Anda di halaman 1dari 12

Metrum Kinanthi dalam Serat Rama 07.

248 M
Mardhayu Wulan Sari

Abstrak

Kinanthi dalam Serat Rama 07.248 M merupakan pupuh ketiga belas dan terdiri atas delapan
belas bait. Kinanthi merupakan salah satu nama tembang macapat yang memiliki pola
persajakan guru gatra enam baris, guru wilangan dan guru lagu 8u, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i. Pada
pupuh ketiga belas, terdapat ketidaksesuaian pola persajakan sehingga perlu dilakukan
perbaikan terhadap bait-bait dalam pupuh tersebut. Perbaikan yang dilakukan meliputi
penambahan atau pengurangan kata agar pola persajakannya sesuai. Perubahan beberapa
bunyi tidak dilakukan untuk mempertahankan kekhasan teks. Teks yang disajikan dalam
tulisan ini meliputi teks hasil transliterasi, yaitu perubahan teks terbatas pada aksara dan
tanda baca, teks yang telah diperbaiki bacaannya kemudian disusun mengikuti metrum
kinanthi, dan terjemahan. Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia yang dilakukan adalah
terjemahan kata per kata dan hasil terjemahan disusun seperti teks yang telah mengalami
perbaikan bacaan.

Kata kunci: macapat, kinanthi, Serat Rama

Pengantar

Kesusastraan Jawa juga mengenal bentuk prosa dan puisi seperti kesusastraan lainnya.
Puisi Jawa dianggap lebih populer daripada prosa Jawa serta menduduki tempat terpenting
(Saputra, 2001: 2). Puisi Jawa didefinisikan sebagai puisi yang ditulis dalam bahasa Jawa.
Bahasa Jawa sendiri, masih menurut Saputra, dibagi menjadi tiga, yakni bahasa Jawa Kuna,
Jawa Tengahan, dan bahasa Jawa Baru. Berdasarkan pengelompokan bahasa tersebut, bentuk
pusi yang hadir dikelompokkan menjadi:
1. Puisi Jawa Kuna, yaitu kakawin.
2. Puisi Jawa Tengahan, yaitu kidung, dan
3. Puisi Jawa Baru dibedakan mejadi :
a. Puisi yang bertembang meliputi, tembang macapat, tembang tengahan, dan
tembang gedhe.
b. Puisi yang tidak bertembang meliputi guritan, parikan, wangslan, dan singir.
Perbedaan antara puisi bertembang dengan puisi tidak bertembang terletak pada cara
pembacaannya. Puisi bertembang dibaca berdasarkan susunan titilaras ‘notasi/nada’.
Tembang-tembang yang termasuk kelompok pusi bertembang adalah macapat, tembang
tengahan, dan tembag gedhe.
1. Tembang macapat asli meliputi dhandhanggula, asmaradana, sinom, durma,
pangkur, mijil, kinanthi, maskumambang, dan pucung.
2. Tembang tengahan meliputi jurudemung, wirangrong, balabak, gambuh, dan
megatruh.
3. Tembang gedhe, yaitu girisa.
Teks KR, bila dilihat dari nama pupuh yang digunakan, termasuk pada kelompok macapat
asli. Oleh karena itu, penjelasan selanjutnya ditekankan pada jenis-jenis tembang yang
termasuk kelompok macapat asli.
Macapat diciptakan oleh para wali sebagai sarana menyebarkan Islam di Jawa setelah
berakhirnya kekuasaan Majapahit. Macapat memunyai kedudukan penting dalam sejarah
kesusatraan Jawa. Keunggulan tersebut disebabkan oleh: 1) Usia yang panjang karena masih
digunakan sampai sekarang; 2) Banyaknya tulisan-tulisan yang dibingkai metrum macapat; 3)
Setelah periode kakawin Jawa Kuna, macapat dianggap sebagai satu-satunya bentuk susastra;
4) Hampir semua orang Jawa mengenal macapat. Bahkan tradisi sastra di Madura, Sunda,
Bali, dan Lombok juga mengenal macapat (Saputra, 2001: 104).
Masing-masing nama tembang macapat mempunyai pola persajakan atau metrum
yang berbeda. Macapat mempunyai pola persajakan yang ketat karena berkaitan dengan cara
melagukannya. Aturan dalam pola persajakan macapat meliputi guru gatra, guru wilangan,
dan guru lagu. Guru gatra mengacu pada jumlah baris dalam tiap bait, guru wilangan
mengacu pada jumlah suku kata dalam tiap baris, dan guru lagu mengacu pada bunyi vokal
terakhir dalam masing-masing baris.

Serat Rama 07.248 M


Serat Rama merupakan salah satu judul naskah yang tersimpan di Museum Mpu
Tantular Sidoarjo. Naskah Serat Rama hanya memuat satu buah teks, yaitu Serat Rama. Teks
Serat Rama ditulis menggunakan aksara Jawa dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang
digunakan adalah bahasa Jawa Baru disertai beberapa kosakata yang berasal dari bahasa Jawa
Kuno. Serat Rama ditulis dalam media naskah yang berbahan dluwang kulit kayu. Teks ini
berbentuk macapat. Metrum yang membingkai teks Serat Rama meliputi dhangdhanggula,
pangkor, srinata, kasmaran, danagung, sekaring tyas, dan kinanthi.
Metrum dhangdhanggula sama dengan dhandhanggula. Penambahan bunyi /ng/ dapat
disebabkan oleh berbagai hal, antara lain dialek atau kesalahan dengar yang terjadi saat
proses penyalinan. Pangkor sama dengan pangkur. Menurut Arps (1992:12), perubahan vokal
/u/ dan /o/ serta /i/ dan /e/ lazim terjadi pada orang-orang Jawa yang tidak terbiasa menulis
sehingga menganggap vokal-vokal tersebut adalah sama. Selain nama pangkor, dalam Serat
Rama juga ditemukan nama metrum kawingkeng. Kawingkeng merupakan nama lain dari
metrum pangkur. Baik pangkur maupun kawingkeng mempunyai makna bagian belakang.
Srinata merupakan nama lain tembang sinom. Hardjowirogo (1980:47—48) menulis
beberapa nama lain untuk tembang sinom, yaitu anom, ron kamal, taruna, srinata, pangrawit,
dan logondhang. Metrum berikutnya, kidanan, kasmaran, danagung, dan sekaring tyas
merupakan nama lain asmaradana. Dalam Serat Rama, metrum kinanthi dituliskan menjadi
kinanthih.
Metrum kinanthi meliputi guru gatra yang terdiri atas enam baris, guru wilangan
berjumlah delapan pada masing-masing baris, dan guru lagu terdiri atas u, i, a, i, a, dan i
sehingga dapat dituliskan menjadi 8u, 8i, 8a, 8i, 8a, dan 8i. Metrum Kinanthi mempunyai
tema kemesraan sehingga banyak digunakan untuk menulis tembang tentang percintaan,
nasihat, dan keriangan hati. Kinanthi digunakan sebanyak satu kali pada Serat Rama. Dalam
satu pupuh (bab) kinanthi terdapat delapan belas bait. Metrum kinanthi tidak diterapkan pada
Serat Rama. Mengacu pada hasil transliterasi, nampak bahwa jumlah baris dalam tiap bait
terdiri atas lima, empat, tiga, dua, bahkan satu baris. Kekurangtepatan dalam penulisan
jumlah baris berdampak pada jumlah suku kata dalam masing-masing baris sehingga perlu
diadakan perbaikan jumlah baris dan suku kata pada masing-masing bait metrum kinanthi.
Selain itu, bunyi vokal akhir pada masing-masing baris juga tidak seluruhnya tepat sehingga
juga perlu diperbaiki. Perbaikan jumlah baris, suku kata, dan bunyi vokal terakhir pada
masing-masing baris disajikan dalam bentuk tabel perbandingan. Penyajian seperti ini
diharapkan dapat memudahkan pembaca untuk mengidentifikasi setiap perbaikan yang telah
dilakukan. Selain menyajikan hasil perbaikan, tabel perbandingan ini juga menyajikan
terjemahan dalam bahasa Indonesia dari masing-masing bait. Terjemahan yang dilakukan
adalah terjemahan kata per kata dan disajikan per baris seperti bentuk teks yang telah
mengalami perbaikan.
No. Transliterasi Metrum Kinanthi dalam Perbaikan Bacaan Metrum Terjemahan Metrum Kinanthi dalam Serat
Serat Rama 07.248 M Kinanthi dalam Serat Rama Rama 07.248 M
07.248 M
1. tan leŋŋĕnn ramma winuwus mraja Tan lingen Rama winuwus, Tersebutlah, tidak dikatakan oleh Rama,
daśamuḳa nĕŋgi manjiŋi …ṭa siniba, Raja Dasamuka nenggi, Raja Dasamuka menunggu,
iŋ paśowan para mantri rahwanna kenn Manjing ing kutha sineba, Masuk ke dalam kota, dilayani,
aŋuṇdaŋa, Ing pasowan para mantri, Di tempat berkunjungnya para Menteri,
mantri maṇḍa yaksa sakti. Rahwana ken angundanga, Rahwana minta untuk mengundang,
Mantri Mandha yaksa sakti. Menteri Mandha, raksasa sakti.
2. aran diyu maya tuḥu, Aran Diyu Maya tuhu, Sungguh-sungguh bernama Diyu Maya,
wiss wiŋ sulap daḥat pamre wus manḍĕk Wis wong sulap dahat pamrih, Orang selalu silau akan keuntungan,
rahwanna nabda, Wus mandheg Rahwana nabda, Rahwana telah berhenti bersabda,
i diyu luŋaḥa haglis sadayyan tah I Diyu lungaha aglis, Segeralah Diyu pergi,
lamunn ora katambin laksmanna mati. Sadayan ta lamun ora, Jika seluruhnya tidak,
Katamban Laksmana mati. Diobati, Laksmana mati.
3. arupaḥah sira iku, Arupaha sira iku, Berubah wujudlah dia,
lwir rsi atapp iŋ marggi acaŋcaŋa hiŋ Lwir resi ataping margi, Seperti resi yang berbaris di jalan,
yujanna, Acangcanga ing yujana, Akan mengikat pada tongkat pengukur jalan,
ŋuŋŋsiya denn ilĕss waŋ liŋ śampunni Ngungsiya den iles wang ling, Orang berkata pergilah sebab terinjak,
winĕkkas wĕkas kaŋ diyu maya tur bakti. Sampun i winekas-wekas, Setelah berulang kali diberi pesan,
Kang Diyu mayatur bakti. Oleh Diyu Maya yang menghaturkan bakti.

4. maŋkana śampun tĕkkeŋŋu pamara Mangkana sampun tekengu, Datang untuk memelihara hingga selesai,
ppandann iŋ marggi iŋ talaga malah Pamara padha ning margi, Pada berdatangan ke jalan,
mala, Ing talaga malah mala, Sesampainya di telaga membersihkan diri,
iyya jro tuyyannya puti kaŋ buta ndan Iya jro tuyanya putih, Ke dalam air yang berwarna putih,
salen rupa, Kang buta ndan salin rupa, Kemudian raksasa berubah wujud,
lwir rĕsṣi atapp iŋ bakti. Lwir resi ataping bakti. Menjadi resi yang memberi hormat.

5. irika hanommann rawu, Irika Hanoman rawuh, Kemudian Hanoman datang,


amenta tuyyeŋ śaŋ rĕśe kaŋ jinnaluk Aminta tuyeng sang resi, Meminta air pada sang resi,
nnaŋucap iki tatar ulle kaki gaṭwih Ikang jinaluk angucap, Yang diminta berkata,
amoŋŋ aŋiras ŋinumm iŋ talaga wari. Iki tatar uli kaki, Tidak boleh pada laki-laki ini,
Gatha weh amung angiras, Lalu memberi wadah air,
Nginum ing talaga wari. Minum air di telaga.

6. yyan siryarśa ŋinom bañu, Yan siryarsa nginum banyu, Wajahnya condong ketika minum air,
lah mriŋŋa talaga kaki nomman wus Lah mringa talaga kaki, Lah, laki-laki di telaga,
maraŋ talaga, Noman wus mareng talaga, Hanoman telah tiba ke telaga,
lagyah añawokiŋ wari taṇdra naṭa baya Lagya anyawuking wari, Baru saja menciduk air dengan tangan,
pĕṭak agĕŋi kagiri giri. Tandra nata baya pethak, Kemudian raja buaya putih,
Ageng ika giri-giri. Yang besar itu tergesa-gesa.
7. anarap saŋ nomman ṣampun kula maŋke Anarap sang Noman sampun, Sang Hanoman telah berbaris berderet,
sapu aŋin yann iŋ jro gĕrba buwana, Kula mangke sapu angin, Aku Sapu angin,
marutsuta tan wreŋ gati ndan ŋrok Yan ing jro gerba buwana, Jika di dalam perut bumi,
gĕrbajol kaŋ bĕḍḍa, Marutsuta tan wreng gati, Marutsuta tidak benar-benar takut,
murkaŋ waŋke tatur kaksi. Ndan ngruk1 garbajul2 kang Kemudian mengorek perut buaya yang sobek,
bedhah, Dijadikan satu dengan bangkai yang nampak luka-
Mor kang wangke tatu kaksi. luka.

8. pjahhi śaŋ bajul nĕŋgu, Pejahe sang bajul nenggu, Menunggu kematian sang buaya,
dadya istri ayu lĕwire… nomman ṣapa Dadya istri ayu lwire, Seperti menjadi wanita cantik,
sira, … Noman sapa sira, Hanoman menyumpahinya,
sahornnya ŋwaŋ widadyari kĕnniŋ satya, Saurnya ngwang widadyari, Seorang bidadari menjawab,
iŋ hyaŋ ŋindra, Keneng satya ing Hyang Indra, Ketulusan Dewa Indra sampai padanya,
mila dadya bajul puti. Mila dadya bajul putih. Sehingga jadilah buaya putih.

9. yyeŋsun ṣakiŋ swarggiŋ daŋu, Yengsun saking swargi ng dangu, Ya, aku lama berada di surga,
aŋruśak swargga dewadi yyeki Angrusak swarga dewadi, Merusak surga dewata yang indah,
margganni dinakan dadya buwayanniŋ Yeki margani dinakan, Ya, inilah sebabnya siang hari,
reki jro talaga malah mala, Dadya buwaya ning reki, Dia menjadi buaya,
milweŋŋ waŋŋ ajri kapati. Jro talaga mala-mala, Bahkan dalam telaga yang kotor,
Milweng ngwang ajrih kapati. Orang yang ikut takut terbunuh.
1
Kata ngruk berasal dari ngeruk.
2
Kata garbajul berasal dari garbha dan bajul
10. pann age ruwatĕnn iŋsun sira tkeŋ Pan age ruwaten ingsun, Segera bebaskan aku,
talageki tuḥwa yan kaŋ tan won pjah Sira tekeng talageki, Dia datang dari telaga ini,
kabe paḍa den patinni wetniŋ age Tuhwa yan kang tan won pejah, Jika benar-benar tidak mati,
aruwatta, Kabeh padha den patina, Maka bunuhlah semua,
pan lawas kamalan mammi. Wit ning age angruwata, Mulailah segera, membebaskan,
Pan lawas kamalan mami. Amalan untuk selamanya.

11. adaŋuh maŋke anĕŋgu, Adangu mangke anenggu, Nantinya lama menunggu,
matyanni kamalan mami kaŋ aŋrowattiŋ Matyani kamalan mami, Menyudahi amalanku,
patala, Kang angruwat ing patala, Yang membebaskan di perut bumi,
akaryya waluya mammi kaṭa maŋke Akarya waluya mami, Aku kembali pulih dan bekerja,
utaŋŋiŋ ŋwaŋ, Kathah mangke utang ing ngwang, Banyak berhutang pada orang,
si hanommann anak mami. Si Hanoman anak mami. Si Hanoman anakku.

12. lah patinnana karuḥun kaŋ diyu awarna Sang Pawanasuta matur, Sang Pawanasuta berkata,
rĕśe maŋke iŋoŋ aŋantiya, Sampun pinahosan malih, Telah dihias kembali,
kaŋ kenin tandra ŋastuti sakĕḍḍap tandra Pan dasi dados lantaran, Karena pelayanlah yang menyebabkan,
pan dandan maligi tuṇḍa saptaddi. Sadaya reh saking Widi, Semua keadaan berasal dari Tuhan,
Balika yan awi losa, Silakan kembali jika akan pergi,
Tan dangumbata ing mangke. Tidak butuh waktu lama untuk menembok.
13. śaŋ widadyari aluŋgu, Sang widadyari amuwus, Sang bidadari berkata,
aning maliŋgih tuṇḍas sri, Apwa3 sira walang ati, Mempesilakan, dia khawatir,
saŋ anomman taṇdra keśa, Mangsing4 ngwang tan wreng Mustahil menganiaya orang yang tidak takut,
maraŋ śaŋŋ amiṇḍa rĕsṣi tka luŋgwiŋ sikara, Diketahui bersiap ke Alengka,
bali aṇḍap campakah basa jiwarṇni. Mapan ka Alengka wruhi, Tidurlah sang Rama Laksmana,
Sare sang Rama Laksmana, Aku tidak merahasiakan peperangan.
Kang aprang tan samar mami.

14. lah patinnana karuḥun kaŋ diyu awarna Lah patinana karuhun, Lah bunuhlah dulu,
rĕśe maŋke iŋoŋ aŋantiya, Kang Diyu awarna resi, Resi yang menyerupai Diyu,
kaŋ kenin tandra ŋastuti sakĕḍḍap tandra Mangke ingong angantiya, Saya akan menunggu nanti,
pan dandan maligi tuṇḍa saptaddi. Kang kenen tandra ngastuti, Yang diperintah segera menyembah,
Sakedhap tandra pan dandan, Sekejap kemudian menghias,
Malige tundha saptadi. Mahligai tujuh tingkat yang indah.

15. śaŋ widadyari aluŋgu, Sang widadyari alungguh, Sang bidadari duduk,
aning maliŋgih tuṇḍas sri, Aneng malinge tunda sri, Di singgasana bertingkat milik raja,
saŋ anomman taṇdra keśa, Sang Hanoman tandra kesah, Sang Hanoman segera pergi,
maraŋ śaŋŋ amiṇḍa rĕsṣi tka luŋgwiŋ Marang sang amindha resi, Menemui Resi Amindha,
bali aṇḍap campakah basa jiwarṇni. Teka lunggwing bali andhap, Datang, duduk di bawah kemudian kembali,
Campaka basaji5 warni. Menyajikan beragam bahasa dan cempaka.
3
Kata apwa seharusnya apuwa ‘mempersilakan’. Hilangnya satu suku kata karena mengikuti aturan metrum.
4
Kata mangsing berasal dari mangsi + ing
16. śaŋ diyu rĕssi kadulu, Sang Diyu resi kadulu, Sang resi terlihat seperti Diyu,
saŋ anomman deṇ caranni leŋŋ ikaki Sang Hanoman den carani6, Sebab sang Hanoman mengintai,
mariniya, Ling ikaki mariniya, Laki-laki tua berkata akan datang,
aliŋgiya sanḍiŋ mammi, Alinggiha sandhing mami, Duduklah di sampingku,
sapwaŋin mara arupa kadya woŋŋ arĕp Sapwangin mara arupa, Sapwangin datang dalam wujud,
ambakti. Kadya wong arep ambakti. Seperti orang memberi hormat.

17. tandra śaŋ rsi den pĕluk kaŋ cinĕkkĕllan Tandra sang resi den peluk, Segera sang resi memeluk,
pan dadi danawa ruśa sakala nomman Kang cinekelan pan dadi, Yang dipegangnya menjadi,
pann aguŋ awake kaŋ buta binantiŋ śigra Danawa rusa sakala, Rusa raksasa semuanya,
wus rĕmmĕk rata lan bumi. Noman pan agung awake, Hanoman yang besar badannya,
Kang buta binanting sigra, Raksasa segera dibantingnya,
Wus remek rata lan bumi. Kemudian hancur rata dengan bumi.

18. sapjahe buta wa…pul nomman maraŋ Sapjahe buta wa…pul, Setelah kematian raksasa…,
widadyari amintah tinaṇḍaŋ mĕrta, Noman marang widadyari, Hanoman mendatangi bidadari,
reh śaŋ lĕksmana akanin apan pranna Aminta tinandhang merta, Meminta mengirim kabar,
curnan nira, Reh sang Laksmana akanin, Sang laksmana memerintah,
yan sisippah tmah mati. Apan prana curna nira, Sebab kehidupannya rusak,

5
Basaji berasal dari kata basa dan saji.
6
Akhiran -i digunakan untuk mengikuti aturan metrum.
Yan sisipa temah mati. Jika salah akan mati.

Pada bait satu, terdapat tanda titik yang digunakan untuk menuliskan teks yang tidak terbaca karena naskah rusak. Pada perbaikan teks
bait satu, suku kata yang hilang dapat diidentifikasi dengan melihat konteks kalimatnya, yaitu kata kutha ‘kota, tempat yang dikelilingi tembok’.
Perbaikan pada bunyi vokal terakhir pada suatu baris dapat dijumpai pada bait dua. Kata pamre diubah menjadi pamrih untuk mengikuti aturan
guru lagu pada baris kedua metrum kinanthi, yaitu /i/.

Kesimpulan
Perbaikan metrum kinanthi pada Serat Rama meliputi jumlah baris, jumlah suku kata tiap baris, dan bunyi vokal terakhir pada masing-
masing baris. Dalam menyajikan bentuk teks yang sesuai dengan metrum kinanthi, dilakukan penghitungan suku kata untuk masing-masing
baris. Perbaikan yang paling sedikit dilakukan adalah perbaikan pada bunyi vokal terakhir pada suatu baris. Ditemukan hanya satu bunyi vokal
terakhir yang perlu diperbaiki, yaitu kata pamre menjadi pamrih.
Daftar Pustaka

Arps, Bernard. 1992. Tembang in Two Traditions: Performance and Interpretation of


Javanese
Literature. London: School of Oriental and African Studies (University of London).

Hardjowirogo, R. 1980. Pathokaning Nyekaraken. Jakarta: Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan.

Prawiroatmojo, S. 1981. Bausastra Jawa-Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.

Saputra, Karsono H. 2001a. Puisi Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sarana.

________________. 2001b. Sekar Macapat. Jakarta: Wedatama Widya Sarana.

Sari, Mardhayu Wulan. 2015. Repertoire dalam Serat Rama: Suntingan Teks, Terjemahan,
dan
Kajian Respon Estetik Wolfgang Iser. Tesis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai