Anda di halaman 1dari 6

16.

Piek Ardijanto Soeprijadi


Piek Ardijanto Soeprijadi (lahir di Magetan, Hindia Belanda, 12 Agustus 1929 – meninggal
di Kota Tegal, Jawa Tengah, 22 Mei 2001 pada umur 71 tahun)
adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Piek merupakan salah satu sastrawan angkatan 1966.
Sejak tahun 1970, puisi-puisinya telah dimuat di berbagai media massa di Indonesia. Selain itu dia
juga menulis esai sastra, mengulas karya-karya para penyair muda saat itu. Piek juga salah satu
pelopor perintis Komunitas Negeri Poci (tahun 1993).

Kebiasaannya menulis dimulai ketika duduk di bangku SGA. Sering mengikuti lomba-lomba
mengarang, memenangi mekejuaraan, lalu mencoba mengirimkan karya-karyanya ke majalah.
Tahun 1950, ketika menjadi guru SMP di Gombong, ia menghasilkan beberapa karya lagu berkat
bimbingan guru musik di SGA, Pak Daldjono (pencipta lagu). Di antaranya termuat dalam buku
Puspa Ragam, (Jakarta, 1950). Ada 14 penghargaan yang ia terima dari berbagai lomba/sayembara
mengarang puisi, prosa, dan esei sastra sepanjang hayatnya.
Karena sejak lulus SR dia masuk SGB, lalu dengan seleksi ketak memasuki SGA yang
hidup dalam asrama, maka jadilah dia guru berkepribadian agak kuno, tertib, hati-hati, tegas tetapi
tidak galak. Perjalanan hidupnya lurus meski banyak keprihatinan. Hampir seluruh hidupnya
diabdikan untuk sekolah, selebihnya menulis. Sering merasa kekurangan waktu untuk menulis.
Sajak-sajaknya bayak lahir justru ketika mengikuti penataran, liburan sekolah, atau saat mengawasi
ujian. Selama masa kerjanya, tak sehari pun ia pernah membolos, tetapi kadang kalau sakit agak
lama. Hal ini disebabkan oleh kondisi fisiknya yang lemah sejak lahir. Konon ketika dalam
kandungan, ibunya hanya terbaring dan hanya dapat kemasukan tetes-tetesan air tajin selam 9
bulan. Anehnya, saat akan lahir, ibunya mendapat kekuatan, dan Piek lahir normal. Masa bocahnya
di desa membuatnya dekat dengan alam dan banyak memuja kebesaran Tuhan.
Antara tahun 1950—1960 ia mengikuti kurus PGSLP dan B1 di Semarang. Di sela
kesibukannya belajar, lahirlah karya-karya puisi, cerpen, fragmen yang dimuati di berbagai media
massa antara lain: Gelora, Basis Indonesia, Sastra, Horison, dan lain-lain.
Tahun 1961, Piek pindah tugas ke SMA 1 Kota Tegal. Sejak itu ia tak pernah tinggal
diam/santai. Ia makin produktif menulis puisi, esei sastra, dan mengisi rubrik kebudayaan di Harian
Tempo setiap pekan untuk membicarakan/mengulas sajak-sajak penyair muda yang bermunculan
di Nusantara. Tak heran jika akhirnya ia punya banyak teman-teman penyair di mana-mana yang
mau menyambangi rumahnya. Puisi memang aneh, kecintaannya pada puisi dapat menjalin
keakraban mendalam antarpenyair yang saling tertaut jiwanya. Sampai berpuluh tahun lamanya,
hubungan batin dengan Adri Darmadji Woko, Hendrawan Nadesul, Kurniawan Gunadi, Oey Sien
Tjwan tetap terjaga. Oleh Piek mereka sudah dianggap seperti anaknya, meski bukan berarti
mereka berguru pada Piek.
Piek bersyukur karena pernah melawat ke Belanda selama beberapa hari atas undangan
Radio Nederland Wereldomrroep di Hilversum dengan tugas sebagai Juri Sayembara Menulis
Cerpen “Kincir Emas”. Di situ ia bersama Asbari Nurpatria Krisna. Oleh-olehnya adalah beberapa
kumpulan puisi yang belum pernah diterbitkan. Dari kiprah dan kegiatannya, oleh HB Jassin
memasukkan nama Piek Ardijanto Soeprijadi ke dalam Sastrawan Angkatan 66.
Bilbiografi

 Burung-burung di Ladang (1983)


 Percakapan Cucu dengan Neneknya (1983)
 Desaku Sayang (1983)
 Lelaki di Pinggang Bukit (1984)
 Lagu Bening dari Rawa Pening (1984)
 Nelayan dan Laut (1995)
 Biarkan Angin Itu (1996)
 Kawindra-kawindra (bersama Rita Oetoro, 1984)
 Laut Sebagai Gelanggang Hidup Manusia (bacaan anak-anak, 1984)
 Apresiasi Sastra dalam Nilai-nilai Luhur Budaya Bangsa (sebuah wawasan, 1984)
 Menyambut Hari Sumpah Pemuda (Langen Suara, 1984)
 Gaya Baru, buku pelajaran untuk SMP (1984)

17. Slamet Sukirnanto


Slamet Sukirnanto (lahir di Solo, Jawa Tengah, 3 Maret 1941 – meninggal 23
Agustus 2014 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan angkatan 1966. Slamet merupakan
salah satu sastrawan besar yang dimiliki Indonesia. Ia telah menerbitkan karya-karya
sastranya, termasuk tulisan tentang senirupa maupun teater. Masa mudanya, dia pernah
menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai wakil dari
mahasiswa.
Karya :

 Jaket Kuning (1967)


 Kidung putih (1967)
 Gema Otak Terbanting (1974)
 Bunga Batu (1979)
 Catatan Suasana (1982)
 Luka Bunga (1991)
18. Toety Heraty
Toeti Heraty merupakan Sarjana Muda Kedokteran Universitas Indonesia (1955),
Sarjana Psikologi Universitas Indonesia (1962), dan pada tahun 1974 menjadi Sarjana
Filsafat dari Rijk Universiteit, Leiden, Belanda. Pada tahun 1979, dia lulus sebagai Doktor
Filsafat dari Universitas Indonesia.
Ia pernah mengajar di Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran, Bandung. Selain
itu, Toeti Heraty juga pernah menjadi Ketua Jurusan Filsafat Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, Ketua Program Pascasarjana Universitas Indonesia Bidang Studi
Filsafat, Rektor Institut Kesenian Jakarta, dan Direktur Biro Oktroi Roosseno. Tahun 1994,
dia dikukuhkan menjadi Guru Besar Luar Biasa pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Tahun 1968-1971, Toety menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta, dan tahun 1982-1985
menjadi ketua Dewan tersebut.
Toety Heray juga aktif mengikuti beberapa festival internasional, di antaranya
Festival Penyair International di Rotterdam (1981) dan International Writing Program di
Universitas Iowa, Iowa City (1984). Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke dalam beberapa
bahasa asing, antara lain dalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Rusia dan Prancis.
Toeti Heraty dijuliki sebagai "satu-satunya wanita di antara penyair kontemporer
terkemuka Indonesia". Puisi-pusinya digambarkan sebagai sulit dimengerti,
mengkombinasikan 'ambiguitas yang disengaja' dengan 'perumpamaan yang asosiatif dan
tak dinyana'. Namun mungkin gayanya yang menggunakan ironi dalam menggarisbawahi
kedudukan rendah wanita di masyarakat patriakhal, yang membuat puisinya berbeda
dengan para penyair lainnya. Ia menerbitkan kumpulan puisi pertamanya, berjudul "Sajak-
Sajak 33" pada tahun 1974, termasuk di dalamnya "Dua Wanita", "Siklus", "Geneva Bulan
Juli". Kumpulam puisinya yang kedua, "Mimpi dan Pretensi" terbit tahun 1982. Ia juga
melakukan editing sebuah terbitan puisi berbahsa Belanda dan Indonesia, dan sebuah
koleksi puisi dari para penyair wanita. Puisinya yang terbaru, "Calon Arang: the Story of A
Woman Victimized by Patriarchy", adalah lirik setebal buku, yang memberikan pandangan
kritis atas persepsi dari figur tipikal Indonesia, Calon Arang. Puisi itu menghadirkan
gambaran tiga dimensi dari seorang wanita yang mencoba bertahan terhadap lingkungan
patrikhal yang represif, tetapi malangya ia malah dianggap sebagai penyihir legendaris.
Toety Heraty dianggap sebagai salah satu wanita pemikir feminis generasi pertama
dan banyak menulis banyak pemikiran penting tentang wanita. Puisinya merefleksikan tidak
hanya penadangan feminisnya, tetapi juga kecintaannya terhadap seni. Rumahnya
di Menteng merangkap sebagai gallery, menyimpang sejumlah koleksi lukisan karya pelukis
terkenal, diantanya Affandi, S. Sudjojono, Srihadi Soedarsono. Ia pernah menjabat sebagai
Ketua Yayasan Mitra Budaya Indonesia, pada tahun 1998. Toety Heraty juga adalah
pendiri Jurnal Perempuan, majalah feminis yang mengangkat isu-isu penting tentang wanita.
Ia juga mengabdikan dirinya pada Suara Ibu Peduli, suatu organisasi non-pemerintah, yang
memperjuangkan pemberdayaan wanita.
Hasil Karya :

 Sajak-sajak 33 (kp, 1973),


 Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (ap,1979, Ed),
 Mimpi dan Pretensi (kp, 1982),
 Aku dalam Budaya (s, 1984),
 Manifestasi Puisi Indonesia-Belanda (ap, 1986, Ed. bersama A.Teeuw),
 Antologi Puisi Indonesia 1997 (ap, 1977),
 Sembilan Kerlip Cermin (ap, 2000).
 Elegi; Cintaku Tiga; Selesai; Ke Pelabuhan // Sajak di Leher Bukit. Puisi
Kontemporer Perempuan Indonesia. Penerjemah Victor Pogadaev. Penyusun
Hilda Winar. Moskow: Penerbit "Kluch-S", 2018, hlm. 86-90.

19. Abdul Hadi W.M


Prof. Dr. Abdul Hadi W.M. atau nama lengkapnya Abdul Hadi Wiji Muthari (lahir
di Sumenep, 24 Juni 1946; umur 74 tahun) adalah salah satu sastrawan, budayawan dan
ahli filsafat Indonesia. Ia dikenal melalui karya-karyanya yang bernafaskan sufistik,
penelitian-penelitiannya dalam bidang kesusasteraan Melayu Nusantara dan pandangan-
pandangannya tentang Islam dan pluralisme.
Abdul Hadi WM terlahir dengan nama Abdul Hadi Wijaya. Ketika dewasa ia
mengubah nama Wijaya menjadi Wiji. Ia lahir dari garis keturunan peranakan Tionghoa di
wilayah Sumenep, Madura. Ayahnya, saudagar dan guru bahasa Jerman bernama K. Abu
Muthar, dan ibunya adalah putri keturunan Mangkunegaran bernama RA Sumartiyah atau
Martiyah. Mereka dikaruniai sepuluh orang anak dan Abdul Hadi adalah putra ketiga; tetapi
kedua kakaknya dan empat adiknya yang lain meninggal dunia ketika masih kecil. Anak
sulung dari empat bersaudara (semua laki-laki) ini pada masa kecilnya sudah berkenalan
dengan bacaan-bacaan yang berat dari pemikir-pemikir seperti Plato, Sokrates, Imam
Ghazali, Rabindranath Tagore, dan Muhammad Iqbal. Sejak kecil pula ia telah mencintai
puisi dan dunia tulis menulis. Penulisannya dimatangkan terutama oleh karya-karya Amir
Hamzah dan Chairil Anwar. Bersama teman-temannya Zawawi Imron dan Ahmad Fudholi
Zaini, Hadi mendirikan sebuah pesantren di kota kelahirannya tahun 1990 yang diberi nama
"Pesantren An-Naba", yang terdiri dari masjid, asrama, dan sanggar seni tempat para santri
diajari sastra, seni rupa (berikut memahat dan mematung), desain, kaligrafi, mengukir,
keramik, musik, seni suara, dan drama.
Karya :
Sekitar tahun 1970-an, para pengamat menilainya sebagai pencipta puisi sufis. Ia
memang menulis tentang kesepian, kematian, dan waktu. Seiring dengan waktu, karya-
karyanya kian kuat diwarnai oleh tasawuf Islam. Orang sering membandingkannya dengan
sahabat karibnya Taufik Ismail, yang juga berpuisi religius. Namun ia membantah. “Dengan
tulisan, saya mengajak orang lain untuk mengalami pengalaman religius yang saya
rasakan. Sedang Taufik menekankan sisi moralistisnya.”
Saat itu sejak 1970-an kecenderungan estetika Timur menguat dalam sastra
Indonesia kontemporeran, puitika sufistik yang dikembangkan Abdul Hadi menjadi
mainstream cukup dominan dan cukup banyak pengaruh dan pengikutnya. Tampak ia ikut
menafasi kebudayaan dengan puitika sufistik dan prinsip-prinsip seni Islami,ikut mendorong
masyarakat ke arah pencerahan sosial dan spiritual yang dianggap sebagai penyeimbang
pengaruh budaya Barat hedonis dan sekuler.
Sampai saat ini Abdul Hadi telah menulis beberapa buku penelitian filsafat di
antaranya Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan
Sufistik (Pustaka Firdaus, 1999), Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya (Pustaka Firdaus,
1999), Tasawuf Yang Tertindas, serta beberapa buku kumpulan puisi antara lain At Last
We Meet Again, Arjuna in Meditation (bersama Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto
Yatman), Laut Belum Pasang, Meditasi, Cermin, Tergantung pada Angin, Potret Panjang
Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Anak Laut Anak Angin, Madura: Luang Prabhang dan
Pembawa Matahari, sejumlah karya terjemahan sastra sufi dan sastra dunia, terutama
karya Iqbal, Rumi, Hafiz, Goethe, penyair sufi Persia dan penyair modern Jepang. Selain
itu, ia juga menulis beberapa buku dongeng anak-anak untuk Balai Pustaka.
Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris, Prancis, Belanda, Jepang, Jerman, Cina, Thailand, Arab, Bengali, Urdu, Ko
rea dan Spanyol.

20. Darmanto Jatman


Darmanto Jatman (lahir di Jakarta, 16 Agustus 1942 – meninggal
di Semarang, Jawa Tengah, 13 Januari 2018 pada umur 75 tahun) adalah seorang Guru
Besar Emeritus pada Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (UNDIP), budayawan,
filosof, dan penyair Indonesia. Atas dedikasinya dalam bidang sastra dan budaya tokoh yang
terlahir dengan nama Soedaramto ini digajar penghargaan The S.E.A. Write Award (2002),
Anugerah Satyalencana Karya Satya (2002), dan Anugerah Satyalencana Kebudayaan dari
pemerintah RI (2010).
Darmanto Jatman lahir di Jakarta tanggal 16 Agustus 1942 dan dibesarkan
di Yogyakarta dalam lingkungan priyayi dengan tradisi Kristen Jawa. Di Yogyakartalah
tempat Darmanto Jatman menempuh pendidikan, sejak SR sampai S-2.[1] Usai
menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada pada
tahun 1968, ia menjadi pengajar di Akademi Seni Rupa di Yogyakarta (1969-1970), dan
Universitas Satyawacana Salatiga (1970). Tahun 1972, ia berangkat ke Hawaii untuk
menempuh pendidikan di University of Hawaii, Amerika Serikat, dan dilanjutkan ke University
of London, Inggris (1977). Kemudian, 1979, ia menjadi pengajar di FISIP Universitas
Diponegoro (UNDIP), jurusan Komunikasi. Ia juga turut membidani pendirian Fakultas
Psikologi serta menjadi guru besar luar biasa pertama di fakultas itu. Selain itu, ia juga ikut
mendirikan Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Jawa Tengah,
tahun 1983. Tahun 1985, Darmanto Jatman menyelesaikan pendidikan S-2 nya di Fakultas
Psikologi, Universitas Gadjah Mada.[2] Selain bergelut di bidang akademik, ia juga tercatat
aktif menjadi redaktur pada surat kabar maupun majalah, baik yang lokal maupun nasional,
di antaranya redaktur kebudayaan Dinamika Baru, Kampus, Suara Merdeka, Tribun, dan
memimpin koran kampus Undip Manunggal dan majalah FISIP Undip Forum. Ia pun pernah
memimpin Teater Kristen Yogya dan Studi Klub Sastra Kristen Yogya. Tulisannya berupa
esai maupun puisi banyak di muat di berbagai media masa seperti Kedaulatan
Rakyat, Suara Merdeka, Jawa Pos, Suara Pembaharuan, Sinar Harapan, dan Kompas.[3]
Darmanto memimpin Pusat Penelitian Sosial Budaya Universitas Diponegoro dari
tahun 1990-1996. Ia kerap menjadi fasilisator bagi sejumlah LSM seperti LIMPAD, Forum
Salatiga, serta Persepsi ini. Sebagai akademikus sekaligus sastrawan, dia beberapa kali
diundang dalam forum sastra internasional di antaranya Festival Seni
Adelaide, Australia (1980), dan mengikuti Festival Penyair Internasional
di Rotterdam, Belanda (1983). Dalam menulis puisi, Darmanto Jatman juga kerap
bereksperimen dengan memasukan kosakata bahasa Jawa, Inggris, sedikit Belanda,
dan Prancis, sehingga ia di beri julukan sebagai penyair multilingualis. Kesukaannya
bermain-main dengan kata-kata tersebut, maksudnya agar terkesan adanya kepadatan
makna dalam sajaknya. Dengan menggunakan kosakata daerah, makna kata itu dapat
mudah sampai kepada pembaca. Walaupun tentu saja, kosakata itu harus dimaknai dengan
bahasa daerah.
Kegemaran menulis Darmanto Jatman sudah dimulai ketika duduk dibangku kelas
enam sekolah dasar, di mana ketika itu Darmanto Jatman sudah mulai menulis puisi tentang
masjid yang baru dibangun di Kota Baru, Yogyakarta. Beberapa tahun kemudian, saat dia
bersekolah di SMA III B Padmanaba Yogyakarta, dia mulai mengirimkan karya-karyanya ke
majalah Horison, Basis, dan Sastra setelah sebelumnya dia menulis di Kawanku,
Kedaulatan Rakyat, dan Remaja Nasional. Sejak muda ia juga tertarik untuk belajar filsafat,
teologi dan psikologi. Darmanto Jatman belajar menulis puisi melalui belajar filsafat, teologi,
dan pengalaman atau petualangan.[1]
Beberapa karya tulisnya antara lain ; Sajak-Sajak Putih (bersama MD + Dharmadi
Sosropuro, 1968), Ungu (bersama A. Makmur Makka, 1968), Bangsat (1975), Sang
Darmanto (1975), Arjuna in Meditation (bersama Soetardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi
W.M, 1976) Ki Blakasuta Bla Bla (1980), Karta Iya Bilang Mboten (1981), Sastra, Psikologi
dan Masyarakat (1985), Sekitar Masalah Kebudayaan (1986), Golf Untuk Rakyat (1994), Istri
(1997). Disamping itu, ia juga menjadi editor Manusia Seutuhnya (bersama Frieda NRH +
Darmono SS, 1984) dan Sebutlah Ia Bunga (kumpulan sajak bersama, 1985). Atas peran
aktifnya dalam dunia sastra, Darmanto Jatman, tercatat beberapa kali meraih penghargaan,
diantaranya Piagam Kepala Pusat Bahasa Depdiknas untuk Penulisan Karya Sastra di
bidang puisi (2002), SEA Write Award (2002), Satyalencana Karya Satya (2002) dan
Anugerah Satyalencana Kebudayaan 2010 dari pemerintah RI atas jasanya dalam
melestarikan dan memajukan budaya Indonesia melalui perannya sebagai budayawan dan
filososfi, serta aktif menjadi redaktur pada surat kabar maupun majalah baik local maupun
internasional. Darmanto menikah dengan Sri Muryati. Salah satu anaknya, Omi Intan Naomi,
juga mengikuti jejaknya ayahnya menjadi penulis kajian kebudayaan dan gender.
Karya :

 Kumpulan Puisi

1. Sajak-sajak Putih (bersama MD + Dharmadji Sosropuro, 1968)


2. Ungu (bersama A. Makmur Makka, 1968)
3. Bangsat (1975)
4. Sang Darmanto (1975)
5. Arjuna in Meditation (bersama Sutardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi
W.M., 1976)
6. Ki Blakasuta Bla Bla (1980)
7. Karta Iya Bilang Mboten (1981)
8. Golf untuk Rakyat (1994)
9. Isteri (1997)
10. Darmanto Bilang: Sori Gusti (Limpad, 2002)

 Esai

1. Sastra, Psikologi, dan Masyarakat (1985)


2. Sekitar Masalah Kebudayaan (1986)
3. Komunikasi Manusia (1994)
4. Salah Tingkah Orang Indonesia (1995)
5. Perilaku Kelas Menengah Indonesia (1996)
6. Psikologi Jawa (Bentang Budaya, 1997)
7. Politik Jawa (Bentang Budaya, 1999)
8. Indonesia Tanpa Pagar (Limpad, 2002),
9. Terima Kasih Indonesia (Limpad, 2002)

Anda mungkin juga menyukai