Anda di halaman 1dari 5

Mata kuliah : Sejarah Sastra

Jenis : Ujian Akhir Semester (UAS)


Kelas : Sasindo B
Waktu : 29 November 2021 – 3 Desember 2021
Dosen : Ita Khairani, S.Pd., M.Hum.
Prodi : Sastra Indonesia
Universitas : UNIMED

Nama : NURUL ATIKAH


NIM : 2213210036

PETUNJUK:

a. Mohon soal dikerjakan dengan memperhatikan waktu yang telah disediakan!


b. Jawaban hanya bisa dikirim sesuai waktu yang telah ditentukan.
c. Kerjakan soal dibawah ini dengan mengutamakan kejujuran dan kepercayaan pada
kemampuan sendiri!

SOAL:

1. Jelaskan perkembangan sejarah sastra Indonesia mulai dari angkatan pujangga lama
hingga angkatan 2000–an. Sertakan dengan tokoh/sastrawan beserta contoh karya
sastra yang terbit pada setiap angkatannya!

2. Jelaskan pendapatmu tentang perkembangan sastra Indonesia dewasa ini. Jelaskan


beserta contohnya!

JAWABAN:

1. Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasian karya sastra di Indonesia yang


dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya satra di dominasi oleh syair,
pantun, gurindam dan hikayat. Di Nusantara, budaya Melayu klasik dengan pengaruh
Islam yang kuat meliputi sebagian besar negara pantai Sumatera dan Semenanjung
Malaya. Perjalanan Sastra Angkatan 45 dimulai pada tahun 1942. Tahun 1942 (9
Maret=pengambilalihan kekuasaan Jepang di Indonesia) merupakan tahun yang
sangat penting dalam sejarah kebudayaan Indonesia, termasuk kesusastraannya. Sejak
tahun itu terjadilah perubahan besar-besaran, revolusi kebudayaan dimulai tahun itu.
Tokoh: Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai dan Abdurrauf Singkil, Nuruddin ar-
Raniri
Karya sastra : Syair Hukum Nikah, Syair Siti Shianah, Syair Suluh Pegawai

Balai Pusataka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920,
yang dikeluarkan oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan
drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat
dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka merupakan penerbit
yang didirikan dengan nama Commissie voor de Inlansche School en
Volkslectuur (bahasa Indonesia: "Komisi untuk Bacaan Rakyat")
oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 15 Agustus 1908. Balai Pustaka
didirikan pada masa itu untuk memproduksi bahan bacaan bagi sekolah yang
dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda diyakini sebagai bagian dari Politik
Etis atau Politik Balas Budi (Belanda: Ethische Politiek). Balai Pustaka juga pada
masa itu bertujuan untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang
dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian
(cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya
dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan
dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa Madura.
Tokoh: Merari Siregar, Marah Roesli, Muhammad Yamin, Nur Sutan Iskandar
Karya sastra: Azab dan Sengsara (1920), Binasa kerna Gadis Priangan (1931), Cinta
dan Hawa Nafsu, Siti Nurbaya (1922), La Hami (1924), Anak dan
Kemenakan (1956), Tanah Air (1922), Indonesia, Tumpah Darahku (1928), Kalau
Dewi Tara Sudah Berkata, Ken Arok dan Ken Dedes (1934)

Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh
Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap
karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra
Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistis dan elitis. Pada masa itu, terbit
pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana,
beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman
Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
Karyanya Layar Terkembang, menjadi salah satu novel yang sering diulas oleh para
kritikus sastra Indonesia. Selain Layar Terkembang, pada periode ini
novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Kalau Tak Untung menjadi karya
penting sebelum perang.
Tokoh: Sutan Takdir Alisjahbana, Hamka, Armijn Pane, Sanusi Pane
Karya sastra: Dian Tak Kunjung Padam (1932), Tebaran Mega - kumpulan sajak
(1935), Layar Terkembang (1936), Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940), Di
Bawah Lindungan Ka'bah (1938), Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1939), Tuan
Direktur (1950), Di dalam Lembah Kehidoepan (1940), Belenggu (1940),
Sandhyakala Ning Majapahit (1933), Kertajaya (1932).

Angkatan 1945 Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai


karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding
karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Karya-karya sastra pada
angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti
halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan '45 memiliki konsep seni yang
diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para
sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati
nurani. Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan
Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.
Tokoh: Chairil Anwar, Asrul Sani, Bakri Siregar, Idrus
Karya sastra: Kerikil Tajam (1949), Deru Campur Debu (1949), Tanda Bahagia
(1944), Tugu Putih. Drama (1950), Jejak Langkah (1953).

Angkatan 1950–1960an, angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah


sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang
didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan
sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra. Pada
angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung
dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme sosialis.
Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan di antara kalangan
sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya
perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada
tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.
Tokoh: Pramoedya Ananta Toer, NH. Dini, Mochtar Lubis, Sitor Situmorang
Karya sastra: Kranji dan Bekasi Jatuh (1947), Bukan Pasar Malam (1951), Di Tepi
Kali Bekasi (1951), Keluarga Gerilya (1951), Mereka yang Dilumpuhkan (1951),
Perburuan (1950), Cerita dari Blora (1952), Gadis Pantai (1962-65), Tetralogi Buru.

Angkatan 1966–1970an, angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah


sastra) pimpinan Mochtar Lubis. Semangat avant-garde sangat menonjol pada
angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam
aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran,
arketip, dan absurd. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam
menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini. Sastrawan pada angkatan 1950-an
yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah Motinggo Busye, Purnawan
Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi
Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra
Indonesia, H.B. Jassin.
Tokoh: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Darmanto
Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu
Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail.
Karya sastra: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Buku Tamu
Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit.

Angkatan 1980 – 199an, karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah
tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita
yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa
angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum. Namun yang tak
boleh dilupakan, pada era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop, yaitu
lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan
serial Lupusnya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi
gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih berat.
Tokoh: Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira
Ajidarma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin
Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, dan Tajuddin Noor
Ganie.
Karya sastra: Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (1987), Cerpen-cerpen Nusantara
Mutakhir (1991), Pistol Perdamaian (1996), Ladang Hijau (1980), Sajak
Penari (1990), Sebelum Tertawa Dilarang (1997), Sembahyang Rumputan (1997).

Angkatan reformasi, seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari


tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati
Sukarnoputri, muncul wacana tentang "Sastrawan Angkatan Reformasi". Munculnya
angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun
novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra
harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli
bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan
buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik. Sastrawan
Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir
tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang
dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra—
puisi, cerpen, dan novel—pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh
dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi
Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat dengan media online:
duniasastra(dot)com -nya, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-
politik mereka. Angkatan Reformasi juga diyakini merupakan angkatan yang
mempunyai nafas kebebasan yang lega dari pemberangusan dan pembatasan rezim
Orde Baru. Sejumlah karya sastra bahkan mengusung tema kebebasan yang
cenderung vulgar seperti novel Saman Ayu Utami, Supernova 1: Kesatria, Putri, &
Bintang Jatuh karya Dewi Lestari, novel Mereka Bilang, Saya Monyet! karya Djenar
Mahesa Ayu, novel Jendela-jendela karya Fira Basuki, novel Ode untuk Leopold von
Sacher-Masoch karya Dinar Rahayu. Periodisasi atau angkatan pada masa Orde Baru
yang dibatasi kebijakan pemerintah, kini diyakini mesti didasarkan pada puncak karya
sastra serta pengaruhnya (pengaruh cirinya) pada keseluruhan angkatan itu sendiri.
Hal ini juga disebabkan oleh melimpahnya karya yang ada khususnya di internet.
Orang-orang bebas menentukan tema karyanya dan publiklah yang menilai karya
mereka. Puncak karya sastra berarti bahwa karya sastra mempunyai banyak pengikut
(misalnya dari sisi tema, amanat, ciri angkatan, dan sebagainya). Kemudian, lahir pula
penanatangnya seperti novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy.
Tokoh: Ayu Utami, Cucuk Espe, Widji Tukhul, Oka Rusmini
Karya sastra: Saman (1998), Larung (2001), Bilangan Fu (2008), Puisi Pelo (1984),
Darman dan Lain-lain (1994), Mencari Tanah Lapang (1994).
Angkatan 2000an, etelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi
muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara (kritikus
atau akademisi yang mengkonfirmasi puncak kesusastraan), Korrie Layun
Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya "Sastrawan Angkatan
2000", ditandai dengan terbitnya buku Leksikon Susastra Indonesia terbitan Balai
Pustaka tahun 2000.
Tokoh: Ahmad Fuadi, Andrea Hirata, Dewi Lestari, Dinar Rahayu
Karya sastra: Negeri 5 Menara (2009), Ranah 3 Warna (2011), Rantau 1
Muara (2013), Laskar Pelangi (2005), Sang Pemimpi (2006), Edensor (2007),
Maryamah Karpov (2008), Padang Bulan (2010).

2. Dari masa ke masa, sastra di Indonesia telah mengalami perubahan dan tentunya
perkembangan. Menurut saya pribadi, dewasa ini masyarakat semakin dimudahkan
jika ingin membaca atau menikmati sebuah karya sastra. Contohnya saja, sekarang
banyak platform dijejaring sosial yang bisa diakses jika masyarakat ingin membaca
novel ataupun puisi. Baik untuk penikmat maupun sastrawannya sendiri, sekarang
bisa mengakses dan mempublikasikan karya mereka dengan mudah, dalam artian
tidak sesulit zaman dulu. Dengan sastra yang semakin berkembang, banyak muncul
sastrawan–sastrawan muda baru yang memiliki warna baru bagi lingkup sastra
sendiri. Jadi, sastra di Indonesia mengalami perkembangan yang baik.

Anda mungkin juga menyukai