Kebiasaannya menulis dimulai ketika duduk di bangku SGA. Sering mengikuti lomba-lomba
mengarang, memenangi mekejuaraan, lalu mencoba mengirimkan karya-karyanya ke majalah.
Tahun 1950, ketika menjadi guru SMP di Gombong, ia menghasilkan beberapa karya lagu berkat
bimbingan guru musik di SGA, Pak Daldjono (pencipta lagu). Di antaranya termuat dalam buku
Puspa Ragam, (Jakarta, 1950). Ada 14 penghargaan yang ia terima dari berbagai lomba/sayembara
mengarang puisi, prosa, dan esei sastra sepanjang hayatnya.
Karena sejak lulus SR dia masuk SGB, lalu dengan seleksi ketak memasuki SGA yang
hidup dalam asrama, maka jadilah dia guru berkepribadian agak kuno, tertib, hati-hati, tegas tetapi
tidak galak. Perjalanan hidupnya lurus meski banyak keprihatinan. Hampir seluruh hidupnya
diabdikan untuk sekolah, selebihnya menulis. Sering merasa kekurangan waktu untuk menulis.
Sajak-sajaknya bayak lahir justru ketika mengikuti penataran, liburan sekolah, atau saat mengawasi
ujian. Selama masa kerjanya, tak sehari pun ia pernah membolos, tetapi kadang kalau sakit agak
lama. Hal ini disebabkan oleh kondisi fisiknya yang lemah sejak lahir. Konon ketika dalam
kandungan, ibunya hanya terbaring dan hanya dapat kemasukan tetes-tetesan air tajin selam 9
bulan. Anehnya, saat akan lahir, ibunya mendapat kekuatan, dan Piek lahir normal. Masa bocahnya
di desa membuatnya dekat dengan alam dan banyak memuja kebesaran Tuhan.
Antara tahun 1950—1960 ia mengikuti kurus PGSLP dan B1 di Semarang. Di sela
kesibukannya belajar, lahirlah karya-karya puisi, cerpen, fragmen yang dimuati di berbagai media
massa antara lain: Gelora, Basis Indonesia, Sastra, Horison, dan lain-lain.
Tahun 1961, Piek pindah tugas ke SMA 1 Kota Tegal. Sejak itu ia tak pernah tinggal
diam/santai. Ia makin produktif menulis puisi, esei sastra, dan mengisi rubrik kebudayaan di Harian
Tempo setiap pekan untuk membicarakan/mengulas sajak-sajak penyair muda yang bermunculan
di Nusantara. Tak heran jika akhirnya ia punya banyak teman-teman penyair di mana-mana yang
mau menyambangi rumahnya. Puisi memang aneh, kecintaannya pada puisi dapat menjalin
keakraban mendalam antarpenyair yang saling tertaut jiwanya. Sampai berpuluh tahun lamanya,
hubungan batin dengan Adri Darmadji Woko, Hendrawan Nadesul, Kurniawan Gunadi, Oey Sien
Tjwan tetap terjaga. Oleh Piek mereka sudah dianggap seperti anaknya, meski bukan berarti
mereka berguru pada Piek.
Piek bersyukur karena pernah melawat ke Belanda selama beberapa hari atas undangan
Radio Nederland Wereldomrroep di Hilversum dengan tugas sebagai Juri Sayembara Menulis
Cerpen “Kincir Emas”. Di situ ia bersama Asbari Nurpatria Krisna. Oleh-olehnya adalah beberapa
kumpulan puisi yang belum pernah diterbitkan. Dari kiprah dan kegiatannya, oleh HB Jassin
memasukkan nama Piek Ardijanto Soeprijadi ke dalam Sastrawan Angkatan 66.
Bilbiografi
Kumpulan Puisi
Esai