Anda di halaman 1dari 17

IDENTITAS MATA KULIAH

Mata Kuliah : Pengantar Filologi


Sks : 2 Kode: IND1.62.1011
Bahan Kajian : Menulis Laporan Bacaan (Book Report)
Pertemuan ke : 10 - 17
Program Studi : Sastra Indonesia
Fakultas : Bahasa dan Seni
Dosen : Dr. Nurizzati, M. Hum.

LAPORAN BACAAN ISI MATERI


1. ANEKA EDISI TEKS NUSANTARA
Telaah naskah nusantara telah menghasilkan edisi berbagai naskah nusantara. Edisi teks
yang telah dikerjakan oleh berbagai kalangan dan kualifikasi yang berbentuk skripsi,
tesis, disertasi, dan penelitian proyek itu dikelompokan menjadi dua bentuk kajian, yaitu
telaah naskah tunggal dan telaah naskah jamak.
A. TELAAH NASKAH TUNGGAL NASKAH-NASKAH NUSANTARA
Berbentuk skripsi ada juga bentuk penelitian proyek.
1) Telaah Naskah Tunggal Berbentuk Skripsi
Telaah naskah tunggal berbentuk skripsi untuk meraih gelar sarjana sastra
yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Negeri Padang ada 10 judul. Penulisnya
antara lain Kobir, Sasdal Welif, Yulfira Riza, Betty Fauzaini, Delvira, Miche Haryani,
Eka Darma, Siska Dona Putri, Siska Afriani, dan Afria Dewinda. Ini dikerjakan dengan
metode standar. Dilakukan dengan mantransliterasi dan menyajikan terjemahan teks
dalam bahasa Indonesia.
3 judul skripsi yang bisa didapatkan datanya :
 Kritik dan Edisi Teks Adat dan Undang-undang Minangkabau Karya Syekh
Uanhalama
Skripsi yang berjudul “Kritik dan Edisi Teks Adat dan Undang-undang
Minangkabau Karya Syekh Uan Salih” ini ditulis oleh Betty Fauzaini, tahun 2003.
Naskah Adat dan Undang-undang Minangkabau Karya Syekh Uan Salih ini
berbahasa Melayu dan bertulisan Arab Melayu. Tebal naskah 71 halaman dan 23
baris per halaman.
 Kaba Mamak Si Hetong: Suatu Tinjauan Filologis
Skripsi yang berjudul “Kaba Mamak Si Hetong: Suatu Tinjauan Filologis ditulis
oleh alumni Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
1
dan Daerah, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang yang bernama
Yulfira Riza tahun 2005. Kaba “Mamak Si Hetong” adalah salah satu naskah
Minangkabau yang ditulis dengan aksara Arab Melayu berbahasa Minangkabau
 “Kritik dan Edisi Teks Naskah Tambo Alam Minangkabau di Luhak Nan
Tigo Lareh Nan Duo Jilid Satu Datuak Rajo Diaceh”.
Skripsi yang berjudul “Kritik dan Edisi Teks Naskah Tambo Alam Minangkabau di
Luhak Nan Tigo Lareh Nan Duo Jilid Satu Datuak Rajo Diaceh”. ditulis oleh Afria
Dewinda tahun 2013.
2) Telaah Naskah Tunggal Berbentuk Laporan Penelitian
Biasanya dilakukan oleh tenaga ahli yang telah memiliki gelar akademik.
Dilakukan berdasarkan proyek pemerintah di bawah naungan Depdiknas dan dibiayai
dengan anggaran pemerintah yang dikelola oleh Pusat Bahasa atau Direktorat
Pendidikan Tinggi. Tiga edisi teks naskah tunggal:
 Pak Belalang (Naskah Melayu)
Sebagaimana yang ditulis oleh Mu’djizah (2003:6.2-6.3), penelitian yang diberi
judul Pak Belalang: Suatu Cerita Melayu adalah edisi naskah tunggal. Penelitian ini
dikerjakan oleh Maria Indra Rukmi dan diterbitkan di Jakarta oleh Proyek
Penerbitan Buku Bacaan Sastra dan Daerah, tahun 1978. Pada bagian pendahuluan
dikatakan bahwa naskah dengan nomor W.212, terdiri atas dua teks, Pak Belalang
dan cerita Lebai Malang. Keduanya berasal dari sastra Melayu. Meskipun naskah itu
terdiri atas dua teks, Indra Rukmi hanya mengambil satu teks sebagai bahan kajian
dalam penelitiannya yaitu, “Pak Belalang” Dalam bab satu ia memfokuskan
pembicaran pada pernaskahan.
Bab dua merupakan bagian analisis. Pada bagian itu dikatakan meskipun teks Pak
Belalang itu teks tertulis, tetapi pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sastra
lisan atau cerita rakyat. Bagian ini diberi judul “Latar Belakang Cerita Humor”.
 Basimalin (Naskah Minangkabau)
Sebagaimana yang ditulis oleh Mu’djizah (2003:6.3-6.4), penelitian yang berjudul
Naskah Basimalin:Pengantar dan Transliterasi dilakukan oleh Suryadi pada tahun
1998. Penelitian ini diterbitkan di Jakarta oleh Program Penggalakan Kajian
Sumber-sumber Tertulis Nusantara, Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pada
pendahuluan dikatakan bahwa kesastraan Minangkabau pada hakikatnya hidup dari
tradisi lisan. Oleh karena itu, banyak naskah diturunkan dari tradisi lisan.Dalam
cerita itu dikisahkan kehidupan seorang pria bumi yang menikahi bidadari dari
kayangan. Cerita kaba Malin Deman dikenal luas di Minangkabau, tetapi apresiasi
2
atas cerita itu melalui tradisi basimalin bersifat lokal.Dalam bab kedua ia membahas
konteks sosial dan pertunjukan basimalin.
 Serat Panji Angreni (Jawa)
Sebagaimana yang ditulis oleh Mu’djizah (2003:6.4-6.5) Fakultas Sasra Universitas
Indonesia, tahun 1998, menerbitkan sebuah penelitian yang dibuat oleh Karsono H.
Saputra. Judul penelitian itu Aspek Kesastraan Serat Panji Angreni. Dalam
pendahuluan dikatakan bahwa sedisi naskah tidak menjadi tujuan utama dalam
penelitian ini. Tujuan yang ingin dicapai ada dua. Yang pertama adalah
mendeskripsikan unsur-unsur yang membentuk tata bangun teks KBG 185 dan
kedua menemukan hubungan anta unsur pembentuk tata bangun teks
tersebut.Pendekatan objektif dengan penerapan teori Todorov diuraikan mulai bab 2
sampai bab 4. Ketika membahas aspek sintaksis, ia menguraikan urutan sekuen
(setiap ujaran yang membentuk satuan makna) urutan logis (urutan berdasarkan
sebab-akibat), dan urutan temporal (urutan waktu). Dalam aspek semantik tiga hal
yang dikaji, tokoh, latar, (tempat dan waktu) dan tema.

B. NASKAH JAMAK DAN KAJIANNYA


1) Edisi Teks Naskah Jamak Berbentuk Tesis
Sejak dibukanya program S2 bidang kajian filologi di Pascasarjana Universitas
Indonesia, Pascasarjana Univeristas Gadjahmada, dan Pascasarjana Universitas
Padjadjaran awal dekade 80-an, telah banyak penelitian filologi berbentuk tesis
dihasilkan. Yaitu:
a). Kritik dan Edisi Teks Kaba Si Tungga
Penelitian filologi naskah jamak berbentuk tesis yang berjudul “Kritik dan Edisi
Teks Kaba Si Tungga” ini dikerjakan oleh Muhardi pada tahun 1986. Dia mengerjakan
penelitian ini untuk meraih gelar Magister pada Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran di Bandung. Edisi teks Kaba Si Tungga ditulis dalam bahasa Minankabau,
walaupun teks mungkin juga diedisikan ke dalam bahasa Melayu. Halini dilakukan
berdasarkan pertimbangan bahwa teks ini lebih dekat dengan sosio-budaya
Minangkabau daripada Melayu, juga setelah melakukan perbandingan data keadaan
bahasa teks secara kualitatif.
b). Kaba Malin Deman: Sebuah Kajian Filologis
Penelitian filologi naskah jamak berbentuk tesis yang berjudul “Kaba Malin
Deman: Sebuah Kajian Filologis” ditulis oleh Nurizzati untuk persyaratan meraih gelar
Magister Humaniora pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran di Bandung
3
tahun 1994. Titik berat kajian adalah pemulihan teks didasarkan pada perbandingan
naskah Kaba Malin Deman, sehingga ditemukan teks yang dianggap paling dekat
dengan teks aslinya.
Naskah-naskah Kaba Malin Deman ditulis dengan aksara Arab-Melayu, kecuali
3 naskah yang sudah ditransliterasi ke dalam tulisan Latin, dan satu saduran yang juga
sudah ditulis dengan tulisan Latin cetak. Kebanyakan naskah berbahasa Minangkabau.
Karena itu, edisi teks ditulis dalam bahasa Minangkabau dengan menata format sajian
seperti penulisan prosa kaba.
c). Persoalan Transliterasi dan Edisi Teks Hikayat Tuanku Nan Mudo
Pagaruyung (Kaba Cindua Mato)
Telaah filologis naskah jamak yang berjudul “Persoalan Transliterasi dan Edisi
Teks Hikayat Tuanku Nan Mudo Pagaruyung (Kaba Cindua Mato)” ditulis oleh M.
Yusuf berbentuk tesis untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Program
Pascasarjana Universitas Indonesia tahun 1994. Deskripsi untuk sebagian besar
naskah-naskah Kaba Cindua Mato telah dicantumkan di dalam katalogus-katalogus
yang ada itu. Namun, ada ketidaksesuaian dengan yang ada pada naskahnya. Karena
itu, M. Yusuf mendeskripsikan kembali semua naskah yang masih utuh, sebanyak 24
buah. Berdasarkan jalan cerita, naskah-naskah tersebut dikelompokkannya menjadi 13
kelompok.Penyajian edisi teks dilakukan oleh M. Yusuf berdasarkan metode
landasanNaskah ini merupakan naskah yang paling lengkap isi ceritanya dan
dianggapnya paling otonom, dan keadaan naskah tersebut juga cukup baik.
2) Edisi Teks Naskah Jamak Berbentuk Disertasi: Tambo Minangkabau: Suntingan
Teks Disertai Analisis Struktur
Yang dapat dikemukakan di yaitu Tambo Minangkabau: Suntingan Teks
Disertai Analisis Struktur yang ditulis oleh Djamaris (1991). “Naskah Tambo
Minangkabau” tersebut merupakan naskah Minangkabau berbentuk sastra sejarah yang
menceritakan asal-usul suku bangsa, negeri, dan adat-istiadat Minangkabau.
Naskah ini dikategorikan para ahli karya sastra sejarah, tetapi sedikit sekali
ditemukan fakta sejarah. Singkatan isi cerita “Tambo Minangkabau” berdasarkan
naskah Ml. 40 yang disimpan di Perpustakaan Nasional di Jakarta.
a. Ringkasan Isi Cerita
1. Pendahuluan
Dimulai dengan bismilah dan pujian kepada Allah dalam bahasa Arab dan
terjemahannya; Undang-undang Sembilan Pucuk dan pembagiannya, yaitu undang-
undang takluk kepada Raja, penghulu, alam, pakaian, permainan dan bunyi-bunyian,
4
ramai-ramaian, hukum yang terpakai pada alam dan kebesarannya (hlm. 1).
2. Silsilah Keturunan Raja Minangkabau
Nabi Adam berputra 39 orang. Anak itu masing-masing menikah dengan saudaranya,
kecuali yang bungsu. Tuhan telah menakdirkan putranya yang bungsu menjadi raja
turun-temurun. Malaikat membawa putranya itu ke kayangan. semua orang heran
melihatnya. Anak itu kelihatannya bertanduk emas, dan banyak tanda-tanda lainnya
tentang kebesarannya. Anak itu diberi nama oleh Malaikat Iskandar Zulkarnain.
Seorang bidadari dari surga diambil oleh malaikat untuk istri Iskandar Zulkarnain itu
atas firman Allah.
3. Munculnya Tiga Negeri Asal Minngkabau
Setelah beberapa lamanya raja di Puncak Gunung Merapi, laut semakin susut juga
sehingga muncul tiga negeri di kaki gunung gunung itu, yaitu Luak Tanah Datar, Luak
Agam, dan Luak limo Puluah Koto.
4. Asal-usul Negeri Dinamai Pariangan Padang Panjang
Penduduk negeri riang menangkap rusa yang keluar dari laut. Negeri itu kemudian di
beri nama Pariangan karena peristiwa riang-riang menangkap rusa itu. Hulubalang raja
pindah ke negeri Padang Panjang. Berdasarkan peristiwa itu, selanjutnya negeri itu
diberi nama Pariangan Padang Panjang.
5. Pendirian Balai Adat dan Mesjid di Minangkabau
Balai adat didirikan untuk tempat membicarakan hukum adat. Mesjid didirikan pula
untuk tempat membicarakan hukum menurut agama Islam. Balai adat dan mesjid
merupakan lambang berlakunya hukum adat dan hukum Islam di Minangkabau dan
cerminan dari hidup masyarakat yang mensejalankan kehidupan beradat dan beragama.
6. Silsilah Keturunan Datuak Katumanggungan, Datuak Parpatiah Sabatang dan
Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Sri Maharajo Nego-nego
Cati Bilang Pandai menemukan daerah baru. Daulat dipertuaan kawin dengan Indo Jati
di Pariangan Padang Panjang dan berputra seorang laki-laki. Setelah itu Daulat yang
Dipertuan mangkat. Indo Jati kawin lagi dengan Cati Bilang Pandai dan berputra dua
orang laki-laki itu diangkat menjadi penghulu dengan gelar Datuak Prpatiah Nan
Sabatang serta Datuak Sri Maharajo Nego-nego (anak Cati Bilang Pandai)(hlm. 7-8).
7. Kewajiban Mematuhi Petunjuk Penghulu dan Macam-macam Penghulu
Kewajiban mematuhi petunjuk penghulu sesuai dengan firman Allah dalam Quran.
dasarkan adat. Penghulu adalah pemimpin suatu kaum dibedakan dalam empat macam,
yaitu penghulu adalah orang yang senantiasa menyuruh orang berbuat baik dan
melarang orang berbuat jahat, sesuai pula dengan firman Allah dalam Quran (hlm. 8-9).
5
8. Pembagian Negeri dalam Dua Laras
Datuak Katumanggungan, Datuak Parpatiah nan Sabatang, dan Datuak Sri Maharajo
Nego-nego membagi dua negeri dalam dua laras, yaitu Laras Koto Piliang dan Laras
Budi Caniago. Datuak nan Sabatang berbeda pendapat dengan Datuak Katumanggungan
mengenai pembagian negeri itu.
9. Asal-usul Negeri Dinamai Pagaruyung
Daulat yang Dipertuan pindah ke suatu negeri baru itu permaisuri raja, Puti Jamilan
hamil. Ketika anaknya sudah lahir, ia tidak berani membawa bayinya ke sungai karena
buaya banyak waktu itu.
10. Asal-usul Negeri Dinamai Minangkabau
Pada suatu hari datang perahu dari laut membawa kerbau panjang tanduk di Bukit
Gombak. Nahkodanya mengajak Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah nan
Sabatang mengadu kerbau. Datuak yang berdua itu berjanji tujuh hari lamanya.
Sementara itu, dicarinya anak kerbau yang masih menyusu dan diberinya tanduk besi
sembilan cabang. Sewaktu diadakan pertarungan, anak kerbau itu segera menyerbu
kerbau besar itu dengan tujuan hendak menyusu. Kerbau besar itu terluka perutnya oleh
tandu besi yang dipasangkan pada anak kerbau iti sehingga kerbau besar itu mati.
Nahkoda besar mengakui kekalahannya dan menyerahkan semua kekayaannya. Sejak
peristiwa itu, Pulau Perca dinamai Minangkabau. (hlm.10-11).
11. Peristiwa Datangnya Enggang dari Laut
Ketika penghulu-penghulu bermusyawarah di Galundi nan Baselo, dating enggang dari
laut ke Gunung Merapi. Enggang itu ditembak oleh Datuak yang bedua itu, dua letus
bedil berbunyi, menyembur ikan dalam laaut, macam-macam pertanda lain. Telur
enggang itu jatuh sebagai tanda kerjaan akan berdiri (hlm. 11-12).
12. Nasihat Datuak Suri Dirajo
Datuak Suri Dirajo menasihati orang Minangkabau supaya tidak takut mati karena takut
mati termasuk dosa. Segala sesuatu akan berganti seperti bunyi pepatah ,”Patah
Tumbuh, Hilang Baganti”. Hendaklah semua orang Minangkabau bersatu, karena
semuanya sama, tiada lebih dan tiada yang kurang. Dinasihatkan pula agar orang
janganlah dengki. Orang Minrangkabau semalu karena malu belum dibagi. (hlm. 12-
14).
13. Ciri-ciri Laras Koto Piliang dan Bodi Caniago
Laras Budi Caniago bersifat demokratis, mengutamakan musyawarah dan mufakat, dan
menghindari perselisihan. Laras Koto Piliang bersifat aristokratis, menjunjung tinggi
Daulat yang Dipertuan dan tiga pucuk pimpinan negeri, yaitu Datuak Pamuncak,
6
Datuak Indomo dan Tuan Kadi (hlm.15).
14. Ciri-ciri Kebesaran Suatu Negeri
Diceritakan kebesaran negeri Sungai Tarab pamuncak alam, Saruaso puyung panji,
Padang Ganting sudah bendang, Singkarak cermin cina, Batipuah harimau campo,
Pariangan Padang Panjang tangkai alam, Sungai Jambu pasak kungkang, dan Bukit
Batu Patah raja besar (hlm 15).
15. Perang dengan Belanda di Pariaman.
Belanda disuruh Masuk Agama Islam Datuak yang bertiga berlayar ke sungai Solok.
Mereka bertemu dengan tentara Belanda. Tentara Belanda disuruh mereka masuk
agama Islam, tetapi mereka menolak sehingga terjadi perang. Belanda kalah dan
akhirnya mereka mau masuk agama Islam, serta menyerahkan sepuluh goni emas.
Negeri itu dinamai Tiku Pariaman. Seorang cucu Datuak Katumanggungan
ditinggalkannya di sana bernama Si Tunggal Sati. Ia menjadi raja di sana turun-temurun
(hlm. 15).
16. Asal-usul Harta Pusaka Diwariskan kepada Kemenakan
Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Sabatang mufakat pula di Balairung
Panjang hendak berlayar ke negeri Aceh. Dalam pelayaran itu perahunya terdampar di
pasir karena pasang surut. Mulanya semua anak diperintahkan menarik perahu itu, tetapi
semuanya menolak karena takut. Kemudian semua kemenakan diperintahkan menarik
perahu. Semua kemenakan patuh dan berhasil menarik perahu itu ke laut. Perahu itu
berlayar kembali ditarik oleh Sikati Muno dan jin Sikumlambai . Sejak peristiwa itu
diputuskan oleh Cati Bilang Pandai, harta pusaka diwariskan kepada kemenkan karena
kemenakan patuh dan berjasa (hlm.15-16).
17. Pembagian Luak dan Ciri-cirinya
Negeri dibagi dalam tiga luak, yaitu Luak Tanah Datar, Luak Agam, dan Luhak Limo
Puluak Koto. Ciri-cirinya itu adalah Luak Tanah Datar airnya jenih, ikannya jinak,
buminyo dingin; Luak Agam airnya keruh, ikannya liar, buminya hangat; dan Luak
Limo Puluah Koto airnya manis, ikannya banyak, dan buminya tawar (hlm. 17-18).
18. Teka-teki Kayu Tataran
Pada suatu hari datang perahu dari laut ke Bukit Gombak membawa kayu tataran naga
bakik. Nahkodanya mengajak penghulu-penghulu Minangkabau menerka kayu itu mana
ujungnya dan mana pangkalnya dengan taruhan lima peti emas. Kedua laras menyetujui
pertandingan itu. Datuak Suri Dirajo menasihati penghulu-penghulu itu agar mengikat
kayu itu di tengah-tengahnya dan menimbangnya.
19. Teka-teki Unggas
7
Orang dari seberang laut dating lagi dengan sebuah perahu membawa unggas dua ekor
untuk diterka mana yang jantan dan mana yang betinanya. Datuak Suri Dirajo
memberikan petunjuk cara menerka unggas itu. Atas nasihatnya, orang Minangkabau
berhasil menerkanya dan menang. Nahkoda perahu itu mengaku kalah dan memuji
kepintaran orang Minangkabau.
20. Nasihat Datuak Parpatiah Sabatang
Dinasihatkan oleh Datuak Parpatiah Sabatang supaya kasih kepada negeri, isi negeri,
penghulu, dan sebagainya. Sebab malu orang kepada kita enam hal, sebab lebih orang
dari yang lain dua belas hal. Selanjutnya dinasihatkannya supaya jangan berdengki-
dengkian , hina-menghinakan, dan bertolong-tolongan kerja maksiat; kuatlah beriman
kepada Allah dan bertaqwa (hlm. 20-21).
21. Nasihat Datuak Katumanggungan
Dinasihatkan oleh Datuak Katumanggungan supaya orang Minangkabau mendirikan
kerajaan di Bukit Patah, Sumanik, Sungai Tarab, Palembang, Siak, Rokan dan Aceh.
Dinasihatkannya pula supaya orang Minangkabau jangan bercerai, yaitu anatara kedua
Laras Koto Piliang dan Laras Budi Caniago (hlm.21-22).
b. Struktur Cerita Tambo Minangkabau
(1) Tema Tambo Minangkabau
Setelah kita mengetahui singkatan cerita Tambo Minangkabau dapat diketahui
tema cerita Tambo Minangkabau. Tema cerita Tambo Minangkabau yang merupakan
pemikir dasar dan tujuan penulisan Tambo Minangkabau adalah penyesuaian aturan
adat dengan aturan agama islam. Pengaruh agama Islam dalam Tambo Minangkabau
jelas sekali terlihat. Cerita dimulai dengan bismillah, kemudian diikuti teks pendahuluan
dalam bahasa Arab dan terjemahannya yang berisi puji-pujian kepada Allah swt dan
salawat kepada Nabi Muhammad SAW. Tema ini dalam Tambo Minangkabau
didukung oleh tiga motif cerita, pertama, cerita tentang kesamaan kedudukan adat dan
syarak; kedua aturan adat pedoman hidup itu sama-sama diciptakan oleh Allah swt
melaului Nur Muhammad. Adat dan syarak ini sama-sama dijunjung seperti tercermin
dalam ungkapan “adat yang kawi dan syarak yang dilazimkan”.
(2) Tokoh Cerita dan Tema Tambo Minangkabau
Ada beberapa tokoh cerita dalam Tambo Minangkabau, enam di anataranya
yang penting adalah (1) Sultan Sri Maharaja Diraja, (2) Cati Bilang Pandai, (3) Datuak
Suri Dirajo, (4) Indo Jati,(5) Datuak Katumanggungan, (6) Datuak Parpatiah nan
Sabatang. Empata tokoh dari awal, merupakan tokoh penunjang dan dua tokoh terakhir
merupakan tokoh pusat. Kedua tokoh pusat mempunyai hubungan kekerabatan dengan
8
keempat tokoh penunjang. Keempat tokoh penunjang itu berfungsi sebagai penunjang
tokoh pusat, yaitu Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah nan Sabatang.
Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah nan Sabatang, sebagai
pemimpin berdasarkan adat, kuat menjalankan dan menyebarkan agama Islam, yaitu
Belanda yang dating ke Minangkabau. Datuak Parpatiah nan Sabatang menasihati
kaumnya supaya kasih dan hormat kepada ulama, kasih sayang kepada sesama umat
Islam. Datuak Katumanggungan menganjurkan kaumnya menunaikan ibadah haji ke
Mekah. Kepada semua orang dianjurkannya supaya kuat beriman kepada Allah dan kuat
menjalankan perintah agama kedua Datuak pemimpin adat Minangkabau ini memegang
teguh adat dan agama Islam melaksanakan ajaran agama Islam dan menyebarkan agama
Islam itu kepada orang yang belum beragama Islam.
(3) Latar dan Tema Tambo Minangkabau
Latar tempat cerita Tambo Minangkabau bersifat realitas, dapat diketahui secara
geografis. Mengenai latar waktu terjadinya peristiwa tidak dapat diketahui karena factor
waktu tidak penting dalam cerita. Sesuai dengan judulnya, Tambo Minangkabau, latar
tempat cerita berlangsung adalah daerah Minangkabau. Daerah Minangkabau menurut
Tambo Minangkabau berasal “luak nan tigo”’luak yang tiga’ yaituLuak Tanah Datar,
Luak Agam, dan Luak Limo Puluah Koto. Ketiga negeri itu di bawah puncak Gunung
Merapi. Di Gunung Merapi itu Sultan Sri Maharaja, putra Iskandar Zulkarnain mendarat
dan kemudian anak-anaknya menyebar ke ketiga luak itu.
Negeri-negeri penting lain yang diceritakan adalah Pariangan, Padang Panjang,
dan Pagaruyung, dan Pagaruyung merupakan pusat kerajaan Pagaruyung, tempat Daulat
yang Dipertuan bertahta.
(4) Fungsi Cerita Tambo Minangkabau
Secara umum dapat disimpulakn bahwa fungsi utama cerita Tambo
Minangkabau adalah untuk menyatukan pandangan orang Minangkabau terhadap asal-
usul nenek moyang, adat, dan negeri Minangkabau dalam satu kesatuan. Mereka merasa
bersatu karena seketurunan, seadat, dan senegeri.
Sesuai dengan temanya, fungsi cerita tambo Minangkabau adalah mengukuhkan
aturan adat mengenai pewarisan harta pusaka kepada kemenakan, dan mengukuhkan
kedudukan penghulu sebagai pimpinan dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan fungsi
cerita rakyat, yaitu sebagai alat pengesah (legitimasi) pranata-pranata dan lembaga-
lembaga kebudayaan , juga sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma masyarakat
akan dipatuhi oleh anggota masyarakat
Di dalam penokohan terlihat fungsi cerita Tambo Minangkabau sebagai proyeksi
9
angan-angan orang Minangkabau terhadap keluarga ideal. Keluarga ideal menurut
Tambo Minangkabau tercermin dalam penokohan keempat tokoh penunjang. Fungsi
latar cerita Tambo Minangkabau, di samping mendukung tema juga sebagai legitimasi
negeri asal Minangkabau, yaitu “luak nan tigo”, dan sebagai proyeksi angan-angan
penulis Tambo Minangkabau terhadap negeri Minangkabau sebagai “pusat dunia: (alam
Minangkabau) berdampingan dengan dua negeri besar lainnya, yaitu negeri Rum
(Turki) dan Cina.
3) Edisi Teks Naskah Jamak Berbentuk Penelitian
a) Hikayat Bandjar (Naskah Melayu)
Hikayat Bandjar termasuk dalam sastra sejarah. Naskah itu diteliti oleh Johanas Jacobus
Ras dengan judul Hikayat Bandjar: A Study Historyografi. Diterbitkan di Belanda oleh
Martinus Nijhoff, 1968. Dalam pendahuluan dikatakan bahwa penelitian ini adanya
anggapan yang meremehkan sastra sejarah atau kronik melayu. Sastra sejarah dianggap
tidak berisi informasi sejarah. Bab pertama terdiri atas 5 bagian. Bagian (1)
memperkenalkan penerbitan-penerbitan awal tentang daerah Banjar. Dari teks-teks
yang ada, Ras menggolongkan cerita menjadi dua, yaitu versi resensi I dan II. Kedua
resensi itu dibuat ringkasanya dan masing-masing dibagi atas 12 episode. Setelah itu
antara keduanya dibandingkan.Pada kritik teks atas resensi I ia melihat penggunaan
bahasannya. Menurut Ras perbendaharaan kata dan gaya bahasa dalam teks tidak sama
antara bagian awal dan akhir. Bahasa yang digunakan dalam separuh bagian pertama
lebih dekat pada bahasa Melayu klasik.Pada bagian kritik teks, Ras merekonstruksi teks
dengan membandingkan teks resensi I. Pada bagian ini ia sampai pada kesimpulan
bahwa kata dan gaya teks resensi I tidak sama dari awal hingga akhir. Bahasa yang juga
digunakan pada bagian awal dan tengah ialah bahasa Melayu Klasik. Dalam teks ini
juga digunakan kata-kata Jawa “baru” dan bahasa percakapan Banjar.
Bagian edisi teks, bab dua, disertai dengan terjemahan dan apartus kritikus yang
diletakkan pada footnote. Edisi itu menggunakan metode gabungan, yaitu
menggabungkan 5 naskah. Bab tiga adalah glosari dan indeks serta lampiran yang
sangat lengkap berupa gambar sislsilah dan beberapa foto, peta, dan latar belakang
sejarah serta sosial budaya kota Waringin, permainan dan hiburan, dan kesusastraan
Melayu di daerah itu.
b) Babad Buleleng (Naskah Bali)
Sebagaimana yang ditulis oleh Mu’djizah (2003:6.13-6.15) naskah yang berasal dari
Bali itu diteliti oleh seorang sarjana dari Australia, P.J.Worsleyyanga diberi judul Babad
Buleleng, 1972, diterbitkan di Belanda oleh Martinus Nijhoff. Cerita dalam naskah itu
10
banyak menampilakan tokoh dan peristiwa “sejarah” dari Bali. Dalam penelitian ini,
Worsley berhadapan pada sebuah tradisi penulisan sastra yang berkaitan dengan
fungsinya. Tradisi penulisan menarik dan yang dipersoalkannya mengapa karya seperti
itu diciptakan pengarangYang dibicarakan pada bagian pertama adalah tentang cerita
“Babad Buleleng” yang mengisahkan kehidupan Panji Sakti. Karya itu adalah sebuah
karya sastra Bali yang berisi genealogi atau silsilah. Cerita yang terdiri atas 22 episode
ini menyajikan daftar nenek moyang tokoh tersebut. Tokoh sentral adalah Panji Sakti. Ia
keturunan Batara Majapahit (imigran) seorang Raja ideal di Jawa. Tokoh Panji Sakti
menjadi pusat perhatian babad ini karena ia diceritakan lebih dari setengan naskah.
Kesuksesan dan keberhasilan Raja Panji Sakti itulah yang ditonjolnkan dalam cerita ini.
Keberhasilannya itu menjadi dasar munculnya loyalitas dan penghormatan rakyat
kepada Rajanya. Pokok pembicaraan yang ketiga adalah periode kerajaan Karangasem
di Den Bukit. Pelegitimasian itu terjadi ketika Ki Gusti Made Rahi disuksesi oleh Ki
Gusti Ketut Jlantik.Pokok pembicaraan yang terakhir dalam bagian ini adalah tanggal
dan kepengarangan Babad Buleleng. Bagian ini menginformasikan bahwa naskah C
disalin dari naskah milik raja terakhir, Ki Gusti Ngurah Ketut Jlantik yang berkuasa
pada tahun 1871 A.D. Hal itu dapat dilihat dari peristiwa yang disorot dalam babad ini
yakni peristiwa yang berkuasa di Den Bukit, Ki Ngurah Ketut Jlantik yang hidup pada
tahun 1872 A.D. Dengan adanya keterangan itu kemungkinan babad ini ditulis anatara
tahun 1872-1928 A.D. oleh seseorang yang belum diketahui identitasnya.Pembicaraan
selanjutnya butir empat sampai lima adalah masalah kebahasaan dalam penyajian
sebuah teks. Masalah kebahasaan itu menyangkut pemakaian ejaan, penulisan kata dan
pemakaian tanda baca. Pada pembicaraan keenam ia mengatakan bahwa Babad
Buleleng pada dasarnya ada 6 naskah. Keenam naskah itu dijadikan bukti dalam
penelitian ini.
c) Serat Cabolek (Naskah Jawa)
Sebagaimana yang ditulis oleh Mu’djizah (2003:6.15-6.18) naskah Jawa ini dikerjakan
oleh S. Soebardi dengan judul The Book of Cabolek, diterbitkan di Belanda oleh
Martinus Nijhoff, 1975. Penelitian ini merupakan sajian edisi kritis dari naskah Jawa
yang berjudul Serat Cabolek. Untuk keperluan itu, ia membagi penelitiannya menjadi 4
bagian yaitu pengantar teks dan transliterasi serta terjemahannya ke dalam bahasa
inggris. Pada bagian awal ia menyajikan ringkasan cerita. Ringkasan ini di samping
transileterasi sangat bermanfaat karena dapat membimbing pembaca kea rah
pembahasan isi. Bagian kedua adalah masalah pernaskahan. Dalam bagian ini
dibicarakan dua hal, yaitu perbandingan naskah dan edisi teks. Setelah melakukan
11
perbandingan, Soebardi menggunakan metode gabungan untuk edisi teks Serat Cabolek.
Pada bagian ketiga, Soebardi memperkenalkan pengarangdan karya-karyanya. Bagian
keempat adalah makna (significance) Serat Cabolek, dan makna cerita Dewi Ruci.
Naskah yang berisi cerita tersebut mencapai 11 naskah dan 1 cerita terbitan. Kesebelas
naskah yang menjadi saksi penelitian ini disimpan dalam dua tempat, yakni 7 naskah di
Perpustakaan Nasional, Jakarta, dan 4 naskah (mikrofis) disimpan di Perpustakaan
Universitas Leiden. Ditemukan motif umum yang menjadi sumber konflik antara mistik
Jawa dengan alam ortodoks dan hokum islam itu menambah bagian motif dan makna
Serat Cabolek. (1) Shaikh Siti Jenar merupakan motif yang muncul dalam berbagai
cerita. Oleh karena itu, ajarannya muncul dalam berbagai versi. (2) Sunan Panggung
adalah sosok lain dari tiruan Shaikh Siti Jenar di Demak. Oleh sebab itu, para ulama
merasa ia melanggar agama islam dan dianggap membahayakan masyarakat. (3) Motif
Ki Babeluk tidak banyak diinformasikan dalam karya ini. Ia hanya muncul sebagai
jembatan yang menghubungkan antara dua gap, yaitu antara tradisi pra-islam dan era
islam. (4) Shaikh Among Raga dieksekusi di lautan dekat kampong Tanjungbang,
daerah kekuasaan Sultan Agung, Raja Islam Mataram. Tokoh ini juga dilukiskan Serat
Centini. Dengan memasukan tokoh ini ke dalam karyanya, Cerita Dewi Ruci dalam
sastra Jawa merupakan dari era pra-islam yang berasal dari cerita Mahabrata. Bima
dalam cerita ini lebih penting dari pada Arjuna.
d) Syair-syair HamzahFansuri (Naskah Melayu)
Sebagaimana yang ditulis oleh Mu’djizah (2003:6.18-6.21) penelitian atas syair-syair
Hamzah Fansuri yang berjudul The Poems of Hamzah Fansuri ini dilakukan oleh G.W.J
Drewes dan L.F. Brakel diterbitkan di Belanda oleh Foris Publication, 1986. Buku ini
bertujuan ingin menampilkan kepenyairan Hamzah Fansuri yang belum di buat secara
tuntas sampai sekarang meskipun sebelumnya beberapa peneliti pernah melakikannya,
seperti Al Attas. Untuk itu, Drewes dan Brakel membagi hasil penelitian menjadi 8 bab.
Dalam pengantar dibicarakan 7 topik.
(1) Riwayat hidup Hamzah Fensuri. Penyair Melayu yang terkenal ini, dilahirkan di
Barus, sebuah pusat perdagangan yang terletak antara Singkil dan Sibolga, Sumatra
Utara. (2) Dalam sajak-sajaknya, Hamzah meniru bentuk ghazal dari Persia yang pada
bagian akhir sering menyebutkan nama samara (takhallus). Ia menggunakan 3 nama
yang berbeda, 15 kali dengan Hamzah Fansuri, dan 2 kali dengan Hamzah Shahrnawi.
(3) Hamzah Fansuri dalam perjalanannya mencari Tuhan pernah sampai ke tanah
Bagdad, Mekkah, dan Shahr-I Naw, dan Yarussalem. Kepergian itu ditunjang dengan
bukti yang ditemukan dalam Sejarah Banten yang mengatakan bahwa Raja Banten
12
mengirim tiga buku itu adalah Muntahi karya Hamzah Fansuri.(4) Hamzah Fansuri
selain menulis syair juga menulis prosa. Ia membuat 32 syair dan juga menulis tiga
karya prosa, yaitu Asrar al-arifin, Sharab al-ashiqin, dan al-Muntahi. Dalam karya
pertamanya ia menjelaskan sifat keabadian Tuhan yang menciptakan dunia dan isinya.
(5) Hamzah Fansuri selainmenguasai bahasa arab juga menguasai bahasa Persia .
kemampuan bahasa Persia itu termuat dalam ketiga karya di atas. Pengetahunnya dalam
bahsa Persia kelihatannya sama bagusnya dengan kemampuan bahasa Arab .(6) Raniri
mencela ajaran wujudiah yang diajukan Hamzah Fansuri. Ia menyerang Muntahi dalam
karangannya yang berjudul Tibyan fi ma’rifat al-adyan Ia menyebut ajaran wujudiah
Hamzah adalah bid’ah sehingga disebutnya dengan wujudiah dalalah.(7) Bagian ini
membicarakan syair-syair Hamzah Fansuri yang diantaranya ada yang tidak
menyebutkan identitasnya. Oleh sebab itu, banyak yang meragukan apakah karya itu
memang karya Hamzah.
Bab 2 tentang penaskahan, Drewes membicarakan 5 topik. Pertama, syair-syairnya
ditulis dalam 7 naskah. Empat naskah disimpan di Leiden, 2 naskah di Jakarta, dan 1
naskah terbitan dalam bentuk faksilmile yang dibuat A. Hasjmy, 1976. Kedua, syair
Hamzah Fansuri dengan nomor Ms. Von de Wall 32, disimpan di Jakarta, merupakan
koleksi yang umurnya muda dan ditulis ulang dalam bentuk yang isinya bervariasi.
Ketiga, beberapa syair Hamzah merupakan versi yang menyimpang. Keempat,
sehubungan dengan tulisan Shamsuddin dan Raniri, Van Nieuwenhuijze dan Voorhoeve
menemukan kutipan (catatan) syair Hamzah. Bab 3 terbagi 6 bagian yang akan
diuraikan secara singkat di bawah ini. Dalam bab 4, ia menjelaskan kata yang
digunakan, seperti etimologi kata dan sumber kata atau kalimat ditemukan. Ia juga
memperhatikan kata Arab yang digunakan Hamzah Fansuri yang diuraikan dalam bab 5.
Dalam bab 6 ia menyajikan tentang naskah dan edisi teks. Pada bab 8, ia menyajikan
juga naskah Jawa, Muntahi yang isinya bukan hanya Muntahi, melainkan teks Ibn al-
Arabi, Fusus al-Hikam
e) Kakawin Gadjah Mada (Naskah Jawa dan Bali)
Sebagaimana yang ditulis oleh Mu’djizah (2003:6.21-6.24), penelitian yang dilakukan
oleh Partini Sarjono Prakoso ini berjudul Kakawin Gadjah Mada Karya Sastra Kakawin
Abad ke-20 (Suntingan Naskah serta Telaah Struktur, Tokoh dan Hubungan Antarteks),
diterbitkan di Bandung oleh Binacipta, 1986. Tokoh yang dibicarakan adalah tokoh
sejarah yang sangat popular di masyarakat, Gadjah Mada. Dalam bab 1, diuraikan
beberapa alasan pemilihan kakawin itu, di anataranya kakawin adalah bentuk sastra
yang popular dan isinya beragam ; puisi ini juga dikenal di Jawa dan Bali; kakawin
13
dapat bertahan selama 6 abad. Berbagai masalah mulai dibahas pada bab 2-6. Untuk
mengikuti butir-butir pembahasan, penelitian ini pada dasarnya diklasifikasikan menjadi
4 bagian yaitu pembahasan (1) bentuk kakawin dan pemakaian bahasa Jawa kuno dalam
KGM, (2) pernaskahan atau edisi teks, (3) analisi struktur alu dan tema, tokoh (4)
hubungan antar teks, dan (5) Citra Tokoh Gadjah Mada dalam sastra daerah lain.
Bab 2 terdiri atas 4 butir. Pertama, ia menguraikan mitos tokoh Gadjah Mada dalam
pandangan penyair KGM. Dalam penelitian ini ia membatasi telaahnya pada satu karya
sastra saja. Untuk mencapai sasaran di atas, pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan objektif, mendekati KGM dari struktur. Berbagai masalah tersebut mulai
dibahas pada bab 2-6. Penelitian ini pada dasarnya diklasifikasikan menjadi 4 bagian
yaitu pembahasan (1) bentuk kakawin dan pemakaian bahasa Jawa kuno dalam KGM,
(2) pernaskahan atau edisi teks, (3) analisi struktur alu dan tema, tokoh (4) hubungan
antar teks, dan (5) Citra Tokoh Gadjah Mada dalam sastra daerah lain.
Bab 2 terdiri atas 4 butir. Pertama, ia menguraikan mitos tokoh Gadjah Mada dalam
pandangan penyair KGM. Gadjah Mada dimitoskakan sebagai tokoh sebagai tokoh
yang agung. Ia adalah seorang digjaya yang tak tercela di seluruh dunia. Naskah KGM
yang ditemukan ada 3 dan diterimanya dai I Gusti Ngurah Bagus. Ketiga, naskah
tersebut disalin dari naskah KGM, yaitu Lontar 315 , kropak 136, dan koleksi FS-
UNUD, Bali. Bab 3 membahas susunan KGM, analisis struktur. Yang dilihat pada
bagian iniadalah hubungan anatar alur dan tema KGM. Pendekatan objektif dianggap
belum lengkap untuk mengungkapkan makna karya tersebut maka ia juga mengkaji
hubungan antar teks. Bab 4 mengkaji citra Gajdah Mada dalam sastra daerah lain. Sastra
daerah yang memuat tokoh itu banyak, Partini hanya memasukan 5 cerita saja,
“Negarakertagama”, “Paraton”,”Kidung Sunda”,”Caritra Banjar dan Raja Kota
Waringin”, dan “ Hikayat Hang Tuah”. Dari kelima karya tersebut diperoleh gambaran
umum sosok Gadjah Mada. Bab 4 mengkaji citra Gajdah Mada dalam sastra daerah lain.
Sastra daerah yang memuat tokoh itu banyak, Partini hanya memasukan 5 cerita saja,
“Negarakertagama”, “Paraton”,”Kidung Sunda”,”Caritra Banjar dan Raja Kota
Waringin”, dan “ Hikayat Hang Tuah”. Dari kelima karya tersebut diperoleh gambaran
umum sosok Gadjah Mada. Bab 5 merupakan kesimpulan umum dan bab yang ke-6
adalah edisi teks, berupa pengantar teks, ternslitersi, dan terjemahan KGM.
f) Sriwaratrikalpa (Naskah Bali)
Sebagaimana yang ditulis oleh Mu’djizah (2003:6.24-6.28) Sriwaratrikalpa of Mpu
Tanakun, diterbitkan di Belanda oleh Martinus Nijhoff, 1969, dikerjakan oleh sebuah
tim yang terdiri atas A. Teeuw, S.O.Robson, Th.P.Galestin, dan P.J. Worsley. Dalam
14
bab pertama ada 17 topik pembicaraan yang dapat dikelompokkan lagi menjadi 7
bagian.
Pertama Sriwaratrikalpa dalam sastra Jawa Kuno termasuk genre kakawin. Kakawin
merupakan sebuah transportasi dari bentuk kavya India. Penulis Siwaratrikalpa
mempunyai tujuan yang lebih khusus yaitu menyebarkan pengetahuan tentang ketaatan
atau penghormatan pada perayaan malam Siwa (Siwaratrikalva). Karya itu bagi
pengarangnya sendiri berfungsi sebagai pelepasan rasa estetisnya.
Kedua ringkasan cerita disajikan dengansangat pendek. Kerajaan Gigindra dipimpin
oleh Raja Suraprabhawa. Di daerah pegunungan di kerajaan itu hiduplah seorang
pemburu, Lubdhaka namanya. Ketiga, Mpu Tanakung tercatat sebagai pengarang dalam
Siwaratrikalpa yang dinyatakan pada bagian akhir kakawin ini. Nama Tanakung berasal
dari Tan dan akung, tan berarti ‘tidak’ dan akung (darivasi dari kata kun ditambah
awalan a) berarti lepas dari cinta’. Keempat dibicarakan tentang penaskahan:
penanggalan, penggunaan bahasa, aspek puitis mantra dan mnggala, serta naskah dan
teks. Mereka mengatakan bahwa teks ini berasal dari abad ke-15. Siwaratrikalpa ditulis
dalam bahasa Jawa pada masa Hindu Jawa anatara tahun 850-1500. Sriwaratrikalpa
terdiri atas 39 pupuh dengan 20 macam mantra, di antaranya Wasantatilaka dan
Sragdhara masing-masing 2, Aswalalita 4, Sardulawikridita 5, Jagadhita 7 pupuh.
Dalam bagian penaskahan dikatakan bahwa naskah Sriwaratrikalpa ada 8 buah. Tujuh
naskah terdapat di Perpustakaan Universitas Leiden dan satu naskah dari Perpustakaan
Nasionanal, Jakarta kedelapan naskah dideskripsikan, tetapi tidak lengkap. Ketujuh,
upacra pada Malam Siwaratrikalpa, upacara malam Siwa dideskripsikan dalam beberapa
bagian dari teks ini, di antaranya pada baris 2 dan 2a, yaitu dijelaskan bahwa pada masa
mudanya Lubadhaka tidak memperhatikan hukum moral dan agama. Ia hanya suka
berburu. Bait 3 pupuh 2 menyatakan pada malam tanggal 14 separuh petang bulan
ketujuh, ia pergi berburu dengan jaket berburu yang berwarna biru tua. Tanggal itu
menunjukkan Malam Siwa. Pada bait 5, pupuh 5, pupuh 5 pengarang menggambarkan
bahwa Lubadhaka menjatuhkan daunmaja tanpa berhenti ke tengah air (danau) yang
kebetulan adalah lingga Siwa. Pada pupuh 5 bait 6 diceritakan bahwa ia tidak tidur
sepanjang malam. Bab dua membicarakan penelitian India tentang kakawin dengan
perbandingan antara Siwaratrikalpa dengan Padmapurana. Kedua karya sastra tersebut
banyak kesamaan. Keduanya merupakan karya didaktik. Perbedaan ada pada karakter
keduanya. Bab ketiga berisi empat ilustrasi Bali tentang cerita Lubadhaka. Ilustrasi (1)
sebuah ider-ider Bali milik Royal Tropical Institute, ider-ider Bali itu adalah sebuah
kain tenunan dari katun yang panjangnya 28 cm. (2) Ilustrasi tentang cerita Labadhaka
15
yang ada dalam lukisan yang di buat oleh Bogeos Gelgel. (3) Ilustrai yang ada dalam
lukisan Bali yang menjadi milik Royal Tropical Institute, Leiden. Ilustrasi terdiri atas 20
adegan. (4) Ilustrasi dari lukisan Bali koleksi Th.A.Resink. lukisan ini dibuat pada tahun
1933 di Puri Gede Saren, Krambitan, Tabanan. Lukisan ini berukuran 90 cm x 70 cm.
yang menarik keempat ilustrasi tersebut direproduksi dan dilampirkan pada akhir buku.

16
PENUTUP
KESIMPULAN
Telaah naskah nusantara telah menghasilkan edisi berbagai naskah nusantara. Edisi teks
yang telah dikerjakan oleh berbagai kalangan dan kualifikasi yang berbentuk skripsi,
tesis, disertasi, dan penelitian proyek itu dikelompokan menjadi dua bentuk kajian, yaitu
telaah naskah tunggal dan telaah naskah jamak.
 Telaah naskah tunggal naskah-naskah nusantara berbentuk skripsi ada juga
bentuk penelitian proyek.
 Naskah Jamak Dan Kajiannya terdiri atas Edisi Teks Naskah Jamak Berbentuk
Tesis, Edisi Teks Naskah Jamak Berbentuk Disertasi: Tambo Minangkabau:
Suntingan Teks Disertai Analisis Struktur, Edisi Teks Naskah Jamak Berbentuk
Penelitian
SARAN
Bagi saya sendiri materi ini dapat dijadikan sebagai bahan tambahan untuk pemahaman
mengenai berbagai Edisi Teks Nusantara dan diharapkan bisa juga memberikan
beberapa contoh dari edisi tersebut yang nantinya akan bisa menjadi contoh untuk
pembuatan skripsi ataupun penelitian.
Dan diharapkan makalah ini juga bisa menjadi bahan acuan bagi yang lain agar dapat
lebih memahami tentang Edisi Teks Nusantara.

17

Anda mungkin juga menyukai