Anda di halaman 1dari 13

Pengenalan Sejarah Sastra Indonesia

Dra. Sri Suhita, M.Pd.


Marlina M.Pd.

Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Jakarta
1
a. Tujuan
Tujuan penulisan buku ajar yang berjudul Pengenalan Sejarah Sastra Indonesia ini
yaitu menyajikan materi sejarah dan perkembangan sastra Indonesia yang komprehensif
untuk dapat dipergunakan mahasiswa dalam mempelajari sastra Indonesia dan perkembangan
sastra di Indonesia.

b. Ruang Lingkup
Materi dalam buku ini mencakup beberapa hal sebagai berikut:
1) Konsep dasar sejarah sastra Indonesia, membahas konsep sejarah sastra dan periodisasi
sastra Indonesia;
2) Sastra Indonesia zaman klasik, membahas sastra Indonesia zaman klasik, sastra
Indonesia zaman pertengahan, dan sastra Indonesia zaman baru;
3) Periode kelahiran Sastra Indonesia yang terdiri atas: Angkatan Balai Pustaka (Angkatan
‘20) dan Angkatan Pujangga Baru (Angkatan ‘33);
4) Periode perkembangan Sastra Indonesia, terdiri atas: Angkatan ’45 dan Angkatan ’66;
5) Periode terkini sastra Indonesia, terdiri atas: Angkatan ’70, Angkatan ’80, dan Angkatan
2000.
6) Penghargaan sastra Indonesia yang terdiri atas enam penghargaan, yaitu: Hadiah Sastra
Rancage, Anugerah Sastra Penakencana, Anugerah Sastra Hari Puisi, Kusala Sastra
Khatulistiwa, KSI Awards, dan Cerpen Pilihan Kompas.

c. Manfaat
Dengan adanya buku Pengenalan Sejarah Sastra Indonesia ini, diharapkan
mahasiswa lebih mudah mendapatkan akses informasi yang dibutuhkan dalam mempelajari
sejarah dan perkembangan sastra Indonesia melalui satu buku utama. Buku Sejarah Sastra
Indonesia yang beredar selama ini, belum dilengkapi dengan sejarah sastra paling mutakhir.
Buku ini memiliki keunggulan melengkapinya dengan sejarah sastra Angkatan ’80-an bahkan
sampai dengan Angkatan 2000.

2
BAB II
KONSEP SEJARAH SASTRA INDONESIA DAN PERIODISASI

1. Konsep Sejarah Sastra Indonesia


Sebelum memahami apa itu sejarah sastra Indonesia, perlulah kiranya dipahami terlebih
dulu apa yang dimaksud dengan sastra Indonesia. Secara sederhana, yang dimaksud dengan
sastra Indonesia ialah sastra yang berbahasa Indonesia. Namun, ada pula yang menyebut
sastra Indonesia sebagai keseluruhan sastra yang berkembang di Indonesia ini.
Jika mengacu pada pendapat terakhir, tentu saja istilah sastra Indonesia ini mengacu
juga pada sastra daerah. Ketidakkonsistenan lain juga muncul dalam menyebut sastra
Indonesia ini. Sebut saja A. Teeuw yang menyebut dengan istilah sastra Indonesia baru,
sedangkan H.B. Jassin menggunakan istilah kesusastraan Indonesia modern. Jika kita telaah,
makna kata baru berlawanan makna dengan kata lama, sedangkan kata modern berlawanan
makna dengan kata klasik. Adanya perbedaan tersebut menyebabkan adanya perbedaan
antara sastra lama dan sastra klasik.
Gambaran ketidaktunggalan makna dalam istilah sastra Indonesia menyebabkan
diperlukan adanya kesepakatan normatif agar konteks sastra Indonesia menjadi lebih jelas.
Kesepakatan tersebut perlu dilakukan agar pemaparan tentang apa yang disebut sastra
Indonesia itu jelas gerak perkembangannya. Dari beberapa buku seperti Ikhtisar Sejarah
Sastra Indonesia (Rosidi, 1969), Novel Sastra Indonesia sebelum Perang (Damono, 1979),
dan Sastra Baru Indonesia (Teeuw, 1980), dirumuskan oleh Yudiono K.S. (2010:12) bahwa
yang dimaksud dengan sastra Indonesia adalah sastra (kesusastraan) berbahasa Indonesia
yang sejarah pertumbuhannya dimulai pada Abad ke-20. Mengacu pada pandangan tersebut,
sejarah sastra Indonesia yang akan dipelajari dalam buku ini ialah sejarah sastra yang
dimulai dengan karya-karya pada abad tersebut.
Namun demikian, jika kita mengacu pada sastra berbahasa Indonesia, bahasan tentang
perkembangan bahasa pun tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sastra Indonesia.
Seperti kita ketahui bahwa bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa persatuan pada 28
Oktober 1928 melalui Ikrar Sumpah Pemuda. Untuk pembahasan hal ini, kiranya tak perlu
kita bahas secara lebih terinci. Namun, sehubungan dengan ditetapkannya bahasa Indonesia
pada konteks di atas, karya sastra yang muncul sebelum Oktober 1928 apakah dapat disebut
sebagai bagian dari sastra Indonesia?

3
Karya-karya sastra lama yang muncul banyak yang ditulis dengan bahasa Melayu.
Bahkan, karya sastra Angkatan Balai Pustaka pun masih didominasi oleh bahasa Melayu.
Meskipun demikian, karya-karya tersebut juga dikategorikan sebagai bagian dari sastra
Indonesia karena bahasa Melayu merupakan akar dari bahasa Indonesia.
Setelah memahami apa yang dimaksud dengan sastra Indonesia, hal selanjutnya yang
perlu dipahami ialah apa yang dimaksud dengan sejarah sastra, khususnya sejarah sastra
Indonesia. Namun, untuk dapat memahami secara lebih jelas, perlulah kiranya dikaji
pendapat-pendapat yang membahas ruang lingkup dan objek kajian sejarah sastra.
Dalam lingkup ilmu sastra, sejarah sastra merupakan bagian dari ilmu sastra selain teori
sastra dan kritik sastra. Ilmu sastra ini merupakan ilmu yang mempelajari sastra dengan
berbagai permasalahannya. Ketiga bagian dari ilmu sastra tersebut saling berkaitan dan objek
kajiannya berbeda sehingga ketiga aspek dalam ilmu sastra tersebut harus dipelajari jika ingin
menguasai ilmu sastra secara keseluruhan. Beberapa ahli mencoba memaparkan secara
teoretis perihal sejarah sastra dan objek sejarah sastra. Berikut ini akan dibahas pendapat
tersebut.
Todorov (1985) yang dikutip oleh Rismawati (2017: 7) menyebutkan bahwa sejarah
sastra adalah ilmu yang memperlihatkan perkembangan karya sastra dari waktu ke waktu.
Sejarah sastra merupakan bagian dari ilmu sastra, yaitu ilmu yang mempelajari sastra dengan
berbagai permasalahannya. Tugas dari sejarah sastra yaitu: (1) meneliti keragaman setiap
kategori sastra; (2) meneliti jenis karya sastra baik secara diakronis, maupun secara
sinkronis;(3) menentukan kaidah keragaman peralihan sastra dari satu masa ke masa
berikutnya; dan (4) mencatat peristiwa-peristiwa penting yang terkait dengan kesastraan.
Adapun menurut Yudiono (2010:26), sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra yang
mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa, misalnya sejarah sastra
Indonesia, sejarah sastra Jawa, dan sejarah sastra Inggris. Dengan demikian, objek sejarah
sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan dan
perkembangan sastra suatu bangsa. Sejarah sastra itu menyangkut karya sastra, pengarang,
penerbit, pengajaran, kritik, dan lain-lain. Pendapat lain datang dari Luxemburg (1982:200-
212) bahwa di dalam sejarah sastra dibahas periode-periode kesusastraan, aliran-aliran, jenis-
jenis, pengarang-pengarang, dan juga reaksi pembaca. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa pembahasan tentang sejarah sastra bukanlah merupakan hal yang sederhana.
Selain ketiga pendapat tersebut, pendapat yang lain tentang sejarah sastra menyatakan
bahwa sejarah sastra Indonesia, secara khusus adalah studi sastra yang mengungkap
rangkaian kejadian dalam periode-periode perkembangan kesusastraan Indonesia mulai

4
kelahiran sampai perkembangan terakhir. Sejarah sastra ini mengkaji data berupa fakta-fakta
sastra dengan dua media yaitu berupa fakta tertulis dan fakta lisan. Fakta tertulis berasal dari
media-media tulis seperti surat kabar dan buku-buku sastra, sedangkan fakta-fakta lisan
berasal dari pelaku atau sumber yang dekat dengan pelaku sastra (Muhri, 2014: 3-4).
Dari empat pendapat tersebut dapat dipahami bahwa sejarah sastra merupakan studi
tentang rangkaian peristiwa dan periodisasi perkembangan sastra Indonesia dari masa
kelahiran hingga masa perkembangannya terkini. Mempelajari sejarah sastra itu berarti pula
mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan sastra --
dalam hal ini sastra Indonesia-- yang di dalamnya menyangkut periode-periode kesusastraan,
keragaman karya sastra, pengarang, penerbit, peristiwa-peristiwa penting pada masa tertentu,
dan hal-hal yang membahas peralihan karya sastra dari satu masa ke masa tertentu. Adapun
data-data yang digunakan untuk mendukung sejarah sastra ini dapat berasal dari fakta-fakta,
baik yang ada dalam bentuk media tertulis meupun media lisan.
Mempelajari sejarah sastra Indonesia berarti mempelajari sejarah kebudayaan karena
sastra merupakan bagian dari kebudayaan manusia. Sebelum menjadi Indonesia, kesadaran
terhadap kebudayaan, termasuk sastra ini telah tumbuh seiring tumbuhnya semangat
pembentukan kebudayaan Indonesia baru yang mulai ditumbuhkan oleh para tokoh
intelektual tahun 1930-an. Tokoh-tokoh seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane,
Poerbatjaraka, M. Amir, Ki Hadjar Dewantara, dan Adinegoro memang tidak secara khusus
memperdebatkan konsep kesusastraan Indonesia. Namun, para tokoh tersebut telah
memperlihatkan kesadaran mereka terhadap sejarah kebudayaan Indonesia.
Adapun kesadaran para tokoh terhadap sejarah sastra Indonesia makin tampak pada
tahun 1940-an ketika Sutan Takdir Alisjahbana menulis Puisi Baru (1946), dan H.B. Jassin
menyusun antologi gema Tanah Air (1948) dan Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang
(1948). Kesadaran-kesadaran tersebut semakin tampak jelas dalam buku A. Teeuw yang
berjudul Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru (1952), buku Bakri Siregar
Sejarah Sastra Indonesia Modern (1964), buku Ajip Rosidi Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia
(1969) dan buku Jakob Soemardjo berjudul Lintasan Sejarah Sastra Indonesia I (1992).
Pandangan terhadap sejarah sastra Indonesia tidak terlepas dari latar belakang sejarah
dan kemasyarakatan. Selain itu, sejarah sastra Indonesia juga pasti terkait dengan sejarah
pertumbuhan bahasa Melayu. Hubungannya dengan bahasa Melayu dapat dilihat dalam
sejarah Sumpah Pemuda karena akar dari bahasa Indonesia ini ialah bahasa Melayu yang
sudah berkembang sejak abad ke-7.

5
Ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa pengganti bahasa Melayu,
sebenarnya bukan pada tahun 1928. Pada tahun tersebut, Ikrar Sumpah Pemuda hanya
menjadi bentuk pengukuhan, karena pada dasarnya para tokoh pergerakan nasional dan para
pelajar yang sebagiannya terdiri atas orang-orang yang juga terlibat dalam dunia kesusastraan
pada masa selanjutnya, telah mempersiapkan hal ini sejak sebelumnya. Tokoh-tokoh tersebut
di antaranya: Mohammad Yamin, Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane,
Armijn Pane, dan J.E. Tatengkeng, yang pada akhirnya disebut sebagai perintis kesusastraan
Indonesia. Karena melalui tangan-tangan merekalah lahir karya-karya sastra yang memiliki
nilai berbeda dari tradisi sastra Nusantara. Bahkan pada akhirnya, dari mereka pulalah lahir
karya-karya besar yang disebut karya-karya Pujangga Baru.
Dalam catatan sejarah, bangsa Indonesia yang saat itu dikenal dengan nama
Nusantara, merupakan bangsa yang lama dijajah oleh Belanda. Sebagai bangsa yang
menjajah Nusantara dengan keras, baru pada abad ke-20 politik Belanda mulai melunak.
Belanda mulai mencanangkan politik etis yang dimaksudkan untuk membuat rakyat
Nusantara merasa dekat dengan Belanda. Politik etis Belanda inilah yang kemudian
membuka peluang bagi para pemimpin nasional untuk giat memperjuangkan bahasa Melayu
sebagai bahasa persatuan yang kemudian diberi nama Bahasa Indonesia, sesuai dengan
usulan yang disampaikan oleh M. Tabrani. Sejak masa itu banyak tokoh yang kemudian
beralih menggunakan bahasa Indonesia dalam berpidato maupun kegiatan tulis-menulis.
Presiden Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, merupakan salah seorang tokoh
nasional yang sangat berjasa dalam menghidupkan bahasa Indonesia di kalangan masyarakat.
Sementara itu, dalam konteks pertumbuhan sastra Indonesia, tradisi sastra berbahasa
daerah Nusantara maupun bahasa Melayu telah berkembang cukup lama di Nusantara.
Perubahan pun terjadi seiring berkembangnya pers (surat kabar) pada pertengahan abad ke-
19. Melalui pers itulah diperkenalkannya bahasa prosa yang bersifat lugas dan praktis, untuk
menyampaikan peristiwa kehidupan sehari-hari. Selain itu, pengaruh bacaan sastra Eropa
juga turut berperan dalam memperkenalkan bahasa prosa fiksi untuk bercerita. Setelah
dikenalnya bahasa prosa fiksi inilah kemudian lahir roman-roman yang terbit sebagai cerita
bersambung di koran-koran. Pada tahun 1920-an mulai lahir roman-roman berbahasa Melayu
yang diterbitkan melalui Balai Pustaka.
Balai Pustaka merupakan penerbit yang dibuat oleh orang Belanda. Penerbit ini
didirikan oleh Belanda pada tanggal 14 September 1908, yang diberi nama badan penerbit
Commissie voor de Volkslectuur dipimpin oleh G.A.J. Hazeu di Jakarta. Pada tahun 1917
nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat) diganti menjadi Balai Pustaka

6
dipimpin oleh D.A. Rinkes dan G.W.J. Drewes, yang kemudian digantikan oleh K.A.H.
Hidding.
Penerbitan ini hingga sekarang masih ada dan buku-buku terbitannya masih banyak
keluar, meskipun buku-buku tersebut merupakan buku-buku lama yang banyak disadur untuk
kepentingan pembelajaran di sekolah. Misalnya: Buku “Siti Nurbaya” karangan Marah Roesli
cetakan ke-50 yang terbit tahun 2013 berjumlah halaman 365, dibuat sadurannya oleh Ragdi
F. Daye cetakan pertama pada tahun 2011 dengan jumlah halaman yang lebih singkat hanya
154 halaman. Karya sastra adiluhung tersebut diterbitkan kembali oleh Balai Pustaka dalam
bentuk saduran novel klasik.
Hingga sekarang, sejarah sastra Indonesia telah berlangsung dalam waktu yang relatif
panjang. Perkembangannya pun terbilang pesat dan dinamis, sehingga jika dipaparkan maka
sejarah sastra Indonesia tersebut dapat dipaparkan secara panjang lebar. Meskipun demikian,
buku-buku tentang sejarah sastra Indonesia masih relatif sedikit jika dibandingkan dengan
buku-buku kritik, esai, dan apresiasi sastra.
Beberapa penulisan sejarah sastra yang dilakukan selama ini perlu mendapat tinjauan
kembali. Karena dalam jangka waktu yang relatif panjang selama perkembangan sastra
Indonesia, masalah-masalah penulisan sejarah sastra ini masih banyak muncul. Salah satu
masalah yang sering memunculkan perdebatan ialah masalah penetapan periodisasi sastra
Indonesia.

2. Periodisasi Sastra Indonesia


Para ahli sastra melakukan pengelompokan terhadap para pengarang dan karya-
karyanya melalui periode-periode sastra tertentu. Adanya periodisasi ini tidaklah selalu
sependapat antara ahli sastra yang satu dan yang lain. Pada bagian ini akan dibahas beberapa
pandangan ahli sastra dalam mengelompokkan sastrawan dan karya-karyanya melalui
periodisasi sejarah sastra Indonesia.
Periodisasi sastra merupakan kesatuan waktu dalam perkembangan sastra, yang
dikuasai oleh suatu sistem norma tertentu atau kesatuan waktu, yang memiliki sifat dan cara
pengucapan yang khas yang berbeda dengan masa sebelumnya (ensiklopedia.kemdikbud.
go.id). Periodisasi sastra disebut juga sebagai penggolongan sastra berdasarkan pembabakan
waktu dari awal kemunculan sampai dengan perkembangannya. Selain berdasarkan tahun
kemunculan, periodisasi sastra juga dapat dilihat berdasarkan ciri-ciri sastra yang dikaitkan
dengan situasi sosial, serta pandangan dan pemikiran pengarang terhadap masalah yang

7
dijadikan objek karya kreatifnya. Periodisasi sastra ini selanjutnya diklasifikasi oleh para
tokoh dan diperiodisasikan perkembangannya berdasarkan zaman.
Menurut Sarwadi (1994, ensiklopedia.kemdikbud.go.id), periodisasi merupakan
masalah yang banyak menarik perhatian orang, tidak hanya para penelaah sastra saja, tetapi
juga para sastrawan. Masalah periodisasi itu tidak begitu penting bagi para sastrawan.
Sehingga ada beberapa pengarang yang tidak mau dimasukkan ke dalam salah satu angkatan,
karena dipandang akan membatasi dan mempersempit kebebasan daya kreativitasnya.
Walaupun demikian, periodisasi sejarah sastra Indonesia modern itu perlu ditetapkan,
terutama bagi para penelaah sastra serta bagi dunia pendidikan dan pengajaran. Dengan
adanya periodisasi akan dapat dengan mudah mengetahui tahap-tahap perkembangan sastra
Indonesia dengan corak dan aliran yang mungkin menyertai setiap tahap perkembangan itu.
Berdasarkan periodisasi tersebut, sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsip antara
periodisasi yang satu dengan yang lain. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa periodisasi
sastra Indonesia itu tetap diperlukan, meskipun bagi para sastrawan hal tersebut bukanlah
merupakan suatu hal yang penting.
Masalah pengelompokan para sastrawan dan karya-karyanya atau yang disebut
dengan periodisasi, pada akhirnya melahirkan yang disebut dengan Angkatan. Adanya
angkatan-angkatan ini tidak terlepas dari penulisan sejarah sastra Indonesia dan atau
sebaliknya. Penulisan sejarah sastra Indonesia tidak bisa terlepas dari permasalahan angkatan
dalam sastra. Adapun yang dimaksud dengan angkatan adalah sekumpulan sastrawan yang
hidup dalam satu kurun masa atau menempati suatu periode tertentu dengan kesamaan atau
setidaknya kemiripan ide, gagasan, serta semangat sebagai akibat dari interaksi para
sastrawan tersebut yang hidup dalam zaman yang sama. Sebuah angkatan baru dapat lahir
karena adanya gagasan baru dalam dunia kesusastraan yang disebabkan peristiwa-peristiwa
penting yang terjadi atau bisa juga karena ada sastrawan yang unik dan luar biasa (avand
garde) yang pada akhirnya mendapat pengikut.
Penggolongan sastra dalam periodisasi tertentu pernah dilakukan oleh beberapa
pengamat sastra seperti H.B. Jassin, Usman Effendy, Sabaruddin Ahmad, Nugroho
Notosusanto, dan Simorangkir Simanjuntak. H.B. Jassin misalnya, mengelompokkan
periodisasi sastra Indonesia menjadi 2 periode, yakni Periode Sastra Melayu Lama dan
Periode Sastra Indonesia modern, yang terdiri atas empat angkatan, yaitu Angkatan Balai
Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan ’45, dan Angkatan ’66. Sementara itu, Usman
Effendy menggolongkan periodisasi sastra Indonesia menjadi 3 masa, yakni Kesusastraan
Lama, Kesusastraan Baru, dan Kesusastraan Modern. Adapun Sabaruddin Ahmad

8
menggolongkan periodisasi sastra Indonesia menjadi Kesusastraan Lama (Dinamisme,
Hinduisme, dan Islamisme), Kesusastraan Baru (Masa Abdullah bin Abdulkadir Munsyi),
dan Masa Balai Pustaka, Masa Pujangga Baru, dan Angkatan ’45.
Pengelompokan lainnya menurut Nugroho Notosusanto yang mengelompokkan
periodisasi sastra Indonesia menjadi 2 periode, yakni Kesusastraan Melayu Lama dan
Kesusastraan Indonesia Modern, yang terdiri atas Zaman Kebangkitan (periode 1920, 1933,
1942, 1945) dan Zaman Perkembangan (periode 1945, 1950 sampai sekarang). Selanjutnya,
ada juga pengelompokan menurut Simorangkir Simanjuntak, yang mengelompokkan
periodisasi sastra Indonesia menjadi Kesusastraan Masa Pama/ purba (sebelum datangnya
pengaruh Hindu), Kesusastraan Masa Hindu/ Arab (mulai adanya pengaruh Hindu sampai
dengan kedatangan agama Islam), Kesusastraan Masa Islam, dan Kesusastraan Masa Baru
yang terdiri atas Kesusastraan Masa Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi: Masa Balai Pustaka;
Masa Pujangga Baru; dan Kesusastraan Masa Mutakhir (1942 hingga sekarang) (Rismawati,
2017: 8-9). Jika diperhatikan, pengelompokan yang dilakukan tersebut secara umum hanya
sampai pada batas Angkatan ’66 sehingga diperlukan pengelompokan periodisasi sastra
Indonesia yang lebih mutakhir (Rismawati, 2017: 7-9).
Pengelompokan periodisasi sastra Indonesia ini pun kemudian dilakukan oleh
pengamat sastra lain, seperti: Ajip Rosidi, Jakob Sumardjo, dan Rachmat Djoko Pradopo.
Pengelompokan ini menjadi lebih populer dibandingkan dengan pengelompokan yang telah
disebutkan sebelumnya. Pengelompokan tersebut dapat dilihat pada paparan berikut.
Dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra yang ditulis oleh Ajip Rosidi (1969: 13), Ajip
Rosidi membagi sejarah sastra Indonesia sebagai berikut:
I. Masa Kelahiran atau Masa Kebangkitan yang mencakup kurun waktu 1900-1945. Masa
Kelahiran atau Masa Kebangkitan ini dibagi menjadi beberapa periode, yaitu:
1. Periode awal hingga 1933
2. Periode 1933 - 1942
3. Periode 1942 – 1945
II. Masa Perkembangan (1945 – 1968) yang dibagi lagi menjadi beberapa periode, yaitu:
1. Periode 1945 – 1953
2. Periode 1953 – 1961
3. Periode 1961 – 1968
Menurut Ajip, pada periode awal (1900–1933) banyak mengangkat hal-hal yang
berhubungan persoalan adat. Pada masa ini, masyarakat yang sedang menghadapi akulturasi
mengalami berbagai problema kehidupan, yang berhubungan dengan kelangsungan eksistensi

9
masing-masing. Sementara itu, pencarian tempat di tengah pertarungan budaya timur dan
barat mewarnai periode 1933–1942. Pada masa ini, banyak muncul pandangan romantis-
idealistis.
Pada periode 1942 – 1945 atau bersamaan dengan masa pendudukan Jepang perubahan
pun terjadi. Pada masa ini lahirlah warna pelarian, kegelisahan, dan peralihan. Sementara itu,
warna perjuangan dan pernyataan diri di tengah kebudayaan tampak pada periode 1945 –
1953. Selanjutnya, periode 1953–1961 warna pencarian identitas diri dan sekaligus penilaian
kembali terhadap warisan leluhur tampak sangat menonjol. Adapun pada periode 1961 –
1968, warna perlawanan dan perjuangan mempertahankan martabat menonjol dan
sesudahnya tampak warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan pengungkapan
sastra.
Adapun periodisasi yang diungkapkan oleh Jakob Sumardjo dalam bagian pendahuluan
Lintasan Sejarah Sastra Indonesia I (1992: ix-x) menyebutkan bahwa periodisasi sastra
Indonesia telah mencatat lima angkatan yang muncul pada rentang waktu 10 sampai dengan
15 tahun. Periodisasi tersebut ialah sebagai berikut:
1. Sastra Awal (1900-an),
2. Sastra Balai Pustaka (1920 – 1930),
3. Sastra Pujangga Baru (1930 - 1942),
4. Sastra Angkatan 45 (1942 – 1955),
5. Sastra Generasi Kisah (1955 – 1965), dan
6. Sastra Generasi Horison (1966 - ).
Penamaan tersebut dilakukan berdasarkan pada nama badan penerbitan yang
menyiarkan karya-karya sastrawan. Sebagai contoh, penerbit Balai Pustaka, majalah
Pujangga Baru, majalah Kisah, dan majalah Horison. Sementara itu, ada juga Angkatan ‘45
yang menggunakan tahun revolusi Indonesia.
Periodisasi lainnya dimunculkan oleh Rachmat Djoko Pradopo yang membagi
periodisasi sejarah sastra Indonesia sebagai berikut.
1. Periode Balai Pustaka: 1920 – 1940,
2. Periode Pujangga Baru: 1930 – 1945,
3. Periode Angkatan 45: 1940 – 1955,
4. Periode Angkatan 50: 1950 – 1970, dan
5. Periode Angkatan 70: 1965 – sekarang (1984)
Penjelasan yang dipaparkan oleh Rachmat Djoko Pradopo perihal periode-periode
yang disebutkan tersebut secara garis besar ialah bahwa pada periode Balai Pustaka, jenis

10
sastra yang utama yaitu roman yang mengangkat tema-tema seperti perkawinan paksa,
permaduan, dan pertentangan antara kaum muda dengan kaum tua. Sementara itu, periode
Angkatan Pujangga Baru banyak menonjolkan karya-karya yang berbentuk puisi serta mulai
banyak ditulis cerita pendek dan drama dengan aliran romantik. Pada periode Angkatan ‘45,
berkembang puisi, novel, cerpen, dan drama dengan warna perang, sedangkan periode ‘50
memperlihatkan kesadaran baru di kalangan para sastrawan untuk memikirkan masalah-
masalah kemasyarakatan dalam suasana kemerdekaan. Adapun pada periode Angkatan 70
berkembang sastra pop yang secara literer dianggap tidak menunjukkan adanya
perkembangan sastra.
Pandangan ketiga pakar sastra tersebut menjadi dasar pertimbangan dalam pembagian
periode sastra Indonesia. Namun, jika ditelaah secara lebih mendalam, pembabakan yang
dilakukan oleh para ahli sastra tersebut belum mencakup keseluruhan pembabakan sejarah
sastra Indonesia karena jika dilihat dari pembabakannya, pembabakan terakhir seperti yang
diungkapkan oleh R. Djoko Pradopo hanya sampai pada Periode 70 atau sekitar tahun 1965
sampai dengan tahun 1984.
Periodisasi dengan format baru ditawarkan oleh Yudiono K.S. yang
mempertimbangkan sumber-sumber lain yang sudah pasti merujuk pada perkembangan sastra
Indonesia hingga tahun 2006. Yudiono membagi pembabakan periodisasi sejarah sastra
sebagai berikut:
1. Masa Pertumbuhan atau Kebangkitan (1900 – 1945),
2. Masa Revolusi atau Pergolakan (1945 – 1965),
3. Masa Pemapanan (1965 – 1998), dan
4. Masa Pembebasan (1998 – sekarang )
Pembabakan yang dilakukan oleh Yudiono mengacu pada peristiwa-peristiwa besar
perpolitikan di Indonesia yang menjadi momentum besar, yakni masa Proklamasi
Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, geger politik dan tragedi nasional 30 September 1965,
dan reformasi politik 21 Mei 1998.
Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, masalah penamaan periode sejarah
sastra Indonesia memang selalu menjadi perdebatan. Dapat dilihat dari pembabakan yang
telah ditawarkan oleh para pakar sastra yang disebutkan di atas. Oleh karena itu, para
pembaca sastra dapat memilih yang mana kiranya pembabakan sejarah sastra Indonesia yang
paling logis dan dapat berterima karena pada dasarnya, para sastrawan menulis karyanya
tidak memedulikan soal periodisasi atau pembabakan tersebut.

11
Namun demikian, berdasarkan periodisasi yang dipaparkan oleh para pengamat sastra
tersebut, pengelompokan periodisasi sastra Indonesia dapat dirangkum menjadi dua periode,
yakni Sastra Indonesia Klasik, dan Sastra Indonesia Modern yang terdiri atas Periode
Kelahiran (Angkatan Balai Pustaka dan Angkatan Pujangga Baru); Periode Perkembangan
(Angkatan ’45 dan Angkatan ’66); dan Periode Terkini (Angkatan ’70, Angkatan ’80, dan
Angkatan 2000). Periodisasi inilah yang akan menjadi dasar pengelompokan periodisasi
sastra Indonesia dalam buku ini.

3. Rangkuman Materi
Mempelajari sejarah sastra Indonesia harus dimulai dengan pemahaman tentang apa yang
dimaksud dengan sastra Indonesia. Adapun berdasarkan hasil ramuan dari berbagai sumber,
dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan sastra Indonesia adalah sastra (kesusastraan)
berbahasa Indonesia yang sejarah pertumbuhannya dimulai pada Abad ke-20. Karya-karya
sastra ini mencakup karya sastra berbahasa Melayu karena bahasa Melayu merupakan akar
dari bahasa Indonesia.
Sebagai bagian dari ilmu sastra, selain teori sastra dan kritik sastra, sejarah sastra juga
merupakan bagian ilmu sastra yang perlu dipahami ruang lingkup dan objek kajiannya jika
ingin menguasai ilmu sastra secara keseluruhan. Dari beberapa pendapat, dapat ditarik
kesimpulan bahwa sejarah sastra mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan
pertumbuhan dan perkembangan sastra --dalam hal ini sastra Indonesia-- yang di dalamnya
menyangkut periode-periode kesusastraan, keragaman karya sastra, pengarang, penerbit,
peristiwa-peristiwa penting pada masa tertentu, dan hal-hal yang membahas peralihan karya
sastra dari satu masa ke masa tertentu.
Salah satu kajian yang tak dapat dipisahkan dengan sejarah sastra adalah adanya
periodisasi sejarah sastra Indonesia. Ada beberapa pendapat perihal pembabakan sastra di
Indonesia. Pendapat-pendapat tersebut melihat pembagian karya sastra dari beberapa sudut
pandang seperti kesamaan atau kemiripan ide, gagasan, dan semangat para sastrawan akibat
hidup dalam zaman yang sama; kesamaan penerbit atau majalah yang memublikasikan karya
sastra; dan peristiwa-peristiwa penting perpolitikan di Indonesia yang menjadi momentum
besar bagi bangsa Indonesia.
Berdasarkan pendapat yang dipaparkan, periodisasi sastra Indonesia secara umum dapat
dikelompokkan dapat dirangkum menjadi dua periode, yakni Sastra Indonesia Klasik, dan
Sastra Indonesia Modern yang terdiri atas Periode Kelahiran (Angkatan Balai Pustaka dan
Angkatan Pujangga Baru); Periode Perkembangan (Angkatan ’45 dan Angkatan ’66); dan

12
Periode Terkini (Angkatan ’70, Angkatan ’80, dan Angkatan 2000). Periodisasi inilah yang
akan menjadi dasar pengelompokan periodisasi sastra Indonesia dalam buku ini.

4. Glosarium Istilah

Angkatan
kelompok sastrawan yang bertindak sebagai kesatuan yang berpengaruh pada masa
tertentu dan secara umum menganut prinsip yang sama untuk mendasari karya sastra

Angkatan Balai Pustaka


Sastrawan dan karya sastra yang terbit antara tahun 1920 – 1950, dipelopori oleh
penerbit Balai Pustaka.

Angkatan Pujangga Baru


Angkatan sastrawan yang muncul setelah Angkatan Balai Pustaka sebagai reaksi atas
banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka.

Angkatan 45
Kelompok pengarang dan seniman yang muncul sekitar tahun 1945

Kritik sastra
Bagian dari ilmu sastra yang memberikan penilaian terhadap karya sastra.

Periodisasi
Pembagian menurut zamannya; penzamanan; pembabakan

Teori sastra
Bagian dari ilmu sastra yang mempelajari dasar-dasar teori untuk pengkajian karya sastra

5. Daftar Pustaka
Abidin, Y. 2003. Sastra Indonesia dan Nusantara dalam Sejarah dan Perkembangannya.
Tasikmalaya: HZAA Press.
Ensiklopedia Sastra Indonesia - Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (Daring)
(http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/) (Diunduh 10 Desember 2018)
Hooykas, C. 1965. Perintis Sastera. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn.1984. Pengantar Ilmu
Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Muhri. 2014. Sejarah Ringkas Kesusastraan Indonesia. Bangkalan, Jawa Timur:
Arraudlah Bangkalan.
Rosidi, Ajip. 1991. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.
Rismawati. 2017. Perkembangan Sejarah Sastra Indonesia. Aceh: Bina Karya
Akademika.
Yudiono K. S., 2010. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.

13

Anda mungkin juga menyukai