Anda di halaman 1dari 7

BIOGRAFI HARTOJO ANDANGDJAJA

Hartojo Andangdjaja

Hartojo Andangdjaja adalah penyair kerakyatan yang ikut serta mencetuskan Manifes

Kebudayaan tahun 1963. Dia dilahirkan pada tanggal 4 Juli 1930 di kota Solo, Jawa Tengah, dan

meninggal di kota yang sama pada usia 60 tahun, tepatnya tanggal 30 Agustus 1990. Pendidikan dasar

dan menengah Hartojo di lingkungan sekolah-sekolah Islam Muhammadiyah Surakarta. Ketika duduk di

bangku Sekolah Dasar, pada pagi hari Hartojo masuk ke sekolah umum, sementara pada sore harinya

dia masuk pula ke madrasah yang khusus mengajarkan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan

agama Islam. Pendidikan terakhir Hartojo adalah dari Muallimin Muhammadiyah Solo, yang kemudian

nama sekolah ini berubah menjadi Sekolah Guru Muhammadiyah Solo, sejajar dengan PGSLP

(Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama), jurusan Bahasa Indonesia, dan dia tamat dari sekolah

guru itu pada tahun 1953. Pendidikan Hartojo tersendat-sendat akibat penjajahan Jepang dan Perang

Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia

            Setamatnya dari sekolah guru di Solo, Hartojo bertugas mengajar di beberapa sekolah swasta

SLTP dan SMU di Solo (1953–1956). Sambil mengajar di sekolah swasta itu Hartojo mengajukan

lamaran menjadi guru pegawai negeri. Lamarannya pun akhirnya diterima dan Hartojo ditugaskan

menjadi guru SLTP Negeri Pasaman, Padang, Sumatera Barat. Mengingat gaji guru terlalu kecil, sambil

mengajar di SLTP Negeri itu Harojo mengajukan pula lamaran ke SMU Negeri Simpang Empat,

Pasaman, Sumatera Barat, sebagai tenaga guru honorer (1957–1962). Di tempat perantauan itu Hartojo

menumpang tinggal pada rumah Direktur (kepala sekolah) SLTP tempat dia mengajar yang terletak tidak

jauh dari sekolahan tempatnya mengajar.

Ketika terjadi peristiwa PRRI Permesta awal tahun 1960-an di Sumatera Barat, membuat hidup

Hartojo menjadi kocar-kacir. Hartojo dituduh berpihak pada republik sehingga merasa sudah tidak lagi

aman tinggal di ranah Minang. Dia harus menyelamatkan diri meninggalkan tanah Minang. Tanpa sempat

mengurus kepindahan tugas mengajarnya, Hartojo pun tergesa-gesa harus meninggalkan kedua

sekolahan di Minang itu. Hartojo tidak langsung pulang ke Solo, melainkan memilih singgah dan bekerja

di Jakarta bergabung dengan majalah Si Kuntjung. Bersama rekan-rekan seniman yang lainnya, pada

tahun 1963 Hartojo ikut mencetuskan dan menandatangani Manifes Kebudayaan. Setelah terjadi
pelarangan Manifes Kebudayaan pada tahun 1964, hidup Hartojo kembali terancam “diganyang” oleh

Lekra-PKI yang anti-Manifes. Dia meninggalkan sumber nafkahnya Si Kuntjung dan kemudian mudik ke

kampung halamannya, Tegalkembang, Laweyan, Solo. Setelah peristiwa G30S/PKI usai, barulah Hartojo

kembali mendapat pekerjaan sebagai guru di STN (Sekolah Teknik Negeri) Kartasura dan SLTP Batik

Solo. Penderitaan hidup Hartojo sebagai seorang guru ditulis dalam sajaknya “Dari Seorang Guru

Kepada Murid-Muridnya” (dimuat dalam majalah Cerpen Tahun I Nomor 7, 1967), yang berkisah tentang

kemelaratan seorang guru akibat kecilnya gaji yang diterima.

Hartojo mulai menulis sejak duduk di bangku sekolah menengah di Solo. Mula-mula tulisan

Hartojo dimuat dalam majalah Pantja Raya pada akhir tahun 1940-an. Kemudian pada tahun 1950-an

tulisan-tulisan Hartojo mulai menghiasi majalah-majalah lokal dan nasional, seperti Kisah, Tjitra,

Seniman, Revolusi Pemuda, Madyantara, Arena, Pembangoenan, Merpati, dan Mimbar Indonesia. Tidak

berhenti pada majalah-majalah itu saja, tulisan-tulisan Hartojo pun segera mengalir ke majalah Basis,

Horison, Budaya Jaya, Sastra, Cerpen, Warna Sari, Tempo, Si Kuntjung, Relung Pustaka, dan beberapa

surat kabar lainnya, antara lain, KAMI, Pos Minggu, Kompas, Haluan, dan Sinar Harapan.

Selain sebagai penulis puisi dan esai, Hartojo tercatat pula sebagai redaktur beberapa majalah,

antara lain, Merpati (Solo, 1948), Tjitra (Solo, 1952–1954), Si Kuntjung (Jakarta, 1962–1964),

Madyantara (Solo, 1974), dan Relung Pustaka (Solo, 1970-an). Ketika masih berada di Solo, Hartojo

bersama D.S. Moeljanto pernah pula memimpin ruang seni dan sastra “Simposium” dalam majalah

Dwiwarna (1953–1954). Selain bergerak di bidang tulis-menulis, Hartojo pun pernah mencoba bekerja di

perusahaan swasta di Solo hingga tahun 1972. Karena perusahaan tempatnya bekerja itu macet, Hartojo

pun berhenti bekerja di perusahaan itu tanpa mendapat pesangon. Dia kemudian pindah bekerja di

perusahaan batik, namun jenis pekerjaan ini pun tidak sesuai dengan cita-cita dan harapannya. Setelah

mencoba menekuni pekerjaan lain di luar bidang tulis menulis, dan semuanya tidak ada yang cocok,

Hartojo sejak tahun 1976 memutuskan untuk menekuni karirnya di bidang penulisan esai dan

penerjemahan. Sebagai seorang partikeliran atau swasta, beliau cukup tinggal di rumahnya, bahu-

membahu dengan istrinya, sambil sesekali mengunjungi perpustakaan dan toko buku, ke kantor pos

mengirimkan karya-karyanya ke berbagai majalah, surat kabar, dan penerbitan, serta mengambil wesel

honororium tulisannya. Menjelang akhir hayatnya, Hartojo sering sakit-sakitan, digerogoti asma-
bronchitis. Dalam kondisi yang sakit-sakitan itu dia beruntung selalu ditemani oleh istri dan kedua

anaknya yang sudah menjelang dewasa, Haris Wijayanto dan Fitri Wijayanti, sampai Hartojo

menghembuskan napasnya yang terkahir tahun 1990.

            Meskipun Hartojo Andangdjaja mulai menulis pada zaman Jepang, tahun 1940-an, dalam sejarah

sastra Indonesia tak seorang pun memasukkan Hartojo sebagai sastrawan Angkatan 45. Ajip Rosidi

dalam bukunya Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969) memasukkan Hartojo sebagai penyair Angkatan

Terbaru atau Angkatan 1950-an. Sementara itu, H.B. Jassin dalam buku Angkatan 66: Prosa dan Puisi

(1968) memasukkan Hartojo sebagai penyair Angkatan 66. Pengelompokan seorang penulis, termasuk

Hartojo, menjadi anggota atau pelopor angkatan sastra ini tidak mengikat. Itu hanya sebagai catatan

sejarah dan sangat bergantung siapa yang menulis buku tersebut. 

            Selain menulis puisi, Hartojo pun mencoba menulis cerita pendek dan karya drama. Namun,

dibidang genre puisilah bakat dan minatnya berkembang subur. Sebagai seorang penyair, Hartojo telah

menghasilkan ratusan puisi yang tersebar dalam berbagai majalah dan surat kabar, baik lokal maupun

nasional. Selain itu, beberapa puisi Hartojo pernah menghiasi beberapa buku antologi, antara lain dalam

buku Simponi Puisi (Solo, 1954, antologi puisi bersama DS. Moeljanto), Manifestasi (antologi puisi

bersama Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, dan lain-lain, 1963), Angkatan 66: Prosa dan Puisi

(susunan H,B. Jassin, 1968), Laut Biru Langit Biru (susunan Ajip Rosidi, 1977), Tonggak 2: Antologi Puisi

Indonesia Modern (susunan Linus Suryadi A.G., 1987), Dari Fansuri ke Handyani (susunan Taufiq Ismail

dkk, 2001), dan Horison Sastra Indonesia 1 Kitab Puisi (susunan Taufiq Ismail dkk, 2002). Beberapa puisi

Hartojo pun pernah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing dan terbit di Amerika dan Jepang.

Satu-satunya buku kumpulan puisi tunggal yang dimiliki Hartojo adalah Buku Puisi (1973) yang memuat

sebanyak 36 sajak dan diterbitkan oleh Dunia Pustaka Jaya atas prakarsa Ajip Rosidi.

 Hartojo pernah memenangkan hadiah dari majalah Sastra asuhan H.B. Jassin atas tulisan

esainya yang bertajuk “Pola-Pola Pantun dalam Persajakan Modern” (dimuat dalam majalah Sastra

Nomor 6 Tahun II, 1962, hlm. 31–34). Esai Hartojo yang sangat menarik ini kemudian dimuat pula dalam

buku Sejumlah Masalah Sastra (1982) susunan Satyagraha Hoerip (Jakarta: Sinar Harapan), dan dimuat

pula dalam buku Dari Sunyi ke Bunyi: Kumpulan Esai Tentang Puisi (1991) dengan pengantar Goenawan

Mohamad (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti). Sebagai seorang penulis esai, Hartojo dikenal sebagai esais
tentang puisi yang tangguh dan handal pada zamannya. Pengetahuannya tentang puisi cukup luas dan

tidak terbatas pada puisi-puisi nasional kita. Beberapa puisi hasil dari para penyair Belanda, Italia,

Inggris, Jerman, Spanyol, Perancis, Arab, India, dan Jepang dia bahas dan terjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia. Penulisan esai puisi dan terjemahan tentang puisi-puisi dunia itu menandakan minat

dan bakat Hartojo di bidang puisi sangat kuat

Goenawan Mohamad dalam kata pengantar buku Dari Sunyi ke Bunyi yang memuat esai-esai

Hartojo itu memberi komentar: “Hartojo Andangdjaja adalah salah satu penyair Indonesia yang dengan

segera dapat diketahui mutunya justru melalui esai-esainya. Dia menulis sajak sejak akhir tahun 1940-an.

Dia lebih dikenal sebagai penyair. Namun, bagi saya telaahnya tentang puisi, pemikiran dan pendapatnya

tentang itu, merupakan model lucidity (susunan yang tidak terlampau urut, terang, dan padu) yang dalam

kesusastraan Indonesia modern pada masanya hanya ditemukan dalam tulisan Sutan Takdir Alisyahbana

dan Asrul Sani (setelah Hartojo Andangdjaja, nama yang harus disebut di sini agaknya ialah Sapardi

Djoko Damono). Kekhususan Hartojo ialah bahwa dia sepenuhnya memikir puisi, dan tidak nampak

mempunyai ambisi untuk menulis pelbagai hal lain di luar itu dengan gagasan-gagasan besar. Dan tidak

dapat dipungkiri bahwa gayanya–-yang bukan saja jernih, tetapi juga merupakan suatu gelombang

kalimat yang teratur–-menunjukkan bahwa dia memang seseorang yang menulis dengan puisi terngiang-

ngiang di kepalanya terus-menerus.”

Komentar Goenawan atas esai-esai Hartojo tersebut tampaknya tidak berlebihan. Hartojo

memang bergulat secara terus-menerus dengan puisi-puisinya. Penetapan buku kumpulan esai Hartojo

Andangdjaja Dari Sunyi Ke Bunyi sebagai pemenang buku terbaik bidang humaniora oleh Yayasan Buku

Utama pada tahun 1994 menunjukkan bahwa komentar Goenawan Mohamad tersebut tidaklah

berlebihan. Satu hal yang menarik dari esai-esai tersebut adalah Hartojo menceritakan sendiri tiga buah

puisi terkenalnya, yaitu “Golgotha, Sebuah Pesan”, “Rakyat”, dan “Buat Saudara Kandung”, tentang

proses kreatifnya menciptakan sajak-sajak tersebut. Ketiga judul esai yang pernah dimuat dalam surat

kabar Sinar Harapan pada tahun 1971 dan 1972 itu sama dengan judul puisi-puisinya
Salah satu tokoh yang ikut serta mencetuskan dan menanda tangani Manifes Kebudayaan pada

tahun 1963 ini juga menerjemahkan berbagai buku sastra dunia. Berbekal dengan pengetahuan dan

penguasaannya berbagai bahasa asing, seperti Inggris, Belanda, Benggali, Tagalok, Jepang, dan Arab,

Hartojo pun mampu menerjemahkan beberapa buku ke dalam bahasa Indonesia, antara lain:

(1) Tukang Kebun (sajak-sajak romantik Rabindranath Tagore, pujangga terbesar dari India, 1976)

(2) Kubur Terhormat bagi Pelaut (kumpulan sajak J.J. Slauerhoff, 1977)

(3) Rahasia Hati (novel Jepang karya Natsume Soseki, 1978)

 (4) Musyawarah Burung-Burung (prosa liris dari Timur Tengah karya Faridu’d-Din Attar, 1983)

 (5) Tokoh-Tokoh Munafik (karya pengarang Filipina, F. Sionel Jose, 1981)dan

 (6) Puisi Arab Modern (beberapa puisi dari penyair Bahrain, Saudi Arabia, Aden, Irak, Suriah, Lebanon,

Pakistan, Mesir, Libia, Tunisia, dan Marokko, 1984).

Buku-buku hasil terjemahan Hartojo Andangdjaja itu pada umumnya diterbitkan oleh Dunia

Pustaka Jaya atas prakarsa Ajip Rosidi. Buku-buku sastra hasil terjemahan Hartojo membuka cakrawala

baru dalam khazanah sastra terjemahan di Indonesia. Sambutan khalayak pembaca sastra di Indonesia

pun sangat antusias dan positif dengan ditandai buku-buku tersebut dapat terbit kembali dan cetak ulang.

Beberapa Puisi Hartoyo Andangjaya

Perempuan-Perempuan Perkasa

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, dari manakah mereka


ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
sebelum peluit kereta pagi terjaga
sebelum hari bermula dalam pesta kerja

Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta, kemanakah mereka


di atas roda-roda baja mereka berkendara
mereka berlomba dengan surya menuju gerbang kota
merebut hidup di pasar-pasar kota
Perempuan-perempuan perkasa yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
mereka : cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa

Dari Seorang Guru Kepada Murid-Muridnya

Apakah yang kupunya, anak-anakku


selain buku-buku dan sedikit ilmu
sumber pengabdian kepadamu

Kalau di hari Minggu engkau datang ke rumahku


aku takut, anak-anakku
kursi-kursi tua yang di sana
dan meja tulis sederhana
dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya
semua padamu akan bercerita
tentang hidup di rumah tangga

Ah, tentang ini aku tak pernah bercerita


depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja
- horison yang selalu biru bagiku -
karena kutahu, anak-anakku
engkau terlalu muda
engkau terlalu bersih dari dosa
untuk mengenal ini semua

Rakyat

hadiah di hari krida


buat siswa-siswa SMA Negeri
Simpang Empat, Pasaman
Rakyat ialah kita
jutaaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja

Rakyat ialah kita


otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka

Rakyat ialah kita


beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka

Rakyat ialah kita


puisi kaya makna di wajah semesta
di darat
hari yang beringat
gunung batu berwarna coklat
di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semesta

Rakyat ialah kita


darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa

Anda mungkin juga menyukai