Kelas : X MIA 3
Ayah Armijn Pane juga seorang aktivis Partai Nasional pada masa Pergerakan
Nasional di Palembang. Hal itu menyiratkan bahwa ayah mereka termasuk golongan
yang cinta tanah air. Rasa cinta terhadap tanah air ini juga diwariskan kepada
anaknya, baik Armijn Pane, Sanusi Pane, maupun Lafran Pane. Pada Armijn Pane hal
itu dapat kita lihat dalam sajaknya Tanah Air dan Masyarakat dalam Gamelan Djiwa,
bagian dua. Sayang sekali, ayahnya telah mengecewakan Armijn Pane karena ia
menikah lagi dengan wanita lain. Kekecewaan itu terus berbekas sampai akhir
hayatnya.
Pada zaman Jepang, Armijn dan kakaknya Sanusi Pane bekerja di Kantor Pusat
Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) dan menjadi kepala bagian Kesusatraan
Indonesia Modern. Setelah kemerdekaam, ia aktif di bidang organisasi kebudayaan
dan dalam kongres-kongres kebudayaan. Karena keaktifannya ia menjadi anggota
pengurus harian Badan Musyawarh Kebudayaan Nasional (BMKN) pada tahun 1950
hingga 1955. Selain itu, ia merupakan salah satu pegawai tinggi Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan (Bagian Bahasa) hingga pensiun.
Armijn Pane memiliki pembawaan yang tenang, kalem, dan polos. Dalam
mengerjakan sesuatu sangat cermat, teliti dan semuanya ingin terlihat rapi. Karena
sangat hati-hati, persoalan yang betapapun kecilnya, akan menimbulkan keresahan
dalam dirinya. Di dalam menciptakan puisi, Armijn Pane pun berbeda dengan teman-
temannya. Ia punya pandangan dan gaya tersendiri. Dalam puisinya mengutamakan
kesegaran, kedalaman dan kebaruan di dalam bahasa yang dipergunakannya dalam
puisi. Minat Armijn Pane tidak hanya terbatas pada bidang sastra saja, tetapi
perhatiannya meliputi pula seni musik, tari, lukis, dan bidang jurnalistik serta dunia
kebahasaan dan sejarah. Diluar kegiatannya di bidang sastra, ia pernah berpolemik
tentang musik dengan G.J. Resink dan Ali Budiarjo dalam majalah Pujangga Baru
tahun 1941. Selain itu, ia juga pernah menulis buku-buku tentang bahasa Mencari
Sendi Baru Tata Bahasa Indonesia tahun 1950, dan tentang sejarah Jalan Sejarah
Dunia ditahun 1952.
Armijn Pane pernah menjadi wartawan surat kabar Soeara Oemoem di Surabaya
(1932), mingguan Penindjauan (1934), surat kabar Bintang Timoer (1953), dan
menjadi wartawan lepas. Ia pun pernah menjadi guru di Taman Siswa di berbagai
kota di Jawa Timur. Menjelang kedatangan tentara Jepang, ia duduk sebagai redaktur
Balai Pustaka. Pada zaman Jepang, Armijn bersama kakaknya Sanusi Pane, bekerja di
Kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) dan menjadi kepala bagian
Kesusasteraan Indonesia Modern. Sesudah kemerdekaan, ia aktif dalam bidang
organisasi kebudayaan. Ia pun aktif dalam kongres-kongres kebudayaan dan pernah
menjadi anggota pengurus harian Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional
(BMKN) (1950-1955). Ia juga duduk sebagai pegawai tinggi Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Bagian Bahasa) hingga pensiun.
Tahun 1969 Armijn Pane menerima Anugerah Seni dari pemerintah RI karena karya
dan jasanya dalam bidang sastra. Pada bulan Februari 1970, beberapa bulan setelah
menerima penghargaan tersebut, ia meninggal. Armijn Pane meninggal di Jakarta,
pada 16 Februari 1970 pada umur 61 tahun.
Armijn Pane mengawali pendidikannya di Hollandsislandse School (HIS), Padang
Sidempuan dan Tanjung Balai. Kemudian, ia masuk Europese Lagere School (ELS),
yaitu pendidikan untuk anak Belanda di Sibolga dan Bukittinggi. Pada tahun 1923 ia
menjadi studen stovia (sekolah kedokteran) di Jakarta. Namun, ia tidak
melanjutkannya. Tahun 1927 ia pindah ke Nederlands-Indische Artsenschool (Nias)
‘sekolah kedokteran’ (Nias) yang didirikan tahun 1913 di Surabaya.Jiwa seninya
tidak dapat dikendalikan sehingga ia masuk ke AMS bagian AI Jurusan Bahasa dan
Kesusastraan di Surakarta hingga tamat tahun 1931.
Ia juga menjadi guru bahasa dan sejarah di perguruan Taman Siswa di Kediri dan di
Jakarta. Oleh karena itu, salah seorang tokoh Taman Siswa, Pak Said, atas nama
seluruh warga Taman Siswa menyampaikan penghargaan atas jasa almarhum dalam
upacara pemakamannya.
Kariernya dalam bidang penerbitan dirintis di Balai Pustaka, sebagai pegawai. Tahun
1936 Armijn diangkat menjadi redaktur. Pada zaman Jepang ia menjabat Kepala
Bagian Kesusastraan di Pusat Kebudayaan Jakarta. Di samping itu, tahun 1938 ia
menjadi Sekretaris Kongres Bahasa Indonesia. Ia juga merupakan penganjur Balai
Bahasa Indonesia dan di zaman Jepang ia menjadi anggota komisi istilah.
Atas jasanya dalam bidang seni (sastra), ia memperoleh Anugerah Seni dari
pemerintah tahun 1969.
Dalam menjalani tugasnya, baik di zaman Belanda, zaman Jepang, maupun zaman
republik, Armijn sering menyaksikan hal yang tidak beres yang menusuk hati
nuraninya. Ketika ia menjadi Kepala Bagian Kesusastraan di Pusat Kebudayaan,
atasannya, orang Jepang, menunjukkan majalah yang bersisi berita tentang
dilancarkannya armada Jepang oleh armada Sekutu di sekitar Morotai. Jepang
meminta Armijn agar membuat beritanya. Karena Armijn seorang yang polos, jujur,
dan tidak pernah mengubah fakta, dibuatnya laporan. Akibatnya, ia harus berhadapan
dengan kempetai sehingga ia menderita lahir dan batin akibat perlakukan kasar
kempetai yang kemungkinan ingin menguji keberpihakan Armijn. Hal itu
merupakan salah satu pengalaman pahitnya yang menyebabkan dirinya terkena
pukulan batin terus-menerus dalam pekerjaannya.
Di dalam menulis sajak, Armijn Pane berhasil mengumpulkan sajaknya di dalam dua
kumpulan Jiwa Berjiwa yang menurut tafsiran Ayip Rosidi berarti jiwa yang hidup.
Kumpulan lain berjudul Gamelan Djiwa yang jika dilihat artinya, gamelan berarti alat
musik atau bunyi-bunyian. Jadi, gamelan jiwa dapat diartikan bunyi atau suara batin,
yaitu suara batin penulis yang menyuarakan cinta, yaitu cinta sebagaimana lazimnya
anak muda, cinta tanah air, cinta Tuhan, dan cinta sastra. Sampai pada saat terakhir,
cinta pada sastra ternyata masih tetap kuat. Ceramahnya mengenai sastra di Taman
Ismail Marzuki sebulan sebelum ia meninggal membuktikan cintanya pada sastra.
Ceramahnya itu berjudul “Pengalaman Batin Pengarang Armijn Pane”.
Dalam menjalani tugasnya, baik di zaman Belanda, zaman Jepang, maupun zaman
republik, Armijn sering menyaksikan hal yang tidak beres yang menusuk hati
nuraninya. Ketika ia menjadi Kepala Bagian Kesusastraan di Pusat Kebudayaan,
atasannya, orang Jepang, menunjukkan majalah yang bersisi berita tentang
dilancarkannya armada Jepang oleh armada Sekutu di sekitar Morotai. Jepang
meminta Armijn agar membuat beritanya. Karena Armijn seorang yang polos, jujur,
dan tidak pernah mengubah fakta, dibuatnya laporan. Akibatnya, ia harus berhadapan
dengan kempetai sehingga ia menderita lahir dan batin akibat perlakukan kasar
kempetai yang kemungkinan ingin menguji keberpihakan Armijn. Hal itu
merupakan salah satu pengalaman pahitnya yang menyebabkan dirinya terkena
pukulan batin terus-menerus dalam pekerjaannya.
Meninggal dunia
Armijn Pane meninggal dunia pada hari Senin, tanggal 16 Februari 1970, pukul
10.00, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dalam usia 62 tahun. Ia
mengalami pendarahan otak dan tidak sadarkan diri selama dua hari. Ia diserang
pneumonic bronchiale. Tempat peristirahatannya yang terakhir ada di pemakaman
Karet, Jakarta, berdampingan dengan makam kakaknya, Sanusi Pane, yang meninggal
satu tahun sebelumnya.
Armijn Pane meninggalkan seorang istri dan seorang anak angkatnya berusia enam
tahun yang pada saat ia meninggal beralamat di Jalan Setia Budi II No. 5 Jakarta.
Karya-karyanya
Selain menulis puisi dan novel, Armijn Pane juga menulis kritik sastra. Tulisan-
tulisannya yang terbit pada Pujangga Baru, terutama di edisi-edisi awal menunjukkan
wawasannya yang sangat luas dan, dibandingkan dengan beberapa kontributor
lainnya seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan saudara laki-laki Armijn, Sanusi Pane,
kemampuan menilai dan menimbang yang adil dan tidak terlalu terpengaruhi suasana
pergerakan nasionalisme yang terutama di perioda akhir Pujangga Baru menjadi
sangat politis dan dikotomis.
Diakhir hayatnya Armijn Pane masih sempat menuliskan karyanya yang berupa tiga
buah roman yang terbagi atas tiga tahun 35-an dan yang ketiga tentang tahun 69-an.
Armijn Pane pernah mendapat penghargaan Anugrah Seni pada tahun 1967 dari
pemerintah karena karya-karyanya dan jasa-jasanya dalam bidang sastra terutama
dalam bidang Sastra Indonesia Modern.
Puisi
Gamelan Djiwa. Jakarta: Bagian Bahasa Djawa. Kebudayaan Departemen
Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. 1960
Djiwa Berdjiwa, Jakarta: Balai Pustaka. 1939.
Cerpen
Kisah Antara Manusia. 1952
Novel
Belenggu, Jakarta: Dian Rakyat. Cet. I 1940, IV 1954, Cet. IX 1977, Cet.
XIV 1991
Kumpulan Cerpen
Djinak-Djinak Merpati. Jakarta: Balai Pustaka, Cet. I 1940
Kisah Antara Manusia. Jakarta; Balai Pustaka, Cet I 1953, II 1979
Drama
Ratna. 1943 (menyadur naskah Hendrik Ibsen, Nora)
Antara Bumi dan Langit”. 1951. Dalam Pedoman, 27 Februari 1951.
Karya lainnya
(Belanda) Kort Oversicht van de Moderne Indonesische Literatuur (1949).
Sebuah tinjauan tentang sastra Indonesia modern
Sandjak-sandjak Muda Mr Muhammad Yamin. 1954. sebuah bahasan tentang
sajak-sajak Muhammad Yamin
Mencari Sendi Baru Tatabahasa Indonesia. 1950. Studinya tentang gramatika
bahasa Indonesia
Jalan Sejarah Dunia. 1952
Tiongkok Jaman Baru, Sejarahnya: Abad ke-19 - sekarang. 1953. sebuah
terjemahan
Membangun Hari Kedua. 1956. Terjemahan novel Ilya Ehrenburg.
Habis Gelap Terbitlah Terang. 1968. Menerjemahkan surat-surat Raden
Ajeng Kartini