Anda di halaman 1dari 10

TEORI FILOLOGI DAN PENERAPANNYA IV: PENERAPAN TEORI FILOLOGI

PADA KARYA SASTRA LAMA NUSANTARA

Disususn untuk memenuhi tugas mata kuliah Filologi


Dosen pengampu : Afiyanti Handayu Diyah Fitriyani, S.Pd, M. Pd.

Disusun Oleh:

Laiyinatus Syifa Z.N. 09150059

Hidayatun Nikmah 091500 85

Slamet Widodo 09150093

Masrufi M. 09150092

JURUSAN SASTRA INGGRIS


FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2012
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di Indonesia, sastra berkembang dalam dua periode menurut waktu


berlangsungnya sastra tersebut, yaitu satra lama dan sastra modern. Untuk menentukan
batas antara sastra lama dan sastra modern, sastra Melayu klasik masa waktunya cukup
lama, yaitu sejak orang Melayu mengenal tulisan, khususnya tulisan Arab, yang biasa
disebut tulisan Arab Melayu, kira-kira abad ke-17, kemudian tulisan latin sampai dengan
masa mengenal mesin cetak yang digunakan untuk menerbitkan karya sastra itu. Sastra
modern dimulai pada zaman Balai Pustaka sekitar tahun dua puluhan. Sebelum zaman
Balai Pustaka itu, karya sastra yang ditulis dalam bahasa Melayu disebut sastra Melayu
klasik atau sastra Indonesia lama.
Sastra Melayu klasik atau sastra Indonesia lama, yakni mencakup segala karya
sastra yang ditulis tangan pada kertas, lontar, dan kulit kayu yang diperbanyak dengan
cara menyalin. Karya tulis ini menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan
sebagai hasil budaya masa lampau. Pengetahuan tentang kebudayaan bangsa pada masa
lampau tersebut dapat digali melalui peninggalan nenek moyang. Peninggalan nenek
moyang beberapa abad yang lampau ada bermacam-macam bentuk, yaitu dalam bentuk
tulisan yang antara lain terdapat pada batu (prasasti), candi-candi, wilayah peninggalan
sebuah kerajaan atau benda purbakala yang lain, dan naskah-naskah. Selain bentuk tulis
tersebut ada juga peninggalan yang berbentuk lisan. Namun, pada hakikatnya tidak ada
peninggalan suatu bangsa yang lebih memadai untuk keperluan penelitian sejarah dan
kebudayaan daripada kesaksian tertulis, terutama bila merupakan kesaksian tangan
pertama, yang disusun oleh suatu bangsa dalam masa hidupnya. Tulisan-tulisan inilah
yang disebut naskah.
Naskah lama adalah salah satu bentuk dokumen tertulis yang sangat penting dan
mutlak harus diteliti. Melalui naskah lama ini dapat diketahui secara lebih nyata tentang
bagaimana cara berpikir penyusunnya, di samping telaah fakta yang lebih memuaskan,
karena diceritakan oleh yang bersangkutan. Naskah sebagai dokumen tertulis tidak
terlepas dari kebudayaan suatu bangsa. Hal ini berarti bahwa isi suatu naskah dapat
meliputi semua aspek kehidupan budaya suatu bangsa, dalam arti dapat mencakup
bidang-bidang filsafat, kehidupan agama, kepercayaan, dan lain-lain. Naskah juga
merupakan dokumen sejarah yang mengandung nilai-nilai budaya masa lampau yang
jumlahnya sangat banyak dan tersebar di seluruh Nusantara.
Pada makalah kali ini, pemateri akan membahas tentang ilmu filologi yang
diterapkan dalam pengkajian naskah-naskah pada karya sastra lama Nusantara.

1.2 Rumusan Masalah


Pembahasan persoalan naskah pada karya sastra Nusantara dalam filologi pada
makalah ini didasarkan pada beberapa rumusan masalah berikut:
1. Apa contoh-contoh naskah karya sastra lama Nusantara pada permulaan tradisi
filologi di Indonesia?
2. Bagaimana penyuntingan naskah karya sastra lama Nusantara menggunakan metode
filologi?
BAB II

PEMBAHASAN

1. Penerapan Teori Filologi Pada Karya Saastra Masa Lampau


Pada pertengahan abad ke-19 kegiatan filologi mulai muncul oleh para sarjana-sarjana Eropa,
terutama Belanda. Pendekatan yang dilakukan untuk penerapan filologi ini adalah metode
intuitif, yaitu memakai metode landasan dengan mengambil satu naskah yang dianggap baik
sebagai dasar terbitan, kemudian diubah menurut intuisi penyunting atau disesuaikan dengan
naskah lain.

2. Contoh-contoh permulaan tradisi filologi di Indonesia.


a. Brata-joeda (Cohen Stuart) 1860
Dalam penerapan filologi ini Cohen Stuart menggunakan beberapa sumber, yaitu:
I. Tembang Macapat, dengan satu teks tercetak dan dua naskah.
II. Kakawin dengan dua naskah
III. Bahasa Kawi
- Sebuah naskah lengkap, tapi rusak
- Beberapa lembaran lepas yang memuat sebagian dari Barata-Yuda Kawi.
- Lembaran lepas yang memut pupuh II-IV
- Salinan dari naskah Gericke.
- Petikan –petikan Barata-Yuda Kawi dalam history of Jawa (Raffles).
- Naskah dari Bupati Gresik
- Salinan dari naskah Madura
- Naskah miliknya sendiri.
IV. Sumber tambahan:
- Terjemahan lengkap dari Brata-Joeda Macapat dalam bahasa belanda.
- Beberapa catatan dalam naskah ubtuk melengkapi terjemahan itu.
- Petikan dari Brata-yuda Kawi
- Ringkasan Brata-Joeda dalam prosa Jawa.
Cohen Stuart menggunakan 17 sumber yang yang masing-masing di uraikan asalnya, dan
cirri-ciri mengenai isinya.

b. Ramayana Kakawin (Kern) 1900


Untuk penerbitan teks ini, dipakai lima naskah yang berasal dari Bali, dan dua naskah
dari Jawa. Teks-teks naskah Bali tersebut saling menunjukkan perbedaan bacaan yang
kecil sekali, sehingga kelimanya dianggap sebagai satu naskah, demikian pula dengan
naskah Jawa tersebut. Dari penelitian terbukti bahwa meskipun teks Kakawinnya sama,
naskah Blai dan Jawa memiliki perbedaan dalam ejaan dan pemilihan kata.

c. Nagarakrtagama (Brandes) 1902


Brandes menerbitkan Nagarakrtagama dengan huruf Bali (seperti teks aslinya)dengan
tujuan memperkenalkan naskah yang ditemukannya di Lombok (1894). Dalam penerbitan
ini tidak digunakan metode penentuan teks dasar suntingan, suntingan Brandes ini
merupakan salinan setia dari naskah. Oleh karena itu, sama sekali tidak diusahakan untuk
membetulkan kesalahan-kesalahan penyalin, meskipun kesalahan itu terlihat secara jelas.

d. Brahmanda-Purana (Ganda) 1932


Penerbitan teks ini merupakan penerapan pertama metodologi filologi yang sampai
kepada stema. Dalam penentuan teks, dipakai 10 naskah dari Universiteits-Bibliotheek
Leiden. Atas dasar ejaan, ditunjukkan hubungan antara naskah tersebut, dan kemudian
diperbandingkan dengan tujuan dapat disederhanakan. Dalam menentukan hubungan
naskah, ada 3 hal yang diperhatikan, yaitu bagian yang hilang, varian, dan bagian yang
cacat.

Penelitian di atas serta pengamatan terhadap unsure-unsur kritik teks lainnya


menghasilkan suatu stema dengan arketipnya, sehingga dapat diterbitkan dengan
menggunakan metode filologi yang sesuai dengan keadaan dan hasil perbandingan teks
itu.

3. Penerapan metode filologi pada beberapa suntingan naskah.


a. Het Bhomakawya (Teeuw, 1946)
Het Bhomakawya diterbitkan oleh Friderich pada tahun 1852, dan kemudian
diterbitkan lagi oleh Teew, dalam suntingan teksnya ia menggunakan metode
landasan. Perbandingan kolasi dilakukan terhadap dua naskah lengkap (naskah A dan
B) dari Universiteirs-Bibliotheek Leiden. Naskah A ditulis di Lombok pada tahun
Saka 1721, dan naskah B berasal dari tahun Saka 1756. Dua naskah tersebut sering
menyimpang dari teks cetakan. Terkadang A menurut teks cetakan, sedang B
menyinpang dan sebaliknya. Ketergantungan kedua teks ini kepada teks lain tidak
dapat ditunjukkan, namun teks ini menunjukkan kedekatan. Akan tetapi dari
penyuntingan kedua teks ini menyatakan bahwa teks B lebih dekat dengan aslinya.

b. Adat Atjeh (Drewes dan Voorhoeve, 1958)


Pada suntingan naskah Adat Atjeh dipakai metode diplomatic yang dibuat Faksimile
dalam naskah india Office of Library dengan pengantar dan catatan mengenai asal
mula naskah tersebut, deskripsinya, dan metode reproduksi, antara lain, ukurannya
diperkecil, dan dua halaman yang berhadapan pada teks asli di reproduksikan pada
satu halaman. Untuk memperjelasnya, terbitan ini diberikan transliterasi dengan huruf
latin dalam catatan.

c. Java in the 14th Century (Pigeud, 1960)


Java in the 14th Century ini menggunakan metode diplomatic, disunting Nagara-
Krtagama disertai transliterasi, catatan-catatan mengenai teks dan terjemahan,
komentar dan glosari (daftar kata-kata).

d. Asrar Al-Insan fi Ma’rifa Al-Ruh wal-Rahman (Tudjimah, 1960)


Tudjimah menggunakan metode landasan, dan ia juga menggunakan tiga naskah
yang disebut A,B,C. naskah A dan B menunjukkan persamaan yang mencolok,
sehingga timbul dugaan bahwa A dan B berasal dari suatu sumber atau naskah A
disalin dari naskah b, atau sebaliknya. Sedangkan naskah C hanya memuat kalimat-
kalimat dalam bahasa arab. Sehingga naskah A dapat disunting dengan
memperbandingkan dengan naskah B dan C.
e. Hikayat Banjar (Ras, 1968)
Jumlah naskah yang dipakai adalah 8 buah koleksi berasal dari Indonesia dan 12 buah
berasal dari Eropa yang sebagian besar dari koleksi Leiden, semua naskah ini adalah
naaskah salinan dari naskah yang tersimpan sdi suatu tempat di Indonesia.

Naskah Hikayat Banjar dibuat dalam dua bentuk dengan perbedaan yang besar yang
disebut Resensi I dan Resensi II. Teks yang disunting dalam Hikayat Banjar mewakili
Resensi I yang terdiri dari 9 naskah dengan mengungkapkan persamaan bacaan
varian-varian tertentu secara teratur. Atas dasar cirri-cirinya, naskah dibagi menjadi
dua kelompok. Kelompok I terdiri dari 4 naskah, dan kelompok II terdiri dari 5
naskah. Pengelompokan dalam sub kelomppok dari sudut pandang berbeda
menghasilkan dua macam stema.

f. Hikayat Andaken Penurat (Robson, 1969)


Penerapan ini menggunakan 1 naskah dalam tulisan arab melayu yang diperkirakan
berasal dari Sekretaris Jendral di Batavia, dengan dibuat transliterasi dan terjemahan.
Penerapan ini menggunakan nomor halaman pada tepi teks dan terjemahan untuk
memudahkan rujukan. Suntingan ini juga merupakan bantuan kecil kearah proses
penafsiran.

g. Wangbang Wideya (Robson, 1971)


Naskah yang digunakan pada edisi ini adalah naskah A,B,C,D,F, dan G. penulisan
dalam naskah G dilakukan dengan sangat ceroboh, sehingga penyalin tampak seperti
tidak mengerti urutan-urutan lembaran yang harus dibaca, hal ini menyebabkan
kekacauan teks. Naskah ini tidak digunakan untuk suntingan, karena hanya sebuah
fragmen dan tidak berkolofon.

Perbandingan naskah menghasilkan diagram yang tidak dibenarkan sebagai stema


karena tidak menunjukkan keturunan naskah dari naskah aslinya, tetapi hanya
menimbulkan pengelompokan umum dan perbandingan yang dapat dipercaya.
Contoh diagram:
X

E C D F
A B

X bukan arketip atau hiparketip, melainkan teks yang sama.


h. Babad Buleleng (Worsley, 1972)
Pada penerapan ini digunakan 4 naskah yang disebut A,B,C, dan D, masing-masing
dideskripsikan. Edisi ini didasarkan atas foto-foto dari A yang dibuat editor pada
tahun 1971. Karena foto-fotonya tidak terbaca, sehingga menggunakan rujukan
naskah lain. D adalah naskah yang berbahasa Latin, yang mana naskah menyimpang
dari ketiga naskah lainnya. Pemenggalan kata dalam naskah ini tidak dapat dipercaya,
meskipun pungtuasinya menunjukkan persamaan dengan pungtuasi dalam A,B, dan
C. dengan ini D tidak dapat dipercaya sebagai saksi karena naskah D tidak leengkap.

i. Undang-Undang Melaka (Liaw Yock Fang, 1976)


Penerapan ini kurang lebih menggunakan 44 naskah. Berdasarkan isinya, naskah
dapat dibagi menjadi 7 kelompok. Kelompok pertama terdiri dari 18 naskah, dari 18
naskah itu di sisihkan teks fragmentaris dan teks-teks yang hanya merupakan salinan
yang lain, sehingga menjadi 313 naskah yang lengkap. Hubungan antara 13 naskah
tersebut didasarkan atas cirri-ciri khusus naskah, antara lain bagian-bagian yang
hilang, tambahan-tambahan, bacaan korup dan varian-varian yang penting.
Dari 13 naskah, diambil 5 buah naskah yang paling baik dan yang mempunyai arti
bacaan yang paling cocok dengan konteks naskah, sedangkan naskah yang lain
digunakan sebagai rujukan sehingga menghasilkan 2 stema, A dan B.

j. Arjunawijaya (Supomo, 1977)


Penerapan ini menggunakan 20 naskah yang berasal dari Jawa, Bali dan Lombok.
Setelah itu dipilih 10 naskah lagi untuk keperluan aparat kritik. Seleksi ini
berdasarkan otentitas naskah, kelengkapan naskah, kondisi ejaan dan bacaannya.
Perwakilan kedua naskah yang berasal dari Jawa dan Bali menghasilkan sebuah
stema.

k. Hikayat Sri Rama (Achadiati Ikram, 1978)


Achadaiati menyajikan edisi berdasarkan naskah Laud 291. Naskah itu dipilihnya
karena umurnya paling tua diantara 24 naskah yang umurnya kira-kira meliputi dua
setengah abad. Berdasarkan isi dan susunan cerita Achadiati menggabungkan 17
naska sri Rama dalam beberapa kelompok yang disebut versi. Pengalaman ini tidak
dimaksudkan untuk menyusun suatu stema karenadipandang tidak cukup untuk
berpijak. (h. 83)

l. Adat Raja-Raja Melayu (Panuti Sudjiman, 1979)


Penerapan ini menggunakan 10 naskah yang berasal dari berbagai macam Negara,
yaitu naskah dari London, Leiden, Jakarta, Paris dan Singapura. Naskah ini dilihat
yang sama berdasarkan isi maupun penyajian. Hal ini jelas menunjukkan sesuatu
yang sama dan membentuk Stema.
m. Hikayat Indra Putra (Rujiyati Mulyadi, 1979)
Hikayat Indra Putra menggunakan 30 naskah, semuanya berbahasa arab kecuali satu
naskah yang berbahasa Latin. Diantara naskah itu, naskah B berasal dari abad 17
yang paling dekat dengan naskah I. dan naskah F yang berasal dari abad ke 17.
Naskah F yang berasal dari abad ke 176 adalah naskah tertua, tetapi tidak dapat
digunakan sebagai naskah dasar karena urutan-urutan peristiwanya kacau, terlalu
banyak halaman yang hilang dan terlalu rusak untuk digunakan sebagai naskah dasar.
oleh karena itu pilihan dijatuhkan kepada naskah yang paling tua dan baik, yaitu MSI
dari A.H. IIII (A.D.1700) naskah ini mempunyai urutan lengkap yang ditemukan
dalam Hikayat Indra Putra.

n. Arjunawiwaha (Kuntara Wiryamartana, 1990)


Penelitian ini menggunakan bahasa Jawa yang melliputi transformasi lewat sastra
Jawa. Kakawinan dari masa ke masa terus menerus disalin, dibaca dan ditafsirkan
dilingkungan Keraton, Adipaten, pertapaan. Tapi dikalangan Jawa, penerapan ini
terbentuklah tembang Macapat. Kuntara memilih bentuk dasar untuk memahami
perjalanan tradisi Arjunawiwaha dijawa teks Kakawin Arjunawiwaha dari naskah
lontar MP (Malayo Polynesia) 165. Naskah ini dipandang sebagai mata rantai yang
sangat penting dalam rangka perjalanan tradisi di Jawa. Penerbitan ini dilakukan
dengan 2 cara: pertama dengan terbitan diplomatic yang kedua dengan terbitan teks
dengan perbaikan bacaan.

o. Hikayat Meukuta Alam (Imron T.Abdullah, 1991)


Imron membedakan hikayat Meuka Alam menjadi dua, yaitu lisan dan tulisan.
Karena dia menganggap bahwa karya sastra hikayat lahir berupa lisan terdahulu
kemudian berupa tulisan. Sehingga pengelompokan ini bertujuan untuk
menggambarkan perkembangan cerita sebagai akibat dari penikmat, bukan sebagai
stema naskah Hikayat Meuka alam. (hl. 89-90)
p. Hikayat Iskandar Zulkarnaen (Siti Chamamah Soeratno, 1991)
Hikayat ini pertama diciptakan pada abad ke 15 M. objek penelitiannya adalah naskah
hikayat Iskandar Zulkarnaen yang ada diperpustakaan Universitas Malaya. Teks ini
adalah satu-satunya teks yang paling utuh secara semantiknya. Mulai dari Nabi Adam
hingga peristiwa setelah wafatnya Iskandar Zulkarnaen. Teks ini disajikan kembali
dalam bentuk suntingan yang luasnya 4 kali suntingan sebelumnya oleh P.J Van
Leeuween (19937) dan Khafid Husain (1968).

Hikayat Iskandar Zulkarnaen di analisis dari segi struktur dan fungsinya, melalui
analisis terhadap tokoh-tokohnya seperrti Khidlir, Zulkarnaen. Hikayat ini
mempunyai fungsi bagi masyarakat melayu, yaitu untuk menjunjung tunggi Iskandar
Zulkarnaen sebagai raja Islam idaman, raja yang berjiwa Islam. (h. 168-9).

Anda mungkin juga menyukai