Anda di halaman 1dari 19

Angkatan pujangga baru menjadi angkatan yang tidak boleh dilupakan dalam sejarah

kesusastraan Indonesia. Angkatan yang hadir menggantikan kejayaan angkatan Balai


Pustaka ini terbentuk pada tahun 1993. Nama angkatan ini diambil dari nama majalah
Pujangga Baru yang mempublikasikan para sastrawan pada masa tersebut.

Karya yang muncul dalam era pujangga baru memiliki karakteristik di antaranya yakni
becorak politik, banyak mengangkat nasionalisme, dan bertemakan pendidikan. Ada
sejumlah sastrawan terkenal yang berasal dari angkatan Pujangga Baru, di antaranya
sebagai berikut:

1. Armijn Pane

Armijn Pane juga bernama Ammak, Ananta, Anom Lengghana, Antar Iras, AR., A.R., Ara bin
Ari, dan Aria Indra. Nama itu ia gunakan dalam majalah Pedoman Masyarakat, Poedjangga
Baroe, dan Pandji Islam.  Di samping itu, ia mempunyai nama samaran Adinata, A. Jiwa,
Empe, A. Mada, A. Panji, dan Kartono

Armijn Pane merupakan sastrawan yang lahir di Muara Sipongi, Sumatra Utara, pada 18
Agutus 1908 dan wafat di Jakarta pada Februari 1970.

Dirinya berperan penting dalam angkatan Pujangga Baru, bahkan ia merupakan pendiri
majalah Pujangga Baru.

 Ia adalah anak ketiga dari delapan bersaufara. Ayahnya Sutan Pangurabaan Pane adalah
seorang seniman daerah yang telah berhasil membukukan sebuah cerita daerah
berjudul Tolbok Haleoan. Selain sebagai sastrawan, ayah Armijn Pane juga menjadi guru.
Armijn Pane dan adik bungsunya, Prof. Dr. Lafran Pane yang menjadi sarjana ilmu politik
yang pertama, juga mewarisi bakat ayahnya sebagai pendidik. Armijn Pane menjadi guru
Taman Siswa dan Lafran Pane adalah Guru Besar IKIP Negeri Yogya dan Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta.

Keluarga Tokoh Sastrawan Armijn Pane


Ayah Armijn Pane juga seorang aktivis Partai Nasional pada masa Pergerakan Nasional di
Palembang. Hal itu menyiratkan bahwa ayah mereka termasuk golongan yang cinta tanah
air. Rasa cinta terhadap tanah air ini juga diwariskan kepada anaknya, baik Armijn Pane,
Sanusi Pane, maupun Lafran Pane. Pada Armijn Pane hal itu dapat kita lihat dalam
sajaknya Tanah Air dan Masyarakat dalam Gamelan Djiwa, bagian dua. Sayang sekali,
ayahnya telah mengecewakan Armijn Pane karena ia  menikah lagi dengan wanita lain.
Kekecewaan itu terus berbekas sampai akhir hayatnya.
Armijn Pane meninggal dunia pada hari Senin, tanggal 16 Februari 1970, pukul 10.00, di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dalam usia 62 tahun. Ia mengalami
pendarahan otak dan tidak sadarkan diri selama dua hari. Ia diserang pneumonic
bronchiale. Tempat peristirahatannya yang terakhir ada di pemakaman Karet, Jakarta,
berdampingan dengan makam kakaknya, Sanusi Pane, yang meninggal satu tahun
sebelumnya.

Armijn Pane meninggalkan seorang istri dan seorang anak angkatnya berusia enam tahun
yang pada saat ia meninggal beralamat di Jalan Setia Budi II No. 5 Jakarta.
Armijn Pane mengawali pendidikannya di Hollandsislandse School (HIS), Padang
Sidempuan dan Tanjung Balai. Kemudian, ia masuk Europese Lagere School (ELS), yaitu
pendidikan untuk anak Belanda di Sibolga dan Bukittinggi. Pada tahun 1923 ia menjadi
studen stovia (sekolah kedokteran) di Jakarta. Namun, ia tidak melanjutkannya. Tahun
1927 ia pindah ke Nederlands-Indische Artsenschool (Nias) ‘sekolah kedokteran’ (Nias)
yang didirikan tahun 1913 di Surabaya.Jiwa seninya tidak dapat dikendalikan sehingga ia
masuk ke AMS bagian AI Jurusan Bahasa dan Kesusastraan di Surakarta hingga tamat
tahun 1931.
Ia juga menjadi guru bahasa dan sejarah di perguruan Taman Siswa di Kediri dan di
Jakarta. Oleh karena itu, salah seorang tokoh Taman Siswa, Pak Said, atas nama seluruh
warga Taman Siswa menyampaikan penghargaan atas jasa almarhum dalam upacara
pemakamannya.
Pengalamannya sebagai studen kedokteran (Stovia) di Jakarta dan Surabaya
melatarbelakangi ciptaannya yang tokohnya seorang dokter, seperti dr. Sukartono, dalam
novel Belenggu dan dr. Abidin dalam drama Antara Bumi dan Langit. Dalam kedua cerita itu
tidak tampak hal-hal yang mendasar ilmu kedokteran yang dimiliki tokoh karena yang
ditonjolkan perilaku tokoh dokter. Hal itu mungkin disebabkan ia pernah bersekolah di
kedokteran, tetapi tidak tamat, sehingga ia tidak  menghayati segala hal yang berhubungan
dengan ilmu kedokteran. Armijn Pane tidak tertarik oleh dunia kedokteran, tetapi tertarik
dunia seni. Untuk itu, ia mampu menamatkan pendidikannya di AMS AI (Jurusan
Kebudayaan Timur) di Solo.
Tahun 1949 Armijn Pane kembali ke Jakarta dari pengungsiannya di Yogyakarta. Setibanya
Armijn Pane di Jakarta, ia masuk di bidang penerbitan. Armijn Pane mengasuh
majalah Indonesia yang berisi 124 halaman sejak Februari 1955 bersama Mr. St. Moh. Syah
dan Boeyoeng Saleh. Armijn menulis Produksi Film Cerita di Indonesia setebal 112 halaman
dalam majalah itu. Di samping itu, ia juga memimpin majalah Kebudayaan Timur yang
dikeluarkan oleh kantor Pendidikan Kebudayaan.
Di dalam dunia sandiwara, ia merupakan anggota terkemuka gabungan usaha sandiwara
Jawa, di samping sebagai Ketua Muda Angkatan Baru, perkumpulan seniman di kantor
kebudayaan itu. Ia memulai kariernya sebagai pengarang dan sastrawan ketika ia menjadi
wartawan dan sebagai guru di Pendidikan Taman Siswa. Ia pernah mengajar bahasa dan
sejarah di Sekolah Taman Siswa di Kendiri, kemudian di Jakarta.
Kariernya dalam bidang penerbitan dirintis di Balai Pustaka, sebagai pegawai. Tahun 1936
Armijn diangkat menjadi redaktur. Pada zaman Jepang ia menjabat Kepala Bagian
Kesusastraan di Pusat Kebudayaan Jakarta. Di samping itu, tahun 1938 ia menjadi
Sekretaris Kongres Bahasa Indonesia. Ia juga merupakan penganjur Balai Bahasa Indonesia
dan di zaman Jepang ia menjadi anggota komisi istilah.
Dalam dunia organisasi kebudayaan/kesastraan, Armijn Pane juga aktif. Ia menjadi
Sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). Selanjutnya, ia menjadi anggota Badan
Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) setelah tahun 1950. Dalam penerbitan, Armijn
Pane tidak hanya berkecimpung dalam majalah Pujangga Baru, tetapi juga menjadi anggota
dewan redaksi majalahIndonesia. Dalam dunia film, Armijn aktif sebagai anggota sensor
film (1950—1955).
Atas jasanya dalam bidang seni (sastra), ia memperoleh Anugerah Seni dari pemerintah
tahun 1969.
Dalam menjalani tugasnya, baik di zaman Belanda, zaman Jepang, maupun zaman republik,
Armijn sering menyaksikan hal yang tidak beres yang menusuk hati nuraninya. Ketika ia
menjadi Kepala Bagian Kesusastraan di Pusat Kebudayaan, atasannya, orang Jepang,
menunjukkan majalah yang bersisi berita tentang dilancarkannya armada Jepang oleh
armada Sekutu di sekitar Morotai. Jepang meminta Armijn agar membuat beritanya.
Karena Armijn seorang yang polos, jujur, dan tidak pernah mengubah fakta, dibuatnya
laporan. Akibatnya, ia harus berhadapan dengan kempetai sehingga ia menderita lahir dan
batin akibat perlakukan kasar kempetai yang kemungkinan ingin menguji keberpihakan 
Armijn. Hal itu  merupakan salah satu pengalaman pahitnya yang menyebabkan dirinya
terkena pukulan batin terus-menerus dalam pekerjaannya.
Dalam sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia, Armijn terkenal sebagai salah
seorang pelopor pendiri majalah Pujangga Baru tahun 1933. Mulai tahun 1933—1938 ia
menjabat sekretaris redaksi majalah itu. Novelnya, Belenggu, sebelum diterbitkan sebagai
buku, dimuat dalam majalah Pujangga Baru. Prof. Dr. Teeuw menyatakan bahwa Armijn
Pane adalah pelopor Angkatan 45. Akan tetapi, Dr. H.B. Jassin menyangkalnya karena, baik
dalam prosa maupun puisi, terlihat gaya impresionistis, terutama sajaknya. Dalam
novelnya Belenggu ditemukan gaya romantis sehingga tampak suasana yang diliputi
perasaan yang terayun-ayun serta pikiran yang menggembirakan dan menyedihkan silih
berganti. Padahal, Angkatan 45 banyak menunjukkan karya yang bergaya ekspresionistis.
Dengan demikian, Dr. H.B. Jassin menyanggah pendapat Prof. Teeuw.
Karya Armijn Pane memperlihatkan adanya pengaruh Noto Soeroto, Rabindranath Tagore,
Krisnamurti, dan pelajaran teosofie. Gerakan kesusastraan sesudah tahun 1880 di negeri
Belanda tampak juga memengaruhi karyanya. Armijn Pane adalah pengarang yang
berpendirian kukuh. Ia mengibaratkan keyakinannya seperti pohon beringin. Hal itu
diungkapkannya pada pengantar novelnya, Belenggu, “kalau keyakinan sudah menjadi
pohon beringin, robohlah segala pertimbangan yang lain.” Terhadap novelnya,  kritikus
sastra Indonesia, Dr. H.B. Jassin mengatakan bahwaBelenggu merupakan karya sastra
modern Indonesia yang pertama menggambarkan kehidupan kaum intelektual sebelum
perang.
Di dalam menulis sajak, Armijn Pane berhasil mengumpulkan sajaknya di dalam dua
kumpulan Jiwa Berjiwa yang menurut tafsiran Ayip Rosidi berarti jiwa yang hidup.
Kumpulan lain berjudul Gamelan Djiwa yang jika dilihat artinya, gamelan berarti alat musik
atau bunyi-bunyian. Jadi, gamelan jiwa dapat diartikan bunyi atau suara batin, yaitu suara
batin penulis yang menyuarakan cinta, yaitu cinta sebagaimana lazimnya anak muda, cinta
tanah air, cinta Tuhan, dan cinta sastra. Sampai pada saat terakhir, cinta pada sastra
ternyata masih tetap kuat. Ceramahnya mengenai sastra di Taman Ismail Marzuki sebulan
sebelum ia meninggal  membuktikan cintanya pada sastra. Ceramahnya itu berjudul
“Pengalaman Batin Pengarang Armijn Pane”.
Dalam ceramah itu ia mengungkapkan pengalamannya yang berkaitan dengan
kepengarangannya dan masalah  angkatan,  seperti dinyatakan dalam pikirannya
mengenai  (1) “Mengapa Aku Rela dan Ikhlas Jadi Pengarang”, (2) “Bagaimana Aku
Memperbaharui Kerelaan dan Keikhlasanku sebagai Pengarang di Zaman Sekarang ”, (3)
“Sikap Hidup Bagi Pengarang”, (4) “Struktur Mengarang Fase-Fase Mengarang”, (5)
“Pengarang Keagamaan dan Pengarang Nasional”, (6) “Apa yang Perlu Kita Dapat dari
Pengarang-Pengarang Luar Negeri”, (7) “Apakah Pengarang Manurut Pendapat Pengarang”,
dan (8) “Serba Sedikit Tentang Angkatan”. Armijn mengakui bahwa kepengarangannya
banyak didorong oleh kesadaran kebangsaannya. Ia juga mengatakan bahwa saat itu
sedang  menyiapkan roman yang ketiga. Akan tetapi, roman itu tidak muncul.
Tentang kekhasan Indonesia dalam dunia kepengarangan, ia menganjurkan agar
pengarang Indonesia mendapatkan kekhasan Indonesia. Akan tetapi, tidak berarti
pengarang Indonesia dilarang mencontoh pengarang asing, bahkan ia menganjurkannya
asal tidak melakukan plagiat. Mengenai karya sastra yang lahir tahun 1920—1930, bahkan
sampai sekarang, Armijn berpendapat bahwa Angkatan 1920—1930 mempunyai
pengabdian. Angkatan Pujangga Baru memiliki tanda pro pada yang baru, dinamis, anti
yang fanatik, dan anti yang naif. Angkatan 45 memiliki tanda sebagai pejuang, Angkatan 50
mengemukakan masalah sosial, dan Angkatan terbaru memperlihatkan aksi.
Semasa hidup, mantan jurnalis dan redaktur Balai Pustaka ini aktif menerbitkan karya
sastra terkenal di antaranya yakni:

 Jiwa Berjiwa
 Belenggu
 Kisah antara manusia
 Jinak-jinak merpati
 Gamelan Jiwa.

2. Amir Hamzah

Lahir pada 28 Februari 1911, Amir Hamzah lahir dengan nama Tengkoe Amir Hamzah
Pangeran Indra Poetera. Semasa hidup, Amir Hamzah mendedikasikan diri menjadi
seorang sastrawan, penyair, serta pejabat pemerintahan.

Ayahnya, Tengku Muhammad Adil, merupakan seorang pangeran yang menjadi wakil
sultan di Langkat Hulu di Binjai yang bergelar Tengku Bendahara Paduka Raja. Sementara
Ibunya adalah istri ketiga dari ayahnya yang bernama Tengku Mahjiwa.  

Meskipun lahir dari keluarga bangsawan, Amir Hamzah lebih sering bergaul dalam
lingkungan non-bangsawan. Oleh teman sepermainannya, Amir kecil dijuluki  “Tengku
Busu” ( tengku yang bungsu). Sahabat masa kecilnya yang bernama  Said Hoesny,
menyebutkan  bahwa Amir adalah seorang anak manis yang menjadi kesayangan semua
orang.
Masa Remaja dan Masa Dewasa Amir Hamzah

Amir Hamzah dididik dengan prinsip-prinsip Islam yang kuat. Ia belajar agama islam
seperti mengaji, tauhid, dan fikih di Masjid Azizi Tanjung Pura. Amir Hamzah pertama kali
belajar menulis di Sekolah Dasar berbahasa Belanda HIS di Tanjung Pura.

Pada tahun 1924, setelah lulus dari sekolah dasar, Amir melanjutkan pendidikannya ke
Kota Medan untuk memasuki MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs),
yaitu pendidikan menengah setingkat SMP. Amir kemudian mendapat izin dari orang
tuanya untuk pergi ke Jawa, yakni ke Batavia, untuk melanjutkan sekolah MULO tingkat 2
dan 3 disana.Selama di Batavia, Amir ikut dalam organisasi sosial yang bernama Jong
Sumatra.

Tahun 1927, selesai menempuh pendidikan MULO, Amir Hamzah bertolak ke Solo guna
mendaftar di sekolah AMS (Aglmeene Middelbare School) dan mengambil Jurusan Sastra
Timur dan Bahasa. Amir Hamzah juga mempelajari bahasa Jawa, Sansekerta, dan Bahasa
Arab. Selesai di AMS, Amir Hamzah kembali lagi ke Batavia dan melanjutkan pendidikan di
sekolah Hakim Tinggi.
Setelah menyelesaikan semua studinya, Amir Hamzah kemudian bekerja sebagai guru di
Perguruan Rakyat (bagian dari Taman Siswa) Jakarta. Semasa ini dia berkenalan dengan
sastrawan Indonesia lainnya, seperti Sultan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan juga
Sanusi Pane. Amir Hamzah juga ikut terlibat dalam menuangkan karya-karyanya di
majalah Poedjangga Baroe. Selain itu, dia juga menulis karya sastra di dalam berbagai
majalah, seperti majalan Timboel, Pandji Poestaka, Poedjangga Baroe, dan lain sebagainya.
Pada tahun 1935, Amir Hamzah diminta oleh pamannya untuk pulang ke kampung
halamannya. Amir Hamzah kemudian dinikahkan dengan putri Sultan Langkat  yang
bernama Tengku Kamaliah. Amir Hamzah juga diberi gelar Tengku Pangeran Indra Putra.
Amir Hamzah juga diangkat menjadi Kepala Luhak Langkat Hilir di Tanjungpura sebelum
kemudian dipindah menjadi Kepala Luhak Teluk Haru di Pangkalan Brandan. Tak lama
berselang, ia diangkat menjadi Pangeran Langkat Hulu, menggantikan kedudukan ayahnya
yang telah meninggal dunia.

Peran dan Perjuangan Amir Hamzah

Selama di Solo (Surakarta), Amir Hamzah bergabung dengan gerakan nasionalis. Disana ia
bertemu dengan sesama perantauan asal Sumatera untuk mendiskusikan  masalah
sosial rakyat Melayu di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Pada tahun 1930, Amir Hamzah
dipercaya untuk menjadi kepala cabang Indonesia Muda di Surakarta.
Ketika Amir Hamzah kembali ke Batavia pada tahun 1932 untuk melanjutkan sekolah
Hakim Tinggi, ia pun mulai menulis dua puisi pertamanya yang berjudul “Soenji” dan
“Maboek”. Kedua puisinya tersebut diterbitkan di Majalan Timboel.Masih di tahun yang
sama, delapan karya lainnya juga dipublikasikan, termasuk sebuah syair yang ternama
hingga saat ini berjudul “Hikayat Hang Tuah”.

Pada bulan September 1932, atas dorongan dari Sutan Takdir Alisjahbana, Armiyn Pane
mengajak Amir untuk membantu mendirikan majalah sastra independen. Setelah
melakukan berbagai persiapan selama beberapa bulan, akhirnya pada Juli 1933, edisi awal
majalah Sastra yang berjudul “Poedjangga Baroe” berhasil diterbitkan.

Sepeninggal ayahnya, studi Amir Hamzah ditopang oleh Sultan Langkat dengan syarat Amir
tetap menjadi siswa yang rajin serta meninggalkan gerakan kemerdekaan. Namun, pada
kenyataannya Amir Hamzah justri semakin terlibat pada gerakan nasionalis yang
membuatnya semakin diawasi dengan ketat oleh pemerintah kolonial. Meski demikian,
Amir Hamzah terus menerbitkan karya-karyanya melalui majalah Poedjangga Baroe,
termasuk diantaranya artikel tentang sastra timur dan terjemahan Bhagawad Gita.

Belanda yang khawatir akan sikap nasionalistik Amir Hamzah berhasil meyakinkan Sultan
Langkat untuk memanggil kembali Amir Hamzah ke Langkat dan menikahkannya dengan
putrinya. Setelah menikah dan menjadi Pangeran Langkat, Amir Hamzah lebih banyak 
menangani masalah administrasi dan hukum.

Amir juga tetap melakukan  sedikit korespondensi dengan teman-temannya di Jawa.


Demikian pula karya-karyanya tetap diterbitkan di Majalan Poedjangga Baroe.

Pada tahun 1940, Belanda yang mempersiapkan kemungkinan invasi Jepang membentuk
divisi Stadswacht (Angkatan Garda) dibentuk untuk membela Tanjung Pura di Langkat.
Amir dan sepupunya Tengkoe Haroen diberi tanggung jawab atas angkatan garda tersebut.
Pada awal tahun 1942, Jepang yang mulai menginvasi sehingga Amir Hamzah diutus
menjadi salah satu tentara yang dikirim ke Medan untuk mempertahankannya. Amir
Hamzah kemudian tertangkap dan dijadikan tawanan perang sampai tahun 1943. Setelah
dibebaskan dari tahanan, Amir Hamzah dalam  posisinya sebagai pangeran, mendapat
tugas untuk membantu mengumpulkan beras dari petani untuk memberi makan tentara
pendudukan Jepang.

Dalam dunia kesastraan Indonesia,  Amir Hamzah menjadi salah seorang sastrawan yang
sangat penting. Melalui tangannya, lahir puisi-puisi yang indah dan menarik dengan
rangkaian kata yang khas Melayu.
Dalam bukunya Kesusastraan Indonesia (1975),  Nursinah Supardo mengatakan bahwa
Amir Hamzah berbeda dengan tokoh-tokoh Pujangga Baru lainnya. Alih-alih  mencontoh ke
Barat untuk memodernkan kesusastraan Indonesia,  ia justru membongkar pustaka lama
kesusastraan Melayu lama. Kuatnya basis pendidikan Islam yang didapatnya dari
keluarganya,  membuat ia juga menjadi seorang seorang penyair Islam seperti Aoh K.
Hadimaja, Bangrum Rangkuti dan lain-lainnya.

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, dibentuklah pemerintahan baru


termasuk di Sumatera. Pada tanggal 29 Oktober 1945. Teuku Muhammad Hasan yang kala
itu diangkat menjadi gubernur Sumatera menunjuk Amir Hamzah sebagai wakil
pemerintah RI di Langkat dan berkantor di Binjai.

Wafatnya Amir Hamzah

Dalam suatu revolusi sosial yang dipimpin oleh Fraksi Komunis dan Kelompok Sosialis
yang meletus di Langkat pada tanggal 7 Maret 1946,  Sultan Langkat  dan anggota keluarga
kraton Langkat termasuk Amir Hamzah diculik. Mereka kemudian dibawa ke sebuah
perkebunan di Kwala Begumit yang berjarak sekitar 10 km dari Binjai.

Sejak saat itu, Amir Hamzah tidak pernah diketahui lagi keberadaannya. Sebuah kesaksian
yang diketahui di kemudian hari menyebutkan bahwa para tawanan tersebut, termasuk
Amir Hamzah, dipaksa menggali lubang dan disiksa oleh para penculiknya. Pada tanggal 26
Maret 1946,  Amir Hamzah tewas bersama dengan 26 orang tahanan lainnya dan
dimakamkan di sebuah lubang yang telah digali para tahanan tersebut.

Pada tahun 1948 sebuah makam di Kwala Begumit digali berhasil diidentifikasi jenazah
para  anggota keluarga kraton yang terbunuh pada peristiwa revolusi dua tahun
sebelumnya. Ditemukan pula disana tulang belulang Amir Hamzah. Pada November 1949, 
jenazah Amir Hamzah dikuburkan di kompleks Masjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat.

Atas jasa-jasanya, Amir Hamzah diangerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975.

Beberapa karyanya berjudul:

 Nyanyi Sunyi
 Buah Rindu
 Sastra Melayu dan Raja-rajanya.
3. Sutan Takdir Alisjahbana

Lahir 11 Februari 1908


 Natal, Mandailing
Natal, Sumatra
Utara, Hindia Belanda

Meninggal 17 Juli 1994 (umur 86)


 Jakarta

Kebangsaan  Indonesia

Kewarganegaraan Indonesia

Aliran sastra Pujangga Baru

Karya terkenal Layar Terkembang


Dian yang Tak Kunjung
Padam

Penghargaan Satyalencana Kebudayaan,


1970, Pemerintah RI.

Pasangan Raden Ajeng Rohani Daha


(Almh.)
Raden Roro Sugiarti (Almh.)
Dr. Margaret Axer (Almh.)

Anak tampil
Dari Raden Ajeng Rohani
Daha
tampil
Dari Raden Roro Sugiarti
tampil
Dari Dr. Margaret Axer

Sutan Takdir Alisjahbana merupakan seorang sastrawan Indonesia angkatan


pujangga baru. Beliau lahir pada tanggal 12 Februari 1908 di Natal, Tapanuli
Selatan. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di sekolah Hollandsch
Indlandsche School, Bengkulu, lalu melanjutkan ke Kweekschool, Bukit Tinggi
(setingkat SMP). Beliau lalu merantau ke Bandung untuk melanjutkan
pendidikan tingat SLTA di Hogere Kweekschool. Ia lulus pada tahun 1928 pada
usia 20 tahun.

Setahun setelah lulus, Sutan Takdir Alisjahbana menikah dengan Raden Ajeng
Rohani. Dari pernikahannya, mereka memiliki tiga anak. Tahun 1935 adalah
duka bagi Takdir. Istrinya meninggal dunia. Beberapa tahun setelahnya, ia
kembali dekat dengan seorang perempuan bernama Sugiarti. Akan tetapi,
hubungan keduanya tidak direstui oleh pihak keluarga Sugiarti karena Takdir
saat itu seorang duda beranak tiga. Akhirnya, pada 1945, tiga bulan sebelum
jepang menyerah, mereka kawin lari. Takdir dan Sugiarti memiliki dua anak.
Akan tetapi, Takdir kembali dihadapkan pada duka ketika Sugiarti terkena
serangan jantung dan seketika wafat pada 1952. Karena memiliki banyak
pekerjaan, Takdir merasa memerlukan seorang pendamping untuk mengurus
anak-anaknya. Oleh karena itu, ia berniat untuk menikah lagi. Kali yang ketiga,
pada tahun 1953, Sutan Takdir Alisjahbana   menikah dengan perempuan Eropa
yang bernama Margret Axer, seorang doktor bahasa dan sastra Jerman.

Kiprah dan Karya


Ia berkiprah sejak muda. Pada usia 14 tahun, Takdir telah menjadi anggota
Jong Sumatra. Pada usia 22 tahun, ia menjadi pegawai Balai Pustaka. Tempat
ini pula yang menumbuhkan perhatiannya pada bahasa dan sastra Indonesia.
dua novelnya, Layar Terkembang dan Dian yang Tak Kunjung Padam ditulis
ketika ia bekerja di sana.

Karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana yang cukup populer antara lain:  Tak
Putus Dirundung Malang (1929), Dian yang Tak Kunjung Padam  (1932), Layar
Terkembang (1937), dan Anak Perawan di Sarang Penyamun  (1941). Selain itu,
Takdir juga menerbitkan buku puisi seperti  Tebaran Mega (1935), buku
nonfiksi, menjadi editor, dan penerjemah berbagai buku. Buku yang telah
diterjemahkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana seperti Nelayan di Laut Utara
karya Pierre Lotti.

Baca Juga: Alasan untuk Membaca Buku yang Sama Berulang Kali

Pada saat pendudukan Jepang, bahasa Indonesia mulai boleh digunakan


setelah sebelumnya dilarang oleh Belanda. Momen ini dimanfaatkan oleh
Takdir untuk mendirikan Komisi Bahasa Indonesia. Komisi ini bertugas untuk
mencari istilah bahasa Indonesia di berbagai lini, mulai dari kedokteran,
kimia, biologi dan matematika. Tidak tanggung-tanggung, masing bidang
dibawahi oleh ahlinya. Kala itu kosakata bahasa Indonesia masih kurang.

Komisi yang dibentuknya membawa peran besar dalam perkembangan


kazanah bahasa dan sastra Indonesia. Akan tetapi hal ini menjadi ancaman
bagi penjajah Jepang. Takdir dianggap menyusun rencana propaganda
kemerdekaan. Akhirnya, Takdir ditangkap dan dipenjara. Komisi Bahasa
akhirnya kehilangan ruhnya. Akhirnya perjuangan mereka untuk terus
mengembangkan bahasa Indonesia harus terhenti.

Bagi Takdir, bahasa adalah penjelmaan pikiran. Bahasa akan melahirkan


gagasan dan peradaban. Oleh karena itu, bahasa Indonesia harus memiliki
tatanan yang baik dan memliki identitas agar dapat mewujudkan peradaban
yag baik.

Takdir tidak hanya menulis karya sastra. Ia juga merupakan orang pertama
yang membuat tata bahasa Indonesia. Sebelum itu, tata bahasa dibuat oleh
ahli-ahli Belanda. Tetapi, pemikirannya menuai kritik oleh pakar bahasa
karena dianggap menghilangkan kosakata etnik. Takdir juga menentang
beberapa aturan EYD yang tidak sesuai dengan prinsipnya dalam berbahasa.

Ia pernah mengalami beberapa masalah terkait karyanya yang membuatnya


kecewa. Novelnya yang berjudul Tak Putus Dirundung Malang banyak diedit
oleh Noer Sutan Iskandar sehingga menghilangkan ciri khas bahasa melayu
dalam tulisan Takdir.

Sutn Takdir Alisjahbana dinilai sebagai orang yang konservativ dan kurang
bisa mengapresiasi hal-hal baru dalam sebuah karya. Seperti ketika
menganggap karya Ernest Hemingway yang berjudul The Old Man and The Sea
sebagai karya yang pesimistis, juga kekecewaannya terhadap karya krya
Sutardji Calzoum Bachri dan Putu Wijaya yang dianggap sebagai karya
kontemporer yang kehilangan arah. Takdir dianggap terlalu mengagung-
agungkan semangat renaisans meskipun pengertian renaisans yang dimaksud
Takdir juga dinilai masih abstrak.  Kendati demikian, pemikiran Sutan Takdir
Alisjahbana tidak hangus, dan tetap menjadi pembahasan hingga sekarang.

Pujangga Baru

Pujangga Baru merupakan majalah sastra dan budaya yang menjadi ikon dari
Sutan Takdir Alisjahbana. Malajah ini didirikan Sutan Takdir Alisjahbana
bersama Armijn Pane dan Amir Hamzah pada Juli 1933 saat mereka masih
berusia awal 20. Ia mendirikan majalah Pujangga Baru meski dilanda
ketidakpastian akan masa depan majalah ini karena minat rakyat Indonesia
terhadap bahasa dan kesusastraan yang cukup membuat pesimis. Pada saat
pertama kali berdiri, majalah ini tidak bernama Pujangga Baru tapi Bahasa dan
Sastra, lalu berganti menjadi Sastra, lalu berganti menjadi Poedjangga Baroe
(Pujangga Baru).

Perjalanan Pujangga Baru tidak selalu mulus. Dalam perkembangannya,


majalah ini mengalami banyak pasang surut. Sebagai media yang fokus pada
bidang sastra dan budaya, Pujangga baru harus bisa membaca selera pasar.
Pada awalnya, pelanggannya tidak lebih dari 110 orang. Tetapi, selama
setahun ke depan, majalah ini berhasil mendapatkan banyak pembaca dari
kalangan intelektual muda. Majalah ini mati setelah Jepang menduduki tanah
air pada 1942. Selama itu, oplah Pujangga Baru adalah 500 eksemplar per
edisi, dengan pelanggan tidak lebih dari 150 orang. Jika dihitung-hitung
dengan modal yang dikeluarkan, Pujangga Baru mengalami kerugian. Akan
tetapi, kerugian tersebut ditutup oleh gaji Takdir. Mempertahankan idealisme
yang berlainan dengan selera masyarakat   memerlukan pengorbanan. Jika
sudah terlanjur idealis, orang biasanya tidak lagi perhitungan dengan untung
rugi. Yang penting, bagaimana gagasannya bisa tersampaikan.

Pada tahun 1948, Pujangga Baru kembali berdiri dengan suasana baru. Amir
Hamzah tak lagi bergabung dengan Pujangga baru karena telah meninggal. Ia
dibunuh atas nama revolusi sosial oleh sekelompok pemuda di Sumatra. Pada
terbitan yang baru, Pujangga Baru memiliki lebih banyak redaktur, seperti R.
Nugroho dan L.S. Sitorus. Lalu sebagai pebantu redaksi ada Soewarsih
Djojopoespito, Idrus, Hazil Tanzil, Rivai Avin,Asrul Sani, dan Chairil Anwar.

Majalah ini akhirnya benar-benar berenti terbit pada tahun 1953.   Bukan
karena merugi dan kehilangan pasar. Justru karena pasca kemerdekaan, isi
Pujangga Baru semakin luas dan tidak ada bedanya dengan majalah lain. Pada
saat terakhir majalah tersebut diterbitkan, rubrik-rubrik masih menyala dan
lengkap. Akan tetapi, karena barangkali Pujangga Baru yang telah banyak diisi
oleh sastrawan angkatan 45 itu tidak sesuai dengn idealisme Takdir, maka
Takdir memutuskan untuk menyudahi perjalanan Pujangga Baru.

Meski Pujangga Baru sudah tidak aktif, Sutan Takdir Alisjahbana tidak
berhenti berkiprah untuk memajukan bahasa, sastra, seni, dan budaya.
Hidupnya Balai Seni Toyabungkah adalah salah satu wujud kepedulian Takdir
terhadap kebudayaan Indonesia. Sutan Takdir Alisjahbana wafat pada 17 Juli
1994 dan dimakamkan di sekitar Bogor. Seakan ruhnya juga ada di Balai Seni,
Balai Seni tersebut juga ikut redup setelah Sutan Takdir Alisjahbana wafat.

Selain Armijn Pane dan Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana (STA) juga berperan
penting dalam munculnya majalah Pujangga Baru. Ia lahir di Natal, Sumatra Utara pada 11
Februari 1908 dan meninggal pada 17 Juli 1994 pada usia 86 tahun.

Pelopor angkatan Pujangga Baru ini merupakan seorang sastrawan, budayawan, dan
ahli tata bahasa Indonesia pada era tersebut. Bukan hanya itu, STA juga dikenal sebagai
cendekiawan.

Ia merupakan salah satu pendiri Universitas Nasional Jakarta. STA pernah meniadi
redaktur dari Panji Pustaka dan Balai Pustaka.
Beberapa karya sastra yang ia karang di antaranya sebagai berikut:

 Tak Putus Dirundung Malang


 Tebaran Mega
 Layar Terkembang
 Anak Perawan di Sarang Penyamun
 Kalah dan Menang
 Perempuan di Persimpangan Zaman
 Kebangkitan: Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru.

4. Sanusi Pane

Pria kelahiran Muara Sipongi, Sumatera Utara, 14 November 1905, ini juga berprofesi
sebagai guru dan redaktur majalah dan surat kabar. Ia juga aktif dalam dunia pergerakan
politik,  seorang nasionalis yang ikut menggagas berdirinya “Jong Bataks Bond.” Karya-
karyanya banyak diterbitkan pada 1920 -1940-an. Meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968.

Bakat seni mengalir dari ayahnya Sutan Pengurabaan Pane, seorang guru dan seniman
Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Mereka delapan bersaudara, dan
semuanya terdidik dengan baik oleh orang tuanya. Di antara saudaranya yang juga menjadi
tokoh nasional,adalah Armin Pane (sastrawan), dan Lafran Pane salah (seorang pendiri
organisasi pemuda Himpunan Mahasiswa Islam).

Sanusi Pane menempuh pendidikan formal HIS dan ElS di Padang Sidempuan,
Tanjungbalai, dan Sibolga, Sumatera Utara. Lalu melanjut ke MULO di Padang dan Jakarta,
tamat 1922. Kemudian tamat dari Kweekschool (Sekolah Guru) Gunung Sahari, Jakarta,
tahun 1925. Setelah tamat, ia diminta mengajar di sekolah itu juga sebelum dipindahkan ke
Lembang dan jadi HIK. Setelah itu, ia mendapat kesempatan melanjut kuliah Othnologi di
Rechtshogeschool
Setelah itu, pada 1929-1930, ia mengunjungi India. Kunjungan ke India ini sangat
mewarnai pandangan kesusasteraannya. Sepulang dari India, selain aktif sebagai guru, ia
juga aktif jadi redaksi majalah TIMBUL (berbahasa Belanda, lalu punya lampiran bahasa
Indonesia). Ia banyak menulis karangan-karangan kesusastraan, filsafat dan politik.

Selain itu, ia juga aktif dalam dunia politik. Ikut menggagas dan aktif di “Jong Bataks Bond.”
Kemudian menjadi anggota PNI. Akibat keanggotannya di PNI, ia dipecat sebagai guru pada
1934. Namun sastrawan nasionalis ini tak patah arang. Ia malah menjadi pemimpin
sekolah-sekolah Perguruan Rakyat di Bandung dan menjadi guru pada sekolah menengah
Perguruan Rakyat di Jakarta. Kemudian tahun 1936, ia menjadi pemimpin surat kabar
Tionghoa-Melayu KEBANGUNAN di Jakarta. Lalu tahun 1941, menjadi redaktur Balai
Pustaka

Sanusi Pane sastrawan pujangga baru yang fenomenal. Dalam banyak hal berbeda
(antipode) dari Sutan Takdir Alisjahbana. Jika STA menghendaki coretan yang hitam dan
tebal dibawah pra-Indonesia, yang dianggapnya telah menyebabkan bangsa Indonesia
telah menjadi nista, Sanusi malah berpandangan sebaliknya, mencari ke jaman Indonesia
purba dan ke arah nirwana kebudayaan Hindu-Budha. Sanusi mencari inspirasi pada
kejayaan budaya Hindu-Budha di Indonesia pada masa lampau. Perkembangan filsafat
hidupnya sampai pada sintesa Timur dan Barat, persatuan rohani dan jasmani, akhirat dan
dunia, idealisme dan materialisme. Puncak periode ini ialah dramanya Manusia Baru yang
diterbitkan oleh Balai Pustaka di tahun 1940

Karya-karyanya yang terkenal diantaranya: Pancaran Cinta dan Prosa Berirama (1926),
Puspa Mega dan Kumpulan Sajak (1927), Airlangga, drama dalam bahasa Belanda, (1928),
Eenzame Caroedalueht, drama dalam bahasa Belanda (1929), Madah Kelana dan kumpulan
sajak yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (1931), naskah drama Kertajaya (1932), naskah
drama Sandhyakala Ning Majapahit (1933), naskah drama Manusia Baru yang diterbitkan
oleh Balai Pustaka (1940). Selain itu, ia juga menerjemahkan dari bahasa Jawa kuno
kekawin Mpu Kanwa dan Arjuna Wiwaha yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (1940)

Jiwa nasionalismenya terlihat antara lain dari pernyataan Sanusi Pane tentang akan
dibentuknya perhimpunan pemuda-pemuda Batak yang kemudian disepakati bernama
“Jong Bataks Bond.” Ia menyatakan: “Tiada satu pun di antara kedua pihak berhak mencaci
maki pihak lainnya oleh karena dengan demikian berarti bahwa kita menghormati jiwa
suatu bangsa yang sedang menunjukkan sikapnya.” (Dikutip dari Nationalisme, Jong Batak,
Januari, 1926).

Dalam naskah itu, Sanusi Pane menyampaikan gagasannya bahwa perhimpunan bagi
pemuda-pemuda Batak bukan berarti upaya pembongkaran terhadap de Jong Sumateranen
Bond (JSB). Tetapi sebaliknya, menumbuhkan persaudaraan dan persatuan orang-orang
Sumatera. Karena itu, Sanusi Pane mengingatkan agar tak ada caci maki antara kedua belah
pihak. Semua harus saling menghargai dan menghormati sebagai sesama bangsa, lebih-
lebih sebagai sesama Sumatera

Sastrawan angkatan Pujangga Baru ini banyak menulis puisi dan naskah drama. Ia lahir di
Muara Sipongi, Sumatra Utara pada 14 November 1905.

Saudara dari Armijn Pane ini pernan menjadi redaktur dari sejumlah majalah di antaranya
majalah Timbul dan Balai Pustaka.

Karyanya banyak mengangkat tentang budaya Timur yakni Indonesia dan India.


Pandangan hidupnya terhadap budaya ketimuran ini dituangkan dalam karya drama dan
puisi.

Beberapa karyanya yang popular antara lain yakni:

 Airlangga
 Kertajaya
 Pancaran Cinta
 Puspa Mega
 Madah Kelana.

5. H.B. Jassin

Hans Bague Jassin atau yang lebih akrab dengan nama H.B. Jassin dikenal sebagai
pengarang, penyunting, dan kritikus sastra Indonesia. Ia lahir di Gorontalo pada 31 Juli
1917 dan menghembuskan napas terkahir di Jakarta pada 11 Maret 2000.

H.B. Jassin dilahirkan tanggal 31 Juli 1917 di Gorontalo, Sulawesi Utara, dari keluarga
Islam. Ayahnya bernama Bague Mantu Jassin, seorang kerani Bataafsche Petroleum
Maatschappij (BPM), dan ibunya bernama Habiba Jau. Setelah menamatkan Gouverments
HIS Gorontalo pada tahun 1932, Jassin melanjutkan ke HBS-B 5 tahun di Medan, dan tamat
akhir 1938.

Bulan Januari 1939, Jassin kembali ke Gorontalo. Antara bulan Agustus dann Desember
1939, Jassin bekerja sebagai voluntair di Kantor Asisten Residen Gorontalo.

Akhir Januari 1940, Jassin menuju Jakarta. Dan mulai Februari 1940 hingga 21 Juli 1947
bekerja di Balai Pustaka. Mula-mula dalam sidang pengarang redaksi buku (1940-42),
kemudian menjadi redaktur Panji Pustaka (1942-45), dan wakil pemimpin redaksi Panca
Raya (1945-21 Juli 1947).

Setelah Panca Raya tidak terbit lagi, secara berturut-turut Jassin menjadi redaktur majalah
berikut: Mimbar Indonesia (1947-66), Zenith (1951-54), Bahasa dan Budaya (1952-
63), Kisah (1953-56), Seni (1955), Sastra (1961-64 dan 1967-69), Horison (1966-sekarang),
dan Bahasa dan Sastra (1975).

Mulai Agustus 1953, Jassin menjadi dosen luar biasa untuk mata kuliah Kesusastraan
Indonesia Modern pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia. “Saya sebetulnya sama
sekali tidak suka mengajar,” kata Jassin mengenang masa itu. “Apalagi mengajar di
perguruan tinggi. Saya sendiri sebelumnya tak pernah belajar di perguruan tinggi dan itu
membuat badan saya panas dingin setiap masuk ruang kuliah”.

Di samping mengajar, Jassin juga mengikuti kuliah di fakultas yang sama. Tanggal 15
Agustus 1957, Jassin meraih gelar kesarjanaannya di Fakultas Sastra UI, dan kemudian
memperdalam pengetahuan mengenai ilmu perbandingan sastra Universitas Yale, Amerika
Serikat (1958-59).

Sebelum berangkat ke Amerika Serikat, Jassin pernah berencana untuk menulis disertasi
mengenai Pujangga Baru: timbulnya, pertumbuhannya, bubarnya, lengkap dan latar
belakangnya. Promotornya pun sudah ada, yakni Prof. Dr. Prijono. Akan tetapi, sepulang
dari Amerika Serikat, Jassin tidak pernah lagi berbicara mengenai rencana itu. Dalam
suratnya tanggal 10 September 1959 kepada Subagio Sastrowardoyo, Jassin mengatakan:
“Saya sudah menarik diri dari tugas mengajar yang tak pernah saya senangi selama ini dan
kembali membatasi diri pada lapangan saya sendiri. Saya lebih senang menulis-nulis saja
daripada berdiri di depan kelas…”

Sejak Januari 1961, Jassin kembali menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Sastra UI. Akan
tetapi, tidak lagi berdiri di depan kelas, melainkan hanya membimbing para mahasiswa
yang  membuat skripsi. Antara lain, Jassin membimbing penulisan skripsi Boen S.
Oemarjati, M. Saleh Saad, M.S. Hutagalung, J.U. Nasution, Bahrum Rangkuti, dan lain-lain.

Jassin adalah salah seorang tokoh Manifes Kebudayaan, sebuah manifes yang dibuat
tanggal 17 Agustus 1963 guna menentang pihak Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Akibatnya, sejak dilarangnya Manifes Kebudayaan oleh Bung Karno (8 Mei 1964), Jassin
pun dipecat dari Fakultas Sastra UI. Dan pemecatan ini berlangsung hingga G-30-S/PKI
meletus. Setelah itu, Jassin kembali lagi ke Fakultas Sastra UI. Dan sejak April 1973 menjadi
Lektor Tetap di Fakultas tersebut untuk mata kuliah Sejarah Kesusastraan Indonesia
Modern dan Ilmu Perbandingan Kesusastraan.

Perlu diketahui, di samping mengajar dan mengikuti kuliah, sejak Juli 1954 hingga Maret
1973, Jassin adalah pegawai Lembaga Bahasa dan Budaya, yang sekarang kita kenal dengan
nama: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Untuk jasa-jasanya di bidang kebudayaan pada umumnya, Jassin menerima Satyalencana


Kebudayaan dari Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 20 Mei 1969.

Tanggal 24 Agustus 1970, Gubernur DKI (saat itu: Ali Sadikin) mengangkat Jassin sebagai
anggota Akademi Jakarta (yang diketuai S. Takdir Alisjahbana). Keanggotaan ini berlaku
untuk seumur hidup.

Karena pemuatan cerpen Kipanjikusmin “Langit Makin Mendung” di


Majalah Sastra (Agustus 1968) yang dipimpinnya, Jassin diajukan ke pengadilan. Tanggal
28 Oktober 1970, ia dijatuhi hukuman bersyarat satu tahun penjara dengan masa
percobaan dua tahun. Dan hingga sekarang, hanya Jassin-lah yang tahu, siapa yang
bersembunyi di belakang nama Kipanjikusmin itu.

Bulan April-Juni 1972, Jassin mendapat Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia.


Selama delapan minggu, Jassin mengunjungi pusat-pusat pengajaran bahasa dan sastra
Indonesia/Malaysia di Australia.

Atas undangan Pemerintah Belanda, September 1972 hingga September 1973 Jassin
mengadakan penelitian di Leiden, Belanda. “Saya mengumpulkan bahan dari masa 1870-
1920, surat kabar, majalah dan segala penerbitan yang dapat memberi saya pengetahuan
tentang suasana dan semangat baru yang nanti akan merembes dalam kesusastraan
Indonesia baru pada abad ke-20”, demikian surat Jassin kepada Kasim Mansur yang
dilayangkan dari Leiden.

Tanggal 26 Januari 1973, Jassin menerima Hadiah Martinus Nijhoff dari Prins Bernhard
Fonds di Den Haag, Belanda. Hadiah ini diberikan untuk jasa Jassin menerjemahkan karya
Multatuli, Max Havelaar (Jakarta: Djambatan 1972).

Untuk menghormati jasanya di bidang sastra Indonesia, tanggal 14 Juni 1975 Universitas
Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa kepada Jassin. “Dalam kenyataan,” kata
Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar, dekan Fakultas Sastra UI pada tahun 1975, “pengetahuan yang
dikembangkan oleh H.B. Jassin”.

Sejak 28 Juni 1976, Jassin menjadi Ketua Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Yayasan
ini mengelola Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin yang terletak di Taman Ismail Marzuki,
Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat.

Untuk jasa-jasanya di bidang kesenian dan kesusastraan, Jassin menerima Hadiah Seni dari
Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1983.

Bulan Agustus-September 1984, Jassin menunaikan ibadah haji.

Diambil dari Buku HB Jassin: Paus Sastra Indonesia oleh Pamusuk Eneste

Lulusan Fakultas Sastra UI dan Universitas Yale Amerika Serikat ini banyak meraih
penghargaan di antaranya meraih Doktor Honoris Causa dari UI dan Satyalencana
Kebudayaan dari pemerintah Republik Indonesia.

Sejumlah judul bukunya yang berkontribusi dalam kesusasutraan Indonesia di antaranya:

 Tifa Penyair dan Daerahnya


 Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei
 Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia
 Koran dan Sastra Indonesia
 Darah Laut: Kumpulan Cerpen dan Puisi.

Anda mungkin juga menyukai