Anda di halaman 1dari 16

“Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali”

Karya Puthut EA

Disusun oleh :
Listia Aulia Ruwaidah (17)
XI MIPA 1

SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 39 JAKARTA


Jl.R.A Fadillah RT. 11 / RW. 4, Cijantung, Jakarta Timur

Tahun Pelajaran 2017/2018


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hakikat cerita pendek adalah sebagai suatu karya sastra. Karya sastra merupakan cermin
kehidupan yang terwujud dalam bentuk karya dengan menggunakan bahasa sebagai
medianya. Robert mendefinisikan, “Littérature est un écrit, un discours superficiel,
emprient d’artifice. En semble des oeuvres écrites ou orales auxquelles on reconnaît une
finalité esthéthique.” (2011: 1470). Karya sastra merupakan sebuah karangan, wacana
ringan, yang ditulis dengan meniru. Semua karya sastra tulis atau lisan dipahami sebagai
sebuah keindahan.

Pada dasarnya ada tiga genre karya sastra, yaitu puisi, drama dan prosa. Prosa adalah
karangan bebas, prosa tidak terikat seperti halnya puisi. Prosa disebut juga karangan
fiktif, karena menyajikan kejadian fiktif atau khayalan. (Schmitt dan Viala, 1982: 49).
Karya fiksi berisi sebuah cerita, dengan urutan kejadian yang membangun cerita
tersebut, keadaan dan tempat terjadinya sebuah peristiwa, serta tokoh-tokoh yang
dikenai peristiwa tersebut.

Cerita pendek merupakan salah satu karya fiksi yang berbentuk prosa pendek. Robert
(2009) menyebutkan bahwa cerita pendek adalah “Récit généralement bref, de
construction dramatique, et présentant des personnages peu nombreux” Cerita pendek
merupakan cerita yang pada umumnya pendek, berkonstruksi dramatis dan terdapat
sedikit karakter di dalamnya.

Unsur penokohan di dalam sebuah cerita pendek dianggap lebih dominan daripada unsur
yang lain, oleh karena itu perwatakan yang jelas dari suatu tokoh dalam sebuah cerita
pendek adalah hal yang penting. Cerita pendek hanya akan menampilkan satu pokok
permasalahan atau permasalahannya tunggal.

Dalam penulisan cerita pendek, banyak hal yang perlu diperhatikan. Hal yang perlu
diperhatikan yaitu suatu cerita pendek harus memberi kesan secara terus-menerus hingga
kalimat terakhir, yang berarti bahwa cerita pendek harus ketat, tidak mengobral detail,
dialog hanya diperlukan untuk menampilkan watak tokoh, menjalankan cerita atau
menampilkan permasalahan/konflik. Kemudian, cerita pendek harus dibuat seolah
mengalir dalam arus untuk menciptakan efek tunggal dan unik. Selanjutnya,
ekonomisasi kata dan kalimat sebagai salah satu keterampilan yang dituntut bagi seorang
cerpenis. Sebuah cerita pendek juga harus mampu meyakinkan pembacanya bahwa
ceritanya benar-benar terjadi, bukan suatu rekaan. Itulah sebabnya dibutuhkan suatu
keterampilan khusus, adanya konsistensi dari sikap dan gerak tokoh, bahwa mereka
benar-benar hidup, sebagaimana manusia yang hidup. Yang terakhir adalah cerita
pendek harus menimbulkan kesan yang selesai, tidak lagi mengusik dan menggoda,
karena ceritanya seperti masih berlanjut. Kesan selesai itu harus benar-benar
meyakinkan pembaca, bahwa cerita itu telah tamat, sampai titik akhirnya, tidak ada jalan
lain lagi.

Semua hal di atas membuat penulis tertarik dengan apa yang dikatakan sebagai cerita
pendek itu. Penulis memiliki rasa keingintahuan terhadap apa saja yang ada di dalam
cerita pendek. Terutama penulis ingin mengetahui hal yang ada di dalam unsur intrinsik
dan unsur ekstrinsik dalam sebuah cerita pendek.

Penulis memilih buku kumpulan cerita pendek yang berjudul Seekor Bebek yang Mati di
Pinggir Kali karya Puthut EA. Buku ini salah satu buku terlaris dan banyak mendapat
sanjungan dari pembaca. Selain itu, buku ini mengalami dua kali pencetakan. Cetakan
pertama pada tahun 2009 dan cetakan kedua pada tahun 2016. Menurut penulis, buku ini
sangat cocok untuk dianalisis unsur-unsur yang ada di dalamnya.

1.2 Identitas Buku


Judul : Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali
Sub-bab yang dibaca : Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali
Pengarang : Puthut EA
Penerbit : Buku Mojok
Tahun Terbit : 2016
Cetakan ke :2
Kota Terbit : Yogyakarta
Jumlah Halaman : 179 halaman
Judul Cerpen : 1. Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali (halaman 1-12)
2. Kawan Kecil (halaman 13-24)
3. Obrolan Sederhana (halaman 25-36)
4. Rahasia Telinga Seorang Sastrawan Besar (halaman 37-46)
5. Doa yang Menakutkan (halaman 47-58)
6. Di Sini Dingin Sekali (halaman 59-68)
7. Sambal Keluarga (halaman 69-80)
8. Dongeng Gelap (halaman 81-92)
9. Anak-anak yang Terampas (halaman 93-104)
10. Retakan Kisah (halaman 105-114)
11. Koh Su (halaman 115-126)
12. Ibu Tahu Rahasiaku (halaman 127-136)
13. Rumah Kosong (halaman 137-148)
14. Bunga Pepaya (halaman 149-160)
15. Berburu Beruang (halaman 161-171)
BAB II
PEMBAHASAN

Cerita pendek memiliki dua unsur pembangun yang membuat cerita pendek menjadi teratur dan
akan menarik minat baca seseorang. Unsur yang membangun cerita pendek yaitu unsur intrinsik
dan ekstrinsik. Unsur intrinsik dapat dikatakan sebagai pembuat cerpen yang berawal dari isi
cerpen itu sendiri. Unsur intrinsik dalam cerita pendek terdiri dari tema, sudut pandang, tokoh
dan penokohan, latar/setting, alur/plot, gaya bahasa, dan amanat.

Ide pokok sebuah cerita pendek, yang diyakini dan dijadikan sumber pada cerita dapat disebut
sebagai tema. Dalam sebuah cerita pendek, tema merupakan ruh atau nyawa dari setiap karya
cerita pendek. Dengan kata lain tema merupakan ide atau gagasan dasar yang melatarbelakangi
keseluruhan cerita yang ada dari cerita pendek.

Dalam cerita pendek yang berjudul Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali, tema yang diangkat
oleh pengarang adalah ketidakadilan. Tokoh Ia dalam cerita pendek ini mengalami perlakuan
yang tidak adil. Di dalamnya, tokoh Ia adalah seorang anak yang memiliki ayah yang dianggap
sebagai seorang komunis. Ia mendapatkan prasangka/cap sebagai komunis yang sangat tidak adil
bagi mereka yang tidak tahu mengenai paham tersebut seperti yang dialami oleh tokoh Ia yang
hidupnya sengsara karena ayahnya dianggap seorang komunis.

Memang pada zaman orde baru yang lalu, orang tua atau keluarga yang dianggap komunis tidak
dapat menjadi pegawai negeri sipil seperti yang dikisahkan oleh Puthut EA. Orang yang
dianggap komunis, seperti orang yang terkena virus atau penyakit menular yang mematikan
sehingga orang-orang menjadi takut mendekatinya dan orang itu pun akan diasingkan.

Selanjutnya ada strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk
mengemukakan gagasan dan ceritanya yang biasa disebut sudut pandang (point of view). Sudut
Pandang terdiri dari sudut pandang persona pertama dan sudut pandang persona ketiga.

Sudut pandang persona pertama (first person point of view) dalam cerita pendek menggunakan
”aku”. Dalam sudut pandang ini pengarang sebagai seseorang yang ikut terlibat dalam cerita.
Sudut pandang persona pertama dapat dibagi lagi menjadi “aku” tokoh utama dan “aku” tokoh
tambahan. Dalam sudut pandang “aku” tokoh utama, si ”aku” mengisahkan berbagai peristiwa
dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik,
hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya. Sedangkan dalam sudut pandang “aku” tokoh
tambahan, tokoh ”aku” muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan
(first pesonal peripheral). Tokoh ”aku” hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca,
sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian ”dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri
berbagai pengalamannya. Tokoh cerita yang dibiarkan berkisah sendiri itulah yang kemudian
menjadi tokoh utama, sebab dialah yang lebih banyak tampil, membawakan berbagai peristiwa,
tindakan, dan berhubungan dengan tokoh-tokoh lain.

Sudut pandang selanjutnya yaitu sudut pandang persona ketiga yang menpergunakan gaya ”Dia”,
pengarang adalah seorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita
dengan menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Sudut pandang persona ketiga
terbagi menjadi sudut pandang persona ketiga “dia” serba tahu dan “dia” sebagai pengamat.
Dalam sudut pandang orang ketiga ”dia” serba tahu, pengarang dapat menceritakan apa saja hal-
hal yang menyangkut tokoh ”dia” tersebut. Pengarang mengetahui segalanya, ia bersifat serba
tahu (omniscient). Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk
motivasi yang melatarbelakanginya. Sedangkan sudut pandang persona ketiga ”Dia” sebagai
pengamat, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh
tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja atau terbatas dalam jumlah yang
sangat terbatas.

Dalam cerita pendek Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali, sudut pandang yang digunakan
adalah sudut pandang persona/orang pertama tokoh tambahan atau pelaku sampingan. Sudut
pandang ini juga dapat disebut sebagai sudut pandang orang kedua. Tokoh aku dalam cerita ini
seolah-olah bercerita, akan tetapi posisinya dalam cerita bukanlah sebagai tokoh utama
melainkan menjadi pelaku sampingan. Sementara itu, tokoh Ia menjadi pelaku utama karena
dirinyalah yang diceritakan.

Di dalam cerita pendek, terdapat orang-orang yang ditampilkan dalam cerita, yang oleh pembaca
ditafsirkan memilki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam
ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan yang biasa disebut sebagai tokoh. Sedangkan
pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita disebut
sebagai penokohan. Penokohan dapat disampaikan dengan dua cara, yaitu dengan analitik
(penyampaian watak tokoh dengan cara disampaikan langsung oleh penulis dan dramatik
(penokohan yang disampaikan dengan tersirat melalui kehidupan atau tingkah laku tokoh).
Dalam cerpen ini terdapat beberapa tokoh dengan watak yang berbeda. Tokoh ia berperan
sebagai pelaku utama memiliki sifat egois yang ditampilkan dalam percakapan tokoh.
“Beberapa tahun kemudian, bapakku pulang dari penjara. Tapi aku tidak pernah mau
menemuinya.” (halaman 10).
Selain itu, tokoh ia juga bersifat keras kepala yang ditampilkan dalam percakapan tokoh juga.
“Aku tidak tahu apakah perlu meminta maaf di kuburannya.” (halaman 11).
Sifat lainnya dari tokoh ia adalah pendendam yang dibuktikan dari percakapan tokoh.
“Di hatiku, mulai timbul rasa benci kepada bapakku.” (halaman 9)
Yang penulis kagumi dari tokoh ia adalah sifat sederhananya, yang dibuktikan dari
penggambaran oleh tokoh lain.
“Ia seperti biasa, berpakaian sederhana dengan celana dan jaket jins membungkus tubuhnya
yang pendek dan gempal.” (halaman 3).
Tokoh aku di dalam cerita pendek sebagai pelaku sampingan memiliki sifat sebagai penakut
yang diungkapkan dengan jalan pikiran tokoh.
“Saat itu, aku merasa kaget dan ketakutan.” (halaman 5).
Tokoh bapak dari tokoh Ia memiliki sifat sebagai orang yang bertanggunng jawab yang
ditampilkan melalui perilaku tokoh.
“Bapakku membayar ganti rugi ke si pemilik bebek.” (halaman 2).
Tokoh bulik dari tokoh Ia memiliki sifat cengeng atau mudah menangis apabila bersedih. Sifat
dari bulik ditampilkan dengan perilaku tokoh.
“Bulikku meraung keras. Lalu pingsan.” (halaman 3).

Penempatan waktu dan tempat beserta lingkungannya dalam suatu cerita pendek, biasa disebut
sebagai latar. Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu latar tempat yang
mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur
tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu serta inisial
tertentu. Latar tempat dalam cerita ini ada banyak, antara lain stasiun kereta, kali, parkiran,
warung angkringan, Madiun, terminal Juwana, dan perkebunan. Buktinya adalah :
“Stasiun kereta, tempat kami bercakap.” (halaman 2).
“Orang-orang menuduhku yang membunuh bebek itu, hanya gara gara mereka melihatku
habis bermain di kali, dengan ketapel mengalung di leher…” (halaman 2).
“Begitu sampai di parkiran,motor pinjaman teman langsung kutancap melingkar.”(halaman 6)
“Di sebuah warung angkringan, aku berhenti.” (halaman 6).
“Saat sampai di Madiun, ia membeli pecel bungkus.” (halaman 8).
“Sampai di terminal Juwana matahari baru saja muncul.” (halaman 8).
“Suatu saat, ada sedikit keributan di perkebunan tempatku bekerja.” (halaman 10)
Latar waktu berhubungan dengan masalah ” kapan ” terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah ”kapan” teersebut biasanya dihubungkan dengan
waktu. Latar waktu dalam cerpen ini antara lain dini hari, malam, senin pagi, dan pagi hari
(waktu Subuh). Buktinya adalah :
“Stasiun kereta, tempat kami bercakap dini hari ini.” (halaman 2).
“Malam ini kembali utuh.” (halaman 3).
“Senin pagi, pukul lima kurang, aku sudah datang di stasiun.” (halaman 6).
“Dari jauh, suara azan Subuh mulai menggema.” (halaman 10).
“Ah,sudah pagi….” (halaman 11).
“Lusa, aku akan pulang ke kampung.” (halaman 11).
“Pernah suatu saat, di sore hari, secara mendadak ia mengajakku pergi karena ingin makan
malam dengan menu pecel.” (halaman 7).
Latar tempat mengacu pada suasana yang terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah
karya fiksi. Latar suasana dalam cerpen ini antara lain sepi, menakutkan, sedih, dan gaduh.
Buktinya adalah :
“Stasiun kereta, tempat kami bercakap dini hari ini, terasa sangat dingin. Juga sepi.”
(halaman 2).
“Saat itu, aku merasa sangat kaget dan ketakutan.” (halaman 5).
“Yang bisa kuingat malam itu, bulikku menangis meraung keras.” (halaman 3).
“Suatu saat, ada sedikit keributan di perkebunan tempatku bekerja.” (halaman 10).

Kemudian ada peristiwa yang jalin-menjalin berdasar atas urutan atau hubungan tertentu.
Beberapa peristiwa tersebut akan membentuk sebuah alur. Sebuah rangkaian peristiwa dapat
terjalin berdasar atas urutan waktu, urutan kejadian, atau hubungan sebab-akibat.

Dalam cerita pendek Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali, alur yang digunakan adalah alur
campuran. Alur campuran atau bisa disebut alur maju-mundur adalah alur yang diawali dengan
klimaks, kemudian menceritakan masa lampau, dan dilanjutkan hingga tahap penyelesaian. Pada
saat menceritakan masa lampau, tokoh dalam cerita dikenalkan sehingga saat cerita satu belum
selesai, kembali ke awal cerita untuk memperkenalkan tokoh lainnya. Alur maju dalam cerita
pendek ini yaitu saat tokoh Ia dan Aku melakukan percakapan di stasiun kereta. Awalnya,
mereka bertemu dan saling menyapa. Lama kelamaan mereka menjadi akrab, hingga mereka
telah berteman selama dua belas tahun. Sedangkan alur mundurnya saat tokoh Ia bercerita
kepada tokoh Aku mengenai kehidupannya di masa lalu. Dimulai dari tokoh ia yang dituduh
membunuh bebek, ayahnya adalah seorang komunis, dia diperlakukan tidak adil oleh orang-
orang di sekitarnya setelah tahu bahwa ayahnya adalah seorang komunis, hingga ayahnya
dipenjara dan meninggal setelah bebas dari penjara.

Suatu hal yang berfungsi untuk membuat sebuah alur atau jalan cerita agar dapat menciptakan
alur cerita yang menarik dan tidak membosankan disebut tahapan alur. Tahapan alur dalam cerita
pendek terdiri atas akstraksi, orientasi, komplikasi, evaluasi, resolusi, dan koda. Abstraksi
merupakan tahapan alur dari cerpen yang menampilkan gambaran umum dari suatu cerita
pendek. Gambaran umum itu seperti gambaran umum suasana dan juga dapat berupa pengenalan
tokoh.
Kutipan cerpen :
“Kami duduk berdampingan di bangku besi berwarna hijau lumut. Ia menatap ke depan, lurus,
kea rah di mana kereta-kereta berhenti sejenak untuk kemudian pergi lagi. Baris bangku di
depan kami kosong. Baris bangku di belakang kami, seseorang tidur terlentang dengan
menutupkan topi di wajahnya, sementara kedua kakinya menumpang di atas kardus, dan
napasnya terdengar halus…” (halaman 1)
Dari kutipan di atas, abstraksi dalam cerpen ini menampilkan gambaran suasana tempat mereka
memulai percakapan. Mereka memulai percakapan tersebut di sebuah stasiun kereta. Tokoh ia
akan menceritakan kepada tokoh aku tentang kehidupannya. Tetapi terlebih dahulu mereka
membicarakan hal yang biasa dibicarakan orang yang baru saja berkenalan.

Orientasi merupakan pemunculan masalah yang ada di dalam cerita pendek. Biasanya masalah di
bagian orientasi ini sudah dimunculkan, tetapi masih perkenalan mengenai masalah yang akan
terjadi dalam cerita pendek.
Kutipan cerpen :
“Suatu saat, ada sedikit keributan di perkebunan tempatku bekerja. Dikirimlah sepasukan
aparat ke sana. Setelah keributan itu diselesaikan, mereka berbincang di pos tempatku bekerja.
Mereka banyak menyebut kata-kata ‘komunis’ untuk mengumpati orang-orang yang membuat
keributan. Setiap kali kata itu terucap, ulu hatiku seperti tertusuk. Salah seorang diantara
mereka kemudian bercerita tentang masa lalu. Obrolan itu semakin ramai. Mereka menyebut
nama-nama orang. Mereka juga menyebut nama bapakku dan bulikku. Mereka menyebut apa
saja yang telah mereka lakukan kepada orang-orang itu, kepada bapakku, kepada bulikku…”
(halaman 10)
Dari kutipan di atas, orientasi dalam cerpen ini telah memunculkan masalah. Masalah yang telah
muncul yaitu bapak dari tokoh ia dianggap sebagai seorang komunis. Karena itu, bapak dari
tokoh ia menjadi bahan pembicaraan orang-orang di desa itu. Seperti yang dicontohkan pada
kutipan di atas. Bapak dan bulik dari tokoh ia dijadikan bahan pembicaraan orang-orang di
perkebunan. Tokoh aku merasa sakit hati mendengar hal tersebut.

Komplikasi merupakan puncak dari suatu masalah dalam sebuah cerita pendek. Komplikasi ini
bisa terjadi antara manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan
batinnya.
Kutipan cerpen :
“Di hatiku telah timbul rasa benci kepada bapakku. Aku jatuh cinta dengan seorang
perempuan, ia sekolah di SPG. Ketika hubungan kami mulai dekat, tiba-tiba ia memutuskan
untuk tidak melanjutkan hubungan. Ia takut tidak bisa menjadi guru jika menikah denganku.”
(halaman 9)
Dari kutipan di atas, komplikasi dalam cerpen ini menunjukkan konflik terjadi antara manusia
dengan batinnya. Tokoh ia memiliki rasa benci kepada bapaknya, sebab ia berpikir bahwa
bapaknya lah yang telah membuat dirinya ditinggalkan oleh kekasihnya. Karena bapaknya
adalah seorang komunis. Rasa benci ini merupakan konflik batin yang dialami tokoh ia.

Evaluasi merupakan sebab-akibat dari komplikasi di dalam sebuah cerita pendek tetapi tidak
melibatkan pihak lain.
Kutipan cerpen :
“Beberapa tahun kemudian, bapakku pulang dari penjara. Tapi aku tidak pernah mau
menemuinya. Ketika kudengar ia mulai mencariku, aku malah pergi ke Jakarta, kemudian
tinggal dan bekerja di sana.” (halaman 10)
Dari kutipan di atas, evaluasi dalam cerpen ini menunjukkan akibat dari komplikasi batin yang
dialami tokoh ia. Konfliknya adalah tokoh ia merasa benci atau dendam dengan bapaknya.
Akibat dari itu, saat bapaknya telah bebas dari penjara, ia tidak ingin menemuinya. Ia malah
mencoba untuk menghindari bapaknya.

Resolusi juga merupakan sebab akibat dari komplikasi. Hanya saja, resolusi telah melibatkan
pihak lain di dalamnya dan lebih kepada penyelesaian dari komplikasi dalam cerita pendek.
Kutipan cerpen :
“Aku tidak tahu apakah aku perlu meminta maaf di kuburannya. Kamu ada saran?”
“Segera aku menggelengkan kepala keras-keras. “sebaiknya kamu pulang. Terimakasih telah
mendengar ceritaku.” (halaman 11)
Dari kutipan di atas, resolusi cerpen ini melibatkan tokoh aku dengan meminta saran dari tokoh
aku. Saran yang diminta tokoh ia adalah apakah tokoh ia perlu meminta maaf kepada bapaknya
di kuburan, karena bapaknya telah meninggal setelah keluar dari penjara. Tetapi tokoh aku
merasa takut dan bingung harus menjawab apa sehingga ia memilih untuk menggelengkan
kepala.

Koda merupakan akhir dari cerita pendek. Ada beberapa cerpen memiliki koda yang
menggantung karena akhir yang diserahkan ke pembaca. Ada pula yang berakhir bahagia
maupun sedih.
Kutipan cerpen :
“Aku membunuh bebek itu. Aku mengetapel tepat di kepala bebek itu. Aku melihatnya
menggelepar…. Aku mendengar suara rintihannya….” (halaman 12)
Dari kutipan di atas, koda tersebut menunjukkan bahwa ternyata yang membunuh bebek yang
diceritakan di awal cerita oleh tokoh ia adalah tokoh ia itu sendiri. tokoh ia merasa bahwa bebek
itu membawa nasib buruk baginya.

Bahasa dalam cerpen memilki peran ganda, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai penyampai
gagasan pengarang, namun juga sebagai penyampai perasaannya. Beberapa cara yang ditempuh
oleh pengarang dalam memberdayakan bahasa cerpen ialah melalui majasnya, diksi dan
pemilihan kalimat yang tepat di dalam cerpennya. Di dalam cerpen ini, penulis menemukan
majas personifikasi, metafora, hiperbola, dan totem pro parte. Majas personifikasi
menggambarkan benda-benda mati seolah-olah memiliki sifat seperti makhluk hidup.
Kutipan cerpen personifikasi :
“Malam seperti rontok.” (halaman 3)
“Besi yang agung dan anggun.” (halaman 3)
“Stasiun mulai siuman.” (halaman 11)
Majas metafora semacamanalogi yang membandingkan dua hal secara langsung dan tidak
menggunakan kata penghubung.
Kutipan cerpen majas metafora :
“Seperti ada tangan memecah malam lewat terobosan makhluk berbadan besi memanjang.”
(halaman 3)
“Langit tampak semburat merah.” (halaman 11)
Majas hiperbola mengandung sebuah pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan
sesuatu hal.
Kutipan cerpen majas hiperbola :
“Akhirnya hatiku melunak.” (halaman 6)
Majas totem pro parte adalah sebuah majas yang digunakan untuk mengungkapkan keseluruhan
objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.
Kutipan cerpen majas totem pro parte :
“Saudaraku menjual apa saja yang menjadi milik bapakku.” (halaman 9)
Pada kutipan di atas, bukan semua yang merupakan milik bapakku dijual, melainkan hanya
rumah dan ladang.

Dalam sebuah cerita pendek, terdapat nilai-nilai yang dapat dipetik dari cerita yang dibaca. Nilai-
nilai ini biasa disebut sebagai amanat dalam cerita pendek. Di dalam sebuah cerita pendek,
amanat tidak disebutkan secara tertulis oleh penulis, melainkan tersirat dan tergantung pada
pemahaman pembaca akan cerpen tersebut. Amanat yang dapat dipetik dari cerita pendek Seekor
Bebek yang Mati di Pinggir Kali, yaitu :
1) Janganlah berprasangka buruk kepada orang lain, karena belum tentu orang itu yang bersalah
dan pikirkan bagaimana perasaan orang itu jika dia tahu apa yang ada di pikiran kita.
2) Bersikaplah adil terhadap sesama, jangan membeda-bedakan seseorang dengan orang lain,
karena setiap manusia pasti memiliki kekurangan.
3) Pedulilah kepada orang yang ada di sekitar kita, maka kita juga akan dipedulikan oleh mereka.
4) Janganlah menjadi seorang pendendam karena menjadi pendendam akan membuat hati dan
pikiran kita menjadi tidak tenang.

Selain unsur intrinsik, cerita pendek juga memiliki unsur ekstrinsik. Unsur ekstrinsik merupakan
unsur yang membangun dari luar suatu cerita pendek. Unsur ekstrinsik terdiri dari latar belakang
pengarang, latar belakang masyarakat, dan nilai-nilai yang terkandung dalam cerita pendek itu
sendiri.

Latar belakang masyarakat merupakan faktor-faktor di dalam lingkungan masyarakat penulis


yang mempengaruhi pengarang dalam menulis cerpen tersebut. Di dalam cerita pendek Seekor
Bebek yang Mati di Pinggir Kali, pengarang menggunakan latar belakang dengan ideologi
negara. Pengarang memunculkan tokoh Bapak dari tokoh ia menjadi seseorang yang memiliki
ideologi komunis. Di Indonesia yang memiliki ideologi Pancasila sangat bertolak belakang
dengan ideologi yang dipercaya oleh tokoh Bapak dari tokoh ia.

Kemudian, latar belakang pengarang adalah faktor-faktor dari dalam pengarang itu sendiri yang
mempengaruhi atau memotivasi pengarang dalam menulis sebuah cerpen. Pengarang dari cerita
pendek Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali ialah Puthut EA. Puthut EA (lahir di Rembang,
Jawa Tengah, 28 Maret 1977; umur 40 tahun) adalah sastrawan sekaligus peneliti berkebangsaan
Indonesia. Sejak SMP sampai awal kuliah, ia rajin menulis geguritan (puisi di dalam bahasa
Jawa) di majalah Panjebar Semangat dan Jayabaya.

Begitu hijrah ke Yogyakarta untuk belajar secara formal di Fakultas Filsafat UGM, ia langsung
terlibat aktivitas politik. Pada awal tahun 1998, ia ikut mendirikan sebuah komite pergerakan
bernama Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP). Di lembaga tersebut, ia dipercaya
memegang kepala divisi Pendidikan dan Propaganda. Pada saat itulah ia menginisiasi pembuatan
buletin Bongkar, sebagai ganti atas selebaran-selebaran politik yang hanya melulu berisi kalimat-
kalimat agitasi, dengan penjelasan-penjelasan politik yang lugas, gampang, dan mudah dibaca,
dengan jumlah halaman yang lebih tebal dari selebaran pada umumnya yang hanya selembar,
dengan oplah yang lebih banyak, dan dengan sistem distribusi yang lebih baik.

Tidak lama kemudian, ia dipercaya menjadi Sekretaris Jendral lembaga tersebut, dan hanya
dalam beberapa bulan kemudian, diangkat menjadi Ketua Umum. Bersama beberapa temannya
di berbagai kota di Indonesia, ia ikut mendirikan sebuah organisasi mahasiswa tingkat nasional
dengan nama Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND). Pada akhir tahun 2000, ia
mengundurkan diri dari gerakan mahasiswa, dan menekuni dengan serius dunia menulis,
terutama menulis prosa.
Bersama sahabatnya, Coki Nasution, ia membuat buletin sastra Ajaib. Ketika kemudian Coki
hijrah ke Timor Leste untuk ikut membantu kawan-kawannya di sana mengisi proses
kemerdekaan, Puthut kemudian bergabung ke dalam Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY)
yang merupakan salah satu lembaga di bawah naungan INSIST. Peristiwa itu terjadi pada tahun
2001. Selama di AKY, bersama teman-temannya, Puthut membuat jaringan penulis dan
komunitas kreatif di berbagai daerah, membuat media alternatif ON/OFF, membuat berbagai
proyek penelitian dan penerbitan buku. Di keluarga INSIST itulah, Puthut terlibat berbagai
proyek penelitian dan belajar menjadi pemandu berbagai pelatihan. Pada tahun 2006, ia mundur
dari AKY kemudian ikut menginisiasi pembuatan komunitas Tandabaca. Sekarang aktif di LSM
Indonesia Berdikari.

Selain menulis cerita pendek dan novel, ia juga menulis naskah drama. Karya dramanya berjudul
Orang-orang yang Bergegas, dipentaskan di enam kota di Pulau Jawa dengan sutradara Landung
Simatupang dan Puthut Buchori. Ia juga membuat prosalirik dengan judul Tanpa Tanda Seru,
yang dibacakan oleh Landung Simatupang dengan direktur artistik Ong Harry Wahyu,
pembacaan karya tersebut dilakukan di Jakarta. Pada tahun 2007, sebuah naskah dramanya
berjudul Jam Sembilan Kita Bertemu dipentaskan di Lembaga Indonesia Perancis, Yogyakarta,
oleh Teater Gardanalla dengan sutradara Joned Suryatmoko. Lewat tangan dingin Joned pula,
satu naskahnya dipentaskan di gedung Societet Yogyakarta pada tanggal 6-7 Agustus 2008
dengan judul Deleilah: Tak Ingin Pulang dari Pesta. Pementasan karya tersebut atas dukungan
sepenuhnya oleh panitia Festival Kesenian Yogyakarta (FKY). Beberapa naskah dramanya yang
lain, dipentaskan secara mandiri oleh beberapa kelompok teater di berbagai tempat. Selain itu,
Puthut juga pernah menulis naskah film pendek dengan judul Sinengker, yang diproduksi oleh
Syarikat. Film ini telah diputar di berbagai forum di dalam dan di luar negeri.

Karya-karyanya antara lain adalah The Show Must Go On Bencana Ketidakadilan (karya tulis,
2010), 154 Questions for Alfie (karya tulis, 2010), Makelar Politik: Kumpulan Bola Liar (karya
tulis, 2009), Menanam Padi di Langit (karya tulis, 2008), Sarapan pagi penuh Dusta (2004), Dua
Tangisan pada Satu Malam (kumpulan cerpen, 2005), Kupu-kupu Bersayap Gelap (2006),
Sebuah Kitab yang Tak Suci (kumpulan cerpen, 2001), Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali
(kumpulan cerpen, 2009), Cinta Tak Pernah Tepat Waktu (novel, 2009), Bunda, berdasarkan
screen play Cristantra (novel, 2005), Beli Cinta dalam Karung, Orang-orang yang Bergegas
(naskah drama, 2004), Jam Sembilan Kita Bertemu (naskah drama, 2009), Deleilah Tak Ingin
Pulang dari Pesta (naskah drama, 2009), Pengantar dari Luar (kumpulan esai, 2014), Kami Tak
Ingin Tumbuh Dewasa (novel, 2016), Tanpa Tanda Seru (prosa liris), Jejak Air, (Biografi Politik
Nani Zulminarni), dan Sinengker (naskah film).

Selain terus menulis dan melakukan kerja-kerja penelitian, Puthut masih sering diminta untuk
menjadi pemandu berbagai pelatihan, terutama pelatihan menulis kreatif. Masih sering pula ia
diminta membantu beberapa lembaga untuk ikut menyusun kurikulum pelatihan sekaligus
membuat berbagai bahan dan media belajar. Ia juga menyunting banyak buku, baik fiksi maupun
nonfiksi, menjadi konsultan buku, penerbitan dan media lain. Setidaknya sampai 2013, Puthut
telah menulis 22 buah buku.

Puthut menyediakan ruang sebesar-besarnya untuk ikut ambil bagian dalam kerja-kerja
kemanusiaan sebagai sukarelawan, terutama untuk komunitas-komunitas kecil dan kelompok-
kelompok masyarakat yang terpinggirkan secara ekonomi, politik, sosial dan budaya. Ia, sampai
sekarang, masih tinggal di Yogyakarta.

Selanjutnya, dalam sebuah cerita pendek terdapat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai-
nilai tersebut termasuk juga dalam unsur ekstrinsik karena bersifat membangun dari luar cerita
pendek. Nilai yang terkandung dalam cerita pendek Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali
yaitu nilai sosial, nilai moral, dan nilai budaya.

Nilai yang dapat dipetik dari interaksi-interaksi tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita pendek
dengan tokoh lain, lingkungan, dan masyarakat sekitar tokoh biasa disebut nilai sosial. Nilai
sosial dalam cerita pendek ini adalah kita sesama manusia sudah sepantasnya menolong satu
sama lain. Hal ini terdapat dalam kutipan cerpen :

“Aku tidak menangis. Aku juga tidak menolong bulikku yang sedang pingsan.”

Kemudian, nilai moral adalah nilai-nilai yang terkandung di dalam cerita dan berkaitan dengan
akhlak atau etika yang berlaku di dalam masyarakat. Nilai moral dalam cerpen ini yaitu jangan
menuduh orang sembarangan jika belum ada bukti yang nyata. Karena hal tersebut akan menjadi
beban pikiran bagi orang yang dituduh. Hal ini terdapat dalam kutipan cerpen :

“Aku takut sekali. Orang-orang menuduhku yang membunuh bebek itu, hanya gara-gara
mereka melihatku habis bermain kali, dengan ketapel mengalung di leher…”

Lalu nilai yang berkenaan dengan nilai kebiasaan, tradisi, adat istiadat yang berlaku adalah nilai
budaya. Nilai budaya dalam cerpen ini yaitu kebiasaan untuk membalas budi seseorang dengan
uang, karena uang adalah segalanya. Hal tersebut terdapat dalam kutipan :

“Tanpa basa-basi aku mengulungkan tas kresek berwarna hitam berisi buku pesanannya. Ia
membuka dompet, mengeluarkan uang limapuluhan ribu, mencoba memasukkannya ke saku
celanaku. Aku menolaknya. Gratis, bilangku saat itu.”

Cerita pendek karya Puthut EA ini menyodorkan isu penting sekaligus genting di Indonesia.
Pembaca diajak untuk memikirkan isinya, isu-isu di dalamnya. Bahkan seluruh strategi bercerita
yang digunakan Puthut memaksa kita untuk mencapai pada tujuan tersebut. Ia tidak ingin
penbaca mengabaikan dan melupakan persoalan-persoalan tersebut. Berbeda dengan penulis lain
di Indonesia, Puthut tampak tidak berhasrat menjadikan isu-isu besar (sosial, politik, agama,dll)
sekedar sebagai alas untuk menciptakan kisah-kisah yang mewah dan indah. Persoalan-persoalan
itu adalah inti cerita. Meskipun begitu, salah satu keahlian terbaik Puthut sebagai penulis adalah
menuturkan cerita mengenai hal-hal besar tanpa berusaha merumitkannya; sederhana dan tidak
tergoda untuk tampil lebih cerdas dari pembacanya. Sayangnya, terdapat kelemahan dalam
cerpen yang dibuat Puthut ini, yaitu koda atau akhir dari cerita masih bersifat menggantung,
sehingga pembaca harus menentukan sendiri akhir dari cerita ini.
BAB III
PENUTUP
Cerita pendek ini menceritakan tentang obrolan dua orang yang selalu bertemu di stasiun. Salah
seorang dari mereka menceritakan kisah hidupnya. Hidupnya yang ia rasa penuh ketidakadilan.
Ia yang dituduh sebagai anak seorang komunis, diperlakukan tidak adil oleh orang-orang di
sekitarnya.

Hidupnya menjadi lebih sulit karena hal tersebut. Saat ia ingin mendaftar jadi Pegawai Negeri
Sipil, ia tidak diterima. Saat ia memiliki seorang wanita yang ingin dinikahinya, ia diputuskan
hubungannya oleh wanita itu karena tidak ingin menikah dengan anak dari seorang komunis.
Kemudian, timbullah rasa benci dari dirinya kepada ayahnya. Ia pun berlanjut bercerita kepada
orang yang ditemuinya setiap ia pergi ke stasiun. Hingga akhirnya ayahnya meninggal dunia
setelah tidak lama keluar dari penjara.

Dilihat dari unsur-unsur yang terdapat dalam cerita pendek ini, semua sudah memenuhi
persyaratannya. Cerita pendek ini memiliki unsur yang lengkap sesuai dengan kaidah penulisan
cerita pendek. Walaupun bahasa yang digunakan sederhana, cerita pendek ini tetap memiliki
semua unsur sesuai persyaratan. Cerita pendek ini bagus untuk dijadikan literasi bagi semua
umur, karena bahasa yang digunakan tidak rumit dan mudah dipahami.

Anda mungkin juga menyukai