Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Naskah atau manuskrip merupakan salah satu sumber primer yang paling otentik,
yang dapat mendekatkan jarak antara masa lalu dan masa kini. Naskah juga merupakan
sumber yang sangat menjanjikan bagi suatu penelitian, tentunya bagi mereka yang tahu cara
membaca dan menafsirkannya. Naskah bisa disebut juga sebuah „jalan pintas‟ istimewa
(privileged shotcut access), untuk mengetahui khazanah intelektual dan sejarah sosial,
kehidupan masyarakat di masa lalu.1
Naskah kuno pun, banyak merekam informasi dan pengetahuan masyarakat lampau
yang diturunkan secara turun-temurun dari dulu hingga sekarang. Warisan budaya berupa
naskah tersebut bermacam-macam bentuknya dan tersebar di seluruh Indonesia, ditulis
dengan berbagai bahasa dan aksara. Bahasa yang dipergunakan terkadang identik dengan
tempat naskah ditulis, seperti bahasa Sunda di wilayah Jawa Barat, bahasa Melayu di sekitar
wilayah Sumatera Utara dan Kalimantan Utara, dan bahasa lainnya yang disesuaikan dengan
bahasa di wilayah masyarakatnya.2
Setiap penelitian yang dilakukan tentunya harus menggunakan sumber, dan sumber
dari segala sumber adalah naskah atau manuskrip. Dimana naskah adalah tulisan awal, dari
setiap pemikiran atau kegiatan yang dilakukan masyarakat pada masa lalu. Naskah pun
memiliki aksara dan bahasa yang berbeda-beda, sesuai dengan wilayah naskah itu berasal,
tentunya perbedaan itu terletak dari pemahaman masyarakat itu sendiri dalam bahasanya,
sehingga bahasa naskah sering disesuaikan dengan bahasa masyarakatnya agar mudah
dipahami.
Museum Sri Baduga Bandung menyinpan kurang lebih ratusan koleksi tentang naskah
kuno yang berasal dari daerah Jawa Barat. Museum Sri Baduga terus berupaya
mengumpulkan naskah kuno dari daerah Jabar, saat ini sudah terkumpul 147 naskah kurang
lebihnya. Naskah-naskah tersebut, ditulis dengan menggunakan menggunakan hurup kuno
seperti hurup Suna kuno, Jawa kuno hingga bertuliskan pallawa.
Hampir sebagian besar naskah itu, kata stap yang disana dipengaruhi oleh budaya
India karena kebanyakan berasal dari zaman yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan

1
Faturahman Oman, dkk. Filologi dan Islam Indonesia, ( Jakarta: Badan Litbang, 2010), hlm 3-4.
2
Widiesha David Gio, 2013, “Pribadi Rasa Pangrasa Sorangan”, Skripsi, Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia, hlm 1.

1
Hindu. Naskah yang memiliki nilai tinggi dan mengungkap sosial budaya masyarakat Sunda
tempo dulu itu dituliskan idaun lontar, kertas Eropa, logam an kayu yang masih terawat di
mesium Sri Baduga Bandung.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu naskah?
2. Koleksi Naskah apa aja yang terapat di Mesium Sri Baduga?
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi naskah
2. Untuk mengetahui naskah Islam yang ada di Mesium Sribaduga

BAB II

KERANGKA PENULISAN

A. Tinjauan Pustaka
1. Landasan Teori Tentang Naskah-Naskah Islam

Filologi
Bagi para cendekiawan yang berkecimpung di bidang ilmu humaniora, kata “filologi”
bukanlah sebuah kata asing yang sama sekali belum pernah didengar. Kata “filologi” justru
sangat akrab di telinga mereka karena bagaimana pun ilmu yang mereka geluti pasti ada
hubungannya dengan “filologi”, entah ilmu itu menjadi ilmu bantu bagi “filologi” entah
sebaliknya. Namun, apa sebenarnya “filologi” itu? Ada banyak definisi yang dikemukakan
oleh para ahli, yang jika disatukan kiranya akan saling melengkapi.
Tidak jauh berbeda dari definisi-definisi di atas Kamus Umum Bahasa Indonesia
(Badudu-Zain) (J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain: 1994) menekankan bahwa filologi
meneliti dan membahas naskah-naskah lama sebagai hasil karya sastra untuk mengetahui
bahasa, sastra, dan budaya bangsa melalui tulisan dalam naskah itu. Sementara W.J.S.
Poerwadarminta (1982) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia lebih menekankan bahwa
filologi mempelajari kebudayaan manusia terutama dengan menelaah karya sastra atau
sumber-sumber tertulis.

2
Sebagai bukti bahwa ilmu lain pun menaruh perhatian terhadap filologi atau bahkan
memerlukan filologi, Koentjaraningrat, dkk. (1984) dalam Kamus Istilah Antropologi
mengungkapkan filologi sebagai ilmu yang mempelajari bahasa kesusastraan dan sejarah
moral dan intelektual dengan menggunakan naskah kuno sebagai sumber.
Dick Hartoko dan B. Rahmanto (1986) dalam Pemandu di Dunia Sastra
mengungkapkan asal kata filologi, yaitu “philos” dan “logos” yang berarti cinta terhadap
kata. Sementara itu tugas seorang filolog adalah membanding-bandingkan naskah-naskah
kuno untuk melacak versi yang asli, lalu menerbitkannya dengan catatan kritis.
Webster’s New Collegiate Dictionary (1953) mendefinisi-kan filologi ke dalam tiga
hal, yaitu:
1. cinta pengetahuan atau cinta sastra, yaitu studi sastra, dalam arti luas termasuk
etimologi, tata bahasa, kritik, sejarah sastra dan linguistik;
2. ilmu linguistik;
3. studi tentang budaya orang-orang beradab sebagaimana dinyatakan dalam bahasa,
sastra, dan religi mereka, termasuk studi bahasa dan perbandingannya dengan
bahasa serumpun, studi tata bahasa, etimologi, fonologi, morfologi, semantik,
kritik teks, dll.
Berbeda dengan kamus yang lain, Dictionary of World Literature (Joseph T. Shipley,
ed.: 1962) memuat definisi filologi secara panjang lebar. Dalam kamus ini dijelaskan asal
kata filologi dan orang-orang yang pertama kali menggunakan kata itu. Di samping itu
dijelaskan pula perkembangan ilmu filologi di beberapa tempat. Misalnya pada abad ke-19
istilah filologi di Inggris selalu berhubungan dengan ilmu linguistik. Filologi juga termasuk
dalam teori sastra dan sejarah sastra. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa kritik sastra tidak
mungkin ada tanpa filologi.

Filologi berasal dari kata Yunani: Philos yang berarti cinta dan logos yang
berarti kata. Bentukan kedua kata tersebut menjadi cinta kata atau senang bertutur. Secara
etimologis, kata filologi berasal dari philologia yang pada awalnya berarti kegemaran
berbincang-bincang, yang kemudian berarti cinta kepada kata, perhatian terhadap
sastra, dan akhirnya studi ilmu sastra (Sutrisno, dalam Suryani, 2006:3). Dalam pengertian
yang lebih luas, filologi adalah ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu
bangsa dan kekhususannya atau menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan
kesusastraannya (Baried, dalam Suryani, 2006: 3). Jadi, filologi sebagai disiplin ilmu

3
mengenai bahasa dan sastra suatu bangsa, pada mulanya sangat erat kaitannya dengan bahasa
dan sastra bangsa Yunani dan Romawi., kemudian meluas kepada bahasa dan sastra bangsa-
bangsa lain, seperti bangsa Perancis, Spanyol, belanda.
Menurut Suryani Ns (2012: 3) Filologi sebagai istilah memiliki beberapa pengertian,
sebagai berikut:
1. Filologi sebagai ilmu tentang pengetahuan yang pernah ada. Dari pengertian ini,
filologi memperoleh arti ilmu pengetahuan tentang segala sesatu yang pernah
diketahui orang, sebagaimana dikemukakan oleh Philip August B. dari pandangan
inilah pengkajian terhadap teks-teks yang tersimpan dalam peninggalan tulisan
masa lampau tersebut disebut sebagai pintu gerbang untuk mengungkapkan
khazanah masa lampau, atau sebagai L’etalage de savoir (pameran ilmu
pengetahuan).
2. Filologi sebagai ilmu bahasa. Dalam konsep ini, filologi dipandang sebagai ilmu
dan studi bahasa yang indah, seperti yang saat ini dilakukan oleh linguistic.
Apabila studinya dikhususkan terhadap teks-teks masa lampau, filologi
memperoleh makna sebagaimana yang terdapat pada linguistic diakronis, yang
menangani perbandingan bahasa, perkembangan bahasa dan hubungan
kekerabatan antara beberapa bahasa. Filologi dengan pengertian ini salah satnya
dapat dijumpai di Inggris. Sementara di Arab, filologi yang demikian disebut
dengan istilah Fighullughah.
3. Filologi sebagai ilmu sastra tinggi. Arti ini muncul ketika teks-teks yang dikaji itu
berupa karya sastra yang bernilai tinggi, yaitu karya-karya Humeros. Keadaan
tersebut menurut filologi kepada suatu arti yang memperhatikan segi
kesastraannya.
4. Filologi sebagai studi teks. Yakni, suatu studi yang melakukan kegiatannya
dengan melakukan kritik terhadap teks ata kritik teks. Dalam pengertian yang
demikian, filologi dekenal sebagai studi tentang seluk beluk tekstologi. Di
Belanda, istilah filologi berarti ilm pengetahuan yang berhubungan dengan studi
teks sastra atau budaya yang berkaitan dengan latar belakang kebudayaan yang
didukung oleh teks tersebut. Di Perancis, filologi selain mendapat arti suatu
behasa melalui dokmen tertulis, juga merupakan suat studi mengenai teks lama
dan transmisinya. Di Inggris, filologi merupakan ilmu dan studi bahasa yang
ilmiah yang disandang oleh linguistic pada masa sekarang, dan apabila studinya

4
dikhususkan pada teks-teks tua, filologi memperoleh pengertian semacam
linguistic historis.
Jenis-Jenis Filologi
Filologi terbagi menjadi dua yaitu kadikologi dan tekstologi .
1. Kadikologi
Istilah kodikologi berasal dari kata Latin ‘codex’ (bentuk tunggal; bentuk jamak
‘codies’) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ‘naskah’–bukan menjadi
‘kodeks’. Sri Wulan Rujiati Mulyadi mengatakan kata ’caudex’ atau ‘codex’ dalam bahasa
Latin menunjukkan hubungan pemanfaatan kayu sebagai alas tulis yang pada dasarnya kata
itu berarti ‘teras batang pohon’. Kata ‘codex’ kemudian di berbagai bahasa dipakai untuk
kodikologi, atau biasa disebut ilmu pernaskahan bertujuan mengetahui segala aspek naskah
yang diteliti. Aspek-aspek tersebut adalah aspek di luar isi kandungan naskah tentunya.
Kodikologi adalah satu bidang ilmu yang biasanya bekerjasama dengan bidang ilmu
ini. Kalau filologi mengkhususkan pada pemahaman isi teks/ kandungan teks, sedangkan
kodikologi adalah ilmu yang khusus mempelajari seluk beluk atau semua aspek naskah
meliputi: bahan, umur, tempat penulisan, perkiraan penulis naskah.Dari bahan naskah, tempat
penulisan, perkiraan penulis naskah, jenis dan asal kertas, bentuk dan asal cap kertas, jenis
tulisan, gambar/ ilustrasi, hiasan/ illuminasi, dan lain-lain. Makanya, tugas kodikologi
selanjutnya adalah mengetahui sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, meneliti tempat-
tempat naskah sebenarnya, menyusun katalog, menyusun daftar katalog naskah, menyusuri
perdagangan naskah, sampai pada penggunaan naskah-naskah itu (Dain dalam Sri Wulan
Rujiati Mulyadi, 1994: 2–3).
2. Tekstologi
Secara etimologis, Tekstologi terdiri atas dua kata yaitu teks dan logi, yang berarti
ilmu tentang teks. Tekstologi adalah bagian dari filologi yang berusaha mengkaji teks yang
terkandung dalam naskah-naskah kuno. Teks dalam naskah kuno sarat dengan nilai-nilai
luhur ajaran nenek moyang. Tekstologi ialah ilmu yang mempelajari seluk beluk dalam teks
meliputi meneliti penjelmaan dan penurunan teks sebuah karya sastra, penafsiran, dan
pemahamannya. Dengan menyelidiki sejarah teks suatu karya.
Tujuan Filologi
Setiap kegiatan yang terstruktur dan terarah haruslah memiliki tujuan yang jelas.
Filologi sebagai ilmu yang yang berkarakteristis praktis, yaitu melakukan kerja penelitian
terhadap teks memiliki tujuan yang bermacam-macam sesuai dengan tuntutan pragmatisnya.
Meskipun demikian, filologi juga memiliki tujuan yang secara inheren merupakan tuntutan

5
dari dalam ilmu itu sendiri. Tujuan tersebut berupa tujuan yang bersifat umum dan tujuan
yang bersifat khusus sebagai berikut.
Tujuan Umum Filologi
1. Memahami sejauh mungkin kebudayaan suatu bangsa lewat hasil sastranya baik
lisan maupun tulis. Memahami makna dan fungsi teks bagi masyarakat
penciptanya.
2. Mengungkapkan nilai-nilai budaya lama sebagai alternatif pengembangan
kebudayaan.
3. Melestarikan warisan budaya bangsa.

Tujuan Khusus Filologi


1. Mengungkapkan gambaran naskah dari segi fisik dan isinya;
2. Mengemukakan persamaan dan perbedaan antarnaskah yang berbeda;
3. Menjelaskan pertalian antarnaskah;
4. Menguraikan fungsi isi, cerita dan fungsi teksnya;
5. Menyajikan suntingan teks yang mendekati teks asli, autoritatif, bersih dari
kesalahan untuk keperluan penelitian dalam berbagai bidang ilmu (sastra, bahasa,
filsafat)
6. Menyajikan terjemahan hasil suntingan teks dan tulisan dan bahasa yang mudah
dipahami masyarakat luas (misalnya dalam tulisan dan bahasa Indonesia)

Objek dan Sasaran Kerja Filologi


Filologi berusaha mengungkapkan hasil budaya suatu bangsa melalui kajian bahasa
pada peninggalan dalam bentuk tulisan. Berita tentang hasil budaya yang diungkapkan oleh
teks klasik dapat dibaca dalam peninggalan yang berupa tulisan, atau yang biasanya
disebut naskah. Dalam bidang filologi, teks menunjukkan pengertian sebagai sesuatu yang
konkret. Oleh karena itu, pemahaman terhadap teks klasik hanya dapat dilakukan lewat
naskah yang merupakan alat penyimpanannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
filologi mempunyai objek dan sasaran kerja, yaitu naskah dan teks (Suryani Ns, 2012: 4).
Wahana teks-teks filologi ada yang berupa teks lisan dan teks tulisan. Teks tulisan ada
yang berupa tulisan tangan (naskah) dan tulisan cetakan. Oleh karena itu, dilihat dari tradisi
penyampaiannya, terdapat filologi lisan, filologi naskah, dan filologi cetakan. Kerja filologi
lisan banyak berkaitan dengan studi tradisi lisan yang merupakan tradisi penyampaian teks
yang paling tua. Filologi naskah banyak berhubungan dengan pengetahuan mengenai

6
kehidupan naskah, mengenai berbagai segi penyaksian dengan tlisan tangan dan akibat-
akibatnya. Filologi cetakan banyak berhubngan dengan tradisi cetakan. Tradisi ini dimulai
pada tahun 1450, saat ditemukannya teknik mencetak oleh Guttenberg dari Jerman (Suryani
Ns, 2012: 4).
1. Naskah
Naskah merupakan salah satu objek kajian filologi, Naskah sendiri memiliki sedikit
perbedaan pengertian, tetapi tidak keluar dari pengertian pokoknya. Untuk lebih mengetahui
pengertian naskah secara mendalam, di bawah ini dibahas beberapa pengertian naskah yang
bersumber dari berbagai buku bacaan, kamus, dan artikel. Pengertian-pengertian naskah itu,
antara lain :
a. Menurut Poerwadarminta dalam Eny Kusumastuti Damayanti (2000 : 7)
Naskah adalah karangan tulisan tangan baik yang asli maupun salinannya.
b. Menurut Djamaris dalam Eny Kusumastuti Damayanti (2000 : 8)
Naskah adalah semua peninggalan tertulis nenek moyang pada kertas, lontar, kulit
kayu, dan rotan.
c. Menurut Poerwadarminta dalam Kamus Besar Umum Indonesia
Naskah adalah karangan dan sebagainya yang masih ditulis dengan tangan, kopi (karangan
dan sebagainya yang akan dicetak atau akan diterbitkan).
d. Dalam KBBI tahun 1997 dalam Ikke Kusumawati (2003 : 10)
Naskah adalah karangan yang masih ditulis dengan tangan.
e. Menurut Baried dalam Supartinah (2003 : 9)
Naskah berarti tulisan tangan.
f. Menurut Baroroh-Baried dalam Warsidi (2005: 9)
Naskah adalah semua bahan tulisan tangan dari bahasa Latin codex, jamaknyacodices.
g. Menurut Baried dalam Venny Indria Ekowati (2003 : 10)
Naskah adalah tulisan tangan yang menyimpan beragai ungkapan pikiran dan perasaan
sebagai hasil budaya bansa masa lampau.
h. Menurut Onions dalam Venny Indria Ekowati (2003 : 11)
Naskah dapat dianggap sebagai padanan kata manuskrip
i. Dalam KBBI edisi III, 2005

Naskah yaitu :
a. karangan yang masih ditulis dengan tangan
b. karangan seseorang yang belum diterbitkan

7
c. bahan-bahan berita yang siap untuk diset
d. rancangan

Dalam KBBI edisi II, 1954


Naskah yaitu :
a. karangan yang masih ditulis dengan tangan
b. karangan seseorang sebagai karya asli
c. bahan-bahan berita yang siap diset
Naskah dalam bahasa Inggris disebut manuskrip dan dalam bahasa Belanda
disebut handschrift adalah semua peninggalan tertulis nenek moyang pada kertas, lontar, kulit
kayu, dan rotan (Djamaris, 1977: 20). Naskah adalah karangan yang masih ditulis dengan
tangan (KBBI, 1997: 684). Naskah atau manuskrip adalah karangan tulisan tangan baik asli
maupun salinannya, yang mengandung teks atau rangkaian kata-kata yang merupakan bacaan
dengan isi tertentu (Darusuprapta, 1984: 10). Dari tiga pengertian tersebut dapat disimpulkan
bahwa naskah adalah tulisan tangan, baik asli maupun salinannya yang merupakan ungkapan
pikiran, perasaan, sebagai hasil budaya bangsa pada masa lampau.
Naskah Jawa yang jumlahnya tidak terbilang itu sebagian besar telah dihimpun dalam
koleksi naskah lembaga ilmiah,baik di Indonesia maupun di luar negeri. Tempat
penyimpanan naskah, antara lain: bagian naskah Perpustakaan Nasional Jakarta, Gedong
Kirtya Singaraja, bagian naskah Perpustakaan Universitas Leiden Nederland, dan di beberapa
perpustakaan di Britania Raya. Naskah-naskah Jawa juga tersimpan di beberapa
lembaga, seperti: Balai Penelitian Bahasa di Yogyakarta, Balai Kajian Sejarah dan Nilai-Nilai
Tradisional di Yogyakarta, serta naskah-naskah koleksi pribadi yang tersebar luar di segala
lapisan masyarakat (Darusuprapta, 1991: 2-3).
Naskah-naskah di pusat kebudayaan Jawa banyak tersimpan pula di Tepas
Kapujanggan Widyabudaya Kasultanan Yogyakarta, Perpustakaan Pura Pakualaman
Yogyakarta, Perpustakaan Museum Sonobudaya Yogyakarta, Perpustakaan Sasanapustaka
Keraton Surakarta, Perpustakaan Reksapustaka Pura Mangkunegaran Surakarta, dan
Perpustakaan Museum Radyapustaka Surakarta. Penyebarluasan naskah dapat dilakukan
dengan menerbitkan segala kegiatan dan hasil penelitian yang berdasarkan naskah
(Darusuprapta, 1991: 3-6).
Naskah Jawa mengandung isi bermacam-macam, di antaranya naskah mengandung
unsur peristiwa penting dalam sejarah, sikap dan pikiran serta perasaan
masyarakat, ide kepahlawanan, sikap bawahan terhadap atasan dan sebaliknya. Ada pula

8
naskah yang menguraikan sistem pemerintahan, tata hukum, adat istiadat, kehidupan
keagamaan, ajaran moral, perihal pertunjukan beserta segenap peralatannya (Darusuprapta,
1995: 137).
Naskah yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu naskah Serat Dwikarana. Dalam
naskah Serat Dwikarana memuat tentang bermacam-macam teks piwulang, misalnya sabab
musababing manungsa saged mlampah, patrap wawan sabda kaliyan tiyang sanes,
pralambangipun (Behrend, 1990: 495), dan lain sebagainya. Dengan adanya penelitian ini
diharapkan dapat menjadi salah satu upaya upaya pelestarian naskah dan menambah
pengetahuan tentang teks-teks piwulang dan lain sebagainya.
Menurut Ismaun (1996: 8), naskah Jawa mempunyai keragaman dalam bentuk
penulisan aksaranya. Keragaman dalam bentuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Bata sarimbag, yaitu aksara Jawa yang berbentuk persegi menyerupai bata merah.
2. Ngêtumbar, yaitu aksara Jawa yang pada sudut-sudutnya tidak berbentuk sudut
siku tetapi berbentuk setengah bulat menyerupai biji ketumbar.
3. Mucuk êri, yaitu aksara Jawa yang pada bagian atas berupa sudut lancip seperti
duri (êri).
4. Kombinasi, yaitu aksara Jawa yang bentuknya terbentuk dari gabungan ketiga jenis
aksara Jawa tersebutdi atas.

2. Naskah Kuno
Dalam dunia perpustakaan naskah kuno sering disebut dengan istilah manuskrip
(manuscripts). Menurut Sudarsono (2009, 13) “manuskrip adalah unik dan biasanya
memerlukan kehati-hatian dalam penanganan fisiknya karena perjalanan usia”. Kesusateraan,
ilmu pengetahuan, sejarah sosial politik manusia hanya dapat ditulis secara objektif jika
berdasarkan sumber asli yang dalam hal ini diantaranya termuat dalam naskah kuno. Naskah
tulisan tangan ini dapat dianggap sebagai salah satu representasi dari berbagai sumber lokal
yang paling otentik dalam memberikan berbagai informasi sejarah pada masa tertentu.
Naskah Kuno atau Manuskrip adalah dokumen dalam bentuk apapun yang ditulis dengan
tangan atau diketik yang belum dicetak atau dijadikan buku tercetak yang berumur 50 tahun
lebih (UU Cagar Budaya No. 5 Tahun 1992, Bab I Pasal 2). Naskah kuno adalah salah satu
koleksi langka yang dimiliki oleh perpustakaan. Naskah kuno atau manuskrip merupakan
rekaman informasi tertulis atau karya tulis yang dihasilkan sebagai produk kegiatan manusia,
9 yang merekam informasi antara lain berupa buah pikiran, perasaan, kepercayaan, adat

9
kebiasaan, dan nilai-nilai yang berlaku di kalangan masyarakat tertentu. Feather yang dikutip
dari artikel Erika (Erika 2011) menyatakan:
Manuskrip adalah dokumen dari berbagai macam jenis yang ditulis dengan tangan,
tetapi lebih mengkhususkan kepada bentuk yang asli sebelum dicetak. Kata tersebut juga
berarti karangan, surat, dan sebagainya yang masih ditulis dengan tangan. Manuskrip
mengenai informasi, karena manuskrip memiliki nilai informasi yang tentu sangat berharga
baik ditinjau dari sejarah naskah itu sendiri maupun informasi yang tertulis di manuskrip.
Naskah kuno tidak hanya ditulis pada kertas tetapi juga ditulis pada kain, lontar,
lempeng tembaga, tulang, tanduk, kayu, bambu ataupun media lain juga dapat berupa
lempeng batu atau tanah liat (Sudarsono 2009, 18). Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan salah satunya mengatur tentang naskah kuno.
Batasan dalam UU 43 Tahun 2007, yang dimaksud manuskrip adalah:
Semua dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak dengan cara lain, baik
yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri yang berumur sekurang-kurangnya 50
(lima puluh tahun), dan yang mempunyai nilai penting bagi kebudayaan nasional, sejarah dan
ilmu pengetahuan.
Pada naskah kuno terdapat informasi mengenai masa lampau yang tercipta
dari latar belakang sosial budaya yang tidak sama dengan latar belakang sosial budaya
masyarakat sekarang. Selain itu, naskah kuno mengandung informasi yang berlimpah, tidak
hanya sebatas pada kesusasteraan, tapi mencakup berbagai bidang seperti: agama, sejarah,
hukum, adat-istiadat, dan sebagainya.Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa
naskah kuno adalah dokumen yang ditulis dengan tangan mengenai informasi masa lampau
yang merupakan khazanah budaya yang 10 penting, baik secara akademis maupun sosial
budaya yang lebih mengkhususkan ke bentuk asli dan tidak dicetak serta berumur di atas 50
tahun.
Naskah kuno merupakan salah satu warisan budaya Indonesia dalam bidang
keberaksaraan yang telah dilindungi oleh UU RI No. 11 tahun 2010. Ungkapan “warisan
budaya” dalam hal ini merupakan suatu pemerian bahwa naskah kuno adalah teks klasik yang
diwariskan secara turun termurun.
Barried, dkk., (1985, hlm. 54) mendefinisikan naskah kuno sebagai “tulisan tangan yang
menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa
lampau.” Bangsa lampau dalam hal ini merupakan indikator usia suatu naskah kuno. Artinya
naskah kuno merupakan karya yang diciptakan masyarakat zaman dulu serta mewakili suatu
masa, minimal 50 tahun yang lalu. Hal tersebut berkaitan dengan salah satu kriteria benda

10
cagar budaya dalam bab III pasal 5 Undang-Undang Cagar Budaya bahwa benda cagar
budaya berusia 50 tahun atau lebih (DJPP, 2010). Oleh karena itu, jika dikaitkan dengan
masalah waktu, teks yang tertulis pada naskah kuno dapat dimaknai sebagai media informasi
yang menjembatani zaman dahulu dengan zaman sekarang.
Naskah-naskah di Indonesia berisi berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat
kesejarahan, pendidikan, keagamaan, atau kesusastraan. Naskah kuno dipandang sebagai teks
sastra karena merupakan suatu keutuhan yang mengungkapkan pesan (Baried, dkk., 1985,
hlm. 4). Dalam kehidupan atau kegiatan sastra, tradisi penulisan naskah kuno merupakan
tahap kedua (Djamaris, 2002, hlm. 5). Sebelum orang mengenal tulisan, kegiatan sastra
seperti cerita atau dongeng daerah disampaikan secara lisan. Setelah masyarakat mengenal
tulisan, banyak yang menulis kemudian menyalin berbagai cerita yang tadinya berasal dari
lisan tersebut. Selain itu, banyak pula naskah-naskah yang disalin langsung dari bentuk teks
karena banyak masyarakat yang ingin memiliki sendiri naskah tersebut, karena khawatir
terjadi sesuatu dengan naskah asli, atau karena naskah asli sudah rusak (Barried, dkk., 1985,
hlm. 59), sehingga jumlah naskah di Indonesia menjadi sangat banyak.
3. Teks
Objek penelitian selain naskah adalah teks. Teks adalah kandungan atau muatan
naskah, sesuatu yang abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja (Baroroh-Baried, 1985: 56).
Kandungan naskah yang menyajikan berbagai aspek sekarang sudah mulai mendapat
perhatian peneliti. Hal itu disebabkan karena kandungan naskah menyimpan informasi
tentang produk-produk masa lampau mempunyai relevansi dengan produk-produk jaman
sekarang. Dalam penjelmaan dan penurunannya, secara garis besar dapat disebutkan adanya
tiga macam teks, yaitu: (1) teks lisan atau tidak tertulis, (2) teks naskah atau tulisan
tangan, dan (3) teks cetakan (Baroroh-Baried, 1985: 56).

Langkah-Langkah Pengkajian Filologi


Ada dua hal yang perlu dilakukan agar suatu karya klasik dapat dibaca atau
dimengerti, yakni menyajikan dan menafsirkan (Robson, 1994: 12). Begitu juga dengan
filologi, untuk menyajikan dan menafsirkan dalam penelitian filologi ada beberapa langkah
yang diperlukan. Adapun langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut.
1. Inventarisasi Naskah
Untuk memilih naskah yang akan diteliti, langkah pertama adalah dengan
mengiventarisasikan semua naskah sejenis, atau varian-variannya. Varian-varian suatu

11
naskah dapat diketahui melalui katalog dengan koleksi naskah, baik pribadi, lembaga, swasta,
milik negara, maupun dari luar negeri (Djamaris, 1977: 24).

2. Studi Katalog
Setelah melakukan inventarisasi semua jenis naskah, langkah selanjutnya yaitu melakukan
studi katalog. Dalam hal ini menggunakan Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I
Museum Sonobudaya Yogyakarta. Setelah naskah yang akan diteliti sudah ditetapkan
berdasarkan studi katalog, selanjutnya melakukan pengamatan langsung di Perpustakaan
Museum Sonobudaya Yogyakarta bagian pernaskahan. Setelah melakukan pengamatan
naskah yang diteliti secara langsung dan sudah melihat kondisi naskah, maka dipilih
naskah Serat Dwikarana sebagai bahan penelitian.

3. Deskripsi Naskah
Deskripsi naskah adalah memaparkan atau menggambarkan dengan kata-kata secara
jelas dan terperinci keadaan naskah yang diteliti. Menurut Darusuprapta (1984: 8), deskripsi
naskah memuat tentang beberapa hal, yakni sebagai berikut.
a. Koleksi siapa, tempat penyimpanan, pupuh kodeks.
b. Judul, diberikan penjelasan tentang judul naskah.
c. Pengantar, uraian pada bagian awal di luar isi teks.
d. Penutup, uraian pada bagian akhir di luar isi teks (kolofon).
e. Ukuran teks: lebar x panjang, jumlah halaman teks, sisa halaman kosong.
f. Ukuran naskah: lebar x panjang, jenis bahan.
g. Isi: lengkap atau kurang, terputus atau hanya fragmen, hiasan gambar, prosa atau
puisi, jika prosa berapa rata-rata jumlah baris tiap halaman, berapa rata-rata kata
tiap halaman, jika puisi dijelaskan tentang pupuh, nama tembang, jumlah bait tiap
pupuh, jenis naskah dan ciri-ciri jenis naskah.
h. Tulisan, jenis huruf, bentuk atau ragam huruf, ukuran huruf.
i. Bahasa: baku, dialek, campuran, atau ada pengaruh lain.
4. Pembacaan
Setelah melakukan deskripsi naskah, langkah selanjutnya adalah pembacaan teks isi
naskah. Hal itu bertujuan untuk mengungkap isi teks. Pembacaan teks dilakukan dari kata
perkata.

5. Transliterasi

12
Transliterasi adalah penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf, dari abjad yang satu ke abjad
yang lain (Baroroh-Baried, dkk, 1985: 65). Transliterasi penting untuk memperkenalkan teks-
teks lama yang ditulis dengan aksara Jawa,karena sebagian masyarakat tidak begitu mengenal
lagi terhadap aksara Jawa. Transliterasi dibagi menjadi dua (Robson, 1994 dalam Mulyani,
2008: 7), yaitu:
a. transliterasi diplomatik, yaitu transliterasi sesuai apa adanya.
b. transliterasi standar, yaitu transliterasi yang disesuaikan dengan ejaan yang
berlaku.
6. Suntingan
Salah satu hasil kerja penelitian filologi adalah menyajikan suntingan teks. Suntingan teks
adalah teks yang telah mengalami pembetulan-pembetulan dan perubahan-perubahan,
sehingga bersih dari segala kekeliruan (Darusuprapta, 1984: 5). Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1991: 977), menyunting berarti menyiapkan naskah yang siap diterbitkan dengan
memperhatikan segi sistematika penyajian, isi, isi, dan bahasa.
Suntingan teks, menurut Wiryamartana (1990: 30-32) ada dua macam, yaitu suntingan teks
edisi diplomatik dan suntingan teks edisi standar. Suntingan teks edisi diplomatik dibuat
dengan maksud agar pembaca dapat mengetahui teks dari naskah sumber. Suntingan teks
edisi standar, yaitu menerbitkan naskah dengan membetulkan kesalahan-kesalahan dan
ketidakajegan-ketidakajegan serta ejaannya disesuaikan dengan ketentuan ejaan yang
berlaku. Pada suntingan teks edisi standar diadakan pembagian kata atau pembagian kalimat,
serta diberikan komentar mengenai kesalahan teks. Suntingan teks dengan perbaikan bacaan
terdapat campur tangan peneliti sehingga teks dapat dipahami.
Suntingan teks merupakan teks yang telah mengalami pembetulan-pembetulan dan
perubahan-perubahan, sehingga dianggap bersih dari segala kekeliruan (Darusuprapta, 1984:
5). Untuk menyajikan bacaan yang bersih dan terhindar dari tulisan yang rusak, harus
mengadakan kritik teks yang alatnya berupa aparat kritik. Aparat kritik merupakan
pertanggungjawaban ilmiah dari kritik teks yang berisi kelainan bacaan yang ada dalam
suntingan teks atau penyajian teks yang sudah bersih dari korup (Mulyani, 2005: 26).

7. Terjemahan
Menurut Mulyani (2009: 28), terjemahan inggih menika ngewahi basa saking
basaning teks utawi basa sumber-ipun dhateng basa sasaran-ipun utawi basa ingkang
sampun dipunpilih kajumbuhaken kaliyan ancasipun. Terjemahan adalah suatu langkah
dalam kajian filologi yang berupa penggantian bahasa naskah ke dalam bahasa lain, misalnya

13
saja dari bahasa Jawa ke dalam Bahasa Indonesia. Hal itu dimaksudkan agar lebih mudah
dipahami masyarakat secara umum.
Terjemahan dilakukan sedekat-dekatnya dengan makna masing-masing kata pada
bahasa sumber dan konteks kalimatnya. Secara teknis, dalam terjemahan dimungkinkan
mengubah susunan atau kalimat. Untuk menyelaraskan kalimat, maka bila diperlukan bisa
dilakukan dengan menghilangkan atau menambah awalan atau akhiran pada kata atau kalimat
tersebut.
Menurut Darusuprapta (1984: 9), terjemahan dapat dibedakan menjadi 3 macam.
Adapun macam-macam terjemahan tersebut adalah sebagai berikut.
a. Terjemahan harafiah, yaitu terjemahan kata demi kata, dekat dengan aslinya,
berguna untuk membandingkan segi-segi ketatabahasaan.
b. Terjemahan isi atau makna, yaitu kata-kata yang diungkapkan dalam bahasa
sumber diimbangi salinannya dengan kata-kata bahasa sasaran yang sepadan.
c. Terjemahan bebas, yaitu keseluruhan teks bahasa sumber diganti dengan bahasa
sasaran secara bebas.

8. Pemaknaan Teks
Setelah teks diterjemahkan, langkah yang terakhir adalah melakukan pemaknaan teks.
Pemaknaan merupakan usaha untuk mengungkap isi teks. Tujuan pemaknaan teks,
memahami, serta mengambil nilai positif dari isi yang terkandung dalam teks.
Berdasarkan keadaan teks dan tujuan penelitian yang pada dasarnya adalah
mengungkap isi naskah, maka diperlukan kerja hermeneutik. Hermeneutik adalah ilmu atau
teknik memahami karya sastra atau ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut
maksudnya (Teeuw, 1984: 123). Hermeneutik yang digunakan untuk menafsirkan karya
sastra tersebut, dilakukan dengan memahami unsur-unsur secara keseluruhan. Metode
pemaknaan lain yang digunakan adalah heuristik. Pada tahap ini peneliti menemukan arti
secara linguistik berdasarkan kemampuan linguistiknya. Proses pemaknaan sebenarnya
terjadi dalam pikiran pembaca.

14
BAB III

PEMBAHASAN

A. Naskah

Dalam Kamus Besar Bahasa Idonesia, kata naskah berarti ; karangan yg masih
ditulis dng tangan, karangan seseorang yg belum diterbitkan, bahan-bahan berita yg siap
untuk diseting.3
Kata naskah yang berasal dari kata bahasa Arab al-nuskhah mempunyai padanan kata
bahasa Indonesia “ Manuskrip” yang berasal dari bahasa latin manu dan scriptus, dan secara
harfiah berarti tulisan tangan (written by hand). Manuskrip biasa disingkat MS untuk naskah
tunggal, dan MSS untuk naskah Jamak. Jadi manuskrip adalah dokumen yang ditulis tangan
secara manual di atas sebuah media seperti kertas, papirus daluang, daun lontar, kulit
binatang, dan lainnya.4

Naskah pada umumnya ialah segala hasil tulisan tangan yang menyimpan berbagai
ungkapan cipta, rasa, karsa manusia yang hasilnya di sebut hasil karya sastra, baik tergolong
dalam arti umum maupun dalam arti khusus, yang semua merupakan rekaman pengetahuan
masa lampau bangsa pemilik naskah itu.5

Dalam makalah ini kata naskah yang dimaksud adalah naskah dalam pengertian
manuskrip yang menjadi khazanah kekayaan Islam Nusantara.

B. Koleksi Naskah Naskah Islam yang terdapat di Mesium Sri Baduga


Museum Sri Baduga Bandung menyinpan kurang lebih ratusan koleksi tentang naskah
kuno yang berasal dari daerah Jawa Barat. Museum Sri Baduga terus berupaya
mengumpulkan naskah kuno dari daerah Jabar, saat ini sudah terkumpul 147 naskah kurang
lebihnya. Naskah-naskah tersebut, ditulis dengan menggunakan menggunakan hurup kuno
seperti hurup Suna kuno, Jawa kuno hingga bertuliskan pallawa.
Hampir sebagian besar naskah itu, kata stap yang disana dipengaruhi oleh budaya
India karena kebanyakan berasal dari zaman yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan
Hindu. Naskah yang memiliki nilai tinggi dan mengungkap sosial budaya masyarakat Sunda

3
http://kbbi.web.id/naskah
4
Uka Tjandrasasmita, dalam Filologi dan Islam Indonesia, Oman Fathurahman,
5
Asdi S. Dipodjojo, Memperkirakan Titimangsa Suatu Naskah, ( Yogyakarta: Penerbit Lukman Opset
Yogyakarta, 1996 ) hal. 7

15
tempo dulu itu dituliskan idaun lontar, kertas Eropa, logam an kayu yang masih terawat di
mesium Sri Baduga Bandung.
Naskah-naskah kuno itu menjadi salah satu wisatawan, khususnya dari Belanda dan
Jepang. Sedangkan wisatawan lokal kebanyakan pelajar dan mahasiswa serta dosen yang
melakukan penelitian sejarah. Naskah itu banyak mengungkap kehidupan sosial budaya
masyarakat, khususnya masyarakat di masa lampau.
Hasil dari penelitian kami, kurang lebih menemukan beberapa naskah Islam yang
terapat di museum Sri Baduga. Sebagai Berikut:
1. Naskah Al-Qur’an

Gambar: naskah Al-Qur’an Sumber: museum Sri Baduga

Naskah yang disalin diatas kertas Erofa dengan watermark propatria eendract maakt
mact dan countermark V D L masih cukup baik dan sudah direstorasi. Sampulnya terbuat
kulit yang cukup tebal berwarna Mahoni. Naskah setebal 688 halaman dengan halaman
kosong ini dimulai dari surah Al-Baqarah dan diakhiri dengan surah Al-Palaq. Setelah surah
Al-Palaq terdapat doa Khotmul Qur’an dan diakhiri dengan Kolofon6. Diduga surah Al-
Fatihah dan surah An-Nas sudah terlepas dan hilang dalam naskakh ini. Hal ini dikuatkan
dengan kondisi halaman ilumiasi awal Al-Baqarah sudah tidak utuh , hanya bidang teksnya
saja yang ditempelkan dikertas lain sebagai restorasi.7

6
Kamus Besar Bahasa Indonesia “kolofon”: cacatan penulis, umumnya pada akhir naskah atau terbitan, berisi
keterangan mengenai tempat, waktu dan penyalinan naskah.
7
Museum Sri Baduga (no. Inv. :07.146. Jakarta).

16
2. Naskah Hikayat Syekh Abdul Qadir Jaelani

Gambar: Naskah Hikayat Syekh Abdul Qadir Jaelani


Sumber: Museum Sri Baduga

Naskah berbahan lokal ini, bercerita mengenai kehidupan Syekh Abdul Qadir Jaelani
terutama berkaitan dengan karomah-karomah yang pernah disaksikan oleh para sahabat,
murid, dan orang yang hidup sezaman denganya.8

Syekh Abdul Qadir Jaelani adalah seorang ulama fiqih yang sanggat dihormati oleh
kaum Sunni dan di anggap wali dalam dunia Tarekat dan sufisme. Ia adalah orang Kurdi
Persia. 9

3. Naskah Wawacan Buhaer

8
Museum Sri Baduga (no. Inv. :07.121. Ciamis).
9

17
Gambar: Naskah Wawacan Buhaer
Sumber : Museum Sri Baduga

Naskah ini ditulis diatas kertas saeh, dijilid menggunakan kulit. Menceritakan tokoh
yang bernama Buhaer, dari dia kecil lalu mempersunting Ratnsari dan menjadi raja setelah
memenangkan sayembara menyembuhkan keluarga kerajaan yang terkena penyakit dibantu
oleh Jin yang keluar dari azimat pemberian ayahnya.10

Naskah Buhaer ditulis dalam aksara Arab pegon dengan menggunakan aksara Sunda
masa kini. Dikisahkan seorang pemalas bernama Guna Sabda dari kampung Paminggir, ia
mempunyai tiga Azimat warisan orang tuanya berupa suling, Ali (cincin), dan ketu (kopeah).
Ketiga azimat itu memiliki kistimewaan yang berbeda, yaitu: suling untuk memanggil raja
Jin, cincin untuk memanggil patih jin, dan kopiah untuk menghilang dari pandangan mata.

Guna Sabda beristrikan Nyi Sainah yang dikaruniai anak laki-laki bernama Buhaer
kecil. Keadaan Guna Sabda pada awalnya seorang miskin. Namun berkat khasiat azimatnya ,
kemudian iya menjadi orang terkaya dikampungnya.

Tabiat Buhaer Kecil sangat berbeda dengan ayahnya. Ia seorang berandal, pemabuk,
penjudi dan sangat tidak menghormati kedua orang tuanya. Akan hal inilah Guna Sabda
meninggal dunia karena terlalu memikirkan kelakuan anaknya itu, sebelum meninggal Guna
Sabda berwasiat kepada istrinya untuk memberikan ke tiga azimat itu kepada Buhaer ketika
sudah besar.

10
Museum Sri Baduga (no. Inv. :07.145. Bandung).

18
4. Naskah Riwayat Nabi Muhammad

Gambar: Naskah Riwayat Nabi Muhammad


Sumber: Museum Sri Baduga

Naskah berbahan kertas saeh ini menguraikan tentang riwayat Nabi Muhammad sejak
lahir, dewasa, kemudian menjadi seorang nabi. Teks naskah ditulis dengan tinta hitam,
diubah dalam bentuk puisi (tembang pupuh) dengan menggunakan jenis pupuh, yaitu Sinom,
Dangdanggula, Kinanti, Pangkur, Kasmaran, Durma, Mujul dan Pucung. Berdasarkan bahan
yang dipergunankan diperkirakan ditulis pada akhir abad ke-19. 11

Nabi Muhammad SAW adalah anggota Bani Hasyim, suatu kabilah yang kurang
berkuasa dalam suku Quraisy. Kabilah ini memegang jabatan Syikayah. Nabi Muhammad
terlahir dari keluarga terhormat yang relatif miskin. Ayahnya bernama Abdulah anak Abdul
Muthalib, seorang pengarus bangsa Quraisy yang besar pengaruhnya. Ibunya adalah Aminah
binti Wahab dari Bani Zuhrah. Tahun kelahiran Nabi dikenal sebagai tahun Gajah (570 M).12

Menjelang usia yang ke 40 tahun, Nabi Muhammad sudah biasa memisahkan diri dari
kegalauan masyarakat, berkontemplesi ke gua Hira. Pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M,
malaikat Jibril muncul dihadapannya, menyampaikan wahyu Allah yang pertama, bacalah
dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan tuhanmu itu maha mulia. Dia telah mengajar dengan Qalam. Dia telah
mengajar manusia apa yang telah mereka ketahui (QS 96: 1-5). Dengan wahyu pertama itu
11
Museum Sri Baduga (no. Inv. :07.08. Majalengka).
12
Sejarah Hidup Muhammad, Muhammad Husein Haekal, (Jakarta:Litera Antarnusa, 1990, Cet. 12), Hal 49.

19
Muhammad telah dipilih Tuhan sebagai Nabi. Dalam wahyu pertama ini dia belum
diperintahkan untuk menyeru manusia kepada suatu Agama.

Setelah wahyu pertama itu datang, Jibril tidak datang lagi untuk beberapa lama,
sementara Nabi Muhammad menantikannya dan selalu datang ke gua Hira. Dalam keadaan
menanti itulah turun wahyu yang menyampaikan kepadanya. Wahyu itu berbunyi sebagagi
berikut: Hai orang yang berselimut, bangun dan beri ingatlah. Hendaklah engkau besarkan
Tuhanmu dan bersihkanlah pakaianmu, tinggalkanlah perbuatan dosa, dan janganlah
engkau memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan)yang lebih banyak dan untuk
(memnuhi perintah) Tuhanmu bersabarlah (Al-Muddatsir: 1-7). Dengan turunnya perintah itu
mulailah Rasululah berdakwah dan menyebarkan agama Islam sampai keseluruh pelosok
dunia.

5. Naskah Wawacan Ciungwanara


Naskah berbahan kertas Erofa, teks Wawacan Ciungwanara terdiri dari atas 7
pupuh, tiap-tiap pupuh menguraikan satu pokok pembahasan yang sudah diuraikan pada
pupuh yang sebelumnya, dihaluskan lagi pada pupuh berikutnya, seperti bahasan martabat
pada VII terdapat pada pupuh II, lalu dibahas lagi dalam pupuh IV dan V. Pupuh terakhir
merupakan tanya jawab delapan orang bersaudara yaitu Ki Ruhan, Ki Jasman, Ki Alim, Ki
Muzid, Ki Qadir, Ki Saman, Ki Basir, dan Ki Kalam.13

Pupuh (bahasa Sunda: Pepeuh) adalah bentuk puisi tradisional Jawa dan Sunda yang
memiliki jumlah suku kata dan rima tertentu di setiap barisnya. Terdapat 17 jenis pupuh,
masing-masing memiliki sifat tersendiri dan digunakan untuk tema cerita yang berbeda.14

Pupuh adalah bait, aturan, lagu, tembang, puisi jawa lama, pola penyususnan syair dan
aturan-aturan puisi jawa lama dalam menyusun syair yang digunakan untuk lagu-lagu
tembang. Pupuh terikat oleh wilangan dan guru lagu. Guru wilangan adalah patokan jumlah
baris dari tiap bait serta jumlah suku kata/vocal dari tiap bait. Guru lagu adalah patokan suara
vocal ujung tiap bait.15

Ciungwanara adalah legenda di kalangan orang Sunda di Indonesia. Cerita rakyat ini
menceritakan legenda Kerajaan Sunda Galuh, asal muasal nama Sungai Pamali serta

13
Museum Sri Baduga (no. Inv. :07.27. Bandung).
14
https://id.wikipedia.org/wiki/Pupuh diakses pada tanggal 31 Oktober 2019 pukul 05:21 WIB
15
https://baraya-pasundan.blogspot.com/2016/07/pengertian-pupuh-sunda-dan-contohnya.html diakses pada
tanggal 31 Oktober 2019 pukul 05:27 WIB

20
menggambarkan hubungan budaya antara orang Sunda dan Jawa yang tinggal di bagian barat
provinsi Jawa Tengah.16

Di ceritakan pada zaman dahulu berdirilah sebuah kerajaan besar di pulau Jawa yang
disebut Kerajaan Galuh, ibukotanya terletak di Galuh dekat Ciamis sekarang. Dipercaya
bahwa pada saat itu kerajaan Galuh membentang dari Hujung Kulon, ujung Barat Jawa,
sampai ke Hujung Galuh ("Ujung Galuh"), yang saat ini adalah muara dari Sungai Brantas di
dekat Surabaya sekarang. Kerajaan ini diperintah oleh Raja Prabu Permana Di Kusumah.
Setelah memerintah dalam waktu yang lama Raja memutuskan untuk menjadi
seorang pertapa dan karena itu ia memanggil menteri Aria Kebonan ke istana. Selain itu, Aria
Kebonan juga telah datang kepada raja untuk membawa laporan tentang kerajaan. Sementara
ia menunggu di depan pendapa, ia melihat pelayan sibuk mondar-mandir, mengatur
segalanya untuk raja. Menteri itu berpikir betapa senangnya akan menjadi raja. Setiap
perintah dipatuhi, setiap keinginan terpenuhi. Karena itu ia pun ingin menjadi raja.

Pada saat penampilan Aria Kebonan menyerupai Prabu Permana di Kusumah itu,
tetapi tampak sepuluh tahun lebih muda. Orang percaya pengumuman bahwa ia adalah Raja
Prabu Permana Di Kusumah yang telah menjadi sepuluh tahun lebih muda dan mengubah
namanya menjadi Prabu Barma Wijaya. Hanya satu orang tidak percaya ceritanya. Ia adalah
Uwa Batara lengser yang mengetahui perjanjian antara raja dan menteri tersebut. Prabu
Barma Wijaya menjadi bangga dan mempermalukan Uwa Batara lengser yang tidak dapat
melakukan apa-apa. Dia juga memperlakukan kedua ratu dengan kasar. Keduanya
menghindarinya, kecuali di depan umum ketika mereka berperilaku seolah-olah mereka istri
Prabu Barma Wijaya.17

Suatu malam kedua ratu bermimpi bahwa bulan jatuh di atas mereka. Mereka
melaporkan hal itu kepada raja yang membuatnya ketakutan, karena mimpi tersebut biasanya
peringatan bagi wanita yang akan hamil. Hal ini tidak mungkin karena ia tidak bersalah
memperlakukan kedua ratu sebagai istri-istrinya. Uwa Batara lengser muncul dan
mengusulkan untuk mengundang seorang pertapa baru, yang disebut Ajar Sukaresi - yang
tidak lain adalah Raja Prabu Permana Di Kusumah - untuk menjelaskan mimpi yang aneh
tersebut. Prabu Barma Wijaya setuju, dan begitu pertapa tiba di istana ia ditanya oleh raja
tentang arti mimpi itu.

16
https://id.wikipedia.org/wiki/Ciung_Wanara diakses pada tanggal 31 Oktober 2019 pukul 05: 29 WIB
17
https://id.wikipedia.org/wiki/Ciung_Wanara diakses pada tanggal 31 Oktober 2019 pukul 05:45 WIB

21
Suatu hari ketika Prabu Barma Wijaya mengunjungi Dewi Naganingrum, secara ajaib
janin dalam kandungan Naganingrum yang belum lahir tersebut berbicara: Peristiwa
aneh janin yang dapat berbicara tersebut membuat Raja sangat marah dan takut terhadap
ancaman janin tersebut. Dia ingin menyingkirkan janin itu dan segera menemukan cara untuk
melakukannya. Dia meminta bantuan Dewi Pangrenyep untuk dapat terlepas dari bayi Dewi
Naganingrum yang akan lahir sebagai bajingan menurut impiannya. Dia tidak akan cocok
untuk menjadi penguasa negeri ini bersama-sama dengan Hariang Banga, putra Dewi
Pangrenyep. Ratu percaya hal tersebut dan setuju, tetapi apa yang harus dilakukan? "Kita
akan menukar bayi tersebut dengan anjing dan melemparkannya ke sungai Citanduy."

Sebelum melahirkan, Dewi Pangrenyep menghimbau Dewi Naganingrum untuk


menutupi matanya dengan malam (lilin) yang biasanya digunakan untuk membatik. Dia
berpendapat bahwa perlakuan ini adalah untuk menghindarkan ibu yang sedang melahirkan
agar tidak melihat terlalu banyak darah yang mungkin dapat membuat dia pingsan.
Naganingrum setuju dan Pangrenyep pun menutup mata Dewi Naganingrum dengan lilin,
berpura-pura membantu ratu malang tersebut. Naganingrum tidak menyadari apa yang
terjadi, bayi yang baru lahir itu dimasukkan ke dalam keranjang dan dilemparkan ke
dalam Sungai Citanduy, setelah ditukar dengan bayi anjing yang dibaringkan di pangkuan
sang ibu yang tidak curiga akan perbuatan jahat tersebut.

Ratu Naganingrum segera menyadari bahwa ia tengah menggendong seekor bayi


anjing, ia sangat terkejut dan jatuh sedih. Kedua pelaku kejahatan berusaha menyingkirkan
Dewi Naganingrum dari istana dengan mengatakan kebohongan kepada rakyat, tetapi tidak
ada yang percaya kepada mereka. Bahkan Uwa Batara lengser tak dapat melakukan apa-apa
karena Raja serta Ratu Dewi Pangrenyep sangat berkuasa. Barma Wijaya bahkan
memerintahkan hukuman mati atas Dewi Naganingrum karena dia telah melahirkan seekor
anjing, yang dianggap sebagai kutukan dari para dewa dan aib bagi kerajaan. Uwa Batara
lengser mendapat perintah untuk melaksanakan eksekusi tersebut. Dia membawa ratu yang
malang ke hutan, namun dia tak sampai hati membunuhnya, ia bahkan membangunkan
sebuah gubuk yang baik untuknya. Untuk meyakinkan Raja dan Ratu Pangrenyep bahwa ia
telah melakukan perintah mereka, ia menunjukkan kepada mereka pakaian Dewi
Naganingrum yang berlumuran darah.

Di desa Geger Sunten, tepian sungai Citanduy, hiduplah sepasang suami istri tua yang
biasa memasang bubu keramba perangkap ikan yang terbuat dari bambu di sungai untuk
menangkap ikan. Suatu pagi mereka pergi ke sungai untuk mengambil ikan yang

22
terperangkap di dalam bubu, dan sangat terkejut bukannya menemukan ikan melainkan
keranjang yang tersangkut pada bubu tersebut. Setelah membukanya, mereka menemukan
bayi yang menggemaskan. Mereka membawa pulang bayi tersebut, merawatnya dan
menyayanginya seperti anak mereka sendiri.

Dengan berlalunya waktu bayi tumbuh menjadi seorang pemuda rupawan yang
menemani berburu orang tua dalam hutan. Suatu hari mereka melihat seekor burung dan
monyet.

"Burung dan monyet apakah itu, Ayah?"

"Burung itu disebut Ciung dan monyet itu adalah Wanara, anakku."

"Kalau begitu, panggillah aku Ciung Wanara." Orang tua itu menyetujui karena arti kedua
kata tersebut cocok dengan karakter anak itu.

Suatu hari ia bertanya pada orang tuanya mengapa dia berbeda dengan anak laki-laki
lain dari desa tersebut dan mengapa mereka sangat menghormatinya. Kemudian orang tua itu
mengatakan kepadanya bahwa ia telah terbawa arus sungai ke desat tersebut dalam sebuah
keranjang dan bukan anak dari desa tersebut.

"Orangtuamu pasti bangsawan dari Galuh."

"Kalau begitu, aku harus pergi ke sana di mencari orang tua kandungku, Ayah."

"Itu benar, tetapi kamu harus pergi dengan seorang teman. Di keranjang itu ada telur.
Ambillah, pergilah ke hutan dan carilah unggas untuk menetaskan telur itu."

Ciung Wanara mengambil telur itu, pergi ke hutan seperti yang diperintahkan oleh sang orang
tua, tetapi ia tidak dapat menemukan unggas. Ia menemukan Nagawiru yang baik kepada dia
dan yang menawarkan dia untuk menetas telur. Dia meletakkan telur di bawah naga itu dan
taklama setelah menetas, anak ayam tumbuh dengan cepat. Ciung Wanara memasukkannya
ke dalam keranjang, meninggalkan orang tua dan istrinya dan memulai perjalanannya ke
Galuh.

Di ibukota Galuh, sabung ayam adalah sebuah acara olahraga besar, baik raja dan
rakyatnya menyukainya. Raja Barma Wijaya memiliki ayam jago yang besar dan tak
terkalahkan bernama Si Jeling. Dalam kesombongannya, ia menyatakan bahwa ia akan
mengabulkan keinginan apapun kepada pemilik ayam yang bisa mengalahkan ayam juaranya.

23
Saat tiba, anak ayam Ciung Wanara sudah tumbuh menjadi ayam petarung yang kuat.
Sementara Ciung Wanara sedang mencari pemilik keranjang, ia ikut ambil bagian dalam
turnamen adu ayam kerajaan. Ayamnya tidak pernah kalah. Kabar tentang anak muda yang
ayam jantannya selalu menang di sabung ayam akhirnya mencapai telinga Prabu Barma
Wijaya yang kemudian memerintahkan Uwa Batara lengser untuk menemukan pemuda itu.
Orang tua itu segera menyadari bahwa pemuda pemilik ayam itu adalah putra Dewi
Naganingrum yang telah lama hilang, terutama ketika Ciung Wanara menunjukkan padanya
keranjang di mana ia telah dihanyutkan ke sungai. Uwa Batara Lengser mengatakan pada
Ciung Wanara bahwa raja telah memerintahkan hal tersebut selain menuduh ibunya telah
melahirkan seekor anjing.

"Jika ayam kamu menang melawan ayam raja, mintalah saja kepadanya setengah dari
kerajaan sebagai hadiah kemenangan kamu."

Keesokan paginya Ciung Wanara muncul di depan Prabu Barma Wijaya dan
menceritakan apa yang telah diusulkan Lengser. Raja setuju karena dia yakin akan
kemenangan ayam jantannya yang disebut Si Jeling. Si Jeling sedikit lebih besar dari ayam
jago Ciung Wanara, namun ayam Ciung Wanara lebih kuat karena dierami oleh naga
Nagawiru. Dalam pertarungan berdarah ini, ayam sang Raja kehilangan nyawanya dalam
pertarungan dan raja terpaksa memenuhi janjinya untuk memberikan Ciung Wanara setengah
dari kerajaannya.

Ciung Wanara menjadi raja dari setengah kerajaan dan membangun penjara besi yang
dibangun untuk mengurung orang-orang jahat. Ciung Wanara merencanakan siasat untuk
menghukum Prabu Barma Jaya dan Dewi Pangrenyep. Suatu hari Prabu Barma Jaya dan
Dewi Pangrenyep diundang oleh Ciung Wanara untuk datang dan memeriksa penjara yang
baru dibangun. Ketika mereka berada di dalam, Ciung Wanara menutup pintu dan mengunci
mereka di dalam. Dia kemudian memberitahu orang-orang di kerajaan tentang perbuatan
jahat Barma dan Pangrenyep, orang-orang pun bersorak.

Namun, Hariang Banga, putera Dewi Pangrenyep, menjadi sedih mengetahui tentang
penangkapan ibunya. Ia menyusun rencana pemberontakan, mengumpulkan banyak tentara
dan memimpin perang melawan adiknya. Dalam pertempuran, ia menyerang Ciung Wanara
dan para pengikutnya. Ciung Wanara dan Hariang Banga adalah pangeran yang kuat dan
berkeahlian tinggi dalam seni bela diri pencak silat. Namun Ciung Wanara berhasil
mendorong Hariang Banga ke tepian Sungai Brebes. Pertempuran terus berlangsung tanpa

24
ada yang menang. Tiba-tiba muncullah Raja Prabu Permana Di Kusumah didampingi oleh
Ratu Dewi Naganingrum dan Uwa Batara lengser.

"Hariang Banga dan Ciung Wanara!" kata Raja, "Hentikan pertempuran ini
adalah pamali ("tabu" atau "dilarang" dalam bahasa Sunda dan Jawa) - berperang melawan
saudara sendiri. Kalian adalah saudara, kalian berdua adalah anak-anakku yang akan
memerintah di negeri ini, Ciung Wanara di Galuh dan Hariang Banga di timur sungai Brebes,
negara baru. Semoga sungai ini menjadi batas dan mengubah namanya dari Sungai Brebes
menjadi Sungai pamali untuk mengingatkan kalian berdua bahwa adalah pamali untuk
memerangi saudara sendiri. Biarlah Dewi Pangrenyep dan Barma Wijaya yang dahulu adalah
Aria Kebonan dipenjara karena dosa mereka." Sejak itu nama sungai ini dikenal sebagai
Cipamali (Bahasa Sunda) atau Kali Pemali (Bahasa Jawa) yang berarti "Sungai Pamali".

Hariang Banga pindah ke timur dan dikenal sebagai Jaka Susuruh. Dia mendirikan
kerajaan Jawa dan menjadi raja Jawa, dan pengikutnya yang setia menjadi nenek
moyang orang Jawa. Ciung Wanara memerintah kerajaan Galuh dengan adil, rakyatnya
adalah orang Sunda, sejak itu Galuh dan Jawa makmur lagi seperti pada zaman Prabu
Permana Di Kusumah. Saat kembali menuju ke barat, Ciung Wanara menyanyikan legenda
ini dalam bentuk Pantun Sunda, sementara kakaknya menuju ke timur dengan melakukan hal
yang sama, menyanyikan cerita epik ini dalam bentuk tembang.

Wawacan Sasakala Ciung Wanara


a. Pupuh Sinom
Aya hiji karajaan, karajaan di Ciamis, Raja boga istri dua, boga budakna lalaki, istrina
nu ka hiji, wasta Dewi Naganingrum, tilu bulan ngantosna, di pasih putra lalaki, lantaran
Dewi Pangrenyepna sirikan.
Dipeceun eta anakna, digantikeuna ku anjing, Rajana ambek-ambekan, anak dipiceun ku aki,
dipulung aki nini, nyangsang di paragi lauk, ngan acan boga ngaran, di ajak ulin ku aki, ku
aki di aranan ciung wanara.
b. Pupuh Maskumambang
Si Ciung bogaeun hayam sok di tanding, tandingna sok meunang, harita ciung rek indit,
inditna ka karajaan.
Di alun-alun Ciung papanggih patih, nangtang mgadu hayam, nangtangna ka Raja sakti,
ngarana Prabu Kusumah.
c. Pupuh Kinanti

25
Ciung tadonan jeung Prabu, prak hayamna langsung tanding, elehna hayam Wanara,dibawa
ka Cibarani, eta hayam di mandian, akhirna teh meunang tanding.
Tuluy papanggih jeung indung, ngarana nyaeta Dewi, Naganingrum teh tuluy na, meunangna
saparo Nagri, si Ciung teh meuni bungah, kawasana Cipamali.18
d. Naskah Nitisruti
Sebuah naskah kuno sarat akan makna dan nilai kearifan hidup. Namanya Nitisruti. Diduga
berasal dari Tatar Sunda. Nitisruti, Bahasa Sansekerta, terdiri dari kata niti dan sruti. Niti bisa
berarti “cara menjalankan kebenaran”, “tingkah laku yang benar”, “peraturan”,
“kebijaksanaan”,”ilmu tata negara”, atau “rencana yang ditimbang dengan baik”. Sedangkan
sruti, artinya “pemberitahuan”, “ilmu pengetahuan suci yang disebarluaskan”, atau “kitab
suci tentang tuntunan kebenaran”. Nitisruti dapat disimpulkan sebagai kitab pedoman atau
aturan hidup di dunia (ageman) demi kebaikan umat manusia. Naskah ini memuat ajaran-
ajaran moral. Termasuk jfuga, hal-hal mistik.

Naskah Nitisruti kini menjadi koleksi Balai pengelolaan Museum Sri Baduga ditulis
dengan tinta hitam di atas kertas watermarks bergaris, warna krem kecoklatan. Teks ditulis
dengan cara Cacarakan. Berbahasan Jawa Kuno, Jawa Pertengahan dan Jawa Baru. Pada
kolofon tertera, naskah ditulis pada tanggal 15, bulan Sura, tahun Wawu (1513 Masehi). Bila
melihat pada kertas yang digunakan, yang berasal dari abad ke-19 Masehi, naskah Nitisruti
ini jelas merupakan sebuah salinan dari naskah yang lebih tua. Juga, merupakan naskah
gubahan yang disusun dalam bentuk tembang macapat. Tembang ini mengisyaratkan
kehadiran orang lain dalam penulisan naskah.

Identitas penulis, ataupun penyalin Nitisruti, tak diketahui (anonim). Meskipun


demikian dapat diperkirakan, ia adalah seorang guru, kyai, pendeta atau pujangga hidup pada
sekitar tahun 1513 Masehi. Ia menguasai soal-soal ajaran agama, atat kehidupan masyarakat,
atau aturan-aturan hukum. Ia mempunyai hubungan dekat dengan kalangan istana, atau
masyarakat di Tanah Jawa. Pengetahuan tentang kebudayaan leluhur rupanya juga
dikuasainya. Dan yang pasti, ia memiliki pengetahuan tentang agama Hindu, Buddha dan
Islam. Ini tampak pada penyebutan Kanjeng Nabi, Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, Haji
Saka, Empu Widayaka, Wiradarma, Astabrata, Sabdatama, Hyang Brahma, Hyang Bayu,
Sanghyang Yama, Sanghyang Candra, Dewa Indra, atau Sanghyang Kuwera. Penulis

18
http://novitalianurilamsari.blogspot.com/2017/12/wawacan-basa-sunda-wawacan-sasakala.html diakses pada
tanggal 31 Oktober 2019 pukul 05:59 WIB

26
Nitisruti ini diduga berasal dari Tatar Sunda, karena penyebutan Hyang lebih dominan
daripada Dewata.

Naskah Nitisruti intinya berisi tentang ajaran atau pedoman hidup yang patut
diteladani. Ajarannya dimaksudkan bagi kehidupan manusia untuk mencapai kemajuan,
kesejahteraan, keselamatan, dan kedamaian. Selain moralitas atau tatakrama, Nitisruti juga
berbicara tentang hukum, filsafat, sastra, atau pengetahuan lainnya yang berkaitan dengan
upaya manusia dalam mencari ketenangan dan kebahagiaan, berdasarkan kebenaran. Dahulu
para ahli bahasa memang sangat terpikat pada pengetahuan tentang kehidupan sejati.

Dalam ajaran Nitisruti, yang harus disembah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Pencipta
alam semesta. Nabi, pendeta, cendikiawan, atau para dewa, semuanya hanyalah perantara,
yang sudah menguasai pengetahuan tentang kebenaran sejati. Namun kebenaran yang
demikian itu, sesungguhnya tak terbuka dalam hati manusia yang tidak memiliki
pengetahuan, pemikiran, atau budi pekerti dan budi bahasa yang baik. Oleh karena itu,
haruslah kita terus berusaha mengambil teladan dari para nabi, pendeta, dewa (hyang), dan
cendikiawan yang sudah menjadi kemuliaan sejati. Manusia yang telah memahami hal
tersebut, dikatakan sebagai sarana sejati. Inilah tujuan utama ajaran Nitisruti.

Nilai-nilai kearifan dalam naskah Nitisruti kiranya dapat menjadi acuan hidup bagi
orang banyak. Sebagaimana konsep tindakan dan pikiran, misalnya, Nitisruti mengajarkan
bahwa untuk melakukan suatu tindakan, sebelumnya kita harus menstimulasi tindakan
tersebut dalam pikiran kita, dengan mempertimbangkan kemampuan dan tujuan yang hendak
dicapai. Kemampuan yang dapat diterapkan dalam melakukan tindakan, merupakan hasil dari
pemikiran yang tepat. Di sini, niat dan tekad juga harus sanggup bersatu. Apalagi dalam
melakukan pekerjaan yang berat. Yang memiliki banyak kesulitan. (Sri Mulyati, dari
berbagai sumber).19

19
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/nitisruti-naskah-anonim-sarat-makna/ diakses pada tanggal 31
Oktober 2019 pukul 06:01 WIB

27
Gambar: Naskah Wawacan Ciungwanara sumber: Museum Sri Baduga

6. Naskah Nitisruti

Gambar: naskah Nitisruti Sumber: Museum Sri Baduga

28
Naskah ditulis dalam kertas lokal, isi naskah menguraikan suatau ajaran pedoman
hidup didunia yang patut diteladani oleh manusia tentang moralitas, tatakrama, hukum,
filsafah dan kesusastraan. 20

Sebuah naskah kuno sarat akan makna dan nilai kearifan hidup. Namanya nitisruti,
bahasa sangskerta, terdiri dari kata niti dan sturi. Niti bisa berarti “cara menjalankan
kebenaran”tingkah laku yang benar” “peraturan”, “kebijaksanaan”, “ilmu tatanegara”, “atau
rencana rangcangan yang ditimbang dengan baik. Sedangkan sruti, artinya “pemberitahuan”,
ilmu pengetahuan suci yang disebarluaskan atau kitab suci tentang tuntunan kebenaran.
Nitisruti dapat disimpulkan sebagai kitab pedoman atau aturan hidup didunia (ageman) demi
kebaikan umat manusia. Naskah ini memuat ajaran-ajaran moral. Termasuk juga hal-hal
mistik.

7. Naskah Balbuhak Babad Cirebon

Gambar: Naskah Balbuhak Babad Cirebon Sumber: Museum Sri Baduga

Naskah ditulis pada kertas saeh, berisi tentang naskah cirebon yang menguraikan juga
cacatan dialog para wali mengenai ketuhanan. Naskah ini diperkirakan ditulis pada abad ke-
19 M. Naskah ini berbentuk wawacan atau (pupuh) yang terdiri dari sepuluh pupuh, yaitu
Dangdanggula, Kinanti, Kasmaran, Magatru, Balakbabk, Mijil, Sinom, Maskumambang,
Pangkur, Dan Durma.21
8. Naskah Babad Banten
Naskah ini ditulis diatas kertas Daluang yang menceritakan untaian peristiwa
sejarah yang terjadi di Banten. Diawali dengan cerita bagaimana Gajah Mada berhasil
mengembangkan Majapahit. Sampapi menjadi kerajaan besar, kemudian menyerang kerajaan

20
Museum Sri Baduga (no. Inv. :07.98. Ciamis).
21
Museum Sri Baduga (no. Inv. :07.01. Cirebon).

29
Palembang, kemudian proses Islamisasi di Mataram sampai hubungan dengan pihak asing
(Belanda).22

Naskah yang berjudul babad Banten ini berisi tentang sejarah berdirinya kerajaan
Banten, silsilah raja-raja yang pernah mwmwrintah kerajaan Banten, silsilah raja-raja yang
pernah memerintah kerajaan Banten, bahkan silsilah dimulai dengan adanya Nabi Adam AS.

Banten merupakan wilayah kerajaan yang berbentuk kesultanan dipimpin oleh


seorang sultan. Selain itu, dalam babad Banten ini diceritakan pula tentang Sunan Gunung
Djati yang telah menurunkan Sultan-sultan yang memerintah di Banten, mula dari sultan
Hasanudin sampai kepada sultan Ishak.23

Gambar: Naskah Babad Banten Sumber: Museum Sri Baduga

9. Naskah Pustaka Rajya-Rajya I Bumi Nusantara 5.1

22
Museum Sri Baduga (no. Inv. :07.74. Cirebon).
23
Mulyana, Nana Dkk. 2008. Katalog Nasah Kuno Museum Sri Baduga. Bandung: Balai Pengelolaan Museum
Sri Baduga

30
Gambar: Naskah Pustaka Radjya-Radjya I Bhumi Nusantara 5.1

Sumber: Museum Sri Baduga

Naskah berbahan kertas daluang, isi naskah diawali dengan hubungan perdagangan
antara negeri-negeri sebrang dengan pulau-pulau dibumi Nusantara yang sangat ramai. Kisah
permusuhan dikerajaan Padhya, Cola, dan Cera, menjadi perang yang berkeppanjangan.
Kemudian penyerangan Sanjaya kepada Galuh yang tiba-tiba dan berhasil membunuh Prabu
Purbhasura dan menjadi Sanjaya sebagai raja Sunda dan Galuh. Penyerangan Sanjaya
terhadap Kuningan yang dibantu oleh ayahnya, sang Sena. Sanjaya melanjutkan penyerangan
penyerangan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.24

Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara, adalah sebuah karya sastra dalam bahasa
Jawa Kuno yang berasal dari Cirebon. Konon karya sastra ini merupakan bagian dari Naskah
Wangsakerta yang diprakarsai oleh Panitia Pangeran Wangsakerta.

Isi buku ini terutama mengenai sejarah, dan terutama sejarah kerajaan-kerajaan di
bumi Nusantara, seperti disebut dalam judulnya.

Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara dibagi ke dalam lima "parwa" (bab), yang
masing-masing berjudul tersendiri:

1. Pustaka Kathosana Rajyarajya i Bhumi Nusantara


2. Pustaka Rajyawarnana Rajyarajya i Bhumi Nusantara
3. Pustaka Kertajaya Rajyarajya i Bhumi NUsantara

24
Museum Sri Baduga (no. Inv. :07.60. Cirebon).

31
4. Pustaka Rajakawasa Rajyarajya i Bhumi Nusantara
5. Pustaka Nanaprakara Rajyarajya i Bhumi Nusantara.25

10. Naskah Kisah Nabi Yusuf

Gambar: Naskah Kisah Nabi Yusuf

Naskah ditulis di daun lontar dengan menggunankan aksara cacarakan berbahasa Jawa
Kuna. Teks diubah dalam bentuk prosa, isinya meriwayatkan kisah Nabi Yusuf sejak
kelahirannya sampai menjadi Nabi.26 Ukurannya tidak tercantum dalam di papan informasi,
tetapi dapat diperkirakan memiliki panjang 40 cm dengan lebar 5 cm. Setiap halaman terdiri
dari empat baris tulisan. Jumlah halaman lebih dari 40 lembar. Tampak kayu pengapit
dibagian atas dan bawah lempiran lontar sebagai jilid untuk menyatukan halaman. Halaman
disatukan dengan benang kasur berwarna putih. Kondisinya sangat baik, tulisan terbaca jelas
berwarna hitam.27

Yusuf adalah seorang nabi yang memiliki kemampuan menafsirkan mimpi serta
dikenal sebagai pemangku kuasa di Mesir yang telah menyelamatkan dunia menghadapi
wabah kelaparan melalui kebijaksanaannya. Yusuf merupakan anak kedua belas nabi Ya'qub
bin Ishaq bin Ibrahim. Ia juga merupakan anak sulung Rahil, serta memiliki seorang adik
kandung yakni Bunyamin.

25
https://id.wikipedia.org/wiki/Pustaka_Rajya_Rajya_i_Bhumi_Nusantara
26
Museum Sri Baduga (no. Inv. :07.109. Cirebon).
27
https://www.kairaga.com

32
Nama Yusuf diabadikan dalam surah kedua belas di kitab Al-Quran, serta disebut
sebanyak 27 kali di kitab ini. Riwayat hidup Yusuf juga dikisahkan secara khusus dalam
surah tersebut yang Allah sebut sebagai "kisah terbaik dalam Al-Quran."

Sebelum mencapai masa kejayaannya di Mesir, perjalanan hidup Yusuf dipenuhi


berbagai rintangan. Semisal adanya kebencian dan iri dari putra-putra Ya'qub akibat hasutan
setan yang membuat mereka hendak membunuh Yusuf hingga hukuman penjara di Mesir
akibat fitnah keji dari istri pejabat kerajaan Mesir.

Ketika Ya'qub telah dikaruniai sepuluh putra, ia tetap bertahan selama bertahun-tahun
menantikan seorang anak dilahirkan oleh istri kesayangannya, Rahil. Sebab semua putra yang
dilahirkan untuknya terasa tidak sebanding apabila wanita yang paling dicintainya memberi
seorang putra yang selama ini diidamkan. Untuk mewujudkan hal ini, Ya'qub beserta seisi
rumahnya mengadakan ibadah doa secara bertekun agar Allah mengaruniakan putra melalui
Rahil. Allah pun mengabulkan doa mereka dengan kehamilan Rahil.

a. Kelahiran Nabi Yusuf

Sewaktu melahirkan Yusuf, Rahil bersyukur bahwa Allah telah menghapus aib dari
dirinya serta memohon supaya Allah memberikan seorang anak lagi melalui dirinya. Ya'qub
merasa sangat bahagia sebab penantiannya berakhir dengan adanya Yusuf sebab mengetahui
bahwa Yusuf adalah putra yang ditakdirkan untuk menyelamatkan keturunan Ya'qub
menghadapi berbagai kesulitan. Terlebih lagi, kisah hidup Yusuf adalah gambaran dari
perjalanan hidup sang ayah. Sebagaimana Rahil menantikan Yusuf untuk waktu yang lama,
demikian pula Ribkah menantikan Ya'qub. Sebagaimana Ibunda Yusuf mengalami rasa perih
dalam persalinannya, demikian juga Ibunda Ya'qub. Sebagaimana Yusuf mempunyai seorang
saudara kandung, yakni Bunyamin, demikian pula Ya'qub mempunyai seorang saudara
kandung, yakni Ishau. Sebagaimana Yusuf bekerja keras dibawah tekanan seorang wanita,
demikian pula Ya'qub bekerja keras hanya demi memperoleh seorang wanita. Walaupun
Yusuf bukan anak pertama, tetapi ia berhak menerima warisan anak sulung, demikian juga
Ya'qub. Sebagaimana Yusuf dibenci oleh sejumlah saudaranya, demikian pula Ya'qub
dibenci oleh saudaranya. Sebagaimana Yusuf merupakan anak kesayangan orang tuanya,
demikian juga Ya'qub. Baik Yusuf maupun Ya'qub pernah tinggal bertahun-tahun di negeri
asing. Baik Yusuf maupun Ya'qub pernah bekerja kepada majikan yang diberkati Allah
secara berlimpah akibat kesalehan keduanya. Baik Yusuf maupun Ya'qub disertai oleh sosok
malaikat pelindung yang menjaga keselamatan keduanya. Baik Yusuf maupun Ya'qub

33
mendapat pertanda yang besar melalui mimpi. Baik Yusuf maupun Ya'qub dikaruniai
kekayaan berlimpah dalam hidup mereka. Baik Yusuf maupun Ya'qub meninggal di negeri
Mesir. Baik jasad Yusuf dan Ya'qub dikebumikan di negeri Palestina. Selama 17 tahun
Ya'qub mengurus kebutuhan hidup Yusuf, selama itu pula Yusuf mengurus kebutuhan hidup
Ya'qub di Mesir.

Dengan lahirnya Yusuf, Ya'qub hendak menyudahi masa pengembaraannya di negeri


Haran agar ia bisa kembali ke negeri asalnya dengan membawa serta seluruh keluarganya.[4]
Namun, Laban tidak serta merta memberikan izin untuk Ya'qub meninggalkan negeri Haran.
Disertai perdebatan keras, Ya'qub bersama seisi rumahnya akhirnya berhasil pulang ke negeri
asalnya setelah mengadakan kesepakatan dengan Laban. Walau sempat pula berhadapan
dengan Ishau dan pasukannya, Ya'qub berdamai dengan sang kakak. Sebelum mencapai
wilayah Kana'an, Rahil melahirkan Benyamin, adik kandung Yusuf.

b. Masa Muda Nabi Yusuf

Yusuf dan Bunyamin diasuh secara langsung oleh sang ayah sebagai pengganti sang
ibu yang telah meninggal dunia. Oleh karena kedekatan Ya'qub dengan kedua putra Rahil,
saudara-saudara Yusuf yang lain menganggap sang ayah memperlakukan keduanya secara
istimewa. Terdapat alasan khusus bagi Ya'qub mengistimewakan Yusuf dibanding anak-
anaknya yang lain,[11] Ya'qub yang bergelar seorang nabi memiliki ilmu khusus beserta
kelebihan yang tidak dimiliki oleh manusia biasa, ia memahami sebuah pertanda bahwa
keturunannya tidak akan selamat apabila Yusuf telah mati ketika dirinya masih hidup. Oleh
sebab itu, Ya'qub sangat memperhatikan keselamatan Yusuf dan mengawasi secara khusus
keadaan putra kesayangannya setiap waktu.

Selain dari penilaian sang ayah, sosok Yusuf sendiri mewarisi kenabian dan kelebihan
khusus yang dimiliki oleh kedua leluhurnya, Ibrahim dan Ishaq, yang dipilih secara khusus
oleh Allah untuk menerima ajaran langka yang hanya dimiliki dalam keluarga Ibrahim.[12]
Hal ini tampak ketika Yusuf mendapati mimpi bahwa sebelas bintang, matahari serta bulan
bersujud terhadap Yusuf. Saat mendengar hal ini dari Yusuf, Ya'qub memahami makna
mimpi ini sebagai isyarat keistimewaannya dibanding anak-anak Ya'qub yang lain. Ya'qub
juga melarang Yusuf menceritakan hal demikian kepada saudara-saudaranya yang dapat
mengakibatkan setan menghasut mereka merencanakan tipu daya terhadap dirinya.

34
Akibat adanya perlakuan khusus terhadap Yusuf, salah satu anak Ya'qub pun
mengeluhkan sikap sang ayah yang dianggap tidak adil terhadap anak-anaknya yang lain.
Bahkan terdapat salah seorang dari mereka yang berniat membunuh ataupun mengasingkan
Yusuf agar kasih sayang sang ayah beralih kepada mereka saja. Akan tetapi rencana ini
ditolak sewaktu seorang anak Ya'qub menyarankan supaya melempar Yusuf kedalam ke
dasar sumur agar dibawa oleh kaum saudagar yang melintas. Mereka pun berencana
mengajak Yusuf pergi lalu melemparkannya ke dalam dasar sumur. Meskipun demikian,
Ya'qub tidak serta merta memberi kepercayaan kepada mereka untuk melindungi Yusuf
sewaktu mereka berpergian sebab Ya'qub khawatir bahwa anak kesayangannya akan
diterkam oleh serigala. Namun mereka tetap berusaha meyakinkan sang ayah serta
menyatakan bahwa mereka adalah golongan yang lemah jika Yusuf sampai diterkam serigala.

Tatkala Yusuf bersama saudara-saudaranya telah berangkat meninggalkan rumah,


mereka melaksanakan rencana untuk melempar Yusuf ke dasar sumur. Sebelum melempar
Yusuf, mereka melepaskan baju Yusuf yang kemudian dibawa sebagai bukti tentang kabar
kematiannya. Ketika Yusuf berada di dalam sumur, Allah berfirman kepadanya bahwa kelak
ia akan menceritakan kejadian ini kepada mereka sewaktu mereka telah melupakannya.
Ketika saudara-saudara Yusuf pulang di waktu senja hari, mereka berpura-pura menangis
seraya menunjukkan jubah Yusuf yang telah dilumuri darah sebagai bukti bahwa ia telah
diterkam serigala. Walau demikian, Ya'qub tidak seketika mempercayai hal yang diceritakan
oleh anak-anaknya, ia memilih bersabar dan beserah diri kepada Allah atas kebenaran cerita
yang mereka sampaikan.

Setelah berada di penjara Mesir akibat difitnah oleh Zulaikha, Yusuf masih tetap
menerima cobaan dari wanita ini. Zulaikha menyatakan bersedia menebus Yusuf dari dalam
penjara apabila ia menuruti rayuannya, tetapi Yusuf tetap bersabar dan tak begeming dari
keputusannya semula untuk menahan diri dari melakukan tindakan buruk.[4] Oleh karena
kepribadiannya yang baik dan cerdas, Yusuf dipercaya oleh penjaga penjara sebagai
pengawas para tahanan.

c. Sang Penafsir Mimpi

Beberapa waktu kemudian, terdapat upaya pembunuhan terhadap Fir'aun yang


dilakukan oleh seorang tukang roti dan tukang pemeras anggur kerajaan. Keduanya dituduh
bersalah atas percobaan pembunuhan sehingga harus ditahan dalam penjara yang juga dihuni
Yusuf. Beberapa waktu kemudian, baik tukang roti maupun tukang anggur ini mendapati

35
mimpi misterius yang menggelisahkan pikiran keduanya. Keduanya pun mencoba bertanya
kepada Yusuf yang dianggap cerdas dalam menafsirkan perkara-perkara yang rumit.

Sebelum menjawab pertanyaan ini, Yusuf menjelaskan agamanya kepada kedua


tahanan ini dengan berkata bahwa ia telah meninggalkan agama dari orang-orang yang tak
percaya kepada Allah serta yang tak meyakini adanya hari akhir. Yusuf juga menyatakan
dirinya adalah pengikut agama para leluhurnya, agama Ibrahim, Ishaq, dan Ya'qub bahwa
tidaklah patut bagi dirinya mempersekutukan sesuatupun dengan Allah, serta menyadari
bahwa sebagian besar manusia tidak bersyukur. Yusuf bertanya tentang perbandingan antara
dewa yang bermacam-macam dengan Allah yang Tunggal, bahwa nama-nama sembahan
mereka selain Allah merupakan nama-nama yang diada-adakan oleh kaum leluhur mereka
walaupun Allah tidak menghadirkan keterangan apapun tentang sembahan tersebut.
bahwasanya Hukum adalah kewenangan Allah serta Allah telah memerintahkan supaya tidak
mengabdi kepada selain Dia tetapi sebagian besar manusia tidak memahami hal demikian.

Yusuf menafsirkan mimpi kedua tahanan ini bahwa salah seorang dari mereka akan
memberi minum anggur kepada raja Mesir, sedangkan seorang lain akan disalib lalu burung
memakan sebagian kepalanya. Yusuf juga berpesan kepada tahanan yang akan selamat
supaya menceritakan tentang keadaan dirinya kepada sang raja. Akibat tukang anggur itu
lupa atas bantuan Yusuf, sang nabi masih harus berada di dalam penjara.[23] Ketika Fir'aun
mengalami mimpi-mimpi yang aneh, ia merasa cemas sebab hal demikian selalu menghantui
pikirannya. Bahkan para ahli tafsir mimpi di kerajaan Mesir tiada yang sanggup menyingkap
makna dibalik mimpi ini.

Mendapati mimpi Fir'aun ini, tukang anggur teringat tentang Yusuf yang pernah
menafsirkan secara tepat mimpinya dahulu maka ia meminta Fir'aun mengutusnya untuk
bertanya kepada Yusuf tentang penafsiran mimpi tersebut. Setelah menemui Yusuf, tukang
anggur mendapat tafsiran dari Yusuf bahwa mimpi Fir'aun bermakna supaya mereka
bercocok tanam selama tujuh tahun kemudian setelah masa panen sebagian besar biji yang
dituai agar disimpan baik dengan sedikit yang disiapkan untuk kebutuhan makanan,
kemudian akan datang tujuh tahun paceklik, yang menghabiskan persediaan yang tersimpan
untuk menghadapinya, kecuali sebagian kecil dari simpanan makanan, setelah itu akan datang
masa yang padanya manusia diberi hujan dan pada masa itu mereka memeras anggur.

Setelah mendengar kesaksian dari tukang anggur kerajaan, Fir'aun memerintahkan


supaya Yusuf hadir menghadap dirinya. Sewaktu mendengar permintaan Fir'aun, Yusuf ingin

36
mengetahui tanggapan raja tentang kesaksian para wanita yang pernah melukai tangan
sewaktu memandang dirinya. Ketika mengetahui bahwa Yusuf tidak berbuat buruk terhadap
mereka sehingga istri majikannya pun mengakui kesalahannya, sang raja Mesir menyadari
bahwa Yusuf adalah orang yang tepercaya dan gentar terhadap Tuhan. Yusuf juga
menyatakan bahwa ia tidak membiarkan nafsu menguasai dirinya sebab nafsu selalu
cenderung terhadap hal keji terkecuali nafsu yang berasal dari rahmat Allah. Fir'aun pun
menunjuk Yusuf sebagai penasehat kepercayaan yang berkedudukan istimewa dalam istana
Mesir, sehingga ia memiliki kewenangan khusus di seluruh negeri.28

11. Serat Ambiya I


Menceritakan tentang Allah SWT sebagai sang pencipta yang mana telah
menciptakan bumi, langit, surga, serta neraka. Dalam Serat Ambiya I menyebutkan secara
rinci kebesaran Allah yang maha pencipta dan mengetahui. Yang didalam Serat Ambiya I
juga menyebutkan mengenai petunjuk Al-Qur’an yang didalam Serat Ambiya I bentuknya
berupa kitab Al-Qur’an . serta menjelaskan terjadinya malaikat di bumi dan penerus Nabbi
yakni Khalifah.29

28
https://id.wikipedia.org/wiki/N%D0%B0bi_Yusuf
29
https://wibiaksa.blogspot.com

37
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Museum Sri Baduga Bandung menyinpan kurang lebih ratusan koleksi tentang naskah
kuno yang berasal dari daerah Jawa Barat. Museum Sri Baduga terus berupaya
mengumpulkan naskah kuno dari daerah Jabar, saat ini sudah terkumpul 147 naskah kurang
lebihnya. Naskah-naskah tersebut, ditulis dengan menggunakan menggunakan hurup kuno
seperti hurup Suna kuno, Jawa kuno hingga bertuliskan pallawa.
Hampir sebagian besar naskah itu, kata stap yang disana dipengaruhi oleh budaya
India karena kebanyakan berasal dari zaman yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan
Hindu. Naskah yang memiliki nilai tinggi dan mengungkap sosial budaya masyarakat Sunda
tempo dulu itu dituliskan idaun lontar, kertas Eropa, logam an kayu yang masih terawat di
mesium Sri Baduga Bandung.

38
DAFTAR SUMBER

Museum Sri Baduga jl. PETA kota BANDUNG

Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI)

https://sains.kompas.com

J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain: 1994

Suryani Ns (2012: 3) Filologi

Dain dalam Sri Wulan Rujiati Mulyadi, 1994: 2–3

Suryani Ns, 2012: 4

Sejarah Hidup Muhammad, Muhammad Husein Haekal, (Jakarta:Litera Antarnusa, 1990,


Cet. 12)

https://id.wikipedia.org/wiki/

https://baraya-pasundan.blogspot.com/2016/07/pengertian-pupuh-sunda-dan-contohnya.html

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/nitisruti-naskah-anonim-sarat-makna/

https://wibiaksa.blogspot.com

39
40

Anda mungkin juga menyukai