Disusun Oleh :
KELOMPOK 4
1. NOVIANTI DITA SARI (18051110702)
2. MAILI YUSMA (1805110726)
UNIVERSITAS RIAU
2021
Kata Pengantar
Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas untuk
mata kuliah Sastra Klasik
Ucapan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan kepercayaan kepada
penulis untuk menyelesaikan makalah dengan materi “Sastra Searah”. Selain itu terimakasih
pada pihak yang dengan tulus memberikan doa,saran dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,kami mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang bersifat membangun agar kedepannya dapat membuat makalah yang lebih
baik lagi. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia
pendidikan.
KATA PENGANTAR…................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan…...........................................................................................................
3.2 Saran….....................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
1. Sastra Sejarah
Sastra sejarah merupakan salah satu genre sastra lama, yaitu kelompok sastra
yang mengandung unsur sejarah yang merupakan ciri utama karya sastra jenis ini.
Sebagai suatu karya sastra, sudah barang tentu ciri-ciri atau sifat suatu karya sastra
tercermin dalam karya sastra sejarah ini. Salah satu unsur karya sastra adalah unsur
imajinasi atau fantasi. Salah satu hal yang penting diceritakan dalam karya sastra
sejarah adalah raja atau pemuka masyarakat yang merupakan tokoh historis atau
tokoh legendaris, tokoh mitologis, tokoh yang dipercayai benar-benar ada. Hanya saja
kisah mengenai tokoh cerita itu bersifat rekaan, fiktif, sesuai dengan keperluan atau
tujuan penulisan sastra sejarah tersebut. Kerajaan, tempat, dan tokoh atau raja yang
diceritakan merupakan unsur sejarah yang dapat digali dan ditemukan dalam sastra
sejarah dan hal ini pula dianggap sebagai salah satu tanda atau ciri khas karya sastra
jenis ini.
Unsur sejarah dalam sastra sejarah terungkap pada latar dan tokoh cerita. Latar
tempat dalam sastra sejarah biasanya diketahui dalam kenyataan secara geografis. Hal
ini berbeda dengan karya sastra lama lainnya yang tidak bisa ditentukan di mana
tempatnya, di daerah mana cerita itu berlangsung, tempatnya tidak bisa diketahui
secara geografis. Lain halnya dengan latar waktu, kapan cerita berlangsung, pada
umumnya tidak bisa diketahui, sama halnya dengan karya sastra lama lainnya, cerita
berlangsung pada zaman dahulu. Tokoh cerita dalam karya sastra sejara pada
umumnya dikenali dalam sejarah, berbeda dengan tokoh cerita dalam karya sastra
lama lainnya yang boleh dikatakan sama sekali tidak dikenal dalam kenyataan atau
dalam sejarah (Sedyawati dkk., 2004 : 230-232).
Fang (1982 : 204) mengemukakan bahwa sastra sejarah biasanya terdiri dari
dua bagian. Bagian pertama adalah bagian yang bersifat mitos atau dongeng. Isinya
menceritakan keadaan dahulu kala, asal mulanya raja-raja dalam negeri serta
permulaan berlakunya adat istiadat dan sebagainya. Bagian yang kedua adalah bagian
yang historis, terutama apabila penulisnya menceritakan zaman hidupnya sendiri. Ia
juga mengemukakan bahwa sastra sejarah lahir di istana dan diciptakan untuk
keperluan raja. Inilah sebabnya dalam bagian pertama sastra sjarah, kita selalu
menjumpai cerita-cerita yang mengagung-agungkan kemegahan raja, terutama nenek
moyang raja-raja yang memerintah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), historiografi merupakan
penulisan sejarah. Historiografi secara realitas tidak lepas dari ekspresi kultural atau
pantulan dari keprihatinan sosial atau kelompok sosial yang menghasilkannya.
Historiografi benar-benar merupakan produk kebudayaan dari setiap bangsa sehingga
ia menempati fungsinya sebagai identitas bangsa. Jika historigrafi benar-benar
mengisahkan sejarah suatu bangsa secara keseluruhan, maka fungsi identitas itu akan
menopang fungsi solidaritas dari historiografi.
Historiografi tradisional adalah karya bersama masyarakat terhadap
eksistensinya sebagai wujud identitas dan sekaligus solidaritas. Wajah suatu
masyarakat akan terwakili oleh keberadaan historiografi tradisional yang selalu
diingat, ditemukan kembali, dan ditulis ulang sehingga wajar ada dalam banyak versi
dan variasi. Historiografi tradisional di Indonesia menunjukkan kekayaan budaya
berdasarkan keanekaragaman suku-suku bangsa, masyarakat, dan komunitas. Mereka
masing-masing telah memiliki identitas yang tergolong tua sebagai warisan tak-benda
dari masa lampau. Dalam historiografi tradisional termuat sejarah yang telah
mengalami degradasi secara perlahan ke arah legenda dan alam mitos. Mitos
diciptakan manusia berkat jarak antara peristiwa dengan kekinian, ketika mitos
sedang dalam proses menjadi, sudah terpaut waktu yang lama sehingga cenderung ke
generalisasi daripada partikulasi (Kuntowijoyo dalam Priyadi, 2015 : 17).
Sebagian besar dari historiografi tradisional menggambarkan tindakan-
tindakan dari manusia setengah dewa atau dewa-dewa. Dewa-dewa atau manusia
setengah dewa sebenarnya merupakan suatu perkembangan dari biografi manusia
masa lampau, yang selalu dilisankan dari kenyataan. Manusia yang senyatanya kuat
dalam berkelahi, kaya raya, berkarisma di dalam masyarakat akan dilisankan sebagai
orang istimewa sehingga ia menjadi manusia legenda meskipun ia masih hidup.
Priyadi (2015 : 25) menuliskan bahwa historiografi tradisional secara sosial-
psikologis memiliki fungsi untuk memberi kohesi dalam memperkuat kedudukan
suatu dinasti sebagai pusat kekuatannya. Oleh karena itu, penulisannya terfokus
kepada raja yang berkuasa. Istilah yang sering dipakai adalah rajasentrisme sebagai
sudut pandang pusat, yang scope spasial-nya adalah regiosentrisme. Rajasentrisme
bukan hanya berkedudukan sebagai pihak yang berkuasa secara politis, juga pihak
yang memonopoli penulisan sejarah. Seolah-olah antara kekuasaan dan sejarah
menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan. Indonesia adalah negeri yang memiliki
banyak kerajaan kecil dan wilayahnya berbentuk regional. Historiografi tradisional
sering dibandingkan dengan historiografi modern yang berpandangan dan dilandasi
oleh negara-nasionalsentrisme dengan scope spasial superregional. Superregional
mengandung arti scope spasial yang berada di atas regiosentrisme. Sesungguhnya
penulisan sejarah, baik historiografi tradisional maupun historiografi modern tidak
dapat dipisahkan, bahkan mungkin perlu ditempuh konvergensi.
. Historiografi tradisional atau disebut juga sastra bersejarah sering cenderung
untuk mengaburkan dua macam realitas sejarah, yaitu realitas yang objektif terjadi
dan realitas yang riil dalam diri. Salah satu bentuk kesadaran masyarakat terhadap
masa lalunya adalah melakukan rekaman tertulis. Cara yang dilakukan untuk
merekam peristiwa itu yaitu dengan cara menulis dalam suatu tulisan seperti Babad,
Hikayat, Silsilah atau Kronik yang kemudian biasanya disebut dengan naskah. Cerita
yang ada dalam naskah biasanya lebih banyak menceritakan peran orang-orang besar,
seperti raja, penguasa, tokoh dan lain-lain
Pada masa perkembangan historiografi tradisional, yaitu corak penulisan
sejarah yang banyak ditulis oleh para pujangga kraton, karya-karya mereka bertujuan
untuk melegitimasi kedudukan raja. Dengan demikian, historiografi pada masa ini
mempunyai ciri-ciri magis, religius, bersifat sakral, menekankan kultus, dewa raja dan
mitologi, bersifat anakronisme, etnosentrisme, dan berfungsi sosial psikologis untuk
memberi kohesi pada suatu masyarakat tentang kebenaran-kebenaran kedudukan
suatu dinasti (Indriyanto, 2001, hal. 2).
Selanjutnya Soedjatmoko (1965) mengemukakan bahwa historiografi
tradisional nusantara, kita kenal dengan sejumlah istilah seperti babad, serat kanda,
sajarah, carita, wawacan, hikayat, sejarah, tutur, salsilah, cerita-cerita manurung
(Sjamsuddin, 2007, hal. 10).
Karya-karya sejarah yang ditulis oleh para pujangga dari lingkungan keraton
ini hasil karyanya biasa disebut Historigrafi Tradisional. Contoh karya sejarah yang
berbentuk historiografi tradisional yang ditulis oleh para pujangga keraton dari
kerajaan hindu/budha sebagai berikut : Babad Tanah Pasundan, Babad Parahiangan,
Babad Tanah Jawa,Pararaton,Nagarakertagama,Babad Galuh,Babad Sriwijaya, dan
lain-lain. Sedangkan karya historiografi tradisional yang ditulis para pujangga dari
kerajaan Islam diantaranya : 1. yaitu karya dari Kerajaan Islam Cirebon, 2. Babad
Banten yaitu karya dari Kerajaan Islam Banten, 3. Babad Dipenogoro yaitu karya
yang mengisahkan kehidupan Pangeran Diponegoro, 4. Babad Demak yaitu karya
tulis dari Kerajaan Islam Demak, 5. Babad Aceh dan lain-lain (Jayusman, 2012).
Hikayat memiliki dua arti dalam sastra Indonesia. Hikayat berarti cerita rekaan
yang berbentuk prosa cerita yang panjang. Sedangkan dalam sastra Melayu,
hikayat berarti sifat dari sastra lama yang sebagian besar mengisahkan mengenai
kehebatan serta kepahlawanan tokoh tokoh besar. Pada masa Islam, karya
historiografi sudah mulai mengenal kronologi, yakni menempatkan fakta peristiwa
sejarah menurut urutan waktu kejadian, meskipun belum sepenuhnya diterapkan.
Seperti halnya masa Hindu Budha, historiografi masa Islam masih sangat terlihat
unsur mitos dan menekankan pada unsur kedaerahan. Contoh karya historiografi
masa Islam adalah Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Aceh.
Sinopsis Hikayat Sultan Aceh Iskandar Muda
Sultan Iskandar Muda terkenal arif dan bijaksana. Di bawah pemerintahannya, negeri
Aceh aman dan makmur. Suatu waktu, sultan mengirim sejumlah barang kepada Raja Rom di
Mekah sebagai tanda persahabatan. Dengan tiga buah kapal, sebuah perutusan Aceh
berangkat ke Mekah. Dalam perjalanan, ketiga kapal itu tersesat. Perbekalan sudah habis.
Negeri yang dituju belum kelihatan. Barang-barang bawaan sebagai persembahan kepada raja
habis dijual dalam perjalanan untuk keperluan anak buah kapal. Sesudah tiga tahun, barulah
utusan tersebut sampai di Mekah. Mereka gelisah karena barang-barang yang dibawa sudah
habis terjual.
Dengan hanya membawa secupak lada, utusan Aceh menghadap Raja Rom serta
menyerahkan sepucuk surat dari Sultan Iskandar Muda sambil menceritakan apa yang mereka
alami dalam perjalanan. Raja Rom sangat gembira menerima surat dari Aceh. Dengan segala
kesenangan hati baginda menerima kiriman secupak lada. Sebagai balasan, Raja Rom
menyerahkan sepucuk meriam kepada Raja Aceh. Meriam itu kemudian terkenal dengan
nama Lada Sicupak. Selain itu, dikirim pula 12 orang pahlawan yang ahli dalam pembuatan
senjata.
Sesudah tiga bulan berlayar, utusan sultan tiba kembali di Aceh. Sultan menerima
kedua belas orang pahlawan hadiah Raja Rom tersebut dengan senang hati. Dengan bantuan
sejumlah rakyat, kedua belas orang tenaga ahli dari Mekah itu membangun istana raja dan
benteng pertahanan. Didirikan pula sebuah bangunan yang kemudian terkenal dengan nama
Gunongan. Di sebelahnya dibangun sebuah balai pertemuan tempat sultan mengadakan
pertemuan setiap hari Senin dan Kamis. Kemudian dibangun pula sebuah masjid yang
dikenal dengan nama Masjid Raya.
Setahun lamanya rakyat Aceh bekerja di bawah pimpinan dua belas orang pahlawan
dari Mekah. Istana dan benteng pertahanan lengkap dengan alat-alat perang telah selesai
dibangun. Dalam surat rahasia yang dikirim oleh Raja Rom, dijelaskan bahwa sesudah selesai
melaksanakan tugas, kedua belas orang pahlawan tersebut harus dibunuh karena sebenarnya
mereka adalah orang-orang jahat. Sultan Aceh sangat sayang kepada mereka karena jasa
membangun negeri.
Tidak berapa lama kemudian, apa yang tertulis dalam surat Raja Rom ternyata benar.
Setiap hari mereka membuat gaduh di pasar seperti membeli tanpa membayar. Semakin hari,
kejahatan mereka semakin meningkat. Sultan dan para menteri tak lagi dihormati oleh
mereka. Lalu sultan mencoba mencari jalan untuk melenyapkan mereka. Ketika sedang
menggali sebuah lubang yang dalam, mereka dilempari dengan batu oleh rakyat hingga
tewas. Aceh telah aman kembali.
Tersebutlah dua orang raja bersaudara di Johor bernama Raja Raden dan Raja Si Ujut.
Raja Raden dikenal dengan budi pekertinya yang baik sedangkan Si Ujut termasyhur karena
perangainya yang jahat. Mereka merencanakan menyerang negeri Pahang dengan janji
apabila berhasil, Putri Pahang akan menjadi istri Raja Raden.
Angkatan perang Johor sudah berada di tepi pantai. Negeri Pahang tidak mau
menyerah. Pecahlah perang seru antara Johor dan Pahang. Perang laut berlanjut di darat.
Tentara Pahang akhirnya kalah. Putri Pahang ditawan dan dibawa ke kapal. Sampai di Johor,
Si Ujut mengingkari janjinya. Ia ingin memiliki Putri Pahang. Raja Raden tetap memegang
janjinya.
Karena tidak ada yang mau mengalah, keduanya sepakat untuk pergi ke Aceh alias
Pulo Ruja, untuk meminta pendapat Sultan Iskandar Muda yang terkenal adil itu.
Dengan membawa Putri Pahang dan diiringi sejumlah pasukan, Raja Raden dan Si Ujut
berlayar menuju Aceh. Di sana mereka diterima dengan baik oleh sultan. Setelah menerima
keterangan dari kedua pihak, Sultan meminta waktu selama tiga hari sebelum memberikan
pendapatnya. Sementara itu, seorang menteri mengajak kedua raja dari Johor itu untuk
memeluk Islam. Si Ujut menolak mentah-mentah sedangkan Raja Raden berpikir-pikir
dahulu. Tiga hari berselang sultan menjatuhkan keputusannya yaitu Putri Pahang adalah milik
Raja Raden. Si Ujut amat marah mendengar keputusan itu. Raja Raden dan Putri Pahang atas
kemauan sendiri memeluk Islam. Si Ujut pulang ke Johor. Oleh karena ancaman Si Ujut
selalu membayanginya maka Raja Raden menyerahkan Putri Pahang menjadi permaisuri
Sultan Aceh. Raja Raden tidak bermaksud pulang ke Johor lagi. Ia dinikahkan dengan adik
kandung Sultan Aceh bernama Putri Ti Jeumpa.
Si Ujut masih menaruh dendam kepada Sultan Aceh. Dengan armadanya yang besar
ia berlayar menuju Pulo Ruja. Di sana ia diterima dengan baik oleh Sultan Aceh, namun
dendamnya tidak dapat dikendalikan. Ia mulai mencari gara-gara. Perampokan dilakukan
dimana-mana tetapi sultan tetap sabar. Ia membujuk Raja Raden supaya kembali ke Johor,
tetapi raja yang sudah memeluk agama Islam itu menolak. Si Ujut bertambah marah.
Kampung Ladong dibumihanguskan. Harta rakyat dirampok. Banyak penduduk yang menjadi
korban keganasannya sebelum ia meninggalkan tanah Aceh.
Di Johor, Si Ujut mengadakan persiapan perang. Sementara itu, Sultan Aceh amat
marah mendengar laporan demi laporan tentang kejahatan Si Ujut. Baginda bermusyawarah
dengan Raja Raden. Mereka sepakat untuk mengejar Si Ujut ke Johor.
Rakyat Aceh dikerahkan membuat kapal-kapal perang. Ketika itu, di tepi pantai
terdampar sebatang pohon kayu yang besar. Sultan memerintahkan membuat sebuah kapal
dari batang kayu tersebut. Tidak kurang dari seribu buah kapal selesai dibangun selama
delapan bulan. Kapal yang dibuat dari kayu hanyut itu dinamakan Cakra Donya. Sultan
kemudian mengirim surat ke daerah pesisir untuk memberitahukan supaya rakyat bersiap-siap
melawan Raja Si Ujut. Putri Pahang yang arif menasihati sultan agar sebelum serangan
dilakukan, terlebih dahulu diangkat seorang panglima perang dan ulama dari Meureudu
bernama Ja Pakeh sebagai penasihat agama. Selain itu, diingatkan pula supaya tidak
membunyikan meriam apabila melewati negeri Asahan sebab dikhawatirkan timbul
pertikaian. Raja Asahan terkenal dengan tentaranya yang banyak dan gagah berani.
Sesudah menerima saran-saran dari Putri Pahang, sultan berangkat diiringi para
menteri dan hulubalang serta bala tentaranya. Mereka berjalan melalui darat dan akan
menaiki kapal di Kuala Jambu Aye. Kapal-kapal perang berlayar menyusuri pantai mengikuti
rombongan sultan. Rombongan beristirahat di Pidie. Panglima Pidie dan pasukannya
menghadap sultan menyatakan dukungannya.
Kapal-kapal perang Pidie bergabung dengan armada Cakra Donya. Kemudian sultan
melanjutkan perjalanan dan beristirahat lagi di Meureudu. Daerah Meureudu ketika itu dalam
keadaan sepi karena banyak penduduknya yang merantau mencari rezeki. Sesudah tujuh hari,
rakyat yang bepergian telah pulang.
Sultan menunjukkan kemarahannya dengan menolak hadiah dari penduduk. Ja Pakeh
menjelaskan bahwa rakyat Meureudu dalam keadaan kesulitan makanan dan sultan tidak
mengangkat seorang hulubalang yang mengatur negeri. Sultan tenang kembali seraya
menyatakan bahwa Meureudu langsung di bawah pemerintahannya. Kemudian sultan
menyatakan rencananya hendak menyerang Johor. Ja Pakeh menyetujuinya.
Dengan disertai Ja Pakeh dan pasukan Meureudu, rombongan berangkat lagi dan tak
berapa lama sampai di Samalanga. Rakyatnya dengan serta merta menggabungkan diri
dengan pasukan sultan. Sampai di Peusangan, rombongan kembali beristirahat. Panglima
Peusangan siap menyerang Johor, tetapi memohon agar penduduknya tidak ikut karena
sedang memelihara ulat sutra dan mencari gajah untuk sultan. Sultan menyetujuinya.
Sesudah dua hari di Peusangan, pasukan kembali berangkat dan beberapa hari
kemudian tiba di Jambu Aye, tempat kapal-kapal perang siap untuk berlayar. Musyawarah
diadakan. Atas usul Panglima Pidie, Malem Dagang dari Meureudu diangkat sebagai
panglima perang. Panglima Pidie sendiri dan Raja Raden diangkat sebagai panglima
pendamping. Upacara pelantikan diadakan. Ja Pakeh membacakan doa selamat.
Semua persiapan sudah rampung. Semua pasukan naik ke kapal. Sultan sendiri naik
ke Cakra Donya. Berlayarlah armada Aceh menuju arah timur. Sampai di perairan Asahan,
sultan teringan pesan Putri Pahang agar tidak membunyikan meriam di wilayah tersebut.
Namun, sultan ingin menguji kebenaran perkataan Putri Pahang. Maka atas perintahnya,
meriam dibunyikan. Dengan segera dibalas oleh tentara Asahan. Armada Aceh berhenti.
Utusan Raja Asahan datang menanyakan maksud kedatangan armada Aceh. Malem Dagang
menjelaskan rencana yang sebenarnya yaitu hendak menyerang Johor. Utusan Raja Asahan
menyatakan bahwa angkatan perang Asahan ingin mencoba kekuatannya dengan balatentara
Aceh. Sultan dan Malem Dagang siap menerima tantangan dari Raja Asahan. Pihak Asahan
mulai menembaki kapal-kapal perang Aceh. Pertempuran dahsyat segera dimulai. Sesudah
mendapat petunjuk-petunjuk dari Ja Pakeh, pasukan Aceh mendarat di bawah pimpinan
Malem Dagang bersama Raja Raden dan panglima Pidie.
Perang berkecamuk di tepi pantai. Pasukan Asahan mengundurkan diri ke benteng pertahanan
istana. Dalam sepuluh hari, istana kerajaan dapat dikuasai oleh pasukan Aceh. Raja Asahan
dan pasukannya melarikan diri. Ketiga orang panglima Aceh memasuki istana. Permaisuri
raja ditawan dan dibawa ke kapal.
Sesudah pasukan Aceh kembali berada di kapal, Raja Asahan kembali ke istana.
Alangkah sedihnya ia ketika mengetahui bahwa istrinya sudah dibawa ke kapal. Seorang
menteri menyarankan supaya Raja Asahan menyerah dan minta ampun kepada Sultan Aceh.
Dengan membawa hadiah berupa buah-buahan, Raja Asahan dan para menterinya
menghadap sultan di atas kapal perang. Ia menyatakan menyerah. Permaisuri diserahkan
kembali, lalu Raja Asahan menyatakan pula bahwa ia beserta rakyatnya bersedia memeluk
agama Islam.
Armada Aceh melanjutkan pelayaran dipimpin oleh Raja Raden dan Panglima Pidie
sedangkan Malem Dagang dan Ja Pakeh untuk sementara tinggal di Asahan. Dalam beberapa
hari, armada Aceh tiba di kuala Johor. Tembakan meriam dilepaskan, namun tidak ada
balasan dari darat. Si Ujut ketika itu sedang berada di Guha mencari bantuan untuk persiapan
hendak menyerang Aceh.
Ketika mengetahui Johor diduduki balatentara Aceh, Si Ujut amat marah. Ia
mengepung pasukan Aceh dari darat dan laut. Sementara itu pasukan yang berada di bawah
pimpinan Malem Dagang sudah meninggalkan Asahan. Di Laut Banang mereka bertemu
dengan armada Si Ujut. Pertempuran laut pun tak dapat dihindari. Sultan Iskandar Muda yang
masih berada di Johor segera mengetahui berita tersebut. Dengan segera pasukan sultan
menuju Laut Banang. Pertempuran laut kembali berlanjut. Mula-mula angkatan perang Aceh
hampir terdesak. Namun, setelah Ja Pakeh berdoa kepada Tuhan dan memberi semangat
kepada sultan dan ketiga orang panglima, mereka dapat mengimbangi kembali serangan Si
Ujut.
Sebulan sudah peperangan berlangsung. Belum ada tanda-tanda pihak mana yang
akan menang. Suatu malam, Panglima Pidie bermimpi seolah berenang di lautan lepas dan
tenggelam dibawa arus. Ja Pakeh yang diberi tahu tentang mimpi tersebut meneteskan air
mata karena meramalkan bahwa ajal Panglima Pidie sudah dekat. Ketika kapalnya mendekati
kapal musuh, ia kena tembakan Si Ujut dan tewas seketika. Panglima Pidie digantikan oleh
Japu Intan, seorang pahlawan yang berasal dari Jawa dan sudah lama berteman baik dengan
Sultan Aceh.
Semangat tentara Aceh tidak kendur, bahkan lebih gigih menggempur tentara Johor.
Akhirnya tentara Johor mengundurkan diri. Tetapi Si Ujut tetap melawan. Ketika kapalnya
dirapati kapal perang Aceh, Malem Dagang melompat ke kapal Si Ujut. Raja Raden dan Japu
Intan pun ikut serta. Malem Dagang langsung berhadapan dengan Si Ujut. Keduanya kebal
besi dan bertarung selama tiga hari. Akhirnya Si Ujut mulai lemah. Pasukannya banyak yang
telah melarikan diri. Ia tersungkur di tangan Malem Dagang. Si Ujut dirantai dan dibawa ke
hadapan sultan sebagai tawanan.
Raja Malaka yang memihak Johor bermaksud membebaskan Si Ujut. Ketika sedang
melakukan persiapan perang, angkatan laut Aceh sudah berada di perairan Malaka. Pasukan
Malaka menembaki kapal-kapal perang Aceh. Panglima Japu Intan bersama pasukannya
turun ke darat untuk mengatur siasat. Kedatangan Japu Intan rupanya diketahui oleh pasukan
Malaka. Japu Intan tewas dalam pertempuran itu dan mayatnya dibawa oleh anak buahnya ke
kapal. Malem Dagang dan Raja Raden bersama pasukannya mendarat. Meskipun mendapat
perlawanan tangguh, Malem Dagang terus mendesak dan akhirnya Raja Malaka beserta
pasukannya melarikan diri. Benteng Malaka diduduki.
Setelah tiga bulan ditunggu dan Raja Malaka tidak kembali, angkatan perang Aceh
kembali ke tanah air. Di Asahan, Sultan singgah sebentar untuk mengambil jenazah Panglima
Pidie yang dikubur sementara di tepi pantai. Di Pidie, Sultan mendarat lagi untuk
menguburkan kembali jenazah Panglima Pidie.
Di kuala Aceh, sultan disambut dengan tembakan-tembakan meriam. Putri Pahang
membawa sultan ke Istana. Si Ujut dimasukkan ke dalam tahanan. Sesudah sebulan berada di
Meureudu, Malem Dagang kembali ke Banda Aceh. Si Ujut digiring ke hadapan sultan dalam
keadaan dirantai. Ja Pakeh meminta kepada Si Ujut untuk menyerah namun ia tetap menolak.
Ia dijatuhi hukuman mati. Malem Dagang melaksanakan perintah Sultan tetapi tidak ada
senjata yang dapat melukainya. Berbagai cara dilakukan namun Si Ujut tahan terhadap segala
macam senjata. Ia juga tidak mati dengan cara ditumbuk dalam lesung besi.
Meskipun tidak cedera, Si Ujut merasakan bahwa sekujur tubuhnya mulai kesakitan.
Ia sendiri lalu memberitahukan kepada Malem Dagang bahwa yang dapat menghabisi
nyawanya adalah kayu geureutoe. Dengan kayu itulah Malem Dagang menamatkan riwayat
Raja Johor itu. Dengan tewasnya Si Ujut, negeri Aceh bertambah makmur di bawah
pimpinan Sultan Iskandar Muda dengan bantuan Panglima Malem Dagang.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sejarah mempunyai hubungan yang erat dengan sastra. Sejarah bisa ditulis
dalam bahasa yang indah supaya dapat menghidupkan suasana yang dilukiskannya.
Sastra juga dapat mengambil peristiwa-peristiwa sejarah sebagai bahannya. Dengan
demikian, sastra sejarah adalah gabungan dari keduanya.
Historiografi tradisional berlangsung sejak masa kerajaan Hindu-Buddha
hingga masuknya kolonialisme Barat ke Nusantara (abad ke-4 hingga ke-16 M).
Corak historiografi untuk wilayah Nusantara bagian tengah didominasi sangat kental
oleh pengaruh agama Hindu-Buddha. Sedangkan untuk daerah Nusantara bagian
timur (Sulawesi, Maluku) dan barat (Sumatera) didominasi oleh pngaruh agama Islam
yang cukup kental. Historiografi tradisional memiliki karakteristik yang tidak bisa
dipisahkan dari adanya unsur-unsur magis, mitos, dan imajinasi. Selain itu,
historiografi tradisional masih terpusat pada sudut pandang istanasentris, dimana
rakyat jelata dianggap tidak memiliki sejarah. Kehidupan para raja dan bangsawan
adalah hal-hal yang menjadi fokus pembahasan dalam historiografi tradisional. Jenis-
jenis historiografi tradisional lokal yang ada di Indonesia ialah babad, carita, hikayat,
tambo, lontaraq, suluk, serat, wawacan, dan lain-lain.
3.2 Saran
Dalam memahami sastra sejarah ada baiknya dibekali dengan pengetahuan
kemudian disarankan kepada pembaca agar tidak secara langsung memercayai suatu
fakta atau mitos sebelum membandingkan dengan bacaan yang sama dengan pandangan
yang berbeda.
Daftar Pustaka
Baried, Baroroh dkk. 1985. Memahami Hikayat dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Budaya.
Fang, Liaw Yock. 1982. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Singapura: Pustaka Nasional
Pte Ltd.
Hasnawati. 2020. Modul Pembelajaran SMA Sejarah. Sulawesi Selatan : Direktorat SMA,
Direktorat Jenderal PAUD, DIKDAS dan DIKMEN.
Jayusman, I. (2012, September 16). Historiografi Tadisional dan Modern. Dipetik Mei 16,
2013, dari http://iyusjayusman.blogspot.com/2012/09/ historiografi-tradisional-dan-
modern.
Indriyanto. (2001, Mei 30). Peranan dan Posisi Ilmu Sejarah dalam Menjawab Tantanga
Zaman. Diskusi Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah. Semarang, Jawa Tengah,
Indonesia: http: //eprints.undip.ac.id/1115/2/ Peran_dan_Posisi_Ilmu_Sejarah.pdf.
Paramartha, Komang . 2017. Mitos dan Legenda dalam Babad Pulesari. Prodi Sastra Jawa
Kuno Fakultas Sastra Dan Budaya Universitas Udayana Denpasar.
Puratiningrum , Ekadharma . 2017. Modul I (Manusia Dan Ruang Lingkup Ilmu Sejarah
Pendidikan Kesetaraan Program Paket C Mahir Daring. Jawa Barat : Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini dan
Pendidikan Masyarakat (PP PAUD dan Dikmas).
Sedyawati, Edi dkk,. 2004. Sastra Melayu Lintas Daerah. Jakarta : Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional.