik menyajikan peristiwa
kehilangan perkutut ini dari sudut pandang Pak Sastro, orang desa, bahkan dari sudut pandang si
burung perkutut itu sendiri.

Dari pengantar yang diberikan oleh Ajip Rosidi, diketahui bahwa naskah Kooong ini awalnya
adalah salah satu naskah yang tidak menang dalam Sayembara Mengarang Roman Bacaan
Remaja yang diselenggarakan oleh Ikatan Penerbit Indonesia pada tahun 1969. Namun, naskah-
naskah sisa tersebut daripada dikembailikan ke penerbitnya, ditimbang sekali lagi, barangkali
ada diantaranya yang patut untuk diterbitkan. Ajip adalah orang yang diminta untuk
mempertimbangkan naskah-naskah tersebut. Berhubung pada saat itu umumnya tiap naskah
menggunakan nama pena, Ajip mengira bahwa naskah ini adalah karya orang lain yang
terinspirasi pada Iwan Simatupang. Ajip merekomendasikan pada agar naskah ini diterbitkan,
namun hingga tahun 1973, tidak berhasil ditemukan penerbit yang bersedia menerbitkannya.
Hingga Ajip terpilih menjadi Ketua Ikapi, naskah ini kembali disodorkan padanya, dan ia
mengenali naskah ini dan mencari alamat penulisnya. Ternyata nama pena Kebo Kenanga,
bukanlah orang yang terinspirasi Iwan Simatupang, namun Iwan Simatupang sendiri. Novel ini
terbit di tahun 1975, setelah karya-karya Iwan Simatupang yang lain seperti Merahnya Darah
(1968), Ziarah (1969), dan Kering (1972). Perihal judul Kooong sendiri, Ajip memberi
keterangan bahwa Iwan bermaksud menggambarkan Kooong sebagai onomatope suara burung
yang melambangkan suara panjang. Judul aslinya adalah Koong (dengan dua huruf o), untuk
menghindari orang salah membaca sebagai "ko-ong", maka Ajip mengubah judulnya dari Koong
menjadi Kooong.

Helvry | 30 Agustus 2013


Posting bersama BBI Agustus: sastra Indonesia

Anda mungkin juga menyukai