Anda di halaman 1dari 28

SEJARAH SASTRA INDONESIA DAN PERIODISASINYA oleh FAJAR FITRIANTO – DRF

BLOG 1. SEJARAH SASTRA INDONESIA

1.1 Pengertian Sejarah Menurut Kuntowijoyo (dalam Yudiono, 2010:21), mengatakan bahwa
sejarah masih merupakan barang mewah yang sedikit peminatnya. Sedangkan moedjanto
mengatakan bahwa di dunia ini masih ada ilmuwan social dan humaniora, bahkan ilmuwan
eksakta, yang mempunyai keyakinan bahwa dunia tidak hanya memerlukan insinyur,
8industriawan dan banker. Mereka berkeyakinan bahwa tertib dunia masa sekarang dan masa
depan manusia memerlukan berbagai disiplin ilmu, termasuk sejarah. Disiplin sejarah, bersama
dengan berbagai disiplin humaniora yang lain, serta disiplin-disiplin social, diperlukan demi
pemanusiaan (hominisasi) dan pembudayaan (humanisasi) umat manusia. Dalam Mengerti
Sejarah (Gottschalk, 1975) dijelaskan secara panjang lebar pengertian sejarah (history) yang
berasal dari kata benda Yunani istoria yang berarti ‘ilmu’. Oleh filsuf Aristoteles, kata tersebut
diartikan sebagai suatu pertelaan sistematis mengenai seperangkat gejala alam, entah susunan
kronologi merupakan faktor atau tidak di dalam pertelaan. Pengetahuan itu masih tetap hidup
dalam bahasa inggris dengan sebutan natural history. Namun, dalam perkembangan kemudian,
kata latin scientia lebih sering dipergunakan untuk menyebut pertelaan sistematik nonkronologis
mengenai gejala alam, sedangkan istoria biasanya dipergunakan untuk pertelaan mengenai
gejala-gejala (terutama hal-ihwal manusioa) dalam urutan kronologis.Kini history berarti masa
lampau umat manusia. Dalam bahasa jerman terdapat geschichte, dari kat geschehen (=terjadi)
yang seloanjutnya sering dipakai untuk pengertian pelajaran sejarah. Dalam pengertian itu,
tergambar ketidakmungkinan masa lampau 7umat manusia untuk direkonstruksi. Sebab,
pengalaman manusia di masa lampau sangat banyak untuk diingat kembali, direkam, dicatat,
apalagi direkonstruksi. Dengan kata lain, masa lampau manusia untuk sebagian besar tidak dapat
ditampilkan kembali. Dalam kehidupan semua orang, pastilah ada peristiwa, orang, kata- kata,
pikiran-pikiran, tempat-tempat, dan bayangan-bayangan yang ketika terjadi sama sekali tidak
menimbulkan kesan atau yang kini telah dilupakan.

1.2 Sejarah Sastra Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra merupakan cabang
ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa. Misalnya,
sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra Jawa, dan sejarah sastra Inggris. Dengan pengertian dasar
itu, tampak
bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan dan
perkembangan suatu bangsa. Telah disinggung di depan bahwa sejarah sastra itu bisa menyangkut karya
sastra, pengarang, penerbit, pengajaran, kritik, dan lain- lain.Dalam Pengantar Ilmu Sastara (Luxemburg,
1982: 200-212) dijelaskan bahwa dalam sejarah sastra dibahas periode-periode kesusastraan, aliran-
aliran, jenis-jenis, pengarang-pengarang, dan juga reaksi pembaca. Semua itu dapat dihubungkan
dengan perkembangan di luar bidang sastra seperti, sosial dan filsafat. Jadi, sejarah sastra meliputi
penulisan perkembangan sastra dalam arussejarah dan di dalam konteksnya. Perhatian para ahli sastra
di Eropa terhadap sejarah sastra muncul pada abad ke-19, berawal dari perhatian ilmuwan pada zaman
Romantuik yang menghubungkan segala sesuatu dengan masa lampau suatu bangsa. Adapun dasarnya
adalah filsafat positivisme yang bertolak pada prinsip kausalitas, yaitu segala sesuatu dapat diterangkan
bila sebabnya dapat dilacak kembali. Dalam hal sastra, sebuah karya sastra dapat diterangkan atau
ditelaah secara tuntas apabila diketahui asal-usulnya yang bersumber pada riwayat hidup pengarang
dan zaman yang melingkunginya.Tokoh yang berpengaruh besar terhadap pandangan tersebut adalah
Hypolite Taine (1828-181893). Pandangannya menegaskan bahwa seorang pengarang dipengaruhi oleh
ras, lingkungan, dan momen atau saat. Ras ialah apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya,
lingkungan meliputi keadaan alam dan sosial, sedangkan momen ialah situasi sosio-pulitik pada zaman
tertentu. Apabila ketiga fakta itu diketahui dengan baik maka dimungkinkan simpulan mengenai iklim
suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta karyanya.Ahli sejarah sastra Jerman,
Wilhelm Scherer (1841-1886) mempergunakan tiga faktor penentu, yaitu das Ererbte (warisan), das
Erlebte (pengalaman), dan das Erlernte (hasil proses belajar). Penerapannya menuntut kerja sama yang
erat antara ahli fisiologi, psikologi, linguistic, dan sejarah kebudayaan. Dia menegaskan bahwa seorang
penulis sejarah sastra harus mampu menyelami seluruh kehidupan manusia, baik jasmani maupun
rohani, dalam kebertautan yang kausal.

1.3 Sejarah Sastra Indonesia Perhatian masyarakat sastra Indonesia terhadap masalah sejarah
kebudayaan, termasuk sastra, telah tampak sejak awal pertumbuhan sastra Indonesia di tahun 1930-an
sebagaimana terbaca dalam Polemik Kebuadayaan suntingan Achdiat K.Mihardja (1977). Polemic yang
berkembang antara tokoh-tokoh S.Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Poerbatjaraka, M.Amir, Ki Hadjar
Dewantara, Adinegoro dan lain-lain memang tidak secara khusus memperdebatkan konsep kesusastraan
Indonesia, tetapi telah memperlihatkan kesadaran mereka terhadap sejarah kebudayaan Indonesia.
Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa sebutan Indonesia telah dipergunakan secara luas dan kabur
sehingga tidak secara tegas menunjuka pada semangat keindonesiaan yang baru sebagai awal
pembangunan kebudayaan Indonesia Raya. Menurut Takdir, semangat keindonesiaan yang baru
seharusnya berkiblat ke Barat dengan menyerap semangat atau jiwa intelektulnya
agar wajahnya berbeda dengan masyarakat kebudayaan pra-Indonesia. Namun, pendapat yang teoretis
itu sudah ada sejak sekian abad yang silam dalam adat dan seni. Yang belum terbentuk adalah natie atau
bangsa Indonesia, tetapi perasaan kebangsaan itu sebenarnya sudah ada. Menurut Sanusi Pane,
kebudayaan Barat yang mengutamakan intelektualitas untuk kehidupan jasmani tidak dengan sendirinya
istimewa karena terbentuk oleh tantangan alam yang keras sehingga orang harus berpikir dan bekerja
keras. Sementara itu, kebudayaan Timur pun memiliki keunggulan, yaitu mengutamakan kehidupan
rohani, karena kehidupan jasmani telah dimanjakan oleh alam yang serba memberikan kemudahan.
Oleh karena itu, kebudayaan Indonesia baru dapat dibentuk dengan mempertemukan semangat
intelektualitas Barat dengan semangat Kerohanian Timur. Poerbatjaraka berpendapat bahwa
sambungan kesejarahan itu sudah ada dan tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, diperlukan
penyelidikan tentang jalannya sejarah sehingga orang dapat menengok ke belakang sebagai landasan
melihat keadaan zaman yang bersangkutan dan selanjutnya mengatur hari-hari yang akan datang.
Hingga sekarang sejarah sastara Indonesia telah berlangsung relative panjagn dengan perkembangan
yang terbilang pesat dan dinamik sehingga dapat ditulis secara panjang lebar. Hal itu dapat dipandang
sebagai tantangan besar ahli sastra Indonesia.akan tetapi, pada kenyataannya buku-buku sejarah sastra
Indonesia masihrelatif sangat sedikit dibandingkan dengan buku-buku kritik, esai, dan apresiasi sastra.
Sejumlah buku sejarah sastra Indonesia tercata secara kronologis sebagai berikut: 1. Pokok dan Tokoh
dalam Kesusastraan Indonesia Baru oleh A.Teeuw (1952), 2. Sejarah sastra Indonesia oleh Bakri Siregar
(1964), 3. Kesusastraan Baru Indoneisa oleh Zuber Usman (1964), 4. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia
oleh Ajip Rosidi (1969), 5. Modern Indonesia Literature I-II oleh A.Teeuw (1979), 6. Sastra Baru Indonesia
oleh A.Teeuw (1980), 7. Sari Kesusastaraan Indonesia oleh J.S. Badudu (1981), 8. Ikhtisar Kesusastraan
Indonesia Modern oleh Pamusuk Eneste (1988), 9. Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1 oleh Jakob
Sumardjo (1992), dan 10. Sejarah Sastar Indonesia Modern oleh Sarwadi (2004). Di balik semua itu,
barangkali sudah ditulis telaah sejarah sastra Indonesia dalam skripsi, tesis dan disertasi. Akan tetapi,
datanya masih sulit diandalkan sebagai rujukan untuk kepentingan pelajaran ini apabila belum terbit
sebagai buku umum. Yang jelas, berbagai hasil penelitian itu merupakan bahan yang penting untuk
penyusunan sejarah sastra Indonesia secara menyeluruh. Adapun sejumlah buku yang telah
memperlihatkan persoalan-persoalan tertentu dalam sejarah sastra Indonesia antara lain sebagai
berikut: 1. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia oleh Boen S.Oemarjati (1971),
2. Cerita Pendek Indonesia Mutakhir Sebuah Pembicaraan oleh Korrie Layun Rampan (1973), 3.
Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? Oleh Ajip Rosidi (1985), 4. Masalah Angkatan dan Periodisasi
Sejarah Sastra Indonesia oleh Ajip Rosidi (1973), 5. Pengadilan Puisi oleh Pamusik Eneste (1986), 6.
Perkembangan Novel-Novel Indonesia oleh Umar junus (1974), 7. Perkembangan Puisi Indonesia dan
Melayu Modern oleh Umar Junus (1984), 8. Perkembangan Teater Modern dan Sastara Drama Indonesia
oleh Jakob Sumardjo (1997), 9. Prahara Budaya oleh D.S.Moeljanto dan Taufiq Ismail (1995), 10. Puisi
Indonesia Kini Sebuah Perkenalan oleh Korrie layun Rampan (1980), 11. Sejarah Pertumbuhan Sastra
Indonesia di Jawa Baratm oleh Diana N.Muis,dkk. (200), 12. Sejarah dan Perkembangan Sastra Indonesia
di Maluku oleh T.Tomasoa dkk. (2000), 13. Sejarah Pertumbuhan Sastra Indonesia di Sumatra Utara oleh
Aiyub dkk. (2000), dan 14. Wajah Sastra Indonesia di Surabaya 1856-1994 oleh Suripan Sadi Hutomo
(1995). 15.

Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia Masalah periodisasi sejarah sastra Indonesia secara eksplisit telah
diperlihatkan oleh Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969), Jakob Sumardjo dalam
Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1 (1992), dan Rahmat Joko Pradopo dalam Beberapa Teori Sastra,
Metode Kritik, dan penerapannya (1995). Secara garis besar Ajib Rosidi (1969: 13) membagi sejarah
sastra Indonesia sebagai berikut:

1. Masa Kelahiran atau Masa Kebangkitan yang mencakup kurun waktu 1900-1945 yang dapat dibagi
lagi menjadi beberapa period, yaitu

2. Period awal hingga 1933

3. Period 1933-1942

4. Period 1942-1945

5. Masa Perkembangan (1945-1968) yang dapat dibagi-bagi menjadi beberapa period, yaitu

6. Period 1945-1953

7. Period 1953-1961

8. Period 1061-1968

Menurut Ajip, warna yang menonjol pada periode awal (1900-1933) adalah persoalan adat yang sedang
menghadapai akulturasi sehingga menimbulkan berbagai problem bagi kelangsungan eksistensi masing-
masing, sedangkan periode 1933-1942 diwarnai pencarian tempat di tengah pertarungan kebudayaan
Timur dan Barat dengan pandangan romantic-idealis. Perubahan terjadi pada periode 1942-1945 atau
masa pendudukan Jepang yang melahirkan warna pelarian, kegelisahan, dan peralihan, sedangkan
warna perjuangan dan pernyataan diri di tengah kebudayaan dunia tampak pada periode 1945-1953
dan selanjutnya warna pencarian identitas diri dan sekaligus penilaian kembali terhadap warisan leluhur
tampak menonjol pada periode 1953-1961. Pada periode 1961-1968 tampak menonjol warna
perlawanan dan
perjuangan mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya tampak warna percobaan dan
penggalian berbagai kemungkinan pengucapan sastra. Pada kenyataanya telah tercatat lima angkatan
yang muncul dengan rentang waktu 10 – 15 tahun sehingga dapat disusun perodisasi sejarah sastra
Indonesia modern sebagai berikut: 1. Sastra Awal (1900 – an ), 2. Sastra Balai Pustaka (1920 – 1942) 3.
Sastra Pujangga Baru (1930 – 1942) 4. Sastra Angkatan 45 (1942 – 1955) 5. Sastra Generasi Kisah (1955 –
1965) 6. Sastra Generasi Horison (1966) Dikatakan oleh Jakob bahwa penamaan itu didasarkan pada
nama badan penerbitan yang menyiarkan karya para sastrawan, seperti Penerbit Balai Pustaka, majalah
Pujangga Baru, majalah Kisah, dan majalah Horison, kecuali angkatan 45 yang menggunakan tahun
revolusi Indonesia. Ada juga penamaan angkatan 66 yang dicetuskan H.B.Jassin dengan merujuk gerakan
politik yang penting di Indonesia pada sekitar tahun 1966. Penulisan sejarah sastra Indonesia dapat
dilakukan dengan dua cara atau metode, yaitu (1) menerapkan teori estetika resepsi atau estetika
tanggapan, dan (2) menerapkan teori penyusunan rangkaian perkembangan sastra dari periode atau
angkatan ke angkatan. Di samping itu, sejarah sastra Indonesia dapat juga dilakukan secara sinkronis dan
diakronis. Yang sinkronis berarti penulisan sejarah sastra dalam salah satu tingkat perkembangan atau
periodenya, sedangkan yang diakronis berarti penulisan sejarah dalam berbagai tingkat perkembangan,
dari kelahiran hingga perkembangannya yang terakhir. Kemungkinan lain adalah penulisan sejarah
sastra dari sudut perkembangan jenis-jenis sastra, baik prosa maupun puisi. Setelah meninjau
periodisasi sejarah sastra Indonesia dari H.B.Jassin, Boejoeng Saleh, Nugroho Notosusanto, Bakri Siregar,
dan Ajip Rosidi, maka tawaran Rachmat Djoko Pradopo mengenai periodisasi sejarah sastra Indonesia
adalah sebagai berikut: 1. Periode Balai Pustaka : 1920-1940 2. Periode Pujangga Baru : 1930-1945 3.
Periode Angkatan 45 : 1940-1955 4. Periode Angkatan 50 : 1950-1970 5. Periode Angkatan 70 : 1965-
1984 Dari pendapat para pakar di atas, maka dapat disimpulkan periodisasi sastra sebagai berikut: 1.
Angkatan balai pustaka, 2. Angkatan pujangga baru, 3. Angkatan ’45,
4. Angkatan 50-an. 5. Angkatan 60-an, 6. Angkatan kontemporer (70-an–sekarang). 2. PERIODISASI
SASTRA INDONESIA 2.1 PUJANGGA LAMA Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasikan karya
sastra Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20, pada masa ini karya sastra didominasi oleh syair,
pantun, gurindam, dan hikayat. Di Nusantara budaya melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat
meliputi sebagian besar negara pantai Sumatra dan semenanjung malaya. Di Sumatra bagian utara
muncul karya- kaya penting berbahasa melayu terutama karya-karya keagamaan. Hamzah Pansuri
adalah yang pertama diantara penulis angkatan pujangga lama dari istana kesultanan Aceh pada abad
ke-17 muncul karya klasik selanjutnya yang paling terkenal adalah karya Syamsudin Pasai dan Abdul Rauf
Singkir serta Nuruddin Arraniri. Karya sastra pujangga lama 1. Hikayat Hikayat Abdullah Hikayat Kalia dan
Damina Hikayat Aceh Hikayat masyidullah Hikayat Amir Hamzah Hikayat Pandawa jaya Hikayat Andaken
Panurat Hikayat Panda Tonderan Hikayat Bayan Budiman Hikayat Putri Djohar Munikam Hikayat Hang
Tuah Hikayat Sri Rama Hikayat Iskandar Zulkarnaen Hikayat Jendera Hasan Hikayat Kadirun Tasibul
Hikayat 1. Syair Syair Bidasari Syair Ken Tambuhan Syair Raja Mambang Jauhari
Syair Raja Siam 1. Kitab Agama Syarab Al Asyidiqin (minuman para pecinta) oleh Hamzah Panzuri Asrar
Al-arifin (rahasia-rahasia gnostik) oleh Hamzah Panzuri Nur ad-duqa’iq (cahaya pada kehalusan-
kehalusan) oleh Syamsudin Pasai. Bustan as-salatin (taman raja-raja) oleh Nuruddin Ar-Raniri. 2.2
SASTRA MELAYU LAMA Karya satra yang dihasilkan antara tahun 1870-1942 yang berkembang
dilingkungan masyarakat sumatra seperti “Langkat, Tapanuli, Minangkabau dan Sumatra lainnya”, orang
Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam
bentuk syair, hikayat, dan terjemahan novel barat. Karya Sastra Melayu Lama Robinson Crousoe
(terjemahan) Lawan-lawan Merah Grauf de Monte Cristo (terjemahan) Rocambole (terjemahan) Nyui
Dasima oleh G. Prancis (indo) Bung Rampai oleh A.F. Bewali Kisah Perjanan Nahkoda Bontekoe kisah
Pelayaran ke Pulau Kalimantan Cerita Siti Aisyah oleh H.F.R. Komer (indo) Cerita Nyonya Kong Hong Nio
Nona Leonie Warna Sari Melayu oleh Kat. S.J Cerita Si Conat oleh F.D.J 2.3 ANGKATAN BALAI PUSTAKA
2.3.1 Angkatan Balai Pustaka Angkatan Balai Pustaka lazim juga disebut Angkatan 20–an atau Angkatan
Siti Nurbaya. Angkatan ini merupakan titik tolak kesustraan Indonesia. Adapun ciri- ciri Angkatan Balai
Pustaka adalah: menggunakan bahasa Indonesia yang masih terpengaruh oleh bahasa Melayu,
persoalan yang diangkat persoalan adat kedaerahan dan kawin paksa, dipengaruhi kehidupan tradisi
sastra
daerah/lokal, dan cerita yang diangkat seputar romantisme. Angkatan Balai Pustaka disebut juga
Angkatan Siti Nurbaya, karena salah satu roman yang sangat terkenal pada angkatan ini adalah Roman
Siti Nurbaya. Berikut ini dapat kita pelajari bersama sinopsis Roman Siti Nurbaya. Siti Nurbaya adalah
roman yang ditulis oleh Marah Rusli. Roman ini menceritakan tentang pemuda yang bernama Samsul
Bahri, dengan kekasihnya Siti Nurbaya, dan Datuk Maringgih. Datuk Maringgih dengan keserakahannya
menginginkan Siti Nurbaya untuk menjadi istrinya yang kesekian. Dengan licik ia beserta kaki tangannya
berhasil menghancurkan perniagaan Baginda Sulaiman, ayah Siti Nurbaya. Karena terlibat utang yang
tak akan terbayar oleh Baginda Sulaiman, akhirnya Datuk Maringgih berhasil menikahI Siti Nurbaya. Ia
dengan terpaksa mengikuti keinginan Datuk Maringgi karena tidak rela ayahnya dipenjara. Samsul Bahri
sangat mencintai Siti Nurbaya, berusaha untuk bunuh diri, tetapi gagal. Kemudian, ia menyamar menjadi
Letnan Mas setelah bergabung dengan Kompeni Belanda. Ketika terjadi perang antara Belanda dengan
masyarakat Sumatera Barat, Letnan Mas bertempur dengan Datuk Maringgih. Akhir cerita, semua tokoh
penting dalam cerita ini meninggal dunia. Mereka dimakamkan di Gunung Padang. Melalui cerita ini,
dapat kita ketahui bahwa kaum perempuan di masa itu, masih terpinggirkan atau belum mendapatkan
kesetaraan. Walaupun Siti Nurbaya berasal dari keluarga kaya, ia tidak boleh meneruskan pendidikannya
setamat dari sekolah rakyat. Hal ini disebabkan karena adanya anggapan perempuan tidak perlu
bersekolah tinggi. Perempuan cukup mengabdi kepada suami atau mengurusi rumah tangga. Selain itu,
pengaruh tradisi dan adat masih sangat kuat, sehingga siapa pun yang melanggarnya akan dijadikan
bahan pembicaraan di masyarakat. Berikut ini contoh lain karya sastra pada masa Angkatan Balai
Pustaka, yaitu berupa roman dan kumpulan puisi. Karya berupa roman antara lain Azab dan Sengsara
(Merari Siregar), Muda Teruna (Adi Negoro) , Salah Pilih (Nur St. Iskandar) dan Dua Sejoli (M. Kasim
dkk.). Karya berupa kumpulan puisi antara lain Percikan Permenungan (Rustam Effendi) dan Puspa Mega
(Sanusi Pane). 2.3.2 Pembentukan Balai Pustaka Segolongan kecil masyarakat Hindia Belanda telah
membaca karya sastra yang berbentuk novel dalam bahasa Melayu beberapa puluh tahun sebelum Sitti
Nurbaya karya Marah Rusli diterbitkan Balai Pustaka pada 1922. Oleh beberapa kritikus, novel tersebut
dianggap novel penting pertama dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern[19]
, tetapi hal itu tidak berarti bahwa sebelumnya tidak ada novel yang pantas dibicarakan. Dua tahun
sebelumnya penerbit yang sama mengeluarkan Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, dan pengarang
yang sama telah menerbitkan sebuah novel saduran, Si Jamin dan si Johan, pada 1919. Sejak 1920-an
Balai Pustaka sebagai penerbit resmi pemerintah kolonial memegang tugas penting dalam penerbitan
buku-buku berbahasa Melayu; banyak di antara buku terbitannya itu kemudian dianggap penting dalam
perkembangan sastra Indonesia modern. Namun, sebelum dan semasa Balai Pustaka ada beberapa
penerbit swasta yang berani menerbitkan novel baik berdasarkan pertimbangan komersial maupun
ideal. Dari segi perkembangan kesusastraan kita, Balai Pustaka tampak sebagai pencetus atau
pendorong utama kesusastraan Indonesia modern; ditinjau dari segi sosial politik, badan itu
sesungguhnya merupakan akibat dari suatu pergeseran sikap pemerintah kolonial pada waktu itu
terhadap perkembangan pendidikan dan hasil-hasilnya. Pergeseran sikap itu merupakan akibat pula dari
perubahan sosial yang ada, terutama sekali yang menyangkut golongan pribumi. Dalam sebuah
brosur[20]kita dapat membaca pandangan pemerintah kolonial sendiri tentang perubahan sosial
tersebut. Mula-mula kebanyakan pribumi yang mempunyai keinginan belajar sudah merasa puas apabila
mereka sudah bisa membaca dan menulis huruf Arab. Biasanya mereka itu tidak mempunyai keinginan
untuk melanjutkan pelajaran sesuai dengan sistem pendidikan modern yang ada pada waktu itu.
Pemerintah kolonial menyesuaikan sekolah-sekolah yang didirikannya dengan keinginan yang tidak
muluk-muluk itu. Maksud pendirian sekolah semacam itu adalah untuk melatih calon pegawai rendah
yang diharapkan dapat melaksanakan pekerjaan administrasi sederhana. Di samping sekolah semacam
itu ada juga sekolah yang disediakan khusus untuk keluarga bangsawan rendah; sekolah itu diharapkan
dapat menghasilkan pegawai menengah yang cakap melakukan kerja administrasi yang lebih rumit.
Kalangan orang pribumi yang bersekolah pada waktu itu praktis tidak usah merisaukan hari depannya;
pekerjaan sudah tersedia baginya. Karena tidak ada keharusan “berjuang” untuk mendapatkan
pekerjaan, hampir semua merasa puas dengan yang diterima di sekolah saja. Sedikit sekali usaha untuk
mendapatkan pengetahuan lebih lanjut di luar sekolah. Namun, kebangkitan bangsa-bangsa Asia
ternyata ada juga pengaruhnya terhadap sikap serupa itu. Di kalangan kaum pribumi
mulai tumbuh keyakinan dan harga diri yang lebih bulat, dan sebagai akibatnya terasa kebutuhan akan
pendidikan lebih lanjut, yang tidak lain merupakan pendidikan Eropa. Bahkan di kalangan masyarakat
yang paling rendah pun terasa adanya kebutuhan akan pendidikan dasar. Pemerintah Belanda tidak bisa
berbuat lain kecuali memenuhi tuntutan itu: bermacam-rnacam sekolah didirikan di pelbagai kota; yang
tertinggi adalah Sekolah Kedokteran, Sekolah Teknik, dan Sekolah Hukum. Penyediaan pendidikan untuk
massa selalu mengandung konsekuensi sosial politik; hal ini dipahami benar oleh pemerintah.
Pemerintah mengharapkan dua hal penting: pertama, dengan fasilitas yang ada pengetahuan yang
didapat di sekolah-sekolah itu bisa dimanfaatkan secara “wajar”; kedua, pendidikan bukan merupakan
keuntungan kelompok kecil masyarakat saja, tetapi bisa membagikan manfaat merata bagi seluruh
penduduk—baik dari segi moral maupun kultural. Pemerintah kolonial juga menyadari bahwa tidak
banyak gunanya mendidik orang apabila di luar sekolah tidak tersedia sarana yang bisa mengembangkan
kepandaian. Dalam hal ini sarana yang penting berupa buku bacaan. Sangat berbahaya apabila
pendidikan dilaksanakan tanpa penyediaan santapan rohani yang sehat. Apabila bacaan yang baik tidak
tersedia di masyarakat, dikhawatirkan para pemuda yang sudah mampu membaca dan menulis itu akan
terjerumus membaca “bacaan liar” yang diterbitkan oleh penerbit- penerbit “tak bertanggung jawab
dan para agitator.” Pandangan serupa itu timbul sebelum Balai Pustaka didirikan, sekitar tahun-tahun
pertama abad ke-20. Ketakutan pemerintah kolonial terhadap penerbit “tak bertanggung jawab” dan
para “agitator” itu menunjukkan bahwa sebelum Balai Pustaka sudah ada beberapa penerbit swasta
yang mengusahakan bacaan. Penerbit- penerbit swasta ini biasanya dipimpin oleh keturunan Tionghoa
atau Belanda, dan mendasarkan kegiatan mereka pada keuntungan materi semata-mata. Tentu saja
penerbit semacam itu tidak peduli benar apakah terbitannya merupakan santapan rohani yang sehat
atau bukan—menurut ukuran pemerintah kolonial. Akhirnya pemerintah memutuskan untuk
mendirikan badan penerbit yang bertugas menyediakan bacaan bagi pemuda-pemuda yang sudah
mendapat pendidikan membaca dan menulis. Buku-buku itu diharapkan dapat memenuhi selera dan
minat baca mereka, di samping untuk menjaga agar mereka tidak kehilangan keterampilan membaca
dan menulis. Juga diharapkan agar buku-buku itu dapat menambah pengetahuan pembaca. Tugas badan
penerbit serupa itu
memang berat: menyediakan bahan bacaan yang bidangnya lebih luas dari jangkauan sekolah-sekolah
pada umumnya, memerangi keterbelakangan di segala segi kehidupan, dan membebaskan masyarakat
dari takhayul dan tradisi kolot. Ditekankan pula bahwa usaha menyediakan bahan bacaan itu haruslah
dapat menjauhkan rakyat dari hal-hal yang bisa merusakkan kekuasaan pemerintah danketenteraman
negeri. Hampir tanpa kecuali novel-novel 1920-an yang biasa dibicarakan dalam kesusastraan Indonesia
adalah terbitan Balai Pustaka, meskipun di luar itu juga ada juga cerita rekaan yang diterbitkan oleh
“penerbit liar”. Penerbit semacam itu sudah ada sejak akhir abad ke-19, yang diterbitkannya adalah
cerata-cerita dalam bahasa “Melayu Rendah”.[21 ] Pengarang-pengarangnya adalah golongan keturunan
Tionghoa yang kebanyakan menulis untuk golongannya sendiri. Mula-mula yang ditulis adalah saduran
berbagai cerita Tionghoa klasik, dan hanya pada perkembangan selanjutnya juga diciptakan novel-novel
asli yang kebanyakan bermain di dalam masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda, dengan tokoh-tokoh
utama keturunan Tionghoa pula. Tujuannya semata-mata mencari keuntungan materi. Penerbit-
penerbit itu ditakuti pemerintah sebab tidak begitu memperhatikan segi moral dan pendidikan dalam
buku- buku terbitannya. 19 H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I (Jakarta:
Gunung Agung, 1953); A.H. Johns, “The Novel as a Guide to Indonesian Social History”, BKI: 1959; Ajip
Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung: Binacipta, 1976); C.W. Watson. “The Sociology of the
Indonesian Novel 1920-1955, Tesis Ph.D. (Kingston upon Hull: University of Hull, 1972). 20 B. Th.
Brondgeest dan G.W.J. Drewes, Bureau voor de Volkslectuur/The Bureau of Popular Literature of
Netherlands India. What It is and What It Does (Weltevreden: Bureau voor de Volkslectuur, 1929). 21
Nio Joe Lan, Sastra Indonesia-Tionghoa (Jakarta: Gunung Agung, 1962). 2.3.3 Peran Balai Pustaka Dalam
perkembangan selanjutnya, Balai Pustaka dianggap memegang peranan penting dalam penerbitan novel
di Indo nesia, tidak hanya yang ditulis dalam bahasa Melayu tetapi juga yang ditulis dalam bahasa
daerah seperti Jawa dan Sunda. Jaringan perpustakaan rakyat, perpustakaan sekolah, dan toko buku
yang diatur sangat rapi oleh penerbit pemerintah itu banyak membantu penyebaran buku-buku
terbitannya. Meningkatnya minat baca menyebabkan Balai Pustaka harus secara aktif mencari naskah
agar judul-judul buku yang diterbitkannya semakin banyak. Dan atas dasar itulah rupanya sejak awal
perkembangannya, kesusastraan Indonesia sudah mengenal sayembara mengarang. Dalam hal ini
ternyata Balai Pustaka adalah juga salah satu pelopornya. Salah satu sayembara mengarang
diselenggarakan penerbit itu pada 1937. “Perlumbaan Mengarang” tersebut antara lain diumumkan
dalam Pedoman Pembaca 1937. Pengumuman tersebut ternyata bisa menjadi bahan yang sangat
penting untuk mengetahui apa sebenarnya pandangan penerbit pemerintah itu terhadap kesusastraan.
Dari pengumuman tentang syarat-syarat sayembara mengarang itu dapat ditarik kesimpulan antara lain
sebagai berikut. Pertama, anggapan Balai Pustaka bahwa novel adalah tiruan kejadian-kejadian penting
dalam kehidupan manusia, yang dapat mengajar pembaca dengan cara yang menarik hati; “. . . makin
banyak kejadian yang penting-penting itu, makin banyak seseorang mengalami dalam kehidupannya,
makin banyak soal yang sulit-sulit harus diselesaikannya, maka lukisan sekaliannya itu dalam sebuah
buku akan makin lebih menarik hati kita pula.” Kedua, Balai Pustaka berpendapat bahwa dalam novel
unsur- unsur formalnya harus memiliki hubungan yang erat. Penokohan harus erat hubungannya
dengan alur agar karang an tidak sekadar merupakan verslag belaka. Yang penting bukan sekadar
keganjilan pengalaman yang diungkapkan tetapi “sikap dan akhlaknyalah (si tokoh) yang terutama harus
jadi dasar dan pokok penyelesaian soal- soal itu.” Ketiga, Balai Pustaka beranggapan bahwa novel ditulis
secara realistis, “Segala yang diceritakan itu hendaklah berjalan seperti yang sebenarnya mungkin
terjadi.” Hanya dengan cara itulah semangat dan akhlak tokoh dapat kita pahami sebaik-baiknya.
Keempat, penokohan yang ternyata dianggap lazim oleh penerbit itu adalah cara hitam-putih.Melayu
dan daerah. Pengumuman sayembara itu juga memberikan beberapa keterangan penting mengenai
posisi sastra Melayu pada waktu itu. Sayembara itu terbuka bagi siapa saja dan karangan boleh ditulis
dalam bahasa Melayu, Jawa, atau Sunda. Seorang pengarang hanya boleh memasukkan sebuah karang
an. Dalam Pedoman Pembaca tahun berikutnya (1938:19) diberitahukan bahwa jumlah karangan yang
diterima redaksi Balai Pustaka sebanyak 433 naskah terbagi dalam 232 ber bahasa Jawa, 147 berbahasa
Melayu, dan 54 naskah dalam
bahasa Sunda. Sayembara yang meliputi penulisan karangan ilmu pengetahuan populer dan sastra itu
menghasilkan naskah populer berbahasa Melayu sebanyak 26, berbahasa Jawa 25, dan berbahasa Sunda
6. Jadi naskah novel yang masuk adalah 207 dalam bahasa Jawa, 121 dalam bahasa Melayu, dan 38
dalam bahasa Sunda. Angka- angka itu dengan jelas membuktikan bahwa setidaknya sampai pada akhir
1930-an, pengarang ber bahasa Jawa masih jauh lebih banyak daripada yang ber bahasa Melayu. Namun
perhatian Balai Pustaka ternyata lebih banyak ditujukan kepada penerbitan yang berbahasa Melayu,
yang untuk konsumsi kaum yang lebih maju, meski pun tidak sedikit judul buku yang dicetak dalam tiga
bahasa sekaligus. Sayembara yang diadakan Balai Pustaka itu menunjukkan bahwa novel dibutuhkan.
Ternyata kebutuhan akan novel itu dipenuhi juga oleh beberapa penerbit swasta yang sama sekali
menggantungkan hidup mereka dari penjualan buku ter bitan mereka. Oleh sebab itu wajar apabila
penerbit swasta itu memiliki kriteria sendiri dalam penerbitannya. Kalau Balai Pustaka beranggapan
bahwa novel harus memberikan pe ngajaran kepada pembaca, maka penerbit swasta berpendapat
bahwa novel harus dapat memberikan keuntungan bagi penerbit. Dengan demikian orientasinya
bukanlah pada kebijakan pendidikan pemerintah kolonial, melainkan pada pasar. Yang diterbitkan
adalah yang menurut perkiraan menjadi kesukaan pembaca. 2.3.4 Sikap Balai Pustaka Dalam bukunya
tentang Sastra Indonesia-Tionghoa, Nio Joe Lan menjelaskan bahwa sejak 1925 para pengarang dalam
Melayu- Tionghoa mendapat kesempatan agak besar untuk menerbitkan karyanya. Pada tahun itu terbit
Penghidupan dan Cerita Roman di Surabaya, dua penerbitan yang masing-masing setiap bulannya
mengeluar kan sebuah novel. Keberhasilan kedua penerbit itu disusul oleh beberapa penerbitan lain di
pelbagai kota di Jawa, dan kegiatan penerbitan semacam itu mencapai puncaknya pada 1930-an dan
berakhir pada masa pendudukan Jepang. Di samping berbagai penerbit novel Melayu-Tionghoa itu, di
beberapa kota ada beberapa penerbit yang mencari untung dengan menerbitkan novel murahan, yang
kemudian lebih dikenal sebagai “roman picisan”. Kota yang terkenal sebagai pusat penerbitan semacam
itu adalah Medan. Suatu hal yang menarik tentang para pengarang novel-novel itu adalah bahwa
beberapa di antara mereka ternyata juga menulis untuk Balai Pustaka. Bahkan ada beberapa
buku yang mula mula diterbit kan sebagai “roman picisan” kemudian dicetak ulang oleh Balai Pustaka.
Dalam hal nilai memang kadang- kadang sulit untuk menarik garis yang tegas antara novel-novel
terbitan Medan (dan Padang) itu dengan beberapa novel Balai Pustaka (Modern Indonesian Literature I,
35). Perkembangan penerbitan buku itu rupanya membuat Balai Pustaka agak khawatir. Dekade 1930-
an memang merupakan dekade pertama dalam sejarah sastra Indonesia yang menyaksikan ledakan
penerbitan novel. Dalam sebuah artikel “Tanggung Jawab Penerbit” yang dimuat dalam Pedoman
Pembaca (1938) majalah terbitan Balai Pustaka, redaksi menulis antara lain: Selama golongan kritisi itu
belum lahir, maka kewajiban memberi kritik itu jatuh pada kaum penerbit. Dalam Pedoman Pembaca
No. 10 sudah kami terangkan perkara kewajiban penerbit, mesti selalu awas-awas, jangan diterima nya
sembarang karangan. Penerbit itu mesti pandai dalam bermacam-macam perkara. Karena golongan
kritisi itu belum lahir, kewajiban memberi kritik itu mesti jatuh pada nya, maka pertanggungannya
memang sangat berat, lebih daripada di negeri lain-lain. Moga-moga penerbit partikulir lambat laun
lebih berani menambah syarat-syaratnya untuk menerima karangan. Kalau ada terbit karangan yang
bukan- bukan, salah terbesar bukan tanggungan pengarang, melain kan tanggungan penerbit. Kalau
penerbit suka menambah syarat-syaratnya, maka dengan sendirinya pengarang akan berhati-hati. “Yang
bukan-bukan” bagi Balai Pustaka berarti yang tidak sesuai dengan garis kebijaksanaan pemerintah dalam
soal penerbitan buku bacaan. Karangan yang buruk bisa dengan leluasa beredar di masyarakat karena
belum ada kritikus yang baik. Jabatan kritikus itu biasanya dirangkap oleh wartawan yang biasanya
melakukan ulasan dengan serampangan. Artikel dalam Pedoman Pembaca itu adalah tanggapan
terhadap sebuah artikel yang dimuat dalam harian Pewarta Deli, Medan, 16 Nopember 1938, tentang
tanggung jawab pengarang. Artikel yang sebagian dikutip oleh Pedoman Pembaca itu antara lain
menyebutkan bahwa “zaman sekarang pasar buku kebanjiran kitab-kitab yang berbahasa Melayu.”
Selanjutnya dikatakan, Keadaan itu adalah tanda bahwa publik sudah tahu menghargakan pembacaan
dan mau mengurbankan uangnya untuk membeli kitab-
kitab yang berfaedah. Satu tanda bukti yang menggembirakan, sebab nyata perubahan itu menuju
kemajuan rohani. Lain daripada itu adalah pener bitan kitab-kitab itu menunjukkan bertambah
banyaknya kaum pengarang di antara bangsa kita, serta pula memberi bukti, bahwa kaum pencetak
sudah mulai melihat adalah penerbitan buku-buku itu, walaupun tidak lekas dan segera banyak, tapi
sekadarnya ada juga mendatangkan keuntungan lumayan. Meskipun secara keseluruhan bersikap
positif, penulis artikel tersebut sempat menyayangkan bahwa mutu buku-buku bacaan yang diterbitkan
pada waktu itu semakin lama semakin menurun. Semakin banyak pengarang dan buku ternyata tidak
menyebabkan peningkatan mutu buku-buku tersebut. Sangat sulit mencari buku bagus waktu itu.
Rupanya kebanyakan pengarang menulis secara seram pangan saja. Keadaan yang sedemikian itulah
yang memberi kan tugas kepada wartawan untuk bertindak sebagai “kritikus”, untuk memberi tahu
pembaca mana karangan yang baik dan yang mana yang buruk. Tentang tugas tambahan bagi wartawan
itu ternyata Balai Pustaka berpendirian lain. Wartawan tidak bisa dibebani tugas sebagai penyeleksi
karya sastra. Dan selama belum ada kritikus yang benar-benar mantap, tugas para penerbitlah untuk
bertindak sebagai kritikus. Penerbit harus ketat men yensor buku-buku yang akan diterbitkannya. Jadi
sebenarnya penerbitlah yang mendidik pembaca. Dan Balai Pustaka rupanya berusaha keras untuk
mempertahankan pendirian semacam itu, pendirian yang bisa saja “memaksa” pengarang untuk
memperhatikan kehendak penerbit dan bukan kehen dak publik atau kehendaknya sendiri. Hasil sikap
semacam itu muncul dalam berbagai bentuk. Ada novel yang ditolak Balai Pustaka karena dari segi
pendidikan dan sikap hidup tidak memenuhi kriterianya. Ada beberapa novel yang ditulis berdasarkan
kerja sama antara pengarang dan redaktur. Dan praktis semua novel keluaran Balai Pustaka harus
tunduk pada penggunaan bahasa Melayu gaya Balai Pustaka—yang kemudian dianggap sebagai
semacam ragam bahasa sastra sebelum perang. Dan sikap yang bisa disebut “kaku” dari segi stilistika
dan tematik itu menyebabkan beberapa pihak kemudian mengembangkan sikap tersendiri dalam
memberikan “pengajaran” kepada pembacanya. 2.3.5 Detail dan Ciri Angkatan Balai Pustaka Nama
penerbit balai pustaka sudah tidak asing lagi bagi masyarakat terpelajar Indonesia karena
sekarang balai pustaka merupakan salah satu penerbit besar yang banyak memproduksi berbagai jenis
buku. Nama tersebut telah bertahan selama lebih dari 90 tahun, kalau dihitung dari berdirinya pada
tahun 1917 yang merupakan pengukuhan Komisi untuk Sekolah Bumiputra dan Bacaan Rakyat
(commissie voor de inlandsche school en volkslectuur) yang didirikan oleh pemerintah colonial belanda
pada 14 september 1908. Jelas bahwa badan penerbit itu merupakan organ pemerintah colonial yang
semangatnya boleh dikatakan berseberangan dengan penerbit-penerbit swasta, baik yang semata-mata
bervisi komersial maupun bervisi kebangsaan. Akan tetapi, mengingat sejarahnya yang panjang itu maka
sepantasnya menjadi bagian khusus dalam pengkajian aatau telaah sejarah sastra Indonesia. Secara
teoretis dapat dikatakan banyak masalah yang dapa diungkapkan ari balai pustaka selama ini, antara lain
visi dan misi, status, program kerja, para tokoh, kebijakan redaksi, pengarang, distribusi, dan produksi.
Telaah semacam itu dapat dijadikan pengkajian sejarah mikro yang pasti relevan dengan sejarah makro
sastra Indonesia. Ditambah dengan pengkajian berbagai gejala yang berkembang di sekitarnya pastilah
memperluas wawasan pengetahuan masyarakat. Mungkin saja kemudian berkembang pendapat bahwa
balai pustaka ternyata bukan satu-satunya penerbit pada tahun 1920-an membuka tradisi sastra
modern, atau justru dilupakan saja karena berjejak colonial. Ciri-ciri umum roman angkatan balai
pustaka: 1. Bersifat kedaerahan, karena mengungkapkan persoalan yang hanya berlaku di daerah
tertentu, khususnya Sumatra barat. 2. Bersufat romantic-sentimental, karena ternyata banyak roman
yang mematikan tokoh- tokohnya atau mengalami penderitaan yang luar biasa. 3. Bergata bahasa
seragam, karena dikemas oleh redaksi balai pustaka, sehingga gaya bahsanya tidak berkembang. 4.
Bertema sosial, karena belum terbuka kesempatan mempersoalkan masalah polotik, watak, agama, dan
lain-lain. 2.3.6 Tokoh-Tokoh 2.3.6.1 Abdul Muis Abdul muis (lahir di solok, Sumatra barat, tahun 1886,
meninggal di bandung 17 juli 1959), Pendidikan terakhirnya adalah di Stovia (sekolah kedokteran,
sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Jakarta akan tetapi tidak tamat. Ia juga pernah
menjadi anggota Volksraad yang didirikan pada tahun 1916 oleh pemerintah penjajahan Belanda. Ia
dimakamkan di TMP Cikutra – Bandung dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden RI,
Soekarno, pada 30 Agustus 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 218 Tahun 1959,
tanggal 30 Agustus 1959). Karir yang pernah dia jalani :Dia pernah bekerja sebagai klerk di Departemen
Buderwijs en
Eredienst dan menjadi wartawan di Bandung pada surat kabar Belanda, Preanger Bode, harian Kaum
Muda dan majalah Neraca pimpinan Haji Agus Salim. Selain itu ia juga pernah aktif dalam Syarikat Islam
dan pernah menjadi anggota Dewan Rakyat yang pertama (1920-1923). Setelah kemerdekaan, ia turut
membantu mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan. Riwayat Perjuangan melawan penjajah antara
lain : 1. Mengecam tulisan orang-orang Belanda yang sangat menghina bangsa Indonesia melalui
tulisannya di harian berbahasa Belanda, De Express 2. Pada tahun 1913, menentang rencana pemerintah
Belanda dalam mengadakan perayaan peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis
melalui Komite Bumiputera bersama dengan Ki Hadjar Dewantara 3. Pada tahun 1922, memimpin
pemogokan kaum buruh di daerah Yogyakarta sehingga ia diasingkan ke Garut, Jawa Barat 4.
Mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda dalam pendirian Technische Hooge School – Institute Teknologi
Bandung (ITB) Karya-karyanya yang terkenal : 1. Salah Asuhan (novel, 1928, difilmkan Asrul Sani, 1972)
2. Pertemuan Jodoh (novel, 1933) 3. Surapati (novel, 1950) 4. Robert Anak Surapati(novel, 1953) Novel
asing yang pernah diterjemahkan oleh Abdul Muis antara lain : 1. Don Kisot (karya Cerpantes, 1923) 2.
Tom Sawyer Anak Amerika (karya Mark Twain, 1928) 3. Sebatang Kara (karya Hector Melot, 1932) 4.
Tanah Airku (karya C. Swaan Koopman, 1950) 2.3.6.2 Marah Rusli Marah Rusli, sang sastrawan itu,
bernama lengkap Marah Rusli bin Abu Bakar. Ia dilahirkan di Padang pada tanggal 7 Agustus 1889.
Ayahnya, Sultan Abu Bakar, adalah seorang bangsawan dengan gelar Sultan Pangeran. Ayahnya bekerja
sebagai demang. Marah Rusli mengawini gadis Sunda kelahiran Bogor pada tahun 1911. Mereka
dikaruniai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Perkawinan Marah Rusli dengan
gadis Sunda bukanlah perkawinan yang diinginkan oleh orang tua Marah Rusli, tetapi Marah Rusli kokoh
pada sikapnya, dan ia tetap mempertahankan perkawinannya. Meski lebih terkenal sebagai sastrawan,
Marah Rusli sebenarnya adalah dokter hewan. Berbeda dengan Taufiq Ismail dan Asrul Sani yang
memang benar-benar meninggalkan profesinya sebagai dokter hewan karena memilih menjadi penyair,
Marah Rusli tetap menekuni profesinya
sebagai dokter hewan hingga pensiun pada tahun 1952 dengan jabatan terakhir Dokter Hewan Kepala.
Kesukaan Marah Rusli terhadap kesusastraan sudah tumbuh sejak ia masih kecil. Ia sangat senang
mendengarkan cerita-cerita dari tukang kaba, tukang dongeng di Sumatera Barat yang berkeliling
kampung menjual ceritanya, dan membaca buku-buku sastra. Marah Rusli meninggal pada tanggal 17
Januari 1968 di Bandung dan dimakamkan di Bogor, Jawa Barat. Dalam sejarah sastra Indonesia, Marah
Rusli tercatat sebagai pengarang roman yang pertama dan diberi gelar oleh H.B. Jassin sebagai Bapak
Roman Modern Indonesia. Sebelum muncul bentuk roman di Indonesia, bentuk prosa yang biasanya
digunakan adalah hikayat. Marah Rusli berpendidikan tinggi dan buku-buku bacaannya banyak yang
berasal dari Barat yang menggambarkan kemajuan zaman. Ia kemudian melihat bahwa adat yang
melingkupinya tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Hal itu melahirkan pemberontakan dalam
hatinya yang dituangkannya ke dalam karyanya, Siti Nurbaya. Ia ingin melepaskan masyarakatnya dari
belenggu adat yang tidak memberi kesempatan bagi yang muda untuk menyatakan pendapat atau
keinginannya. Dalam Siti Nurbaya, telah diletakkan landasan pemikiran yang mengarah pada emansipasi
wanita. Cerita itu membuat wanita mulai memikirkan akan hak-haknya, apakah ia hanya menyerah
karena tuntutan adat (dan tekanan orang tua) ataukah ia harus mempertahankan yang diinginkannya.
Ceritanya menggugah dan meninggalkan kesan yang mendalam kepada pembacanya. Kesan itulah yang
terus melekat hingga sampai kini. Setelah lebih delapan puluh tahun novel itu dilahirkan, Siti Nurbaya
tetap diingat dan dibicarakan. Selain Siti Nurbaya, Marah Rusli juga menulis beberapa roman lainnya.
Akan tetapi, Siti Nurbaya itulah yang terbaik. Roman itu mendapat hadiah tahunan dalam bidang sastra
dari Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1969 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.Karya-
karyanya yang terkenal antara lain : 1. a)Siti Nurbaya. Jakarta : Balai Pustaka. 1920 mendapat hadiah dari
Pemerintah RI tahun 1969. 2. b)La Hami. Jakarta : Balai Pustaka. 1924. 3. c)Anak dan Kemenakan. Jakarta
: Balai Pustaka. 1956. 4. d)Memang Jodoh (naskah roman dan otobiografis) 5. e)Tesna Zahera (naskah
Roman) 2.3.6.3 Merari Siregar Merari Siregar (lahir di Sipirok, Sumatera Utara pada 13 Juli 1896 dan
wafat di Kalianget, Madura, Jawa Timur pada 23 April 1941) adalah sastrawan Indonesia angkatan Balai
Pustaka. Setelah lulus sekolah Merari Siregar bekerja sebagai guru bantu di Medan. Kemudian dia
pindah ke Jakarta dan bekerja di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo).
Terakhir pengarang ini pindah ke Kalianget, Madura, tempat ia bekerja di Opium end Zouregie sampai
akhir hayatnya.
Karya-karyanya yang terkenal adalah 1. a)Azab dan Sengsara. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. 1 tahun
1920,Cet.4 1965. 2. b)Binasa Karena Gadis Priangan. Jakarta: Balai Pustaka 1931. 3. c)Cerita tentang
Busuk dan Wanginya Kota Betawi. Jakarta: Balai Pustaka 1924. 4. d)Cinta dan Hawa Nafsu. Jakarta: t.th.
5. e)Si Jamin dan si Johan. Jakarta: Balai Pustaka 1918. 2.3.6.4 Nur Sutan Iskandar Nur Sutan Iskandar
(Sungai Batang, Sumatera Barat, 3 November 1893 – Jakarta, 28 November 1975) adalah sastrawan
Angkatan Balai Pustaka. Nur Sutan Iskandar memiliki nama asli Muhammad Nur. Seperti umumnya lelaki
Minangkabau lainnya Muhammad Nur mendapat gelar ketika menikah. Gelar Sutan Iskandar yang
diperolehnya kemudian dipadukan dengan nama aslinya dan Muhammad Nur pun lebih dikenal sebagai
Nur Sutan Iskandar sampai sekarang. Setelah menamatkan sekolah rakyat pada tahun 1909 Nur Sutan
Iskandar bekerja sebagai guru bantu. Pada tahun 1919 ia hijrah ke Jakarta. Di sana ia bekerja di Balai
Pustaka, pertama kali sebagai korektor naskah karangan sampai akhirnya menjabat sebagai Pemimpin
Redaksi Balai Pustaka (1925-1942). Kemudian ia diangkat menjadi Kepala Pengarang Balai Pustaka, yang
dijabatnya 1942-1945. Nur Sutan Iskandar tercatat sebagai sastrawan terproduktif di angkatannya.
Selain mengarang karya asli ia juga menyadur dan menerjemahkan buku-buku karya pengarang asing
seperti Alexandre Dumas, H. Rider Haggard dan Arthur Conan Doyle. Karya-karyanya yang terkenal
antara lain : 1. a) Apa Dayaku karena Aku Perempuan (Jakarta: Balai Pustaka, 1923) 2. b)Cinta yang
Membawa Maut (Jakarta: Balai Pustaka, 1926) 3. c)Salah Pilih (Jakarta: Balai Pustaka, 1928) 4. d)Abu
Nawas (Jakarta: Balai Pustaka, 1929) 5. e)Karena Mentua (Jakarta: Balai Pustaka, 1932) 6. f)Tuba Dibalas
dengan Susu (Jakarta: Balai Pustaka, 1933) 7. g)Dewi Rimba (Jakarta: Balai Pustaka, 1935) 8.
h)Hulubalang Raja (Jakarta: Balai Pustaka, 1934) 9. i)Katak Hendak Jadi Lembu (Jakarta: Balai Pustaka,
1935) 10. j)Neraka Dunia (Jakarta: Balai Pustaka, 1937) 11. k)Cinta dan Kewajiban (Jakarta: Balai Pustaka,
1941) 12. l)Jangir Bali (Jakarta: Balai Pustaka, 1942) 13. m)Cinta Tanah Air (Jakarta: Balai Pustaka, 1944)
14. n)Cobaan (Turun ke Desa) (Jakarta: Balai Pustaka, 1946)
15. o)Mutiara (Jakarta: Balai Pustaka, 1946) 16. p)Pengalaman Masa Kecil (Jakarta: Balai Pustaka, 1949)
17. q)Ujian Masa (Jakarta: JB Wolters, 1952, cetakan ulang) 18. r)Megah Cerah: Bacaan untuk Murid
Sekolah Rakyat Kelas II (Jakarta: JB Wolters, 1952) 19. s)Megah Cerah: Bacaan untuk Murid Sekolah
Rakyat Kelas III (Jakarta: JB Wolters, 1952) 20. t)Peribahasa (Karya bersama dengan K. Sutan Pamuncak
dan Aman Datuk Majoindo. Jakarta: JB Wolters, 1946) 21. u)Sesalam Kawin (t.t.) 2.3.6.5 Tulis Sutan Sati
Tulis Sutan Sati (Bukittinggi, Sumatra Barat, 1898 – 1942) adalah penyair dan sastrawan Indonesia
Angkatan Balai Pustaka. Karya-karyanya yang terkenal antara lain : 1. Tak Disangka (1923) 2. Sengsara
Membawa Nikmat (1928) 3. Syair Rosina (1933) 4. Tjerita Si Umbut Muda (1935) 5. Tidak Membalas
Guna 6. Memutuskan Pertalian (1978) 7. Sabai nan Aluih: cerita Minangkabau lama (1954) 2.3.6.6
Muhammad Yamin Muhammad Yamin dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tanggal 23
Agustus 1903. Ia menikah dengan Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo. Salah seorang anaknya yang
dikenal, yaitu Rahadijan Yamin. Ia meninggal dunia pada tanggal 17 Oktober 1962 di Jakarta. Di zaman
penjajahan, Yamin termasuk segelintir orang yang beruntung karena dapat menikmati pendidikan
menengah dan tinggi. Lewat pendidikan itulah, Yamin sempat menyerap kesusastraan asing, khususnya
kesusastraan Belanda. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tradisi sastra Belanda diserap Yamin
sebagai seorang intelektual sehingga ia tidak menyerap mentah-mentah apa yang didapatnya itu. Dia
menerima konsep sastra Barat, dan memadukannya dengan gagasan budaya yang nasionalis. Pendidikan
yang sempat diterima Yamin, antara lain, Hollands inlands School (HIS) di Palembang, tercatat sebagai
peserta kursus pada Lembaga Pendidikan Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor, Algemene
Middelbare School (AMS) ‘Sekolah Menengah Umum’ di Yogya, dan HIS di Jakarta. Yamin menempuh
pendidikan di AMS setelah menyelesaikan sekolahnya di Bogor yang dijalaninya selama lima tahun. Studi
di AMS Yogya sebetulnya merupakan persiapan Yamin untuk mempelajari kesusastraan Timur di Leiden.
Di AMS, ia mempelajari bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala. Dalam waktu
tiga tahun saja ia berhasil menguasai keempat mata pelajaran tersebut, suatu prestasi yang jarang
dicapai oleh otak manusia biasa. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin banyak
mendapat bantuan dari pastor-pastor di Seminari Yogya, sedangkan dalam bahasa Latin ia dibantu Prof.
H. Kraemer dan Ds. Backer. Setamat AMS Yogya, Yamin bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi,
sebelum sempat berangkat sebuah telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya meninggal
dunia. Karena itu, kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa sebab uang peninggalan ayahnya
hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana. Padahal, belajar kesusastraan Timur membutuhkan waktu
tujuh tahun. Dengan hati masgul Yamin melanjutkan kuliah di Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan
berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten ‘Sarjana Hukum’ pada tahun 1932. Sebelum tamat
dari pendidikan tinggi, Yamin telah aktif berkecimpung dalam perjuangan kemerdekaan. Berbagai
organisaasi yang berdiri dalam rangka mencapai Indonesia merdeka yang pernah dipimpin Yamin, antara
lain, adalah, Yong Sumatramen Bond ‘Organisasi Pemuda Sumatera’ (1926–1928). Dalam Kongres
Pemuda II (28 Oktober 1928) secara bersama disepakati penggunaan bahasa Indonesia. Organisasi lain
adalah Partindo (1932–1938). Pada tahun 1938—1942 Yamin tercatat sebagai anggota Pertindo,
merangkap sebagai anggota Volksraad ‘Dewan Perwakilan Rakyat’. Setelah kemerdekaan Indonesia
terwujud, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin dalam pemerintahan, antara lain, adalah
Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1953–1955), Ketua
Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962). Dari riwayat
pendidikannya dan dari keterlibatannya dalam organisasi politik maupun perjuangan kemerdekaan,
tampaklah bahwa Yamin termasuk seorang yang berwawasan luas. Walaupun pendidikannya pendidikan
Barat, ia tidak pernah menerima mentah-mentah apa yang diperolehnya itu sehingga ia tidak menjadi
kebarat-baratan. Ia tetap membawakan nasionalisme dan rasa cinta tanah air dalam karya-karyanya.
Barangkali halini merupakan pengaruh lingkungan keluarganya karena ayah ibu Yamin adalah keturunan
kepala adat di Minangkabau. Ketika kecil pun, Yamin oleh orang tuanya diberi pendidikan adat dan
agama hingga tahun 1914. Dengan demikian, dapat dipahami apabila Yamin tidak terhanyut begitu saja
oleh hal-hal yang pernah diterimanya, baik itu berupa karya-karya sastra Barat yang pernah
dinikmatinya maupun sistem pendidikan Barat yang pernah dialaminya. Umar Junus dalam bukunya
Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern (1981) menyatakan bahwa puisi Yamin terasa masih
berkisah, bahkan bentul-betul terasa sebagai sebuah kisah. Dengan demikian, puisi Yamin memang
dekat sekali dengan syair yang memang merupakan puisi untuk mengisahkan sesuatu.”Puisi Yamin itu
dapat dirasakan sebagai syair dalam bentuk yang bukan syair”, demikian Umar Junus. Karena itu, sajak-
sajak Yamin dapat dikatakan lebih merupakan suatu pembaruan syair daripada suatu bentuk puisi baru.
Akan tetapi, pada puisi Yamin seringkali bagian pertamanya merupakan lukisan alam, yang membawa
pembaca kepada suasana pantun sehingga puisi Yamin tidak dapat dianggap sebagai syair baru begitu
saja. Umar Junus menduga bahwa dalam penulisan sajak-sajaknya, Yamin menggunakan
pantun, syair, dan puisi Barat sebagai sumber. Perpaduan ketiga bentuk itu adalah hal umum terjadi
terjadi pada awal perkembangan puisi modern di Indonesia. Jika Umar Junus melihat adanya kedekatan
untuk soneta yang dipergunakan Yamin dengan bentuk pantun dan syair, sebetulnya hal itu tidak dapat
dipisahkan dari tradisi sastra yang melingkungi Yamin pada waktu masih amat dipengaruhi pantun dan
syair. Soneta yang dikenal Yamin melalui kesusastraan Belanda ternyata hanya menyentuh Yamin pada
segi isi dan semangatnya saja. Karena itu, Junus menangkap kesan berkisah dari sajak-sajak Yamin itu
terpancar sifat melankolik, yang kebetulan merupakan sifat dan pembawaan soneta. Sifat soneta yang
melankolik dan kecenderungan berkisah yang terdapat didalamnya tidak berbeda jauh dengan yang
terdapat dalam pantun dan syair. Dua hal yang disebut terakhir, yakni sifat melankolik dan
kecenderungan berkisah, kebetulan sesuai untuk gejolak perasaan Yamin pada masa remajanya. Karena
itu, soneta yang baru saja dikenal Yamin dan yang kemudian digunakannya sebagai bentuk
pengungkapan estetiknyha mengesankan bukan bentuk soneta yang murni. 2.3.6.7 Suman Hasibuan
Suman Hasibuan (lahir di Bengkalis, Riau, 4 April 1904 – wafat di Pekanbaru, Riau, 8 Mei 1999 pada
umur 95 tahun) adalah sastrawan Indonesia. Hasil karya dari Suman Hasibuan antara lain adalah
“Mencari Pencuri Anak Perawan”, “Kawan Bergelut” (kumpulan cerpen), “Tebusan Darah”, “Kasih Tak
Terlerai”, dan “Percobaan Setia”. Ia digolongkan sebagai sastrawan dari Angkatan Balai Pustaka. Karya-
karyanya yang terkenal antara lain : 1. a)“Pertjobaan Setia” (1940) 2. b)“Mentjari Pentjuri Anak
Perawan” (1932) 3. c)“Kasih Ta’ Terlarai” (1961) 4. d)“Kawan Bergelut” (kumpulan cerpen) 5. e)
“Tebusan Darah” 2.3.6.8 Adinegoro Adinegoro (lahir di Talawi, Sumatera Barat, 14 Agustus 1904 – wafat
di Jakarta, 8 Januari 1967 pada umur 62 tahun) adalah sastrawan Indonesia dan wartawan kawakan. Ia
berpendidikan STOVIA (1918-1925) dan pernah memperdalam pengetahuan mengenai jurnalistik,
geografi, kartografi, dan geopolitik di Jerman dan Belanda (1926-1930). Nama aslinya sebenarnya bukan
Adinegoro, melainkan Djamaluddin gelar Datuk Madjo Sutan. Ia adalah adik sastrawan Muhammad
Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain ibu. Ayah Adinegoro bernama Usman gelar Baginda
Chatib dan ibunya bernama Sadarijah, sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah. Ia
memiliki seorang istri bernama Alidas yang berdarah Sulit Air ,Solok, Sumatera Barat. Dua buah novel
Adinegoro yang terkenal (keduanya dibuat pada tahun 1928), yang membuat namanya sejajar dengan
nama-nama novelis besar Indonesia lainnya, adalah Asmara Jaya dan
Darah Muda. Ajip Rosidi dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1982), mengatakan bahwa
Adinegoro merupakan pengarang Indonesia yang berani melangkah lebih jauh menentang adat kuno
yang berlaku dalam perkawinan. Dalam kedua romannya Adinegoro bukan hanya menentang adat kuno
tersebut, melainkan juga dengan berani memenangkan pihak kaum muda yang menentang adat kuno
itu yang dijalankan oleh pihak kaum tua. Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga menulis novel
lainnya, yaitu Melawat ke Barat, yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan ini
diterbitkan pada tahun 1930. Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar
tahun 1935. Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul “Kritik atas Kritik”
terhimpun dalam Polemik Kebudayaan yang disunting oleh Achdiat K. Mihardja (1977). Dalam esainya
itu, Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena pada tiap
bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas, yang tak dapat ditiru oleh orang lain. Ia memberikan
perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga,
dan demikian pun sebaliknya. Karyanya antara lain: 1. Buku 2. a)Revolusi dan Kebudayaan (1954) 3.
b)Ensiklopedi Umum dalam Bahasa Indonesia (1954), 4. c)Ilmu Karang-mengarang 5. d)Falsafah Ratu
Dunia 6. Novel 7. a)Darah Muda. Batavia Centrum : Balai Pustaka. 1931 8. b)Asmara Jaya. Batavia
Centrum : Balai Pustaka. 1932. 9. c)Melawat ke Barat. Jakarta : Balai Pustaka. 1950. 10. Cerita pendek
11. a)Bayati es Kopyor. 12. b)Etsuko. Varia. 13. c)Lukisan Rumah Kami. 14. d)Nyanyian Bulan April. 2.4
PUJANGGA BARU Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai
Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang
menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra
intelektual, nasionalistik, dan elistik. Pada masa itu, terbit pula majalah pujangga baru yang dipimpin
oleh Sutan Takdir Alisyahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra Indonesia setelah
zaman Balai Pustaka (tahun 1930–1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Karyanya layar
terkembang, menjadi salah satu novel yang sering diulas oleh para kritikus sastra Indonesia. Selain Layar
Terkembang, pada periode ini novel Tengelamnya Kapal Vander Wijck dan Kalau Tak Untung
menjadi karya penting sebelum perang. Pada masa ini dua kelompok sastrawan Pujangga Baru yaitu : 1.
Kelompok “Seni Untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah. 2. Kelompok
“Seni Untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan
Rustam Effendi. 2.4.1 Keterangan Lain Angkatan Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya
sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut. Sensor
dilakukan terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran
kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual dan nasionalistik. Ciri-ciri sastra pada masa
Angkatan Pujangga Baru antara lain sudah menggunakan bahasa Indonesia, menceritakan kehidupan
masyarakat kota, persoalan intelektual, emansipasi (struktur cerita/konflik sudah berkembang),
pengaruh barat mulai masuk dan berupaya melahirkan budaya nasional, menonjolkan nasionalisme,
romantisme, individualisme, intelektualisme, dan materialisme. Salah satu karya sastra terkenal dari
Angkatan Pujangga Baru adalah Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Alisjahbana. Layar
Terkembang merupakan kisah roman antara tiga muda-mudi, yaitu: Yusuf, Maria, dan Tuti. Berikut ini
dapat kita pelajari Roman Layar Terkembang. Yusuf adalah seorang mahasiswa kedokteran tingkat akhir
yang menghargai wanita. Maria adalah seorang mahasiswi periang, senang akan pakaian bagus, dan
memandang kehidupan dengan penuh kebahagian. Tuti adalah guru dan juga gadis pemikir yang
berbicara seperlunya saja, aktif dalam perkumpulan dan memperjuangkan kemajuan wanita. Dalam
kisah Layar Terkembang, Sutan Takdir Alisjahbana ingin menyampaikan beberapa hal yaitu, perempuan
harus memiliki pengetahuan yang luas sehingga dapat memberikan pengaruh yang sangat besar di
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, perempuan dapat lebih dihargai
kedudukannya di masyarakat. Selain itu, masalah yang datang harus dihadapi bukan dihindari dengan
mencari pelarian, seperti perkawinan yang digunakan untuk pelarian mencari perlindungan, belas
kasihan dan pelarian dari rasa kesepian atau demi status budaya sosial. Di sisi lain, pada Angkatan
Pujangga Baru Amir Hamzah diberi gelar sebagai “Raja Penyair Pujangga Baru.” Beliau diberi gelar
tersebut karena mampu menjembatani tradisi puisi Melayu yang ketat dengan bahasa Indonesia yang
sedang berkembang. Dengan susah payah beliau mampu menarik keluar puisi Melayu dari puri-
puri Istana Melayu menuju ruang baru yang lebih terbuka yaitu bahasa Indonesia, yang menjadi dasar
dari Indonesia yang sedang dicita- citakan bersama. 2.4.2 Latar belakang terbitnya Pujangga Baru Buku
Pujangga Baru, Prosa dan Puisi yang disusun oleh H.B Jasin adalah sebuah bunga rampai (antologia) dari
para pengarang dan penyair yang oleh penyusunnya digolongkan ke dalam Angkatan Pujangga Baru
Seperti diketahui, oleh para ahli dan parapenyusun buku-buku pelajaran sastra Indonesia,
perkembangan sastra Indonesia dibagi-bagimenjadi angkatan- angkatan. Angkatan Pujangga Baru
biasanya ditempatkan sebagaiangkatan kedua, yaitu setelah angkatan Balai Pustaka dan mendahului
kelahiran angkatan‘45. Tetapi kita lihat pembagian sejarah sastra Indonesia dalam angkatan-angkatan
ini, tidaklah disertai dengan alasan-alasan yang bisa kita terima. Tidak sedikit pula para sastrawan yang
menolak atau tidak mau dimasukan dalam sesuatu angkatan, mereka memilih masuk angkatan yang
disukainya. Misalnya Achdiat K. Mihardja pernah menyatakan bahwa ia lebih suka digolongkan kepada
angkatan Pujangga Baru, padahal para ahli telah menggolongkannya kepada angkatan ‘45.Pujangga Baru
muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis
sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan
kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis.Ketika
sastra Indonesia dikuasai oleh angkatan Pujangga Baru, masa-masa tersebut lebih dikenal sebagai Masa
Angkatan Pujangga Baru. Masa ini dimulai dengan terbitnya majalah Pujangga Baru pada Mei 1933.
Majalah inilah yang merupakan terompet serta penyambung lidah para pujangga baru. Penerbitan
majalah tersebut dipimpin oleh tiga serangkai pujangga baru, yaitu Amir Hamzah, Armijn Pane, dan
Sutan Takdir Alisjahbana.Dalam manivestasi pujangga baru dinyatakan bahwa fungsi kesusastraan itu,
selain melukiskan atau menggambarkan tinggi rendahnya suatu bangsa, juga mendorong bangsa
tersebut ke arah kemajuan.Sebenarnya para pujangga baru serta beberapa orang pujangga Siti Nurbaya
sangat dipengaruhi oleh para pujangga Belanda angkatan 1880 (De Tachtigers).Hal ini tak mengherankan
sebab pada jaman itu banyak para pemuda Indonesia yang berpendidikan barat, bukan saja mengenal,
bahkan mendalami bahasa serta kesusastraan Belanda. Di antara para pujangga Belanda angkatan 80-
an, dapat kita sebut misalnya Willem Kloos dan Jacques Perk. J.E. Tatengkeng, seorang pujangga baru
kelahiran Sangihe yang beragama Protestan dan merupakan penyair religius sangat dipengaruhi oleh
Willem Kloos.Lain halnya dengan Hamka. Ia pengarang prosa religius yang bernafaskan Islam, lebih
dipengaruhi oleh pujangga Mesir yang kenamaan, yaitu Al-Manfaluthi, sedangkan Sanusi Pane lebih
banyak dipengaruhi oleh India daripada oleh Barat, sehingga ia dikenal sebagai seorang pengarang
mistikus ke-Timuran. Pujangga religius Islam yang terkenal dengan sebutan Raja Penyair Pujangga Baru
adalah Amir Hamzah. Ia sangat dipengaruhi agama Islam serta adat istiadat Melayu. Jiwa Barat itu
rupanya jelas sekali terlihat pada diri Sutan Takdir Alisyahbana. Lebih jelas lagi tampak pada Armijn
Pane, yang boleh kita anggap sebagai perintis kesusastraan modern.Pada Armijn Pane rupanya
pengaruh Barat itu menguasai dirinya secara lahir batin.
Masih banyak lagi para pujangga baru lainnya seperti Rustam Effendi, A.M. Daeng Myala, Adinegoro, A.
Hasjemi, Mozasa, Aoh Kartahadimadja, dan Karim Halim. Mereka datang dari segala penjuru tanah air
dengan segala corak ragam gaya dan bentuk jiwa serta seninya.Mereka berlomba-lomba, namun tetap
satu dalam cita-cita dan semangat mereka, yaitu semangat membangun kebudayaan Indonesia yang
baru dan maju. Itulah sebabnya mereka dapat bekerjasama, misalnya saja dalam memelihara dan
memajukan penerbitan majalahPujangga Baru. 1. Karakteristik Karya Angkatan Pujangga Baru 2. Dinamis
3. Bercorak romantik/idealistis, masih secorak dengan angkatan sebelumnya, hanya saja kalau romantik
angkatan Siti Nurbaya bersifat fasip, sedangkan angkatan Pujangga Baru aktif romantik. Hal ini berarti
bahwa cita-cita atau ide baru dapat mengalahkan atau menggantikan apa yang sudah dianggap tidak
berlaku lagi. 4. Angkatan Pujangga Baru menggunakan bahasa Melayu modern dan sudah meninggalkan
bahasa klise. Mereka berusaha membuat ungkapan dan gaya bahasa sendiri. Pilihan kata, Penggabungan
ungkapan serta irama sangat dipentingkan oleh Pujangga Baru sehingga dianggap terlalu dicari-cari.
Ditilik bentuknya, karya angkatan Pujangga Baru mempunyai ciri-ciri: 1. Bentuk puisi yang memegang
peranan penting adalah soneta, disamping itu ikatan- ikatan lain seperti quatrain dan quint pun banyak
dipergunakan. Sajak jumlah suku kata dan syarat-syarat puisi lainnya sudah tidak mengikat lagi, kadang-
kadang para Pujangga Baru mengubah sajak atau puisi yang pendek-pendek, cukup beberapa bait saja.
Sajak-sajak yang agak panjang hanya ada beberapa buah, misalnya ”Batu Belah” dan ”Hang Tuah” karya
Amir Hamjah. 2. Tema dalam karya prosa (roman) bukan lagi pertentangan faham kaum muda dengan
adat lama seperti angkatan Siti Nurbaya, melainkan perjuangan kemerdekaan dan pergerakan
kebangsaan, misalnya pada roman Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana 3. Bentuk karya
drama pun banyak dihasilkan pada masa Pujangga Baru dengan tema kesadaran nasional. Bahannya ada
yang diambil dari sejarah dan ada pula yang semata-mata pantasi pengarang sendiri yang
menggambarkan jiwa dinamis. 1. Pengarang Angkatan Pujangga Baru dan Karyanya 2.4.3 Tokoh-
tokohnya 2.4.3.1 Sutan Takdir Alisjahbana Orang besar ini dilahirkan di Natal (Tapanuli) pada 11-02-
1908. Setelah menamatkan HIS di Bengkulu ia memasuki Kweekschool di Bukitinggi dan kemudian HKS
di Bandung. Setelah itu ia belajar untuk Hoof Dacte di Jakarta dan juga belajar pada Sekolah Hakim
Tinggi. Selain itu belajar pula tentang filsafat dan kebudayaan pada Fakultas sastra.
Pendidikan yang beraneka ragam yang pernah dialaminya serta cita-cita dan keinginan yang keras itu,
menyebabkan keahlian yang bermacam-macam pula pada dirinya. Karangannya mempunyai bahasa
yang sederhana tetapi tepat. Karya-karyanya antara lain: 1. Tak Putus Dirundung Malang (roman, 1929)
2. Dian Tak Kunjung Padam (roman, 1932) 3. Anak Perawan Disarang Penyamun (roman, 1941) 4. Layar
Terkembang (roman tendenz, 1936) 5. Tebaran Mega (kumpulan puisi/prosa lirik, 1936) 6. Melawat Ke
Tanah Sriwijaya (kisah, 1931/1952) 7. Puisi Lama (1942) 8. Puisi Baru (1946 2.4.3.2 Amir Hamzah Amir
Hamzah yang bergelar Pangeran Indera Putra, lahir pada 28-2-1911 di Tanjungpura (Langkat), dan
meninggal pada bulan Maret 1946. Ia keturunan bangsawan, kemenakan dan menantu Sultan Langkat,
serta hidup ditengah-tengah keluarga yang taat beragama Islam. Ia mengunjungi HIS di Tanjungpura,
Mulo di Medan, dan Jakarta AMS, AI (bagian Sastra Timur) di Solo. Ia menuntut ilmu pada Sekolah
Hakim Tinggi sampai kandidat. Amir Hamzah lebih banyak mengubah puisi sehingga mendapat sebutan
“Raja Penyair” Pujangga Baru. Karya-karyanya antara lain: 1. Nyanyi Sunyi (kumpulan sajak, 1937) 2.
Buah Rindu (kumpulan sajak, 1941) 3. Setanggi Timur (kumpulan sajak, 1939) 4. Bhagawad Gita
(terjemahan salah satu bagian mahabarata) 2.4.3.3 Sanusi Pane Sanusi Pane lahir di Muara Sipongi, 14-
11-1905. Ia mengunjungi SR di Padang Sidempuan, Sibolga, dan Tanjungbalai, kemudian HIS Adabiyah di
Padang, dan melanjutkan pelajarannya ke Mulo Padang dan Jakarta, serta pendidikannya pada
Kweekschool Gunung Sahari Jakarata pada tahun 1925. Pada tahun 1928, ia pergi ke India untuk
memperdalam pengetahuannya tentang kebudayaan India. Sekembalinya dari India ia memimpin
majalah Timbul. Di samping sebagai guru pada Perguruan Jakarta, ia menjabat pemimpin surat kabar
Kebangunan dan kepala pengarang Balai Pustaka sampai tahun 1941. Pada jaman pendududkan Jepang
menjadi pegawai tinggi Pusat Kebudayaan Jakarta dan kemudian bekerja pada Jawatan Pendidikan
Masyarakat di Jakarta. Karya-karyanya antara lain: 1. Pancaran Cinta (kumpulan prosa lirik, 1926) 2.
Puspa Mega (kumpulan puisi, 1927) 3. Madah Kelana (kumpulan puisi, 1931) 4. Kertajaya (sandiwara,
1932)
5. Sandyakalaning Majapahit (sandiwara, 1933) 6. Manusia Baru (Sandiwara, 1940) 2.4.3.4 Muhamad
Yamin, SH. Prof. Muhammad Yamin, SH. dilahirkan di Sawahlunto, Sumbar, 23 agustus 1905. Setelah
menamatkan Volkschool, HIS dan Normaalschool, ia mengunjungi sekolah-sekolah vak seperti sekolah
pertanian dan peternakan di Bogor. Kemudian menamatkan AMS di Jogyakarta pada tahun 1927.
Akhirnya ia memasuki Sekolah Hakim di Jakarta hingga bergelar pada tahun 1932. Pekerjaan dan
keahlian Yamin beraneka ragam, lebih-lebih setelah Proklamasi Kemerdekaan 19’45, ia memegang
jabatan-jabatan penting dalam kenegaraan hingga akhir hayatnya (26 Oktober 1962). Ia pun tidak
pernah absen dalam revolusi. Karya-karyanya antara lain: 1. Tanah Air (kumpulan puisi, 1922) 2.
Indonesia Tumpah Darahku (kumpulan puisi, 1928) 3. Menanti Surat dari Raja (sandiwara, terjemahan
Rabindranath Tagore) 4. Di Dalam dan Di Luar Lingkungan Rumah Tangga (Terjemahan dari
Rabindranath Tagore) 5. Ken Arok dan Ken Dedes (sandiwara, 1934) 6. Gajah Mada (roman sejarah,
1934) 7. Dipenogoro (roman sejarah, 1950) 8. Julius Caesar (terjemahan dari karya Shakespeare) 9. 6000
Tahun Sang Merah Putih (1954) 10. Tan Malaka (19’45) 11. Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (sandiwara,
1957) 2.4.3.5 J.E. Tatengkeng Lahir di Kalongan, Sangihe, 19 Oktober 1907. Pendidikannya dimulai dari
SD kemudian pindah ke HIS Tahuna. Kemudian pindah ke Bandung, lalu ke KHS Kristen di Solo. Ia pernah
menjadi kepala NS Tahuna pada tahun 1947. Karya-karyanya bercorak religius. Dia juga sering
melukiskan Tuhan yang bersifat Universal. Karyanya antara lain Rindu Dendam (kumpulan sajak, 1934).
2.4.3.6 Hamka Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Ia lahir di Maninjau,
Sumatera Barat, 16

Anda mungkin juga menyukai