Anda di halaman 1dari 16

RESUME SEJARAH SASTRA

“Karya-Karya Penting Angkatan 1980-2000-An: Krisis


Multidimensi, Sastra Pembebasan Dan Masa Depan Sastra
Indonesia”
Dosen Pembimbing: Purnawarman, M.Pd.

Disusun oleh:

1. PADLI RAHMAN
2. RIZANATUL HASANAH
3. RODHIATUL LAHMI
4. ROFIKATUSSOLIHAH
5. NURUL HIKMAH

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (FKIP)


UNIVERSITAS NW MATARAM KAMPUS II ANJANI
T.A. 2017/2018
A. SASTRA ANGKATAN 80-AN

Kelahiran sastra angkatan 80-an diwarnai dengan aturan-aturan yang ketat dan dipengaruhi
oleh kegiatan politik. Angkatan 80-an lahir pada masa pemerintahan Soeharto era Orde Baru.
Soeharto pada masa itu masih menduduki suatu jabatan di militer dan sebagai presiden Republik
Indonesia, sehingga pemerintahannya sangat kokoh dengan perlindungan dari militer. Era Orde
Baru mempunyai ciri yaitu semua keputusan berporos pada presiden dan hak bersuara sangat
dibatasi. Ketika ada sebuah karya yang sifatnya dianggap provokasi, mengancam, melecehkan,
menyinggung dan merugikan maka akan langsung ditindaklanjuti oleh Soeharto dengan segera.
Contohnya adalah majalah Djaja yang terkenal waktu itu berhenti terbit, padahal majalah
tersebut memuat masalah-masalah budaya bangsa dan kesenian Indonesia.
Periode 80-an ini merupakan sastra yang dinamik yang bergerak bersama masyarakat
Indonesia untuk menuju kehidupannya yang baru dengan wawasan konstitusional. Kesusastraan
itu adalah alat untuk mencurahkan makna agar dapat ditumpahkan pada manusia secara utuh dan
makna itu hendaknya disalurkan agar mengalami proses mengembang dan mengempis masuk ke
dalam kehidupan serta mengembangkan hal-hal yang sebelumnya belum terpikirkan oleh
manusia.
Periode 80-an lahir dari konsepsi improvisasi dalam penggarapan karya sastra menuju hasil
dan bobot maksimal serta baru dari konsep yang menentang pada satu kehidupan. Para sastrawan
mengikuti perkembangan jaman yang dituntut adanya keberanian dan kreativitas untuk berkarya.
Banyak karya sastra yang dijadikan drama drama radio. Pada periode 80-an ini karya sastra film
juga berkembang pesat. Perfilman Indonesia banyak ditonton dan diminati oleh masyarakat dan
para sutradara pun aktif menciptakan film-film baru. Misal film yang bertemakan percintaan
remaja yaitu Gita Cinta SMA ini banyak mempunyai penggemar baik dikalangan muda maupun
tua.
Sastra 80-an berada di tengah lingkungan yang masyarakatnya mengalami depolitisasi
yang nyaris total. Aktivitas-aktivitas politik mahasiswa ditertibkan dan mahasiswa sepenuhnya
dijadikan organ kampus yang dilepaskan dari segala macam aktivitas politik. Mimbar bebas
tidak lagi dibolehan dan bahkan indoktrinasi berupa penataran P4 mulai menjadi bagian integral
dari kehidupan kampus.
Politik stabilitas, security approach, normalisasi kehidupan kampus, dan asas tunggal
merupakan lingkungan tempat para sastrawan era 80-an hidup. Majalah sastra hanya ada Horison
dan Basis. TIM sebagai pusat kesenian tidak seleluasa dulu, baik dalam masalah dana maupun
kegiatan.
Karya sastra yang lahir pada tahun 80-an dipengaruhi proses depolitisasi tersebut. Oleh
karena itu, sastra yang muncul pun jadi tidak sesuai dengan realitas sosial politik serta tidak
menunjukkan kegelisahan dan kesakitan kolektif masyarakat pada masa itu.
Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan
banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu
Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan
penerbitan umum.
Beberapa sastrawan yang dapat mewakili angkatan dekade 1980-an ini antara lain adalah:
Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja,
Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi
Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, dan Tajuddin Noor Ganie.
Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada
dekade 1980-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La
Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Satu di antara ciri khas yang menonjol pada
novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, tokoh utama biasanya
mempunyai konflik dengan pemikiran timur.
Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi
romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka
adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi
oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa
romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 1980-an biasanya selalu mengalahkan peran
antagonisnya.
Namun, yang tak boleh dilupakan pada era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran
pop, yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan
serial Lupusnya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca
yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih berat.
Sastra popular atau yang lebih dikenal dengan sebutan sastra pop, dianggap sebagai sastra
yang esensinya lebih rendah dari sastra non-pop. Sastra pop dianggap tidak memiliki keindahan
dari segi pemaknaan karena sekali baca seorang pembaca bisa langsung mengetahui makna yang
ingin disampaikan oleh pengarang. Tidak seperti sastra non-pop, sastra pop cenderung lebih
mengutamakan permintaan pasar daripada keindahan estetik yang tersaji lewat penyampaian
maupun makna yang tersirat di dalam karya tersebut.
Ada nama-nama terkenal muncul dari komunitas Wanita Penulis Indonesia yang
dikomandani Titie Said, antara lain: La Rose, Lastri Fardhani, Diah Hadaning, Yvonne de Fretes,
dan Oka Rusmini.

❖ Karakteristik Sastra Angkatan 80-An

Setiap angkatan sastra mempunyai karakteristiknya masing-masing yang membedakan


dengan yang lain. Berikut adalah karakteristik sastra angkatan 1980:
1. Puisi yang dihasilkan bercorak spritual religius, seperti karya yang berjudul “Kubakar
Cintaku” karya Emba Ainun Najib;
2. Sajak cenderung mengangkat tema tentang ketuhanan dan mistikisme;
3. Sastrawan menggunakan konsep improvisasi;
4. Karya sastra yang dihasilkan mengangkat masalah konsep kehidupan sosial masyarakat
yang memuat kritik sosial, politik, dan budaya;
5. Menuntut hak asasi manusia, seperti kebebasan;
6. Bahasa yang digunakan realistis, bahasa yang ada dimasyarakat dan romantis;
7. Terdapat konsepsi pembebasan kata dari pengertian aslinya;
8. Mulai menguat pengaruh dari budaya barat, dimana tokoh utama biasanya mempunyai
konflikdengan pemikiran timur;
9. Didominansi oleh roman percintaan;
10. Novel yang dihasilkan mendapat pengaruh kuat dari budaya barat yang tokoh utamanya
mempunyai konflik dengan pemikiran timur dan mengalahkan tokoh antagonisnya.

❖ Tokoh-Tokoh Angkatan 80-An Dan Karyanya

Sastra angkatan 80-an tidak mempunyai informasi yang jelas tentang siapa pelopornya.
Namun, pada angkatan ini banyak sastrawan yang berperan penting dalam perkembangannya, di
antaranya adalah:

1. Hilman Hariwijaya
Hilman Hariwijaya lahir di Jakarta, 25 Agustus1964. Hilman Hariwijaya adalah
seorang penulis Indonesia dan pelopor sastra aliran pop. Namanya dikenal sejak menulis
cerita pendek yang diberi judul Lupus di majalah Hai dibulan Desember 1986, yang
kemudian dibukukan menjadi sebuah novel. Kini setelah ia tidak produktif lagi menulis
novel, laki-laki yang mengagumi sosok penulis Arswendo Atmowiloto dan Astrid
Lindgren ini merambah dunia pertelevisian dengan menulis skenario dari sinetron Cinta
Fitri (Season 2-3), Melati untuk Marvel, dan lain-lain. Ia juga memroduseri film The Wall.
Berikut ini adalah beberapa buku ciptaan Hilman Hariwijaya, di antaranya:
a. Lupus
b. Olga
c. Lulu
d. Keluarga Hantu
e. Vanya
f. Vladd
Selain buku, Hilman Hariwijaya juga menciptakan sinematografi. Beberapa judulnya
antara lain Topi-Topi Centil (sebagai Lupus) tahun 1991, Tangkaplah Daku Kau Kujitak
tahun 1989, Makhluk Manis Dalam Bis tahun 1990, Anak Mami Sudah Besar tahun 1992,
Lupus 5, Olga dan Sepatu Roda tahun 1990, Valentine Kasih Sayang Bagimu tahun 1992,
Dealova tahun 2005, The Wall tahun 2007, Anak Ajaib tahun 2008, Suka Ma Suka tahun
2009, Rasa tahun 2009, Cinta Fitri season 1-3, Melati untuk Marvel, Suci, Dan, Kisah
Sedih di Hari Minggu, Kisah Kasih di Sekolah, Khanza, Lupus Milenia, Lupus, Satu
Cincin Dua Cinta, Cerita Cinta, Vanya, Olga, Cinta 7 Susun – 2013, Putri Nomor 1, dan
Fortune Cookies sampai sekarang tayang 17.00 RCTI.

2. Marga T
Marga T dikelompokkan sebagai sastrawan angkatan 1980-1990. Satrawati dan
dokter ini lahir pada tanggal 27 Januari 1943 di Jakarta. Nama aslinya adalah Marga Tjoa
dengan nama lengkap Magaretha Harjamulia, Tjia Liang Tjoe. Semenjak sekolah wanita
ini sudah sering mengarang dan sering dimuat di majalah sekolah. Pendidikan terakhir
adalah Kedokteran di Universitas Trisakti. Karya pendeknya yang pertama berjudul
“Kamar 27”. Saat itu dia berusia 21 tahun. Sedangkan bukunya yang pertama berjudul
“Rumahku adalah Istanaku”, yaitu cerita anak-anak yang diterbitkan pada tahun 1969.
Hingga kini Marga telah menerbitkan 128 cerita pendek dan 67 buku (untuk anak-
anak, novel serta kumpulan cerpen). Satu di antara karyanya yang melejit pada masanya
adalah Badai Pasti Berlalu. Badai Pasti Berlalu adalah sebuah novel berbahasa Indonesia
karya Marga T yang diterbitkan pada tahun 1974. Novel ini merupakan serialisasi dari
cerita bersambung yang dimuat di harian KOMPAS dari 5 Juni1972 hingga 2 September
1972. Cerita bersambung tersebut ternyata digemari pembaca dan juga menarik perhatian
dunia sastra Indonesia. Diterbitkan sebagai novel, Badai Pasti Berlalu laris terjual
mencapai 24.000 eksemplar.

3. Nh. Dini
Nh. Dini mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku
pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya
sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa tulisan itu semacam pelampiasan hati. Sekalipun sejak
kecil kebiasaan bercerita sudah ditanamkan, sebagaimana yang dilakukan ibunya
kepadanya, ternyata Dini tidak ingin jadi tukang cerita. la malah bercita-cita jadi sopir
lokomotif atau masinis. Tapi ia tak kesampaian mewujudkan obsesinya itu hanya karena
tidak menemukan sekolah bagi calon masinis kereta api.
Kalau pada akhirnya ia menjadi penulis, itu karena ia memang suka cerita, suka
membaca dan kadang-kadang ingin tahu kemampuannya. Misalnya sehabis membaca
sebuah karya, biasanya dia berpikir jika hanya begini saya pun mampu membuatnya dan
dalam kenyataannya ia memang mampu dengan dukungan teknik menulis yang
dikuasainya.
Peraih penghargaan SEA Write Award dibidang sastra dari Pemerintah Thailand ini
sudah telanjur dicap sebagai sastrawan di Indonesia, padahal ia sendiri mengaku hanyalah
seorang pengarang yang menuangkan realita kehidupan, pengalaman pribadi dan kepekaan
terhadap lingkungan ke dalam setiap tulisannya. Ia digelari pengarang sastra feminis.
Pendiri Pondok Baca NH Dini di Sekayu, Semarang ini sudah melahirkan puluhan karya.
Beberapa karya Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang dikenal dengan nama NH
Dini, ini yang terkenal, di antaranya Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975) atau
Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang
Damai (1998), belum termasuk karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet,
atau cerita kenangan. Hingga kini, ia telah menulis lebih dari 20 buku. Kebanyakan di
antara novel-novelnya itu bercerita tentang wanita.
4. Mira Widjaja
Bicara tentang novel populer Tanah Air, tentunya nama Mira W tak bisa begitu saja
dilupakan. Ia dikenal sebagai penulis yang produktif menghasilkan novel-novel bertema
cinta nan romantis. Pengarang bernama asli Mira Widjaja ini menjelma menjadi satu di
antara legenda novel terpopuler di Indonesia. Puluhan judul novel telah membanjiri dunia
novel populer, bahkan beberapa di antaranya sudah dicetak ulang berkali-kali.
Novel Mira Widjaja yang paling terkenal berjudul “di Sini Cinta Pertama Kali
Bersemi” yang diterbitkan pada tahun 1980. Ia terus menghasilkan karya, berkiblat pada
penulis-penulis seperti Nh. Dini, Agatha Christie, Y. B. Mangunwijaya dan Harold
Robbins. Mira, bersama dengan Marga T, dianggap sebagai pelopor penulis keturunan
Tionghoa di Indonesia, menjadi inspirasi bagi penulis-penulis berikutnya seperti Clara Ng.
Hingga tahun 1995, Mira telah menerbitkan lebih dari 40 novel, kebanyakan di
antaranya telah diangkat menjadi film dan sinetron, termasuk Di Sini Cinta Pertama Kali
Bersemi, Ketika Cinta Harus Memilih, dan Permainan Bulan Desember.

5. Ahmadun Yosi Herfanda


Ahmadun Yosi Herfanda yang juga ditulis Ahmadun Y. Herfanda atau Ahmadun YH
lahir di Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, 17 Januari1958 adalah seorang
penulis puisi, cerpen, dan esei dari Indonesia. Ahmadun dikenal sebagai sastrawan
Indonesia dan jurnalis yang banyak menulis esei sastra dan sajak sufistik. Namun, penyair
Indonesia dari generasi 1980-an ini juga banyak menulis sajak-sajak sosial-religius.
Sementara, cerpen-cerpennya bergaya karikatural dengan tema-tema kritik sosial. Ia juga
banyak menulis esei sastra.
Karya-karya Ahmadun dipublikasikan di berbagai media sastra dan antologi puisi
yang terbit di dalam dan luar negeri, antara lain, Horison, Ulumul Qur'an, Kompas, Media
Indonesia, Republika, Bahana (Brunei), antologi puisi Secreets Need Words (Ohio
University, A.S., 2001), Waves of Wonder (The International Library of Poetry, Maryland,
A.S., 2002), jurnal Indonesia and The Malay World (London, Inggris, November 1998),
The Poets’ Chant (The Literary Section, Committee of The Istiqlal Festival II, Jakarta,
1995).
Beberapa kali sajak-sajaknya dibahas dalam "Sajak-Sajak Bulan Ini Radio Suara
Jerman" (Deutsche Welle). Cerpennya, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing, memenangkan
satu di antara penghargaan dalam Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988 Radio Nederland
(Belanda) dan dibukukan dalam Paradoks Kilas Balik (Radio Nederland, 1989). Tahun
1997 ia meraih penghargaan tertinggi dalam Peraduan Puisi Islam MABIMS (forum
informal Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).
Beberapa buku karya Ahmadun yang telah terbit sejak dasawarsa 1980-an, antara
lain:
a. Ladang Hijau (Eska Publishing, 1980),
b. Sang Matahari (kumpulan puisi, bersama Ragil Suwarna Pragolapati, Nusa Indah,
Ende, 1984),
c. Syair Istirah (bersama Emha Ainun Nadjib dan Suminto A. Sayuti, Masyarakat Poetika
Indonesia, 1986).
d. Sajak Penari (kumpulan puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, 1990),
e. Sebelum Tertawa Dilarang (kumpulan cerpen, Balai Pustaka, 1997),
f. Fragmen-fragmen Kekalahan (kumpulan sajak, Forum Sastra Bandung, 1997),
g. Sembahyang Rumputan (kumpulan puisi, Bentang Budaya, 1997),
h. Ciuman Pertama untuk Tuhan (kumpulan puisi, bilingual, Logung Pustaka, 2004),
i. Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (kumpulan cerpen, Bening Publishing, 2004),
j. Badai Laut Biru (kumpulan cerpen, Senayan Abadi Publishing, 2004),
k. The Warshipping Grass (kumpulan puisi bilingual, Bening Publishing, 2005),
l. Resonansi Indonesia (kumpulan sajak sosial, Jakarta Publishing House, 2006),
m. Koridor yang Terbelah (kumpulan esei sastra, Jakarta Publishing House, 2006).
n. Yang Muda yang Membaca (buku esai panjang, Kemenegpora RI, 2009).
o. Sajadah Kata (kumpulan puisi, Pustaka Littera, 2013).

❖ Kualitas Sastra Angkatan 80-An

Setiap angkatan karya sastra pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, seperti padaa
ngkatan 80-an.
1. Kelebihan Karya Sastra Angkatan 80-An

a. Memiliki wawasan estetik yang luas;


b. Bertema tentang roman percintaan dan kisah kehidupan ini pun didasari oleh kemajuan
ekonomi dan hidup yang indah bagi masyarakat sehingga memberi kesan kebahagiaan
bagi pembacanya;
c. Menekankan pada pemikiran dan cara penyampaian dalam karya sastra;
d. Periode 80-an ini merupakan sastra yang dinamik yang bergerak bersama masyarakat
Indonesia untuk menuju kehidupannya yang baru dengan wawasan konstitusional;
e. Para sastrawan mengikuti perkembangan jaman yang dituntut adanya keberanian dan
kreativitas untuk berkarya;
f. Periode 80-an ini karya sastra film juga berkembang pesat dan;
g. Karyasastraera 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop.
2. Kekurangan Karya Sastra Angkatan 80-An
a. Karya sastra angkatan 80-an diwarnai dengan aturan-aturan yang ketat dan dipengaruhi
oleh kegiatan politik;
b. Karya sastra yang lahir pada tahun 80-an dipengaruhi proses depolitisasi;
c. Sastra yang muncul jadi tidak sesuai dengan realitas sosial politik serta tidak
menunjukkan kegelisahan dan kesakitan kolektif masyarakat pada masa itu.
A. SASTRA ANGKATAN 2000-AN

Pada periode 2000-an muncul pengarang wanita yang umumnya menulis tentang
pemikiran yang tajam dan bebas dengan ungkapan perasaan. Ada di antara mereka yang
menampilkan nuansa-nuansa erotik, hal-hal yang sensual bahkan seksual. Sastra Angkatan 2000
sering disebut sastra mutakhir. Salah satu karya yang berani tampil beda pada periode ini adalah
Saman oleh Ayu Utami dan dijadikan sebagai tonggak pembaharu sastra dalam sejarah sastra.
Novel Saman (1998) oleh Ayu Utami ini melahirkan wawasan estetik baru karena mencirikan
teknik khas yang tampak dari pola kolase.
Penamaan periode 2000 sementara masih dalam perdebatan antara para sastrawan, nama
Angkatan dan nama Periode masih dalam perundingan. Diskusi tersebut Maman menanyakan
apa perlu ada angkatan dalam sastra. Beliau ingin dalam periode 2000 ini tidak ada sastrawan
yang diagungkan, hanya deskripsi karya dan proses kreatif. Perdebatan tentang perlu adanya
angkatan atau tidak kembali lagi pada syarat adanya angkatan, yaitu: perlu ada kelompok
sastrawan sebagai pendukung angkatan, dan untuk mendukung angkatan karya sastra harus
inovatif, spesifik, kreatif, dan inspiratif. Periode 2000-an karya sastranya sudah memiliki corak
baru dalam prosa, puisi, drama, dan perfilman. Perkembangan sastra periode 2000-an
menampilkan bentuk pikiran karya sastra yang bermacam-macam dan tema beragam. Ini
membuktikan karya sastra periode 2000-an mengalami perkembangan yang aktif dan positif.

❖ Karakteristik Karya Sastra Periode 2000-an

Karya periode 2000-an memiliki karakteristik sebagai berikut:


1. Tema yang ada dalam karya sastra periode ini adalah sosial-politik, romantik, dan
seluruh aspek kehidupan.
2. Terdapat revolusi tipografi atau tata wajah yang bebas aturan dan cenderung pada puisi
konkret, puisi yang dihasilkan tidak cenderung pada verbal namun juga pada visual.
3. Adanya penggunaan wawasan baru atau estetika baru yang disebut dengan
“antromofisme” yaitu gaya bahasa sebagai penggantian tokoh manusia sebagai ‘aku
lirik’ dengan benda-benda.
4. Genre yang muncul pada periode ini adalah cerpen, puisi, novel, drama, film, dan
sandiwara.
5. Ciri-ciri bahasa yang digunakan menggunakan bahasa sehari-hari.
6. Pembaharuan terhadap model sastra lisan yang mengembalikan realitas fiktif pada
realitas dongeng.
7. Karya yang dihasilkan pada periode ini cenderung vulgar.
❖ Tokoh dan Karya Sastra Periode 2000-an
1. Dewi Lestari
Lahir di Bandung, Jawa Barat, 20 Januari 1976 yang biasa disapa “Dee”.
Karya yang dihasilkan:
a. Supernova 1; Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh (2001, novel)
b. Supernova; Akar (2002)
c. Supernova, Petir (2004).
2. Ayu Utami
Kelahiran Bogor, 21 November 1968, seorang aktivis jurnalis dan sastrawan
berkebangsaan Indonesia. Karya yang dihasilkan:
a. Saman (1998)
b. Larung (2001).
3. Andrea Hirata
Nama saat lahir di Belitung, 24 Oktober 1967 adalah Aqil Barraq Badruddin Seman
Said Harun. Karya yang dihasilkan:
a. Laskar Pelangi (2005)
b. Sang Pemimpi (2006)
c. Edensor (2007)
d. Maryamah Karprov (2008)
e. Cinta Dalam Gelas
4. Abdul Wachid B.S
Karya yang dihasilkan:
a. Ode Bagai Burung
b. Tahajud
c. Bulan Telah Menjadi Sabit.
5. Habiburrahman El Shirazy
Dalam penobatan Insani UNDIP Award tahun 2008 beliau dinobatkan sebagai novelis
nomor 1 di Indonesia, lahir di Semarang, Jawa Tengah, 30 September 1976. Karya yang
dihasilkan:
a. Ayat-Ayat Cinta (2004)
b. Di Atas Sajadah Cinta (2004)
c. Ketika Cinta Berbuah Surga (2005)
d. Pudarnya Pesona Cleopatra (2005)
e. Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007)
f. Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007)
g. Dalam Mirhab Cinta.
6. Triyanto Triwikromo
Salah satu karyanya adalah “Sakerah”.
7. Rizal Mantovani
Hasil karyanya berupa film yaitu “Jailangkung”.
8. Afrizal Malna
Hasil karyanya pada periode ini:
a. Kalung dari Seorang Teman
b. Tangan di Pagi
c. Tangan di Pagi Hari.
9. Taufiq Ismail
Karya yang dihasilkan:
a. Malu Aku Jadi Orang Indonesia (puisi)
b. American Coruption Words (puisi)
c. Aisyah Andinda Kita (puisi)
d. Politik Sepak Bola (puisi).
10. Remi Silado
Karya yang dihasilkan:
a. Ca Bau Kan
b. Kerudung Merah Kirmizi (2002).
11. Christian Hakim
Karya yang dihasilkan adalah “Daun di Atas Bantal”.
12. Garin Nugroho
Karya yang dihasilkan adalah “Pasir Berbisik”
13. Seno Gumira Adjidarma
Penulis ini lahir di Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Hasil karyanya:
a. Sepotong Senja untuk Pacarku
b. Ke Indonesiaan
c. Atas Nama Malam
d. Biola Tak Berdawai.
14. Ahmadun Yosi Hervanda
Karya yang dihasilkan:
a. Sembahyang Malam
b. Sejak Mabul Reformasi (sajak).
15. Doddy Ahmad Faudzy
Karya yang dihasilkan:
a. Yth. Nona Yumar (cerpen)
b. Kekasihku Desi Ratnasari (cerpen).
16. Dorothea
Karya yang dihasilkan:
a. Sebuah Alamat
b. Numpang Perahu Nuh.
17. Ahmad Fuadi
Novelis, pekerja sosial, dan mantan wartawan dari Indonesia ini lahir di Bayur
Maninjau, Sumatra Barat, 30 Desember 1972. Hasil karyanya:
a. Negeri 5 Menara (2009)
b. Ranah 3 Warna (2011)
c. Rantau 1 Muara (2013).
18. Cucuk Espe
Seorang penyair, sais, cerpenis, dan penulis naskah drama ini lahir di Jombang, Jawa
Timur, 19 Maret 1974. Hasil karyanya:
a. Mengejar Kereta Mimpi (2001)
b. Rembulan Retak (2003)
c. Juliet dan Juliet (2004)
d. 13 Pagi (2010).
19. Herlinatiens
Memiliki nama asli Herlina Tien Suhesti lahir di Ngawi, Jawa Timur, 26 April 1982
adalah seorang penulis. Hasil karyanya:
a. Garis Tepi Seorang Lesbian (2003)
b. Dejavu, Sayap yang Pecah (2004)
c. Jilbab Britney Spears (2004)
d. Sajak Cinta yang Pertama (2005)
20. Raudal Tanjung Banua
Sastrawan yang karyanya didominasi puisi dan cerpen ini lahir di Pesisir Selatan,
Sumatra Barat, 19 Januari 1975. Hasil karyanya:
a. Pulau Cinta di Peta Buta (2003)
b. Ziarah bagi yang Hidup (2004)
c. Parang Tak Berulu (2005)
d. Gugusan Mata Ibu (2005).

B. KRISIS MULTIDIMENSI

Krisis multidimensi merupakan istilah yang populer pada dewasa ini sebagaimana sering
terbaca di media massa. Secara umum istilah tersebut menunjuk pada berbagai masalah yang
melilit kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia setelah refoarmasi Mei 1998
sehingga terjadi kemerosotan dalam hampir segala aspek kehidupan. Sumber nya adalah Krisis
ekonomi dan politik yang terjadi pada sekitar tahun 1998 seperti sudah ditulis para ahli daam
judul buku.
Krisis dimulai dengan melonjaknya keuangan yang memburuk pada tahun 1996, padahal
baru saja di puji-puji oleh Bank dunia dan Iternational Monetary fund (IMF). Nilai tukar rupiah
jungkir balik sehingga banyak bank dan perusahaan yang kolaps. Akibat lebih jauh timbul
ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah di bawah Presiden Soeharto yang telah
berkuasa sejak tahun 1967. Ketika pada tahun 1993 Soeharto dicalonkan oleh Golkar sebagai
presiden. Pada waktu itu Golkar adalah partai terbesar pendukung pemerinta, sedangkan partai
lainnya hanya dua: Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Pencalonan itu berjalan mulus dengan berbagai alasan dan jaringan sistem politik sehingga
berkuasa lah soeharto sebagai Presiden RI untuk keenam kalinya.
Kedudukan terbilang kukuh karena sistem politiknya masa itu tidak membuka peluang
sedikit pun terhadap perbedaan pendapat. Hampir segala aspek kehidupan sosial politik seprti
partai, pers, penerbitan, akademi, organisasi kemasyarakatan di batasi ruang geraknya.
Akan tetapi, pada kenyataan nya sejarah berbicara lain. Perubahan oleh peta ekonomi Asia
berubah cepat sehingga pada tahun 1996-1997 terjadi kriisis keuangan yang dampak berikutnya
adalah krisis ekonomi. Gejalanya berawal dari kebijakan pemerintah Thailand yang menutup
puluhan lembaga keuangan utamanya 8 desember 1997. Itulah dominan pertama yang kemudian
menyeret pecahnya nilai mata uang Filipina, Indonesia, karea selatan, dan Malaysia.
Kabinetpembagunan VII yang mula bekerja Maret 1998 ternyata tidak mampu mengatasi
kemelut ekonomi yang makin meluas sehingga perlawan masyarakat mulai muncul di mana-
mana, terutama di sejumlah kampus perguruan tinggi termuka. Para pakar hukum dan kalangan
universitas menghendaki proses konstitusional melalu Sidang istimewa MPR, sedangkan
mahasisiwa dan kalangan luas menghendaki proses secepatnya. Setelah melewati lobo-lobi
politik yang pelik, rumit, dan menegangkan syaraf banyak pihak maka tibalah saatnya Soeharto
mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 dan menyerahkan kekuasaan pada Wkil Presiden
B.J. Habibie.
Pemerintahan B. J. Habibie yang transisional harus berhadapan dengan berbagai masalah
yang rumit, sedangkan tuntutan masyarakat terlanjur berlebihan untuk segera dari kesulitan.
Kebijakan membebaskan pers dan meneladani pembersihan KKN tidak menutupi
kekurangannya di bidang lain sehingga tidak puas lah yang makin berkembang di masyarakat.
Munculnya nasional Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden ke -4 RI boleh di
bilang sebuah “ kejutan” yang di harapkan berbuah manis bagi masa depan bangsa. Ternyata
tidak ada satu pun mampu menatasi kemelut politik yang sudah terlanjur terkobar
berkepanjangan. Konfliknya dengan DPR dan ABRI berakibat rontoknya dukungan sehingga
Gus Dur harus turun dari kursi keprisidenan jauh sebelum jabatan nya selesai. Klau kemuadian
muncul tampil Megawati SoekarnoPutri sebagai Presiden dan Hamsah Haz sebagai wakil
Presiden periode berikutnya, dapat di bayangkan betapa rumit dan pelik “Permainan” politik
yang berslogan reformasi.
Sebenarnya dukungan internasional terhadap rezim Megawati terbilang mengembirakan,
tetapi peta politik dan ekonimi dunia terguncang oleh peristiwa serangan 11 September 2001
yang menghancurkan gedung Word Centre Manhattan, New York. Dalam pemerintahan
Megawati tercatat keberhasilan pemilu 2004 yang untuk pertama kalinya membuka kesempatan
rakyat indonesia memilih presiden dan wakil presiden secara langsung di tengahperekonomian
nasional yang masih sekarat. Walaupun kemudian tampil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dan walil presiden Yusuf Kalla hasil penelitian Rakyat, tentu saja prosesnya panjang dan berliku
sehingga kisahnya berada di luar wilayah buku ini.
Pergantian presiden dan kabinet yang relatif cepat selama sewidu reformasi (1998-2005)
tidak dengan sendirinya memenuhi aspirasi dan harapan dan banyak pihak yang sudah terlanjur
morat-marit . Semangat reformasi yang tujuan luhur nya adalah membagun hari depan bangsa
yang lebih baik di segala bidang melalui eformasi politik, hukum, pemerintahan , sosial,
ekonomi, dan lain-lainnya ternyat menimbulkan dampak sosial yang hebat.
Kalaupun tamapak kemajuan pembagunan fisik dan ekonomi selama puluhan tahun,
ternyata tidak berbekas kedalam kehidupan sastra indonesia. Oleh katena itu para sastrawan
indonesia melafaskan serangkaian himbauan dan harapan kepada kepada banyak pihak, rasa
percaya diri di dalam proses penciptaan karya satra yang lahirlah karya sastra yang bemutu dan
mampu mengilhami kebangkitan dan pencerahan manusia dan budaya indonesia.
Salah satu caranya adalah meningkatkan anggaran pendidikan dua kali lipat dari masa itu
sehingga meningkatkan kesejahteraan sektor pendidikan sebagai landasan membagun indonesia
yang merdeka lahir-batin. C ara lain adalah membuka kesempatan kepada semua pihak untuk
memberikan kontribusi yang terbaik dalam pembagunan dan pencerahan kehidupan umat
manusia di dalam semesta titipan Allah. Renungan dan himbauan sastrawan indonesia dalam
pertemuan Sastrawan indonesia 1997 itu memperlihatkan benang halus yang terjalin pada
semagat Pujangga Baru 1930-an, surat surat kepercayaan selenggang 1940-an, dan Manifes
kebudayaan 1960-an. Yang tercatat bahwa hegemoni kekuasaan telah menegakkan dan
mengekang kreativitas manusia indonesia indonesia ilmu sastrawan.
Pertemaun sastrawan indonesia itu terlaksana dalam suasana lahir-batin karena krisis
ekonomi yang semakin berat di akhir tahun 1998. Barangkali tidak terbayang di pikiran mereka
bahwa beberapa bulan kemudian terjadilah peristiwa besejarah 21 Mei 1998 meruntuhkan
kekuasaan razim Soeharto. Jebolnya kekuasaan razim Soeharto pada 21 Mei 1998 telah
menimbulkan semangat reformasi yang berlebihan sehingga sering di keluhkan orang sebagai
“Kebablasan” atau euforia di hampir segala aspek kehidupan termasuk dalam dunia penerbitan.
Pada tahun-tahun pertama era reformasi setelah brmunculan penerbitan tabloid, koran, majalah,
dan buku dimana-mana yang semuanya hendak menyuarakan kebebasan berpendapat.
Terlepas dari kondisi pennerbitan yang pasng surut itu, ternyata sastra Indonesia tidak
pernah berhenti berdenyut. Diakhir dekade 19990-an sastra koran dan majalah tetap semarak dan
hasilnya yang mencolok adalah “gendukan-gendukan” puisi” dari para penyair yang hilang
timbul silih berganti (Sarjono,2001 : 195). Tentusaja btkan secara kebetulan apabila puisi di pilih
sebagai media pengucapan sebab secara teoritis puisi lebih “mudah” ditulis secara ekspresif,
mudah di terbitkan secara terbatas sekalipun, dan harga bukunya relatif murah.
Bolehjadi penerbitan buku puisi di banyak daerah dapat di pandang sebagai cermin
perlawanan terhadap hegemoni penerbitan yang sudah mapan di jakarta, seperti Balai Pustaka,
Pustaka Jaya, Obor Indonesia, Harison, Kalam, kompas, Republika, Media In donesia dan lain-
lain. Barang kali dapat di kaitkan juga dengan semangat otonomi daerah yang di sana-sini
dipandang berlebihan. Kemungkinan lain tentu saja dapat di kaitkan dengan semagat
pembebasan publik hegemoni politik dan kekuasan eperti yang pernah berlaku pada masa akhir
Orde Baru.
C. SASRTA PEMBEBASAN

Makna istilah sastra pembebasan tentu saja masih di perdebatkan panjang kali lebar.
Istilah itu pun sama sekali tidak ada kaitan dengan Lembaga Sastra pembebasan yang beralamat
Postbus 2063, 7301, DB Apeldoo, Netherlands. Disini hanya di pergunakan sebagai ancar-ancar
bahwa sastra pascareformasi dapat di anggap sebagai salah satu jalan pembebasan terhadap
berbagai kekangan dan pembatasan yang terjadi di akhir Orde Baru (tahun 1990-an).
Telah di ketahui umum bahwa pembatasan demokrasi tampak jelas dengan pembatasan
partai politik sehingga tidak ada aspirasi lain di luar Golkar, PPP, dan PDI. Kalaupun kemudian
PDI bergolok dan berkembang (berubah) menjadi partai Demokrasi Indonesia perjuangan
(PDIP). Kemudian pernah muncul partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) dengan tokohnya Sri
Bintang Pamungkas, rakyat pun tahu bahwa prosesnya panjang ,berliku, rumit, dan harus
mengadapi tekanan perintah di bawah kekuasaan Soeharto.
Sementara itu, kehidupan kamous (mahasiswa) pun terkekang oleh sejumlah aturan,
sedangkan pers dan kesenian disana-sini terkena juga tertekan dan pembatasan. Pembredelan
majala Tempo, DETIK, dan Editor merupakan tanda-tanda pembatasan yang makin menguat
sebagai cermin ketakutan pemerintah terhadap yang berbeda . Semboyan dan Slogan
pembagunan di awal Orde Baru (tahun 1970-an) yang menumbuhkan harapan rakyat untuk
memproleh kehidupan yang lebih baik ternyat sulit di capai. Jadi, wajarlah apabila setelah segala
kekangan itu runtuh lantas berkembang marak gejala-gejala pembebasan di hampir semua
bidang kehidupan, termasuk jagat sastra Indonesia.
Imbauan itu mengigatkan banyak pihak akan pentingnya pengkajian dinamika sastra lokal
yang hasilnya dapat dijadikan pilar-pilar pendukung dinamika sastra secara nasional.
Sambil mengharapakn terwujudnya gagasan seperti itu, sementara ini baru terpantau
maraknya penerbitan sastra di kota-kota besar yang dalam tempo yang singkat menghasilkan
puluhan judul buku puisi, kumpulan cerpen, studi, kritik, dan esai dengan tema dan persoalan
yang beragam. Diskusi dan seminar pun digelar di mana-mana dengan semagat tema, dan topik-
topik aktual seputar reformasi, termasuk pencarian jari diri kelompaok atau daerah.
Herman J. Waluyo mengigatkan publik dengan pendapat klasik bahwa jika politik dan
kekuasaan cenderung kotor dan menyimpang terhadap lainnya demi kemenangan dan
pelestarian, puisi memiliki kewajiban moral untuk memberikan teguran atau protes kepada
politikus atau penguasa agar kembali ke jalan yang benar, yaitu jalan yang yang memperhatikan
etika politik dan kekuasaan. Dalam sejarah puisi indonesia sering terjadi benturan antara penyair
dan penguasa, justru saat penyair menjalankan tugas nya sebagai kekuatan moral.
Pada waktu Soeharto masih meger-meger sebagai pirun indonesia, dan orang gemetar di
hadapan senyuman yang menjanjikan maut kepada semua yang berani membukanya mata
kepala dia, Hasta Mitra memrbitkan Kuartet Mas Moek, karya pulau Baru. Satu demi satu buku
itu keluar, dan sastra demi satu juga dibredel. Dimana-man a orang justru mencari buku-buku
untuk di baca dan di gandakan, kalau tidak ketemu hasilnya di copy.
Dapat di perkirakan bahwa sambutan masyarakat pembaca terhadap maraknya penerbitan
yang beragam visi, misi dan kepentingan itu akan beragam sesuai dengan latar belakang
pendidikan, lingkungan sosial, pengalaman sejarah pengetahuan, ideologi, dan wawasan
budayanya.
Berbagai gejala yang menggembirakan itu harus di pabdang penting oleh para peneliti dan
kritikus yang berkewajiban mengkaji dan membongkar maknanya. Spesialisasi pun bisa belaku
di kalangan pembaca bagaiman terlihat tanda-tandanya pada pertumbuhan minat, aspirasi, dan
apresiasi terhadap gejala-gejala tertentu yang di sana-sini terwadahi atau tersalurkan oleh
komunitas-komunitas sastra dengan nama yang beragam dari yang sederhana sampai menterang.
Pantas juga di perhatikan maraknya sanggar seni (tari, musik, teater) yang disana-sini pasti
bersentuhan dengan apresiasi sastra. Namun komunitas sastra itu jelas mengisyratkan gairah dan
dinamika kehidupan sastra Indonesia yang tampaknya di percaya sebagai salah satu sarana
aktualisasi dan pembebasan publik dari kerut-merut kehidupan sosial dan politik. Apabila benar
demikian, masalah yang pantas di simak sekarang adalah masa depan sastra Indonesia dengan
sejumlah kemungkinan dan harapan.

D. MASA DEPAN SASTRA INDONESIA

Tampaknya masa depan sastra Indonesia tidak lagi terbatas di Jakarta dan kota-kota di
Jawa, tetapi tersebar keseluruh pelosok Tanah Air. Wajar lah apabila Jakarta masih menjadi
pusat perhatian secara nasional karena riwayatnya memang sudah berkepanjagan dan
kedudukannya sunguh strategis. Dengan demikian, pengamatan terhadap dinamika sastra
Indonesia dewasa ini tidak mungkin hanya didasrkan data yang berkembang marak di Jakarta
dan kota-kota besar (provinsi), tetapi perlu di perluas ke berbagai daerah bahkan di pertajam ke
relung-relung komunitas sastra dan budaya yang marak din mana-mana. Hasilnya adalah data
kehidupan dan dinamika sastra indonesia lokal atau daerah (mikro) yang pada gilirannya pasti
relevan dengan pengkajian sastra indonesia secara nasional (makro).
Sementara itu, tercatat komunitas penerbitan sastra yang memperhatikan trend tersendiri di
samping penerbitan yang sudah lazim belangsung di Balai Pustaka, Gramedia (harian, Kompas,
Penerbit, Buku Kompas, Gramedia Pustka Utama, Grasindo, dan Kepustakaan Populer
Gramedia). Sudah barang tentu penerbitan apa pun di Kelompok Kompas Gramedia sebagai
penerbit swarta terkait dengan dinamika dan kepentingan pasar, termasuk sastra, sehingga pada
batas-batas tertentu dapat di bedakan dengan penerbitan pusat bahasa, Dewan Kesenian dan
perguruan tinggi yang tidak sepenuhnya beorientasi pasar (Komersial). Terlepas dari
kepentingan dasar dari kelompak kompas Gramedia yang pantas dijadikan bahan kajian para
kritikus.
Boleh di perkirakan pengkajian sastra Indonesia masa depan semakin rumit, bukan hanya
karena maraknya penerbitan, melainkan juga karena barangnya asoirasi dan aliran setelah
reformasi Mei 1998. Tentu saja segala penerbitan sastra pascareformasi tidak dapat di pandang
semata-mata produksi masa itu juga sebab penerbitan sastra berbeda dengan penerbitan pers.
Secara teoritis di berlakukan anggapan bahwa setiap karya sastra ( puisi, cerpen, novel, dan
drama)ditulis atau di ciptakan dalam proses panjang sehingga penerbitannya pasti jauh melewati
masa penulisan atau penciptaannya. Jadi , buku-buku yang terbit pascareformasi tidak dapt di
pastikan berasal dari naskah yang digarap pada masa iyu juga. Dengan demikian, dapat
diperhitungkan korelasinya dengan masa sebelum reformasi 1998. Akan tetapi telah membuka
kemungkinan maraknya beragam penerbitan yang pada tahun-tahun sebelumnya sulit
dibayangkan terjadi. Disisi lain lain juga dipertanyakan daya beli masyarakat di tengah krisis
ekonomi yang di anggap berkepanjangan.
Di luar jalur penerbitan buku telah berkembang juga” sastra maya” (cyber-sastra) melalui
media elektronik internet yang memberi kesempatan kepada banyak orang untuk membuat situs
dan mengisiknya dengan tulisan apa saja , termasuk sastra.
Bagaimana perkembagannya kemudian memang harus setelah di kejar agar teknilogi
komunukasi canggih itu dapat di berdayakan sedemikian rupa sehingga meningkatkan harkat
dan martabat kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat sastra yang selama ini
selalu meyakini pentingnya sastra dalam pembentukan moral dan karakter bangsa. Segala gejala
perkembangan itu boleh jadi menggembangkan banyak pihak. Dapat di bayangkan para
memproleh rezeki yang berlimpah dari karyanya, para penerbit meraup untung, para pembaca
memperoleh katarisis, dan para peneliti ( kritikus ) mendapatkan lahan penelitian yang lapang.
Di tangan merekalah bernilai tinggi dan bertahan menembus zaman.
Namun, di sisi lain masih tersisa renungan dan pernyataan seputar perkembagan sastra
daerah, suatu masalah budaya yang sudah lama menjadi perbincangan para pakar. Tujuannya
ikut membina dan mengembangkan kehidupan kesusastraan, kesenian, dan kebudayaan
umumnya, baik di daerah maupun nasional.

Anda mungkin juga menyukai